Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma akibat sengatan listrik adalah kerusakan yang disebabkan oleh adanya
aliran arus listrik yang melewati tubuh manusia dan membakar jaringanataupun
menyebabkan terganggunya fungsi organ dalam. Trauma listrik terjadi saat seseorang
menjadi bagian dari sebuah perputaran aliran listrik ataudisebabkan oleh terkenanya
pada saat berada dekat dengan sumber listrik. Rangkaian listrik dalam hal ini adalah
suatu kumpulan elemen atau komponen listrik yang saling dihubungkan dengan cara-
cara tertentu.
Cedera akibat listrik merupakan kerusakan yang terjadi jika arus
listrik mengalir ke dalam tubuh manusia dan membakar jaringan ataupun
menyebabkan terganggunya fungsi suatu organ dalam. Tubuh manusia adalah
penghantar listrik yang baik. Kontak langsung dengan arus listrik bisa berakibat fatal.
Arus listrik yang mengalir ke dalam tubuh manusia akan menghasilkan panas yang
dapat membakar dan menghancurkan jaringan tubuh. Meskipun luka bakar
listrik tampak ringan, tetapi mungkin saja telah terjadi kerusakan organ dalam yang
serius, terutama pada jantung, otot atau otak. Kerusakan terbesar biasanya pada sel-sel
saraf pembuluh darah dan otot.
Kematian akibat trauma listrik dari tahun ke tahun semakin meningkatbaik
karena kontak langsung maupun kontak melalui media lain dimana tanda utama
trauma listrik adalah luka bakar pada kulit. Kasus trauma listrik menyebabkan seribu
kematian tiap tahunnya di Amerika Serikat, dengan mortality rate 3-5%. Tingkatan
trauma listrik sangat luas, dari trauma minimal sampai melibatkan kerusakan multi
organ sampai dapat menyebabkan kematian.

1
BAB II
STATUS PASIEN

1.1. Identifikasi Pasien


Nama : Deli Bin Idham
Tgl Lahir : 01 Juli 1990
Umur : 26 tahun
Alamat : Jln. Simpang Beringin Jaya, Nanjungan, Kikim Selatan, Lahat
Warga Negara : Indonesia
Agama : Islam
No. Rekam Medik : 996686
No. Registrasi : RI17007014
MRS : 10 Maret 2017

1.2. Anamnesis
(Autoanamnesis dengan penderita dan alloanamnesis dengan keluarga penderita pada
tanggal 22 Maret 2017)
1.2.1. Keluhan Utama
Penderita mengalami luka bakar listrik
1.2.2. Keluhan Tambahan(-)
1.2.3. Riwayat Perjalanan Penyakit
3 jam SMRS, penderita mengaku tersengat listrik saat sedang bekerja pada
bagian leher, dada dan tangan kanan. Pasien mengaku sempat tidak sadarkan diri
saat kejadian, demam (-), mual (-), muntah (-). Pasien kemudian dibawa ke Bidan
setempat dan sudah dilakukan debridement, kemudian dirujuk ke IGD RSMH.

1.3. Pemeriksaan Fisik (22 Maret 2017)


1.3.1. PRIMARY SURVEY
Airways = Baik
Breathing

2
RR = 20x/menit
Circulation
Nadi = 84x/menit
Temperatur = 36,5C
1.3.2. SECONDARY SURVEY
Status Generalis
Keadaan Umum = Sakit sedang
Kesadaran = Compos Mentis
TD = 120/80 mmHg RR = 20x/m
HR = 84 x/m T = 36,5C
BB = 60 kg TB = 160cm
Kepala : Normocefali, simetris, luka bakar (-)
Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil : bulat,
isokor, RC +/+, D 3mm/3mm,
Leher : pembesaran KGB (-), luka bakar (+)
Telinga : sekret (-), cairan bening (-)
Mulut : Mukosa mulut dan bibir Kering (-), sianosis (-), luka bakar (-)
Thorax : Pada dada terdapat luka bakar (+)
Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (-)
Palpasi : stem fremitus kanan=kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: vesikuler(+) normal, rhonki(-/-) , wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis dan thrill tidak teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi: HR 84 x/menit, BJ I dan BJ II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : datar, luka bakar (+)

3
Auskultasi : bising usus normal
Palpasi : lemas, hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Ekstremitas superior : Luka bakar pada lengan kanan (+), fraktur (-)
Ekstremitas inferior : Luka bakar pada kedua kaki (-), fraktur (-), edema (-)
Genitalia : Luka bakar pada daerah scrotal dan penis (-)

1.3.3. Status Lokalis


Tampak luka bakar pada: IIA IIB
Kepala & Leher 2%
Thorax & Abdomen 8% 5%
Punggung 6%
Extremitas Superior Dextra 6%
22% 5%
Total = 27%

Saluran Oksigen:
Digiti I : 99%
Digiti II : 99%
Digiti III : 99%
Digiti IV : 99%
Digiti V : 99%

4
Foto Pasien Pada saat di IGD RSMH (10 Maret 2017)

Foto Pasien setelah dilakukan Debridement (10 Maret 2017)

5
Foto Pasien setelah dilakukan Debridement (31 Agustus 2016)

1.4. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium (10 Maret 2017)
Hematologi:
Hb = 12,5 g/dL
RBC = 4,32. 106/mm3
WBC = 6,8 106/mm3
Hematokrit = 37 %
Trombosit = 205 103/
Diff. Count = 0/5/59/20/16
Faal Hemostasis:
Waktu protombin (PT)
Kontrol = 13,30 detik

