Anda di halaman 1dari 13

KEHILANGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Biokonservasi
yang Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Suhadi, M.Si

Oleh:
Kelompok 1

Stefanus Nahas 120342410319

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
September 2015
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Wacana Lingkungan Hidup dan pelestarian alam dewasa ini merupakan salah
satu isu penting di dunia Internasional. Namun pembahasan mengenai lingkungan
cenderung berpusat pada masalah pencemaran dan bencana-bencana lingkungan saja.
Padahal persoalan lingkungan tidak hanya masalah pencemaran dan bencana-bencana
lingkungan semata. Masih banyak aspek lain pada lingkungan yang terkait dengan
keperluan vital manusia.
Adalah suatu kenyataan bahwa setiap bagian lingkungan hidup, sekalipun
menjadi bagian wilayah suatu negara atau berada di bawah hidup sebagai suatu
keseluruhan. Setiap bagian lingkungan merupakan bagian dari suatu kesatuan
(awholeness) yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan satu sama lain, membentuk satu
kesatuan tempat hidup yang disebut lingkungan hidup.
Perubahan drastis beberapa unsur lingkungan hidup yang diakibatkan oleh
kegiatan manusia, organisasi-organisasi bisnis publik, serta negara-negara, belakangan
ini menjadi perhatian besar serta menimbulkan reaksi keras kelompok tertentu, terutama
kalangan ekologi. Kepunahan berarti hilangnya keberadaan dari sebuah spesies atau
sekelompok takson. Waktu kepunahan sebuah spesies ditandai dengan matinya individu
terakhir spesies tersebut. Suatu spesies dinamakan punah bila anggota terkahir dari
spesies ini mati. Kepunahan terjadi bila tidak ada lagi makhluk hidup dari spesies
tersebut yang dapat berkembang biak dan membentuk generasi. Suatu spesies juga
disebut fungsional punah bila beberapa anggotanya masih hidup tetapi tidak mampu
berkembang biak, misalnya karena sudah tua, atau hanya ada satu jenis kelamin. Salah
satu masalah lingkungan yang patut mendapat sorotan dewasa ini adalah laju penurunan
populasi dan kepunahan beberapa spesies. Oleh karena itu, agar dapat mencapai tujuan
tersebut perlu diketahui penyebab terjadinya kehilangan keanekaragaman hayati.
1.2. Tujuan
1.2.1. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kehilangan keanekaragaman
hayati.
1.2.2. Mengetahui contoh hewan yang mengalami penurunan jumlah spesies di
Indonesia.
BAB II
ISI

Beberapa peristiwa dapat langsung menghilangkan semua individu dari spesies


tertentu, seperti serangan asteroid, letusan gunung berapi, atau hilangnya habitat akibat
penggundulan. Jika peristiwa tersebut terjadi secara berkelanjutan dapat menyebabkan
kematian yang melebihi tingkat kelahiran, pada akhirnya akan menyebabkan spesies
musnah (Sodhi, dkk., 2009).
Suatu wilayah yang memiliki banyak spesies satwa dan tumbuhan, keragaman
spesiesnya lebi besar, dibandingkan wilayah yang hanya memiliki sedikit spesies yang
menonjol. Pulau dengan 2 spesies burung dan 1 spesies kadal, lebih besar
keragamannya daripada pulau dengan 3 spesies burung tanpa kadal. Indonesia sangat
kaya spesies. Walau luasnya Cuma 1,3% luas daratan dunia, Indonesia memiliki
sekitar 17% jumlah spesies di dunia. Paling tidak negara Indonesia memiliki 11%
spesies tumbuhan berbunga, 12% spesies mamalia, 15% spesies amphibi dan reptilia,
17% spesies burung, dan 37% spesies ikan dunia. Kekayaan dunia serangga kita
terwakili oleh 666 spesies capung dan 122 spesies kupu-kupu (Sodhi, dkk., 2009).

