Kedaulatan Pangan
Kedaulatan Pangan
Kita tidak dapat mencukupi pangan dunia hari ini dengan pertanian kemarin dan kita tidak dapat
mencukupi pangan dunia besuk dengan pertanian hari ini
I. PENDAHULUAN
Dengan jumlah penduduk yang akan mencapai 8 miliar pada tahun 2030
dan 9,2 miliar pada tahun 2050, dunia tetap akan terancam oleh
kerawanan/kekurangan pangan. Di tahun 2015, misalnya, jumlah penduduk
dunia yang mengalami kerawanan pangan diperkirakan akan mencapai 580 juta
jiwa (Yudohusodo, 2004). Banyak ilmuwan memperkirakan bahwa jumlah
penduduk yang akan mengalami kerawanan pangan akan terus meningkat dari
waktu ke waktu. Peningkatan dalam jumlah penduduk yang belum diiringi
dengan peningkatan dalam kualitas sumber daya manusia, disertai dengan terus
menyusutnya sumber daya alam baik yang terbarukan maupun yang tidak
terbarukan, akan memperparah ancaman kekurangan pangan dunia.
Berbicara mengenai sumber pangan dunia, sebenarnya dari 800.000
spesies tumbuhan yang sudah diketahui, 3.000 spesies di antaranya dapat
dimakan. Dalam kenyataannnya, hanya 150 spesies tanaman yang sudah umum
dimakan, dan dari jumlah tersebut yang menjadi sumber pangan utama dunia
hanya 12 spesies tanaman yaitu gandum, padi, jagung, kentang, ubi jalar, ketela
pohon, pisang, kelapa, kedelai, common bean, tebu, dan beet. Dari 12 spesies
tanaman sumber utama pangan tersebut, tiga spesies tanaman yang termasuk
kedalam kelompok biji bijian yaitu gandum, padi dan jagung, merupakan
andalan utama untuk memenuhi kebutuhan kalori manusia (Schumann, 1991).
Data di atas mengingatkan kepada kita bahwa budidaya tiga kelompok
tanaman biji bijian tesebut terus akan merupakan kegiatan yang sangat vital
dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan dunia. Dari total kebutuhan biji-
2
jawab, sumber daya alam kita, baik yang berupa sumber daya terbarukan maupun
tidak terbarukan, masih memuat harapan untuk mewujudkan kedaulatan pangan
di negeri tercinta ini. Dengan meminjam pernyataan Zen (2006), mewujudkan
kedaulatan pangan di Indonesia bukanlah mengejar pelangi, yang akan berakhir
dengan mimpi yang kosong. Yang kita kejar adalah pelangi mas. Jika direncanakan
dengan matang, dengan strategi yang jitu, ini akan berakhir dengan hujan emas.
Kedaulatan pangan Indonesia dapat dicapai melalui: pertama,
mengembangkan sains dan teknologi yang memanfaatkan potensi sumber
sumber yang tersedia secara cerdas, diikuti tahap kedua yaitu dengan
mengembangkan sains dan teknologi untuk mewujudkan keunggulan pangan
Indonesia, kemakmuran dan martabat bangsa. Keberhasilan mengelola sumber
daya pangan tersebut untuk mewujudkan kedaulatan pangan akan sangat
ditentukan oleh mutu sumber daya manusia yang dihasilkan oleh sistem
pendidikan pertanian nasional.
Dari gatra penawaran/permintaan pangan (food supply/demand) kondisi
pangan dunia memang cukup memprihatinkan. Permintaan pangan terus
meningkat dengan pesat untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yang
cukup tinggi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan makin meningkatnya
kompetisi penggunaan biji bijian sumber energi yang terbarukan. Meskipun
tingkat kenaikan penduduk dunia sudah dapat ditekan dari 2 % per tahun pada
tahun 1970 menjadi 1,2 % per tahun pada tahun 2010, dewasa ini pertambahan
penduduk dunia masih mencapai 8 juta per tahun, atau kurang lebih 219.000 bayi
per hari. Dari sisi penawaran pengadaan pangan menghadapi tantangan yang
berupa makin menurunnya kualitas lahan, berkurangnya sumber air, perubahan
status penggunaan lahan, perubahan iklim dan telah dicapainya leveling off
produksi beberapa komoditas (Brown, 2011).
Karena kompleksnya masalah pangan, dalam membangun kemandirian
/kedaulatan pangan seharusnya didekati dengan pendekatan system dengan
menempatkan serangkaian kegiatan produksi sebagai salah satu sub-sistemnya
(Anonim, 1988).
Dalam subsistem produksi pangan harus diakui bahwa sebagai produsen
utama bahan pangan, petani masih belum mendapatkan perhatian yang
memadai dari negara bila dilihat dari gatra peningkatan kesejahteraan
4
(Yudohusodo, 2004). Di sisi lain masih terdapat gap (kesenjangan) yang lebar
antara angka hasil aktual (actual yield) yang dicapai oleh petani di lapangan dan
angka hasil potential (potential yield) di petak petak percobaan. Angka hasil
potensial adalah angka hasil suatu komoditas yang dicapai bila komoditas
tersebut dibudidayakan dengan persyaratan optimal dan memanfaatkan
teknologi mutakhir, sedangkan angka hasil aktual adalah angka hasil yang dapat
dicapai apabila suatu komoditas dibudidayakan oleh petani dalam skala luas.
Untuk tanaman padi, misalnya, dewasa ini angka hasil aktual rata rata yang dapat
dicapai petani adalah 4-5 ton beras per hektar, sedangkan angka hasil pada plot
plot demonsrtrasi dapat mencapai 6-7 ton beras per hektar. Sudah lama diketahui
bahwa penyebab klasik kesenjangan tersebut karena adanya hambatan biologi
(biological constraints) yang terdiri dari masih tingginya penurunan angka hasil
akibat serangan organism pengganggu tanaman (OPT), kualitas virietas dan bahan
tanam, kurang optimalnya pengairan, pemupukan yang tidak optimal, cara
budidaya, tanah dan cuaca dan hambatan sosio ekonomi (socio-economical
constraints) yang terdiri dari masalah masalah penyuluhan, permodalan, resiko,
tradisi, akses dan penyediaan sarana produksi, penyediaan insentif dan
kelembagaan (Hadisapoetro, 1977).
Sebagai bagian dari system kedaulatan/kemandirian pangan, petani
bertindak sebagai produsen, konsumen dan sekaligus pemasar hasil pertanian
pangan. Dalam usahanya mencapai angka hasil yang optimal, petani harus
menghadapi gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) pada fase I, yaitu
gangguan sejak memilih benih, menanam sampai panen, dan gangguan fase II,
yaitu gangguan sesudah panen sampai hasil tanamannya di tangan konsumen
(Triharso, 1978). Dalam konteks ini yang dimaksud dengan OPT adalah hama
dalam arti luas (pests , omo) yang terdiri dari tiga komponen yaitu hama dalam
arti sempit (tungau, belut akar, serangga, tikus, babi hutan, burung), penyebab
penyakit (viroid, virus, mikoplasma, spiroplasma, bakteri, jamur, benalu dan
pathogen abiotik), dan gulma (rerumputan, enceng gondok, wedusan, gempur
watu, pakisan, sembung rambat, alang-alang dan teki). Meskipun ketiga
komponen OPT tersebut dipelajari secara terpisah, namun dalam pengelolaan
suatu ekosistem ketiganya akan berpadu dan berkaitan timbal balik dengan
5
komponen biotik dan abiotik lainnya dalam ekosistem tersebut (Soerjani et al.,
1979; Triharso, 1993).
Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi gangguan OPT. Meskipun
teknologi pengendalian OPT saat ini sudah sangat maju, tetapi belum ada
satupun negara di dunia ini yang terbebas dari gangguan OPT. Amerika Serikat
misalnya, kerugian di bidang pertanian akibat OPT setiap tahun ditaksir sebesar
20,1 sampai 34,4 milyar dolar Amerika dan sebagai pembanding kerugian akibat
hancurnya World Trade Center di New York tahun 2001 mencapai 27.1 milyar
(Pimental et al., 2002 Cit. Heather and Hallman, 2008). Rata rata kerugian untuk
semua komoditas pertanian di aras dunia karena OPT ditaksir sebesar 31-42 %.
Ironisnya kerugian di negara yang sedang berkembang lebih besar dari pada di
negara maju, padahal negara yang sedang berkembang ancaman kerawanan
pangan lebih besar (Agrios, 2005).
usaha pengadaan pangan yang cukup dan bahaya akibat mengkonsumsi pangan
yang kurang aman masih belum banyak diketahui, perhatian kita terhadap
masalah keamanan pangan masih sangat rendah. Indikator masih kurangnya
perhatian kita terhadap masalah keamanan pangan tercermin antara lain pada
masih sedikitnya jumlah diskusi diskusi masalah keamanan pangan, dibanding
dengan diskusi pada ketahanan pangan. Pada hal menurut Sardjono (2011) dan
Agus (2011), keamanan pangan dan pakan kita sudah dalam kondisi yang
memprihatinkan, antara lain karena tingginya kontaminasi mikotoksin pada
bahan tersebut. Mikotoksin adalah bahan beracun yang dikeluarkan oleh jamur
yang meginfeksi biji bijian, pangan dan pakan yang dapat menyebabkan sakit
atau kematian manusia atau hewan yang mengkonsumsi bahan tersebut.
