Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN
1
Secara anatomis sebagian besar organ urogenitalia terletak di rongga
ekstraperitoneal (kecuali genitalia eksterna), dan terlindung oleh otot-otot dan
organ-organ lain. Oleh karena itu jika didapatkan cedera organ urogenitalia, harus
diperhitungkan pula kemungkinan adanya kerusakan organ lain yang
mengelilinginya. Sebagian besar cedera organ genitourinaria bukan cedera yang
mengancam jiwa kecuali cedera berat pada ginjal yang menyebabkan kerusakan
parenkim ginjal yang cukup luas dan kerusakan pembuluh darah ginjal.
Cedera yang mengenai organ urogenitalia bisa merupakan cedera dari luar
berupa trauma tumpul maupun trauma tajam, dan cedera iatrogenik akibat
tindakan dokter pada saat operasi atau petugas medik yang lain. Pada trauma
tajam, baik berupa trauma tusuk maupun trauma tembus oleh peluru, harus
dipikirkan untuk kemungkinan melakukan eksplorasi; sedangkan trauma tumpul
sebagian besar hampir tidak diperlukan tindakan operasi.
Trauma ginjal merupakan trauma pada sistem urologi yang paling sering
terjadi. Kejadian penyakit ini sekitar 8-10% dengan trauma tumpul atau trauma
abdominal. Pada banyak kasus, trauma ginjal selalu dibarengi dengan trauma
organ penting lainnya..Sekitar 85-90% trauma ginjal terjadi akibat trauma tumpul
yang biasanya diakibatkan oleh kecelakaan lalulintas. Walaupun ginjal mendapat
proteksi dari otot lumbar, thoraks, badan vertebra dan viscera, ginjal mempunyai
mobilitas yang besar yang bisa mengakibatkan kerusakan parenchymal dan cedera
vaskular dengan mudah. Trauma ginjal dapat diklasifikasikan menjadi trauma
tumpul dan tajam.
BAB II
PEMBAHASAN
2

2.1 Anatomi Ginjal


Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga
retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekung
menghadap medial, sisi ini merupakan bagian hilus ginjal yang merupakan tempat
keluar masuknya pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf serta ureter pada ginjal.1
2.1.1 Strukur di sekitar Ginjal
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrous tipis dan mengkilat yang disebut kapsula
fibrosa (true capsule) ginjal, yang melekat pada parenkim ginjal. Di luar kapsul fibrosa
terdapat jaringan lemak yang di sebelah luarnya dibatasi oleh oleh fasia gerota. Di
antara kapsula fibrosa ginjal dengan kapsula gerota terdapat rongga perineal.
Di sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal atau
disebut juga kelenjar suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama-sama
ginjal dan jaringan lemak perineal dibungkus oleh fasia gerota. Fasia ini berfungsi
sebagai barrier yang menghambat meluasnya perdarahan dari parenkim ginjal serta
mencegah ekstravasasi urine pada saat terjadi trauma ginjal,. Selain itu fasia gerota
dapat pula berfungsi sebagai barier dalam menghambat penyebaran infeksi atau
menghambat metastasis tumor ginjal ke organ di sekitarnya. Di luar fasia gerota
terdapat jaringan lemak retroperitoneal yang terbungkus oleh peritoneum posterior.
Rongga di antara kapsula gerota dan peritoneum ini disebut rongga pararenal.
Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh berbagai otot punggung yang tebal
serta tulang rusuk ke XI dan XII, sedangkan di sebelah anterior dilindungi oleh organ
intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, duodenum; sedangkan ginjal
kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pancreas,jejeunum,dan kolon1
2.1.2 Struktur Ginjal
Secara anatomis, ginjal terbagi menjadi 2 bagian yaitu korteks dan medula
ginjal. Di dalam korteksi terdapat banyak nefron yang berfungsi dalam filtrasi ginjal,
sementara pada medula terdapat duktuli ginjal sebagai sistem penyalur hasil filtrasi

2
yang juga berperan dalam reabsorpsi dan ekskresi untuk menentukan kadar zat dalam
urin.1