6
Pasien = 13,4 detik
INR = 0,99
APTT
Kontrol = 29,7 detik
Pasien = 30,8 detik
Hati:
Bilirubin total = 0,29 mg/dL
Bilirubin direk = 0,13 mg/dL
Bilirubin indirek = 0,16 mg/dL
AST/SGOT = 68 U/L
ALT/SGPT = 92 U/L
Albumin = 3,3 g/dL
Ginjal:
Ureum = 20 mg/dL
Kreatinin = 0,71 mg/dL
Elektrolit:
Ca = 8,8 mg/dL
Na = 140 mEq/L
K = 4,2 mEq/L
Cl = 107 mmol/L

1.5 Diagnosis :
Luka bakar Listrik flash 27% derajat II A-II B

1.6 Penatalaksanaan
- Bebaskan / lepaskan pakaian yang terbakar
- Penyiraman luka bakar dengan air mengalir dengan suhu ruangan selama lebih
kurang 15 menit dengan tujuan untuk menormalkan kembali suhu tubuh dan
menghentikan proses koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan suhu tinggi.
Airways = Pertahankan kebersihan jalan nafas
Breathing = baik

7
Circulation = baik

Penatalaksanaan lanjutan
Dilakukan debridement:
Perawatan luka dengan melakukan perawatan luka tertutup dengan
menggunakan antibiotik lokal dengan bentuk sediaan kassa (tulle) dan
dilakukan pembalutan tertutup
Observasi vital sign dan urine output
Medikamentosa:
Ceftriaxone 1 g tiap 12 jam (IV)
Tramadol 100mg tiap 12 jam (IV)
ATS 1500 IU IM
Kebutuhan Kalori:
25 x BB + 40 x TBSA= 25 x 50 + 40 x 27 = 1500 + 600 = 2330 Kkal.
Kebutuhan Cairan: :
Kebutuhan cairan 6 jam I = 4cc x KgBB x % luas luka bakar
= 4 x 50 x 27
= 2700 cc
Kebutuhan cairan 16 jam II = 4cc x KgBB x % luas luka bakar
= 4 x 50 x 27
= 2700 cc

1.7 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad malam

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Luka Bakar


2.1.1 Definisi Luka Bakar
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik,
dan radiasi. Luka bakar menyebabkan hilangnya intergritas kulit dan menimbulkan
efek sistemik yang sangat kompleks. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan
morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal
(fase syok) sampai fase lanjut.

2.1.2 Penyebab luka bakar


Luka bakar dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti:
Luka bakar karena api
Luka bakar karena api dapat dipicu dengan ada bahan cairan yang mudah
terbakar seperti bensin, gas kompor, dan tabung pemantik api yang dapat
menyebabkan luka bakar pada seluruh atau sebagian tebal kulit.
Luka bakar karena air panas.
Luka bakar karena bahan kimia (asam kuat dan basa kuat)
Asam kuat dapat menyebabkan nekrosis koagulasi, denaturasi protein, dan rasa
nyeri yang hebat. Basa (alkali) kuat yang banyak terdapat pada cairan pemutih
pakaian dan cairan pembersih lain. Luka bakar akibat basa kuat dapat
menyebabkan jaringan mengalami nekrosis yang mencair. Kemampuan alkali
menembus jaringan lebih dalam dan lebih kuat dibandingan dengan asam.
Kerusakan jaringan lebih berat karena sel mengalami dehidrasi dan terjadi
denaturasi protein dan kolagen.
Luka bakar karena listrik, petir dan radiasi
Luka bakar karena sengatan sinar matahari
Luka bakar karena tungku panas

9
Luka bakar karena ledakan bom

2.1.3 Fase Luka Bakar


1. Fase akut/syok/awal
Pada fase ini, penderita luka bakar akan mengalami kondisi yang dapat
mengancam jalan nafas (gangguan airways), gangguan pernafasan (breathing),
dan gangguan sirkulasi (circulation). Pada gangguan jalan nafas (airways)
dapat terjadi segera setelah terjadinya luka bakar ataupun terjadi dalam 48-72
jam pascatrauma karena terjadinya obstruksi jalan nafas akibat cedera inhalasi.
Pada fase ini juga dapat terjadi ganggaun keseimbangan sirkulasi cairan dan
elektrolit akibat cedera termal/panas yang berdampak pada sistemik. Adanya
syok yang bersifat hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan hiperdinamik
yang masih berhubungan akibat masalah instabilitas sirkulasi.
2. Fase subakut
Fase ini berlangsung setelah fase syok teratasi. luka yang terjadi dapat
menyebabkan beberapa masalah, yaitu:
proses inflamasi atau infeksi
masalah penutupan luka
keadaan hipermetabolisme
3. Fase lanjut
Pada fase ini penderita telah dinyatakan sembuh dan tetap dipantau melalui
rawat jalan. Masalah yang dapat muncul pada fase ini adalah jaringan parut
yang hipertrofik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas, dan timbulnya
kontraktur.

2.1.4 Luas Luka Bakar


Pembagian luas luka bakar pada dewasa dilakukan dengan menggunakan Rule
of Nine, dengan:
kepala dan leher 9%
badan depan 18%
badan belakang 18%

10
Lengan (ekstrimitas atas) kanan dan kiri 18%
Tungkai (ekstrimitas bawah) kanan dan kiri 36%
genitalia 1%
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena relatif permukaan kepala anak
lebih besar. Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda,
dikenal rumus 10 untuk bayi dan rumus 10-15-20 untuk anak.
Pada bayi:
kepala dan leher 20%
badan depan 20%
badan belakang 20%
lengan (ekstrimitas atas) kanan dan kiri 20%
tungkai (ekstrimitas bawah) kanan dan kiri 20%
Pada anak:
kepala dan leher 15%
badan depan 20%
badan belakang 20%
lengan (ekstrimitas atas) kanan dan kiri 20%
tungkai (ekstrimitas bawah) kanan dan kiri 30%1.

