Anda di halaman 1dari 5

Fenomenologi merupakan salah satu pendekatan yang unik diantara banyak pendekatan

yang unik di antara banyak pendekatan dalam studi Islam. Namun sebenarnya ditinjau dari
sisi sejarah, fenomenologi sebenarnya telah lama digunakan. Dalam catatan Muhadjir, istilah
fenomenologi telah digunakan sejak Lambert yang sezaman dengan Immanuel Kant, juga
Hegel, sampai Pierce. Penggunaan istilah fenomenologi dalam setiap masa ini memiliki arti
yang berbeda-beda. Kant misalnya, membedakan antara phenomenom dan noumenom.
Phenomenom adalah obyek yang kita alami, dan kejadian sebagaimana hal itu terjadi.
Sedangkan Hegel memandang phenomenom sebagai tahapan untuk sampai ke noumenom.
Pada medio abad XIX, arti fenomenologi menjadi sinonim dengan fakta. Pierce berpendapat
bahwa phenomenom itu bukan sekedar memberikan deskripsi obyek, melainkan telah masuk
unsur ilusi, imajinasi, dan impian.

Sejak zaman Edmund Husserl (1859-1938), arti fenomenologi telah menjadi filsafat
dan menjadi metodologi berpikir. Phenomenom bukan sekedar pengalaman langsung,
melainkan pengalaman yang telah mengimplisitkan penafsiran dan klarifikasi. Mulai tahun
1970-an, fenomenologi mulai banyak digunakan oleh berbagai disiplin ilmu sebagai
pendekatan metodologik.

Sebagai sebuah aliran filsafat, Edmund Husserl dianggap sebagai pendirinya. Dalam
pandangan Husserl, fenomenologi adalah suatu disiplin filsafat yang solid dengan tujuan
membatasi dan melengkapi penjelasan psikologis murni tentang proses-proses pikiran. Apa
yang menjadi obyek studi fenomenologi adalah berbagai perbedaan berbagai bidang objek,
yang disebut neomata, yaitu ciri yang membuat kesadaran orang menjadi kesadaran terhadap
objek-objek. Kita dapat sampai kepada ciri-ciri ini melalui sebuah refleksi khusus, yakni
terhadap kesadaran kita yang disebut epoche. Husserl mengonsentrasikan diri terhadap ciri-
ciri atau sifat kesadaran yang membuat tindakan-tindakan kita seperti sebuah objek.

Untuk memahami fenomenologi Husserl, orang harus faham istilah neoma. Noema
adalah kumpulan sebuah sifat objek. Noema ini tidak lain hanyalah sebuah generalisasi ide
tentang makna mengenai lapangan segala tindakan. Jadi, dengan membedakan antara sebuah
ekspresi makna dengan rujukannya, seseorang menerangkan penggunaan makna dari
ekspresi-ekspresi yang tidak ada rujukannya, seseorang menerangkan penggunaan makna dari
ekspresi-ekspresi yang tidak ada rujukannya. Noema ini memiliki dua komponen: pertama,
object meaning yang menyatukan berbagai komponen dari pengalaman kita kepada
pengalaman-pengalaman dari berbagai komponen dari pengalaman kita kepada pengalaman-
pengalaman dari berbagai ciri sebuah objek. Kedua, the theitic, yaitu yang membedakan
tindakan-tindakan yang berbeda-beda, misalnya tindakan merasakan sebuah objek dengan
tindakan mengingat atau memikirkannya. Dalam tindakan merasa, nouma kita dibahasi oleh
permukaan-permukaan sensori kita, tetapi pembatasan ini tidak mengiring kepada satu
kemungkinan saja. Bisa jadi dalam satu situasi kita merasakan kehadiran seorang manusia,
tetapi di saat berikutnya melihat orang itu sebagai sebuah boneka. Hal ini terjadi sesuai
dengan perubahan noema. Perubahan noema ini selalu terjadi karena perasaan ini tidak dapat
diyakini.

Melihat periode perkembangan pemikirannya, fenomenologi Husserl dapat dibagi


menjadi empat periode. Pertama, ia berangkat dari matematika, dan ini disebut periode pra-
fenomenologi. Kedua, awal fenomenologi sebagai korelasi subjektif atas logika murni
sebagai tahapan usaha epistimologis yang terbatas. Ketiga, fenomenologi dianggap sebagai
the first philosophy. Keempat, fenomenologi sebagai pengatasan idealisme.

Selain Husserl, tokoh lain yang kuat mempengaruhi pendekatan fenomenologi adalah
Alfred Schultz. Pengaruh lainnya berasal dari Marx Weber yang memberi tekanan pada
verstehen, yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Fenomenologi tidak
berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang atau objek yang sedang
diteliti. Fenomenologi menekankan pada aspek subjektif. Artinya, mereka berusaha untuk
masuk ke dunia konseptual dari objek yang ditelitinya., sehingga peneliti mengerti tentang
apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkannya di sekitar peristiwa atau objek
penelitian dalam kehidupan sehari-hari. Para fenomenolog percaya bahwa pada objek
penelitian natural dan kepustakaan memiliki sifat ganda. Artinya memiliki berbagai cara
untuk menginterpretasikan pengalaman dan makna melalui interaksi dengan orang lain. Dan
pengalaman-pengalaman yang membentuk kenyataan.