Tingginya kontaminasi pada berbagai bahan oleh mikotoksin merupakan salah
satu masalah penyakit tumbuhan pasca panen yang perlu segera mendapatkan
perhatian secara serius.
Kelembaban dan temperatur yang tinggi merupakan faktor luar yang sangat
mendukung berkembangnya penyakit pasca panen pada bahan pangan dan
pakan, khususnya yang tergolong biji bijian di Indonesia. Selain menimbulkan
kerugian secara kualitatif dengan jalan menurunkan bobot, pathogen pasca
panen, khususnya jamur juga menurunkan kualitas bahan bahkan dapat
menyebabkan bahan tersebut tidak layak untuk di konsumsi. Sardjono et al.
(1992) melaporkan bahwa persentase infeksi jamur yang berpotensi sebagai
penghasil mikotoksin pada beberapa biji bijian yang pernah diteliti, sudah pada
aras yang perlu dikendalikan.
Dari 256 buah sample kacang tanah yang diamati, 100% menunjukkan
infeksi jamur dengan rincian infeksi oleh Aspergillus flavus Link sebesar 98%,
Aspergillus niger v.Tiegh sebesar 80%, serta kelompok Fusarium sebesar 14%.
Sedangkan untuk Jagung, dari 82% sampel yang diteliti, sebanyak 80% terinfeksi
Aspergillus flavus, 70% terinfeksi Fusarium moniliforme, dan 23% tercemar oleh
Fusarium sp yang berpotensi menghasilkan mikotoksin jenis fumonisin.
Seterusnya Sardjono (2005) juga melaporkan adanya cemaran mikotoksin pada
sebagian produk produk olahan yang dihasilkan dari bahan mentah yang telah
tercemar mikotoksin, antara lain bumbu pecel, enting-enting, oncom dan hasil
olahan jagung. Di lingkungan ASEAN, Indonesia menduduki peringkat tertinggi
9
dalam hal pencemaran mikotoksin pada biji bijian (Yamashita et al., 1995 cit.
Sardjono, 2011).
Di Indonesia, cerita keamanan pangan, khususnya kontaminasi mikotoksin
dan racun lain pada bahan pangan dan pakan, adalah cerita yang kurang
menggembirakan. Dampak dari adanya cemaran mikotoksin pada bahan pangan
sebagian besar terjadi pada anak anak muda dari golongan masyarakat yang
tidak berpenghasilan tetap dan pas-pasan, karena mereka terpaksa harus
mengkonsumsi makanan yang kualitasnya rendah. Situasi ini merupakan
tantangan yang berat bagi berbagai pihak untuk bekerja lebih keras untuk
mencukupi kebutuhan pangan yang lebih aman bagi seluruh warga Negara.
Kiranya sangat tepat bila Internasional Society for Plant Pathology (ISPP) dalam
penyelenggaraan the 9th International Congress of Plant Pathology di Italy tahun
2008, mengangkat tema HEALTHY AND SAFE FOOD FOR EVERYBODY. Tema
tersebut mirip tema kongres beberapa tahun sebelumya yaitu HEALTHY PLANT
HEALTHY PEOPLE.
A. Umum
Indonesia yang tidak mampu bersaing dengan produk luar negeri di rumah
sendiri.
Kita memang hidup di dunia yang oleh banyak orang disebut The Borderless
World, dunia yang tanpa batas, dengan arus barang, orang, modal dan uang
serta teknologi dan budaya yang hampir hampir tanpa hambatan, sehingga
masalah impor ekpor pangan bukanlah sesuatu yang harus ditabukan. Di sisi lain
karena Indonesia merupakan negara dengan kebutuhan pangan yang sangat
besar, maka kiprah kita dalam perdagangan komoditas pangan di aras global,
merupakan kegiatan yang amat penting dan strategis. Pangan juga merupakan
kebutuhan pokok yang hakiki yang setiap saat dan di setiap tempat perlu tersedia
dalam jumlah yang cukup, dengan mutu yang layak, aman dikonsumsi dan dengan
harga yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Karena kita mempunyai
potensi besar dan kebutuhan kita juga banyak, maka sudah sewajarnya bila
Indonesia berani mengambil keputusan politik untuk menjadi pemain utama
bidang pangan pada aras global sehingga mampu mencukupi kebutuhan
pangannya secara mandiri (Yudohusodo, 2002). Keputusan politik ini pasti banyak
mendapatkan tentangan, khususnya dari pihak-pihak yang mendapatkan
keuntungan besar dari penyediaan pangan melalui impor. Namun demikian untuk
kepentingan masa depan bangsa, keputusan tersebut seharusnya diambil
dengan penuh percaya diri, keberanian, dan ketegasan dari diri kita sendiri yang
diikuti dengan perencanaan yang cermat dan pelaksanaan yang konsisten untuk
waktu yang lama (Yudohusodo, 2004).
Sebagai Negara yang telah ikut menyepakati berbagai perjanjian dunia dalam
perdagangan, Indonesa tidak dapat mengisolasi diri dan harus membiarkan
Indonesia menjadi pasar bagi produk produk negara lain, termasuk produk produk
pangan. Agar dalam bekerja sama dengan negara negara lain tidak dirugikan, kita
harus mengikuti dan memanfaatkan secara cerdas kesepakatan kesepakatan
global dalam perdagangan dunia, antara lain World Trade Organization (WTO).
WTO dibentuk untuk menjamin agar perdagangan dunia dapat berjalan lancar,
terpredeksi dan bebas. Mengingat Indonesia mempunyai keunggulan di berbagai
komoditas dan potensi kita amat besar menjadi produsen pertanian tropis,
Indonesia perlu mengambil strategi jitu agar keterlibatan kita dalam perdagangan
12
dunia dapat memberikan keuntungan bagi Negara kita pada umumnya dan petani
pada khususnya (Yudohusodo, 2004).
Salah satu resiko perlindungan tanaman dari meningkatnya arus lalu lintas
bahan pangan dan pakan adalah masuk dan menyebarnya OPT dari suatu negara
ke negara lain (Heather and Hallman, 2008). Masalah tersebut perlu dipecahkan
secara international dalam rangka kerjasama biologi dan ekonomi (Triharso,
1978). Untuk mewadai kerjasama international tersebut, pada tahun 1952
dikembangkan the International Plant Protection Convention (IPPC) yang
berkedudukan di Kantor Pusat FAO, Roma. IPPC beranggotakan 177 negara,
termasuk Indonesia. Dokumen international tersebut ditulis dengan bahasa PBB
(Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol), selalu direvisi sesuai dengan tuntutan
zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan, serta dapat diikuti pada situs
http://www.ippc.int. Di bawah ini akan disitasi secara singkat beberapa pokok
ketentuan IPPC sesuai dengan naskah yang direvisi pada November 1997.
IPPC dikembangkan Negara Negara yang mempunyai kepedulian terhadap
pentingnya kerjasama international dalam mengendalikan OPT pada tanaman dan
hasil tanaman melalui pencegahan masuk dan tersebarnya OPT secara
international, khususnya ke wilayah yang masih bebas OPT tersebut. Para
pemarkasa IPPC juga memahami bahwa phytosanitary measures (teknik
fitosanitasi) harus dapat dipertanggung jawabkan secara teknis dan transparan.
Demikian pula perlu dihindari pemanfaatan teknik teknik tersebut sebagai
pembatasan perdagangan international yang sewenang wenang, diskriminatif,
maupun pelarangan yang tersembunyi.
F. Kerjasama international
Dalam ekosistem pertanian, komponen OPT yaitu hama, penyakit dan gulma
dapat saling berkaitan satu sama lain (Soerjani et al., 1979. Dominasi masing
masing komponen OPT tersebut dapat bervariasi dari waktu ke waktu dan dari
tempat ke tempat.
1) Penurunan angka hasil tanaman pokok karena persaingan unsur hara, air,
dan cahaya.
2) Peningkatan biaya pengendalian OPT
3) Penurunan kualitas hasil
4) Terhambatnya aliran air dalam saluran irigasi, saluran pembuangan dan
pipa air hidrolistrik
Sebagai bagian dari OPT, gulma berinteraksi dengan lingkungan dan komponen
OPT yang lain sehingga dapat menambah atau mengurangi persolalan
perlindungan tanaman yang dibudidayakan. Dalam interaksi yang
menguntungkan, misalnya, gulma dapat menjadi tempat berlindung dan
berkembangnya musuh alami hama (predator, parasitoid). Sebagai contoh,
rumput Cengkehan (Ludwigia hyssopifolia (G.Don) Exell) adalah tumbuhan inang bagi
Coccinella arquata yang sangat efektif sebagai pemangsa wereng batang coklat padi
(Nilaparvata lugens).