11
Gambar 1. Skema Pembagian luas luka bakar dengan modifikasi Rule of Nine

2.1.5 Derajat Kedalaman Luka Bakar


Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat
sumber panas, penyebab dan lamanya kontak dengan tubuh penderita3. Selain ada
sumber panas yang kontak dengan tubuh, pakaian yang ikut terbakar pun dapat
memperdalam luka bakar. Bahan pakaian sintetis seperti nilon dan dakron, selain
mudah terbakar juga mudah lumer oleh suhu tinggi, sehingga jika terbakar bahan ini
akan mudah menempel di tubuh sehingga memperberat kedalaman luka1.
Derajat kedalaman luka bakar dibagi menjadi 3 derajat, yaitu
1. Luka bakar derajat 1

Gambar 2. Luka Bakar Derajat I

12
Kerusakan akibat luka bakar terbatas pada lapisan epidermis
(superficial), kulit yang tampak hiperemik berupa eritem, tidak dijumpai bullae,
terasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. Penyembuhan dapat
terjadi secara spontan tanpa membutuhkan perawatan khusus atau luka bakar
derajat 1 ini dapat sembuh dalam 5 sampai 7 hari.

2. Luka bakar derajat 2


Kerusakan akibat luka bakar mencapai kedalaman lapisan epidermis
dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Terdapat
bullae, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.
Luka bakar derajat 2 dibagi menjadi:
Luka bakar derajat 2A
Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari dermis.
Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10 14 hari.
Luka bakar derajat 2B
Kerusakan hampir mengenai seluruh bagian dermis dan sisa-sisa
jaringan epitel yang tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lama dan
disertai jaringan parut hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi dalam
waktu lebih dari satu bulan.

Gambar 3. a. Luka bakar derajat 2A, b. luka bakar derajat 2B

13
3. Luka bakar derajat III
Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam
sampai mencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Tidak dijumpai bullae,
kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan lebih pucat sampai berwarna kuning
kering. Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal
sebagai eskar. Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung-ujung
sensorik rusak. Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi
spontan3..

Gambar 4. Luka bakar derajat 3

2.1.6 Klasifikasi Berat-Ringan Luka Bakar


Klasifikasi kriteria berat-ringan luka bakar menurut American Burn Association
adalah:
1. Luka Bakar Ringan
Luka bakar derajat I dan II < 15% pada dewasa
Luka bakar derajat < 10% pada anak
Luka bakar derajat II < 2%
2. Luka Bakar Sedang
Luka bakar derajat II 15% - 25% pada dewasa
Luka bakar derajat 10% - 20% pada anak
Luka bakar derajat II < 10%
3. Luka Bakar Berat
Luka bakar derajat II > 25% pada dewasa

14
Luka bakar derajat > 20% pada anak
Luka bakar derajat II > 10%
Luka bakar yang mengenai wajah, mata, telinga, kaki, dan genitalia serta
persendian di sekitar axilla.
Luka bakar dengan cedera/trauma inhalasi
Luka bakar dengan trauma berat.

2.1.7 Penatalaksanaan Luka Bakar


Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama adalah
mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung
sirkulasi sistemik.
A. Airways
Pada penderita luka bakar dengan trauma inhalasi, manifestasi klinis tidak selalu
muncul dalam 24 jam pertama pasca luka bakar, tetapi dapat muncul dalam 48 - 72
jam3. Sehingga penanganan awal pada penderita luka bakar dengan atau yang dicurigai
adanya trauma inhalasi dapat dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal dan ventilasi
mekanis untuk pembebasan jalan nafas.
Indikasi dilakukannya intubasi pada luka bakar, yaitu:
Luka bakar sirkumferensial pada leher
Luka bakar pada wajah
Edema faring atau laring
Penurunan kesadaran
Kehilangan refleks jalan nafas
Keracunan karbon monoksida dan sianida
Luka bakar > 40%, karena beresiko terjadi edema laringeal sebagai
bagian dari edema menyeluruh yang biasanya terjadi pada luka bakar
yang luas
Bila ditemukan tanda-tanda lain dari distress pernafasan
B. Breathing
Dilakukan dengan pemberian oksigen 100% dengan pipa endotrakeal

15
Penghisapan sekret secara berkala
Humidifikasi dengan nebulizer
Pemberian bronkodilator
C. Circulation
Setiap penderita luka bakar yang mengenai lebih dari 20% luas permukaan tubuh
memerlukan resusitasi cairan dengan pemasanagn kateter intravena pada daerah tubuh
yang tidak mengalami luka bakar. Terdapat beberapa cara dalam menghitung
kebutuhan cairan dalam resusitasi cairan pada penderita luka bakar, seperti:

Perhitungan Baxter
Rumus baxter : 4 ml larutan ringer laktat x berat badan (kg) x % luas luka bakar
Hari I jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama.
jumlah cairan sisa diberikan 16 jam berikutnya.
Hari II jumlah cairan hari I.

2.1.8 Perawatan Luka Bakar


2.1.8.1 Perawatan Luka Bakar Terbuka
Perawatan pada luka yang dibiarkan terbuka dengan harapan dapat sembuh
dengan sendirinya6. Permukaan luka yang selalu terbuka menyebabkan permukaan
luka menjadi cepat kering sehingga kuman akan sulit berkembang dan pengawasan
luka juga akan lebih mudah.
Perawatan lukar bakar terbuka ini dapat dilakukan dengan menggunakan
kompres nitrat-argenti 0,5% yang efektif sebagai bakteriostatik. Nitrat-argenti akan
mengendap sebagai garam sulfida atau klorida yang memberikan warna hitam.
Perawatan luka bakar juga dapat menggunakan krim silver sulfadiazine 1% bersifat
bakteriostatik dan memiliki daya tembus yang cukup efektif terhadap semua kuman,
tidak menimbulkan resistensi dan aman. Penggunaan krim silver sulfadiazine ini
cukup dioleskan tanpa pembalutan sehingga lebih mudah dibersihkan.

