Anda di halaman 1dari 58

1

DUKUNGAN PERLINDUNGAN TANAMAN DALAM MEMBANGUN KEDAULATAN


PANGAN (Revisi 5 September 2011)

Oleh: Susamto Somowiyarjo

Kita tidak dapat mencukupi pangan dunia hari ini dengan pertanian kemarin dan kita tidak dapat
mencukupi pangan dunia besuk dengan pertanian hari ini

(Lord May Robrert, 2002, cit. Ferry and Gatehouse, 2009)

I. PENDAHULUAN

Dengan jumlah penduduk yang akan mencapai 8 miliar pada tahun 2030
dan 9,2 miliar pada tahun 2050, dunia tetap akan terancam oleh
kerawanan/kekurangan pangan. Di tahun 2015, misalnya, jumlah penduduk
dunia yang mengalami kerawanan pangan diperkirakan akan mencapai 580 juta
jiwa (Yudohusodo, 2004). Banyak ilmuwan memperkirakan bahwa jumlah
penduduk yang akan mengalami kerawanan pangan akan terus meningkat dari
waktu ke waktu. Peningkatan dalam jumlah penduduk yang belum diiringi
dengan peningkatan dalam kualitas sumber daya manusia, disertai dengan terus
menyusutnya sumber daya alam baik yang terbarukan maupun yang tidak
terbarukan, akan memperparah ancaman kekurangan pangan dunia.
Berbicara mengenai sumber pangan dunia, sebenarnya dari 800.000
spesies tumbuhan yang sudah diketahui, 3.000 spesies di antaranya dapat
dimakan. Dalam kenyataannnya, hanya 150 spesies tanaman yang sudah umum
dimakan, dan dari jumlah tersebut yang menjadi sumber pangan utama dunia
hanya 12 spesies tanaman yaitu gandum, padi, jagung, kentang, ubi jalar, ketela
pohon, pisang, kelapa, kedelai, common bean, tebu, dan beet. Dari 12 spesies
tanaman sumber utama pangan tersebut, tiga spesies tanaman yang termasuk
kedalam kelompok biji bijian yaitu gandum, padi dan jagung, merupakan
andalan utama untuk memenuhi kebutuhan kalori manusia (Schumann, 1991).
Data di atas mengingatkan kepada kita bahwa budidaya tiga kelompok
tanaman biji bijian tesebut terus akan merupakan kegiatan yang sangat vital
dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan dunia. Dari total kebutuhan biji-
2

bijian dunia, sekitar 50 persen dipergunakan untuk konsumsi manusia, 44


persen untuk pakan ternak dan 6 persen untuk bahan dasar industri. Sehubungan
dengan adanya krisis energi dunia, kemungkinan besar akan terjadi pergeseran
proporsi kebutuhan biji bijian, terutama untuk biji bijian yang berpotensi sebagai
bahan dasar produksi bioenergi.
Karena rendahnya produksi dalam negeri, pemenuhan pangan di negara
negara yang sedang berkembang akan semakin tergantung pada bahan pangan
impor. Ditengarai bahwa dalam kurun waktu 35 tahun, impor biji-bijian oleh
negara negara yang sedang berkembang dapat meningkat hampir 2 kali lebih
besar, yaitu dari 170 juta ton pada tahun 1995 menjadi 270 juta ton pada tahun
2030 (Yudohusodo, 2004). Situasi demikian merupakan peluang emas bagi
Indonesia untuk mentransformasi dirinya dari negara dengan ketahanan
pangan yang tangguh menjadi negara pemasok utama kebutuhan produk
produk pangan tropika dunia. Peluang ini dimungkinkan karena Indonesia adalah
negara agraris yang sangat luas dan dikaruniai sumber daya alam terbarukan
yang melimpah. Dengan kata lain Indonesia seharusnya merubah impiannya dari
mewujudkan kedaulatan/kemandirian pangan menjadi produsen utama
pangan tropika dunia. Sejalan dengan pesan Presiden Pertama RI pada saat
peletakan batu pertama gedung Institut Pertanian Bogor bahwa persoalan
pangan adalah masalah hidup dan matinya bangsa (Soekarno, 1952), maka
sebagai negara yang berpenduduk banyak dengan potensi pangan yang besar,
membangun kemandirian pangan adalah suatu kebutuhan mendasar untuk
menopang tegak dan kokohnya kedaulatan bangsa.
Mengutip pernyataan Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif pada orasi penerimaan
Anugerah Hamengku Buwono IX (Maarif, 2004), Indonesia yang terdiri dari
17.565 pulau besar dan kecil sebenarnya adalah sebuah mosaik fisik dan budaya
yang teramat elok dan menawan dengan kekayaan alam yang masih potensial dan
memberi harapan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak, jika saja
dikelola secara baik dan jujur. Memang pulau pulau tersebut yang terangkai di
sepanjang khatulistiwa dan lautan yang menyatukan rangkaian pulau ini
merupakan kawasan yang kaya akan sumber daya alam (Anonim, 2006).
Meskipun sebagian sumber daya alam kita telah lama kurang terurus dan
sebagian sudah dirusak secara serakah oleh pihak pihak yang kurang bertanggung
3

jawab, sumber daya alam kita, baik yang berupa sumber daya terbarukan maupun
tidak terbarukan, masih memuat harapan untuk mewujudkan kedaulatan pangan
di negeri tercinta ini. Dengan meminjam pernyataan Zen (2006), mewujudkan
kedaulatan pangan di Indonesia bukanlah mengejar pelangi, yang akan berakhir
dengan mimpi yang kosong. Yang kita kejar adalah pelangi mas. Jika direncanakan
dengan matang, dengan strategi yang jitu, ini akan berakhir dengan hujan emas.
Kedaulatan pangan Indonesia dapat dicapai melalui: pertama,
mengembangkan sains dan teknologi yang memanfaatkan potensi sumber
sumber yang tersedia secara cerdas, diikuti tahap kedua yaitu dengan
mengembangkan sains dan teknologi untuk mewujudkan keunggulan pangan
Indonesia, kemakmuran dan martabat bangsa. Keberhasilan mengelola sumber
daya pangan tersebut untuk mewujudkan kedaulatan pangan akan sangat
ditentukan oleh mutu sumber daya manusia yang dihasilkan oleh sistem
pendidikan pertanian nasional.
Dari gatra penawaran/permintaan pangan (food supply/demand) kondisi
pangan dunia memang cukup memprihatinkan. Permintaan pangan terus
meningkat dengan pesat untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yang
cukup tinggi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan makin meningkatnya
kompetisi penggunaan biji bijian sumber energi yang terbarukan. Meskipun
tingkat kenaikan penduduk dunia sudah dapat ditekan dari 2 % per tahun pada
tahun 1970 menjadi 1,2 % per tahun pada tahun 2010, dewasa ini pertambahan
penduduk dunia masih mencapai 8 juta per tahun, atau kurang lebih 219.000 bayi
per hari. Dari sisi penawaran pengadaan pangan menghadapi tantangan yang
berupa makin menurunnya kualitas lahan, berkurangnya sumber air, perubahan
status penggunaan lahan, perubahan iklim dan telah dicapainya leveling off
produksi beberapa komoditas (Brown, 2011).
Karena kompleksnya masalah pangan, dalam membangun kemandirian
/kedaulatan pangan seharusnya didekati dengan pendekatan system dengan
menempatkan serangkaian kegiatan produksi sebagai salah satu sub-sistemnya
(Anonim, 1988).
Dalam subsistem produksi pangan harus diakui bahwa sebagai produsen
utama bahan pangan, petani masih belum mendapatkan perhatian yang
memadai dari negara bila dilihat dari gatra peningkatan kesejahteraan
4

(Yudohusodo, 2004). Di sisi lain masih terdapat gap (kesenjangan) yang lebar
antara angka hasil aktual (actual yield) yang dicapai oleh petani di lapangan dan
angka hasil potential (potential yield) di petak petak percobaan. Angka hasil
potensial adalah angka hasil suatu komoditas yang dicapai bila komoditas
tersebut dibudidayakan dengan persyaratan optimal dan memanfaatkan
teknologi mutakhir, sedangkan angka hasil aktual adalah angka hasil yang dapat
dicapai apabila suatu komoditas dibudidayakan oleh petani dalam skala luas.
Untuk tanaman padi, misalnya, dewasa ini angka hasil aktual rata rata yang dapat
dicapai petani adalah 4-5 ton beras per hektar, sedangkan angka hasil pada plot
plot demonsrtrasi dapat mencapai 6-7 ton beras per hektar. Sudah lama diketahui
bahwa penyebab klasik kesenjangan tersebut karena adanya hambatan biologi
(biological constraints) yang terdiri dari masih tingginya penurunan angka hasil
akibat serangan organism pengganggu tanaman (OPT), kualitas virietas dan bahan
tanam, kurang optimalnya pengairan, pemupukan yang tidak optimal, cara
budidaya, tanah dan cuaca dan hambatan sosio ekonomi (socio-economical
constraints) yang terdiri dari masalah masalah penyuluhan, permodalan, resiko,
tradisi, akses dan penyediaan sarana produksi, penyediaan insentif dan
kelembagaan (Hadisapoetro, 1977).
Sebagai bagian dari system kedaulatan/kemandirian pangan, petani
bertindak sebagai produsen, konsumen dan sekaligus pemasar hasil pertanian
pangan. Dalam usahanya mencapai angka hasil yang optimal, petani harus
menghadapi gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) pada fase I, yaitu
gangguan sejak memilih benih, menanam sampai panen, dan gangguan fase II,
yaitu gangguan sesudah panen sampai hasil tanamannya di tangan konsumen
(Triharso, 1978). Dalam konteks ini yang dimaksud dengan OPT adalah hama
dalam arti luas (pests , omo) yang terdiri dari tiga komponen yaitu hama dalam
arti sempit (tungau, belut akar, serangga, tikus, babi hutan, burung), penyebab
penyakit (viroid, virus, mikoplasma, spiroplasma, bakteri, jamur, benalu dan
pathogen abiotik), dan gulma (rerumputan, enceng gondok, wedusan, gempur
watu, pakisan, sembung rambat, alang-alang dan teki). Meskipun ketiga
komponen OPT tersebut dipelajari secara terpisah, namun dalam pengelolaan
suatu ekosistem ketiganya akan berpadu dan berkaitan timbal balik dengan
5

komponen biotik dan abiotik lainnya dalam ekosistem tersebut (Soerjani et al.,
1979; Triharso, 1993).
Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi gangguan OPT. Meskipun
teknologi pengendalian OPT saat ini sudah sangat maju, tetapi belum ada
satupun negara di dunia ini yang terbebas dari gangguan OPT. Amerika Serikat
misalnya, kerugian di bidang pertanian akibat OPT setiap tahun ditaksir sebesar
20,1 sampai 34,4 milyar dolar Amerika dan sebagai pembanding kerugian akibat
hancurnya World Trade Center di New York tahun 2001 mencapai 27.1 milyar
(Pimental et al., 2002 Cit. Heather and Hallman, 2008). Rata rata kerugian untuk
semua komoditas pertanian di aras dunia karena OPT ditaksir sebesar 31-42 %.
Ironisnya kerugian di negara yang sedang berkembang lebih besar dari pada di
negara maju, padahal negara yang sedang berkembang ancaman kerawanan
pangan lebih besar (Agrios, 2005).

II. ANCAMAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN TERHADAP KETAHANAN


BANGSA: BELAJAR DARI MUSIBAH HAWAR DAUN KENTANG

Dari fosil-fosil purba diketahui bahwa parasitisme sudah berlangsung pada


zaman Carbon, 230 juta tahun yang lalu. Dengan demikian pada waktu manusia
mulai mengerjakan tanah 8-9 ribu tahun yang lalu, OPT sudah mengganggu
tumbuhan (Baker dan Snijder, 1965 Cit. Triharso, 1978). Di dalam kitab Injil,
penyakit dan hama selalu dihubungkan dengan hukuman Tuhan. Bahkan ada yang
berpendapat hukuman tersebut ada sejak manusia dalam taman syurga
sebagaimana disebutkan dalam salah satu firman Tuhan I smote you with
blasting and with mildew and hail in all the labors of your hands yet ye turned not
to me, saith the Lord (Haggai2:17 cit. Horst, 2008). Di negara Romawi kuno
terdapat kepercayaan bahwa penyakit karat pada gandum dikendalikan oleh
Dewa Robigus. Untuk menghindari gangguan penyakit karat tersebut, petani
mengadakan pesta Robigalia.
Perhatian manusia terhadap serangga hama telah diberikan sejak ribuan
tahun yang lalu. Dalam catatan sejarah terungkap bahwa bangsa Mesir Kuno
6

sudah mempunyai tradisi menghubungkan serangga dengan beberapa aspek


kehidupan keseharian, seperti pertanian. Tercatat juga bahwa selama
pemerintahan Ramses II, 1.400 tahun sebelum Masehi, terjadi serangan belalang
yang dahsyat pada tanaman pertanian waktu itu (Adisoemarno, 2006).
Dalam kepercayaan sebagian masyarakat Jawa tanaman padi adalah
lambang Dewi Sri, sedangkan hama, penyakit, dan gulma adalah lambang dari
Kala Gumbara yang ingin merusak Dewi Sri. Para petani mempunyai tradisi yang
turun temurun untuk mengadakan selamatan pada saat mulai menyebar benih
dan akan panen padi. Pada upacara selamatan menjelang panen, pemungutan
padi yang akan dipakai sebagai benih selalu dilakukan oleh orang tua atau yang
dianggap mempunyai kearifan di desa. Padi calon benih kemudian disimpan
dalam bilik yang dilengkapi wewangian dan lampu, dengan harapan untuk
mencegah kedatangan Kala Gumbara (Triharso, 1978).
Negara yang bijak seharusnya belajar dari sejarah peradapan Manusia,
yaitu berulang kali terjadinya kerawanan pangan sebagai akibat serangan OPT
yang tidak terkendali dapat mengancam ketahanan nasional suatu bangsa.
Kiranya akan terlalu panjang jika disebutkan semua catatan sejarah tentang
runtuhnya ketahanan nasional suatu bangsa yang dimulai dari kegagalan bangsa
tersebut dalam mengendalikan serangan OPT. Sekedar untuk memberikan
gambaran tentang tragedi tersebut akan disampaikan beberapa contoh.
Penyakit tumbuhan yang terhebat yang tercatat dalam sejarah adalah hawar
daun kentang yang disebabkan oleh jamur Phytophthora infestans (Mont.) de By
Pada tahun 1844 hawar daun kentang berkembang di Amerika Serikat. Penyakit
ini tidak mendapat perhatian dari para petani di Eropa, yang jaraknya lebih kurang
5.000 km dari Amerika Serikat. Pada tahun 1845 penyakit berjangkit di hampir
semua pertanaman kentang di Eropa yang meliputi luas jutaan ha. Penyakit ini
sedemikian hebat sehingga kebanyakan pertanaman kentang binasa dan tidak
menghasilkan. Di Irlandia yang makanan pokok rakyatnya kentang timbul paceklik
panjang yang sangat menyedihkan. Sekitar satu juta rakyat Irlandia (seperdelapan
dari jumlah penduduk pada waktu itu) mati kelaparan, sedang satu juta lainnya
terpaksa merantau ke Negara lain dan sebagian besar menjadi emigrant ke
Amerika Serikat dan Canada. Pada tahun 1917 penyakit ini juga membinasakan
lebih kurang sepertiga dari pertanaman kentang sebagai penghasil makanan
7

pokok di Jerman. Kekurangan pangan ini merupakan salah satu penyebab


kalahnya Jerman dalam Perang Dunia (Semangun, 1996; Schumann, 1991).
Pada tahun 1942 dan 1943 di Benggala (sekarang Bangladesh) terjadi
wabah penyakit bercak coklat pada padi yang disebabkan oleh Helminthosporium
oryzae B. de Haan. Penyakit ini menyebabkansebagian besar pertanaman padi
puso sehingga terjadi paceklik yang menyedihkan, mengakibatkan lebih kurang 2
juta manusia mati kelaparan. Di tepi tepi jalan terdapat orang mati atau sekarat
karena kelaparan. Peristiwa ini dikenal sebagai The Great Bengal Famine.
Daerah Benggala adalah daerah yang padat penduduknya, kehidupan tergantung
dari satu tanaman (padi), sedangkan penguasa Inggris pada waktu itu tidak dapat
mendatangkan beras dari Myanmar (Burma) yang diduduki oleh tentara Jepang.
Tragedi kemanusiaan yang dipicu karena kekurangan pangan seperti yang
pernah terjadi di Irlandia pada tahun 1845an tampaknya masih terus menghantui
negara negara yang sedang berkembang. Hal ini sangat mungkin terjadi jika
negara negara yang sedang berkembang gagal memenuhi kebutuhan dasar
rakyatnya yaitu pangan yang cukup dan bergizi tinggi, kebutuhan sandang dan
perumahan yang layak, seperti yang akhir akhir ini di Somalia.
Sejumlah tragedi pangan yang pernah terjadi beberapa kali di masa lampu,
seyogyanya dijadikan pelajaran yang berharga bagi Indonesia dalam menyikapi
masalah kemandirian atau kedaulatan pangan. Memang tidak salah, bahkan
seiring dengan konsep ketahanan pangan, bahwa pemenuhan pangan suatu
negara dapat dilakukan dengan impor. Namun pilihan ini menghadapi resiko bila
situasi politik dan cadangan pangan negara pemasok tidak stabil, demikian pula
bila lalu lintas perdagangan tidak aman, akan mengganggu ketahanan pangan
dalam negeri kita.

