Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk
menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa.
Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif
terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian.
Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya
adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan.
Bunuh diri merupakan salah satu dari tiga penyebab utama kematian di antara
mereka yang berusia 15-44 tahun di beberapa negara, dan penyebab utama kedua
kematian pada kelompok usia 10-24 tahun, angka-angka ini tidak termasuk usaha
bunuh diri yang bisa berkali-kali lebih sering dari bunuh diri. Bunuh Diri di
seluruh dunia diperkirakan mewakili 1,4% dari total kematian dan 15% dari
kematian cedera. Angka bunuh diri bagi dunia secara keseluruhan diperkirakan
mencapai 11,6 per 100.000 penduduk. Setiap tahun, lebih dari 800 000 orang
meninggal akibat bunuh diri, kira-kira satu kematian terjadi setiap 40 detik.
Rasio tingkat pria-wanita bunuh diri diperkirakan tertinggi di wilayah Eropa
(4,0) dan terendah di wilayah Mediterania Timur (1,1). Di antara laki-laki dengan
tingkat bunuh diri tertinggi di kelompok 15-29 tahun usia berada di kawasan Asia
Tenggara, pada kelompok 45-59 usia pada pria Eropa dan untuk usia di atas 60 di
wilayah Pasifik Barat. Wanita dari Asia Tenggara memiliki tingkat bunuh diri
yang sangat tinggi di antara 15-29 tahun dan dari usia 45 tahun di wilayah Pasifik
Barat.
Hampir 95% dari semua pasien yang melakukan bunuh diri mengalami
gangguan mental (terutama depresi dan gangguan penggunaan alkohol)
merupakan faktor risiko utama untuk bunuh diri. Gangguan depresi berjumlah
80%, skizofrenia berjumlah 10%, demensia dan delirium untuk 5% nya. Di antara
orang-orang dengan gangguan mental 25% juga mengalami ketergantungan
alkohol dan memiliki diagnosis ganda.

1
Peningkatan ini akan bertambah 1% tiap tahunnya, hal ini tentu sangat di
waspadai mengingat bunuh diri adalah sutu kegawatdaruratan psikiatri. Banyak
faktor yang mempengaruhi seseorang untuk mengakhiri hidupnya faktor dari
psikologis, sosial, biologis budaya dan lingkungan ikut terlibat dalamnya. Di
harapkan dengan menyusun makalah ini kita sebagai tenaga medis dapat mengerti
tentang bunuh diri dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan seseorang untuk
bunuh diri sehingga pada akhirnya kita dapat mencegah agar bunuh diri ini tidak
terjadi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Bunuh Diri


Bunuh diri sering kita kenal juga dengan sebutan suicide. Kata suicide sendiri
berasal dari kata latin Sui yang berarti diri (self), dan kata Caedere yang berarti
membunuh (to kill). Dalam Encyclopedia Britannica, bunuh diri didefinisikan
sebagai usaha seseorang untuk mengakhiri hidupnya dengan cara suka rela atau
sengaja. Sedangkan menurut aliran human behavior, bunuh diri ialah bentuk
pelarian parah dari dunia nyata, atau lari dari situasi yang tidak bisa ditolerir, atau
merupakan bentuk regresi ingin kembali pada keadaan nikmat, nyaman dan
tentram. Selain itu, bunuh diri juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana
individu mengalami resiko untuk menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan
yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri
sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat
mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk
aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini
sebagai sesuatu yang diinginkan.
Berikut merupakan beberapa definisi mengenai bunuh diri yang diambil dari
beberapa kamus dan ensiklopedi. Bunuh diri adalah pembunuhan secara simbolis,
karena ada peristiwa identifikasi dengan seseorang yang dibenci, dengan
membunuh diri sendiri orang yang bersangkutan secara simbolis membunuh
orang yang dibencinya. Bunuh diri adalah satu jalan untuk mengatasi macam-
macam kesulitan pribadi, misalnya berupa rasa kesepian, dendam, takut, kesakitan
fisik, dosa dan lain-lain. Bunuh diri adalah keinginan yang mendorong suatu
perbuatan untuk melakukan destruksi/pengrusakan diri sendiri. Bunuh diri adalah
inisiasi perbuatan yang mengarah pada motivasi kematian, membunuh, dan
dibunuh. Bunuh diri merupakan keadaan hilangnya kemauan untuk hidup.Bunuh
diri ialah suatu derajat sentral dari keputusan pelaku yang memutuskan untuk
memprakarsai satu perbuatan mengarah pada kematian sendiri. Bunuh diri adalah
derajat ketegasan dan ketegaran keputusan untuk memprakarsai perbuatan yang
mengarah pada kematian sendiri. Bunuh diri ialah kemauan berbuat mengarah
pada kematian sendiri. Bunuh diri adalah derajat efektifitas satu perbuatan yang
disengaja dan bertujuan, yang mengakibatkan kematian. Bunuh diri adalah
pengetahuan seorang mengenai relasi dirinya dengan kondisi obyektif dari
kematian. Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwasanya
bunuh diri adalah usaha seseorang untuk menyakiti dirinya sendiri dengan tujuan
untuk meniadakan atau menghilangkan nyawanya sendiri, hal ini biasanya
dilakukan atas dasar motivasi-motivasi tertentu seperti menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi.