16
2.1.8.2 Perawatan Luka Bakar Tertutup
Perawatan luka bakar tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang
bertujuan untuk menutup luka dari kemungkinan kontaminasi dan ditutup sedemikian
rupa sehingga masih terdapat ruang untuk berlangsung terjadinya penguapan.
Keuntungan perawatan luka bakar secara tertutup adalah dapat membantu
immobilisasi luka secara sempurna. Pada perawatan luka bakar tertutup, pembalutan
yang digunakan harus memiliki daya penyerapan dan diganti setiap 8 24 jam , bila
pembalut basah dan berbau, dan bila timbul nyeri dan penyebab yang tidak jelas.

2.1.8.3 Debridement
Pemotongan eskar atau eskaratomi pada luka bakar yang besar dapat dilakukan
dengan debridement. Debridement adalah usaha untuk menghilangkan jaringan mati
dan jaringan yang sangat terkontaminasi dengan mempertahankan secara maksimal
struktur anatomi yang penting. Jaringan mati tidak hanya menghalangi penyembuhan
luka tetapi juga menyebabkan infeksi daerah luka, infeksi sistemik, sepsis, amputasi,
dan bahkan kematian. Debridement ini bertujuan untuk memulihkan sirkulasi dan
pasokan oksigen yang adekuat ke daerah luka. Debridement ini dapat dilakukan pada
luka akut dan luka kronik. Debridement terdiri dari beberapa jenis, seperti:
a) Debridement autolitik
Usaha tubuh untuk melakukan penghancuran jaringan nonvital dengan
enzim yang dapat mencairkan jaringan nonvital yang akan bekerja
maksimal dalam suasana lembap. Mempertahankan suasana luka agar tetap
lembab dapat dicapai dengan menggunakan penutup luka yang dapat
dicapai dengan menggunakan penutup luka yang dapat menjamin
kelembapan luka. Produk yang dapat mempertahankan suasana lembab
antara lain hidrokoloid, film transparan, dan hidrogel.
b) Debridement enzimatik
Debridement ini menggunakan salep topikal yang memiliki efek
proteolitik, fibrinolitik dan kolagenase terhadap jaringan yang akan
dihancurkan. Salep topikal yang populer saat ini adalah kolagenase produk
fermentasi Clostridium histolyticum yang mempunyai kemampuan unik

17
mencerna kolagen jaringan nekrotik. Papain merupakan enzim proteolitik
yang merupakan penghancur protein tetapi tidak berbahaya pada jaringan
sehat.
c) Debridement mekanis
Luka ditutup dengan kassa yang telah dibasahi larutan salin normal,
setelah kering kassa akan melekat dengan jaringan yang mati. Saat
mengganti balutan, jaringan mati akan ikut terbuang. Tindakan ini
dilakukan berulang 2-6 kali per hari. Prosedur ini terasa tidak nyaman bagi
pasien saat mengganti balutan, merusak jaringan granulasi baru, merusak
epitel yang masih rapuh, dan berpotensi menimbulkan laserasi disekitar
luka. Metode debridement ini terbagi atas hidroterapi dan irigasi dengan
cairan fisiologis seperti ringer laktat atau salin normal.
d) Debridement biologis
Upaya debridement secara biologis dapat dilakukan dengan menggunakan
larva ynag disebut sebagai maggot debridementt therapy (MDT). Prosedur
ini dapat membersihkan jaringan nekrotik tanpa rasa nyeri, membunuh
bakteri, dan menstimulasi penyembuhan luka.
e) Debridement bedah
Tindakan debridement ini menggunakan skalpel, gunting, kuret, atau
instrumen lain disertai irigasi untuk membuang jaringan nekrotik dari luka.
Tujuannya untuk mengeksisi luka sampai mencapai jaringan yang normal
dan vaskularisasi yang baik.

2.1.8.4 Skin Grafting


Skin grafting adalah tindakan memindahkan sebagian kulit (split thcikness)
atau keseluruhan tebal kulit (full thickness) dari satu tempat ke tempat yang lain secara
bebas, dan untuk menjamin kehidupan jaringan tersebut yang bergantung pada
pertumbuhan pembuluh darah kapiler yang baru di jaringan penerima (resipien). Skin
grafting ini dilakukan jika:
1. penutupan luka secara primer tidak dapat dilakukan

18
2. jaringan sekitar luka tidak cukup baik (luas, kualitas, lokasi dan tampilan)
untuk dapat dipakai sebagai penutup luka.
3. luka pasca eksisi tumor ganas yang tidak diyakini bebas tumor, sehingga
teknik rekonstruksi yang lebih kompleks diperkirakan lebih merugikan dari
hal morbiditas, resiko, hasil, atau komplikasinya dan dipengaruhi oleh
faktor lain seperti status gizi, umur, kondisi komorbid, perokok, kepatuhan
atau biaya yang tidak memungkinkan dilakukannya teknik rekonstruksi
yang lebih kompleks.
Menurut lokasi donor kulit, skin grafting dapat dibagi menjadi:
a. Autograft lokasi kulit donor berasal dari individu yang sama. Graft jenis
ini dapat dimanfaatkan sebagi penutup luka temporer.
b. homograft lokasi kulit donor berasal dari individu lain yang sama
spesiesnya.
c. heterograft atau xenograft lokasi kulit donor yang berasal dari individu
yang berbeda spesies.