(1) Pertumbuhan vegetatifnya sangat cepat. Hal ini dapat dilihat antara lain
dari cepatnya pembentukan anakan yang cepat dan banyak
(3) Memiliki kemampuan untuk tahan hidup dan menyesuaikan diri terhadap
keadaan lingkungan yang jelek.
(4) Propagulnya dorman atau dapat menjadi dorman dalam kondisi lingkungan
yang kurang menguntungkan.
(5) Pada populasi yang rendah sudah mampu menimbulkan kerusakan yang
nyata.
R = rumputan Sm = semusim
24
Keterangan:
B.m.: Bentuk morfologi D.h.: Daur hidup
25
R = rumputan Sm = semusim
Untuk mengurangi kerugian akibat gangguan gulma dapat dilakukan pada saat sebelum
tanam (pra-tanam) atau pasca tumbuh. Pengendalian sebelum tanam dapat berupa
pengolahan tanah sempurna dengan beberapa kali ulangan, terutama untuk mematikan
biji, rimpang, umbi dan alat perbanyakan gulma yang lain. Pengendalian gulma pasca
tumbuh dapat dilakukan secara mekanis dan kimiawi, tergantung dari jenis gulma dan
sarana yang tersedia. Indonesia juga mempunyai banyak pengalaman dalam pemanfaatan
musuh alami untuk pengendalian gulma (Sosromarsono, 2006).
b. Patogen tumbuhan
Uraian lengkap tentang penyakit penyakit tanaman pangan yang meliputi sejarah dan i
penting penyakit, gejala penyakit, penyebab penyakit, faktor- faktor yang mempengaruhi
penyakit, dan cara pengendaliannya telah dikemukan oleh Semangun (1991). Penyakit
tumbuhan dapat dikelompokan dengan cara yang bermacam macam. Berdasarkan gejalanya
kita mengenal misalnya busuk akar, layu, bercak daun, karat daun, tunas bengkak, kerdil,
masaik dan sebagainya. Penyakit juga dapat dibedakan berdasarkan organ yang diserang
pathogen, sehingga kita mengnal, penyakit benih, penyakit akar, penyakit batang, penyakit
daun dan penyakit buah. Pengelompokan penyakit yang dianggap paling bermanfaat untuk
mendukung usaha pengendaliannya adalah berdasarkan jenis patogennya (Agrios, 2005).
Semua jenis penyakit tersebut sangat berpotensi sebagai kendala dalam upaya mewujudkan
negara yang berdaulat dalam bidang pangan karena penyakit tumbuhan dapat:
Mengenai nematode, masih terdapat perbedaan apakah termasuk pathogen atau hama.
Berhubung nematode termasuk binatang maka ada yang mengelompokan sebagai hama.
Kalau mendasarkan pada kejala dan patogenesisnya, nematoda cenderung dikelompokan
sebagai pathogen.
27
Phyllosticta sp.,
Cercospora sp.
29
Ubi Jalar Sweet Potato Feathery Mottle Virus (SPFMV) Potyvirus Aphis craccivora &
Myzus Persicae
Dalam catatan sejarah peradapan manusia dan kitab kitab suci, hubungan antara
serangga dengan manusia, baik sebagai lawan maupun teman, sudah dikenal jauh
sebelum lahirnya entomologi (ilmu serangga). Bangsa Mesir Kuno telah mengenal bahwa
salah satu penyebab kerusakan tanaman pertanian adalah serangga. Pada zaman
32
pemerintahan Ramses II, 1,400 tahun sebelum Maseshi, telah dilaporkan bahwa belalang
telah memporak porandakan tanaman pertanian (Adisoemarto, 2006).
Salah satu kitab suci yang mengungkapkan keterkaitan serangga dengan kehidupan
manusia adalah Kitab Injil (Matius 3:4) yang menuliskan bahwa makanan Yohanes
Pembaptis adalah berupa belalang dan madu hutan (Adisoemarto, 2006). Selanjutnya
dalam Kitab Al-Quran Tuhan mewahyukan kepada lebah untuk membuat sarang-
sarang di bukit-bukit, pohon pohon kayu dan tempat tempat buatan manusia (An Nahl :
68). Tuhan juga mengajarkan kepada manusia bahwa di dalam perut lebah terdapat
berwarna warna yang mempunyai kasiyat sebagai obat penyakit (An Nahl: 69). Ditinjau
dari ilmu perlindungan tanaman modern, keberadaan perintah perintah Tuhan terkait
serangga bermanfaat dalam kitab kitab suci, harus dimaknai sebagai pesan suci agar
manusia memanfaatkan dan turut menjaga kelestarian serangga tersebut. Oleh karena
itu semua taktik pengendalian OPT yang dapat menghancurkan atau memusnahkan
serangga tersebut, misalnya penggunaan insektisida yang berlebihan, seyogyanya
dihindarkan.
Komponen hama (pest = omo) dalam konsep PHT meliputi pathogen (jamur, bakteri, virus,
viroid, fitoplasma, tumbuhan parasit), hama dalam arti sempit (serangga, tungau, hama
vertebrata dan nematode) dan tumbuhan pengganggu (gulma). Ada tiga pendekatan pokok
dalam pengendalian hama pada tanaman pangan, yaitu mengurangi sumber inokulum dengan
memanipulasi lingkungan, memadukan berbagai taktik pengendalian yang kompatibel dalam
kesatuan rencana yang terkoordinasi dengan teknik budidaya tanaman, dan analisis biaya dan
keuntungan (Oka, 1976). Pendekatan tersebut seiring dengan model matematis dalam
pengelolaan penyakit tanaman yang diuraikan Triharso (1978), yaitu: (a) mengurangi sumber
penular mula-mula dengan jalan sanitasi, penggunaan jenis yang mempunyai ketahanan
vertikal dan eradikasi secara kimiawi; (b) mengurangi laju infeksi dengan jalan penggunaan jenis
yang mempunyai ketahanan horizontal dan pemakaian fungisida protektan; (c) mengurangi
waktu lamanya terjadi infeksi dengan menggunakan varietas yang genjah atau masak awal atau
penanaman yang lebih awal; dan (d) mengurangi sumber penular mula mula, laju infeksi dan
waktu lamanya terjadi infeksi dengan jaln menggunakan jenis yang tolerance. Apabila dalam
mengimplmentasikan salah satu usaha pengendalian bertentangan dengan perrlakuan lain yang
berguna seperti misalnya pemeliharaan tanaman, maka dengan mengingat keseluruhannya,
hendaknya dicari kompromi terbaik , agar diperoleh hasil yang paling menguntungkan.
Berbagai komponen PHT yang dapat dikombinasikan dalam menghadapi OPT dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Penggunaan Varitas Resisten
Cara ini merupakan cara yang paling murah, aman, relatif tahan lama dan mudah
dilaksanakan oleh petani. Strategi pengelolaan dan peningkatan sifat resisten dilakukan untuk
mempertahankan atau meningkatkan daya guna varitas unggul yang telah dihasilkan.
Ketahanan varitas terhadap OPT ada yang bersifat vertikal, horizontal dan toleran.
Untuk mempermudah dalam menahami sifat tesrebut, Triharso (1978) mengungkapkan
fenomena ketahanan varietas tanaman terhadap penyebab penyakit (patogen). Apabila
dilakukan sederetan inokulasi pathogen pada tanaman inang, jumlah penyakit yang
ditimbulkan sebagai hasil interaksi antara inang dan pathogen tidak menunjukan perbedaan
yang nyata , maka sifat ketahanan tanaman inang tersebut disebut horizontal, sedangkan jika
ada perbedaan yang nyata maka ketahannya disebut vertikal. Ketahanan horizontal reaksinya
tidak diferential, bekerja tidak begitu menyolok (resistensinya rendah), tahan lama (stabil), dan
dikendalikan oleh banyak gen. Ketahanan vertikal reaksinya diferential, bekerja sangat kuat,
35
tidak tahan lama, dikendalikan oleh satu gen (monogenic). Di antara dua jenis ketahanan
tersebut terdapat yang disebut toleransi, yaitu tanaman masih mampu berproduksi meskipun
tanaman tersebut sangat menderita.
Tiga strategi yang dapat dianjurkan untuk mengelola varitas dengan ketahanan
vertikal (Galun & Kush, 1980; cit. Triharso, 1993) yaitu:
a. Melepas beruntun (sequential release) varitas yang memiliki resistensi gen tunggal,
b. Membentuk system pyramid gen vertikal, bentuknya adalah menggabungkan dua atau
lebih gen vertikcal ke dalam suatu kultivar.
c. Mengembangkan varitas multilini, maksudnya membentuk suatau varitas yang terdiri
dari beberapa galur yang memiliki sifat agronomi yang sama, tetapi berbeda dalm hal
resistensinya terhadap sejumlah biotipe atau ras dari OPT penting.