2.2 Klasifikasi Bunuh Diri


Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang
perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya,
yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan
masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim (dalam Corr, Nabe, &
Corr, 2003) membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu egoistic suicide, altruistic
suicide, anomic suicide, dan fatalistic suicide.
Pertama egoistic suicide, yaitu individu yang bunuh diri di sini adalah
individu yang terisolasi dengan masyarakatnya, dimana individu mengalami
underinvolvement dan underintegration. Individu menemukan bahwa sumber daya
yang dimilikinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, dia lebih beresiko
melakukan perilaku bunuh diri.
Kedua altruistic suicide, yaitu individu di sini mengalami overinvolvement
dan overintegration. Pada situasi demikian, hubungan yang menciptakan kesatuan
antara individu dengan masyarakatnya begitu kuat sehingga mengakibatkan bunuh
diri yang dilakukan demi kelompok. Identitas personal didapatkan dari identifikasi
dengan kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan makna hidupnya dari
luar dirinya. Pada masyarakat yang sangat terintegrasi, bunuh diri demi kelompok
dapat dipandang sebagai suatu tugas.
Ketiga anomic suicide, bunuh diri ini didasarkan pada bagaimana masyarakat
mengatur anggotanya. Masyarakat membantu individu mengatur hasratnya
(misalnya hasrat terhadap materi, aktivitas seksual, dll.). Ketika masyarakat gagal
membantu mengatur individu karena perubahan yang radikal, kondisi anomie
(tanpa hukum atau norma) akan terbentuk. Individu yang tiba-tiba masuk dalam
situasi ini dan mempersepsikannya sebagai kekacauan dan tidak dapat ditolerir
cenderung akan melakukan bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak
mengharapkan akan ditolak oleh kelompok teman sebayanya.
Keempat fatalistic suicide, yang mana tipe bunuh diri ini merupakan
kebalikan dari anomic suicide, dimana individu mendapat pengaturan yang
berlebihan dari masayarakat. Misalnya ketika seseorang dipenjara atau menjadi
budak.
Selain itu, bunuh diri juga dibagi menjadi 2 oleh Kartini Kartono seorang
psikolog perkembangan anak. Bunuh diri dibagi menjadi 2 yaitu bunuh diri
konvensional dan bunuh diri personal. Bunuh diri konvensional, adalah produk
dari tradisi dan paksaan dari opini umum untuk mengikuti kriteria kepantasan,
kepastian sosial dan tuntutan sosial. Misalnya harakiri yang dilakukan di Jepang,
mati obong yang dilakukan semasa kerajaan jawa-bali untuk menunjukkan
kesetian pada suami yang telah meninggal ataupun Suttee atau membakar diri
sendiri yang dilakukan oleh janda di India tengah pada saat penguburan suaminya.
bunuh diri ini sudah banyak yang dihapuskan, sebagian dipengaruhi bangsa-
bangsa lain atau oleh tekanan bangsa lain, dan sebagian lagi karena adanya
banyak perubahan pada kondisi-kondisi sosial.
Bunuh diri personal, bunuh diri ini banyak terjadi pada masa modern, karena
orang merasa lebih bebas dan tidak mau tunduk pada aturan dan tabu perilaku
terentu. Orang tidak ingin terikat oleh kebiasaan-kebiasaan dan konvensi-
konvensi yang ada untuk memecahkan kesulitan hidupnya. Sebaliknya, mereka
mencari jalan singkat dengan caranya sendiri, yaitu bunuh diri untuk mengatasi
kesulitan hidupnya, atas keputusannya sendiri. Karena itu peristiwa bunuh diri
adalah bentuk kegagalan seseorang dalam upayanya menyesuaikan diri terhadap
tekanan-tekanan sosial dan tuntutan-tuntutan hidup.
Selain itu juga terdapat bunuh diri yang dilakukan dengan adanya bantuan dari
seorang dokter atau tenaga medis, bunuh diri ini disebut euthanasia, yaitu
tindakan menghilangkan rasa sakit pada penderita penyakit yang sulit diobati atau
menderita sakit keras. Ada dua tipe Eutanasia yaitu Eutanasia aktif dan Eutanasia
pasif. Eutanasia aktif terjadi apabila kematian disebabkan oleh suatu usaha yang
dengan sengaja dilakukan untuk mengakhiri hidup seseorang, seperti dengan
injeksi obat yang mematikan, sementara eutanasia pasif terjadi ketika seseorang
diizinkan mati dengan mencabut perawatan yang tersedia, seperti perlengkapan
terapi penopang hidup misal mencabut alat bantu pernafasan.