2.1.8.5 Split thickness skin grafting (STSG)


Split thickness skin grafting (STSG) adalah transplantasi kulit bebas yang terdiri
atas epidermis dan sebagian tebal dermis. STSG dibedakan atas tebal kulit (epidermis
disertai tebal lapisan dermis), sedang atau medium (epidermis disertai tebal
lapisan dermis), dan tipis (epidermis disertai tebal lapisan dermis).
Keuntungan prosedur STSG adalah
1. kemungkinan penerimaan skin graft lebih besar dan dapat menutup defek
yang luas
2. kulit donor diambil dari daerah tubuh mana saja
3. daerah yang diambil kulitnya dapat sembuh sendiri melalui epitelisasi
Kerugian prosedur STSG adalah
1. kecenderungan besar mengalami kontraksi sekunder
2. perubahan warna (hiper atau hipopigmentasi)
3. permukaan kulit yang tampak mengkilat sehingga secara estetik kurang baik
4. diperlukan waktu penyembuhan luka pada daerah donor.

19
2.1.8.6 Full thcikness skin grafting (FTSG)
Full thcikness skin grafting (FTSG) adalah transplantasi kulit bebas yang terdiri
atas epidermis dan seluruh tebal dermis tanpa lapisan lemak dibawahnya. Graft
diambil setelah suatu pola yang sesuai dengan defek yang akan ditutup digambar
terlebih dahulu. Vaskularisasi yang baik di daerah resipien, tidak adanya infeksi, dan
keadaan umum penderita yang memadai dan fiksasi merupakan syarat keberhasilan
skin grafting.
Keuntungan FSTG adalah
1. kecenderungan yang lebih kecil untuk terjadinya kontraksi sekunder,
2. perubahan warna, permukaan kulit yang mengkilat, sehingga penampilan
estetik lebih baik dibandingkan dengan STSG.
Kerugian FSTG adalah
1. kemungkinan penerimaan yang lebih kecil
2. hanya dapat menutup defek yang tidak terlalu luas
3. daerah donor harus ditutup dengan STSG bila tidak dapat dijahit primer dengan
sempurna
4. daerah donor FSTG terbatas di beberapa tempat saja seperti inguinal,
supraklavikular, retroaurikular, dan beberapa tempat yang lain.

2.1.9 Kebutuhan Nutrisi pada Luka Bakar


Kebutuhan Kalori dihitung berdasarkan rumus curreri
Kebutuhan kalori 24 jam = (25 kcal x kg BB) + (40 kcal x TBSA)
Pasien dengan fungsi ginjal baik dapat diberikan protein 2g/kgBB/hari
Minum diberikan pada penderita luka bakar segera setelah peristalsis menjadi
normal, diberikan sebanyak 25mL/kgBB/hari, dan diuresis dapat mencapai
sekurang-kurangnya 30mL/jam
Makanan diberikan oral pada penderita luka bakar segera setelah dapat minum
tanpa kesulitan, sedapat mungkin 2500 kal/hari dan sedapat mungkin
mengandung 100 150gr protein/hari.

20
Pemberian suplemen vitamin, mineral, vitamin A, vitamin C, Zinc, Vitamin E,
selenium dan besi dapat membantu proses penyembuhan luka bakar.

2.1.10 Komplikasi
Kondisi pasca luka bakar yang dapat muncul berupa jaringan parut yang dapat
berkembang menjadi cacat berat, kontraktur kulit yang dapat menganggu fungsi dan
menyebabkan kekakuan sendi atau menimbulkan cacat estetis yang jelek terutaa bila
jaringan parut tersebut berupa keloid. Kondisi pasca luka bakar juga dapat
menyebabkan terjadinya infeksi sitemik (SIRS) dan jika luka bakar merusak jalan
nafas akibat adanya trauma inhalasi maka dapat menyebabkan terjadinya atelektasis,
pneumonia, atau insufisiensi fungsi paru pascatrauma1. Pada penderita luka bakat lebih
dari 20 % 25% luas permukaan tubuh sering terjadi ileus paralitik yang dapat
menghalangi pemberian cairan oral pada saat resusitasi dan diperlukan intubasi
nasogaster serta dilakukan penghisapan untuk menghindari ketegangan abdomen,
emesis dan aspirasi sekunder.

2.1.11 Prognosis
Morbiditas dan mortalitas penderita luka bakar berhubungan dengan luas luka
bakar, derajat luka bakar, umur, tingkat kesehatan, lokalisasi luka bakar, cepat
lambatnya pertolongan yang diberikan, dan fasilitas tempat pertolongan.
Mortalitas meningkat pada penderita yang rentan terhadap infeksi, penderita dengan
penyakit jantung, DM dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).

2.2 Luka Bakar Listrik


2.2.1 Definisi Luka bakar Listrik
Luka bakar akibat listrik memiliki kekhususan, karenanya luka bakar akibat
listrik tegangan tinggi dihadapkan pada mortalitas yang tinggi sedangkan luka bakar
akibat tegangan rendah diikuti dengan kerusakan jaringan dengan progresivitas yang
berjalan lambat, namun memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi. Kerusakan jaringan
tubuh dibedakan dalam dua golongan: Pertama, disebabkan oleh arus listrik melalui

21
jaringan tubuh (electrical shock) dan jenis kedua, disebabkan oleh arc (percikan,
letupan, ledakan, electrical flash) dari energi listrik.

