Anda di halaman 1dari 25

Bell's Palsy

Pembimbing

dr. Hadi Soeprapto, Sp.S

Disusun oleh

Anita Angkawinata 11.2015. 136

Arif Nurkalim 11.2015.065

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

RS Mardi Waluyo Metro Lampung

Periode 25 Juli 27 Agustus 2016


Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Bells
Palsy.

Referat ini merupakan salah satu pemenuhan syarat kepaniteraan klinik di


bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.

Akhir kata penulis berharap agar referat ini bisa bermanfaat bagi kita bersama,
serta dapat menambah wawasan, pengetahuan dan pemahaman sebagai klinisi yang
nantinya dapat diaplikasikan untuk penatalaksanaan pasien dengan lebih baik dan
komprehensif.

Lampung, 17 Agustus 2016

Penulis

2
Daftar Isi

Kata Pengantar ....................................................................................... 2


Daftar Isi ....................................................................................... 3
Bab I
Pendahuluan ....................................................................................... 4
Bab II
2.1 Anatomi ....................................................................................... 5
2.2 Etiologi ....................................................................................... 8
2.3 Epidemiologi ....................................................................................... 11
2.4 Patofisiologi ....................................................................................... 11
2.5 Manifestasi Klinis ................................................................................ 12
2.6 Diagnosis ....................................................................................... 15
2.7 Diagnosis Banding ............................................................................... 18
2.8 Komplikasi ....................................................................................... 19
2.9 Tatalaksana ....................................................................................... 19
2.10 Prognosis ....................................................................................... 22
2.11 Preventif ....................................................................................... 23
Bab III
Penutup ....................................................................................... 24
Daftar Pustaka ....................................................................................... 25

3
Bab I
Pendahuluan

Bell's Palsy ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak
diketahui penyebabnya. Bells palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis
akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit
neurologis lainnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti
beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis
perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's palsy. Paralisis fasial idiopatik
atau Bells palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia. Bells
palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau setelah
imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta
penderita hipertensi. Lokasi cedera nervus fasialis pada Bells palsy adalah di bagian
perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum.

Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi


anatomi menunjukkan bahwa Bells Palsy bukan penyakit tersendiri tetapi
berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain.
Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah
umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat
hubungannya dengan cuaca dingin.

4
Bab II
Isi

2.1 Anatomi

Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen motorik yang
mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada salah satu sisi, komponen sensorik
kecil (nervus intermedius Wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3 depan lidah,
dan komponen otonom yang merupakan cabang sekretomotor yang mempersarafi
glandula lakrimalis. Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf
yang terdiri dari 7.000 serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut
saraf lainnya membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan
serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk
kelenjar parotis, submandibula, sublingual dan lakrimal.1

Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang
menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf
intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion
genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan dari 2/3
bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke
ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai
badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar
decenden dari saraf trigeminus (N.V) hubungan sentralnya identik dengan saraf
trigeminus. Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :1

Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator


palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah).
Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual
dan lakrimalis.
Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.

5
Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa
raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.

Saraf fasialis keluar dari otak di sudut serebellopontin memasuki meatus


akustikus internus. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis memberikan
cabang untuk ganglion pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya ke muskulus
stapedius dan bergabung dengan korda timpani. Pada bagian awal dari kanalis fasialis,
segmen labirin merupakan bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis; foramen
meatal pada segmen ini hanya memiliki diameter sebesar 0,66 mm. Saraf fasialis
terdiri dari 7 segmen yaitu :

1. Segmen supranuklear
2. Segmen batang otak
3. Segmen meatal
4. Segmen labirin
5. Segmen timpani
6. Segmen mastoid
7. Segmen ekstra temporal

Susunan neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan lower
motor neuron (LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf
motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-
inti motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu anterior. Berdasarkan
perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam susunan piramidal
dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan
traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya untuk gerakan-gerakan otot
kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal fungsinya untuk gerakan-gerakan
otot tubuh dan anggota gerak. Sedangkan lower motor neuron (LMN), yang
merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari batang otak, pesan
tersebut berasal dari otak dan dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh.2

Dari otak menuju medula spinalis dan turun ke bawah kira-kira ditengah
punggung dan dilindungi oleh cairan jernih yaitu cairan serebrospinal. Medula
spinalis terdiri dari berjuta-juta saraf yang mentransmisikan informasi elektrik dari
dan ke ekstremitas, badan, organ-organ tubuh dan kembali ke otak. Otak dan medula

6
spinalis merupakan sistem saraf pusat dan yang menghubungkan saraf-saraf medula
spinalis ke tubuh adalah sistem saraf perifer. Medula spinalis terdiri atas traktus
ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang raba,
suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang membawa informasi dari
otak ke anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh).

