PENDAHULUAN
pembentukan membran pada faring serta toksin yang dapat menyebar ke dalam
aliran darah. Toksin difteri dapat menyebabkan miokarditis dan neuritis yang
berakibat fatal jika tidak ditangani dengan cepat. Komplikasi difteri paling berat
2016).
di dunia terjadi peningkatan dimulai dari tahun 2012 sampai 2014. Jumlah kasus
difteri di dunia tahun 2012 sebanyak 4.490 kasus dan tahun 2014 sebanyak 7.321
Tenggara dengan 430 kasus difteri pada tahun 2014. Pada tahun sebelumnya,
Indonesia merupakan negara tertinggi kedua di dunia dengan kasus difteri yaitu
tahun 2015, terdapat 13 provinsi yang masih terdapat kasus difteri di wilayahnya.
kasus difteri, dengan 110 kasus difteri. Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri di
Sumatera Barat terjadi karena peningkatan kasus yang besar dibandingkan tahun
1
2014 yang hanya sembilan kasus. Dari seluruh kasus difteri, sebesar 37% terdapat
2010 sampai tahun 2013 tidak terdapat kasus difteri di Kota Padang. Pada tahun
2014 terdapat sembilan kasus difteri di Kota Padang. Difteri di Kota Padang tahun
terdapat di wilayah kerja Puskesmas Andalas (Dinkes Kota Padang, 2015). Hasil
kejadian difteri di Kota Padang adalah status imunisasi Difteri Pertusis Tetanus
Pengembangan Program Imunisasi (PPI). Sasaran program ini adalah bayi usia 2-
12 bulan untuk vaksin DPT sebagai imunisasi dasar. Pada anak usia 6-7 tahun
dilakukan dengan imunisasi booster Difteri Toksoid (DT/Td) (Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2011). Pada tahun 2014, Dinkes Kota Padang menyatakan cakupan
59,4%, dan 61,1%. Cakupan ini masih dibawah target yang ditetapkan pada tahun
2014 yaitu sebanyak 90% (Dinkes Kota Padang, 2014). Berdasarkan uraian diatas,
2
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana pelaksanaan program imunisasi difteri di Puskesmas
Andalas?
1.2.2 Bagaimana capaian imunisasi difteri dalam program pengendalian dan
Puskesmas Andalas.
2. Untuk mengetahui capaian imunisasi difteri dalam program
Metode penulisan makalah ini berupa tinjauan pustaka yang merujuk dari
berbagai literatur dan laporan Puskesmas Andalas, analisis, dan diskusi bersama
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Difteri merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan
Penyakit ini ditandai dengan terbentuknya eksudat yang berbentuk membran pada
tempat infeksi yang dapat menyebabkan kerusakan akibat eksotoksin pada organ
viseral dan sistem saraf (White, 2009). Eksotoksin yang diproduksi oleh bakteri
merupakan protein yang tidak tahan panas dan cahaya. Bakteri dapat
(Widoyono, 2011).
berasal dari bahasa Yunani, diphtera = leather hide (kulit yang tersembunyi).
toksin (toksigenik).
2. Tipe kutan, yang disebabkan oleh strain toksigenik maupun yang nontoksigenik
(Widoyono, 2011).
maupun sebagai carier. Difteri ditularkan dengan kontak langsung melalui batuk,
bersin, berbicara, kontak tidak langsung melalui debu, baju, buku, ataupun mainan
4
yang terkontaminasi. Kontak tidak langsung ini dapat terjadi karena basil ini
cukup resisten terhadap udara panas, dingin, kering, dan tahan hidup pada debu
kemudian tumbuh pada mukosa saluran nafas bagian atas terutama tonsil. Selain
itu kulit, konjungtiva, genitalia, mata dan telinga tengah juga dapat menjadi
Pada keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi kuman ini akan semakin
meningkat, sehingga daerah nekrosis juga bertambah luas dan dalam. Hal ini
faring, laring, dan kadang kadang dapat meluas sampai ke trakea dan bronkus.
Pseudomembran ini terdiri dari jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit
dan eritrosit, berwarna abu-abu sampai hitam. Membran ini sukar terkelupas, jika
dipaksa akan menimbulkan perdarahan. Lesi ini juga bisa mengenai kulit atau
mukosa organ kelamin, kemudian diikuti dengan edema jaringan lunak dibawah
5
Toksin difteri dapat menimbukan pembesaran kelenjar getah bening
servikal dan demam pada muka. Kombinasi antara limfadenopati servikal dan
edema muka menimbulkan perubahan wajah yang disebut Bulls neck appearance.