2.2.2 Karakteristik Listrik


2.2.2.1 Tegangan (voltage)
Tegangan adalah gaya elektromotif atau perbedaan potensial listrik. Semakin
besar tegangan listrik yang dialirkan ke jaringan yang memiliki resistensi relatif tetap,
semakin besar arus yang dialirkan, karena besarnya tegangan listrik umumnya dapat
diketahui secara pasti (dalam ukuran volt) sementara resistensi jaringan tidak dapat
diketahui, maka besarya arus sangat penting diketahui.
2.2.2.2 Arus listrik (electric current)
Arus listrik adalah aliran listrik, ada dua yaitu arus bolak balik(Alternating
current/ AC) dan arus satu arah (direct current./ DC). AC merupakan energi yang
mengalami proses osilasi yang terdiri dua arah pada konduktor. Arus DC tegangan
tinggi menimbulkan spasme muskular, menyebabkan korban terpental menjauhi
sumber arus. Hal ini mengakibatkan waktu paparan dengan arus relatif singkat, namun
diikuti kemungkinan timbulnya trauma tumpul. Arus AC lebih berbahaya (tiga kali
lipat) dibandingkan dengan arus DC pada tegangan yang sama karena menyebabkan
kontraksi muskular kontinu, tetani, dan timbul bila serat serat otot mendapat stimulasi
40- 110 kali per detik. Karena pada umumnya, listrik yang digunakan memiliki

22
frekuensi 60 hz, dengan demikian tetani mudah timbul meski dengan arus (ampere)
rendah sekalipun.
- Listrik dengan arus 1.1 mA menimbulkan sensasi nyeri.
- Listrik dengan arus lebih besar (>15mA) menimbulkan tetani muskular
sehingga korban tidak bisa melepaskan pegangan dari sumber listrik.
- Listrik dengan arus lebih besar lagi (>50-120 mA) menimbulkan fibrilasi
ventrikular
2.2.2.3. Resistensi dan konduksi.
Resistensi adalah tahanan jaringan atau oposisi terhadap aliran listrik,
sedangkan konduksi adalah kapasitas jaringan menyampaikan (mengalirkan) arus
listrik. Konduktor yang baik adalah jaringan yang banyak mengandung air (memiliki
derajat hidrasi tinggi). Urutan konduksi adalah sebagai dilihat pada tabel berikut
(semakin tinggi konduksi, semakin rendah resistensinya dan sebaliknya).

Konduksi Resistensi
tinggi Rendah
Sistem syaraf
Pembuluh darah
Otot
Kulit
Lemak
Tulang
Konduksi Resistensi
rendah Tinggi

Arus listrik akan menghasilkan panas lebih tinggi pada konduktor yang memiliki
resistensi lebih besar (misal, jaringan). Proses degradasi energi kedalam bentuk panas
disebut joule heating, menjadi penyebab utama kerusakan termis pada jaringan.
Karenanya jaringan yang bersifat kurang kondusif memiliki potensi efek pemanasan
lebih besar saat dialiri arus listrik. Jumlah panas yang ditimbulkan sehingga
menyebabkan kerusakan adalah:

23
E=0,24 x I2 x R x t

Menurut Lee dkk, arus listrik menyebabkan kerusakan yang demikian kompleks,
dikaitkan dengan adanya resistensi jaringan yang merupakan wujud dari interaksi
jaringan dengan modus yang bergantung pada frekuensi (modes of frequency-
dependent tissue-field interaction). Disamping efek termal, permeabilitas membran sel
mengalami gangguan akibat denaturasi protein (makromolekul) yang bersifat
elektrokonformasional. Saraf dialiri arus listrik, artinya terdapat kontak langsung
antara sumber arus dengan konduktor (jaringan permukaan tubuh), terjadi perpindahan
elektron-elektrion sebagaimana perpindahan ion di dalam larutan. Disaat itu,
berlangsung proses elektrolisis dan reaksi eksotermal diikuti perubahan PH,
konsentrasi oksigen dan pelepasan zat toksik ke jaringan sekitar. Arus listrik melalui
lapisan lapisan sel menunjukkan suatu fenomena yang disebut proses elektroporasi.
Proses tersebut berlangsung terutama di membran sel (lipid bilayer), protein membran
yang bermuatan negatif mengalami denaturasi. Denaturasi protein khususnya terjadi di
sekitar lokasi cell pores dan gates (lokasi pompa natrium, pompa kalsium dan kanal
kalium). Protein protein membran sel ini kehilangan struktur tiga dimensinya,
mengalami distorsi atau membentuk pori pori intramembran sehingga komponen
intrasel dengan mudaah bercampur dengan ekstrasel. Prosesnya berlangsung demikian
cepat dan bila kondisi ini tidak segera kembali maka akan terjadi kematian sel. Proses
ini sekaligus menjelaskan bahwa kematian sel tidak disebabkan efek joule heating
(yang membutuhkan waktu lebih lama).

24
2.2.3 Dampak Aliran Listrik pada Jaringan Tubuh
2.2.3.1 Kulit
Epidermis merupakan jaringan yang relatif kering dibandingkan jaringan lainnya
dan berperan sebagai suatu resistensi awal terbesar terhadap arus listrik DC. Namun
resistensi kulit ini bervariasi dan dipengaruhi beberapa faktor misalnya ketebalan
lapisan keratin dan kelembaban kulit.
- Resistensi epidermis ini akan lebih rendah karena adanya keringat dan
lembabnya kulit terutama di tempat folikel rambut menembus epidermis
- Resistensi epidermis lebih tinggi pada daerah dengan epidermis yang lebih
tebal karena pada daerah ini umumnya distribusi kelenjar keringat dan folikel
demikian jarang. (misalkan kulit bagian akral)
2.2.3.2. Saraf, pembuluh darah dan otot
- Jaringan saraf dan pembuluh darah terpapar pada arus listrik lebih besar,
namun diikuti oleh terbentuknya panas yang lebih kecil. Hal ini disebabkan
jaringan saraf dan pembuluh darah merupakan konduktor yang baik dengan
resistensi rendah (mengandung komponen air lebih banyak)
- Kerusakan jaringan saraf terjadi melalui berbagai mekanisme. Jaringan saraf
mengalami kehilangan konduktifitas karena mengalami nekrosis koagulasi.
Kerusakan pembuluh darah yang mensuplai dan myelin sheaths juga terjadi.
Dengan berlangsungnya pembuluh darah dan terbentuknya edema, kerusakan