Kelemahan/kelumpuhan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi


yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu disebut
dengan parese. Kelemahan adalah hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu atau
lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas bagian yang
terkena. Kelemahan/kelumpuhan yang mengenai keempat anggota gerak disebut
dengan tetraparese. Hal ini diakibatkan oleh adanya kerusakan otak, kerusakan tulang
belakang pada tingkat tertinggi (khususnya pada vertebra cervikalis), kerusakan
sistem saraf perifer, kerusakan neuromuscular atau penyakit otot. Kerusakan diketahui
karena adanya lesi yang menyebabkan hilangnya fungsi motorik pada keempat
anggota gerak, yaitu lengan dan tungkai. Penyebab khas pada kerusakan ini adalah
trauma (seperti tabrakan mobil, jatuh atau sport injury) atau karena penyakit (seperti
mielitis transversal, polio, atau spina bifida).

Tetraparese berdasarkan topisnya dibagi menjadi dua, yaitu : Tetrapares


spastik yang terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron (UMN),
sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertoni dan tetraparese flaksid
yang terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor neuron (LMN), sehingga
menyebabkan penurunan tonus atot atau hipotoni. Tetraparese dapat disebabkan
karena adanya kerusakan pada susunan neuromuskular, yaitu adanya lesi. Ada dua
tipe lesi, yaitu lesi komplit dan inkomplit. Lesi komplit dapat menyebabkan
kehilangan kontrol otot dan sensorik secara total dari bagian dibawah lesi, sedangkan
lesi inkomplit mungkin hanya terjadi kelumpuhan otot ringan (parese) dan atau
mungkin kerusakan sensorik.

Kerusakan susunan neuromuskular dapat terjadi baik karena kerusakan pada


upper motor neuron (UMN) atau kerusakan pada lower motor neuron (LMN) atau
kerusakan pada keduanya. Kerusakan pada upper motor neuron (UMN) dapat
disebabkan adanya lesi medula spinalis setinggi servikal atas. Sedangkan kerusakan
pada lower motor neuron (LMN) dapat mengenai motoneuron, radiks dan saraf

7
perifer, maupun pada otot itu sendiri. Jika kerusakan mengenai Upper motor neuron
(UMN) dan Lower motor neuron (LMN ) maka lesinya pada Low cervical cord.2

Pada beberapa keadaan dapat kita jumpai tetraparese misalnya pada penyakit
infeksi (misalnya mielitis transversa, poliomielitis), Sindrom Guillain Barre (SGB),
Polineuropati, Miastenia Grafis, atau Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS).

2.2 Etiologi

Terdapat empat teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bells palsy,


yaitu iskemik vaskular, virus, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih banyak
dibahas sebagai etiologi penyakit ini.

1. Teori iskemik vaskuler


Teori ini sangat popular, dan banyak yang menerimanya sebagai
penyebab dari bells palsy. Menurut teori ini terjadi gangguan regulasi
sirkulasi darah ke N. VII. Udara dingin menyebabkan lapisan endothelium
dari pembuluh darah leher atau telinga rusak, sehingga terjadi vasokontriksi
arteriole yang melayani N. VII dan terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh

8
dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat, dengan akibat
terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler
limfe hingga tertutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan
akan lebih menekan kapiler dan vena dalam kanalis fasialis sehingga terjadi
iskemik. Dengan demikian akan terjadi keadaan circulus vitiosus. Pada kasus-
kasus berat, hal ini dapat menyebabkan saraf mengalami nekrosis dan
kontinuitas yang terputus.2,3