Penggunaan varitas unggul secara bijaksana dan spesifik lokasi akan sangat bermanfaat
bagi pembangunan pertanian, tetapi harus dikukung dengan system perbenihan yang tangguh.
Selain ketahanan yang diatur oleh gen secara langsung, ada ketahanan yang disebut sebagai
ketahanan terimbas sebagai akibat pengaktifan potensi ketahanan genetis pada tanaman oleh
elisitor atau inducer yang berupa jasad non patogenik, pathogen, atau bahan kimia. Ketahanan
terimbas sering disebut juga acquired reristance, acquired immunity, immunization, maupun
proteksi silang (cross protection). Menurut Christanti Sumardiyono (2000), pemanfaatan
ketahanan terimbas dapat merupakan salah satu alternatif pengendalian pathogen yang
ramah lingkungan, sehingga layak dipertimbangkan untuk dimanfaatkan sebagai salah satu
komponen pengendalian hama terpadu.
2. Pola tanam
Untuk mengurangi populasi hama dan patogen dapat dilakukan tertib tanam dalam
ruang dan waktu, pergiliran tanam, dan tumpang sari. Cara tersebut dimaksudkan untuk
memotong siklus hidup dan menghambat perkembangan hama atau penyakit, karena cara ini
dapat mempertinggi keanekaragaman jenis tanaman.
Pengurangan gangguan OPT melalui pola tanam sebenarnya merupakan kearifan lokal
telah lama dipraktekan oleh petani tradisional, khususnya di Jawa. Prayitno (2009) yang
mengkaji tembang dalam Surat Chentini menemukan bahwa jauh sebelum lembaga pendidikan
pertanian formal lahir di Indonesia, di Kademangan Pengasih Kabupaten Kulon Progo, telah
terdapat praktek pertanian yang berasaskan pada prinsip prinsip agroekoteknologi yang benar.
Tembang tersebut mengungkap tata letak rumah dan pekarangan, termasuk jenis jenis
tanaman maupun jenis hewan piaraan yang seyogyanya ada dalam lingkungan pekarangan
untuk dapat memenuhi kebutuhan lahir dan bathin.
36
Selain pola tanam, nenek moyang kita telah mewariskan kearifan atau adat kebiasaan
yang tidak tertulis tentang klasifikasi tanah, seleksi benih unggul, kelestarian plasma nutfah,
mengatur lingkungan untuk menghindari OPT, memperhitungkan saat tanam, mengadakan
pengamatan selama musim tanam, keseimbangan hayati terhadap musuh alami, dan
pengelolaan alam (Triharso, 1978).
Cara ini merupakan pengendalian yang murah, mudah, terpercaya dan aman tehadap
lingkungan. Agar dapat berhasil dengan baik, cara ini perlu didukung dengan pengetahuan
bioekologi yang serba cakup dari hama, pathogen dan gulma. Cara ini meliputi tiga kategori,
yaitu:
a. Yang berhubungan dengan fenologi hama atau penyakit (watu tanam dan panen yang
tepat)
b. yang berhubungan dengan pengelolaan tanaman (pengelolaan tanah, pengairan, jarak
tanam dan pemupukan),
c. yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan tanaman atau hama (sanitasi, air
pengairan)
Cara ini meliputi berbagai teknik yang berhubungan dengan perilaku hama (lampu
perangkap atau bahan perangkap lain), teknik yang berhubungan dengan toleransi hama
terhadap lingkungan hidup (angin, temperature, kelembaban, ultrasonic) dan teknik secara
mekanik (gropyokan, pembakaran dan perendaman).
37
Terkait dengan teknik ini, petani juga sudah mempraktekan kearifan lokal yang menurut
penururan mereka sangat berhasil. Hadisutrisno (1999) mengemukakan bahwa transmigran
asal Boyolali di Kecamatan Manggala, Lampung Utara, mempunyai kebiasaan yang unik dalam
menghalau hama burung pada padi secara efektif dan efisien. Mereka menghalau burung di
sawah dengan memasang tiruan kepala burung yang terbuat dari potongan kain plastik dengan
warna dasar kuning pada kepala burung, sedangkan matanya berwarna coklat kemerahan.
Hal yang serupa dilakukan oleh penduduk Jepang yang tinggal di apartemen dalam menghalau
datangnya burung merpati yang mengotori beranda. Mereka memasang tiriun bola mata
burung pemangsa yang sudah tersedia secara komersial, berupa bola berwarna kuning dengan
gambaran lingkaran yang berwarana hitam.
Sebagian petani di Jawa telah lama menghindari kerusakan benih dengan cara
menggangtukan benih benih tanaman (misalnya bawang merah) di atas paga paga di dapur.
Dengan cara ini petani dapat menghindarkan penyakit kropos pada benih bawang merah dan
bawang putih yang sering terjadi di simpanan, tanpa harus menggunakan pestisida.
Penerapan rangsangan bahan kimia sebagai metode pengendalian hama merupakan hal
yang relative baru, tetapi potensinya sebagai alternative yang aman sangat besar. Sebagai
contoh bahan tersebut adalah, feromon yang memberikan reaksi spesifik. Karena sifatnya yang
spesifik, penggunaan feromon merupakan salah satu metode alternative yang kini banyak
dikembangkan. Pada dasarnya feromon dapat diterapkan untuk: (a) survey hama sebagai dasar
tindakan pengendalian; (b) mengendalikan hama dengan mengkombinasikan dengan senyawa
lain seperti insektisida atau kemosterilan, (c) mengendalikan hama dengan cara memberikan
feromon sampai jenuh sehingga srangga hama kehilangan orientasi dan tidak mampu
berkopulasi.
Karena perbedaan dalam latar belakangnya, para pakar memberikan arti pengendalian
hayati dengan maksud yang agak sedikit berbeda beda. Dalam pandangan Mangoendihardjo
(1995) pengendalian hayati adalah penggunaan agens hayati atau musuh alami dan pesaing
untuk pengendalian organism pengganggu tanaman (OPT). Dalam pengertian sempit
pengendalian hayati didefinisikan sebagai penggunaan musuh alami hama
(parasitoid/predator/pathogen) untuk menekan populasi hama sampai suatu tingkat yang
secara ekonomi tidak merugikan (Mahrub, 2002). DeBach (1964 cit. Sosromarsono, 2006)
memberikan batasan pengendalian hayati sebagai berikut: tindakan parasitoid, predator dan
patogen dalam memelihara kerapatan organisme lain pada rerata yang lebih rendah dari pada
38
kerapatan bila tindakan musuh alami tidak ada. Pendapat lain memahami pengendalian hayati
dalam arti yang lebih luas, yaitu mencakup faktor faktor lain misalnya penggunaan tanaman
tahan OPT, teknik pemandulan diri (auto sterillity), dan manipulasi genetik spesies (Bosch dan
Messenger, 1973 cit. Sosromarsono, 2006). Adapun yang termasuk dalam kategori agens
hayati atau musuh alami adalah burung pemangsa ulat, burung pemangsa tikus, ular pemangsa
tikus, ikan pemangsa gulma air, serangga pemakan gulma, parasitoid dan pathogen serangga
hama dan pesaing penyebab penyakit. Keuntungan pengendalian hayati adalah relative stabil,
ekonomis, aman, dapat berlangsung secara mandiri secara terus menerus (Triharso, 1993).
Pengendalian hayati sudah lama dipraktekan di bidang pertanian. Di Cina
pengendalian OPT dengan menggunakan musih alami sudah dimulai sejak tahun 1200 dan
mengalami puncak kegiatannya pada sekitar dua decade terakhir abad ke-19
(Mangoendihardjo, 1995). Di California pada tahun 1888/1889, introduksi predator Rodolia
cardinalis (Mulsant) telah berhasil untuk mengendalikan kutu Kerya purchase Maskel (
Greathead, 1992 cit. Mahrub, 2002). Indonesia juga sudah lama memanfaatkan pengendalian
hayati OPT di sektor pertanian. Pada masa pra-kemerdekaan pemerintah kolonial Belanda
sudah mempunyai perhatian yang besar terhadap pemanfaatan musuh alami pada pertanian.
Dilaporkan bahwa pada 1915 an Belanda telah berhasil memanfaatkan parasitoid untuk
berbagai hama kelapa seperti Brontispa longisima di Sulawesi Selatan, Aspidiotus destructor
dan Sexava nubila di Sulawesi Utara,
Menandai peringatan 60 tahun Indonesia merdeka, Sosromarsono (2006) telah
merekam secara secara tuntas sumbangan nyata para ilmuwan Indonesia, khususnya di bidang
entomologi terapan, dalam mengisi kemerdekaan melalui pengembangan pengendalian hayati.
