PENDAHULUAN
gambaran khas berupa patch dan plak eritem berbatas tegas dan skuama.
seperti wajah, badan bagian atas dan lipatan kulit (Cholin DC & Hivnor, 2012).
mengenai prevalensi dermatitis seboroik adalah sekitar 1-3% (Burns, et.al., 2010),
(Kurniati, 2003).
lebih sering dijumpai pada pria dibandingkan wanita, hal ini kemungkinan
berhubungan dengan stimulasi hormon androgen yang lebih tinggi pada pria
penyakit karena dermatitis seboroik ini bersifat kronis dan sering mengalami
1
untuk mengontrol penyakit (Picardo, 2008). Dikarenakan angka kejadian dan
kekambuhan yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien maka, kami tertarik
untuk mengangkat kasus ini sebagai presentasi kasus kami yang berjudul Tn. U
2
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Dermatitis seboroik dapat mengenai semua golongan umur, dari bayi sampai
orang dewas. Dermatitis seboroik pada bayi terjadi pada bulan-bulan pertama
Puncak kedua biasanya terjadi pada umur decade ke-4 sampai ke-7
3
2002 menunjukkan rata-rata prevalensi dermatitis seboroik 8,3% dari jumlah
1984).
IgA dan IgG serum pada pasien penderita dermatitis seboroik, yang juga
terjadi sebagai reaksi terhadap toksin jamur dan aktivitas lipase (Sampaio,
4
Status imunitas rendah baik disebabkan oleh pengobatan atau penyakit seperti
HIV dan keganasan dapat memicu DS. Manifestasi DS pada penderita HIV
kejadiannya sebesar 15% pada penderita dengan kadar CD4+ lebih dari 200
sel/ml dan mengalami peningkatan menjadi 58% pada penderita dengan kadar
Beberapa obat yang dikenal dapat memicu dermatitis seboroik dari laporan
beberapa penelitian seperti laporan dari Picardo M dan Cameli N pada tahun
5
2008 seperti griseofulvin, simetidin, lithium, metildopa, arsenik, emas,
lebih umum dipicu oleh stres emosional dan dahulu dijumpai angka kejadian
seboroik juga sering diamati pada penyakit depresi dan down syndrome,
tetapi ini bisa terkait dengan kecenderungan pasien penderita depresi tetap
6
2.4 Manifestasi Klinis dan Diagnosa
Gejala klinis yang terdiri dari kelainan kulit berupa eritema dan skuama yang
berskuama dan berminyak disertai eksudasi dan krusta tebal. Sering meluas
ke dahi, glabela, post auricular dan leher (Djuanda, et.al., 2010). Pada bentuk
yang lebih berat lagi, seluruh kepala tertutup oleh krusta-krusta kotor, dan
kulit kepala disebut dengan cradle cap. Lesi-lesi dermatitis seboroik dapat
terjadi juga pada daerah supraorbital, disertai dengan blefaritis, dan juga pada
liang telinga luar, lipatan nasolabial, daerah sterna, aerola mammae, dan
yang dimulai dari eritema ringan sampai moderat hingga lesi papular,
eksudatif dan bersisik, semakin memburuk jika disertai stres atau kurang
7
Gambar 1. Lokasi Predileksi Dermatitis Seboroik
seperti kulit kepala, wajah, telinga eksternal, daerah retroaurikular dan daerah
pra-sternal, kelopak mata dan lipatan-lipatan tubuh. Lesi pada kulit kepala
yang melekat pada kulit kepala dan rambut, yang bisa memicu atau tidak
keterlibatan daerah glabela dan malar, lipatan nasolabial dan alis mata
pria daerah kumis juga bisa terpengaruh dengan lesi dermatitis seboroik
(Gupta, 2004).
8
Gambar 2. Skema Penegakan Diagnosis Dermatitis Seboroik
9
Pemeriksaan penunjang pada dermatitis seboroik dapat dilkukan dengan
stadium penyakit: akut, subakut, atau kronik. Pada dermatitis seboroik akut
dan subakut, infiltrat perivaskuler superfisial dari limfosit dan histiosit jarang,
kronis dijumpai kapiler dan vena kecil yang berdilatasi pada pleksus
sebelum akhirnya berubah menjadi psoriasis yang jelas (Colin, et.al., 2012).
jelas dan berskuama lebih jelas dan keperakan diatasnya, dan rambutrambut
telogen. 10% psoriasis terjadi pada anak kurang 10 tahun dan 50% mengenai
kepala, dan sering lesi psoriasis terjadi pada kepala saja, maka kelainan kuku
tanda Auspitz dan fenomena tetesan lilin positif (Schroeder & Levy, 1997).