2.2 Trauma Ginjal


Mekanisme Trauma
Mekanisme trauma dapat berupa trauma tumpul atau trauma tembus
(penetrating injury). Pada daerah pedesaan persentase trauma tumpul mencapai 90%-
95%. Sementara di daerah perkotaan, trauma tembus meningkat hingga 18%.
Trauma tumpul biasanya terjadi pada kasus-kasus kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari
ketinggian, cedera saat olahraga atau berkelahi. Sehingga informmasi yang penting
untuk diketahui yang berkenaan dengan riwayat trauma adalah besarnya proses
decelerasi yang terjadi. Decelerasi yang sangat cepat dapat menyebabkan kerusakan
pembuluh darah, trombosis arteri renalis, peregangan pembuluh darah vena, atau avulsi
pedicle ginjal.
Laserasi ginjal yang disertai dengan trauma pada vaskularisasi, hanya terjadi
sekitar 10%-15% dari seluruh trauma tumpul ginjal. Luka tembak dan luka tusuk
merupakan penyebab utama trauma tembus ginjal. Pada luka tembak, hal terpenting
adalah mengetahui jenis senjata dan peluru. Trauma tembus sendiri dapat mengenai
organ retroperitoneal bahkan hingga mencapai peritoneum. Sehingga memungkinkan
untuk menciptakan kondisi yang tidak steril. Adanya perdarahan dan kebocoran urin
pada trauma tembus ginjal akan menciptakan lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan
bakteri. Sehingga trauma tembus ginjal cenderung lebih berat dan sukar untuk
diprediksi dibandingkan trauma tumpul ginjal.