III. JANGAN ANGGAP REMEH CEMARAN MIKOTOKSIN: BELAJAR DARI KASUS


PENYAKIT ERGOT

Visi pembangunan pangan Indonesia adalah tersedianya pangan bagi


seluruh rumah tangga dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, merata
dan terjangkau oleh setiap individu serta aman untuk dikonsumsi (UU No: 7, Th
1996, Tentang Pangan). Mungkin karena perhatian utama saat ini masih pada
8

usaha pengadaan pangan yang cukup dan bahaya akibat mengkonsumsi pangan
yang kurang aman masih belum banyak diketahui, perhatian kita terhadap
masalah keamanan pangan masih sangat rendah. Indikator masih kurangnya
perhatian kita terhadap masalah keamanan pangan tercermin antara lain pada
masih sedikitnya jumlah diskusi diskusi masalah keamanan pangan, dibanding
dengan diskusi pada ketahanan pangan. Pada hal menurut Sardjono (2011) dan
Agus (2011), keamanan pangan dan pakan kita sudah dalam kondisi yang
memprihatinkan, antara lain karena tingginya kontaminasi mikotoksin pada
bahan tersebut. Mikotoksin adalah bahan beracun yang dikeluarkan oleh jamur
yang meginfeksi biji bijian, pangan dan pakan yang dapat menyebabkan sakit
atau kematian manusia atau hewan yang mengkonsumsi bahan tersebut.
Tingginya kontaminasi pada berbagai bahan oleh mikotoksin merupakan salah
satu masalah penyakit tumbuhan pasca panen yang perlu segera mendapatkan
perhatian secara serius.
Kelembaban dan temperatur yang tinggi merupakan faktor luar yang sangat
mendukung berkembangnya penyakit pasca panen pada bahan pangan dan
pakan, khususnya yang tergolong biji bijian di Indonesia. Selain menimbulkan
kerugian secara kualitatif dengan jalan menurunkan bobot, pathogen pasca
panen, khususnya jamur juga menurunkan kualitas bahan bahkan dapat
menyebabkan bahan tersebut tidak layak untuk di konsumsi. Sardjono et al.
(1992) melaporkan bahwa persentase infeksi jamur yang berpotensi sebagai
penghasil mikotoksin pada beberapa biji bijian yang pernah diteliti, sudah pada
aras yang perlu dikendalikan.
Dari 256 buah sample kacang tanah yang diamati, 100% menunjukkan
infeksi jamur dengan rincian infeksi oleh Aspergillus flavus Link sebesar 98%,
Aspergillus niger v.Tiegh sebesar 80%, serta kelompok Fusarium sebesar 14%.
Sedangkan untuk Jagung, dari 82% sampel yang diteliti, sebanyak 80% terinfeksi
Aspergillus flavus, 70% terinfeksi Fusarium moniliforme, dan 23% tercemar oleh
Fusarium sp yang berpotensi menghasilkan mikotoksin jenis fumonisin.
Seterusnya Sardjono (2005) juga melaporkan adanya cemaran mikotoksin pada
sebagian produk produk olahan yang dihasilkan dari bahan mentah yang telah
tercemar mikotoksin, antara lain bumbu pecel, enting-enting, oncom dan hasil
olahan jagung. Di lingkungan ASEAN, Indonesia menduduki peringkat tertinggi
9

dalam hal pencemaran mikotoksin pada biji bijian (Yamashita et al., 1995 cit.
Sardjono, 2011).
Di Indonesia, cerita keamanan pangan, khususnya kontaminasi mikotoksin
dan racun lain pada bahan pangan dan pakan, adalah cerita yang kurang
menggembirakan. Dampak dari adanya cemaran mikotoksin pada bahan pangan
sebagian besar terjadi pada anak anak muda dari golongan masyarakat yang
tidak berpenghasilan tetap dan pas-pasan, karena mereka terpaksa harus
mengkonsumsi makanan yang kualitasnya rendah. Situasi ini merupakan
tantangan yang berat bagi berbagai pihak untuk bekerja lebih keras untuk
mencukupi kebutuhan pangan yang lebih aman bagi seluruh warga Negara.
Kiranya sangat tepat bila Internasional Society for Plant Pathology (ISPP) dalam
penyelenggaraan the 9th International Congress of Plant Pathology di Italy tahun
2008, mengangkat tema HEALTHY AND SAFE FOOD FOR EVERYBODY. Tema
tersebut mirip tema kongres beberapa tahun sebelumya yaitu HEALTHY PLANT
HEALTHY PEOPLE.

Selain mengancam keamanan pangan, mikotoksin juga mengancam keamanan


pakan ternak, yang pada gilirannya juga membahayakan manusia. Agus (2011)
melaporkan bahwa pada pakan ternak sering terdeteksi adanya cemaran yang
berupa mikotoksin, dioxin, melamin, logam berat, pestisida, obat hewan dan
aditif (antibiotik, hormone), mikrobia pathogen (Salmonella enteric, Bacillus
anthracis, Toxoplasma gondii, Trichinella spiralis, Bovine spongiform
Encephalopathy) dan polycyclic aromatic hydrocarbons. Dalam situasi demikian
penanganan pasca panen dan penyimpanan perlu ditingkatkan untuk meghasilkan
pakan yang lebih aman bagi ternak dan manusia.
Mengenai cemaran mikotoksin pada bahan pakan ternak di Indonesia, Agus
dan Nuryono (2007) melaporkan bahwa lebih dari 80% jagung yang pernah
diteliti tercemar aflatoksin B1 dan rata rata di atas ambang batas toleransi (lebih
dari 50 ppb). Tingkat cemaran aflatoksin B1 pada jagung di aras pedagang
pengumpul selalu lebih tinggi dari pada aras petani, seperti di Kabupaten
Tasikmalaya (243 vs 45 ppb), Klaten (147 vs 9,7) dan Blitar (29 vs 0,9 ppb)
(Yunianta dan Agus, 2008).
10

Dalam sejarah kemanusiaan adanya penyakit dan kematian pada manusia


dan hewan karena mikotoksin, sebenarnya sudah dikenal lebih dari 1000 tahun
yang lalu, ketika ribuan manusia dan hewan ternak mengalami kesakitan, cacat
seumur hidup bahkan kematian beberapa saat setelah mereka mengkonsumsi biji
bijian yang berjamur. Salah satu catatan sejarah terpenting terkait dengan
mikotoksin adalah kematian ribuan manusia pada kurun waktu sekitar 500 tahun
pada pertengahan abad 15 dan 16 di Spanyol dan Rusia. Kemudian diketahui
bahwa kematian tersebut terjadi karena mereka makan roti yang terbuat dari
tepung gandum (rye) yang bijinya terkontaminasi jamur pathogen (Claviceps
purpurea ND) yang memproduksi mikotoksin. Penyakit yang sama diduga sebagai
penyebab matinya ribuan orang di China pada 1100 sebelum Masehi dan di
Assyria pada 600 tahun sebelum Masehi. Penyakit ini mulai mendapat perhatian
yang serius setelah pada tahun 1722 menyebabkan kematian sekitar 20.000
tentara Russia setelah makan roti yang terbuat dari gandum yang terinfeksi C.
purpurea. (Agrios, 2005). Di sub sektor peternakan, kehadiran mikotoksin dalam
pakan juga menjadi perhatian yang serius, terutama setelah pada tahun 1960
terjadi kematian 100.000 anak kalkun di Inggris setelah memakan biji bijian yang
terkontaminasi jamur berbahaya tersebut.

IV. PERANAN FITOSANITASI DALAM PERDAGANGAN PANGAN INTERNASIONAL

A. Umum

Seperti yang pernah diucapkan oleh Presiden Soeharto di era Order


Baru, siap tidak siap, suka tidak suka, kita harus masuk dalam globalisasi
yang salah satu cirinya adalah persaingan dalam semua kegiatan
kehidupan. Globalisasi telah mendorong kerjasama antarbangsa untuk
memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya, termasuk dalam hal pemenuhan
kebutuhan pangan. Kekurang siapan kita dalam memasuki era globaliasi
telah berakibat dengan terbukanya pasar bersama, banyak produk pangan
11

Indonesia yang tidak mampu bersaing dengan produk luar negeri di rumah
sendiri.
Kita memang hidup di dunia yang oleh banyak orang disebut The Borderless
World, dunia yang tanpa batas, dengan arus barang, orang, modal dan uang
serta teknologi dan budaya yang hampir hampir tanpa hambatan, sehingga
masalah impor ekpor pangan bukanlah sesuatu yang harus ditabukan. Di sisi lain
karena Indonesia merupakan negara dengan kebutuhan pangan yang sangat
besar, maka kiprah kita dalam perdagangan komoditas pangan di aras global,
merupakan kegiatan yang amat penting dan strategis. Pangan juga merupakan
kebutuhan pokok yang hakiki yang setiap saat dan di setiap tempat perlu tersedia
dalam jumlah yang cukup, dengan mutu yang layak, aman dikonsumsi dan dengan
harga yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Karena kita mempunyai
potensi besar dan kebutuhan kita juga banyak, maka sudah sewajarnya bila
Indonesia berani mengambil keputusan politik untuk menjadi pemain utama
bidang pangan pada aras global sehingga mampu mencukupi kebutuhan
pangannya secara mandiri (Yudohusodo, 2002). Keputusan politik ini pasti banyak
mendapatkan tentangan, khususnya dari pihak-pihak yang mendapatkan
keuntungan besar dari penyediaan pangan melalui impor. Namun demikian untuk
kepentingan masa depan bangsa, keputusan tersebut seharusnya diambil
dengan penuh percaya diri, keberanian, dan ketegasan dari diri kita sendiri yang
diikuti dengan perencanaan yang cermat dan pelaksanaan yang konsisten untuk
waktu yang lama (Yudohusodo, 2004).
Sebagai Negara yang telah ikut menyepakati berbagai perjanjian dunia dalam
perdagangan, Indonesa tidak dapat mengisolasi diri dan harus membiarkan
Indonesia menjadi pasar bagi produk produk negara lain, termasuk produk produk
pangan. Agar dalam bekerja sama dengan negara negara lain tidak dirugikan, kita
harus mengikuti dan memanfaatkan secara cerdas kesepakatan kesepakatan
global dalam perdagangan dunia, antara lain World Trade Organization (WTO).
WTO dibentuk untuk menjamin agar perdagangan dunia dapat berjalan lancar,
terpredeksi dan bebas. Mengingat Indonesia mempunyai keunggulan di berbagai
komoditas dan potensi kita amat besar menjadi produsen pertanian tropis,
Indonesia perlu mengambil strategi jitu agar keterlibatan kita dalam perdagangan
12

dunia dapat memberikan keuntungan bagi Negara kita pada umumnya dan petani
pada khususnya (Yudohusodo, 2004).
Salah satu resiko perlindungan tanaman dari meningkatnya arus lalu lintas
bahan pangan dan pakan adalah masuk dan menyebarnya OPT dari suatu negara
ke negara lain (Heather and Hallman, 2008). Masalah tersebut perlu dipecahkan
secara international dalam rangka kerjasama biologi dan ekonomi (Triharso,
1978). Untuk mewadai kerjasama international tersebut, pada tahun 1952
dikembangkan the International Plant Protection Convention (IPPC) yang
berkedudukan di Kantor Pusat FAO, Roma. IPPC beranggotakan 177 negara,
termasuk Indonesia. Dokumen international tersebut ditulis dengan bahasa PBB
(Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol), selalu direvisi sesuai dengan tuntutan
zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan, serta dapat diikuti pada situs
http://www.ippc.int. Di bawah ini akan disitasi secara singkat beberapa pokok
ketentuan IPPC sesuai dengan naskah yang direvisi pada November 1997.
IPPC dikembangkan Negara Negara yang mempunyai kepedulian terhadap
pentingnya kerjasama international dalam mengendalikan OPT pada tanaman dan
hasil tanaman melalui pencegahan masuk dan tersebarnya OPT secara
international, khususnya ke wilayah yang masih bebas OPT tersebut. Para
pemarkasa IPPC juga memahami bahwa phytosanitary measures (teknik
fitosanitasi) harus dapat dipertanggung jawabkan secara teknis dan transparan.
Demikian pula perlu dihindari pemanfaatan teknik teknik tersebut sebagai
pembatasan perdagangan international yang sewenang wenang, diskriminatif,
maupun pelarangan yang tersembunyi.

B. Tujuan dan tanggung jawab Negara pengeskpor dan pengimpor


(contracting parties)

IPPC memuat rambu rambu hukum, teknis dan administrasi dalam


menghadapi lalu lintas OPT pada tingkat global berlandaskan tujuan untuk
melakukan pengamanan dan tindakan yang efektif secara bersama sama guna
mencegah penyebaran dan introduksi OPT bagi tanaman dan produk tanaman.
Tujuan lain adalah mengembangkan cara pengendalian dari OPT tersebut.
13

Negara pengimpor dan pengekspor (contracting parties), yang selanjutnya


dalam bab ini disebut sebagai negara, berkewajiban untuk memenuhi seluruh
persyaratan yang tercantum dalam IPPC di semua wilayah dari negaranya. Untuk
memenuhi kewajiban tersebut semua negara wajib menyediakan tenaga
perlindungan tanaman yang kompeten.
Selain untuk tanaman dan produk tanaman, negara dapat
mempertimbangkan pemberlakuan ketentuan ketentuan dalam IPPC untuk
aspek yang lebih luas, seperti untuk tempat penyimpanan, bahan bahan paking,
container, alat alat pengangkutan, tanah dan organism, bahan bahan lain yang
dapat membantu penyebaran OPT, khususnya yang terlibat dalam transportasi
international.

C. Organisasi perlindungan tanaman nasional (National Plant Protection


Organization = RPPO)

Masing masing negara wajib mengupayakan agar organisasi perlindungan


tanaman nasional (OPTN) berperan secara maksimal dalam mendukung
implementasi IPPC. Terkait dengan implementasi IPPC, OPTN mendapat tugas:

Menerbitkan sertifikat fitosanitasi dalam hubungannya peraturan


fitosanitasi dari negara pengimpor, sebagai kelengkapan pengiriman
tanaman, produk tanaman dan bahan lain yang diatur dalam IPPC.
Melakukan surveilensi tanaman yang sedang tumbuh, termasuk yang
ditumbuhkan di lapangan, perkebunan, pesemaian, kebun, rumah kaca dan
laboratorium, flora liar, and tanaman serta produk tanaman dalam
penyimpanan dan pengangkutan. Hal hal yang harus dilaporkan dalam
kegiatan ini meliputi ledakan serangan, penyebaran OPT dan metode
pengendaliannya.
Melakukan inspeksi/pengamatan tanaman dan produk tanaman dalam lalu
lintas internasional, dan juga juga bahan bahan lain yang terkait dengan
introduksi dan penyebaran OPT, pada lalu lintas internasional.
Melakukan disinfeksi atau disinfestasi saat ada pengiriman tanaman,
produk tanaman, atau barang barang lain yang diatur dalam IPPC pada lalu
14

lintas barang internasional untuk memenuhi persyaratan fitosanitasi


(phytosanitary requirement).
Memproteksi daerah bahaya, dan menentukan, memelihara serta
melakukan surveilensi daerah yang bebas atau daerah dengan tingkat
prevalensi OPT yang rendah.
Melakukan analisis resiko OPT (pests risk analysis)
Menjamin bahwa keadaan OPT sebagaimana tertera dalam sertifikat
fitosanitasi untuk suatu bahan, tetap benar sampai saat sebelum bahan
yang bersangkutan dikirim.
Terus melakukan training dan pengembangan ilmu pengetahuan secara
berkesinambungan bagi staf dari organisasi perlindungan tanaman nasional
Mengupayakan system informasi yang baik terkait dengan jenis jenis OPT,
cara cara pencegahan dan pengendaliannya dalam negaranya.
Selalu mengadakan penelitian dan investigasi dalam lapangan perlindungan
tanaman
Menerbitkan peraturan peraturan yang terkait dengan fitosanitasi
Melakukan hal hal lain untuk menjamin terimplementasinya IPPC secara
harmonis dan lancar di dalam negeri.

Masing masing Negara berkewajiban melaporkan struktur Organisasi


Perlindungan Tanaman Nasional (OPTN) kepada Sekertariat IPPC di Roma dan ke
semua Negara Negara mitra.

D. Sertifikati Fitosanitasi (phytosanitary certification)

Masing masing Negara harus mengatur setifikasi fitosanitasi dengan tujuan


untuk menjamin bahwa tanaman, produk tanaman, dan bahan lain yang terkait
dengan bahan yang dikirim, sesuai dengan pernyataan yang terkandung dalam
sertifikat. Untuk mencapai kondisi tersebut, tata cara sertifikasi fitosanitasi
hendaknya dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

o Inspeksi dan semua aktifitas yang terkait dengan sertifikasi hanya


dilakukan oleh Organisasi Perlindungan Tanaman Nasional (OPTN)
15

resmi. Penerbitan sertifikat hanya dilakukan oleh pelayan publik yang


secara akademik dan teknis kompeten.
o Semua model sertifikat dan sertifikat elektronik yang diterima oleh
negeri pengimpor harus sesuai dengan model yang dicantumkan pada
lampiran IPPC.
o Perlu diupayakan agar tidak ada kesalahan dalam penulisan dokumen.
Penggantian atau penghapusan huruf, angka, atau kata yang tidak
dapat dipertanggung jawabkan, berakibat tidak validnya sertifikat

Negara pengimpor barang tidak dibenarkan meminta sertifikat fitosanitasi


dengan format yang berbeda dengan format yang tercantum dalam lampiran
IPPC.

E. Beberapa persyaratan terkait dengan impor

Untuk tujuan mencegah introduksi dan atau penyebaran OPT ke


wilayahnya, suatu Negara mempunyai otoritas untuk mengatur, tentunya
dengan cara cara yang sesuai dengan kesepakatan international, masuknya
tanaman dan hasil tanaman serta bahan lain sesuai dengan aturan, mengikuti
ketentuan sebagai berikut:

Negara menentukan dan mengadopsi cara-cara fitosanitasi (misalnya


teknik inspeksi, larangan impor, dan perlakuan barang) dalam
hubungannya pemasukan tanaman, produk tanaman, atau bahan lain
yang diimpor.
Negara dapat menolak atau menahan, meminta perlakuan, pemusnahan,
atau memindahkan dari wilayahnya, terhadap bahan tanaman, hasil
tanaman serta bahan lain yang tidak dilengkapi dengan kelengkapan
fitosanitasi yang ditentukan.
Negara dibenarkan untuk melarang atau membatasi perpindahan OPT
yang diatur (regulated pests) ke wilayahnya.
Negara dapat melarang atau membatasi perpindahan agen pengendalian
hayati atau organisme lain yang ada hubungannya dengan sertifikat
fitosanitasi yang dinyatakan bermanfaat bagi wilayahnya.
16

Selanjutnya suatu negara dapat meminta cara cara (penanganan) khusus


bagi suatu OPT yang di negara asal mungkin tidak mampu berkembang dengan
baik, tetapi bila dimasukkan ke negara (baru) dapat menyebabkan kerugian
ekonomi. Suatu negara juga dapat meminta secara khusus untuk pengiriman
barang melalui transit di suatu wilayah yang secara teknis dapat dibenarkan dan
dipandang perlu untuk mencegah introduksi atau penyebaran OPT yang
berbahaya. Perlakuan khusus juga dapat disampaikan, tentu dengan sangat
memperhatikan keamanan, untuk memasukan tanaman, hasil tanaman atau
bahan bahan yang terkait dengan OPT, untuk keperluan penelitian akademik,
pendidikan dan keperluan khusus lainnya.
Dalam situasi darurat, suatu negara dapat mengambil langkah langkah
yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan apabila ditemukan atau ada
laporan keberadaan OPT yang membahayakan suatu daerah atau wilayah di
negara tersebut. Segera setelah langkah langkah tersebut dilakukan, perlu segera
dievaluasi efektifitasnya dan dilaporkan ke sekertariat IPPC.