2. Teori infeksi virus


Teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Burgess
mengidentifikasi genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum
seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami
Bells palsy. Teori virus ini didukung oleh Adour dkk. Dikatakan bahwa
Bellss palsy terjadi karena proses reaktivasi dari virus herpes. Sesudah suatu
infeksi akut primer, virus herpes simpleks tipe I dalam jangka waktu cukup
lama dapat berdiam di dalam ganglion sensoris. Reaktivasi ini dapat terjadi
jika daya tahan tubuh menurun, sehingga terjadi neuritis/ neuropati dengan
proses peradangan dan edema. Menurut Adour, lokasi nyeri dapat terjadi di
sepanjang kanalis fasialis. Sebaliknya sebagian ahli berpendapat bahwa lokasi
primer dari edema N. VII pada bells palsy adalah sekitar foramen
stilomastoideum.2,3

Menurut Holland HSV-1 dapat dideteksi lebih dari 50% kasus Bells
palsy sedangkan virus Herpes Zoster (HZV) hanya sekitar 13% kasus. Herpes
zoster lebih sering menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis dalam bentuk
Zoster sine herpete (tanpa vesikel) dan hanya 6% dalam bentuk Ramsay Hunt
Syndrome (dengan vesikel). Zoster sine herpete ini diduga juga sebagai
penyebab hampir sepertiga kelumpuhan saraf fasialis yang idiopatik. Infeksi
virus Herpes Zoster ini juga berhubungan dengan prognosis yang jelek dan
menimbulkan inflamasi saraf yang irreversibel.2,3

Murakami et al menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk


mengamplifikasi sekuens genom virus di dalam cairan endoneural sekeliling
saraf ketujuh mendeteksi DNA HSV-1 pada 79% pasien Bells palsy yang
dilakukan dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al.

9
menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis
pada wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada
saraf fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah
paralisis fasialis herpes simpleks atau herpetika dapat diadopsi. Gambaran
patologi dan mikroskopis menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan
gangguan vaskular saraf. Walaupun penyebab virus dicurigai, ternyata
beberapa studi prospektif untuk membuktikan peranan infeksi virus sebagai
seriologi bells palsy adalah negative.2,3

3. Teori herediter
Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bells
palsy, terutama kasus Bells palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral.
Kebanyakan kasus yang dijumpai adalah autosomal dominant inheritance
sekitar 6% dari seluruh penderita bells palsy. Ini mungkin karena kanalis
falopii yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut sehingga
menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis. Sejumlah
penelitian telah berusaha rnemberikan temuan objektif tentang dasar genetik
dari BeIIs palsy, dan kebanyakan terpusat pada sistem Human leucocyte
antigen (HLA), yang memiliki hubungan objektif yang kuat dengan berbagai
penyakit autoimun.2,3

4. Teori imunologi
Suatu hipotesis imunologis, berdasarkan penelitian eksperimental pada
hewan menemukan transformasi limfosit pada pasien Bells palsy dan
menduga bahwa beberapa penyebab Bells palsy merupakan hasil dari cell
mediated immunity melawan antigen saraf perifer. Hasil ini mendukung
penelitian selanjutnya dengan steroid dan imunoterapi lainnya. Dikatakan
bahwa Bells palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang
timbul sebelumnya atau setelah pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini
maka penderita Bells palsy diberikan pengobatan kortikosteroid dengan
tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di dalam kanalis fasialis falopii
dan juga sebagai immunosupressor.2,3

10
2.3 Epidemiologi

Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial
akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden
terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy
setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan.
Insiden Bells palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes
mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai
laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang
berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur
yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada
umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan
bisa mencapai 10 kali lipat .2

Sedangkan di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan.


Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi
Bells palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia
2130 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan
insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan
adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan.2

2.4 Patofisiologi

Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik Bells palsy
adalah proses edema yang menyebabkan kompresi N.VII. Pulec memandang Bells
palsy sebagai suatu sindroma kompresi saraf fasialis atau sebagai suatu entrapment
syndrome.3

Hingga kini belum ada persesuaian pendapat tentang patogenesis Bells palsy,
oleh George A. Gates, patogenesis dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:

1. Tipe 1:
Pada tipe 1 mengalami paresis ringan dan sebagian besar mengalami
kelumpuhan komplit. Paresis maupun paralisis ini dapat mengalami
penyembuhan yang baik, blok konduksi saraf yang reversibel (neuropraksis)