2.2.1 Klasifikasi trauma ginjal


Klasifikasi trauma ginjal membantu dalam penyamaan persepsi (standarisasi)
akan berbagai jenis pasien, pilihan terapi dan hasil yang diharapkan. Total terdapat 26
klasifikasi trauma ginjal telah dipublikasikan selama 50 tahun terakhir. Namun
American Association for the Surgery of Trauma (AAST) telah mengembangkan
penklasifikasian trauma ginjal yang diterima luas hingga saar ini. Trauma ginjal
diklasifikasikan dari derajat I-V. Sebagian besar penelitian klinis dan penerapan
dilapangan telah mengadopsi pengklasifikasian ini3
Diagnosis
Penilaian awal pasien trauma harus meliputi jalan napas, mengontrol pendarahan yang
tampak, resusistasi syok jika diperlukan. Pada kasus multiple trauma resusistasi harus
segera dilakukan. Pada banyak kasus pemeriksaan fisik dilakukan secara simultan
dengan stabilisasi pasien. Dada, perut dan pinggang tidak boleh luput dari pemeriksaan.
Ketika trauma pada ginjal dicurigai maka diperluka evaluasi lebih lanjut.1
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Indikator yang memungkinkan untuk terjadinya trauma ginjal meliputi
mekanisme deselerasi yang cepat seperti pada; jatuh dari ketinggian atau kecelakaan
bermotor dengan kecepatan tinggi, serta trauma langsung pada regio flank. Pada kasus
trauma tembus, informasi yang diperlukan meliputi jenis benda tajam atau kaliber
peluru pada kasus luka tembak.
Riwayat penyakit sebelumnya juga perlu digali, adakah kemungkinan adanya
disfungsi organ sebelum terjadinya trauma. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya dapat memperberat trauma minor.
Hidronefrosis, batu ginjal, kista maupun tumor telah dilaporkan dapat menimbulkan
komplikasi yang lebih berat.
Pemeriksaan fisik merupakan dasar pemeriksaan pada setiap pasien trauma.
Stabilitas hemodinamik merupakan kriteria utama dalam penatalaksanaan semua trauma
ginjal. Shok dapat diartikan sebagai tekanan sistole yang <90 mmHg pada saat pasien
dievaluasi. Vital sign harus dicatat untuk mengevaluasi pasien.
Pada pemeriksaan fisik dinilai adanya trauma tumpul atau tembus pada regio
flank, lower thorax dan upper abdomen. Pada luka tembus, panjangnya luka tidak
secara kurat mengambarkan dalamnya penetrasi. Penemuan berupa; hematuri, jejas dan
nyeri pada pinggang, patah tulang iga bawah, atau distensi abdomen dapat dicurigai
adanya trauma pada ginjal. 3
Patut dicurigai adanya cedera pada ginjal jika terdapat :2
1. Trauma di daerah pinggang,punggung, dada sebelah bawah, dan perut bagian
atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah itu
2. Hematuria makroskopik
3. Fraktur kosta sebelah bawah (T8-12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra
4. Trauma tembus pada daerah dada bawah, abdomen atau pinggang
5. Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu
lintas
Pemeriksaan Laboratorium Urinalisa, darah rutin dan kreatinin merupakan
pemeriksaan laboratorium yang penting. Urinalisa merupakan pemeriksaan dasar untuk
mengetahui adanya cedera pada ginjal. Hematuria mikroskopis pada pasien trauma
dapat didefenisikan sebagai adanya >5 sel darah merah per-lapang pandang besar,
sementara pada gross hematuria telah dapat dilihat langsung pada urin.3
Hematuria merupakan poin disgnostik penting untuk trauma ginjal. Namun tidak
cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan apakah suatu trauma minor ataukah
mayor. Perlu diingat beratnya hematuria tidak berkorelasi lurus dengan beratnya
trauma ginjal. Bahkan untuk trauma ginjal yang berat, seperti; robeknya ureteropelvic
junction, trauma pedikel ginjal, atau trombosis arteri dapat tampil tanpa disertai dengan
hematuria.
Hematokrit serial merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk mengevaluasi
pasien trauma. Penurunan hematokrit dan kebutuhan akan transfusi darah merupakan
tanda kehilangan darah yang banyak, dan respon terhadap resusistasi akan menjadi
pertimbangan dalam pengambillan keputusan. Peningkatan kreatinin dapat sebagai
tanda patologis pada ginjal. 3
Pencitraan
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan hematuria mikroskopis
tanpa disertai shok pasca trauma tumpul ginjal biasanya merupakan tanda tidak beratnya
trauma pada ginjal. Oleh karena itu pemeriksaan radiologis perlu dipertimbangkan
indikasinya, mengingat rasa tidak nyaman yang timbul pada pasien, reaksi alergi
terhadap kontras, paparan radiasi, dan pemeriksaan radiologis yang berlebihan.
Indikasi untuk dilakukannya pemeriksaan radiologis pada trauma ginjal antara
lain adalah gross hematuri, hematuri mikroskopik yang disertai shok, atau adanya
trauma multi organ. Pada luka tembus, setiap kecurigaan adanya luka yang mengarah