2.3 Etiologi Bunuh Diri


Banyak penyebab tentang alasan seseorang melakukan bunuh diri, seperti
kegagalan beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres, perasaan terisolasi,
dapat terjadi karena kehilangan hubungan, interpersonal/gagal melakukan
hubungan yang berarti, perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan
hukuman pada diri sendiri dan cara untuk mengakhiri keputusasaan.
Berdasarkan teori terdapat 3 penyebab terjadinya bunuh diri yaitu faktor
genetik biologi, faktor psikologis, dan faktor sosiologi. Faktor genetik biologi
mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri pada keturunannya. Disamping itu
adanya penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi yang berkontribusi
terjadinya resiko bunuh diri. Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan
penjelasan biologis yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti
percaya bahwa ada gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin
diasosiasikan dengan perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan
bahwa perilaku bunuh diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal
mempunyai keluarga yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama.
Walaupun demikian, hingga saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan
berhubungan secara langsung dengan perilaku bunuh diri.
Faktor psikologi sangat mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri. Leenars
mengidentifikasi tiga bentuk penjelasan psikologis mengenai bunuh diri.
Penjelasan yang pertama didasarkan pada Freud yang menyatakan bahwa suicide
is murder turned around 180 degrees, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri
dengan kehilangan seseorang atau objek yang diinginkan. Secara psikologis,
individu yang beresiko melakukan bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan
orang yang hilang tersebut. Dia merasa marah terhadap objek kasih sayang ini dan
berharap untuk menghukum atau bahkan membunuh orang yang hilang tersebut.
Meskipun individu mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan
marah dan harapan untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu,
perilaku destruktif diri terjadi.
Penjelasan kedua memandang masalah bunuh diri pada dasarnya adalah
masalah kognitif. Pada pandangan ini, depresi merupakan faktor kontribusi yang
sangat besar, yang khususnya diasosiasikan dengan hopelessness. Fokus
pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh suicidal person
terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan dengan penilaian
ini, pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali otomatis, tidak disadari, dan
dicirikan oleh sejumlah kesalahan yang mungkin. Beberapa diantaranya begitu
menyeluruh sehingga membentuk distorsi-distorsi kognitif.
Penjelasan ketiga menyatakan bahwa perilaku bunuh diri itu dipelajari. Teori
ini berpendapat bahwa sebagai seorang anak, individu suicidal belajar untuk tidak
mengekspresikan agresi yang mengarah keluar dan sebaliknya membalikkan
agresi tersebut menuju pada dirinya sendiri. Di samping itu, sebagai akibat dari
reinforcement negatif, individu tersebut menjadi depresi. Depresi dan kaitannya
dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup lainnya bisa dilihat sebagai
reinforcer positif, karena menurut pandangan ini individu dipandang tidak dapat
bersosialisasi dengan baik dan belum mempelajari penilai budaya terhadap hidup
dan mati.
Penjelasan yang terbaik mengenai faktor sosiolgi datang dari sosiolog
Durkheim yang memandang perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan
individu dengan masyarakatnya, yang menekankan apakah individu terintegrasi
dan teratur atau tidak dengan masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut,
Durkheim (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) membagi bunuh diri menjadi 4 tipe