11
adalah akibat dari kompresi yang mendadak oleh karena edema di sekitar saraf
dan disebabkan oleh adanya spasme pembuluh darah, namun teori ini belum
dapat dibuktikan. Teori lain menjelaskan adanya kerusakan endotel kapiler
oleh radang virus yang menyebabkan kebocoran sehingga cairan masuk ke
dalam jaringan sekitarnya. Bila cairan ini terkumpul di dalam endoneurium
maka konduksi saraf menjadi terhambat.3

2. Tipe 2:
Pada tipe ini ditandai dengan timbulnya sinkenesis dan gejala sisa lain
yang mungkin akibat degenerasi saraf. Sinkenesis ini terjadi karena impuls
dari satu akson dapat menyebar ke akson yang berdekatan dan mengakibatkan
kontraksi otot-otot lain. George A. Gates menjelaskan akan terjadi penjalaran
listrik pada waktu terjadi saltatory movement kepada saraf yang berdekatan
yang mengalami kerusakan myelin sehingga terjadi konduksi pada dua saraf
dan kontraksi dua otot pada saat bersamaan.3

3. Tipe 3:
Pada tipe ini penyebabnya dimulai dengan degenerasi Wallerian yang
terjadi akibat cedera akson dalam segmen labirint dari nervus fasialis, ini
terjadi akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh virus zooster dalam ganglion
genikulatum dan berakibat sensori 2/3 anterior lidah terganggu. Selanjutnya
dapat menyebar ke korda timpani, saraf akustik dan vestibuler dan
menyebabkan hambatan pengantar akson kemudian terjadi paralisis dan
degenerasi. Menurut Adour dkk, yang dikenal dengan konsep teori virusnya,
menerangkan virus akan mempengaruhi saraf pada sel schwan lalu
menyebabkan peradangan dan virus menyebabkan bertumpuknya lapisan
protein dari sel saraf, melalui membran, merusak autoimun untuk sel membran
saraf.3

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis penyakit Bells palsy biasanya timbul secara mendadak,


penderita menyadari adanya kelumpuhan pada salah satu sisi wajahnya pada waktu
bangun pagi, bercermin, atau saat sikat gigi / berkumur atau
diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah satu sudutnya lebih rendah. Bells
palsy hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa hilangnya

12
semua gerakan volunteer pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena,
ekspresi akan menhgilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut
menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini, kelopak mata tidak
dapat dipejamkan sehingga fisura papebra melebar serta kerut dahi menghilang.4

Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak mata pada
sisi yang lumpuh akan tetap terbuka dimana kelumpuhan N.VII yang mempersarafi
m.orbikularis okuli dapat menyebabkan lagoftalmus yaitu palpebra tidak dapat
menutup dengan sempurna. Kelainan ini akan mengakibatkan trauma konjungtiva dan
kornea karena mata tetap terbuka sehingga konjungtiva dan kornea menjadi kering
dan terjadi infeksi. Infeksi ini dapat dalam bentuk konjungtivitis atau suatu keratitis.
Serta bola mata pasien berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari Bell
(lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena kedipan
mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga
menimbulkan epifora. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang
lumpuh tidak mengembung. Disamping itu makanan cenderung terkumpul
diantara pipi dan gusi sisi yang lumpuh. Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi,
tidak didapati gangguan lain yang mengiringnya, bila paresisnya benar-benar bersifat
Bells palsy.4
Bila khorda timpani juga ikut terkena, maka terjadi gangguan pengecapan dari
2/3 depan lidah yang merupakan kawasan sensorik khusus N.intermedius. Dan bila
saraf yang menuju ke m.stapedius juga terlibat, maka akan terjadi hiperakusis.
Keadaan ini dapat diperiksa dengan pemeriksaan audiometri. Pada kasus yang
lebih berat akan terjadi gangguan produksi air mata berupa pengurangan atau
hilangnya produksi air mata. Ini menunjukkan terkenanya ganglion genikulatum dan
dapat diperiksa dengan pemeriksaan tes Schimer.
Hampir separuh pasien yang mengalami Bells palsy mengeluhkan nyeri pada
bagian belakang telinga. Nyeri biasanya terjadi bersamaan dengan timbulnya gejala
Bells palsy, namun pada 25% kasus nyeri telinga terjadi lebih dahulu 2-3 hari
sebelum timbulnya Bells palsy. Beberapa pasien juga mengeluhkan terjadinya
hiperakusis pada telinga ipsilateral dari Bells palsy yang terjadi, yang merupakan
akibat sekunder dari kelemahan otot stapedius.