Mereka termasuk sebagian ilmuwan Indonesia yang telah menumpahkan jiwa raga mereka
untuk bekerja dalam bidang ilmu, lingkungan tempat mereka bekerja kurang menguntungkan
(Sastrapraja dan Rifai, 2006). Salah satu catatan penting yang dikemukaan oleh Sosromarsono
(2006) yaitu bahwa dua darsa warsa sebelum konsep pengendalian hama terpadu (PHT)
dilahirkan oleh Stern et al. pada tahun 1930an, pengendalian ulat daun kelapa di Jawa Tengah
pada tahun 1930an telah dilakukan dengan pendekatan dan prinsip prinsip tindakan yang
sekarang disebut sebagai PHT. Untuk menyusun strategi pengendalian dimulai dengan
penelitian ekobiologi dan teknik yang efektif untuk mengendalikan hama kelapa tersebut. Dari
hasil penelitian diketahui bahwa instar instar ulat Artona ternyata diserang oleh parasitoid,
yang dalam keadaan normal dapat menekan populasi Artona sehingga tidak merusak, dan tidak
perlu dilakukan pengendalian. Pada saat itu ditentukan tahap pertama ambang pengendalian,
yaitu rerata lima stadia hidup hama pada dua daun (pelepah) tua. Selanjutnya didasarkan atas
pengetahuan pengaruh parasitasi oleh parasitoid serta persentase parasitasi total semua stadia
Artona. Apabila rerata lima stadia hidup ditemukan pada dua daun tua, tetapi 80% dari stadia
itu diserang oleh parasitoid, maka tidak dilakukan tindakan pengendalian. Sebaliknya jika
tingkat parasitasi pada lima stadia hama tersebut oleh parasitoid kurang dari 80%, maka
39
dilakukan pengendalian dengan memadukan cara pengendalian hayati, mekanis dan kimiawi.
Pengalaman yang sama ternyata juga telah dilakukan oleh Perkebunan Tebu di Jawa Timur
dalam mengendalikan kutu daun lilin tebu (Ceratovacuna lanigera) yang dimotori oleh Stasiun
Penelitian Gula Pasuruan. Pada saat yang hamper bersamaan Pemerintah Kolonial Belanda
juga sangat intensif melakukan penelitian dan memanfaatkan agens hayati untuk mengendalian
berbagai OPT penting pada tanaman tembakau di Sumatera Utara dan lamtoro di Jawa Tengah.
Selain untuk mngendalikan hama serangga, pada saat itu juga telah agens hayati yang sangat
efektif untuk mengendalikan gulma.
Meskipun pada awal masa kemerdekaan Indonesia kekurangan sumber daya manusia
(SDM) dalam bidang pengendalian hayati, saat ini perkembangan pengendalian hayati di
Indonesia sangat menggembirakan. Saat ini telah tersedia berbagai agens hayati baik untuk
pengendalian OPT kelompok hama, penyebab penyakit (pathogen), dan gulma.
Mangoendihardjo (1995) bermimpi bahwa agens hayati akan menjadi komponen utama PHT
Indonesia masa depan. Mimpi tersebut hanya dapat terwujud apabila kita berhasil
mengembangkan SDM yang handal, mendapatkan dukungan dana yang cukup,
mengembangkan kelembagaan yang sinergis, dan membangun komunikasi yang efektif.
Tidak dapat dibantah lagi bahwa preranan pestisida di sektor pertanian sangat penting
dan hampir tidak mungkin dipisahkan dengan kehidupan manusia pada umumnya (Supratoyo,
1977). Bahkan di negara negara yang sudah maju, teknologi pertanian mutakhir telah
menjadikan pestisida sebagai bagian integral dalam usaha menaikkan dan mempetahankan
produksi pertanian yang tinggi, serta menolong jiwa manusia (Semangun, 1975). Kiranya terlalu
panjang jika harus dipaparkan semua peristiwa penting di Indonesia yang penanggulannya
dilakukan terutama dengan pestisida. Sekedar sebagai gambaran, akan diberikan beberapa
contoh:
40
a. Ledakan hama Sexava pada pertanaman kelapa di daerah Indonesia bagian timur
(Kepulauan Sangir Talaud) pada tahun 1960an dapat dikendalikan dengan
penyemprotan Diazinon 100 EC melalui penyemprotan udara.
b. Hama wereng Coklat yang berkecamuk hampir di seluruh daerah pertanaman padi
pada tahun 1974-1976 dapat diatasi dengan baik dengan memadukan penanaman
varitas unggul tahan wereng (VUTW) dan penggunaan berbagai insektisida.
c. Di sektor kesehatan, insektisida antara lain DDT, BHC, Aldrin, Dieldrin, telah berjasa
untuk mengendalikan nyamuk, penular penyakit malaria dan demam berdarah.
Karena hasilnya yang cepat dirasakan, sedangkan dampak negatif penggunaan pestisida
umumnya tidak langsung kelihatan, maka penggunaan pestisida bertambah dengan pesat.
Meningkatnya penggunaan pestisida di sektor pertanian juga tidak lepas dari peran konsumen
yang selalu menghendaki produk pertanian yang secara absolute bebas dari serangan OPT.
Dapat dipahami bahwa pestiida pernah dianggap sebagai dewa penyelamat yang menjamin
terbebasnya komoditas pertanian dari gangguan OPT (Oka, 1995).
Pestisida bukanlah racun yang tanpa pengaruh negatif. Selain mempunyai dampak
ekobiologi, penggunaan pestisida juga sering menimbulkan masalah sosioekonomi. Sejak
terbitnya buku Silent Spring yang ditulis oleh Carson pada tahun 1962, kesadaran untuk
meneliti dan mempublikasikan dampak negatif dari penggunaan pestisida yang tidak bijaksana,
meningkat dengan tajam (Oka, 1995). Dampak negatif tersebut antara lain:
a. Penggunaan salah satu jenis pestisida untuk mengendalikan salah satu jenis OPT,
dapat menggalakan serangan penganggu yang lain. Antara lain terdapat tanda tanda
bahwa pemakaian fungisa tembaga untuk mengendalikan penyakit cacar teh, dapat
memicu berkembangnya tungau. Pemakaian herbisida untuk mengendalikan gulma
pada teh, ternyata menggalakkan perkembangan bermacam macam ulat dan
Helopeltis. Di luar negeri telah dibuktikan bahwa pemakaian herbisida 2,4-D untuk
membrantas gulma menyebabkan tanaman pokoknya menjadi lebih peka terhadap
bermacam macam serangga, jamur pathogen dan virus (Semangun, 1975).
b. Hama sasaran berkembang menjadi lebih kebal terhadap pestisida (Edwards, 1993
cit. Oka, 1995). Ditinjau dari segi mekanismenya, ketahanan terhadap pestisida dapat
bersifat morfologi, biokimia dan watak (Supratoyo, 1977)
c. Hama tertentu, misalnya hama wereng, menjadi lebih banyak (Laba dan Soejitno,
1987 cit. Oka, 1995).
d. Musuh musuh alami (predator, parasitoid) dan makluk makluk bukan sasaran (belut,
katak, kadal, lebah madu, serangga penyerbuk, cacing tanah, ikan, insekta air, jamur
mikoriza, bakteri penambat nitrogen) ikut terbunuh.
e. Pestisida meninggalkan residu dalam tanaman dan hasil tanaman.
41
Dua gatra penting yang berhubungan dengan masalah pencemaran lingkungan oleh
pestisida adalah pengaruhnya terhadap manusia dan binatang piaraan, yang dapat tercemar
melalui makanan, dan terhadap organism bukan sasaaran yang dapat terpengaruh oleh
akumulasi pestisida melalui rantai makanan. Hewan vertebrata bukan sasaran tidak lepas dari
pengaruh pencemaran pestisida. Di Inggris, misalnya, berbagai burung pernah dilaporkan
mengandung residu pestisida yang cukup tinggi, bahkan sampai pada tingkat mematikan.
Demikian pula di dalam hati sejumlah kelelawar ditemukan DDE (10.68 ppm), DDT (4,62 ppm,
dan Dieldrin (0,29 ppm). Sejak tahun 1970an di banyak bagian dunia, keracunan pestisida telah
mengakibatkan burung burung, terutama yang hidup di tepi pantai, bertelur dengan kulit tipis
atau tanpa kulit sama sekali, sehingga meupakan penyebab utama penurunan populasi
beberapa jenis burung tersebut (Kadarsan, 1976).
Akibat adanya DDT dan senyawa hasil uraiannya dalam ekosistem perairan
menyebabkan kematian amfibia pradewasa, dan dewasa, serta menimbulkan perubahan dari
kelakuan dan kelainan morfologi, seperti terjadinya ekor dan moncong yang tidak normal
(Kadarsan, 1976).
harmonious pest control, total pest control, ecological pest control, total population
approach, holistic approach, maupun environmental pest control. Dewasa ini di Indonesia
dikenal sebagai Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Sifatnya dinamik dan regional, sebab yang
dihadapi adalah proses yang selalu berubah dari system interaksi yang kompleks antara hama,
lingkungan, keadaan social, dan ekonomi (Oka, 1976).