10
b. Tinea Kapitis (Ringworm of the scalp and hair, tinea tonsurans, herpes
tonsurans.) adalah infeksi dermatofit pada kepala, alis mata dan bulu mata
dan skar dengan alopesia permanen. Tipe timbulnya penyakit tergantung pada
Seringkali lesinya tampak satu atau beberapa daerah yang berbatas jelas
11
yang berantai medium mempunyai efek fungistatik yang terbesar1 . Juga
audouinii.
2. Bentuk inflamasi
Biasanya terlihat pada jamur ektotrik zoofilik (M. canis) atau geofilik (M.
biasanya gatal dan dapat nyeri, limfadenopati servikal, panas badan dan
tonsurans atau T. violaceum. Rontok rambut dapat ada atau tidak. Bila ada
folikulitis pustula atau lesi seperti furunkel sampai kerion. Daerah yang
terkena biasanya banyak atau poligonal dengan batas yang tidak tegas.
2.6 Penatalaksanaan
1. Terapi nonfarmakologi
12
Terapi non-farmakologi yang paling ideal adalah dengan faktor resiko
2. Terapi farmakologi
a. Medikamentosa
A. Anti Inflamasi
dewasa diawali dengan steroid topikal. Terapi ini bisa diberikan sebagai
digunakan pada kulit kepala, atau krim yang digunakan pada kulit. Orang
topikal satu atau dua kali sehari dan menggunakan sampo sebagai
2012).
B. Immunomodulator
inflamasi tanpa risiko atrofi kulit, yang disebabkan oleh steroid topikal,
telinga akan tetapi penggunaan setiap hari selama satu minggu baru
13
C. Keratolitik
asam salisilat dan sampo zinc pyrithione. Zinc pyrithione memiliki sifat-
sifat keratolitik dan antijamur nonspesifik dan bisa digunakan dua atau tiga
selama lima menit untuk menjamin agar bahan mencapai kulit kepala.
(Schwartz,et.al., 2006).
D. Antijamur
selenium sulfide atau azole sering digunakan digunakan dua atau tiga kali
per minggu. Ketokonazole (krim atau gel foam) dan terbinafine oral juga
14
flukonazole juga dapat bermanfaat untuk penderita dermatitis seboroik
2.7 Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada pasien rhinitis alergi diantaranya
adalah:8,9
3. Sinusitis paranasal.
4. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernafasan mulut yang lama
5. Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar
15
BAB IV
DISKUSI
Telah dilaporkan seorang anak usia13tahun dengan diagnosis kerja Rhinitis Alergi
seragan bersin berulang dengan keluarnya ingus yang encer dan banyak, hidung
dan mata gatal, kadang-kadang keluar air mata. Keluhan ini timbul pada pagi dan
malam hari, cuaca dingin dan saat terkena debu. Keadaan ini timbul karena
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
Faktor risiko pada pasien ini adalah pasien mempunyai riwayat asma namun
sudah jarang kambuh. Dari riwayat penyakit keluarga juga diketahui bahwa ibu
16
Berdasarkan klasifikasi rhinitis alergi menurut WHO tahun 2000, pasien
digolongkan pada rinitis alergi persisten karena gejala yang timbul lebih dari
pada derajat ringan karena menurut pengakuan pasien keadaan yang dialami oleh
lain.
Pada pemeriksaan hidung luar, ditemukan allergic shiner, yaitu bayangan gelap di
daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
media dekstra dan sinistra berwarna livide akan tetapi masih dalam ukuran
normal. Ditemukan sekret pada meatus media dekstra dan sinistra berwarna
bening, encer.
berguna untuk mengatasi gejala pada respon cepat seperti rinore, bersin dan gatal.
Selain itu juga diberikan kortikosteroid untuk mengatasi inflamasi. Selain itu
tahan tubuh. Pasien dianjurkan untuk melakukan tes alergi untuk mengetahui
terarah.
17
BAB V
PENUTUP
18
5.1 Kesimpulan
Pada pasien dengan Riniris Alergi perlu diketahui alergen penyebab pada
DAFTAR PUSTAKA
Kalz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick
3. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin. 6th ed.
200.
6. Ford GP, Farr PM, Ive FA, shuster S. The response of seborrhoeic
19
7. Gupta AK, Nicol K, Roma B. Role of antifungal agents in the treatment of
10. Nelson MM; Martin AG, Heffernan MP. Superficial Fungal infection :
IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine 6th ed. New York Mc Graw Hill, 2003 :
p 1989-2005.
2008. h. 164-70
13. Rippon JW. Medical Mycology 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co,
1988
14. Sampaio AL, Vargas TJ, Nunes AP, Mameri AC, Silva MR, Carneiro SC.
15. Schroeder TL, Levy ML. Treatment of hair loss disorders in children.
20
16. Schwartz RA, Janusz CA, Janniger CK. Seborrheic dermatitis: An
21