2.1 Faktor yang Menyebabkan Kehilangan Keanekaragaman Hayati


Faktor-faktor yang mendorong semakin meningkatnya kehilangan
keanekaragaman hayati antara lain : hilangnya habitat, spesies pendatang, eksploitasi
berlebihan, pencemaran, perubahan iklim global, spesies invasive. Masing-masing
faktor saling mempengaruhi satu sama lain (Nevis dan Kits, Tanpa Tahun).
1. Hilangnya Habitat
Ancaman terbesar bagi keanekaragaman hayati adalah penghancuran habitat
oleh manusia. Pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi sumberdaya alam,
menyusutkan luasan ekosistem secara dramatis. Pembangunan bendungan, pengurugan
danau, merusak banyak habitat perairan. Pembangunan pesisir menyapu bersih karang
dan komunitas pantai. Hilangnya hutan tropis sering disebabkan perluasan lahan
pertanian dan pemungutan hasil hutan secara besar-besaran. Sekitar 17 juta hektar hutan
hujan tropis dibabat habis tiap tahun, sehingga sekitar 5-10 % species dari hutan hujan
tropis akan punah dalam 30 tahun mendatang.
Menurut WWF (2010) rusaknya hutan menyebabbkan satwa liar kehilangan
sumber makanan, habitat, dan ruang jelajah untuk berkembang biak. Satwa liar yang
habitatnya terganggu menjelajah perkebunan atau kawasan tempat tinggal manusia,
sehingga terjadi perebutan ruang atau konflik antar satwa liar dan manusia yang pada
akhirnya berujung kematian satwa karena ditangkap atau diracun. Melebarnya kota-
kota, lahan pertanian, dan infrastruktur merupakan alasan utama sulitnya menahan
kerusakan keanekaragaman hayati. PBB juga melaporkan, saat ini sistem alami seperti
hutan dan lahan basah telah rusak. Proses alami seperti pemurnian udara dan air juga
hilang.
WWF hari ini merilis laporan yang mengidentifikasi sebelas wilayah di dunia
10 di antaranya adalah daerah tropis - yang berkontribusi terhadap lebih dari 80%
kehilangan hutan secara global hingga tahun 2030. Dalam laporan yang merupakan
bagian terakhir dari WWF Living Forest Report, dinyatakan lebih dari 170 juta hektar
hutan dapat hilang pada kurun waktu antara tahun 2010-2030, pada wilayah-wilayah
yang disebut sebagai deforestation fronts, jika tren kehilangan hutan saat ini tidak
berubah. Wilayah yang disebut sebagai deforestation fronts dalam laporan ini adalah
Amazon, Atlantic Forest dan Gran Chaco, Borneo, Cerrado, Choco-Darien, Congo
Basin, Afrika Timur, Bagian Timur Australia, Greater Mekong, New Guinea dan
Sumatera.
Beberapa dari tempat ini memiliki nilai kekayaan keanekaragaman hayati di
dunia, termasuk di dalamnya satwa yang terancam punah seperti orang-utan dan
harimau. Selain itu, semua tempat ini juga merupakan rumah bagi masyarakat adat.
Gambar 2.1 Deforastation in Indonesia
(Sumber: news.mogabay.com)
2. Spesies Pendatang
Dalam ekosistem yang terisolasi, seperti pada pulau kecil yang jauh dari pulau
lain, kedatangan species pemangsa, pesaing atau penyakit baru akan cepat
membahayakan species asli. Di Indonesia, kedatangan padi-padi varietas unggul secara
perlahan dan sistematis menggususr varietas padi lokal. Kini kita sulit menemukan padi
lokal seperti rojo lele, jong bebe, dll. Yang rasanya jauh lebih enak dari jenis pendatang.
Menurut catatan, 1500 jenis padi lokal Indonesia punah dalam 15 tahun terakhir.