Toksin difteri mempengaruhi semua sel tubuh manusia, karena eksotoksin yang
terbentuk akan diserap kedalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
saraf perifer (demyelination) dan ginjal (acute tubular necrosis) (White, 2009).
Toksin difteri setelah terfiksasi dalam sel, terdapat masa inkubasi yang
pernapasan atas biasanya timbul setelah 2-5 hari setelah bakteri mulai
demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga
penderia tampak sangat lemah sekali. Gejala fokal biasanya disertai dengan gejala
khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak
napas dengan serak dan stridor, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung
kepada jaringan yang terkena seperti miokarditis, paralisis jaringan saraf, atau
yaitu:
1. Difteri Nasal Anterior
6
Difteri hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur
menjadi serosa dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada hidung dan
bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih keabuan pada daerah septum
nasal. Absorb sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga
awalnya tersamarkan oleh malaise, demam ringan, dan nyeri tenggorok ringan.
besar dan luasnya bervariasi sesuai dengan status imun hospes. Membran pada
awalnya tipis, putih dan terlokalisir, ketika penyakit memburuk membran ini
bergabung dan meluas dari tonsil ke palatum lunak atau keras sekitarnya, dinding
walaupun belum terjadi sumbatan laring. Hal ini disebabkan oleh paralisis
palatum mole. Pada pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar hemoglobin
2007).
3. Difteri Laring dan Trakea
Difteri laring pada umumnya merupakan perluasan difteri faring, jarang
sekali dijumpai berdiri sendiri. Gejala klinis difteri laring yaitu gangguan jalan
napas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat dapat
timbul sesak nafas hebat, sianosis, danretraksi dinding dada. Pembesaran kelenjar
7
kemerahan, sembab, banyak secret dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran
(Hassan, 2007).
Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,
menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran
paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas
(Kliegman, 2016).
4. Difteri Kulit
Merupakan keadaan yang sangat jarang terjadi, biasanya kelainan berupa
eritema, ulkus yang tidak menyembuh, superfisial dengan membran coklat keabu-
abuan. Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus
goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder. Tungkai
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan ditemukannya Corynebacterium diphtheriae pada
hasil pemeriksaan preparat lansung ataupun biakan, tetapi bila secara klinis
terdapat dugaan yang kuat adanya difteri maka penderita harus diobati sebagai
8
Adanya membran di tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk
difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran.
Membran pada difteri berbeda dengan membran penyakit lain, yaitu warna
membran pada difteri lebih gelap, lebih keabuabuan disertai lebih banyak fibrin
Dianjurkan untuk mengambil spesimen (swab) untuk biakan nasofaring dan faring
karena memungkinkan hasil positif 20% lebih tinggi bila dua biakan dibanding
satu. Bila waktu pengangkutan ke laboratorium lebih dari 24 jam, apusan harus
miring Loeffler atau Pai, piring agar sistin telurit dan piring agar darah domba 5%
dan pengeraman dilakukan semalaman pada suhu 350C. Pertumbuhan pada agar
ruang isolasi untuk menghindari kontak dengan orang sehat. Pasien diberikan
makanan lunak atau cair bergantung pada keadaan penderita. Kontrol rekam listrik
jantung 2-3 kali seminggu untuk mendeteksi miokarditis secara dini. Bila terjadi
paralisis dilakukan fisioterapi pasif dan diikuti fisioterapi pasif bila keadaan
menetralkan toksin dalam sirkulasi, tetapi tidak mempunyai efek pada toksin yang
9
terikat pada jaringan sehingga keterlambatan pemberian antitoksin dapat
U/ hari selama 2 hari. Sebelumnya telah dilakukan uji kulit terlebih dahulu. Difteri
nasal sedang diberikan 40.000-60.000 U secara IV. Difteri berat diberikan 80.000
dosis selama 14 hari ataau eritromisin 40-50 mg/kg per oral atau parenteral selama
kombinasi, yaitu DPT, DT, dan dT (difteri untuk anak usia diatas 7 tahun dan
orang dewasa). Sesuai peraturan pemberian imunisasi, vaksinasi dasar DPT pada
bayi diberikan tiga kali yaitu pada umur 2, 3, dan 4 bulan dan booster pertama
pada usia 18 bulan atau satu tahun setelah vaksinasi dasar ketiga. Booster kedua
pada usia 6 tahun sebelum masuk sekolah dasar (SD). Td untuk anak besar dan
orang dewasa sudah ada vaksin kombinasi empat macam untuk bayi dan anak
sebelum usia 6 tahun yaitu DTaP dengan hemofilus influenza tipe B (Hib)
10
mengurangi koloni Corynebacterium diphtheriae. Penderita yang sudah terkena
difteri harus diisolasi, pada pemeriksaan sediaan langsung tidak terdapat lagi
2.2 Imunisasi
suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya
hidup tapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, yang telah diolah,
Menurut Center for Disease Control and Prevention (CDC) ada empat
11
diphteria vaccine (Td). DTaP dan DT diberikan kepada anak-anak usia dibawah 7
tahun, sedangkan Tdap dan Td diberian kepada anak-anak diatas 7 tahun dan
untuk orang dewasa. Anak-anak harus mendapatkan 5 dosis DTap, satu dosis
disetiap usia: 2, 4, 6, and 15-18 bulan and 4-6 tahun (CDC, 2015).