yaitu egoistic suicide, altruistic suicide, anomic suicide, dan fatalistic suicide.
2.4 Faktor Resiko Bunuh Diri
Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada saling
berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang
melakukan bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini. Berikut
beberapa faktor penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus bunuh diri yang
berbeda-beda tetapi memiliki efek interaksi di antaranya adalah major-depressive
illness, affective disorder, penyalahgunaan obat-obatan (sebanyak 50% korban
percobaan bunuh memiliki level alkohol dalam darah yang positif), memiliki
pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh diri, sejarah percobaan
bunuh diri, sejarah bunuh diri dalam keluarga, isolasi, hidup sendiri, kehilangan
dukungan, penolakan, hopelessness dan cognitive rigidity, stresor atau kejadian
hidup yang negatif (masalah pekerjaan, pernikahan, seksual, patologi keluarga,
konflik interpersonal, kehilangan, berhubungan dengan kelompok teman yang
suicidal), kemarahan, agresi, dan impulsivitas, rendahnya tingkat 5-HIAA, key
symptoms (anhedonia, impulsivitas, kecemasan / panik, insomnia global,
halusinasi perintah), suicidality (frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku
persiapan bunuh diri), akses pada media untuk melukai diri sendiri, dan penyakit
fisik dan komplikasinya.
2.4.1 Faktor Demografi
Selain faktor-faktor tersebut, ada juga beberapa faktor yang terkait dengan
peningkatan risiko bunuh diri. Diantaranya adalah jenis kelamin, usia, agama,
status perkawinan, dan pekerjaan atau sifat profesi. Pada jenis kelamin, laki-laki
tiga kali lebih sering melakukan bunuh diri dibandingkan wanita, suatu angka
yang stabil pada keseluruhan usia. Tetapi wanita empat kali lebih mungkin
berusaha bunuh diri dibandingkan dengan laki-laki. Resiko bunuh diri pada usia
resiko pria mencapai puncak pada umur 45 tahun, sedangkan wanita bunuh diri
dikalangan usia muda biasanya terjadi pada umur 15-24 tahun. Bunuh diri pada
laki-laki usia 25-34 meningkat sebanyak 30% selama satu decade 9 tahun yang
lalu. Di Amerika Serikat kasus bunuh diri adalah penyebab utama kematian pada
usia 15-24 tahun, di ikuti oleh kecelakaan bermotor dan pembunuhan. Di afrika
selatan angka kejadian sebanyak 1.3 % dari kematian orang pada usia 15-25
tahun.
Pernikahan bertindak sebagai faktor protektif terhadap bunuh diri. Dilaporkan
bunuh diri di antara berbagai kategori mengungkapkan bahwa di antara menikah
tingkat bunuh diri adalah 11/100.000. 25% pernikahan tampaknya
diperkuat dengan memiliki anak-anak dan pernikahan harus stabil. tarif
bunuh diri yang tertinggi di antara pria bercerai adadlah (69/100 000) dan mereka
yang janda adalah (40/100 000).
2.4.2 Faktor Kesehatan Fisik
Hubungan antara kesehatan fisik dan bunuh diri sangatlah bermakna. Penyakit
fisik diperkiran sebagai faktor penyumbang yang penting pada 11-50% dari semua
bunuh diri. Dalam setiap keadaan presentasi meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia. Tujuh penyakit yang meningkatkan risiko bunuh diri yaitu
epilepsy, multiple sclerosis, cedera kepala, penyakit kardiovaskuler, penyakit
huntington, demensia, dan sindrom imunodefisiensi didapat (AIDS). Selain itu
ada juga beberapa kondisi endokrin antara lain penyakit chushing, sindrom
klineferlter, dan porfiria. Gangguan gastrointestinal berupa ulkus peptikum dan
sirosis yang berhubungan dengan ketergantungan alcohol. Masalah urogenital
antara lain : hipertrofi prostat dan penyakit ginjal yang diobati dengan
hemodialisa. Faktor yang berhubungan dengan penyakit dan terlibat di dalam
bunuh diri dan usaha bunuh diri adalah hilangnya mobilitas fisiknya yang
memiliki kepentingan pekerjaan atau rekreasional, kecacatan, terutama pada
wanita dan rasa sakit yang kronis yang tidak dapat di obati.