3. Eksploitasi Berlebihan
Banyak sumberdaya hutan, perikanan dan satwa liar dieksploitasi secara
berlebihan. Banyak kelangkaan disebabkan oleh perburuan, untuk mendapatkan gading
gajah, cula badak, burung nuri, cenderawasih, dll. Pengambilan gaharu yang berlebihan
mengurangi populasi alami, hingga para pemburu gaharu harus mencari lebih jauh ke
dalam hutan.
Lebih dari satu juta hektar hutan yang sebagian besar merupakan hutan tropis
hancur setiap bulannya di dunia setara dengan area hutan seluas satu lapangan
sepakbola hancur setiap dua detik. Selain menyokong keanekaragaman hayati dan
masyarakat yang bergantung pada hutan, hutan dan tanahnya menyimpan karbon dalam
jumlah yang sangat besar hampir tiga ratus milyar ton karbon atau sekitar 40 kali jumlah
emisi yang dilepaskan ke atmosfir.
Penghancuran dan degradasi hutan berpengaruh besar terhadap perubahan iklim
dalam dua hal. Pertama, perambahan dan pembakaran hutan melepaskan karbon
dioksida ke atmosfir. Kedua, kerusakan hutan akan mengurangi area hutan yang
menyerap karbon dioksida. Kedua peran ini sangat penting karena jika kita
menghancurkan hutan tropis yang tersisa, maka kita telah kalah dalam pertarungan
menghadapi perubahan iklim.
Perdagangan, perburuan dan penangkapan satwa liar secara berlebihan juga
pemicu kepunahan spesies. Begitu juga tangkapan sampingan dimana satwa dilindungi
mati tertangkap tanppa sengaja, misalnya akibat praktik perikanan (WWF, 2015).
4. Pencemaran
Pencemaran mengancam, bahkan melenyapkan species yang peka. Pestisida
ilegal yang digunakan untuk mengendalikan udang karang sepanjang perbatasan
Taman Nasional Coto Donana di Spanyol, telah membunuh 30.000 ekor burung.
Pertambakan udang yang intensif di sepanjang pantai utara pulau Jawa telah
merusakkan sebagian besar terumbu karang dan hutan mangrove, karena sisa makanan
udang dan pemupukan tambak merangsang pertumbuhan alga yang menghancurkan
terumbu karang.
5. Perubahan Iklim Global
Efek Rumah Kaca telah menyebabkan peningkatan pemanasan global yang pada
gilirannya memiliki beberapa konsekuensi. Yang paling penting dalam hal
keanekaragaman spesies adalah bahwa hal itu terjadi begitu cepat sehingga sebagian
besar spesies tidak memiliki cukup waktu untuk berevolusi dengan atau beradaptasi
dengan perubahan. Perubahan yang akan mempengaruhi banyak spesies termasuk
tingkat kenaikan air laut, musim semi yang terjadi lebih awal, pergeseran spesies
rentang, peningkatan gelombang kekeringan, kebakaran, dan panas (Novis,
Perubahan iklim berpotensi sebagai faktor dalam berkurangnya keanekaragaman
hayati. Pemasalahan iklim mempengaruhi spesies dengan beberapa cara yaitu
1. perubahan komuitas
2. pergeseran wilayah
3. perubahan perilaku (seperti fenologi atau siklus hidup yang berubah akibat
musim)
4. perubahan morfologi (ukuran tubuh)
5. penurunan keanekaragaman genetic yang mengarah ke perkawinan sedarah
Ancaman yang paling berbahaya adalah hilangnya habitat akibat naiknya
permukaan air laut. Bukti nyata untuk beberapa efek ini sudah ada banyak contoh lokal
atau regional dan prediksi berbasis model yang mendukung pandangan bahwa
perubahan iklim yang cepat, berakibat pada kehilangan spesies dan degradasi habitat
yang akan menjadi salah satu isu konservasi yang paling mendesak tentang
keanekaragaman hayati global selama berabad-abad mendatang (Sodhi, dkk., 2009)
6. Invasif Spesies
Ekosistem yang mengalami perubahan dipicu oleh spesies invasif sehingga
terjadi kehilangan keanekaragaman hayati. Menurut penelitian yang telah dilakukan,
dari 170 spesies punah, spesies invasif berkontribusi langsung terhadap kematian
sebesar 91 atau 54%. Secara khusus, tingkat kepunahan yang terjadi pula karena adanya
predator baru. Beberapa kasus dalam ekologi dan kehidupan sejarah spesies pulau
terbatasi oleh faktor geografi, ukuran populasi yang kecil, dan sifat-sifat tertentu
(misalnya terganggunya aktifitas terbang burung atau kurangnya pohon untuk
berlindung sehingga rentan terhadap hewan pemangsa). Contohnya berkurangnya rubah
terbang (Pteropus mariannus) akibat ketidak manpuan spesies untuk mengenali
predator baru (Sodhi, dkk., 2009).

2.2 Contoh Hewan dan Tumbuhan yang Mengalami Penurunan Jumlah Spesies di
Indonesia
Harimau Sumatra
Hilangnya eksistensi harimau di alam bebas yang oleh para peneliti dinyatakan
sudah mendekati tahap kepunahan. Pada awal 1900-an, jumlah harimau di dunia
berkisar 100.000 individu. Kini, populasinya tersisa 3.000 individu di alam bebas
(sumber: tigerday.org). Sedangkan di Indonesia, populasi Harimau Sumatera (Panthera
tigris sumatrae) kurang dari 400 individu. Indonesia dulunya memiliki tiga spesies
harimau (Harimau Bali, Harimau Jawa, dan Harimau Sumatera); kini hanya Harimau
Sumatera yang masih dapat ditemui di habitat aslinya. Harimau Jawa dan Harimau Bali
telah punah (Agnika, 2015).
Gambar 2.2 Harimau Sumatra
(Sumber: www.wwf.or.id)