pada ginjal maka perlu dilakukan pemeriksaan radiologis tanpa memandang derajat
hematuri.
Ultrasonografi Abdomen USG merupakan modalitas pencitraan yang populer untuk
penilaian awal suatu trauma abdomen. USG dapat dilakukan dengan cepat, tidak invasif,
biaya murah, dan dapat menilai adannya cairan bebas tanpa paparan radiasi atau zat
kontras. Namun penggunaan USG pada trauma ginjal cukup banyak dipertanyakan,
disamping pemakainaya sangat bergantung pada operator.
USG dapat mendeteksi adanya laserasi pada ginjal, namun tidak mampu secara
tepat memastikan seberapa dalam dan luas laserasi yang terjadi, dan tidak mampu
menampilkan data yang mendukung untuk menilai ekskresi ginjal dan ada tidaknya
kebocoran urin. USG doppler dapat digunakan untuk menilai aliran darah yang menuju
ke ginjal. Pada USG dengan kontras, pencitraan dengan baik dapat dilihat pada posisi
pasien supine atau dekubitus kontralateral.
Karena penggunaanya yang relatif cepat, USG dapat digunakan pada saat
penilaian awal trauma. Pada saat evaluasi, USG lebih sensitif dan spesifik dibandingkan
IVP standar untuk kasus trauma minor. Pada penelitian lain yang membandingkan USG
dan IVP, sensitifitas USG akan makin berkurang berbanding lurus dengan beratnya
derajat trauma, sementara sensitifitas IVP sama tingginya pada semua derajat trauma
ginjal.
USG dapat digunakan untuk mengevaluasi resolusi urinoma dan hematom
retroperitoneal pada kasus pasien trauma ginjal yang stabil. USG juga dapat digunakan
pada pasien yang hamil dan berguna untuk follow-up rutin dalam menilai lesi parenkim
atau hematom pada pasien yang dirawat di ruang intensive care unit (ICU).
Kesimpulannya, USG berguna pada saat triase pasien dengan trauma tumpul abdomen,
dan membantu untuk menentukan modalitas diagnostik yang lebih agresif. USG
abdomen tidak memberikan data yang akurat untuk menilai derajat trauma ginjal.3
One shot-Intraoperative Intraveous Pyelography Pasien yang tidak stabil merupakan
kriteria untuk tindakan operatif (kondisi tidak stabil sehingga tidak dimukinkan
dilakukan CT scan), pada pasien tersebut perlu dilakukan one shot-IVP di ruang operasi.
Tekniknya dengan melakukan injeksi kontras sebanyak 2 ml/KgBB dan diikuti dengan
satu kali pengambilan plain foto tunggal 10 menit setelah injeksi kontras. Pemeriksaan
akan memberikan informasi untuk tindakan laparotomi segera, dan data mengenai
normal atau tidaknya fungsi ginjal kontralateral.3
Walaupun banyak ahli yang menganjurkan penggunaannya, namun tidak semua
penelitian menunjukkan manfaat dari one shot-IVP. Pada kasus trauma tembus, Patet et
al, menemukan positive predictive value yang hanya 20%, artinya 80% pasien dengan
one shot-IVP yang normal, tidak mampu mendeteksi adanya trauma ginjal pada pasien
tersebut. Sehingga disimpulkan bahwa one-shot IVP tidak memiliki manfaat yang
signifikan untuk menilai pasien dengan trauma tembus ginjal yang akan menjalani
operasi laparotomi.3
Computed Tomography CT scan merupakan standar baku pemeriksaan radiologi pada
pasien trauma ginjal dengan hemodinamik stabil. Pada banyak penelitian CT scan lebih
unggul dibandingkan pencitraan lain seperti IVP, USG atau angiografi. CT scan lebih
akurat untuk menilai lokasi trauma, mendeteksi kontusio dengan jelas, memberikan
gambaran retroperitoneum dan hematom, dan secara simultan memberikan gambaran
abdomen dan pelvis. CT scan juga memberikan keunggulan dalam gambaran detail
anatomi, yang mencakup; laserasi ginjal, ada tidaknya trauma penyerta, dan gambaran
ginjal kontralateral. Luasnya hematom yang tampak pada CT scan dapat dijadikan dasar
evaluasi pada kasus trauma tumpul dan penentuan terapi lebih lanjut.3
Kontras intravena dapat dilakukan untuk menilai ginjal. Adanya ekstravasasi
kontras pada trauma ginjal menandakan suatu trauma pedicle ginjal. Jika tanpa kontras,
adanya hematom sentral peri-hilum dapat dicurigai sebagai trauma pedicle. Hal ini
harus dipastikan pada kondisi dimana parenkim ginjal tampak normal. Trauma pada
vena renalis merupakan hal yang sulit untuk dideteksi dengan modalitas pencitraan
apapun, namun kita dapat mencurigainya jika didapati hematom yang luas pada sisi
medial ginjal.3
Magnetic Resonance Imaging Walaupun MRI tidak banyak digunakan pada sebagian
besar kasus trauma ginjal, namun beberapa penelitian telah menunjukkan beberapa
manfaat MRI. MRI (1,0 tesla) dapat dengan akurat mangambarkan hematom perirenal,
viabilitas fragmen ginjal, dan mendeteksi kelainan ginjal sebelumnya, namun gagal
memvisualisasikan ekstravasasi urin pada pemeriksaan awal. Namun demikian MRI
bukan pilihan diagnostik pertama pada pasien trauma karena waktu pemeriksaannya
yang lama dan biayanya yang mahal.3