F. Kerjasama international

Untuk memaksimalkan implementasi IPPC, diperlukan kerja sama


international, khususnya dalam hal:

Kerjasama dalam pertukaran informasi OPT, terutama laporan


keberadaan, ledakan atau penyebaran OPT yang mungkin tingkat
bahayanya menengah atau mempunyai potensi bahaya, dengan
menggunakan prosedur yang dikembangkan oleh IPPC.
Kerjasama dalam promosi pengendalian OPT yang mengancam produksi
dan memerlukan kerjasama internasional
Kerja sama dalam penyediaan informasi teknik dan biologi yang
diperlukan untuk analisis resiko OPT.

G. Komisi Teknik Sanitasi (Phytosanitari Measures)


17

Agar Indonesia mampu mengimplementasikan sebaik baiknya IPPC,


khususnya untuk perdagangan bahan pangan, maka perlu mempunyai komisi
fitosatitasi yang kuat. Menurut IPPC, fungsi komisi tersebut adalah:

Melakukan review berkesinambungan tentang status OPT penting di


dunia dan terus mempromosikan ke masyarakat international tentang
perlunya pengendalian dan pencegahan masuknya OPT baru ke suatu
wilayah.
Terus mendorong agar terjadi pengembangan dan adopsi standar
internasional sebagaimana yang diatur dalam IPPC.

V. PERANAN SISTEM PERLINDUNGAN TANAMAN YANG TANGGUH DALAM


MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN

Saat menyampaikan orasi dies UGM ke-44, Triharso (1993) mengungkapkan


bahwa perlindungan terhadap pengganggu tanaman mempunyai peranan yang
penting untuk meningkatkan angka hasil aktual (angka hasil yang dicapai oleh
petani) ke angka hasil potensial (angka hasil yang dicapai pada petak
percontohan intensifikasi) bahkan ke angka hasil ideal (angka hasil yang dicapai di
tingkat penelitian). Agar peran tersebut dapat dilaksanakan dengan maksimal
perlu didukung oleh system perlindungan tanaman yang tangguh (Untung, 1990).
Yang dimaksud dengan system perlindungan tanaman yang tangguh adalah suatu
system pengelolaan ekosistem pertanian yang berupaya untuk memberikan
perlindungan terhadap kehilangan hasil tanaman yang diusahakan akibat
serangan hama, timbulnya penyakit dan gangguan gulma sekaligus menghindari
terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Komponen dari system perlindungan
tanaman adalah teknologi pengendalian, prasarana dan sarana perlindungan,
penentu keputusan dan pelaksana pengendalian. Sebagai subsistem atau bagian
dari system pengelolaan ekosistem prertanian, system perlindungan tanaman
seharusnya mempunyai peran dan fungsi yang dapat menggambarkan system
pertanian yang berkelanjutan (Triharso, 1993).
Agar system perlindungan tanaman dapat mendukung terwujudnya
kadaulatan pangan, maka harus mempunyai kemampuan sebagai berikut:
18

a. Mampu mempertahankan populasi dan intensitas serangan


pengganggu di bawah tingkat toleransi ekonomi masyarakat pertani
atau pelaku usaha tani yang mengelola lahan pertanian tertentu.
b. Dalam interaksinya dengan teknologi budidaya pertanian lainnya, maka
system perlindungan tanaman harus dapat memberikan keadaan yang
menguntungkan bagi usaha lain, sehingga dapat meningkatkan produksi
pertanian atau mempertahankan tingkat produktivitas yang tinggi.
c. Menyediakan berbagai alternatif teknologi pengendalian lengkap
dengan prasarananya bagi petani sehingga mereka dapat menentukan
pilihan yang paling menguntungkan bagi usaha pertaniannya. Dengan
demikian usaha perlindungan tanaman, harus dapat meningkatkan
pendapatan petani secara optimal.
d. Lebih mengutamakan teknologi pengendalian yang memanfaatkan
proses pengendalian alami, memanfaatkan hasil rekayasa genetik dan
agronomi, serta membatasi penggunaan pestisida yang dapat
mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan konsumen hasil
pertanian.
e. Harus dapat menampung dinamika dan variasi ekosistem antar waktu
dan antar tempat, sehingga teknologi yang tersedia harus sesuai
dengan keadaan ekosistem pertanian yang dikelola.
f. Harus mampu menggerakan motivasi dan partisipasi para kelompok tani
untuk melakukan kegiatan perlindungan tanaman secara bersama sama
dan terkoordinasi pada saat dan lokasi yang tepat.
g. Mampu berinteraksi secara timbal balik dengan dunia atau bidang
penelitian serta dengan para penelitinya untuk selalu memperbaiki dan
mendinamisasikan teknologi pengendalian OPT.

Dengan sistem perlindungan tanaman seperti tersebut di atas diharapkan


resiko terjadinya eksplosi hama (dalam arti luas) dapat dikurangi untuk jangka
yang panjang, sehingga gangguan hama, penyakit dan gulma tidak menjadi faktor
pembatas yang penting dalam peningkatan produksi pertanian (Untung, 1990).
19

Dalam mengembangkan system perlindungan tanaman untuk mendukung


kedaulatan pangan, salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan adalah bentuk
dan skala usaha tani komoditas pangan. Meskipun mulai tahun 2011 ini
pemerintah telah memprakarsai produksi pangan dalam skala besar dalam
bentuk food estate, selama ini berbeda dengan komoditas non pangan yang
umumnya diusahakan dalam bentuk perkebunan atau usaha besar, sebagian
besar komoditas pangan di Indonesia diusahakan oleh petani kecil (smallholder
farms, petani gurem) dengan luas rata rata kepemilikan lahan yang kurang dari
0,25 ha. Mereka umumnya mempraktekan kearifan lokal yang diperoleh secara
lisan turun temurun. Kearifan lokal yang dimaksud meliputi pranata mangsa,
sistem tanam campuran, pembuatan teras, sanitasi lingkungan, pengenalan bibit
unggul lokal, penyimpanan benih, pemanfaatan pupuk organik, maupun
pemanfaatan berbagai pestisida botani yang ramah lingkungan. Dari gatra
kemampuan dalam memanfaatkan teknologi mutakhir pengendalian OPT,
mereka umumnya jauh tertinggal dari pada perkebunan besar.
Banyak cerita sukses mengenahi keberhasilan perusahaan besar dalam
mengendalikan OPT yang berbahaya. Sebagai contoh, dengan memanfaatkan
perangkat diagnosis molekular yang akurat (misalnya teknik ELISA berbasis
antibodi monoclonal), diikuti dengan sanitasi lingkungan dan penanaman bibit
hasil kultur jaringan yang bebas pathogen, beberapa perusahaan dapat secara
sukses mengendalikan penyakit kerdil pisang (banana bunchy top) yang
mengancam kelangsungan perusahaan. Pengalaman serupa juga dialami oleh
pengusaha jeruk berskala besar dalam mengatasi penyakit citrus vein phloem
degeneration (CVPD) yang telah memusnahnya jeruk keprok di Tawangmangu dan
Jeruk Garut.
Pertanyaan yang perlu dijawab adalah mengapa dengan teknik yang sama
petani gurem belum berhasil melindungi tanamannya dari gangguan penyakit
yang sama. Hal ini tidak terlepas dari ciri petani gurem pada umumnya, yaitu: (1)
keterbatasan dalam kepemilikan sumber daya produksi; (2) sebagian besar sudah
berusia lanjut dengan pendidikan yang rendah; (3) kurangnya penyuluhan yang
berkualitas; (4) keterbatasan akses informasi, khususnya tentang benih yang
berkualitas; (5) tidak adanya jaminan kualitas sarana produksi (sering beredar
benih, pupuk dan pestisida palsu); (6) rendahnya pengetahuan tentang keamanan
20

pangan (khususnya mikotoksin dan kontaminasi pestisida); (7) masih rendahnya


insentif yang diterima bagi mereka mengendalikan OPT dengan cara yang ramah
lingkungan; dan (8) belum tersedianya system asuransi terhadap kegagalan
panen.
Untuk membangun system perlindungan tanaman yang tangguh pada
petani gurem berbagai hal perlu dilakukan, antara lain (1) membantu advokasi
agar masalah OPT pada petani gurem mendapat perhatian serius oleh para
pemangku kepentingan; (2) melakukan penelitian untuk penyempurnaan kearifan
lokal yang mereka praktekan; (3) menciptakan perangkat diagnosis OPT yang
sederhana, murah, dan aman untuk identifikasi kehadiran OPT baru; (3)
meningkatkan akses mereka terhadap informasi pasar dan sarana produksi; (4)
meningkatkan pengetahuan dan penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
melalui sekolah lapangan; dan (5) mendampingi mereka dalam semua tahapan
kegiatan budidaya tanaman yang berkelanjutan. Mengingat kompleksnya
masalah pengendalian OPT pada pertanian gurem, kegiatan ini tidak mungkin
berhasil bila hanya dilakukan oleh para pakar perlindungan tanaman saja.
Bantuan dan kerja sama secra sinergis dengan semua pemangku kepentingan,
khususnya pakar agronomi, agribisnis, ilmu tanah, mikrobiologi, sosiologi dan
budaya, sangat diharapkan (Somowiyarjo, 2011).

VI. FAKTA SINGKAT TENTANG ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN


PANGAN

Dalam ekosistem pertanian, komponen OPT yaitu hama, penyakit dan gulma
dapat saling berkaitan satu sama lain (Soerjani et al., 1979. Dominasi masing
masing komponen OPT tersebut dapat bervariasi dari waktu ke waktu dan dari
tempat ke tempat.

a. Gulma sebagai OPT pada tanaman pangan

Dengan mensitasi pendapat Linnaeus (1707 1778) dan Plinius (23


79), Tjitrosoepomo (1969) mengungkapkan teori bahwa semua tumbuhan di
bumi ini diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia. Karena kuatnya
pengaruh cara berpikir yang anthropocentric (segala sesuatu hanya ditujukan
21

untuk kepentingan manusia), kepentingan manusialah yang membedakan


apakah suatu tumbuhan tergolong sebagai gulma atau bukan gulma. Dapat
dengan mudah dipahami bahwa dewasa ini terdapat lebih dari 30 buah
batasan tentang gulma yang mempunyai makna berbeda beda tergantung
dari latar belakang pembuat batasan tersebut (King, 1974 cit. Soejono, 2006).
Sehubungan dengan hal tersebut Ronoprawiro (1992) menganggap bahwa
batasan tentang gulma yang paling sesuai dengan keadaan di Indonesia pada
waktu itu adalah tumbuhan yang apabila dibiarkan berkembang dalam system
pertanaman menyebabkan kerugian finansial dalam berbagai bentuk. Masih
menurut Ronoprawiro (1992), gulma dapat menimbulkan kerugian dalam
berbagai bentuk, antara lain:

1) Penurunan angka hasil tanaman pokok karena persaingan unsur hara, air,
dan cahaya.
2) Peningkatan biaya pengendalian OPT
3) Penurunan kualitas hasil
4) Terhambatnya aliran air dalam saluran irigasi, saluran pembuangan dan
pipa air hidrolistrik

Sebagai bagian dari OPT, gulma berinteraksi dengan lingkungan dan komponen
OPT yang lain sehingga dapat menambah atau mengurangi persolalan
perlindungan tanaman yang dibudidayakan. Dalam interaksi yang
menguntungkan, misalnya, gulma dapat menjadi tempat berlindung dan
berkembangnya musuh alami hama (predator, parasitoid). Sebagai contoh,
rumput Cengkehan (Ludwigia hyssopifolia (G.Don) Exell) adalah tumbuhan inang bagi
Coccinella arquata yang sangat efektif sebagai pemangsa wereng batang coklat padi
(Nilaparvata lugens).

Interaksi yang menambah persoalan perlindungan tanaman misalnya


terciptanya lingkungan (misalnya kelebaban) yang kondusif untuk
pertumbuhan pathogen dan peran gulma sebagai inang pengganti (alternate
host) beberapa hama dan pathogen tanaman (Soejono, 2006).

Dalam praktek istilah gulma sering dihubungkan dengan status tumbuhan


tersebut dalam ekosistem pertanian. Tumbuhan digolongkan sebagi gulma
22

apabila hampir seluruh keberadaannya berpotensi merugikan manusia


dengan tanda tanda sebagai berikut (Ronoprawiro, 1995):

(1) Pertumbuhan vegetatifnya sangat cepat. Hal ini dapat dilihat antara lain
dari cepatnya pembentukan anakan yang cepat dan banyak

(2) Reproduksinya awal dan efisien. Gulma semusim berkembang biak


terutama dengan biji dan pertumbuhan vegetative yang cepat dan kuat melalui
pembentukan anakan dan percabangan yang menunjang produksi biji yang
sangat besar.

(3) Memiliki kemampuan untuk tahan hidup dan menyesuaikan diri terhadap
keadaan lingkungan yang jelek.

(4) Propagulnya dorman atau dapat menjadi dorman dalam kondisi lingkungan
yang kurang menguntungkan.

(5) Pada populasi yang rendah sudah mampu menimbulkan kerusakan yang
nyata.

Salah satu tanaman pangan yang banyak menderita karena gangguan


gulma adalah padi. Menurut Soerjani et al. (1987) dan Sastroutomo (1990)
pada padi sawah terdapat 33 jenis gulma (10 rumputan, 7 tekian, 16 daun
lebar); sekitar 60 jenis (14 rumputan, 10 tekian, 42 daun lebar) pada padi
gogo; 38 jenis (21 rumputan, 9 tekian, 17 daun lebar) pada padi gogo
rancah; dan 29 jenis (7 rumputan, 9 tekian, 14 daun lebar) pada padi
pasang surut. Tabel 1 menyajikan nama nama dan sebagian sifat gulma
gulma penting pada padi sawah, padi gogo, padi gogo rancah dan padi
pasang surut.

Pada jagung terdapat sekitar 43 jenis gulma (12 rumputan, 5 tekian, 26


daun lebar); pada ubi kayu ada 38 jenis gulma (9 rumputan, 3 tekian, 26
daun lebar); pada kedelai terdapat 56 jenis gulma (20 rumputan, 6 tekian,
20 daun lebar); pada kacang tanah ada 42 jenis gulma (14 rumputan, 4
tekian, 24 daun lebar). Tabel 2 menyajikan gulma penting pada berbagai
tanaman palawija .
23

Tabel 1. Jenis-jenis gulma penting pada padi


No Tanaman Nama Ilmiah Nama Daerah B.m. D.h.
1 Padi Sawah Monochoria vaginalis (Burm.f.) Presl Wewehan (Jw) Gdl Sm
Paspalum disticum L Lambani (Sd) R Th
Fimbristylis miliacea (L.) Vahl. Tumbaran (Jw) T Th
Cyperus difformis L. Brendelan (Jw) T Dm
Scirpus juncoides Roxb. Babawangan (Sd) T Th
Marsilea crenata Presl. Semanggi (Ind) Ddl Th
Echinochlaa crusgalli (L.) Beauv Kejawan (Jw) R Sm
Ludwigia adscendens (L) Hara Tapak doro (Jw) Gdl Sm
Spenochlea zeylanica Gaertn. Gunda (Jw; Ind) Gdl Sm
Cyperus iria L. Jekeng kunyit (Ind) T Sm
2 Padi gogo Digitaria ciliaris (Retz.) Koel Jalamparan (Ind) R Sm
Borreria alata (Aubl.) DC. Setawar (Ind) Gdl Sm
Phylanthus niruri Aubl. Non L. Meniran putih (Jw) Gdl Sm
Echinochloa colonum (L.) Link Tuton (Jw) R Sm
Eleusine indica (L.) Gaertn. Lulangan (Jw) R Sm
Cyperus rotondus L. Teki (Ind.) T Sm
Cyperus compressus L. Dekeng (Jw) T Sm
Eragrostis tenella (L.) Beauv. Ex Pekingan (Jw) R Sm
R&S
Imperata cylindrica (L.) Beauv. Alang-alang (Ind) R Th
Heliotropium indicum (L.) Tusuk konde (Ind) Gdl Sm
3 Padi gogo Echinochloa colonum (L.) Link Tuton (Jw) R Sm
rancah Paspalum disticum L Lambani (Sd.) R Th
Cyperus iria L Jekeng kunyit (Ind) T Sm
Fimbristylis miliacea (L.) Vahl. Tumbaran (Jw) T Th
Marsilea crenata Presl. Semanggi (Ind) Gdl Th
Monochoria vaginalis (Burm.f.) Presl Wewehan (Jw) Gdl Sm
Cyperus difformis L. Brendelan (Jw) T Th
Ludwigia hyssopifolia (G.Don) Exell Cengkehan (Jw) Gdl Sm
Cynodon dactylon (L.) Pers. Suket grinting (Jw) R Th
Scirpus juncoides Roxb. Babawangan (Sd) T Th
4 Padi Pasang Panicum repen L. Lempuyangan (Ind) R Th
Surut Fimbristylis miliacea (L.) Vahl. Tumbaran (Jw) T Th
Ludwigia octovalvis (Jacq.) Raven Salah nyowo (Jw) Gdl Th
Commelina diffusa Burm.f. Gewor (Jw) Gdl Th
Ludwigia adscendens (L) Hara Lombokan (Jw) Gdl Sm
Leersia hexandra Sw Kalamento (Jw) R Th
Cyperus iria L Jekeng kunyit (Ind) T Sm
C. difformis Brendelan (Jw) T Dm
Cyperus brevifolius (Rottb.) Hassk. Teki rowo (Jw) T Th
Enhydra fluctuans Lour Gedobos (Jw) Gdl Th
Keterangan:
B.m.: Bentuk morfologi D.h.: Daur hidup