13
Keluhan dan gejala bergantung kepada lokasi lesi, seperti dijelaskan berikut ini:4
a. Lesi pada nervus fasialis disekitar foramen stylomastoideus baik yang masih berada
disebelah dalam dan sebelah luar foramen tersebut. Mulut turun dan mencong
ke sisi yang sehat sehingga sudut mulut yang lumpuh tampaknya lebih tinggi
kedudukannya daripada posisi yang sehat, maka penderitanya tidak dapat
bersiul, mengedip dan menutupkan matanya. Lakrimalis yang berlebihan
akan terjadi jika mata tidak terlindungi / tidak bisa menutup mata sehingga
pada mata akan lebih mudah mendapat iritasi berupa angin, debudan
sebagainya, selain itu pula lakrimalis yang berlebihan ini terjadi
karena proses regenerasi dan mengalirnya axon dari kelenjar liur ke kelenjar
air mata pada waktu makan.
b. Lesi pada canalis fasialis mengenai nervus chorda tympani.
Seluruh gejala di atas terdapat, ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapa
n dua pertiga depan lidah dan berkurangnya salivasi.
c. Lesi yang lebih tinggi dalam canalis fasialis dan mengenai muskulusstapedius.
Gejala tanda klinik seperti pada (a) dan (b) ditambah adanya hiperakusis.
d. Lesi yang mengenai ganglion geniculatum.
Gejala tanda klinik seperti pada (a), (b), dan (c) ditambah onsetnya seringkali
akut dengan rasa nyeri di belakang dan di dalam telinga. Herpes
Zoster pada tympanium dan concha dapat mendahului keadaan timbul parese
nervus fasilais. Sindrome Ramsay Hunt merupakan Bells yang disertai herpes
Zoster pada ganglion geniculatum, lesi lesi herpetik terlihat pada membrana
tympani, canalis auditorium eksterna, dan pada pinna.
e. Lesi di dalam Meatus Auditorius Internus
Gejala - gejala Bells Palsy di atas ditambah ketulian akibat terkenanya nervus
VIII.
f. Lesi pada tempat keluarnya Nervus Fasialis dari Pons
Lesi di pons yang terletak disekitar inti nervus abdduces bisa merusak
akar nervus fasialis, inti nervus abducens dan fasikulus longituinalis medialis.
Lesi pada daerah tersebut dapat menyebabkan kelumpuhan muskulus
rectuslateralis atau gerakan melirik kearah lesi.

14
2.6 Diagnosis

Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan penyakit, ada
tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan untuk
membedakannya dengan penyakit lain yang menyerupai. Pada Bells palsy
kelumpuhan yang terjadi sering unilateral pada satu sisi wajah dengan onset
mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit yang progresif, dan
mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang. Harus dibedakan
kelumpuhan sentral atau perifer dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis.
Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi masih
dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi oleh korteks sisi ipsi dan kontra lateral
sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah.5

Pemeriksaan fisik paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan


fisik yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan
kemungkinan penyebab lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah
pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan
kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup
mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas. Bila terdapat
hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara akan terdengar
lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis. Tanda klinis yang
membedakan Bells palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat sentral lainnya
adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan
sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis
dan dahi pada sisi yang lumpuh. Untuk menegakan diagnosis Bell Palsy harus
ditetapkan dulu adanya paralisis fasialis tipe perifer. Untuk membuat diagnosis
diperlukan beberapa pemeriksaan sebagai berikut :6

15
Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan
menggunakan sistem House-Brackmann (HBS), metode Freyss atau Yanagihara
grading system (Y-system). Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk
menentukan letak lesi saraf fasialis dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes
gustometri.7

Grade HBS Y-
system

Normal, fungsi pada semua area simetris I 40

Sedikit kelemahan pada inspeksi mata, bisa menutup mata II 32-38


dengan penuh dengan sedikit usaha, sedikit asimetris pada
senyuman dengan usaha maksimal, sedikit sinkinesis, tidak
ada kontraktur atau spasme