2.5 Bunuh Diri Pada Pasien Psikiatri


Faktor psikiatrik yang sangat penting dalam bunuh diri adalah
penyalahgunaan zat, gangguan dpresif, skizofrenia dan gangguan mental lainnya.
Hampir 95 % dari semua pasien yang melakukan bunuh diri atau berusaha bunuh
diri memiliki suatu gangguan mental yang terdiagnosis. Bunuh Diri sering terjadi
bersamaan dengan depresi sebagai karakteristik "negara berkembang". Individu
lain mengalami keputusasaan dalam basis utama dan lebih kekal. Pasien yang
cemas mungkin cenderung untuk bertindak pada dorongan bunuh diri. Studi
bunuh diri pada pasien dengan gangguan afektif telah menunjukkan bahwa
mereka yang meninggal karena bunuh diri lebih mungkin untuk memiliki psikis
kecemasan atau panik serangan yang parah. Sekitar seperempat dari orang-orang
yang bunuh diri telah berhubungan dengan layanan kesehatan mental di tahun
sebelum kematian. Angka untuk Inggris dan Wales adalah lebih dari 1000 seperti
kasus annually. Risiko bunuh diri sering meningkat ketika orang yang depresi
menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
2.5.1 Gangguan Depresi
Gangguan mood adalah diagnosis yang paling sering berhubungan dengan
bunuh diri. Karena risiko bunuh diri pada pasien depresi akan meningkat
tertutama jika pasien terdepresif. banyak pasien gangguan depresif yang
melakukan bunuh diri pada awal perjalanan penyakitnya dibandingkan setelahnya.
Penelitian menunjukan bahwa sepertiga kasus atau lebih akan meninggal setelah
enam bulan setelah keluar dari rumah sakit. Kemungkinan menderita relaps. Lebih
banyak pasien laki-laki yang melakukan bunuh diri dibandingkan pasien wanita.
Kemungkinan bunuh diri meningkat apabila mereka tidak menikah, dipisahkan,
diceraikan, janda atau baru saja menghadapi kehilangan. Pasien gangguan depresi
di dalam masyaraat yang melakukan bunuh diri cenderung berusia pertengahan
atau lanjut usia.
2.5.2 Gangguan Skizofrenia
Resiko bunuh pada pasien skizofrenia cukup tinggi yaitu 10% yang
meninggal akibat bunuh diri. Usia onset biasanya pada masa remaja atau dewasa
awal, dan sebagian besar pasien skizofrenik melakukan bunuh diri selama tahun
pertama penyakitnya. Dengan demikian pasien skizofrenik yang melakukan
bunuh diri cenderung relatif lebih muda.
Kira-kira 75% dari semua korban adalah laki-laki. 50% pernah melakukan
usaha bunuh diri sebelumnya. Gejala depresif berhubungan erat dengan bunuh diri
di bandingkan dengan halusinasi. Hampir 50% bunuh diri di antara pasien
skizofrenik cenderung terjadi selama minggu-minggu dan bulan-bulan pertama
setelah pemulangan dari rumah sakit, hanya sebagian kecil yang melakukan
bunuh diri dalam rumah sakit. Faktor resiko bunuh diri diantaranya adalah pasien
skizofrenik usia muda, jenis kelamin laki-laki, status tidak menikah, usaha bunuh
diri sebelumnya, kerentanan terhadap gejala depresif dan baru dipulangkan dari
rumah sakit. Mengalami tiga atau empat kali perawatan rumah sakit saat usia 20
tahunan kemingkinan mengurangi penyesuaian social, pekerjaan dan seksual.
Dengan demikian korban bunuh diri yang potensial kemungkinan adalah laki-laki,
tidak menikah, penganguran, terisolasi secara social dan hidup sendiri.
Setelah pemulangan dari perawatan terakhir di rumah sakit, mungkin,mereka
mengalami kesulitan. Sebagai akibatnya mereka menjadi sedih mengalami
perasaan putus asa dan tidak berdaya dan berkembang menjadi mood terdepresi,
dan pada keadaan tersebut, memiliki ide bunuh diri yang akhirnya dilakukan.
2.5.3 Ketergantungan Alkohol
Hampir 15 % dari semua orang yang tergantung alkohol melakukan bunuh
diri. Angka bunuh diri diperkirakan kira-kira 270 per 100.000 setahun korban
cederung laki-laki, berkulit putih, usia pertengahan, tidak menikah, tidak memiliki
teman, terisolasi secara sosial dan baru saja minum. Hampir 40% melakukan
percobaan bunuh diri selama satu tahun perawatan terakhir. Penelitian
menunjukan bahwa pasien tergantungan alkohol yang akhirnya nelakukan bunuh
diri dinyatakan terdepresi selama perawatan dirumah sakit. Dua per tiga
dinyatakan menderita gangguan mood selama periode mereka melakukan bunuh
diri. Kelompok terbesar pasien laki-laki adalah mereka dengan gangguan
kepribadian antisosial yang menyertai. Penelitian menunjukan bahwa pasien
tersebut kemungkinan berusaha bunuh diri, menyalahgunakan zat lain,
menunjukan perilaku impulsif dan kriminal.
2.5.4 Ketergantungan Zat Lain
Penelitian menyebutkan bahwa terjadi peningkatan resiko bunuh diri apabila
seseorang terjadi penyalahgunaan. Angka bunuh diri pada pasien yang
mengkomsumsi heroin kira-kira 20 kali lebih besar dibandingkan angka untuk
populasi umum. Tersediannya zat dalam jumlah letal, pemakaian intravena,
gangguan kepribadian anti social, gaya hidup yang kacau, impulsivitas adalah
beberapa faktor yang mepreposisikan untuk terjadinya bunuh diri.
2.5.5 Gangguan Kepribadian
Menderita suatu gangguan kepribadian mungkin merupakan suatu determinan
perilaku bunuh diri dalam beberapa cara dengan mempredisposisikan kepada
gangguan mental berat seperti gangguan depresif atau ketegantungan alcohol,
dengan menyebakan kesulitan dalam hubungan dan penyesuaian social, dengan
mencetuskan peristiwa kehidupan yang tidak di inginkan.