Beberapa pakar, seperti Peter Kenmore (1993, cit. White et al., 1996), berusaha
menghindari istilah teknologi sehingga memberikan pengertian sebagai berikut: PHT bukan
merupakan teknologi. PHT merupakan proses pemecahan masalah hama, yang dilakukan oleh
petani berdasarkan pengalaman, hasil belajar, dan hasil penelitian sendiri. Dalam pemecahan
masalah tersebut petani sangat memperhatikan pengaruh pestisida terhadap kesehatan
manusia dan lingkungan, keberlanjutan ekosistem pertanian, analisis ekonomi.
Lima sifat penting yang membedakan PHT dengan cara pengendalian OPT yang
menggunakan pendekatan ad-hoc, misalnya hanya dengan menggunakan pestisida saja, yaitu:
a. Pengendalian hama terpadu (PHT) berorientasi untuk seluruh populasi hama, atau
sebagian besar dari padanya;
b. bertujuan untuk mengurangi ambang rata-rata dari banyaknya hama, sehingga
frekwensi dari fluktuasinya, baik dalm ruang (tempat) maupun waktu, selalu di
bawah ambang ekonomi;
c. sesedikit mungkin memakai cara pembrantasan buatan (artificial control) dan
memakai) cara ini hanya sebagai siuplemen dari pada pengaruh unsure unsure
pemberantasan alamiah. Usaha ini memntingkan penekanan hama oleh factor
factor alam, yang dapat diharapkan akan mempunyai prengaruh yang lebih panjang.
Pestisida hanya digunakan sebagai alternative terakir, bila cara cara yang lain sudah
terbukti tidak efektif;
d. mempunyai manfaat jangka panjang dan luas, dan bukan hanya sekedar usaha
sementara atau setempat;
e. dalam falsafahnya, PHT bertujuan untuk mengendalikan populasi hama dan bukan
bertujuan untuk mendapatkan suatu keadaan yang bebas hama (pest free) (Rabb
and Guthrie, 1970 cit. Semangun, 1975)
Selain harus harus memperhatikan hasil analisis ekologis dan tokskologi, pengambilan
keputusan dalam PHT juga harus memperhatikan hasil analisis ekonomi. Analisis ekonomi
terutama diperlukan untuk menentukan dan seterusnya menggunakan ambang ekonomi untuk
menentukan tindakan pengendalian, menafsir faktor faktor yang mempengaruhi pengambilan
keputusan dalam pengelolaan hama, serta menilai keberhasilan suatu cara pengendalian yang
diterapkan (Carlson, 1971).
43
Ambang ekonomi merupakan salah alat penting untuk menentukan perlu tidaknya
suatu tindakan pengendalian dilakukan. Konsep dasar ambang ekonomi sudah diterima oleh
semua pihak, namun penerapannya di lapangan masih menghadapi banyak kesulitan (Untung,
1979). Untuk menilai keberhasilan suatu pengendalian cara yang lazim dilakukan adalah
dengan menghitung nisbah manfaat-korbanan (benefif-cost ratio) (Ordish dan Dufour, 1969).
Agar PHT dapat dilaksanakan dengan baik, pelaku usaha tani (petani) seharusnya
mampu secara mandiri melakukan langkah langkah berikut: (1) Analisis masalah dengan tepat,
(2) Pemilihan cara pengendalian disertai analisis dampaknya terhadap lingkungan, (3)
Pelaksanaan pengendalian disertai penilaian yang mungkin berupa umpan balik terhadap
langkah pertama, dan (4) program pengendalian jangka panjang (Soerjani et al., 1979).
ANALISIS MASALAH
PEMILIHAN CARA
PENGENDALIAN
PELAKSANAAN
PENGENDALIAN DAN
EVALUASI
PROGRAM PENGELOLAAN
JANGKA PANJANG
Gambar1. Keempat langkah yang ditempuh dalam pengelolaan hama (Soerjani et. al., 1979)
Langkah berikutnya
Umpan balik
44
Jika upaya yang dilakukan Stern et al. (1959, cit. Oka, 1995) untuk mengurangi peran
pestisida dalam pengelolaan OPT dapat dipandang sebagai tonggak sejarah awal kelahiran PHT,
maka sebenarnya pendekatan yang ideal ini sudah berumur lebih dari 50 tahun. Berbagai
negara optimis bahwa implementasi PHT dapat menurunkan jumlah penggunaan pestisida dan
seluruh dampak negatifnya. Indonesia juga telah menerima PHT sebagai kebijakan yang harus
dilakukan dalam perlindungan tanaman. Komitmen Pemerintah Indonesia dalam menerapkan
PHT antara lain dapat dibuktikan dengan dibentuknya Program Nasional PHT. Pemerintah juga
telah meletakkan landasan hukum yang kuat bagi implementasi PHT sebagaimana diatur dalam
Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992
Tentang Sistem Budidaya Tanaman.
Salah satu program penting dari Program Nasional PHT adalah mengembangkan
Sumber Daya Manusia melalui Sekolah Lapangan PHT (SLPHT). Melalui SLPHT petani dilatih
secara intensif dengan pendekatan partisipatif untuk menjadi pelaku PHT yang handal dan
menjadi manager di lahannya sendiri (Oka, 1995). Dalam SLPHT pendidikan dirancang khusus
untuk orang dewasa, dalam arti mereka didorong untuk terlibat secara aktif dalam proses
belajar-mengajar, mencari-menemukan masalah, meneliti-diskusi tentang persoalan yang
dihadapi. Setelah mengikuti SLPHT diharapkan petani mampu melakukan penalaran yang lebih
terarah dengan kesimpulan atau keputusan yang rasional dalam mengatasi hama tanaman
mereka. Cara ini tidak hanya menjadikan petani trampil melakukan suatu teknologi, tetapi juga
memiliki pengertian mengapa teknologi tersebut dilakukan.
Hasil evaluasi awal mengenai pelaksanaan SLPHT di Indonesia menujukkan hasil yang
cukup membanggakan. Program SLHPT telah menghasilkan lebih dari satu juta alumni yang
siap mengamankan produksi (khususnya pangan dan hortikultura) dengan cara cara yang tidak
merusak lingkungan, khususnya dengan cara mengurangi penggunaan pestisida. Sebagai
contoh, petani yang secara konsisten mengimplementasikan PHT mereka dapat mengatasi
Wereng Coklat tanpa menggunakan pestisida, setelah mereka menerapkan pola dan pergiliran
tanaman yang benar, penanaman varietas tahan, dan pemanfaatan musuh alami. Keberhasilan
SLPHT juga telah dikenal di dunia internasional, sehingga konsep dan implementasi SLHPT di
Indonesia telah banyak menjadi acuan dalam mengatasi OPT di berbagai Negara, antara lain
Thailand, Vietnam, Bangladesh, Sri Lanka, Filipina, Malaysia dan Korea Utara (Oka, 1995).
Meskipun penerapan PHT telah diakui sukses untuk mengatasi masalah OPT pada
berbagai komoditas di berbagai Negara, namun masih terdapat peluang untuk lebih
menyempurnakan konsep tersebut. Salah satu penyempurnaannya adalah dengan apa yang
disebut sebagai areawide pest management (AWPM). Definisi AWPM adalah pengurangan
secara sistematis hama sasaran, untuk mencapai tingkat populasi yang rendah dengan cara
penerapan taktik mitigasi secara seragam dalam suatu wilayah geografi yang berbasis kriteria
biologi (Faust, 2008). Secara filosofis, tidak ada perbedaan yang mendasar antara PHT dengan
AWPM, sedikit perbedaan terutama hanya dalam skala wilayah jangkauan dan
45
pelembagaannya. Selama ini PHT banyak dilakukan oleh individu dan terbatas dalam lingkungan
usaha taninya, AWPM lebih menekankan perlunya pengendalian dalam areal yang sangat luas
dengan tanggung jawab bersama. Agar dapat memberikan hasil yang memuaskan AWPM harus
dilakukan : (1) pada wilayah geografis yang luas; (2) harus dikoordinasi oleh organisasi
produsen; (3) seyogyanya memasukan taktik eradikasi, dan jika memungkinkan diupayakan
untuk mencapai polulasi hama pada aras yang tidak merugikan; dan (4) seyogyanya ada taktik
pengendalian yang melibatkan otoritas, sebab dari pengalaman taktik pengendalian yang
sifatnya sukarela kurang dapat mencapai tujuan dengan baik.
