Analisis Vegetasi
Analisis Vegetasi
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Biokonservasi
yang Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Suhadi, M.Si
Oleh:
Kelompok 1
3. Eksploitasi Berlebihan
Banyak sumberdaya hutan, perikanan dan satwa liar dieksploitasi secara
berlebihan. Banyak kelangkaan disebabkan oleh perburuan, untuk mendapatkan gading
gajah, cula badak, burung nuri, cenderawasih, dll. Pengambilan gaharu yang berlebihan
mengurangi populasi alami, hingga para pemburu gaharu harus mencari lebih jauh ke
dalam hutan.
Lebih dari satu juta hektar hutan yang sebagian besar merupakan hutan tropis
hancur setiap bulannya di dunia setara dengan area hutan seluas satu lapangan
sepakbola hancur setiap dua detik. Selain menyokong keanekaragaman hayati dan
masyarakat yang bergantung pada hutan, hutan dan tanahnya menyimpan karbon dalam
jumlah yang sangat besar hampir tiga ratus milyar ton karbon atau sekitar 40 kali jumlah
emisi yang dilepaskan ke atmosfir.
Penghancuran dan degradasi hutan berpengaruh besar terhadap perubahan iklim
dalam dua hal. Pertama, perambahan dan pembakaran hutan melepaskan karbon
dioksida ke atmosfir. Kedua, kerusakan hutan akan mengurangi area hutan yang
menyerap karbon dioksida. Kedua peran ini sangat penting karena jika kita
menghancurkan hutan tropis yang tersisa, maka kita telah kalah dalam pertarungan
menghadapi perubahan iklim.
Perdagangan, perburuan dan penangkapan satwa liar secara berlebihan juga
pemicu kepunahan spesies. Begitu juga tangkapan sampingan dimana satwa dilindungi
mati tertangkap tanppa sengaja, misalnya akibat praktik perikanan (WWF, 2015).
4. Pencemaran
Pencemaran mengancam, bahkan melenyapkan species yang peka. Pestisida
ilegal yang digunakan untuk mengendalikan udang karang sepanjang perbatasan
Taman Nasional Coto Donana di Spanyol, telah membunuh 30.000 ekor burung.
Pertambakan udang yang intensif di sepanjang pantai utara pulau Jawa telah
merusakkan sebagian besar terumbu karang dan hutan mangrove, karena sisa makanan
udang dan pemupukan tambak merangsang pertumbuhan alga yang menghancurkan
terumbu karang.
5. Perubahan Iklim Global
Efek Rumah Kaca telah menyebabkan peningkatan pemanasan global yang pada
gilirannya memiliki beberapa konsekuensi. Yang paling penting dalam hal
keanekaragaman spesies adalah bahwa hal itu terjadi begitu cepat sehingga sebagian
besar spesies tidak memiliki cukup waktu untuk berevolusi dengan atau beradaptasi
dengan perubahan. Perubahan yang akan mempengaruhi banyak spesies termasuk
tingkat kenaikan air laut, musim semi yang terjadi lebih awal, pergeseran spesies
rentang, peningkatan gelombang kekeringan, kebakaran, dan panas (Novis,
Perubahan iklim berpotensi sebagai faktor dalam berkurangnya keanekaragaman
hayati. Pemasalahan iklim mempengaruhi spesies dengan beberapa cara yaitu
1. perubahan komuitas
2. pergeseran wilayah
3. perubahan perilaku (seperti fenologi atau siklus hidup yang berubah akibat
musim)
4. perubahan morfologi (ukuran tubuh)
5. penurunan keanekaragaman genetic yang mengarah ke perkawinan sedarah
Ancaman yang paling berbahaya adalah hilangnya habitat akibat naiknya
permukaan air laut. Bukti nyata untuk beberapa efek ini sudah ada banyak contoh lokal
atau regional dan prediksi berbasis model yang mendukung pandangan bahwa
perubahan iklim yang cepat, berakibat pada kehilangan spesies dan degradasi habitat
yang akan menjadi salah satu isu konservasi yang paling mendesak tentang
keanekaragaman hayati global selama berabad-abad mendatang (Sodhi, dkk., 2009)
6. Invasif Spesies
Ekosistem yang mengalami perubahan dipicu oleh spesies invasif sehingga
terjadi kehilangan keanekaragaman hayati. Menurut penelitian yang telah dilakukan,
dari 170 spesies punah, spesies invasif berkontribusi langsung terhadap kematian
sebesar 91 atau 54%. Secara khusus, tingkat kepunahan yang terjadi pula karena adanya
predator baru. Beberapa kasus dalam ekologi dan kehidupan sejarah spesies pulau
terbatasi oleh faktor geografi, ukuran populasi yang kecil, dan sifat-sifat tertentu
(misalnya terganggunya aktifitas terbang burung atau kurangnya pohon untuk
berlindung sehingga rentan terhadap hewan pemangsa). Contohnya berkurangnya rubah
terbang (Pteropus mariannus) akibat ketidak manpuan spesies untuk mengenali
predator baru (Sodhi, dkk., 2009).