R = rumputan Sm = semusim
24

Gdl = Gulma daun lebar Dm = Dwi musim

T = Tekian Th: Tahunan

Tabel 2. Jenis gulma penting pada palawija


No Tanaman Nama Ilmiah Nama Daerah B.m. D.h.
1 Jagung Digitaria ciliaris (Retz.) Koel Jalamparan (Ind) R Sm
Ageratum conyzoides L. Bandotan (Ind) Gdl Sm
Paspalum distichum L. Lamban (Sd) R Th
Eleusine indica (L.) Gaertn. Lulangan (Jw) R Sm
Borreria alata (Aubl.) DC. Rp. Setawar Gdl Sm
Cyperus rotundus L. Teki (Ind) T Th
Phylanthus niruri auct. Non L. Meniran putih (Ind) Gdl Sm
Cynodon dactylon (L) Pers. Suket grinting (Jw) R Th
Alternanthera philoxeroides (Mart.) Alligaor weed Gdl Th
G.
Synedrella nodiflora (L) Gaertn. Glantangan (Jw) Gdl Sm
2 Ubi kayu Digitaria ciliaris (Retz.) Koel Jelamparan (Ind) R Sm
Phylanthus niruri auct. Non L. Meniran putih (Jw) Gdl Sm
Synedrella nodiflora (L) Gaertn Gletangan (Jw) Gdl Sm
Imperata cylindrica (l.) Bauv. Alang alang (Ind) R Th
Commelina benghalensis L. Brambangan (Jw) Gdl Sm
Cleome viscosa L. Enceng-encengan (Jw) Gdl Sm
Spigelia anthelmia L. Platikan (Jw) Gdl Sm
Echinochloa colonum (L.) Link Tuton (Jw) R Sm
Boerhavia erecta L. Cakar ayam (Jw) Gdl Sm
Borreria alata (Aubl.) DC. Rp. Setawar (Ind) Gdl Sm
3 Kedelai Eleusine indica (L.) Gaertn. Lulangan (Jw) R Sm
Ageratum conyzoides L. Bandotan (Ind) Gdl Sm
Cyperus iria L. Jekeng kunyit (Ind) R Sm
Mimosa pudica L. Putri malu (Ind) Gdl Th
Cynodon dactylon (L) Pers. Suket grinting (Jw) R Th
Commelina diffusa Burm.f. Gewor (Jw) Gdl Th
Cyperus rotundus L. Teki (Ind) T Th
Borreria alata (Aubl.) DC. Rp. Setawar (Ind) Gdl Sm
4 Kacang Tanah Echinochloa colonum (L.) Link Tuton (Jw) R Sm
Digitaria ciliaris (Retz.) Koel Jelamparan (Ind) R Sm
Cyperus rotundus L. Teki (Ind) T Th
Eleusine indica (L.) Gaertn. Lulangan (Ind) R Sm
Ageratum conyzoides L. Bandotan (Ind) Gdl Sm
Phylantus debilis Klein ex Willd. Meniran putih (Ind) Gdl Sm
Portulaca oleracea L. Krokot (Jw; Ind) Gdl Sm
Phylanthus urinaria L. Meniran (Ind) Gdl Sm
Physalis angulata L. Ceplukan (Jw) Gdl Sm
Cynodon dactylon (L) Pers. Suket grinting (Jw) R Th
Cyperus iria L. Jekeng kunyit (Ind) R Sm

Keterangan:
B.m.: Bentuk morfologi D.h.: Daur hidup
25

R = rumputan Sm = semusim

Gdl = Gulma daun lebar Dm = Dwi musim

Di Indonesia, gulma masih kurang mendapat perhatian, pada kerugian


yang ditimbulkan secara kuantitatif cukup tinggi. Menurut Sastroutomo
(1990), kerugian akibat gulma pada padi sawah, padi gogo, jagung, kedelai dan
ubikayu masing masing sebesar 15-40%, 47-87%, 16-82% dan 6-62%. Di tingkat
dunia, kerugian karena gulma pada berbagai komoditas ditaksir sebesar 12,6%
(Agrios, 2005).

Untuk mengurangi kerugian akibat gangguan gulma dapat dilakukan pada saat sebelum
tanam (pra-tanam) atau pasca tumbuh. Pengendalian sebelum tanam dapat berupa
pengolahan tanah sempurna dengan beberapa kali ulangan, terutama untuk mematikan
biji, rimpang, umbi dan alat perbanyakan gulma yang lain. Pengendalian gulma pasca
tumbuh dapat dilakukan secara mekanis dan kimiawi, tergantung dari jenis gulma dan
sarana yang tersedia. Indonesia juga mempunyai banyak pengalaman dalam pemanfaatan
musuh alami untuk pengendalian gulma (Sosromarsono, 2006).

b. Patogen tumbuhan
Uraian lengkap tentang penyakit penyakit tanaman pangan yang meliputi sejarah dan i
penting penyakit, gejala penyakit, penyebab penyakit, faktor- faktor yang mempengaruhi
penyakit, dan cara pengendaliannya telah dikemukan oleh Semangun (1991). Penyakit
tumbuhan dapat dikelompokan dengan cara yang bermacam macam. Berdasarkan gejalanya
kita mengenal misalnya busuk akar, layu, bercak daun, karat daun, tunas bengkak, kerdil,
masaik dan sebagainya. Penyakit juga dapat dibedakan berdasarkan organ yang diserang
pathogen, sehingga kita mengnal, penyakit benih, penyakit akar, penyakit batang, penyakit
daun dan penyakit buah. Pengelompokan penyakit yang dianggap paling bermanfaat untuk
mendukung usaha pengendaliannya adalah berdasarkan jenis patogennya (Agrios, 2005).

Berdasarkan jenis patogennya, dikenal dua kelompok besar penyakit, yaitu:

1) Penyakit Tumbuhan infeksious, atau penyakit biotik, yang terdiri dari:

a. Penyakit karena jamur (Tabel 3)

b. Penyakit karena prokaryotes (Bakteri dan Mollicutes) (Tabel 4)

c. Penyakit karena tanaman tinggi parasit ( misalnya benalu) dan algae


26

d. Penyakit karena virus dan viroid (Tabel 5)

e. Penyakit karena nematode (Tabel 6)

f. Penyakit karena protozoa

2) Penyakit Tumbuhan non-infeksious atau abiotik, yang terdiri dari:

a. Penyakit karena temperature terlalu tinggi atau rendah

b. Penyakit karena kelebihan atau kekurangan air

c. Penyakit karena kekurangan atau kelebihan cahaya

d. Penyakit karena kelebihan atau kekurangan oksigen

e. Penyakit karena pencemaran udara

f. Penyakit karena kekurangan unsure hara

g. Penyakit karena keracunan mineral

h. Penyakit karena keasaman tanah

i. Penyakit karena keracunan pestisida

j. Penyakit karena kesalahan teknik budidaya

Semua jenis penyakit tersebut sangat berpotensi sebagai kendala dalam upaya mewujudkan
negara yang berdaulat dalam bidang pangan karena penyakit tumbuhan dapat:

a. Mengurangi kuantitas dan kualitas hasil tanaman

b. Membatasi kesesuaian lahan untuk menanam tanaman pangan

c. Menghasilkan pangan dan pakan yang tercemari racun, khususnya mikotoksin

d. Meningkatkan biaya produksi

Mengenai nematode, masih terdapat perbedaan apakah termasuk pathogen atau hama.
Berhubung nematode termasuk binatang maka ada yang mengelompokan sebagai hama.
Kalau mendasarkan pada kejala dan patogenesisnya, nematoda cenderung dikelompokan
sebagai pathogen.
27

Tabel 3. Contoh jamur-jamur pathogen penting pada tanaman pangan

No Tanaman Penyakit Penyebab Penyakit/Patogen


1 Padi Busuk pelepah daun Rhizoctonia solani Kuhn.
Blast Pyricularia orizae Cav.
Bercak daun sempit Cercospora oryzae Miyake
Smut Ustilagonoidea virens Cook) Tak.
Bakanae Giberella fujikuroi (Sawada) Wollenweber
2. Jagung Karat Puccinia sorghi Schw.
Busuk pelepah daun Rhizoctonia solani Kuhn.
Bulai Perenosclerospora maydis (Rac.) Shaw
Hawar daun Drechslera maydis Nisi and Miyake
Busuk tongkol Fusarium moniliformae J. Shed
Rebah semai Pythium sp.
Penyakit gudang Aspergillus flavus Link.
3. Kacang tanah Karat Puccinia arachidis Speg.
Bercak daun Cercospora arachidicola Hori
Rebah semai Pythium sp.,
Rhizoctonia solani Kuhn.
Layu Sclerotium rolfsii Sacc.
4. Kedelai Antraknosa Colletotrichum truncatum (Schw.) Andrus
and Moore
Bercak daun Alternaria sp.,
Cercospora sp.,
Curvularia sp.,
Phyllosticta sp.
Rebah semai Pythium sp.,
Sclerotium rolfsii Sacc.
Hawar Phomopsis sojae Lehm.
5. Ketela pohon Busuk umbi Botryodiplodia theobromae Pat.
Phytophthora palmivora Butler
Busuk daun Phytophthora spp.

Busuk batang Sclerotium rolfsii Sacc.


Busuk akar putih Rigidoporus microporus (Swatz) van Ov.
Embun tepung Oidium manihotis Henn.
Antraknosa Colletotrichum manihotis Henn.
Bercak daun Mycosphaerella manihotis Syd and P.Syd
28

Phyllosticta sp.,
Cercospora sp.
29

Tabel 4. Contoh bakteri penyebab penyakit pada tanaman pangan

No. Inang Nama Penyakit Patogen


1 Padi 1. Bacterial leaf blight Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Ishiyama)
2. Bacterial leaf streak Xanthomonas oryzae pv. oryzicola (Fang)
3. Bacterial red stripe Microbacterium sp. (Kaku)
4. Grain rot Bulkholderia glumae (Kurita & Tabei)
5. Foot rot Dickeya sp. (Burkholder)

2 Jagung 1. Bacterial stalk rot Dickeya zeae (Sabet)


2. Stewarts wilt Pantoea stewartii (Smith)
3. Bacterial leaf stripe Acidovorax avineae subsp. aveneae (Manns)
3 Kacang 1. Bacterial wilt Ralstonia solanacearum (Smith)
Tanah

4 Kacang 1. Bacterial spot Pseudomonas syringae pv. glycines (Coerper)


Hijau 2. Halo blight Pseudomonas phaseolicola (Burkholder)
5 Kedelai 1. Bacterial blight Pseudomonas syringae pv. glycinea (Coerper)
2. Bacterial Pustul Xanthomonas axonopodis pv. glycines (Nakano)
3. Wildfire Pseudomonas syringae pv. tabaci (Wolf & Foster)
4. Bacterial wilt - Ralstonia solanacearum (Smith)
- Curtobacterium flaccumfaciens pv. Flaccumfaciens
(Hedges)
5.Bacterial crinkle-leaf Pseudomonas syringae pv. syringae (van Hall)
6 Ketela 1. Cassava bacterial blight Xanthomonas axonopodis pv. manihotis (Berthet & Bondar)
Pohon 2. Bacteria angular leaf spot Xanthomonas axonopodis pv. cassavae (Wiehe & Dowson)
3. Bacterial stem gall Agrobacterium tumefaciens (Smith & Townsend)
4. Bacterial stem rot Pectobacterium carotovorum subsp. carotovorum (Jones)
5. Bacterial wilt Pantoea agglomerans (Ewing & Fife)
7 Ubi Jalar 1. Bacterial stem and root rot Dickeya sp. (Burkholder)
2. Bacterial wilt Ralstonia solanacearum (Smith)
3. Crown gall Agrobacterium tumefaciens (Smith & Townsend)
8 Gandum 1. Bacterial leaf blight Pseudomonas syringae pv. syringae (van Hall)
2. Bacterial mosaic Clavibacter michiganensis subsp. Tessellarius (Smith)
3. Bacterial sheath rot Pseudomonas fuscovaginae (Tanii)
4. Basal glume rot Pseudomonas syringae pv. Atrofaciens (van Hall)
5. Black chaff = bacterial streak Xanthomonas campestris pv. Translucens (Pammel)
6. Pink seed Erwinia rhapontici (Millard)
7. Spike blight = gummosis Rathayibacter tritici (Carlson & Vidaver)
9 Sorgum 1. Bacterial leaf spot Pseudomonas syringae (van Hall)
2. Bacterial leaf streak Xanthomonas campestris pv. holcicola (Elliott)
3. Bacterial leaf stripe Burkholderia andropogonis (Smith)

Tabel 5. Contoh virus-virus patogen pada tanaman pangan


30

Tanaman Spesies Virus Genus Vektor

Rice Tungro Spherical Virus (RTSV) Waikavirus Nephotettix virescens


TanamanRice Tungro
Nama ilmiah
Bacilliform Virus (RTBV) Nama umumBadnavirus Nephotettix virescens
1
Padi Padi Meloidogyne graminicola
Rice Ragged Stunt Virus (RRSV) Nematoda puru akar (root-knot
Oryzavirus nematode)
Nilaparvata lugens
Hirschmaniella
Rice Grassy Stunt Virusoryzae
(RGSV) rice root Tenuivirus
nematode ( nematoda parasit akar padi)
Nilaparvata lugens
Aphlenchoides
Rice Stripe Virus (RSV) besseyi rice whiteTenuivirus
tip nematode Nilaparvata lugens
Scutellonema
Rotylenchus

Cucumber Mosaic Virus (CMV) Cucumovirus Myzus Persicae


Jagung Sugarcane Mosaic Virus (SCMV) Potyvirus Rhapalosiphum maidis
Maize Dwarf MosaicVirus (MDMV) Potyvirus Myzus Persicae

Cucumber Mosaic Virus (CMV) Cucumovirus Myzus Persica


Kacang Soybean Dwarf Virus (SDV) Luteovirus Aulacorthum solani
Kedelai Soybean Stunt virus (SSV) (CMV-Y) Cucumovirus Aphis craccivora & A.Glycine
Soyabean Mosaic Virus (SMV) Potyvirus Aphis Glycine

Peanut Stripe Virus (PStV) Potyvirus Aphis craccivora


Kacang Bean Common Mosaic Virus (BCMV) Potyvirus Myzus Persicae
Tanah Bean Yellow Mosaic Virus (BYMV) Potyvirus Aphis craccivora Koch
Cowpea Aphid Borne Mosaic Virus (CABMV) Potyvirus Aphis craccivora &
Myzus Persicae

Singkong Cassava Mosaic Virus (CMV) Begomovirus Bemisia tabaci

Ubi Jalar Sweet Potato Feathery Mottle Virus (SPFMV) Potyvirus Aphis craccivora &
Myzus Persicae

Tabel 6. Contoh nematoda parasit pada tanaman pangan


31

Helicotylenchus spiral nematode


2 Jagung Pratylenchus zeae nematoda penyebab luka akar (root lesion nematode)
Hoplolaimus lance nematode
Trichodorus stubby-root nematode
Helicotylenchus spiral nematode
3 Ubi jalar M. incognita
Rotylenchulus reniformis reniform nematode
Helicotylenchus spiral nematode
Criconemella ring nematode
Ditylenchus destructor
Radopholus similis
Scutellonema spp
4 Ubi Kayu M. incognita nematoda puru akar
Pratylenchus brachiurus
Rotylenchulus reniformis reniform nematode
Helicotylenchus spp, spiral nematode

5 Kacang hijau Meloidogyne spp. nematoda puru akar


Rotylenchulus reniformis reniform nematode
6 Kedelai Pratylenchus spp, nematoda luka akar (root lesion nematode)
Rotylenchulus reniformis reniform nematode
Helicotylenchus spiral nematode
Tylenchorhynchus spp stunt nematodes
Scutellonema
Trichodorus stubby-root nematode
Meloidogyne spp. nematoda puru akar
Hoplolaimus spp lance nematode
7 Kacang Tanah Meloidogyne spp nematoda puru akar
Pratylenchus brachiurus nematoda luka akar (root lesion nematode)
Belonolaimus caudatus sting nematode
Criconemalla ornata
Aphelenchoides arachidis
Scutellonema cavenessi
Tylechorhynchus brevilineatus

Dalam catatan sejarah peradapan manusia dan kitab kitab suci, hubungan antara
serangga dengan manusia, baik sebagai lawan maupun teman, sudah dikenal jauh
sebelum lahirnya entomologi (ilmu serangga). Bangsa Mesir Kuno telah mengenal bahwa
salah satu penyebab kerusakan tanaman pertanian adalah serangga. Pada zaman
32

pemerintahan Ramses II, 1,400 tahun sebelum Maseshi, telah dilaporkan bahwa belalang
telah memporak porandakan tanaman pertanian (Adisoemarto, 2006).

Salah satu kitab suci yang mengungkapkan keterkaitan serangga dengan kehidupan
manusia adalah Kitab Injil (Matius 3:4) yang menuliskan bahwa makanan Yohanes
Pembaptis adalah berupa belalang dan madu hutan (Adisoemarto, 2006). Selanjutnya
dalam Kitab Al-Quran Tuhan mewahyukan kepada lebah untuk membuat sarang-
sarang di bukit-bukit, pohon pohon kayu dan tempat tempat buatan manusia (An Nahl :
68). Tuhan juga mengajarkan kepada manusia bahwa di dalam perut lebah terdapat
berwarna warna yang mempunyai kasiyat sebagai obat penyakit (An Nahl: 69). Ditinjau
dari ilmu perlindungan tanaman modern, keberadaan perintah perintah Tuhan terkait
serangga bermanfaat dalam kitab kitab suci, harus dimaknai sebagai pesan suci agar
manusia memanfaatkan dan turut menjaga kelestarian serangga tersebut. Oleh karena
itu semua taktik pengendalian OPT yang dapat menghancurkan atau memusnahkan
serangga tersebut, misalnya penggunaan insektisida yang berlebihan, seyogyanya
dihindarkan.