Adapun fenomenologi agama dikembangkan oleh Max Scheller, Rudolf Otto, Jean
Hearing, dan Gerardus van der Leeuw. Tujuannya adalah untuk memahami pemikiran,
tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat,
teologi, metafisika, ataupun psikologi.

Orientasi fenomenologi adalah bahwa pengertian yang benar adalah pengertian yang
asli dan bersih, yang ditempuh dengan jalan reduksi. Melalui reduksi dapat disingkirkan
segala unsur tradisi dari pengertian. Yang ingin disekidiki ialah fenomin, yaitu data sederhana
tanpa tambahan yang dapat diserap secara rohaniah melalui intuisi (keber-langsungan).
Fenonim demikian adalah sejauh disadari dalam pemahaman. Dengan model kinerja yang
semacam ini, maka fenomenologi berlawanan dengan metode sains obyektif, logika formal
dan metode dialektik yang mengatasi rintangan. Titik pijak fenomenologi dimulai dengan
orang mengetahui dan mengalami secara apa adanya .

Fenomenologi ini dapat diaplikasikan dalam studi agama. Sifat pokok dari
fenomenologi adalah membiarkan realitas atau fakta berbicara dalam suasana untention.
Intensional memiliki dua arti: semantik dan ontologik. Arti semantik intensional adalah
sesuatu bahasa dan juga logikanya. Sesuatu dikatakan ekstensional bila dapat ditampilkan
rumusan equivalennya. Dikatakan intensional bila tidak dapat ditampilkan rumusan
equavalennya. Bahasa atau logika intensional menampilkan bahasa modalitas atau
probabilitas, dengan penjelasan. Adapun arti secata ontologik adalah sesuatu dikatakan
ekstensional bila kesamaan identitas antara dua sesuatu dapat dinyatakan sebagai dua yang
equivalen, dua yang identik. Sedangkan sesuatu dikatakan intensional, bila kesamaan
identitas tidak menjamin untuk dikatakan equivalen atau identik.

Dalam bukunya Ideen I, Husserl menjadikan intensionalitas sebagai pusat telaah


tentang kesadaran manusia. Dalam buku lainnya, Logische Untersuchungen, Husserl
mengatakan bahwa pengalaman dalam bentuk intuisi orang mungkin menemukan obyek
aktual yang berkorespondensi dengan noema, tetapi mungkin juga tidak menemukan. Namun
bagaimana pun perlu ada keparalelan antara noesis (pemberian deskripsi subyektif atau
sesuatu obyek) dengan noema. Karena itu analisis tentang struktur esensial noetik dari
kesadaran manusia dapat pula mengungkap struktur noematik ataupun struktur ontologiknya.
Lebih lanjut Husserl membedakan antara hal dengan bentuk. Kesadaran intensional manusia
lebih bersifat aktif, memiliki telos, memiliki rasionalitas, dan mencari evidensi. Kesadan
intensional tersebut dalam pengembangan selanjutnya menjadi lebih mendasar. Pada Husserl
menjadi tampilan lebih otonom, lebih sadar diri.

Dalam konteks studi agama, pendekatan fenomenologi tidak bermaksud untuk


memperbandingkan agama-agama sebagai satuan-satuan besar, melainkan menarik fakta dan
fenomena yang sama yang dijumpai dalam agama-agama yang berlainan, mengumpulkan dan
mempelajarinya per kelompok. Dalam fenomenologi, mempertimbangkan fenomena agama
bukan hanya dalam konteks historis, melainkan juga dalam hubungan struktural.
Pada intinya, ada tiga tugas yang harus dipikul oleh fenomenologi agama, yaitu:
pertama, mencari hakikat ketuhanan. Kedua, menjelaskan teori wahyu. Dan Ketiga, meneliti
tingkah laku keagamaan.

Sedangkan bidang garap fenomenologi adalah: pertama, menerangkan apa yang sudah
diketahui yang terdapat dalam sejarah agama, tetapi dengan caranya sendiri. Fenomenologi
agama tidak membedakan dirinya dengan macam-macam agama. Kedua, fenomenologi
berusaha menyusun bagian pokok agama atau sifat alamiah agama, yang juga merupakan
faktor penamaan dari semua agama. Ketiga, fenomenologi tidak mempersoalkan apakah
gejala keagamaan itu benar, apakah bernilai, dan bagaimana dapat menjadi demikian, atau
menentukan lebih besar atau kecilnya nilai keagamaan mereka. Sekalipun ia berusaha untuk
menentukan nilai keagamaannya, ini adalah nilai yang dimiliki oelh pemeluk-pemeluk agama
itu sendiri, dan nilai semacam ini tidak pernah bersifat relatif, tetapi selalu absolut. Oleh
karena itu, titik berat yang dibicarakannya adalah bagaimana kelihatannya, dan dengan cara
apa (bagaimana) ia menampakkan diri kepada kita.

Dengan melihat pada bidang garap sebagaimana diuraikan di atas, maka secara khusus
dapat kita cermati bahwasannya yang menjadi obyek fenomenologi adalah:

1. Menemukan intisari.
2. Menemukan struktur.
3. Mencari inner meaning.
4. Membuat klasifikasi, tipologi dan penyisteman fenomena.
5. Mencari motif dasar.
6. Mencari alur perkembangan gejala dari waktu ke waktu.1

1
Naim ngainun, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta : TERAS, 2009) hlm. 106-111

Anda mungkin juga menyukai