2.6 Patofisiologi Bunuh Diri


Semua perilaku bunuh diri adalah serius apapun tujuannya. Orang yang siap
membunuh diri adalah orang yang merencanakan kematian dengan tindak
kekerasan, mempunyai rencana spesifik dan mempunyai niat untuk
melakukannya. Perilaku bunuh diri biasanya dibagi menjadi 3 kategori:
1. Ancaman bunuh diri
Peningkatan verbal atau nonverbal bahwa orang tersebut mempertimbangkan
untuk bunuh diri. Ancaman menunjukkan ambevalensi seseorang tentang
kematian kurangnya respon positif dapat ditafsirkan seseorang sebagai
dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri.
2. Upaya bunuh diri
Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan oleh individu yang
dapat mengarah pada kematian jika tidak dicegah.
3. Bunuh diri
Mungkin terjadi setelah tanda peningkatan terlewatkan atau terabaikan. Orang
yang melakukan percobaan bunuh diri dan yang tidak langsung ingin mati
mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada
waktunya. Percobaan bunuh diri terlebih dahulu individu tersebut mengalami
depresi yang berat akibat suatu masalah yang menjatuhkan harga dirinya.
Penyebab bunuh diri tiap usia biasanya berbeda. Bunuh diri pada anak dapat
terjadi bisa disebabkan atas pelarian dari penganiayaan atau pemerkosaan, situasi
keluarga yang kacau, perasaan tidak disayangi atau selalu dikritik,takut atau
dihina di sekolah, kehilangan orang yang dicintai dan dihukum orang lain. Bunuh
diri pada remaja bisa disebabkan adanya hubungan interpersonal yang tidak
bermakna, sulit mempertahankan hubungan interpersonal, pelarian dari
penganiayaan fisik atau pemerkosaan, perasaan tidak dimengerti orang lain,
kehilangan orang yang dcintai, keadaan fisik, masalah dengan orangtua, masalah
seksual dan depresi. Selain itu terdapat penyebab bunuh diri pada usia lanjut, yaitu
perubahan dari status mandiri ke tergantung orang lain, penyakit yang
menurunkan fungsi tubuh, perasaan tidak berarti di masyarakat, kesepian dan
isolasi sosial, kehilangan ganda (pekerjaan, kesehatan, pasangan) dan sumber
hidup berkurang.