Di Indonesia, perhatian terhadap serangga hama mulai diberikan oleh para


entomologiwan terapan pada awal abad ke-20 dengan mempelajari serangga yang
menjadi hama padi, Agrotis sp dan Hesperia phillino . Mengingat makin pentingnya
tanaman pangan bagi perekonomian negara, para entomologiwan kemudian
memberikan perhatian serius kepada hama lain seperti penggerek batang padi, wereng,
dan walang sangit. Sejak tahun 1917, penelitian hama diperluas ke tanaman pangan
selain lain, seperti jagung dan ubi jalar (Adisoemarto, 2006). Dalam perkembangannya,
petani di Indonesia juga harus menghadapi berbagai hama di luar kelompok serangga.
Salah satu hama non serangga yang sangat potensial untuk menimbulkan kerugian
adalah tikus padi sawah (Rattus argentivente Rob & KL) pada padi irigasi di dataran
rendah (Jacob et al., 2003). Kajian mendalam mengenai taksonomi, biologi dan
pengendalian hama hama penting bagi pertanian di Indonesia dapat dipelajari antara
lain pada karya Kalshoven (1981) dengan contoh beberapa hama penting pada tanaman
pangan disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8.

Tabel 7. Serangga dan tungau hama penting tanaman pangan


33

Komoditas Jenis hama (nama umum, nama ilmiah)


Padi sawah Penggerek batang padi : penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas
(Wlk.)) dan penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata(Wlk.)) .
Wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens Stall.)
Kepik padi (Leptocorixa acuta (Thunb.))
Padi gogo Penggerek batang padi merah jambu (Sesamia inferens (Wlk.))
Lalat bibit (Atherigona oryzae Mall.)
Uret perusak akar (Phyllophaga helleri (Brsk.))
Kedelai Lalat kacang (Agromyza phaseoli (Tryon.))
Ulat grayak (Spodoptera litura F.)
Ulat penggerek polong (Etiella zinckenella (Tr.))
Kepik penghisap polong (Riptortus linearis (L.))
Kumbang kedelai (Phaedonia inclusa (Stal.))
Kumbang bubuk kedelai (Calosobruchus sinensis (L.))
Jagung Lalat bibit (Atherigona exiqua Stein)
Penggerek batang jagung (Ostrinia furnacalis (Guen.))
Penggerek tongkol jagung muda (Helicoverpa armigera Hbn.)
Kutu daun jagung (Rophalosiphum maydis (Fitch)
Penggerek biji jagung (Sitophyllus zeamais (Motsch.))
Uret perusak akar (Lepidiota stigma (F.), Phyllophaga heleri (Brsk.), Leucopholis
rorida F.)
Kacang tanah Wereng daun (Empoasca flavescens (F.), Orosius argentatus Evans)
Pelipat daun kacang tanah (Biloba subsecivella (Zell.))
Ubi kayu Tungau merah (Tetranychus cinnabarinus (Boisd.))
Rayap (Macrotermes gilvus (Hag.))
Uret perusak umbi/akar (Leucopholis rorida (F.), Lepidiota stigma F., Phyllophaga
helleri (Brsk.))

Tabel 8. Vertebrata hama penting pada tanama pangan

Padi Tikus sawah (Rattus rattus argentiventer (Rob. & Kl.))


Burung pipit (Lonchura leucogastroides (H. & M.))
Kedelai Tikus sawah (Rattus rattus argentiventer (Rob. & Kl.))
Jagung Tikus sawah (Rattus rattus argentiventer (Rob. & Kl.))
Babi hutan
Kacang tanah Tikus sawah (Rattus rattus argentiventer (Rob. & Kl.))
Kera ekor panjang, babun (kera tidak berekor)
Babi hutan
Ubi kayu Tikus sawah (Rattus rattus argentiventer (Rob. & Kl.))
Babi hutan

VII. PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT): PILAR UTAMA SISTEM PERLINDUNGAN


TANAMAN YANG TANGGUH
34

A. Komponen taktik pengendalian dalam PHT

Komponen hama (pest = omo) dalam konsep PHT meliputi pathogen (jamur, bakteri, virus,
viroid, fitoplasma, tumbuhan parasit), hama dalam arti sempit (serangga, tungau, hama
vertebrata dan nematode) dan tumbuhan pengganggu (gulma). Ada tiga pendekatan pokok
dalam pengendalian hama pada tanaman pangan, yaitu mengurangi sumber inokulum dengan
memanipulasi lingkungan, memadukan berbagai taktik pengendalian yang kompatibel dalam
kesatuan rencana yang terkoordinasi dengan teknik budidaya tanaman, dan analisis biaya dan
keuntungan (Oka, 1976). Pendekatan tersebut seiring dengan model matematis dalam
pengelolaan penyakit tanaman yang diuraikan Triharso (1978), yaitu: (a) mengurangi sumber
penular mula-mula dengan jalan sanitasi, penggunaan jenis yang mempunyai ketahanan
vertikal dan eradikasi secara kimiawi; (b) mengurangi laju infeksi dengan jalan penggunaan jenis
yang mempunyai ketahanan horizontal dan pemakaian fungisida protektan; (c) mengurangi
waktu lamanya terjadi infeksi dengan menggunakan varietas yang genjah atau masak awal atau
penanaman yang lebih awal; dan (d) mengurangi sumber penular mula mula, laju infeksi dan
waktu lamanya terjadi infeksi dengan jaln menggunakan jenis yang tolerance. Apabila dalam
mengimplmentasikan salah satu usaha pengendalian bertentangan dengan perrlakuan lain yang
berguna seperti misalnya pemeliharaan tanaman, maka dengan mengingat keseluruhannya,
hendaknya dicari kompromi terbaik , agar diperoleh hasil yang paling menguntungkan.
Berbagai komponen PHT yang dapat dikombinasikan dalam menghadapi OPT dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Penggunaan Varitas Resisten

Cara ini merupakan cara yang paling murah, aman, relatif tahan lama dan mudah
dilaksanakan oleh petani. Strategi pengelolaan dan peningkatan sifat resisten dilakukan untuk
mempertahankan atau meningkatkan daya guna varitas unggul yang telah dihasilkan.
Ketahanan varitas terhadap OPT ada yang bersifat vertikal, horizontal dan toleran.
Untuk mempermudah dalam menahami sifat tesrebut, Triharso (1978) mengungkapkan
fenomena ketahanan varietas tanaman terhadap penyebab penyakit (patogen). Apabila
dilakukan sederetan inokulasi pathogen pada tanaman inang, jumlah penyakit yang
ditimbulkan sebagai hasil interaksi antara inang dan pathogen tidak menunjukan perbedaan
yang nyata , maka sifat ketahanan tanaman inang tersebut disebut horizontal, sedangkan jika
ada perbedaan yang nyata maka ketahannya disebut vertikal. Ketahanan horizontal reaksinya
tidak diferential, bekerja tidak begitu menyolok (resistensinya rendah), tahan lama (stabil), dan
dikendalikan oleh banyak gen. Ketahanan vertikal reaksinya diferential, bekerja sangat kuat,
35

tidak tahan lama, dikendalikan oleh satu gen (monogenic). Di antara dua jenis ketahanan
tersebut terdapat yang disebut toleransi, yaitu tanaman masih mampu berproduksi meskipun
tanaman tersebut sangat menderita.

Tiga strategi yang dapat dianjurkan untuk mengelola varitas dengan ketahanan
vertikal (Galun & Kush, 1980; cit. Triharso, 1993) yaitu:

a. Melepas beruntun (sequential release) varitas yang memiliki resistensi gen tunggal,
b. Membentuk system pyramid gen vertikal, bentuknya adalah menggabungkan dua atau
lebih gen vertikcal ke dalam suatu kultivar.
c. Mengembangkan varitas multilini, maksudnya membentuk suatau varitas yang terdiri
dari beberapa galur yang memiliki sifat agronomi yang sama, tetapi berbeda dalm hal
resistensinya terhadap sejumlah biotipe atau ras dari OPT penting.
Penggunaan varitas unggul secara bijaksana dan spesifik lokasi akan sangat bermanfaat
bagi pembangunan pertanian, tetapi harus dikukung dengan system perbenihan yang tangguh.
Selain ketahanan yang diatur oleh gen secara langsung, ada ketahanan yang disebut sebagai
ketahanan terimbas sebagai akibat pengaktifan potensi ketahanan genetis pada tanaman oleh
elisitor atau inducer yang berupa jasad non patogenik, pathogen, atau bahan kimia. Ketahanan
terimbas sering disebut juga acquired reristance, acquired immunity, immunization, maupun
proteksi silang (cross protection). Menurut Christanti Sumardiyono (2000), pemanfaatan
ketahanan terimbas dapat merupakan salah satu alternatif pengendalian pathogen yang
ramah lingkungan, sehingga layak dipertimbangkan untuk dimanfaatkan sebagai salah satu
komponen pengendalian hama terpadu.

2. Pola tanam

Untuk mengurangi populasi hama dan patogen dapat dilakukan tertib tanam dalam
ruang dan waktu, pergiliran tanam, dan tumpang sari. Cara tersebut dimaksudkan untuk
memotong siklus hidup dan menghambat perkembangan hama atau penyakit, karena cara ini
dapat mempertinggi keanekaragaman jenis tanaman.
Pengurangan gangguan OPT melalui pola tanam sebenarnya merupakan kearifan lokal
telah lama dipraktekan oleh petani tradisional, khususnya di Jawa. Prayitno (2009) yang
mengkaji tembang dalam Surat Chentini menemukan bahwa jauh sebelum lembaga pendidikan
pertanian formal lahir di Indonesia, di Kademangan Pengasih Kabupaten Kulon Progo, telah
terdapat praktek pertanian yang berasaskan pada prinsip prinsip agroekoteknologi yang benar.
Tembang tersebut mengungkap tata letak rumah dan pekarangan, termasuk jenis jenis
tanaman maupun jenis hewan piaraan yang seyogyanya ada dalam lingkungan pekarangan
untuk dapat memenuhi kebutuhan lahir dan bathin.
36

Selain pola tanam, nenek moyang kita telah mewariskan kearifan atau adat kebiasaan
yang tidak tertulis tentang klasifikasi tanah, seleksi benih unggul, kelestarian plasma nutfah,
mengatur lingkungan untuk menghindari OPT, memperhitungkan saat tanam, mengadakan
pengamatan selama musim tanam, keseimbangan hayati terhadap musuh alami, dan
pengelolaan alam (Triharso, 1978).

3. Teknik Bercocok Tanam

Cara ini merupakan pengendalian yang murah, mudah, terpercaya dan aman tehadap
lingkungan. Agar dapat berhasil dengan baik, cara ini perlu didukung dengan pengetahuan
bioekologi yang serba cakup dari hama, pathogen dan gulma. Cara ini meliputi tiga kategori,
yaitu:

a. Yang berhubungan dengan fenologi hama atau penyakit (watu tanam dan panen yang
tepat)
b. yang berhubungan dengan pengelolaan tanaman (pengelolaan tanah, pengairan, jarak
tanam dan pemupukan),
c. yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan tanaman atau hama (sanitasi, air
pengairan)

Mengenai pentingnya bioekologi hama dalam pengelolaan OPT, Oka (1979)


memberikan contoh terkait dengan pengendalian virus kerdil hampa pada padi (rice rugged
stunt virus). Ekobiologi virus tersebut adalah: Virus ditularkan oleh wereng coklat (Nilaparvata
lugens) ; sifat penularan persisten, tidak diturunkan ke progeni; semua varitas peka, efisiensi
pnularan 10 20%; serangan bersifat endemik; belum diketahui sumber gen untuk resisten,
tanaman inang lain Echinochloa crusgalli dan Ehinochloa colonum. Teknik bercocok tanam yang
dianjurkan adalah menanam secara serempak, pergiliran tanaman dengan bukan padi, sanitasi
selektif (singgang padi dan kedua gulma inang dibinasakan), pengamatan populasi wereng,
pengamatan musuh alami wereng, penggunaan pestisida berdasarkan hasil pengamatan, dan
meningkatkan peran musuh alami.

4. Cara Fisik dan Mekanik

Cara ini meliputi berbagai teknik yang berhubungan dengan perilaku hama (lampu
perangkap atau bahan perangkap lain), teknik yang berhubungan dengan toleransi hama
terhadap lingkungan hidup (angin, temperature, kelembaban, ultrasonic) dan teknik secara
mekanik (gropyokan, pembakaran dan perendaman).
37

Terkait dengan teknik ini, petani juga sudah mempraktekan kearifan lokal yang menurut
penururan mereka sangat berhasil. Hadisutrisno (1999) mengemukakan bahwa transmigran
asal Boyolali di Kecamatan Manggala, Lampung Utara, mempunyai kebiasaan yang unik dalam
menghalau hama burung pada padi secara efektif dan efisien. Mereka menghalau burung di
sawah dengan memasang tiruan kepala burung yang terbuat dari potongan kain plastik dengan
warna dasar kuning pada kepala burung, sedangkan matanya berwarna coklat kemerahan.
Hal yang serupa dilakukan oleh penduduk Jepang yang tinggal di apartemen dalam menghalau
datangnya burung merpati yang mengotori beranda. Mereka memasang tiriun bola mata
burung pemangsa yang sudah tersedia secara komersial, berupa bola berwarna kuning dengan
gambaran lingkaran yang berwarana hitam.

Sebagian petani di Jawa telah lama menghindari kerusakan benih dengan cara
menggangtukan benih benih tanaman (misalnya bawang merah) di atas paga paga di dapur.
Dengan cara ini petani dapat menghindarkan penyakit kropos pada benih bawang merah dan
bawang putih yang sering terjadi di simpanan, tanpa harus menggunakan pestisida.

5. Zat Kimia yang mempengaruhi perilaku Hama

Penerapan rangsangan bahan kimia sebagai metode pengendalian hama merupakan hal
yang relative baru, tetapi potensinya sebagai alternative yang aman sangat besar. Sebagai
contoh bahan tersebut adalah, feromon yang memberikan reaksi spesifik. Karena sifatnya yang
spesifik, penggunaan feromon merupakan salah satu metode alternative yang kini banyak
dikembangkan. Pada dasarnya feromon dapat diterapkan untuk: (a) survey hama sebagai dasar
tindakan pengendalian; (b) mengendalikan hama dengan mengkombinasikan dengan senyawa
lain seperti insektisida atau kemosterilan, (c) mengendalikan hama dengan cara memberikan
feromon sampai jenuh sehingga srangga hama kehilangan orientasi dan tidak mampu
berkopulasi.

6. Pengendalian Secara hayati

Karena perbedaan dalam latar belakangnya, para pakar memberikan arti pengendalian
hayati dengan maksud yang agak sedikit berbeda beda. Dalam pandangan Mangoendihardjo
(1995) pengendalian hayati adalah penggunaan agens hayati atau musuh alami dan pesaing
untuk pengendalian organism pengganggu tanaman (OPT). Dalam pengertian sempit
pengendalian hayati didefinisikan sebagai penggunaan musuh alami hama
(parasitoid/predator/pathogen) untuk menekan populasi hama sampai suatu tingkat yang
secara ekonomi tidak merugikan (Mahrub, 2002). DeBach (1964 cit. Sosromarsono, 2006)
memberikan batasan pengendalian hayati sebagai berikut: tindakan parasitoid, predator dan
patogen dalam memelihara kerapatan organisme lain pada rerata yang lebih rendah dari pada
38

kerapatan bila tindakan musuh alami tidak ada. Pendapat lain memahami pengendalian hayati
dalam arti yang lebih luas, yaitu mencakup faktor faktor lain misalnya penggunaan tanaman
tahan OPT, teknik pemandulan diri (auto sterillity), dan manipulasi genetik spesies (Bosch dan
Messenger, 1973 cit. Sosromarsono, 2006). Adapun yang termasuk dalam kategori agens
hayati atau musuh alami adalah burung pemangsa ulat, burung pemangsa tikus, ular pemangsa
tikus, ikan pemangsa gulma air, serangga pemakan gulma, parasitoid dan pathogen serangga
hama dan pesaing penyebab penyakit. Keuntungan pengendalian hayati adalah relative stabil,
ekonomis, aman, dapat berlangsung secara mandiri secara terus menerus (Triharso, 1993).
Pengendalian hayati sudah lama dipraktekan di bidang pertanian. Di Cina
pengendalian OPT dengan menggunakan musih alami sudah dimulai sejak tahun 1200 dan
mengalami puncak kegiatannya pada sekitar dua decade terakhir abad ke-19
(Mangoendihardjo, 1995). Di California pada tahun 1888/1889, introduksi predator Rodolia
cardinalis (Mulsant) telah berhasil untuk mengendalikan kutu Kerya purchase Maskel (
Greathead, 1992 cit. Mahrub, 2002). Indonesia juga sudah lama memanfaatkan pengendalian
hayati OPT di sektor pertanian. Pada masa pra-kemerdekaan pemerintah kolonial Belanda
sudah mempunyai perhatian yang besar terhadap pemanfaatan musuh alami pada pertanian.
Dilaporkan bahwa pada 1915 an Belanda telah berhasil memanfaatkan parasitoid untuk
berbagai hama kelapa seperti Brontispa longisima di Sulawesi Selatan, Aspidiotus destructor
dan Sexava nubila di Sulawesi Utara,
Menandai peringatan 60 tahun Indonesia merdeka, Sosromarsono (2006) telah
merekam secara secara tuntas sumbangan nyata para ilmuwan Indonesia, khususnya di bidang
entomologi terapan, dalam mengisi kemerdekaan melalui pengembangan pengendalian hayati.
Mereka termasuk sebagian ilmuwan Indonesia yang telah menumpahkan jiwa raga mereka
untuk bekerja dalam bidang ilmu, lingkungan tempat mereka bekerja kurang menguntungkan
(Sastrapraja dan Rifai, 2006). Salah satu catatan penting yang dikemukaan oleh Sosromarsono
(2006) yaitu bahwa dua darsa warsa sebelum konsep pengendalian hama terpadu (PHT)
dilahirkan oleh Stern et al. pada tahun 1930an, pengendalian ulat daun kelapa di Jawa Tengah
pada tahun 1930an telah dilakukan dengan pendekatan dan prinsip prinsip tindakan yang
sekarang disebut sebagai PHT. Untuk menyusun strategi pengendalian dimulai dengan
penelitian ekobiologi dan teknik yang efektif untuk mengendalikan hama kelapa tersebut. Dari
hasil penelitian diketahui bahwa instar instar ulat Artona ternyata diserang oleh parasitoid,
yang dalam keadaan normal dapat menekan populasi Artona sehingga tidak merusak, dan tidak
perlu dilakukan pengendalian. Pada saat itu ditentukan tahap pertama ambang pengendalian,
yaitu rerata lima stadia hidup hama pada dua daun (pelepah) tua. Selanjutnya didasarkan atas
pengetahuan pengaruh parasitasi oleh parasitoid serta persentase parasitasi total semua stadia
Artona. Apabila rerata lima stadia hidup ditemukan pada dua daun tua, tetapi 80% dari stadia
itu diserang oleh parasitoid, maka tidak dilakukan tindakan pengendalian. Sebaliknya jika
tingkat parasitasi pada lima stadia hama tersebut oleh parasitoid kurang dari 80%, maka
39

dilakukan pengendalian dengan memadukan cara pengendalian hayati, mekanis dan kimiawi.
Pengalaman yang sama ternyata juga telah dilakukan oleh Perkebunan Tebu di Jawa Timur
dalam mengendalikan kutu daun lilin tebu (Ceratovacuna lanigera) yang dimotori oleh Stasiun
Penelitian Gula Pasuruan. Pada saat yang hamper bersamaan Pemerintah Kolonial Belanda
juga sangat intensif melakukan penelitian dan memanfaatkan agens hayati untuk mengendalian
berbagai OPT penting pada tanaman tembakau di Sumatera Utara dan lamtoro di Jawa Tengah.
Selain untuk mngendalikan hama serangga, pada saat itu juga telah agens hayati yang sangat
efektif untuk mengendalikan gulma.
Meskipun pada awal masa kemerdekaan Indonesia kekurangan sumber daya manusia
(SDM) dalam bidang pengendalian hayati, saat ini perkembangan pengendalian hayati di
Indonesia sangat menggembirakan. Saat ini telah tersedia berbagai agens hayati baik untuk
pengendalian OPT kelompok hama, penyebab penyakit (pathogen), dan gulma.
Mangoendihardjo (1995) bermimpi bahwa agens hayati akan menjadi komponen utama PHT
Indonesia masa depan. Mimpi tersebut hanya dapat terwujud apabila kita berhasil
mengembangkan SDM yang handal, mendapatkan dukungan dana yang cukup,
mengembangkan kelembagaan yang sinergis, dan membangun komunikasi yang efektif.