PENATALAKSANAAN TRAUMA GINJAL


Satu jam pertama setelah trauma merupakan masa terpenting dan membutuhkan
penilaian yang cepat, melakukan resusistasi berdasarkan prioritas yang telah ditetapkan
oleh American College of Surgeons Acute Trauma Life Support Program meliputi; A,
airway dengan proteksi servikal collar; B, Breathing; C, Circulation dan mengontrol
pendarahan; D, disability atau status neurologis; dan E, exposure and environment.
Tujuan utama dari manajemen pasien trauma ginjal adalah meminimalisir morbiditas
dan mengamankan fungsi ginjal. Oleh karena itu eksplorasi ginjal harus dipastikan
dengan sangat selektif. Derajat trauma ginjal, kondisi pasien secara keseluruhan, dan
kebutuhan akan transfusi merupakan faktor prognosis untuk nefrektomi dan hasil akhir
secara keseluruhan.
Hemodinamik yang tidak stabil yang disebabkan oleh pendarahan ginjal
merupakan indikasi mutlak untuk dilakukannya eksplorasi ginjal, baik pada trauma
tumpul maupun trauma tembus. Indikasi lain untuk dilakukannya eksplorasi adalah
hematom perirenal yang pulsatile dan ekspanding (berdenyut dan meluas). Pada situasi
ini one shot-IVP dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Visualisasi yang tidak
baik pada ginjal yang mengalami trauma termasuk indikasi eksplorasi. Pasien trauma
ginjal grade 5 juga merupakan indikasi mutlak untuk dilakukannya eksplorasi.
MANAJEMEN NON-OPERATIF/KONSERVATIF
Manajemen non-operatif semakin banyak dipertimbangkan untuk pasien-pasien
trauma ginjal. Semua kasus trauma ginjal grade 1 dan 2 dapat dirawat secara konservatif
baik pada trauma tumpul atau trauma tembus. Terapi pada trauma ginjal grade 3 telah
menjadi kontroversi selama bertahun-tahun. Mayoritas pasien dengan trauma ginjal
grade 4 dan 5 datang dengan trauma penyerta dan akhirnya menjalani eksplorasi dan
tingginya angka nefrektomi.
Pasien trauma ginjal grade 4 dan 5 dapat dirawat konservatif dengan syarat
kondisi hemodinamik stabil. Ekstravasasi urin bukan indikasi mutlak untuk dilakukan
eksplorasi, dan umumnya dapat sembuh dengan sendirinya. Jika derajat ekstravasasi
makin berat dalam 48 jam dapat dipertimbangkan insersi JJ stent. Pasien dengan
hemodinamik stabil harus dilakukan penilaian derajat trauma dengan lengkap untuk
memastikan luasnya trauma. Kasus luka tembak dengan kecepatan peluru yang rendah
atau luka tusuk kecil dapat dirawat dengan hasil yang dapat diterima. Pendekatan klinis
yang sistematis berdasarkan pada temuan klinis, laboratorium, dan penunjang radiologi
dapat meminimalisir angka negatif eksplorasi.
MANAJEMEN- EKSPLORASI
Secara keseluruhan eksplorasi dilakukan pada <10% kasus trauma ginjal dan
akan makin berkurang pada masa yang akan datang karena semakin banyaknya pihak
yang menganut pendekatan konservatif pada kasus trauma ginjal. Tujuan utama
eksplorasi adalah untuk mengontrol pendarahan dan menyelamatkan ginjal. Mayoritas
ahli menganjurkan pendekatan transperitoneal (laporatomi). Akses pada pedikel ginjal
lebih baik dilakukan dengan pendekatan peritoneum parietal poterior, dengan insisi di
atas aorta, medial dari vasa mesenterica inferior.
Secara keseluruhan 13% pasien mengalami nefrektomi pada saat eksplorasi, umumnya
nefrektomi dilakukan pada pasien dengan riwayat shok dan score trauma yang berat.
Pada kasus luka tembak, rekonstruksi mungkin sulit dilakukan sehingga dibutuhkan
nefrektomi. Renorafi merupakan teknik rekonstruksi yang umum dilakukan. Nefrektomi
parsial dapat dipertimbangkan jika ditemui jaringan yang non-viable. Penutupan defek
kolekting sistem dilakukan dengan penjahitan yang kedap-air, beberapa ahli
menganjurkan menutup defek kolekting sistem dengan parenkim ginjal untuk hasil yang
lebih baik. Jika kapsul ginjal tidak dapat dipreservasi maka dapat dilakukan omental
pedicle flap sebagai penutup defek. Pada semua kasus, direkomendasikan penggunaan
drainase retroperitoneal untuk mengalirkan kebocoran urin.
Semua trauma tembus harus dieksplorasi melalui pendekatan transabdominal, agar
dapat mengeksplorasi ginjal kontralateral dan mengontrol trauma abdomen lainnya.
Ginjal dieksplorasi dengan membuka fascia gerota dan dinilai ada tidaknya pendarahan
aktif, hamtom perirenal yang meluas, atau kebocoran urin. Lakukan penilaian pada
hillum dan ureter bagian proksimal. Trauma tusuk dengan derajat 3 akan mangalami
perjalanan penyakit yang sulit untuk diprediksi dan dapat mengalami komplikasi lambat
dan operasi yang tertunda. Banyaknya jaringan ginjal yang nonviable merupakan
indikasi relatif untuk dilakukan eksplorasi. Trauma pada organ vaskular ginjal jarang
terjadi, biasanya kasus ini berhubungan dengan trauma penyerta yang luas dan
meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas. Pada kasus trauma ginjal bilateral
dipertimbangkan untuk melakukan repair, pada kasus soliter dapat dilakukan
nefrektomi. Arteriografi dengan embolisasi untuk mengontrol pendarahan merupakan
alternatif untuk laparotomi. Banyak yang melaporkan angka keberhasilan tindakan ini
baik pada kasus trauma tumpul atau trauma tembus.
BAB III
KESIMPULAN
3

3.1 Kesimpulan
Dari penjabaran yang telah disebutkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
trauma ginjal merupakan trauma yang paling sering terjadi pada sistem urologi. Secara
garis besar terbagi menjadi dua, trauma tumpul dan tajam. Berdasarkan derajat
cederanya terdiri dari lima derajat. CT scan merupakan gold standart dalam menentukan
derajat trauma ginjal. Penatalaksanaan trauma ginjal berdasarkan derajat traumanya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi kedua. Jakarta: Sagung Seto; 2011.

2. Hashim hashim et all. Urological Emergency in clinical practice.Springer.2005

3. Hohenfellner,Markus et all. Emergency in Urology.Springer.2007

Anda mungkin juga menyukai