Salah satu indikator penting keberhasilan implementasi PHT adalah apabila jumlah
penggunaan pestisida yang digunakan di sektor pertanian dapat dikurangi secara nyata. Orasi
Ilmiah yang disampaikan oleh Trisyono (2006) menunjukkan bahwa prestasi Indonesia dalam
bidang ini, masih belum menggembirakan. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Untung
(2004) bahwa tidak ada korelasi yang positif antara program SLPHT dengan menurunnya
penggunaan pestisida secara nasional. Belum dapat diturunkannya penngunaan pestisida di
Indonesia antara lain belum tersediannya alternative pengendalian non pestisida yang lebih
efektif, masih kurang sinerginya antara kebijakan pendaftaran pestisida dengan PHT, dan masih
lemahnya managemen pestisida (Trisyono, 2006). Belum adanya insentif terhadap petani yang
mengimplentasikan PHT secara konsisten, juga merupakan salah satu factor pendorong petani
untuk tetap menggunakan pestisida dalam jumlah yang banyak. Trisyono (2006) juga
memprihatinkan adanya fenomena terus meningkatnya jumlah pestisida yang mendapat ijin
untuk diperdagangkan di Indonesia, sedangkan di berbagai negara maju jumlah tersebut
berhasil dikurangi secara nyata.
berbagai daerah. Hal ini sangat wajar karena masing masing daerah memang berbeda dalam
hal potensinya di bidang pertanian. Selanjutnya masing masing Kepala Daerah juga mempunyai
perbedaan pandangan mengenai pentingnya sector pertanian di wilayahnya. Karena
pendekatan dalam PHT adalah lintas sektoral, maka agar di era desentralisasi ini PHT tetap
berkembang di daerah, diperlukan koordinasi yang efektif dan komitmen pimpinan dareah yang
kuat.
Di aras pusat, dalam hal ini Kementrian Pertanian, juga telah terjadi perubahan yang
mendasar dalam memposisikan PHT. Meskipun PHT tetap diterima sebagai konsep yang paling
tepat untuk dikembangkan dan diterapkan, tampaknya ada perbedaan strategi dalam
kebijakan dasar dalam memposisikan PHT di era orde baru dan di era reformasi. Dalam hal
usaha pelembagaan PHT di tingkat petani misalnya, dulu PHT didukung dengan program
nasional Sekolah Lapangan Pengelolaan Hama Terpadu (SLPHT), sehingga dalam waktu yang
relative cepat dapat dihasilkan petani pejuang PHT yang cukup banyak. Dewasa ini
pelembagaan PHT diintegrasikan ke dalam program Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SLPTT) yang diyakini merupakan pendekatan terbaik dalam peningkatan produksi
pertanian di era reformasi. Memang belum ada evaluasi secara sistematis pengaruh
diintegrasikannya SLPHT ke dalam SLPTT terhadap kualitas penerapan PHT di lapangan, namun
terhadap indikasi bahwa di beberapa daerah PHT mengalami mati suri yang ditandai dengan
bangkitnya kembali pola berfikir lama dan konvesional bahwa pestisida adalah dewa
penyelamat yang dapat menjamin keberhasilan produksi pertanian.
Menurut Untung (2004) hambatan penting lain dalam pengembangan PHT adalah
kurangnya hasil penelitian baik dari Perguruan Tinggi maupun Lembaga Penelitian yang dapat
mendukung pelaksanaan PHT di lapangan. Tidak sedikit para peneliti yang memberikan
rekomendasi pengendalian dengan hasil hasil penelitian yang sudah usang, sehingga kurang
efektif dan efisien untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh petani di lapangan.
Mengenai masalah penelitian di bidang perlindungan tanaman, tidak lepas dari
permasalahan penelitian di Perguruan Tinggi Indonesia pada umumnya sebagaimana telah
disampaikan oleh Koeswara (2002, cit. Koeswara, 2006) antara lain:
a. Adanya kesenjangan kapasitas kemampuan baik antar perguruan tinggi maupun
antar disiplin ilmu.
b. Rendahnya budaya meneliti di antara tenaga akademik. Di banyak perguruan tinggi
orientasi pengajaran dan pendidikan masih lebih dominan dari pada penelitian.
Kegiatan penelitian lebih didorong oleh keinginan untuk menambah penghasilan dan
mendapatkan kredit untuk kenaikan pangkat dari pada untuk mendapatkan
pengetahuan baru dan peningkatan proses pembelajaran.
c. Keterbatasan dana penlitian
d. Belum tersedianya payung penelitian. Para peneliti umumnya masih melakukan
penelitian sendiri sendiri atau dalam kelompok kecil tanpa ada program institusi
47
Kendala lain yang dihadapi dalam pengembangan PHT adalah lemahnya komunikasi oleh
para peneliti PHT di forum ilmiah maupun media popular ang penting bagi petani. Untuk
memperbaiki kemampunan kita menulis di jurnal ilmiah maupun tulisan popular, diperlukan
kerja keras. Hal disebabkan karena budaya kita adalah budaya verbal, sehingga umumnya para
ilmuwan, termasuk ahli ahli PHT, mengalami kesulitan dalam penulisan naskah.
Sebagai salah satu barometer kualitas komunikasi ilmiah para peneliti adalah
kehadiran jurnal terakreditasi di negeri kita. Apabila kita cermati Direktori Berkala Ilmiah
Terakreditasi (Anonim, 2011), memang kondisi komunikasi ilmiah di bidang perlindungan
tanaman sangat memprihatinkan dan ini merupakan tragedi akademik yang harus segera
diatasi. Bayangkan Indonesia dengan permasalahan perlindungan tanaman yang sangat
banyak, memiliki puluhan bahkan mungkin ratusan Guru Besar dan ratusan mungkin ribuan
peneliti dalam bidang perlindungan tanaman, hanya mampu mempersembahkan kepada
bangsa satu jurnal ilmiah yang terakreditasi.
Di hadapan perubahan perubahan global yang sangat dahsyat dan dalam situasi
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat, rendahnya kualitas dan kuantitas
publikasi di bidang perlindungan tanaman, menimbulkan pertanyaan mendasar yang harus
dijawab dengan pikiran jernih. Pertama, apakah memang mutu penelitian kita masih sangat
mempihatinkan sehingga hasilnya tidak layak untuk diterbitkan dalam jurnal yang
terakreditasi?. Kedua, apakah para ilmuwan kita tidak merasa perlu untuk menerbitkan karya
ilmiahnya dalam jurnal terakreditasi?. Ketiga, apakah para ilmuwan lebih senang menerbitkan
karya ilmiahnya pada jurnal yang sudah mapan, misalnya jurnal international, dari pada repot
repot membina jurnal dalam negeri?.
48
Teknologi pemanfaatan jasad hidup secara konvensional sebenarnya telah lama dikenal
antara lain teknologi pembuatan minuman beralkohol, pembuatan tempe, kecap, antibiotic
(Hartiko, 1995) dan pengendalian hayati OPT (Mahrub, 2002). Bioteknologi modern
menawarkan secara revolusioner untuk mengurangi kendala kendala yang dihadapi oleh
biteknologi konvensiolan, antara lain dalam hal efisiensi dan efektifitasnya.
Karena sifatnya yang multidisiplioner, terdapat variasi mengenai batasan bioteknologi. Salah
satu batasan bioteknologi yang banyak diikuti di lingkungan masyarakat perlindungan tanaman
adalah pemakaian tekniknologi biologi untuk mengembangkan proses dan produk dengan
cara mempelajari organism atau bagian bagiannnya (Hedin et al., 1988). Agrios (2005)
menggunakan istilah bioteknolgi sebagai pemanfaatan organism yang secara genetis
dimodifikasai dan atau pemanfaatan teknik dan proses dalam system biologi untuk produksi
dalam industri. Para pakar perlindungan tanaman juga ada yang condong memanfaat definisi
49
bioteknologi yang lebih spesifik untuk tanaman (plant biotechnology) yaitu penggunaan teknik
kultur jaringan dan teknik rekayasa genetic untuk menghasilkan tanaman yang menunjukkan
sifat sifat baru atau memperbaiki sifat sifat yang baik yang sebelumnya sudah ada. Di antaran
sifat sifat baik tersebut adalah daya hasil yang lebih tinggi, kualitas produk yang lebih baik, lebih
tahan terhadap cekaman baik oleh OPT maupun faktor lingkungan. Bioteknologi tanaman juga
memungkinkan diproduksinya protein protein yang bermanfaat yang selama ini disandi oleh
gen pada mikfrobia, hewan dan manusia. Jadi tujuan luasnya adalah peningkatan kuantitas dan
kualitas hasil tanaman dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan terkait dengan
budidaya tanaman tersebut.
Terlepas dari masih adanya pro dan kontra di antara para pakar mengenai perlu tidaknya
memanfaatkan pendekatan bioteknologi dalam menyelesaikan masalah masalah perlindungan
tanaman, kita tidak dapat menutup mata mengenai adanya sumbangan yang sangat nyata oleh
bioteknologi dalam menyelesaikan berbagai persoalan, termasuk dalam pengembangan
perlindungan tanaman yang handal.
a. Pertimbangan Lingkungan hayati. Dalam banyak hal, bahaya hasil rekayasa genetik
(Genetically Modified Organisms = GMO) terlalu di besar besarkan dengan cara kurang
mengedepankan hasil kajian akademis yang sesunguhnya. Untuk Indonesia, potensi
bahaya memang dapat diperbesar sebagai akibat kurangnya tanggung jawab pengelola
hasil rekayasa genetik dan kurangnya fasilitas laboratorium yang handal. Berbagai
bahaya yang mungkin timbul adalah:
1. Terlepasnya organism hasil rekayasa genetik (GMO) ke alam bebas
2. Kurangnya fasilitas pengamanan di laboratorium terhadap gangguan alam atau
terhadap teroris/pencuri sehingga GMO dapat jatuh ke tangan yang orang yang
tidak bertanggung jawab.