7. Pengendalian Dengan Pestisida

Istilah pesticide (pest = pangganggu; caedo = membunuh), arti sesungguhnya adalah


pembunuh pengganggu atau pembunuh hama dalam arti luas. Tetapi istilah ini sering tidak
dimengerti oleh petani kemudian diterjemahkan menjadi obat anti hama. Istilah obatpun
membingungkan, karena dalan bahasa sehari hari petani sering minum obat untuk
menyembuhkan penyakitnya. Untuk menghindari kecelakaan dan hal hal yang tidak diinginkan
perlu diganti dengan istilah yang lebih tepat. Sementara diusulkan untuk menggunakan racun
hama untuk pestisida, racun serangga untuk insektisida, racun gulma untuk herbisida, dan
racun jamur untuk fungisida (Triharso, 1978).

Tidak dapat dibantah lagi bahwa preranan pestisida di sektor pertanian sangat penting
dan hampir tidak mungkin dipisahkan dengan kehidupan manusia pada umumnya (Supratoyo,
1977). Bahkan di negara negara yang sudah maju, teknologi pertanian mutakhir telah
menjadikan pestisida sebagai bagian integral dalam usaha menaikkan dan mempetahankan
produksi pertanian yang tinggi, serta menolong jiwa manusia (Semangun, 1975). Kiranya terlalu
panjang jika harus dipaparkan semua peristiwa penting di Indonesia yang penanggulannya
dilakukan terutama dengan pestisida. Sekedar sebagai gambaran, akan diberikan beberapa
contoh:
40

a. Ledakan hama Sexava pada pertanaman kelapa di daerah Indonesia bagian timur
(Kepulauan Sangir Talaud) pada tahun 1960an dapat dikendalikan dengan
penyemprotan Diazinon 100 EC melalui penyemprotan udara.
b. Hama wereng Coklat yang berkecamuk hampir di seluruh daerah pertanaman padi
pada tahun 1974-1976 dapat diatasi dengan baik dengan memadukan penanaman
varitas unggul tahan wereng (VUTW) dan penggunaan berbagai insektisida.
c. Di sektor kesehatan, insektisida antara lain DDT, BHC, Aldrin, Dieldrin, telah berjasa
untuk mengendalikan nyamuk, penular penyakit malaria dan demam berdarah.

Karena hasilnya yang cepat dirasakan, sedangkan dampak negatif penggunaan pestisida
umumnya tidak langsung kelihatan, maka penggunaan pestisida bertambah dengan pesat.
Meningkatnya penggunaan pestisida di sektor pertanian juga tidak lepas dari peran konsumen
yang selalu menghendaki produk pertanian yang secara absolute bebas dari serangan OPT.
Dapat dipahami bahwa pestiida pernah dianggap sebagai dewa penyelamat yang menjamin
terbebasnya komoditas pertanian dari gangguan OPT (Oka, 1995).

Pestisida bukanlah racun yang tanpa pengaruh negatif. Selain mempunyai dampak
ekobiologi, penggunaan pestisida juga sering menimbulkan masalah sosioekonomi. Sejak
terbitnya buku Silent Spring yang ditulis oleh Carson pada tahun 1962, kesadaran untuk
meneliti dan mempublikasikan dampak negatif dari penggunaan pestisida yang tidak bijaksana,
meningkat dengan tajam (Oka, 1995). Dampak negatif tersebut antara lain:

a. Penggunaan salah satu jenis pestisida untuk mengendalikan salah satu jenis OPT,
dapat menggalakan serangan penganggu yang lain. Antara lain terdapat tanda tanda
bahwa pemakaian fungisa tembaga untuk mengendalikan penyakit cacar teh, dapat
memicu berkembangnya tungau. Pemakaian herbisida untuk mengendalikan gulma
pada teh, ternyata menggalakkan perkembangan bermacam macam ulat dan
Helopeltis. Di luar negeri telah dibuktikan bahwa pemakaian herbisida 2,4-D untuk
membrantas gulma menyebabkan tanaman pokoknya menjadi lebih peka terhadap
bermacam macam serangga, jamur pathogen dan virus (Semangun, 1975).
b. Hama sasaran berkembang menjadi lebih kebal terhadap pestisida (Edwards, 1993
cit. Oka, 1995). Ditinjau dari segi mekanismenya, ketahanan terhadap pestisida dapat
bersifat morfologi, biokimia dan watak (Supratoyo, 1977)
c. Hama tertentu, misalnya hama wereng, menjadi lebih banyak (Laba dan Soejitno,
1987 cit. Oka, 1995).
d. Musuh musuh alami (predator, parasitoid) dan makluk makluk bukan sasaran (belut,
katak, kadal, lebah madu, serangga penyerbuk, cacing tanah, ikan, insekta air, jamur
mikoriza, bakteri penambat nitrogen) ikut terbunuh.
e. Pestisida meninggalkan residu dalam tanaman dan hasil tanaman.
41

f. Pestisida mencemari lingkungan fisik yaitu udara, air, dan tanah.


g. Pestisida tertentu dapat menimbulkan pembesaran biologis seperti DDT dan
formulasi sebangsanya.
h. Pestisida menimbulkan kecelakaan bagi manusia dan hewan ternak (keracunan
akut/kronik dan kematian) (Oka, 1995)

Dua gatra penting yang berhubungan dengan masalah pencemaran lingkungan oleh
pestisida adalah pengaruhnya terhadap manusia dan binatang piaraan, yang dapat tercemar
melalui makanan, dan terhadap organism bukan sasaaran yang dapat terpengaruh oleh
akumulasi pestisida melalui rantai makanan. Hewan vertebrata bukan sasaran tidak lepas dari
pengaruh pencemaran pestisida. Di Inggris, misalnya, berbagai burung pernah dilaporkan
mengandung residu pestisida yang cukup tinggi, bahkan sampai pada tingkat mematikan.
Demikian pula di dalam hati sejumlah kelelawar ditemukan DDE (10.68 ppm), DDT (4,62 ppm,
dan Dieldrin (0,29 ppm). Sejak tahun 1970an di banyak bagian dunia, keracunan pestisida telah
mengakibatkan burung burung, terutama yang hidup di tepi pantai, bertelur dengan kulit tipis
atau tanpa kulit sama sekali, sehingga meupakan penyebab utama penurunan populasi
beberapa jenis burung tersebut (Kadarsan, 1976).

Akibat adanya DDT dan senyawa hasil uraiannya dalam ekosistem perairan
menyebabkan kematian amfibia pradewasa, dan dewasa, serta menimbulkan perubahan dari
kelakuan dan kelainan morfologi, seperti terjadinya ekor dan moncong yang tidak normal
(Kadarsan, 1976).

B.. Sifat dan prinsip dasar PHT

Berdasarkan pertimbangan bahwa penggunaan pestisida telah menimbulkan dampak


ekobiologi dan sosioekonomi yang sangat luas, bahkan dikawatirkan dapat mengancam
keberlanjutan usaha pertanian, maka sejak tahun 1960an dengan dipelopori oleh Pickett et al. (
1958, cit. Oka, 1995) di Kanada dan oleh Stern (1959, cit. Oka, 1995) di Kalifornia,
dikembangkan konsep baru dalam pengendalian OPT, yaitu apa yang disebut pest
management. Dalam konsep ini yang dimaksud dengan pest (hama=omo) meliputi hama
dalam arti sempit, penyakit, gulma maupun hama hama yang termasuk vertebrata (Soerjani et
al., 1979). Pest management mirip dengan integrated pest control, yaitu pemberantasan OPT
dengan pemakaian kombinasi yang terbaik antara cara cara bercocok tanam, hayati, kimiawi,
maupun fisik, dengan tujuan untuk mendapatkan populasi hama di bawah ambang ekonomi
(economic level), dengan sangat memperhatikan faktor faktor ekologis dan ekonomis
(Semangun, 1975). Lebih lanjut NAS (1972, cit. Soerjani et al., 1979) merumuskan pest
management sebagai suatu konsolidasi dari segala macam cara untuk menjaga populasi pest
dalam tingkat sedemikian rupa sehingga secara ekonomis tidak merugikan dan dengan akibat
sampingan terkecil terhadap lingkungan hidup. Integrated control tersebu sering juga disebut
42

harmonious pest control, total pest control, ecological pest control, total population
approach, holistic approach, maupun environmental pest control. Dewasa ini di Indonesia
dikenal sebagai Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Sifatnya dinamik dan regional, sebab yang
dihadapi adalah proses yang selalu berubah dari system interaksi yang kompleks antara hama,
lingkungan, keadaan social, dan ekonomi (Oka, 1976).

Beberapa pakar, seperti Peter Kenmore (1993, cit. White et al., 1996), berusaha
menghindari istilah teknologi sehingga memberikan pengertian sebagai berikut: PHT bukan
merupakan teknologi. PHT merupakan proses pemecahan masalah hama, yang dilakukan oleh
petani berdasarkan pengalaman, hasil belajar, dan hasil penelitian sendiri. Dalam pemecahan
masalah tersebut petani sangat memperhatikan pengaruh pestisida terhadap kesehatan
manusia dan lingkungan, keberlanjutan ekosistem pertanian, analisis ekonomi.

Lima sifat penting yang membedakan PHT dengan cara pengendalian OPT yang
menggunakan pendekatan ad-hoc, misalnya hanya dengan menggunakan pestisida saja, yaitu:

a. Pengendalian hama terpadu (PHT) berorientasi untuk seluruh populasi hama, atau
sebagian besar dari padanya;
b. bertujuan untuk mengurangi ambang rata-rata dari banyaknya hama, sehingga
frekwensi dari fluktuasinya, baik dalm ruang (tempat) maupun waktu, selalu di
bawah ambang ekonomi;
c. sesedikit mungkin memakai cara pembrantasan buatan (artificial control) dan
memakai) cara ini hanya sebagai siuplemen dari pada pengaruh unsure unsure
pemberantasan alamiah. Usaha ini memntingkan penekanan hama oleh factor
factor alam, yang dapat diharapkan akan mempunyai prengaruh yang lebih panjang.
Pestisida hanya digunakan sebagai alternative terakir, bila cara cara yang lain sudah
terbukti tidak efektif;
d. mempunyai manfaat jangka panjang dan luas, dan bukan hanya sekedar usaha
sementara atau setempat;
e. dalam falsafahnya, PHT bertujuan untuk mengendalikan populasi hama dan bukan
bertujuan untuk mendapatkan suatu keadaan yang bebas hama (pest free) (Rabb
and Guthrie, 1970 cit. Semangun, 1975)

Selain harus harus memperhatikan hasil analisis ekologis dan tokskologi, pengambilan
keputusan dalam PHT juga harus memperhatikan hasil analisis ekonomi. Analisis ekonomi
terutama diperlukan untuk menentukan dan seterusnya menggunakan ambang ekonomi untuk
menentukan tindakan pengendalian, menafsir faktor faktor yang mempengaruhi pengambilan
keputusan dalam pengelolaan hama, serta menilai keberhasilan suatu cara pengendalian yang
diterapkan (Carlson, 1971).
43

Ambang ekonomi merupakan salah alat penting untuk menentukan perlu tidaknya
suatu tindakan pengendalian dilakukan. Konsep dasar ambang ekonomi sudah diterima oleh
semua pihak, namun penerapannya di lapangan masih menghadapi banyak kesulitan (Untung,
1979). Untuk menilai keberhasilan suatu pengendalian cara yang lazim dilakukan adalah
dengan menghitung nisbah manfaat-korbanan (benefif-cost ratio) (Ordish dan Dufour, 1969).
Agar PHT dapat dilaksanakan dengan baik, pelaku usaha tani (petani) seharusnya
mampu secara mandiri melakukan langkah langkah berikut: (1) Analisis masalah dengan tepat,
(2) Pemilihan cara pengendalian disertai analisis dampaknya terhadap lingkungan, (3)
Pelaksanaan pengendalian disertai penilaian yang mungkin berupa umpan balik terhadap
langkah pertama, dan (4) program pengendalian jangka panjang (Soerjani et al., 1979).

ANALISIS MASALAH

PEMILIHAN CARA
PENGENDALIAN

PELAKSANAAN
PENGENDALIAN DAN
EVALUASI

PROGRAM PENGELOLAAN
JANGKA PANJANG

Gambar1. Keempat langkah yang ditempuh dalam pengelolaan hama (Soerjani et. al., 1979)

Langkah berikutnya

Umpan balik
44

Jika upaya yang dilakukan Stern et al. (1959, cit. Oka, 1995) untuk mengurangi peran
pestisida dalam pengelolaan OPT dapat dipandang sebagai tonggak sejarah awal kelahiran PHT,
maka sebenarnya pendekatan yang ideal ini sudah berumur lebih dari 50 tahun. Berbagai
negara optimis bahwa implementasi PHT dapat menurunkan jumlah penggunaan pestisida dan
seluruh dampak negatifnya. Indonesia juga telah menerima PHT sebagai kebijakan yang harus
dilakukan dalam perlindungan tanaman. Komitmen Pemerintah Indonesia dalam menerapkan
PHT antara lain dapat dibuktikan dengan dibentuknya Program Nasional PHT. Pemerintah juga
telah meletakkan landasan hukum yang kuat bagi implementasi PHT sebagaimana diatur dalam
Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992
Tentang Sistem Budidaya Tanaman.
Salah satu program penting dari Program Nasional PHT adalah mengembangkan
Sumber Daya Manusia melalui Sekolah Lapangan PHT (SLPHT). Melalui SLPHT petani dilatih
secara intensif dengan pendekatan partisipatif untuk menjadi pelaku PHT yang handal dan
menjadi manager di lahannya sendiri (Oka, 1995). Dalam SLPHT pendidikan dirancang khusus
untuk orang dewasa, dalam arti mereka didorong untuk terlibat secara aktif dalam proses
belajar-mengajar, mencari-menemukan masalah, meneliti-diskusi tentang persoalan yang
dihadapi. Setelah mengikuti SLPHT diharapkan petani mampu melakukan penalaran yang lebih
terarah dengan kesimpulan atau keputusan yang rasional dalam mengatasi hama tanaman
mereka. Cara ini tidak hanya menjadikan petani trampil melakukan suatu teknologi, tetapi juga
memiliki pengertian mengapa teknologi tersebut dilakukan.
Hasil evaluasi awal mengenai pelaksanaan SLPHT di Indonesia menujukkan hasil yang
cukup membanggakan. Program SLHPT telah menghasilkan lebih dari satu juta alumni yang
siap mengamankan produksi (khususnya pangan dan hortikultura) dengan cara cara yang tidak
merusak lingkungan, khususnya dengan cara mengurangi penggunaan pestisida. Sebagai
contoh, petani yang secara konsisten mengimplementasikan PHT mereka dapat mengatasi
Wereng Coklat tanpa menggunakan pestisida, setelah mereka menerapkan pola dan pergiliran
tanaman yang benar, penanaman varietas tahan, dan pemanfaatan musuh alami. Keberhasilan
SLPHT juga telah dikenal di dunia internasional, sehingga konsep dan implementasi SLHPT di
Indonesia telah banyak menjadi acuan dalam mengatasi OPT di berbagai Negara, antara lain
Thailand, Vietnam, Bangladesh, Sri Lanka, Filipina, Malaysia dan Korea Utara (Oka, 1995).
Meskipun penerapan PHT telah diakui sukses untuk mengatasi masalah OPT pada
berbagai komoditas di berbagai Negara, namun masih terdapat peluang untuk lebih
menyempurnakan konsep tersebut. Salah satu penyempurnaannya adalah dengan apa yang
disebut sebagai areawide pest management (AWPM). Definisi AWPM adalah pengurangan
secara sistematis hama sasaran, untuk mencapai tingkat populasi yang rendah dengan cara
penerapan taktik mitigasi secara seragam dalam suatu wilayah geografi yang berbasis kriteria
biologi (Faust, 2008). Secara filosofis, tidak ada perbedaan yang mendasar antara PHT dengan
AWPM, sedikit perbedaan terutama hanya dalam skala wilayah jangkauan dan
45

pelembagaannya. Selama ini PHT banyak dilakukan oleh individu dan terbatas dalam lingkungan
usaha taninya, AWPM lebih menekankan perlunya pengendalian dalam areal yang sangat luas
dengan tanggung jawab bersama. Agar dapat memberikan hasil yang memuaskan AWPM harus
dilakukan : (1) pada wilayah geografis yang luas; (2) harus dikoordinasi oleh organisasi
produsen; (3) seyogyanya memasukan taktik eradikasi, dan jika memungkinkan diupayakan
untuk mencapai polulasi hama pada aras yang tidak merugikan; dan (4) seyogyanya ada taktik
pengendalian yang melibatkan otoritas, sebab dari pengalaman taktik pengendalian yang
sifatnya sukarela kurang dapat mencapai tujuan dengan baik.
Salah satu indikator penting keberhasilan implementasi PHT adalah apabila jumlah
penggunaan pestisida yang digunakan di sektor pertanian dapat dikurangi secara nyata. Orasi
Ilmiah yang disampaikan oleh Trisyono (2006) menunjukkan bahwa prestasi Indonesia dalam
bidang ini, masih belum menggembirakan. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Untung
(2004) bahwa tidak ada korelasi yang positif antara program SLPHT dengan menurunnya
penggunaan pestisida secara nasional. Belum dapat diturunkannya penngunaan pestisida di
Indonesia antara lain belum tersediannya alternative pengendalian non pestisida yang lebih
efektif, masih kurang sinerginya antara kebijakan pendaftaran pestisida dengan PHT, dan masih
lemahnya managemen pestisida (Trisyono, 2006). Belum adanya insentif terhadap petani yang
mengimplentasikan PHT secara konsisten, juga merupakan salah satu factor pendorong petani
untuk tetap menggunakan pestisida dalam jumlah yang banyak. Trisyono (2006) juga
memprihatinkan adanya fenomena terus meningkatnya jumlah pestisida yang mendapat ijin
untuk diperdagangkan di Indonesia, sedangkan di berbagai negara maju jumlah tersebut
berhasil dikurangi secara nyata.

