Anda di halaman 1dari 8

PROBLEM DEFINITION

1. Apakah SLE itu?

SLE (Systemisc Lupus erythematosus) adalah penyakit autoimun dimana organ dan sel
mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-binding autoantibody dan kompleks imun, yang
menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum
diketahui secara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik,
terdapat remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibody dalam
tubuh.

Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya
penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan,
tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena.

2. Bagaimanakah patofisiologi SLE?

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi
genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD 4+, mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang
akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun
yang berupa sel memori. Pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk
didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.

Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada
nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan
diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks
protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah
bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.

Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya
yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan
bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens
kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan
penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan
terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini
akan mengendap pada berbagai maca organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada
organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi
penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/
gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus
koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya
mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu
yang resisten.

3. Apa sajakah faktor resiko penyebab SLE?


Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya dimengerti
tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat
memicu timbulnya lupus:

Infeksi
Antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin)
Sinar ultraviolet
Stres yang berlebihan
Obat-obatan tertentu
Hormon.

Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya tidak
diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari
penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan
menderita lupus.

Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita
penyakit ini. Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria.
Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih
sering ditemukan pada wanita.

Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang wanita.
Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan/atau selama kehamilan
mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya
penyakit ini.

Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian pada wanita
dan pada masa pra-menstruasi, masih belum diketahui.

Faktor Resiko terjadinya SLE:

1. Faktor Genetik

Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria dewasa.
Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun.
Etnik,- Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang
terdapat anggota dengan penyakit tersebut.

2. Faktor Resiko Hormon

Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.

3. Sinar UV

Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif,
sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan
sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara
sistemik melalui peredaran pebuluh darah.
4. Imunitas

Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.

5. Obat

Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam
jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus
Erythematosus atau DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :
o Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.
o Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan kuinidin.
o Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotic dan
griseofurvin.

6. Infeksi

Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini kambuh
setelah infeksi

7. Stres

Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan
penyakit ini.

4. Apa sajakah kreteria seseorang dikatakan menderita SLE?

Kriteria untuk klasifikasi SLE dari American Rheumatism Association (ARA, 1992). Seorang
pasien diklasifikasikan menderita SLE apabila memenuhi minimal 4 dari 11 butir kriteria dibawah ini:

1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak,
atau efusi dimana tulang di sekitar persendian tidak mengalami kerusakan.
2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan
immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika diketahui tidak ada pemberian obat
yang dapat memicu ANA sebelumnya.
3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau
berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar).
4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV / matahari,
menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknya ruam kulit.
5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit
6. Salah satu Kelainan darah;
anemia hemolitik
Leukosit < 4000/mm
Limfosit<1500/mm
Trombosit <100.000/mm
7. Salah satu Kelainan Ginjal;
Proteinuria > 0,5 g / 24 jam.
Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel
darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal.
8. Salah satu Serositis : Pleuritis, Perikarditis
9. Salah satu kelainan Neurologis; Konvulsi / kejang, Psikosis
10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan.
11. Salah satu Kelainan Imunologi:
Sel LE+
Anti dsDNA diatas titer normal
Anti Sm (Smith) diatas titer normal
Tes serologi sifilis positif palsu

5. Bagaimanakah manifestasi klinis dari SLE?

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak
disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala
pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun
terdapat remisi dan eksaserbasi. Remisinya mungkin berlangsungbertahun-tahun.

Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan
sinar matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan
dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam,
malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan iritabilitas. Yang
paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.

a. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang sering pada SLE ialah gejala muskuloskeletal, berupa artritis atau
artralgia (93 %) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering
terkenal ialah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan
metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembengkakan dan nyeri mungkin
juga terdapat efusi sendi yang biasanya termasuk kelas I (non-inflamasi) ; kadang-kadang
termasuk kelas II (inflamasi). Kaku pagi hari jarang ditemukan. Mungkin juga terdapat
nyeri otot dan miositis. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas,
kontraktur atau reumatoid. Nekrosis avaskular dapat terjadi pada berbagai tempat,
dan terutama ditemukan pada pasien yang mendapat pengobatan dengan steroid dosis
tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.
b. Gejala mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus SLE. Lesi kulit yang
paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, sub akut, diskoid dan livido
retikularis. Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan
diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema
yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang
tepat,kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar
matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photo-
hypersensitivity). Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk
anular. Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperker atosis dan atrofi.
Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup sisik
keratindisertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan
terbentuksikatriks. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk
kecil sampaiyang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.Livido
retikularis, suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE. Kelainan kulit
yang jarang ditemukan ialah bulla (dapat menjadi hemoragik), ekimosis,petekie dan
purpura. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid
danantihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah
penyakit tenang secara klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit
mengalami remisi. Ulserasi selapu tlendir paling sering pada palatum durum dan
biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikanspontan kalau penyakit mengalami remisi.
Fenomen Raynaud pada sebagian pasien tidakmempunyai korelasi dengan aktivitas
penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akanmembaik jika penyakit mereda.
c. Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria
dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal jarang terjadi;
hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan. Ada 2 macam
kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE difus dan nefritis penyakit
SLE membranosa. Nefritis penyakit SLE difus merupakan kelainan yang paling berat.
Secara linis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi
ginjal sedang sampai berat. Nefr itis penyakit SLE membranosa lebih jarang ditemukan.
Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit
yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif. Kelainan ginjal lain yang
mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal dan
sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.
d. Kardiovaskular
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard), iskemia
miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks).
e. Paru
Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang b ilateral.Mungkin
ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian
terapi yang adekuat.Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-
faktor lain seperti; infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.
f. Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai mual (muntah jarang)
dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat
pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau
arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus.
Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.
g. Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai
ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang/ kembali normal.
h. Kelenjer Getah Bening
Pembesaran kelenjer getah bening sering ditemukan (50 %). Biasanya berupa limfa
denopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Limfadenopati difus ini kadang-kadang
disangka sebagai limfoma.
i. Kelenjer Parotis
Kelenjer parotis membesar pada 6 % kasus SLE.
j. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya bersifat
sementara.
k. Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik dan
kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif
SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi
disamping gejala khas kelainan organik otak seperti disorientasi, sukar menghitung dan
tidak sanggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah dilihat. Psikosis steroid
juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat dibedakan dengan
psikosis penyakit SLE. Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui dengan
menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis penyakit SLE
membaik jika dosis steroid dinaikkan, sedangkan psikosis steroid sebaliknya. Kejang-
kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin
ditemukan ialah korea, kejang tipe Jackson, paraplegia karena mielitis transversal,
hemiplegia, afasia dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat
tidak selalu jelas Faktor- faktor yang memegang peran antara lain vaskulitis, deposit
gamaglobulin di pleksus koroideus.
l. Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan
subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina.