Kelemahan yang jelas namun tidak merubah penampakan III 24-30


wajah secara statis, tidak mampu mengangkat alis, penutupan
mata yang penuh dan kuat, gerakan mulut yang tidak simetris
pada usaha maksimal, selain itu terdapat sinkinesis, mass
movement atau spasme (walaupun tidak terlihat saat statis/
menyebabkan disfigurasi)

Kelemahan yang jelas dan menyebabkan disfigurasi, IV 16-22


ketidakmampuan menggangkat alis, penutupan mata yang
tidak penuh dan asimetri mulut dengan usaha maksimal,
sinkinesis yang parah, mass movement, dan spasme

Hanya sedikit gerakan yang mampu dilakukan, penutupan V 8-14


mata yang tidak penuh, sedikit gerakan pada ujung mulut,
sinkinesis, kontraktur, namun spasme umumnya tidak didapati.

Tidak ada gerakan, tidak ada sinkinesis, kontraktur, maupun VI 0-6


spasme

16
Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang
perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk
menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang
temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain
itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970 sebagai
prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat
tindakan dekompresi intrakanikular. Grosheva et al melaporkan pemeriksaan
elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan
elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah
hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-predictive-
value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan
amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf
fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1
ipsilateral. Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus
didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas
pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6%
kasus.5-7

17
2.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral
dan perifer. Kelainan sentral 7:

1. Stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan
proses patologis di hemisfer serebri kontralateral.
2. Kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status
atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya.
3. Multipel sklerosis bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis
atau neuritis optika
4. Trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau
terdapat riwayat trauma sebelumnya.

Kelainan perifer :

1. Otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam
kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi.
2. Herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang
terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan
titer antibodi virus varicella-zoster.
3. Sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut.
4. Kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan
gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral.
5. Tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V
dan VIII.
6. Tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula).
7. Sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe
hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.

18
2.8 Komplikasi

Sekitar 5% pasien setelah menderita Bells palsy mengalami sekuele berat


yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bells
palsy:7
(1) Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan
paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis.
(2) Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan
pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau
sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal).
(3) Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis
dapat menyebabkan:
Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter,
contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi
platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata
Crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat
regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar
pada saat mengkonsumsi makanan, dan
Clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba
(shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada
stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi
bersamaan).

2.9 Tatalaksana

Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi
dini dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat kelainan lain pada
pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi diagnosis
banding Bells palsy. Jika tidak tersedia, dokter umum dapat menentukan terapi
selanjutnya setelah menyingkirkan diagnosis banding lain. Terapi yang diberikan
dokter umum dapat berupa kombinasi non-farmakologis dan farmakologis seperti
dijelaskan di bawah ini.8

19
Terapi Non-farmakologis

Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya
dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat
tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral
(penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).8

Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan
mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti
adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini
kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.

Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan


setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Namun,
diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednisone dan
valasiklovir tanpa terapi fisik. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-
muskular, masase, meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat
kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori
inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.4,8

Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat


saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang
digunakan berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif
sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah
berlebih.
Kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang
saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis.
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih
agresif dan reedukasi neuromuscular di depan kaca (feedback visual) dengan
melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk
membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-
40 kali dengan 2-4 set per hari.8
Kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah
ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat
sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot
wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori

20
fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah
lainnya, dan disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi.
Kategori relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan seluruh
wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan
berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi
neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu
meditasi dengan gambar visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan
pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari. Bila setelah
menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien dengan asimetri
dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk
memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi
wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah
plastik. Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidung Tenggorok dan kardiologi
perlu dipertimbangkan apabila terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop atau
pembengkakan glandula parotis dan hipertensi secara berurutan pada pasien.4,8

Terapi Farmakologis

Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin


dalam patogenesis Bells palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan
paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit.
Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus
dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis pemberian prednison
(maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per
hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off. Efek toksik dan hal
yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2
minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis,
supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.4,8

Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat


antivirus digunakan dalam penanganan Bells palsy. Namun, beberapa percobaan
kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif
dibandingkan kortikosteroid. Penelitian mengatakan bahwa hasil yang lebih baik
didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/valasiklovir dan prednisolon
dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon.4,8,9

21
Penelitian lain juga menemukan bahwa kombinasi antivirus dan
kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batas signifikan yang lebih besar
dibandingkan kortikosteroid saja. Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral
dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset.8,9