C. Berbagai Kendala Dalam Pelembagaan dan Penerapan PHT

Indonesia mempunyai pengalaman yang panjang tentang penelitian, pengembangan


dan pelaksanaan pengendalian OPT dengan pendekatan PHT, namun sampai saat ini kiprah
PHT dalam mendukung kedaulatan pangan harus diakui masih belum optimal. Berbagai
kendala yang dapat menghambat pengembangan pendekatan baru dalam system perlindungan
tanaman (Oka, 1995 ; Untung, 2000), tampaknya menarik untuk didiskusikan.
Salah satu penyebab belum optimalnya prestasi kita dalam pembudayaan konsep PHT
di tingkat petani adalah belum mantabnya kelembagaan yang mengawal konsep tersebut. PHT
mulai mendapat perhatian pemerintah secara serius pada era Orde Baru yang menganut
paradigma sentralisasi. Pada saat awal pengembangannya, pemerintah telah mengeluarkan
investasi yang sangat besar untuk menumbuh kembangkan PHT sehingga hasilnya PHT kita,
khususnya pendekatan SLPHT telah berkembang di masyarakat, bahkan dijadikan acuan di luar
negeri. Dengan berubahnya paradigma pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi,
tedapat variasi yang cukup besar mengenai perhatian dan pengawalan pelaksanaan PHT di
46

berbagai daerah. Hal ini sangat wajar karena masing masing daerah memang berbeda dalam
hal potensinya di bidang pertanian. Selanjutnya masing masing Kepala Daerah juga mempunyai
perbedaan pandangan mengenai pentingnya sector pertanian di wilayahnya. Karena
pendekatan dalam PHT adalah lintas sektoral, maka agar di era desentralisasi ini PHT tetap
berkembang di daerah, diperlukan koordinasi yang efektif dan komitmen pimpinan dareah yang
kuat.
Di aras pusat, dalam hal ini Kementrian Pertanian, juga telah terjadi perubahan yang
mendasar dalam memposisikan PHT. Meskipun PHT tetap diterima sebagai konsep yang paling
tepat untuk dikembangkan dan diterapkan, tampaknya ada perbedaan strategi dalam
kebijakan dasar dalam memposisikan PHT di era orde baru dan di era reformasi. Dalam hal
usaha pelembagaan PHT di tingkat petani misalnya, dulu PHT didukung dengan program
nasional Sekolah Lapangan Pengelolaan Hama Terpadu (SLPHT), sehingga dalam waktu yang
relative cepat dapat dihasilkan petani pejuang PHT yang cukup banyak. Dewasa ini
pelembagaan PHT diintegrasikan ke dalam program Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SLPTT) yang diyakini merupakan pendekatan terbaik dalam peningkatan produksi
pertanian di era reformasi. Memang belum ada evaluasi secara sistematis pengaruh
diintegrasikannya SLPHT ke dalam SLPTT terhadap kualitas penerapan PHT di lapangan, namun
terhadap indikasi bahwa di beberapa daerah PHT mengalami mati suri yang ditandai dengan
bangkitnya kembali pola berfikir lama dan konvesional bahwa pestisida adalah dewa
penyelamat yang dapat menjamin keberhasilan produksi pertanian.
Menurut Untung (2004) hambatan penting lain dalam pengembangan PHT adalah
kurangnya hasil penelitian baik dari Perguruan Tinggi maupun Lembaga Penelitian yang dapat
mendukung pelaksanaan PHT di lapangan. Tidak sedikit para peneliti yang memberikan
rekomendasi pengendalian dengan hasil hasil penelitian yang sudah usang, sehingga kurang
efektif dan efisien untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh petani di lapangan.
Mengenai masalah penelitian di bidang perlindungan tanaman, tidak lepas dari
permasalahan penelitian di Perguruan Tinggi Indonesia pada umumnya sebagaimana telah
disampaikan oleh Koeswara (2002, cit. Koeswara, 2006) antara lain:
a. Adanya kesenjangan kapasitas kemampuan baik antar perguruan tinggi maupun
antar disiplin ilmu.
b. Rendahnya budaya meneliti di antara tenaga akademik. Di banyak perguruan tinggi
orientasi pengajaran dan pendidikan masih lebih dominan dari pada penelitian.
Kegiatan penelitian lebih didorong oleh keinginan untuk menambah penghasilan dan
mendapatkan kredit untuk kenaikan pangkat dari pada untuk mendapatkan
pengetahuan baru dan peningkatan proses pembelajaran.
c. Keterbatasan dana penlitian
d. Belum tersedianya payung penelitian. Para peneliti umumnya masih melakukan
penelitian sendiri sendiri atau dalam kelompok kecil tanpa ada program institusi
47

yang mengkoordinasikan dana, fasilitas, sumberdaya manusia maupun tema tema


unggulan.
e. Rendahnya kualitas penelitian terutama karena rendahnya kemampuan dan
penguasaan metode penelitian yang baik.
f. Masih rendahnya publikasi ilmiah dalam jurnal profesi dan jurnal ilmiah yang
terakreditasi.
g. Masih rendahnya penerimaan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) para peneliti
sehingga masih sedikit peneliti yang dapat meningkatkan nilai ekonomi hasil
penelitiannya.
h. Masih rendahnya integrasi program penelitan dan pendidikan, khususnya di
Program Pasca Sarjana.
i. Masih rendahnya kualitas dan efektifitas managemen penelitian.
j. Masih kurangnya kolaborasi penelitian dengan lembaga dan pakar internasional.
k. Masih terbatasnya kerja sama sinergis dalam penelitian antara perguruan tinggi,
industry, pemerintah daerah dan masyarakat.

Kendala lain yang dihadapi dalam pengembangan PHT adalah lemahnya komunikasi oleh
para peneliti PHT di forum ilmiah maupun media popular ang penting bagi petani. Untuk
memperbaiki kemampunan kita menulis di jurnal ilmiah maupun tulisan popular, diperlukan
kerja keras. Hal disebabkan karena budaya kita adalah budaya verbal, sehingga umumnya para
ilmuwan, termasuk ahli ahli PHT, mengalami kesulitan dalam penulisan naskah.
Sebagai salah satu barometer kualitas komunikasi ilmiah para peneliti adalah
kehadiran jurnal terakreditasi di negeri kita. Apabila kita cermati Direktori Berkala Ilmiah
Terakreditasi (Anonim, 2011), memang kondisi komunikasi ilmiah di bidang perlindungan
tanaman sangat memprihatinkan dan ini merupakan tragedi akademik yang harus segera
diatasi. Bayangkan Indonesia dengan permasalahan perlindungan tanaman yang sangat
banyak, memiliki puluhan bahkan mungkin ratusan Guru Besar dan ratusan mungkin ribuan
peneliti dalam bidang perlindungan tanaman, hanya mampu mempersembahkan kepada
bangsa satu jurnal ilmiah yang terakreditasi.
Di hadapan perubahan perubahan global yang sangat dahsyat dan dalam situasi
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat, rendahnya kualitas dan kuantitas
publikasi di bidang perlindungan tanaman, menimbulkan pertanyaan mendasar yang harus
dijawab dengan pikiran jernih. Pertama, apakah memang mutu penelitian kita masih sangat
mempihatinkan sehingga hasilnya tidak layak untuk diterbitkan dalam jurnal yang
terakreditasi?. Kedua, apakah para ilmuwan kita tidak merasa perlu untuk menerbitkan karya
ilmiahnya dalam jurnal terakreditasi?. Ketiga, apakah para ilmuwan lebih senang menerbitkan
karya ilmiahnya pada jurnal yang sudah mapan, misalnya jurnal international, dari pada repot
repot membina jurnal dalam negeri?.
48

Meskipun para pemerhati PHT telah mempunyai perhimpunan profesi, seperti


Perhimpunan Perlindungan Tanaman Indonesia, Perhimpunan Fitopatologi Indonesia (PFI),
Perhimpuna Entomologi Indonesia (PEI), Perhimpunan Nematologi Indonesia (Pernemi), tetapi
pengurusnya umumnya kurang tertarik pada penerbitan jurnal ilmiah yang berkesinambungan.
Mereka lebih tertarik pada kegiatan lain, seperti menyelenggarakan seminar, melakukan
negosiasi untuk memperoleh jabatan struktural atau politis, dari pada menerbitkan jurnal
ilmiah yang berkualitas baik di tingkat nasional maupun global. Selain masalah dana,
penerbitan jurnal ilmiah PHT dihadapkan pada masalah rendahnya kemampuan penyuntingan.
Para anggota dewan penyuntung umumnya terdiri dari para pejabat yang tidak mempunyai
cukup waktu atau para pakar yang bekerja secara sukarela karena hobinya dan dedikasinya
kepada profesi dengan tanpa imbalan yang layak.
Sebenarnya prediksi akan adanya beberapa hal yang berpotensi sebagai kendala dalam
pengembangan PHT di Indonesia telah disampaikan Oka (1995), yaitu: (1) kesinambungan
dalam mendidik kader kader muda yang dapat berperan dalam berbagai aspek PHT (pakar,
peneliti, praktisi, tenaga teknis, penyuluh), (2) belum tuntasnya perunahan paradigma dalam
menyikapi petani dari sebagai bawahan menjadi mitra kerja, (3) masih beredarnya secara legal
berbagai pestisida yang merusak lingkungan, dan (4) tidak mulusnya perluasan PHT dari
tanaman pangan ke tanaman hortikultura dan perkebunan.
Pelaksanaan PHT di lapangan juga sering terkendala oleh ketatnya birokrasi di
pemerintahan, swasta atau masyarakat (Untung, 2000). Hambatan birokrasi dapat bersifat
bersifat fatal apabila berakibat tidak dapat dilakukannya secara tepat rekomendasi
pengendalian. Hal ini dapat terjadi apabila terdapat perbedaan persepsi antar banyak lembaga
yang terkait dengan pelaksanaan pengendalian.

D. Potensi Bioteknologi Untuk Mendukung PHT

Teknologi pemanfaatan jasad hidup secara konvensional sebenarnya telah lama dikenal
antara lain teknologi pembuatan minuman beralkohol, pembuatan tempe, kecap, antibiotic
(Hartiko, 1995) dan pengendalian hayati OPT (Mahrub, 2002). Bioteknologi modern
menawarkan secara revolusioner untuk mengurangi kendala kendala yang dihadapi oleh
biteknologi konvensiolan, antara lain dalam hal efisiensi dan efektifitasnya.

Karena sifatnya yang multidisiplioner, terdapat variasi mengenai batasan bioteknologi. Salah
satu batasan bioteknologi yang banyak diikuti di lingkungan masyarakat perlindungan tanaman
adalah pemakaian tekniknologi biologi untuk mengembangkan proses dan produk dengan
cara mempelajari organism atau bagian bagiannnya (Hedin et al., 1988). Agrios (2005)
menggunakan istilah bioteknolgi sebagai pemanfaatan organism yang secara genetis
dimodifikasai dan atau pemanfaatan teknik dan proses dalam system biologi untuk produksi
dalam industri. Para pakar perlindungan tanaman juga ada yang condong memanfaat definisi
49

bioteknologi yang lebih spesifik untuk tanaman (plant biotechnology) yaitu penggunaan teknik
kultur jaringan dan teknik rekayasa genetic untuk menghasilkan tanaman yang menunjukkan
sifat sifat baru atau memperbaiki sifat sifat yang baik yang sebelumnya sudah ada. Di antaran
sifat sifat baik tersebut adalah daya hasil yang lebih tinggi, kualitas produk yang lebih baik, lebih
tahan terhadap cekaman baik oleh OPT maupun faktor lingkungan. Bioteknologi tanaman juga
memungkinkan diproduksinya protein protein yang bermanfaat yang selama ini disandi oleh
gen pada mikfrobia, hewan dan manusia. Jadi tujuan luasnya adalah peningkatan kuantitas dan
kualitas hasil tanaman dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan terkait dengan
budidaya tanaman tersebut.

Terlepas dari masih adanya pro dan kontra di antara para pakar mengenai perlu tidaknya
memanfaatkan pendekatan bioteknologi dalam menyelesaikan masalah masalah perlindungan
tanaman, kita tidak dapat menutup mata mengenai adanya sumbangan yang sangat nyata oleh
bioteknologi dalam menyelesaikan berbagai persoalan, termasuk dalam pengembangan
perlindungan tanaman yang handal.

Meskipun bioteknologi modern berpeluang untuk memberikan kemungkinan dan kemanfaatan


yang tidak terbatas dalam pengembangan tenologi untuk mendukung PHT, namun tidak semua
teknologi yang berbasis bioteknologi cocok untuk diterapkan pada aras petani, khususnya di
Indonesia yang terdapat banyak petani kecil dan perusahaan pertanian. Keduanya tidak hanya
berbeda dalam kemampuan keuanggannya, tetapi juga dalam hal kemampuan teknologinya
(Semangun, 1989). Besarnya skala usaha harus menjadi salah satu pertimbangan penting bagi
pakar perlindungan tanaman dalam memanfaafkan bioteknologi. Hartiko (1995) mengingatkan
paling sedikit ada empat hal yang harus dipertimbangkan dalam penerapan bioteknologi, yang
mungkin berlaku juga di bidang perlindungan tanaman, yaitu:

a. Pertimbangan Lingkungan hayati. Dalam banyak hal, bahaya hasil rekayasa genetik
(Genetically Modified Organisms = GMO) terlalu di besar besarkan dengan cara kurang
mengedepankan hasil kajian akademis yang sesunguhnya. Untuk Indonesia, potensi
bahaya memang dapat diperbesar sebagai akibat kurangnya tanggung jawab pengelola
hasil rekayasa genetik dan kurangnya fasilitas laboratorium yang handal. Berbagai
bahaya yang mungkin timbul adalah:
1. Terlepasnya organism hasil rekayasa genetik (GMO) ke alam bebas
2. Kurangnya fasilitas pengamanan di laboratorium terhadap gangguan alam atau
terhadap teroris/pencuri sehingga GMO dapat jatuh ke tangan yang orang yang
tidak bertanggung jawab.
3. Penerapan GMO mempunyai kemungkinan besar berakibat terjadinya erosi
genetik karena menterlantarkan tanaman lokal yang di masa depan penting
sebagai sumber gen.
50

b. Pertimbangn kesehatan. Dewasa pertimbangan kesehatan menjadi sangat penting


sebab sejak 1996 luas budidaya GMO di dunia, khususnya tanaman kedelai, jagung,
kapas dan kanola telah mencapai lebih dari 500 juta hektar. Umum sifat GMO dari
keempat tanaman tersebut adalah tahan hama serangga dan herbisida. Tingkat
keamanan pangan dan pakan dari produk GMO tersebut dievaluasi Phipps (2009)
dengan membandingkan kesehatan manusia dan 12 jenis hewan ternak yang diberi
makan yang berasal dari GMO dan non-GMO. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan tingkat keamaanan pakan dan pangan produk GMO dan non-GMO.
c. Pertimbangan Sosial, Ekonomi dan Budaya. GMO berpotensi mengancam keberadaan
petani gurem. Selain harganya yang mahal, GMO biasanya lebih produksif dan dapat
menurunkan harga produk. Situasi demikian akan dapat mengancam kesejahteraan
petani yang tidak mampu memanfaatkan GMO.
d. Pertimbangan Etika. Percobaan lanjut dalam bioteknologi dan rekayasa genetik dapat
saja mengarah pada pemikiran, bahwa hasil inovasi pakar perlu dipatenkan dalam
bentuk intelektual Property Right bahkan tidak mustahil makhkluk hidup dipatenkan.
Dewasa ini kromosom dan gen manusia menjadi komoditas bisnis, sehingga perlu
dipertanyakan apakah DNA manusia boleh diperdagangkan?. Lerbih lanjut gen apapun
asalnya dapat dicampur sehingga kemungkinan mencampur gen manusia dengan gen
asal makluk lain, misalntya gorila, anjing dan sebagainya. Hal ini merupakan masalah
etika yang harus diselesaikan.