2.2 Contoh Hewan dan Tumbuhan yang Mengalami Penurunan Jumlah Spesies di
Indonesia
Harimau Sumatra
Hilangnya eksistensi harimau di alam bebas yang oleh para peneliti dinyatakan
sudah mendekati tahap kepunahan. Pada awal 1900-an, jumlah harimau di dunia
berkisar 100.000 individu. Kini, populasinya tersisa 3.000 individu di alam bebas
(sumber: tigerday.org). Sedangkan di Indonesia, populasi Harimau Sumatera (Panthera
tigris sumatrae) kurang dari 400 individu. Indonesia dulunya memiliki tiga spesies
harimau (Harimau Bali, Harimau Jawa, dan Harimau Sumatera); kini hanya Harimau
Sumatera yang masih dapat ditemui di habitat aslinya. Harimau Jawa dan Harimau Bali
telah punah (Agnika, 2015).
Gambar 2.2 Harimau Sumatra
(Sumber: www.wwf.or.id)
Gajah Sumatra
Habitat gajah sumatra terus menyusut dan pembunuhan yang terus terjadi.
Kajian WWF Indonesia menunjukkan bahwa populasi gajah Sumatera kian hari makin
memprihatinkan, dalam 25 tahun, gajah Sumatera telah kehilangan sekitar 70%
habitatnya, serta populasinya menyusut hingga lebih dari separuh. Estimasi populasi
tahun 2007 adalah antara 2400-2800 individu, namun kini diperkirakan telah menurun
jauh dari angka tersebut karena habitatnya terus menyusut dan pembunuhan yang terus
terjadi (WWF, Tanpa Tahun).
Khusus untuk di wilayah Riau dalam seperempat abad terakhir ini estimasi
populasi gajah Sumatera, yang telah lama menjadi benteng populasi gajah, menurun
sebesar 84% hingga tersisa sekitar 210 ekor saja di tahun 2007. Lebih dari 100 individu
Gajah yang sudah mati sejak tahun 2004. Ancaman utama bagi gajah Sumatera adalah
hilangnya habitat mereka akibat aktivitas penebangan hutan yang tidak berkelanjutan
perburuan dan perdagangan liar juga konversi hutan alam untuk perkebunan (sawit dan
kertas) skala besar (WWF, Tanpa Tahun).
Gambar 2.3 Gajah Sumatra
(Sumber: www.wwf.or.id)
Tumbuhan Eboni
Kayu eboni yang pada prakteknya ada 3 species yang diperdagangkan dengan
nama perdagangan yang sama yaitu eboni (Diospyros phillipinensis, D. pilosanthera dan
D. rumphii) padahal menurut kriteria IUCN D. phillipinensis masuk kategori genting
atau EN (endangered). Khusus untuk jenis Diospyros celebica yang merupakan jenis
endemik di Sulawesi saat ini tercatat sebagai vurnerable /rentan dalam Daftar IUCN
2006.