Namun, hasil analisis Cochrane 2009 pada 1987 pasien dan Quant et al22
dengan 1145 pasien menunjukkan tidak adanya keuntungan signifikan penggunaan
antiviral dibandingkan plasebo dalam hal angka penyembuhan inkomplit dan tidak
adanya keuntungan yang lebih baik dengan penggunaan kortikosteroid ditambah
antivirus dibandingkan kortikosteroid saja. Studi lebih lanjut diperlukan untuk
menentukan keuntungan penggunaan terapi kombinasi.8

Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari
melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk
dewasa diberikan dengan dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam lima
kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar
dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari secara
oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada
penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa
adalah mual, diare, dan sakit kepala.4,8,9

2.10 Prognosis

Perjalanan alamiah Bells palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai
cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan
Bells palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam
3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5%
mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren. Faktor yang dapat
mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat
rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan, refleks
stapedius, wanita hamil dengan Bells palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari
(penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.10

Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial


inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini,
penyembuhan awal dan/atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.10

22
Kimura et al menggunakan blink reflex sebagai prediktor kesembuhan yang
dilakukan dalam 14 hari onset, gelombang R1 yang kembali terlihat pada minggu
kedua menandakan prognosis perbaikan klinis yang positif. Selain menggunakan
pemeriksaan neurofisiologi untuk menentukan prognosis, House-Brackmann Facial
Nerve Grading System dapat digunakan untuk mengukur keparahan dari suatu
serangan dan menentukan prognosis pasien Bells palsy.11

2.11 Preventif

1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah
angin mengenai wajah.
2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa
wajah langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin
terpasang di langit-langit, jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu gunakan
kecepatan rendah saat pengoperasian kipas.
3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari.
Selain tidak bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf.
4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan pelindung
mata. Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah
berpotensi tinggi menyebabkan serangan Bells Palsy.
5. Setelah berolah raga berat, jangan mandi atau mencuci wajah dengan
air dingin.
6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin
langsung. Tutupi wajah dengan kain atau penutup.

23
Bab III
Kesimpulan

Bells palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan


yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bells palsy
Adalah edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis.

Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat


didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak.
Lipatan-lipatan didahi akan menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit
akan mencong tertarik kearah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini
tergantung dari lokalisasi kerusakan.

Pengobatan pasien dengan Bells palsy adalah dengan kombinasi obat- obat
anantiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan.
Prognosis pasien dengan Bells palsy relative baik meskipun pada beberapa pasien,
gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.

24
Daftar Pustaka

1. Lionel G. Lecture notes neurologi. Ed 8. Jakarta: Erlangga. 2005.


2. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus fasialis dan patologinya. Neurologi Klinis
Dasar, 5thed. Jakarta: PT Dian Rakyat; 2006. h. 159-163.
3. Price SA, Wilson LM . Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.
Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006. h. 966-71.
4. Diagnosis dan Penatalaksanaan Bells Palsy. Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas/RSUP. Dr.M.Djamil. Padang. Sunaryo,U .2012.
5. Burnside JW, McGlynn TJ. Diagnosis fisik. Edisi 17. Jakarta: EGC. 2007. h.
267-83.
6. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat
kesehatan.edisi 8. Jakarta:EGC. 2009. h. 166-290.
7. Dewanto, G dkk. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2009.
8. De Diego-Sastre JI, Prim-Espada MP, Fernandez-Garcia F. The epidemiology
of Bells palsy. Rev Neurol 2005. 41:287-90.
9. Sullivan, Frank M., Iain R. C. Swan, Peter T. Donnan, Jillian M. Morrison, et
al. 2007. Early treatment of prednisolone or acyclovir in Bells Palsy. The
New England Journal of Medicine. 357; 16
10. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bells palsy. Eastern Vir- ginia:
Medscape. 2010.Hauser WA, Karnes WE, Annis J, Kurland LT. Incidence
and prognosis of Bells palsy in the population of Rochester, Minne- sota.
Mayo Clin Proc. 1971. 46:258.
11. Murakami S, Honda N, Mizobuchi M, Nakashiro Y, Hato N, Gyo K, et al.
Rapid diagnosis of varicella Zoster Virus in acute facial palsy. Neurology.
1998. 51:1202.

25

Anda mungkin juga menyukai