3. Penerapan GMO mempunyai kemungkinan besar berakibat terjadinya erosi
genetik karena menterlantarkan tanaman lokal yang di masa depan penting
sebagai sumber gen.
50
Meskipun dalam pengembangan bioteknologi masih mengalami kendala, saat ini berbagai
kemungkinan terbuka lebar untuk menggunakan pendekatan bioteknologi dalam
memecahkan masalah perlindungan tanaman, di antaranya:
51
Untuk memperoleh hasil yang sebaik baiknya dalam penerapan bioteknologi di bidang
perlindungan tanaman, sangat diperlukan penetapan prioritas kegiatan dan sinergi antara
lembaga lembaga pemangku kepentingan. Harus disadari pula bahwa bioteknologi telah
memberikan terobosan terobosan dalam pemecahan masalah diberbagai aspek kehidupan,
khususnya bidang kesehatan dan industri. Bioteknologi juga memberikan peluang untuk
pemecahan masalah masalah perlindungan tanaman di Indonesia, tetapi bioteknologi
bukanlah raja yang dapat menyelesaikan semua masalah. Bioteknologi adalah alat yang
tidak terlepas dari sisi manfaat dan sisi yang merugikan. Oleh kanena itu dalam
pemanfaatan bioteknologi dalam pelindungan tanaman, lebih lebih untuk hal hal yang
menyangkut petani gurem, prinsip kehati hatian tetap harus dikedepankan.
VIII. PENUTUP
Sebagai Negara yang dikaruniai dengan sumber daya alam yang melimpah dan
memerlukan bahan pangan dan pakan yang sangat besar, upaya mewujudkan kedaulatan
pangan bukanlah suatu mimpi yang kosong, melainkan merupakan usaha yang rasional
dilihat dari kepentingan masyarakat banyak. Berhubung terletak di daerah tropika,
Indonesia mempunyai lingkungan yang selain sangat cocok untuk tumbuhnya berbagai
komoditas pangan, juga merupakan surga bagi tumbuh dan perkembangan OPT. Oleh
karena itu, kedaulatan pangan hanya mungkin dicapai apabila dikawal dengan sistem
perlindungan tanaman yang handal. Dalam hal penyakit tumbuhan, misalnya, kita
mempunyai pathogen tropika, tumbuhan pangan tropika, vektor tropika, dan memerlukan
52
taktik pengendalian yang cocok untuk tropika (Semangun, 1973). Untuk itu kita memerlukan
pendidikan dan penelitian khusus yang hanya dapat dilakukan di Negara Negara tropika.
Agar system perlidungan tanaman yang tangguh dapat terwujud, mutlak diperlukan
adanya Sumber Daya Manusia yang tangguh. Dewasa ini masih banyak persoalan
persoalan perlindungan tanaman di Indonesai yang belum terselesaikan, mulai dari
persoalan yang sangat dasar, sampai pada persoalanan praktek di lapangan. Persoalan lain
yang masih memprihatinkan adalah masih rendahnya kemampuan sarjana bidang
perlindungan tanaman untuk ikut dalam berkiprah dalam percaturan pangan di tingkat
global karena rendahnya penguasaan rambu rambu perdagangan internasional dan kurang
mempunyai bernegosiasi secara internatsional. Sehubungan dengan hal tersebut,
peningkatan kualitas sarjana perlindungan tanaman mutlak diperlukan.
Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Arif Wibowo,M.Agr.Sc; Dr. Tri Joko, M.Sc;
Dr. Sedyo Hartono, M.P.; Ir. Tri Harjoko, M.P. dan Prof (ret). Dr. Ir. A. Toekidjan Soejono yang
telah membantu menyiapkan bahan artikel ini. Editing artikel ini dibantu oleh Rahma Ayu
Priani, S.P., untuk itu diucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Adisoemarno, S. 2006. Perkembangan Entomologi Di Indonesia Sesudah Perang Dunia II. Dalam
: Soemodihardjo, S. dan Setijati S. Sastrapradja (penyunting), Enam Dasa Warsa Ilmu
dan Ilmuwan di Indonesia. Naturindo, Bogor, 85-105.
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. Fifth Edition. Elsevier Academic Press. USA.
Agus, A. 2011. Kemandirian dan Keamanan Pakan, Tantangan Masa Depan Pembangunan
Peternakan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Peternakan UGM, 16
Maret 2011. 25 hal.
Agus, A. and Nuryono, 2007. Mycotoxins in Indonesia Feedstuffs. Biotracer General Meeting,
Athens, Greece, 14 16 Nov. 2007.
Anonim. 2006. Sumber Daya Alam Untuk Pembangunan Nasional. Hasil Rumusan Pertemuan
Penulis buku Six Dcades of Science and Scientists in Indonesia. Naturae Indonesiana,
Bogor. 9 p.
Anonim. 1988. Kesimpulan dan Rekomendasi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi IV. LIPI,
PERSAGI, PERGIZI-PANGAN. Jakarta 1-3 Juni 1988. 16 hal.
Anonim, 1992. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem
Budidaya Tanaman. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Dirjen Perkebunan, Deptan,
Jakrta. 112 p.
53
Maarif, A. S. 2004. Indonesia Baru di Tengah Pertarungan antara Mosaik Budaya yang Elok Kaya
dengan Ancaman Keserakahan. Pidato Penerimaan Anugerah Hamengku Buwono IX.
UGM. 14 p.
Mahrub, E. 2002. Potensi Pengendalian Hayati dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian, UGM. Yogyakarta. 27
p.
Mangoendihardjo, S. 1995. Pengendalian Hayati Komponen Utama Pengelolaan Jasad
Pengganggu. Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM. Yogyakarta
Oka, I.N. 1976. Ekologi Pengelolaan Hama Penyakit Tanaman. Kongres Nasional PFI ke IV.
Bandung.
Oka, I.N. 1979. Menanggulangi Masalah Penyakit Tanaman Berdasarkan Konsep Pengelolaan
Intergritas. Kongres Nasional PFI ke V. Malang.
Oka, I.N. 1995. Sumbangan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam Mengembangkan
Sumberdaya Manusia dan Melestarikan Lingkungan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar dalam Entomologi Pertanian, UGM. Yogyakarta.
Ordish, G. and D. Dufour. 1969. Economic Bases for Protection Against Plant Diseases. Ann. Rev.
Phytopath 7 : 31-50
Phipps, R.H. 2009. Safety for Human Consumption. In N. Ferry and A.M.R. Gatehouse (Eds.),
Enviromental Impact of Genetically Modified Crops. CABI. UK: 278-295.
Prayitno, D. 2009. Sistem Usaha Tani Terpadu SEbagai Model Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan di Tingkat Petani. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Fakultas
Pertanian UGM, 30 Juli 2009. 20 p.
Ronoprawiro, S. 1995. Gulma sebagai Lawan dan Kawan dalam Kehidupan Manusia. Pidato
Pengukuhan Sebagai Gurubesar Fakultas Pertanian UGM. 13 Februari 1992. 23 p.
Sardjono. 2005. Mycotoxigenic fungi and the occurrence of mycotoxins in Indonesian Food
Commodities. The 9th National Congress of Indonesia society for Microbiology.
Denpasar, Bali.
Sardjono, Endang S. Rahayu, Hocking, A.D., and J.I. Pitt. 1992. The mycroflora of cereal and nuts
in Indonesia. Development of Food Science and Technology in South East Asia.
Proceeding of the 4th ASEAN Food Conference92. Jakarta, Indonesia.
Sardjono. 2011. Jamur Benang dan Pengembangannya pada Industri Pengelolaan Hasil
Pertanian, UGM Yogyakarta, 21 Juni 2011, 22 p.
Sastroutomo, S.S. 1990. Ekologi Gulma. P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakrta. 217 p.
Schumann, G.L. 1991. Plant Diseases : Their Biology and Sosial Impact. The American
Phytopathological Society. USA. 397 p.
Semangun, H. 1973. Fitopatoloi Tropika, Satu Aspek Fitopatologi yang Memerlukan Perhatian
Khusus. Pidato Pengukuhan Sebagai Gurubesar Faperta UGM, 19 Nopember 1973. 23 p.
Semangun, H. 1975. Fitopatologi dan Konsep Pest Management. Kongres Nasional PFI III.
Bogor.
55
Management strategy on animal health and production control. Fac. of Vet. Sci.,
Airlangga Univ., Surabaya, Indonesia, 1-2 June 2008.
Zen, M.T. 2006. Mengejar Pelangi Emas. dalam Soemodihardjo, S. dan Setijati S. Sastrapradja
(penyunting) Enam Dasa Warsa Ilmu dan Ilmuwan di Indonesia. Naturindo, Bogor. 11-
48
57
58