Faktor predisposisi:
Diagnosa psikiatri, sifat individu,
psikososial, riwayat keluarga, faktor
biokimia

Stresor pencetus

Apraisal of stressor

Sumber koping

Mekanisme koping

Denial,
rasionalisasi,
regresi

Konstruktif Destruktif

Respon adaptif Respon maladaptif


2.7 Terapi

Beberapa pasien mengalami penderitaan yang sangat berat dan kuat atau sangat
kronis dan tidak responsif terhadap pengobatan sehingga mereka meyakini bahwa
bunuh diri itu tidak dapat dicegah. Penilaian atau terapi yang tidak adekuat
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang bunuh diri, sehingga
bunuh diri pada pasen psikiatrik dapat di cegah. Pencegahan dapat dilakukan
dengan cara menilai potensi bunuh diri yaitu dengan penggendalian riwayat
psikistrik yang lengkap, pemeriksaan status mental yang menyeluruh, dan
pertanyaan mengenai gejala depresi, pikiran, maksud, rencana, dan usaha bunuh
diri. Tidak adanya rencana masadepan, memberikan barang-barang miliknya
membuat surat wasiat, dan baru mengalami kehilangan berarti merupakan risiko
untuk bunuh diri.

Perawatan pasien dengan ide bunuh diri tidak harus dilakukan di rumah sakit,
beberapa pasien dapat di obati rawat jalan. Indikasi untuk melakukan perawatan
dirumah sakit yaitu tidak adanya sistem pendukung sosial yang kuat, adanya
riwayat perilaku impulsif, dan rencana tindakan bunuh diri. Pengobatan rawat
jalan dapat dilakukan dengan pendekatan klinis yang langsung yaitu meminta
pasien yang diduga bermaksud bunuh diri untuk setuju segera menelpon jika
pasien merasa tidak dapat mengendalikan dirinya dan keluarga harus dapat
bertanggung jawab untuk mendampingi pasien selama 24 jam.

Tindakan preventif praktis untuk menghadapi orang yang ingin bunuh diri
menurut Schneidman, yaitu turunkan penderitaan psikologis dengan memodifikasi
lingkungan pasien, membangun hubungan yang realistik, dan menawarkan
alternatif terhadap bunuh diri. Terapi yang dapat diberikan yaitu medikasi
psikotropika, terapi individu, terapi kelompok, juga terapi keluarga, dan pasien
yang dirawat di rumah sakit mendapatkan dukungan sosial rumah sakit dan rasa
aman. Tindakan terapi lainnya tergantung pada dasar diagnosis pasien. Terapi
elektrokonvusif (ECT) dapat digunakan untuk beberapa pasien dengan depresi
berat yang memelurkan beberapa kali pengobatan.
2.8 Organisasi Masyarakat

Organisasi masyarakat berhubungan etika dan kewajiban menolong pasien


yang bunuh diri yang lebih sedikit daripada ahli terapi individual. Pusat
pencegahan, mendengarkan krisi, dan hotline service bunuh diri adalah sebuah
usaha untuk menghilangkan isolasi diri, penarikan diri, dan kesepian pasien yang
mencoba bunuh diri. Pusat pencegahan bunuh diri adalah sarana kesehatan yang
penting bagi seseorang yang menderita dan memererlukan pertolongan segera.
Into the light Indonesia adalah komunitas yang berfokus pada upaya pencegahan
bunuh diri dan kesehatan jiwa pada remaja beserta populasi khusus lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Marliana santi, Bunuh diri sebagai pilihan sadar indivisu analisa kritis
filosofi, analisa kritis filosofi terhadap konsep bunuh diri Emile Durkheim.
2012. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia.

2. World Health Organization, Suicide statistics, 2005, available in


http://www.who.int/mental_health/prevention/suicide/suicideprevent/en/.

3. Kaplan H., Sadock B., Grebb J., eds. Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis . Ed 7. Bina Rupa Aksara. Jakarta . 2010. P 369-383.

4. Pompili M, Amador F, Girardi P. Suicide risk in schizophrenia: learning from


the past to change the future. NCBI. 2009. Available:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1845151/

5. Serafini G, Pompili M. Suicidal Behavior and Alcohol Abuse. NCBI. 2010.


Available : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2872355/

6. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Synopsis of psychiatri. 11th ed. Phikadelphia
Baltimore New York London Buenos Aires Hong Kong Sydney Tokyo:
Wolters Kluwer; 2015.p.763.

Anda mungkin juga menyukai