25
jaringan saraf terjadi secara cepat maupun lambat (dalam beberapa jam sampai
dengan beberapa hari).
- Kerusakan pada jaringan otak menunjukkan fokus fokus petechiae pada brain
stem, kromatolisis yang meluas dan edema serebral.
- Pembuluh darah merupakan jaringan yang mengalami kerusakan paling berat.
Kerusakan ini disebabkan difusi panas melalui tunika intima. Kerusakan pada
pembuluh darah berupa erosi endotel (diikuti gangguan integritas endotel),
adhesi leukosit-trombosit dan terbentuknya trombus trombus terganggunya
sirkulasi, jaringan yang disuplai mengalami iskemia yang berlanjut dengan
nekrosis. Sementara dengan terganggunya aliran arteri di daerah trauma akan
diikuti terhambatnya aliran proksimal dari trauma, menyebabkan kerusakan
meluas dalam beberapa waktu (hari), dalam literatur disebut sebagai
progressive tissue necrosis. Hal ini merupakan sesuatu yang bersifat
patognomonik untuk kerusakan jaringan, karena gangguan vaskularisasi akibat
arus listrik. Derajat kerusakan sebanding dengan tegangan arus.
- Otot merupakan organ yang memiliki volume massa yang relatif lebih besar.
Karena itu otot mengantarkan arus listrik lebih banyak, sekaligus memanaskan
jaringan disekitarnya. Patologi otot berupa bercak bercak, dengan area viable
dan nonviable yang dapat dijumpai bersamaan didalam satu kelompok otot.
Kerusakan otot otot periosteal dapat terjadi meski otot yang terletak superfisial
terlihat.
2.2.3.3 Tulang
Tulang sebagai resistor paling baik mengkonversi lebih banyak energi
kedalam bentu panas. Konversi energi listrik menjadi panas pada tulang
berlangsung lebih lama dibandingkan dengan jaringan lainnya. Kondisi ini
akan menyebabkan pemanasan jaringan sekitarnya meskipun listrik telah
berhenti mengalir. Hal ini menjelaskan mengapa arus yang mengalir pada
ekstremitas menimbulkan kerusakan termal yang terkonsentrasi di pergelangan
tangan dan siku, yaitu daerah daerah yang memiliki komponen tulang(dan
tendon) lebih banyak dibandingkan jaringan lunaknya.

26
2.3. Resusitasi cairan
2.3.1. Berbagai metode resusitasi cairan
Resusitasi cairan pada luka bakar adalah suatu tindakan life safing yang kritis dan
menempati prioritas ketiga pada seri tatalaksana syok berdasarkan prinsip ABC
traumatologi. Resusitasi cairan ini bersifat kritis dan merupakan suatu tindakan
mendatorik, sebagai salah satu upaya restorasi perfusi.
Dalam tindakan resusitasi cairan, volume yang cukup- adekuat merupakan salah
satu syarat yang mutlak diperlukan untuk terselenggaranya perfusi. Namun perlu
dipahami volume saja tidak menjamin perfusi terselenggara dengan baik namun peran
beberapa faktor lain.
Berbagai metode resusitasi cairan adalah sebagai berikut
1. Metode baxter
2. Metode evans- brooke
3. Metode Advanced Trauma Live Support (ATLS)
4. Metode Cincinnati
5. Metode Galveston

American Burn Association (ABA) menetapkan Resusitasi cairan menurut metode


Baxter sebagai Petunjuk Praktis ( Practice guidelines) berdasarkan evidence based
medicine (EBM). Mereka mengklaim terdapat insufisiensi data penunjang berupa
penelitian penelitian Randomized Control Trial (RCT) untuk menempatkan metode
resusitasi ini sebagai Standar baku (Gold Standard)

ABA menetapkan metode baxter sebagai gold standard pada penanganan


resusitasi cairan pada luka bakar. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan mengenai
metode baxter secara lebih dalam.

2.3.2. Metode Baxter


Metode baxter kerap dikenal dengan sebutan metode parkland merupakan suatu
metode resusitasi cairan yang pertama dipublikasikan pada tahun 1965. Shires (ahli
bedah dibidang trauma) berkolaborasi dengan Baxter (ahli bedah yang memiliki
interest dalam bidang fisiologi terutama sirkulasi) memprovokasi kebutuhan cairan
perkilogram pada luka bakar yaitu 3,7-4,3 ml (rerata 4mL). Kebutuhan cairan tersebut

27
dijadikan pedoman pemberian cairan pada kasus kasus yang dirawat di RS Parkland.
Sejak itu metode baxter dipakai oleh banyak sentra pelayanan luka bakar di seluruh
dunia, termasuk di RS Mohamad Hoesin Palembang. Metode ini bisa di dapatkan
dalam Practice Guidelines in Burns Resuscitation dan diajarkan pada Advance Burns
Life Support (ABLS) cource.
Metode resusitasi ini mengacu pada pemberian cairan kristaloid dalam hal ini
Ringers Laktate (karena mengandung elektrolit dengan komposisi yang lebih
fisiologik dibandingkan natrium klorida) dengan alasan: Pertama, cairan saja sudah
cukup untuk menggantikan cairan yang hilang (berpindah ke jaringan interstitium),
Kedua, pemberian kristaloid adalah tindakan resusitasi yang paling fisiologis dan aman

Kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama adalah 4 ml/kg/ % luas luka bakar (LB),
pemberiannya berdasarkan pedoman berikut.
- Separuh kebutuhan diberikan dalam 8 jam pertama
- Separuh kebutuhan diberikan dalam 16 jam sisanya
Kebutuhan cairan dalam 24 jam kedua adalah setengah jumlah kebutuhan hari
pertama. Kecukupan cairan dinilai dari produksi urin 0,5 mL/kg/jam
Pada metode resusitasi ini digunakan kristaloid, yaitu Ringer Lactate (RL). Selain
kandungan elektrolit, dasar penggunaan laktat disini dapat diuraikan sebagai berikut.
Laktat merupakan metabolik fisiologik yang berperan sebagai substrat berenergi,
dioksidasi secara aktif oleh mitokondria di seluruh sel sel tubuh, terutama pada sel sel
organ aktif seperti otak, ginjal, miokardium dan sistem muskular. Oksidasinya
menghasilkan energi setara glukosa (4Kcal/g laktat). Setelah periode hipoksia, laktat
menjadi substrat pilihan atau bahkan bersifat obligat yang mengungguli glukosa karena
dapat langsung digunakan (sebagai sumber energi) dan pada oksidasinya tidak