Vaksin DPT dibedakan menjadi dua, yaitu DTwP dan DTaP berdasaran
mengandung suspensi kuman B. pertusis yang telah mati, sedangkan DTaP tidak
(Ranuh, 2013).
Pengembangan Program Imunisasi (PPI) mewajibkan pemberian DPT
untuk dosis pertama pada usia 2-4 bulan, pemberian DPT ke-2 pada usia 3-5
bulan, dan pemberian DPT ke-3 pada usia 4-6 bulan dengan interval antara
diberikan saat anak masuk sekolah dasar kelas I (DT) dan kelas II, III (Td) dengan
program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). Kandungan toksoid difter dalam
vaksin DPT dan DT adalah 20 Lf. Vaksin Td memiliki kandungan toksoid difteri
dengan dosis lebih rendah yaitu difteri 2 Lf dengan ukuran tiap dosisnya sama 0,5
risiko kejadian difteri. Individu yang tidak diimunisasi (DPT/DT) berisiko lebih
2010) dan orang yang diimunisasi tidak lengkap lebih berisiko untuk menderita
Individu yang tidak pernah diimunisasi maupun yang pernah diimunisasi namun
12
tidak lengkap, merupakan faktor risiko untuk terjadinya difteri. Penelitian yang
telah dilakukan oleh Mukarami (2010) yang menyebutkan bahwa individu yang
tidak pernah imunisasi DPT/DT berisiko untuk terkena difteri 9,9 kali
Hasil penelitian ini juga didukung dengan penelitian lainnya yang menyatakan
bahwa individu dengan status imunisasi DPT/DT tidak lengkap memiliki risiko
lebih tinggi untuk terkena difteri dibandingkan anak dengan status imunisasi
imunisasi pada 7,1 % dari anak yang sudah mendapat imunisasi, kemungkinan
disebabkan karena imunisasi yang tidak lengkap, cara pemberian vaksin yang
tidak tepat, dan vaksin yang digunakan tidak poten lagi karena vaksin sudah
dan transportasi vaksin harus pada temperatur antara 2C - 8C atau 4C, vaksin
vaksin
c) Kocok vial vaksin pastikan tidak ada penggumpalan atau partikel
13
c) Suntikkan vaksin DPT dosis 0,5 cc di mid-anterolateral paha kanan
secara intramuskular.
d) Setelah vaksin masuk, jarum dikeluarkan.
e) Pada tempat bekas lokasi suntikan, kemudian ditekan dengan kapas
baru yang kering. Jika ada perdarahan tetap ditekan pada lokasi
dibandingkan negara lain yaitu sebesar 63%. Negara Malaysia dan Srilanka
pesat, bahkan pada tahun 2012 dan 2014 menurun hingga 86,9 %. Pada tahun
2011 cakupan imunisasi dasar lengkap mencapai 93,3% (Kemenkes RI, 2015).