6. Apa sajakah pemeriksaan laboratorium pada penderita SLE dan fungsinya?

Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan :

1) Penegakkan atau menyingkirkan suatu diagnosis.


2) Untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk menandai terjadinya suatu
serangan atau sedang berkembang pada suatu organ
3) Untuk mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan.

Antibody Prevalensi, Antigen yang Dikenali Clinical Utility


%
Antinuclear 98 Multiple nuclear Pemeriksaan skrining
antibodies (ANA) terbaik; hasil negative
berulang
menyingkirkan SLE
Anti-dsDNA 70 DNA (double-stranded) Jumlah yang tinggi
spesifik untuk SLE
dan pada beberapa
pasien berhubungan
dengan aktivitas
penyakit, nephritis,
dan vasculitis.
Anti-Sm 25 Kompleks protein pada 6 jenis Spesifik untuk SLE;
U1RNA tidak ada korelasi
klinis; kebanyakan
pasien juga memiliki
RNP; umum pada
African American dan
Asia dibanding
Kaukasia.
Anti-RNP 40 Kompleks protein pada Tidak spesifik untuk
U1 RNA SLE; jumlah besar
berkaitan dengan
gejala yang overlap
dengan gejala
rematik termasuk
SLE.
Anti-Ro (SS-A) 30 Kompleks Protein pada hY Tidak spesifik SLE;
RNA, terutama 60 kDa dan 52 berkaitan dengan
kDa sindrom Sicca,
subcutaneous lupus
subakut, dan lupus
neonatus disertai blok
jantung congenital;
berkaitan dengan
penurunan resiko
nephritis.
Anti-La (SS-B) 10 47-kDa protein pada hY RNA Biasanya terkait
dengan anti-Ro;
berkaitan dengan
menurunnya resiko
nephritis
Antihistone 70 Histones terkait dengan DNA Lebih sering pada
(pada nucleosome, chromatin) lupus akibat obat
daripada SLE.
Antiphospholipid 50 Phospholipids,2 glycoprotein 1 Tiga tes tersedia
cofactor, prothrombin ELISA untuk
cardiolipin dan 2G1,
sensitive prothrombin
time (DRVVT);
merupakan
predisposisi
pembekuan,
kematian janin, dan
trombositopenia.

Antierythrocyte 60 Membran eritrosit Diukur sebagai tes


Coombs langsung;
terbentuk pada
hemolysis.
Antiplatelet 30 Permukaan dan perubahan Terkait dengan
antigen sitoplasmik pada trombositopenia
platelet. namun sensitivitas
dan spesifitas kurang
baik; secara klinis
tidak terlalu berarti
untuk SLE
Antineuronal 60 Neuronal dan permukaan Pada beberapa hasil
(termasuk anti- antigen limfosit positif terkait dengan
glutamate lupus CNS aktif.
receptor)
Antiribosomal P 20 Protein pada ribosome Pada beberapa hasil
positif terkait dengan
depresi atau psikosis
akibat lupus CNS
Tabel 3 Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Catatan: CNS = central nervous system, CSF= cerebrospinal fluid, DRVVT = dilute Russell viper venom
time, ELISA= enzyme-linked immunosorbent assay.

Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA karena
pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA
berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna.
Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan
biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Tidak ada
pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda
antara laboratorium sangat tinggi.

Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE. ELISA dan reaksi
immunofluorosensi pada sel dengan dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar 60%
sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-dsDNA pada emeriksaan Farr tidak
sensitive namun terhubung lebih baik dengan nephritis.

1. Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya penyakit SLE:

Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat
pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan pada
penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga
pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua
antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki
antibodi ini.
Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan
dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu
dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
Ruam kulit atau lesi yang khas.
Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau
jantung.
Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein.
Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
Biopsi ginjal.
Pemeriksaan saraf.

Anda mungkin juga menyukai