28
diperlukan ATP (glukosa memerlukan ATP pada oksidasinya) Disamping itu,
metabolisme laktat memperkedil pembentukan ROS yang berlebihan.
Lebih jauh laktat dapat diubah menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis
yang berlangsung terutama di hepar, juga di ginjal. Penggunaan natrium klorida
isotonik (NaCl 0,9%) tidak menjadi pilihan karena kemungkinan terjadi penimbunan
klorida yang berlanjut dengan asidosis yang kerap berakibat fatal.

29
BAB IV
ANALISIS KASUS

Seorang laki-laki, Tn. Deli Bin Idham berusia 26 tahun, datang ke RSMH dengan
keluhan mengalami luka akibat tersengat listrik. Penderita mengalami luka bakar
listrik 3 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Dari autoanamnesis dan
alloanamnesis didapatkan bahwa + 3 jam sebelum masuk RSMH, penderita tersengat
listrik saat membenarkan listrik rumah yang mati lampu. Pasien mengaku sempat tidak
sadarkan diri saat kejadian, demam (-), mual (-), muntah (-). Pasien kemudian dibawa
ke Bidan setempat dan sudah dilakukan debridement, kemudian dirujuk ke IGD
RSMH.
Saat datang ke RSMH, pasien dalam keadaan sadar. Dilakukan pemeriksaan
umum yang meliputi survei primer, survei sekunder, serta penilaian luas dan derajat
luka bakar pada pasien. Pasien datang dengan sensorium kompos mentis, tidak ada
gangguan jalan napas, frekuensi napas 20x/menit dan nadi 84x/menit dalam batas
normal. Tidak ditemukan adanya stridor, suara serak dan sputum. Tidak terdapat
gangguan pergerakan dinding dada.
Pada Survey sekunder tampak luka bakar pada kepala dan leher seluas 2% IIA
BSA, thorax dan abdomen 8% IIA + 5% IIB BSA, punggung seluas 6% IIA BSA,
ekstremitas superior dextra seluas 6% IIA BSA. Dapat disimpulkan pasien mengalami
luka bakar listrik 27% derajat IIA - IIB yang termasuk dalam luka bakar derajat berat
menurut American Burn Association.
Luka bakar pada penderita ini digolongkan derajat IIA-IIB karena kerusakan
mengenai bagian epidermis dan dermis.
Penatalaksanaan pada pasien ini dengan pemberian antibiotik (ceftriaxone),
dilakukan debridement dan perawatan luka tertutup. Pada pasien ini, tubuh kehilangan
kulit sebagai protective barrier sehingga rentan terhadap infeksi, oleh karena itu
diberikan antibiotik spektrum luas sebagai profilaksis pada pasien ini. Untuk
mengurangi rasa sakit, dikarenakan pada luka bakar grade II terjadi iritasi ujung-ujung

30
saraf perifer, analgetik diberikan pada pasien ini. Kebutuhan nutrisi pada pasien ini
berdasarkan rumus Baxter Formula sebesar 4mL/kg/% Luas LB /24 jam.
Tindakan debridement dilakukan dalam 7 hari pertama agar proses penyembuhan
terjadi lebih cepat, menurunkan risiko kolonisasi mikroorganisme patogen, dan
memutus rantai proses inflamasi pada luka bakar. Akan tetapi risiko terjadinya sepsis
akibat proses infeksi masih tetap tinggi pada pasien luka bakar yang telah menjalani
debridement. Untuk itu dilakukan pemberian antibiotik topikal yang diberikan setiap
kali diganti verband dan antibiotik sistemik broad spectrum.

31
DAFTAR PUSTAKA

Arnold BD, Purdue GF,Kowalske K. Electrical injury: a 20 year review. J Burn care
Rehabil.2004;25: 479-84
Arnoldo B, Klein M, Gibran NS. Practice Guideline for the managementof electrical
injuries. J Burn care Res 2006;27;439-447
Cooper MA. Emergent care of lightning and electrical injuries. Seminars in Neurology
2005; 15. Available in website :
www.uic.edu/labs/lightninginjury/treatment.html
Grabb and Smith. 2007. Plastic Surgery 6th Edition. Philadelphia : Lippincolt
Williams&Wilkins
Lee RC, Zhang D, Hannig. Biophysical injury mechanism in electrical shock
trauma.Ann Rev of Biomed Engineer. 2000; 2 : 477-509
Lee RC. Injury by electrical forces: pathophysiology : manifestation and therapy.
Available in website: http.//www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
Lippestad C, Eriksen J, Vagenes P, Hovik B. Electric Injury. Physiopathology and
priciple treatment
Moenajat,Yefta. 2006. Luka Bakar Masalah dan Tatalaksana. Jakarta: UPK Luka
Bakar RS Cipto Mangunkusumo.
Noer, Sjaifuddin. Penanganan Luka Bakar. Airlangga Unversity Press.2006
Robert. H, Demling. MD. Current Surgical Diagnosis & Treatment. Doherty, Gerard
M, Way, Lawrence W (editor). 2006. Hlm: 248
Sjamsuhidajat, de Jong. Luka bakar. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed 3. Jakarta: penerbit
Buku Kedokteran EGC.2007. Hlm: 103-110.

32

Anda mungkin juga menyukai