Gajah Sumatra
Habitat gajah sumatra terus menyusut dan pembunuhan yang terus terjadi.
Kajian WWF Indonesia menunjukkan bahwa populasi gajah Sumatera kian hari makin
memprihatinkan, dalam 25 tahun, gajah Sumatera telah kehilangan sekitar 70%
habitatnya, serta populasinya menyusut hingga lebih dari separuh. Estimasi populasi
tahun 2007 adalah antara 2400-2800 individu, namun kini diperkirakan telah menurun
jauh dari angka tersebut karena habitatnya terus menyusut dan pembunuhan yang terus
terjadi (WWF, Tanpa Tahun).
Khusus untuk di wilayah Riau dalam seperempat abad terakhir ini estimasi
populasi gajah Sumatera, yang telah lama menjadi benteng populasi gajah, menurun
sebesar 84% hingga tersisa sekitar 210 ekor saja di tahun 2007. Lebih dari 100 individu
Gajah yang sudah mati sejak tahun 2004. Ancaman utama bagi gajah Sumatera adalah
hilangnya habitat mereka akibat aktivitas penebangan hutan yang tidak berkelanjutan
perburuan dan perdagangan liar juga konversi hutan alam untuk perkebunan (sawit dan
kertas) skala besar (WWF, Tanpa Tahun).
Gambar 2.3 Gajah Sumatra
(Sumber: www.wwf.or.id)

Tumbuhan Eboni
Kayu eboni yang pada prakteknya ada 3 species yang diperdagangkan dengan
nama perdagangan yang sama yaitu eboni (Diospyros phillipinensis, D. pilosanthera dan
D. rumphii) padahal menurut kriteria IUCN D. phillipinensis masuk kategori genting
atau EN (endangered). Khusus untuk jenis Diospyros celebica yang merupakan jenis
endemik di Sulawesi saat ini tercatat sebagai vurnerable /rentan dalam Daftar IUCN
2006.

Gambar 2.4 Pohon Eboni


(Sumber: Internet)
Tumbuhan Ki Beusi
Ada beberapa jenis kayu multi-potensial yang tidak hanya dimanfaatkan untuk
kayunya namun juga sebagai bahan baku alternatif enerji dan obat-obatan, saat ini
populasinya di alam mengalami penurunan. Contohnya adalah, jenis ki beusi (Pongamia
pinnata) dan kempis/kemiren (Hernandia peltata). Ki beusi merupakan jenis yang
umum tumbuh di hutan dataran rendah mangrove, atau pantai berpasir yang dikenal
sebagai ekosistem yang saat ini juga mengalami tekanan akibat kerusakan karena alih
fungsi lahan.

Gambar 2.5 Tanaman Ki Beusi dan Kempis


(Sumber: Setyawati, 2010)
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan isi yang telah dijelaskan diperoleh simpulan sebagai berikut.
3.1.1. Faktor yang mempengaruhi hilangnya keanekaragaman hayati yaitu hilangnya
habitat, spesies pendatang, eksploitasi berlebihan, pencemaran, perubahan iklim
global, spesies invasive.
3.1.2. Beberapa hewan yang mengalami penurunan jumlah spesies yaitu harimau
Sumatra, gajah Sumatra,dll. Sedangkan tanaman yang mengalami penurunan
yaitu tanaman eboni, ki beusi.
DAFTAR PUSTAKA

IUNC. 2007. Species Extinction, (Online)


(https://cmsdata.iucn.org/downloads/species_extinction_05_2007.pdf), diakses 6
September 2015.
Krebs, Charles J. 2001. Ecology. United State: Benjamin Cummings, an imprint of
Addison Wesley Longman, Inc.
Nevis dan Kitts. Tanpa Tahun. Proximate Causes of The Loss of Biodiversity, (Online)
(https://www.cbd.int/doc/world/kn/kn-nbsap-01-p8-en.pdf), diakses 6 Agustus
2015.
Setyawati, Titiek. 2010. Konservasi Flora, Fauna, dan Mikroorganisme. (Online)
(http://www.forda-
mof.org/files/RPI_10_Kons._Flora,_Fauna,_&_Mikroorganisme.pdf), diakses 6
September 2015.
Sodhi, N S., Brook, B W., dan Bradshaw, C J A. 2009. Caises and Consequences of
Species Extinction, Copyrighted Mterial, (Online),
(http://press.princeton.edu/chapters/s5_8879.pdf), diakses 4 September 2015.
WWF. 2010. Menjaga Harimau, Menjaga Ekosisten yang Sehat, (Online),
(www.wwf.or.id), diakses 6 September 2015.
Zari, Maibritt Pedersen. 2014. Ecosystem Services Analysis in Response to Biodiversity
Loss Caused by the Built Environment. SAPIENS Volume 7, (Online),
(https://sapiens.revues.org/1684), diakses 6 September 2015.

Anda mungkin juga menyukai