Agar pengembangan dan keberadaan GMO di Indonesai dapat mengahdirkan kemanfaatan


yang sebesar besarnya bagi kesejahteraan rakyat, pemerintah melalui Menteri Pertanian
telah menerbitkan SK Mentan No. 856/Kpts/HK.330/9/1997 tentang Ketentuan Keamanan
Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil Rekayasa Genetik (PBPHRG). Selanjutnya Komisi
Keamanan Hayati, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian
telah pula menerbikan Pedoman Pelaksanaan Pengujian Keamanan Hayati Produk
Bioteknologi Pertanian Hasil Rekayasa Genetik (Anonim, 1998). Diharapkan kedua
dokumen tersebut dapat merupakan payung hukum untuk penangan masalah GMO,
termasuk produk produk yang mendukung perlindungan tanaman, di Indonesia. Perlu
diingatkan bahwa secanggih apapun produk teknologi perlindungan tanaman hasil rekayasa
bioteknologi, produk tersebut tetap harus diterapkan dengan memperhatikan filosofi dan
kaidah kaidah yang berlaku dalam konsep PHT.

Meskipun dalam pengembangan bioteknologi masih mengalami kendala, saat ini berbagai
kemungkinan terbuka lebar untuk menggunakan pendekatan bioteknologi dalam
memecahkan masalah perlindungan tanaman, di antaranya:
51

a. Pengembangan perangkat diagnosis patogen berbasis molekular (Pelacak Asam nukleat


atau serologi)
b. Pengembangan varitas tahan melalui teknologi transgenik
c. Peningkatan patogenisitas agen pengendalian hayati (misalnya peningkatan kualitas
Bacillus thuringiensis)
d. Pengembangan gen penanda ketahanan terhadap OPT
e. Identifikasi dan diferensasi biotipe atau strain baru dari OPT
f. Pengembangan bibit bebas pathogen melalui teknik kultur jaringan
g. Pengembangan perangkat deteksi cemaran dalam pangan dan pakan (misalnya
pemanfaatan antibody monoclonal untuk deteksi mikotoksin)
h. Pengembangan perangkat deteksi pathogen untuk mendukung terwujudnya system
karantina yang tangguh.

Untuk memperoleh hasil yang sebaik baiknya dalam penerapan bioteknologi di bidang
perlindungan tanaman, sangat diperlukan penetapan prioritas kegiatan dan sinergi antara
lembaga lembaga pemangku kepentingan. Harus disadari pula bahwa bioteknologi telah
memberikan terobosan terobosan dalam pemecahan masalah diberbagai aspek kehidupan,
khususnya bidang kesehatan dan industri. Bioteknologi juga memberikan peluang untuk
pemecahan masalah masalah perlindungan tanaman di Indonesia, tetapi bioteknologi
bukanlah raja yang dapat menyelesaikan semua masalah. Bioteknologi adalah alat yang
tidak terlepas dari sisi manfaat dan sisi yang merugikan. Oleh kanena itu dalam
pemanfaatan bioteknologi dalam pelindungan tanaman, lebih lebih untuk hal hal yang
menyangkut petani gurem, prinsip kehati hatian tetap harus dikedepankan.

VIII. PENUTUP

Sebagai Negara yang dikaruniai dengan sumber daya alam yang melimpah dan
memerlukan bahan pangan dan pakan yang sangat besar, upaya mewujudkan kedaulatan
pangan bukanlah suatu mimpi yang kosong, melainkan merupakan usaha yang rasional
dilihat dari kepentingan masyarakat banyak. Berhubung terletak di daerah tropika,
Indonesia mempunyai lingkungan yang selain sangat cocok untuk tumbuhnya berbagai
komoditas pangan, juga merupakan surga bagi tumbuh dan perkembangan OPT. Oleh
karena itu, kedaulatan pangan hanya mungkin dicapai apabila dikawal dengan sistem
perlindungan tanaman yang handal. Dalam hal penyakit tumbuhan, misalnya, kita
mempunyai pathogen tropika, tumbuhan pangan tropika, vektor tropika, dan memerlukan
52

taktik pengendalian yang cocok untuk tropika (Semangun, 1973). Untuk itu kita memerlukan
pendidikan dan penelitian khusus yang hanya dapat dilakukan di Negara Negara tropika.

Agar system perlidungan tanaman yang tangguh dapat terwujud, mutlak diperlukan
adanya Sumber Daya Manusia yang tangguh. Dewasa ini masih banyak persoalan
persoalan perlindungan tanaman di Indonesai yang belum terselesaikan, mulai dari
persoalan yang sangat dasar, sampai pada persoalanan praktek di lapangan. Persoalan lain
yang masih memprihatinkan adalah masih rendahnya kemampuan sarjana bidang
perlindungan tanaman untuk ikut dalam berkiprah dalam percaturan pangan di tingkat
global karena rendahnya penguasaan rambu rambu perdagangan internasional dan kurang
mempunyai bernegosiasi secara internatsional. Sehubungan dengan hal tersebut,
peningkatan kualitas sarjana perlindungan tanaman mutlak diperlukan.

Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Arif Wibowo,M.Agr.Sc; Dr. Tri Joko, M.Sc;
Dr. Sedyo Hartono, M.P.; Ir. Tri Harjoko, M.P. dan Prof (ret). Dr. Ir. A. Toekidjan Soejono yang
telah membantu menyiapkan bahan artikel ini. Editing artikel ini dibantu oleh Rahma Ayu
Priani, S.P., untuk itu diucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Adisoemarno, S. 2006. Perkembangan Entomologi Di Indonesia Sesudah Perang Dunia II. Dalam
: Soemodihardjo, S. dan Setijati S. Sastrapradja (penyunting), Enam Dasa Warsa Ilmu
dan Ilmuwan di Indonesia. Naturindo, Bogor, 85-105.
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. Fifth Edition. Elsevier Academic Press. USA.
Agus, A. 2011. Kemandirian dan Keamanan Pakan, Tantangan Masa Depan Pembangunan
Peternakan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Peternakan UGM, 16
Maret 2011. 25 hal.
Agus, A. and Nuryono, 2007. Mycotoxins in Indonesia Feedstuffs. Biotracer General Meeting,
Athens, Greece, 14 16 Nov. 2007.
Anonim. 2006. Sumber Daya Alam Untuk Pembangunan Nasional. Hasil Rumusan Pertemuan
Penulis buku Six Dcades of Science and Scientists in Indonesia. Naturae Indonesiana,
Bogor. 9 p.
Anonim. 1988. Kesimpulan dan Rekomendasi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi IV. LIPI,
PERSAGI, PERGIZI-PANGAN. Jakarta 1-3 Juni 1988. 16 hal.
Anonim, 1992. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem
Budidaya Tanaman. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Dirjen Perkebunan, Deptan,
Jakrta. 112 p.
53

Anomin. 1997. International Plant Protection Convention. Https://www.ippc.int. Diakses pada


tanggal 23 AGUSTUS 2011.
Anonim. 1998. Pedoman Pelaksanaan Pengujian Keamanan Hayati Produk Bioteknologi
Pertanian Hasil Rekayasa Genetik. Balitbangtan, Departemen Pertanian, Jakarta. 49 p.
Anonim, 2011. Direktori Berkala Ilmiah Terakreditasi. Direktorat Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendiknas, Jakarta. 31 p.
Brown, L. 2011. The Great Food Crisis of 2011. http://www.foreignpolicy.com/articles/2011/01/
10/the_great_food_crisis_of_2011?page=0,3 Diakses pada tanggal 18 Agustus 2011.
Carlson, G. A. 1971. Economic Aspects of Crop Loss Control at the Farm Level, 2.3/1-2.3/6.
Dalam Chiarappa, L. (Ed.) Crop Loss Assessment Methods. FAO Manual on Evaluation
and Prevention of Losses by Pest, Diseases and Weeds. Alden and Mowbray Ltd. Great
Britain.
Christanti, S. 2000. Ketahanan Terimbas, Kendala dan Prospeknya Dalam Pengendalian Penyakit
Tumbuhan. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, 11 Maret
2000. 28 P.
Faust, R.M. 2008. General Introduction to Areawide Pest Management. In. O. Koul, G. Cuperus
and N. Elliott (Eds.). Areawide Pest Management, Theory and Implementation, CABI, UK.
: 1-14 p.
Ferry, N. and A.M.R. Gatehouse. 2009. Environmental Impact of Genetically Modified Crops.
CABI, UK. 424 p.
Hadisutrisno, B. 1999. Kearifan Petani dalam Pengendalian Penyakit Tanaman : Telaah
Epidemiologis dan Kemungkinan Pengembangannya di Indonesia. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Madya dalam Epidemiologi Penyakit Tumbuhan pada Fakultas
Pertanian,UGM. Yogyakarta.
Hadisapoetro, S. 1977. Perluasan areal pertanian dalam menunjang peningkatan produksi
pangan. Ratek Ditlin. Jakarta: 25 P.
Hartiko, H. 1995. Penerapan Bioteknologi pada Sektor Pertanian untuk Meningkatkan Kualitas
dan Kuantitas Produk Pertanian menghadapi Pasar Bebas. Sem. Peluang dan Tantangan
Sektor Pertanian Menuju Perdagangan Bebas. SEMA Pertanian PT Sarjana Wiyata,
Yogyakarta, 19 Juni 1995.
Heather, N. W., and G. J. Hallman. 2008. Pest management and phytosanitary trade barriers.
CABI International. 257 p.
Hedin, P.A., J.J. Menn, and R.M. Hollingworthh. 1988. Biotechnology for Crop Protection.
American Chemical Society, Washington. 473 p.
Horst, R.K. 2008. Westcotts Plant Disease Handbook. 7th Edition. Springer, New York. 1315 p.
Jacob, J., Sudarmaji and G.R. Singleton. 2001. Ecological based management of rice-field rats on
a village scale in West Java: experimental approach and assessment of habitat use. In
G.R. Singleton, Hinds, L.A., Krebs, C.J. and D.M. Spratt (Eds.). Rats, mice. And people:
rodent biology and management. ACIAR MONOGRAPH SERIES., Canberra. 191-197.
Kadarsan, S. 1976. Pengaruh Samping Pestisida Terhadap Hewan Vertebrata bukan Sasaran.
Aspek Pestisida di Indonesia : Hasil Simposium Peranan Pestisida dalam Pengelolaan
Hama-Penyakit Tanaman dan Tumbuhan Pengganggu. LPPP Bogor Edisi khusus 3 : 71-75
Kalshoven, L.G.E. 1951. De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. NV. Vitgeverrij. W. Van
Hoeve, Bandung, 512 p.
54

Koswara, J. 2006. Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat di Pendidikan


Tinggi di Indonesia. Dalam Soemodihardjo, S. dan Setijati S. Sastrapradja (penyunting),
Enam Dasa Warsa Ilmu dan Ilmuwan di Indonesia. Naturindo, Bogor, 413-439.

Maarif, A. S. 2004. Indonesia Baru di Tengah Pertarungan antara Mosaik Budaya yang Elok Kaya
dengan Ancaman Keserakahan. Pidato Penerimaan Anugerah Hamengku Buwono IX.
UGM. 14 p.
Mahrub, E. 2002. Potensi Pengendalian Hayati dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian, UGM. Yogyakarta. 27
p.
Mangoendihardjo, S. 1995. Pengendalian Hayati Komponen Utama Pengelolaan Jasad
Pengganggu. Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM. Yogyakarta
Oka, I.N. 1976. Ekologi Pengelolaan Hama Penyakit Tanaman. Kongres Nasional PFI ke IV.
Bandung.
Oka, I.N. 1979. Menanggulangi Masalah Penyakit Tanaman Berdasarkan Konsep Pengelolaan
Intergritas. Kongres Nasional PFI ke V. Malang.
Oka, I.N. 1995. Sumbangan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam Mengembangkan
Sumberdaya Manusia dan Melestarikan Lingkungan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar dalam Entomologi Pertanian, UGM. Yogyakarta.
Ordish, G. and D. Dufour. 1969. Economic Bases for Protection Against Plant Diseases. Ann. Rev.
Phytopath 7 : 31-50
Phipps, R.H. 2009. Safety for Human Consumption. In N. Ferry and A.M.R. Gatehouse (Eds.),
Enviromental Impact of Genetically Modified Crops. CABI. UK: 278-295.
Prayitno, D. 2009. Sistem Usaha Tani Terpadu SEbagai Model Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan di Tingkat Petani. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Fakultas
Pertanian UGM, 30 Juli 2009. 20 p.
Ronoprawiro, S. 1995. Gulma sebagai Lawan dan Kawan dalam Kehidupan Manusia. Pidato
Pengukuhan Sebagai Gurubesar Fakultas Pertanian UGM. 13 Februari 1992. 23 p.
Sardjono. 2005. Mycotoxigenic fungi and the occurrence of mycotoxins in Indonesian Food
Commodities. The 9th National Congress of Indonesia society for Microbiology.
Denpasar, Bali.
Sardjono, Endang S. Rahayu, Hocking, A.D., and J.I. Pitt. 1992. The mycroflora of cereal and nuts
in Indonesia. Development of Food Science and Technology in South East Asia.
Proceeding of the 4th ASEAN Food Conference92. Jakarta, Indonesia.
Sardjono. 2011. Jamur Benang dan Pengembangannya pada Industri Pengelolaan Hasil
Pertanian, UGM Yogyakarta, 21 Juni 2011, 22 p.
Sastroutomo, S.S. 1990. Ekologi Gulma. P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakrta. 217 p.
Schumann, G.L. 1991. Plant Diseases : Their Biology and Sosial Impact. The American
Phytopathological Society. USA. 397 p.
Semangun, H. 1973. Fitopatoloi Tropika, Satu Aspek Fitopatologi yang Memerlukan Perhatian
Khusus. Pidato Pengukuhan Sebagai Gurubesar Faperta UGM, 19 Nopember 1973. 23 p.
Semangun, H. 1975. Fitopatologi dan Konsep Pest Management. Kongres Nasional PFI III.
Bogor.
55

Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University


Press, Yogyakarta. 449 p.
Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta.
754 p.
Soekarno. 1952. Soal Hidup atau Mati. Pidato Presiden Soekarno Pada Saat Peletakan Batu
Pertama Gedung Fakultet Pertanian Universitas Indonesia, Bogor, 27 April 1952.
Soejono, A.T. 2006. Gulma dalam Agroekosistem: Peranan, Masalah, dan Pengelolaannya.
Pidato Pengukuhan Sebagai Gurubesar pada Fakultas Pertanian UGM, 5 Juni 2006. 27 p.
Soerjani, M., S. Tjitrosemito dan Kasno. 1979. Pendekatan Terpadu Sebagai Usaha Pengendalian
Penyakit Tanaman dalam Hubungannya dengan Masalah Gulma. Kongres Fitopatologi
Indonesia. Malang. 19 p.
Soerjani, M., Kostermans, AJGH, and G. Tjitrosoepomo. 1987. Weeds of rice in Indonesia. Balai
Pustaka, Jakarta, 716 p.
Somowiyarjo, S. 2011. Plant disease problems on smallholder farms in Asia. Australasian Plant
Pathol. 40 : 318319
Sosromarsono, S. 2006. Pengendalian Hayati Organisme Pengganggu Tanaman Pertanian Di
Indonesia: Pengalaman Enam Dasawarsa Terakhir. Dalam S. Soemodihardjo dan
Setijati D. Sastrapradja (penyunting) Enam Dasa Warsa Ilmu dan Ilmuwan di Indonesia.
Naturindo, Bogor. 155-184.
Supratoyo. 1977.Toksikologi Pestisida. Bahan Kursus Proteksi Tanaman Petugas Proteksi Disbun
Jateng. LPP Yogyakarta, 21 sd 26 Februari 1977. 22 p.
Tjitrosoepomo, G. 1969. Beberapa Persoalan Tentang Nomenklatur Tumbuh Tumbuhan. Pidato
Pengukuhan Djabatan Guru besar dalam Ilmu Sistematik Tumbuh-tumbuhan pada
Fakultas Biologi UGM. 18 Oktober 1969. 20 p.
Triharso. 1978. Beberapa Gatra Pengendalian Penyakit Tumbuhan dan Kemungkinan
Penerapannya di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Pertanian UGM, 25 Nopember 1978. 33 p.
Triharso. 1993. Pengembangan Pertanian Berwawasan Lingkungan Yang Terlanjutkan dan
Perlindungan Tanaman. Pidato Dies Natalis Ke-44 UGM, 20 Desember 1993. 34 p.
Trisyono, Y.A. 2006. Refleksi dan Tuntutan Perlunya Manajemen Pestisida. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.
Untung, K. 1990. Perlindungan Tanaman Menunjang Terwujudnya Pertanian Tangguh dan
Kelestarian Lingkungan. P.T. Agricon. Bogor : 63-76
Untung, K. 2004. Dampak Pengendalian Hama Terpadu Terhadap Pendaftaran dan Penggunaan
Pestisida di Indonesia. J. Perlin. Tan. Indo. 10 : 1-7
Yudohusodo, S. 2002. Penguatan Perekonomian Indonesia Dengan Membangun Kemandirian Di
Bidang Pangan. Sem. Nas. Penguatan Perekonomian Indonesia Melaui Agroindustri,
UGM, 8 Mei 2002. 18 p.
Yudohusodo, S. 2004. Membangun Kemandirian Pangan, Suatu kebutuhan bagi Indonesia,
Negara berpenduduk banyak dengan potensi pangan yang besar. Yayasan Padamu
Negeri, Jakarta. 372 p
Yunianta dan A. Agus. 2008. Aflatoxin B1 Contamination of corn collected from farmers and
market in Klaten, Blitar and Tasikmalaya, Java Indonesia. Proc. Inter. Sem. On
56

Management strategy on animal health and production control. Fac. of Vet. Sci.,
Airlangga Univ., Surabaya, Indonesia, 1-2 June 2008.
Zen, M.T. 2006. Mengejar Pelangi Emas. dalam Soemodihardjo, S. dan Setijati S. Sastrapradja
(penyunting) Enam Dasa Warsa Ilmu dan Ilmuwan di Indonesia. Naturindo, Bogor. 11-
48
57
58

Anda mungkin juga menyukai