pada tahun 2012 dan 2014 yaitu mencapai 77,2% dan 79,1%. Jika dilihat pada
tahun 2011 terjadi penurunan cakupan imunisasi dasar lengkap karena cakupan
mengalami penurunan dimulai pada tahun 2012 hingga 2014 yaitu 100%
14
sampai menjadi 49,7%. Di Provinsi Sumatera Barat, cakupan DPT/HB3 juga
menurun pada tahun 2012 dan 2014 yaitu sebesar 84,9% dan 84,0% dari
tahun 2011 yaitu sebesar 87,1%. Target DPT/HB-3 adalah 90% (Kemenkes RI,
2015).
dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1977. Program ini berguna untuk mencapai
Imunisasi yang termasuk dalam PPI adalah BCG, Polio, DPT, Campak, dan
Hepatitis B X
Polio (OPV) X
BCG X
DPT/Hepatitis B X X X
Campak X X
DT X X X X
(Dikutip dari: Permenkes RI No 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Imunisasi)
15
Bayi yang lahir di institusi rumah sakit, klinik, dan bidan praktik
swasta, imunisasi BCG dan Polio 1 diberikan sebelum dipulangkan. Bayi yang
Tabel 2.3 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Bawah Tiga Tahun
Umur Jenis Imunisasi
18 bulan DPT-HB-Hib
24 bulan Campak
(Dikutip dari: Permenkes RI No 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Imunisasi)
Imunisasi)
Batita yang telah mendapatkan imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib
dinyatakan mempunyai status imunisasi T3. Anak usia sekolah dasar yang telah
dan T5.
anak usia 0-18 tahun juga dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia
sebagai berikut:
16
Gambar 2.3 Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 18 Tahun (IDAI, 2016)
berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek simpang,
reaksi suntikan, dan hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan (Permenkes,
program, reaksi suntikan, reaksi vaksin, koinsiden, dan sebab tidak diketahui.
17
Klasifikasi lapangan ini dapat dipakai untuk pencatatan dan pelaporan KIPI
(IDAI, 2011).
penyimpanan vaksin
kontraindikasi)
18
- pelatihan vaksinasi dan supervisi yang baik
b. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik
langsung maupun tidak langsung dan harus dicatat sebagai reaksi KIPI.
Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada
takut, pusing, mual, sampai sinkop. Reaksi ini tidak berhubungan dengan
kandungan yang terdapat pada vaksin, sering terjadi pd vaksinasi masal yaitu
(IDAI, 2011):
Pingsan / Syncope
Atasi rasa takut yang muncul pada anak yang lebih besar
19
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat
diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara
klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat
seperti reaksi anafilaktik sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini
tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus,
interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan
1. Reaksi lokal:
2. Reaksi Sistemik:
Kejang
20
- Perhatikan kontraindikasi
- Orang tua diajar menangani reaksi vaksin yang ringan dan dianjurkan
Kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah imunisasi.
Indikator faktor kebetulan ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama saat
21
BAB 3
ANALISIS SITUASI
Kota Padang yang terdiri dari sepuluh kelurahan dengan luas wilayah +8,15 km2.
a. Kelurahan Sawahan
c. Kelurahan Jati
f. Kelurahan Andalas
Daerah ini ter terletak -0,939 LS/LU dan 100.38428 BT, dengan batas-
24
Gambar 3.1 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Tahun 2016 (Puskesmas
Andalas, 2016)
25
3.3 Cakupan Imunisasi Difteri di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas
Tabel 3.2 Cakupan Imunisasi DPT-HB-Hib 1 Puskesmas Andalas Tahun 2016 dan
2015
No Kelurahan Tahun 2016 Tahun 2015
1 Sawahan 95,9% 95,9%
2 Jati Baru 95,3% 90,7%
3 Jati 95,8% 95,3%
4 Sawahan Timur 95,3% 89,5%
5 Simpang Haru 95,5% 95,5%
6 Marapalam 96,4% 96,4%
7 Andalas 95,1% 95,1%
8 Kubu Dalam Parak Karakah 92,9% 95,5%
9 Parak Gadang Timur 95,1% 95,1%
10 Ganting Parak Gadang 95,2% 95,7%
Capaian Puskesmas Andalas 95,2% 94,5%
(Dikutip dari: Puskesmas Andalas, 2016).
Kecamatan Padang Timur kecuali Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah dan
Kelurahan Ganting Parak Gadang. Capaian tertinggi pada tahun 2016 terdapat
Tabel 3.3 Cakupan Imunisasi DPT-HB-Hib 3 Puskesmas Andalas tahun 2016 dan
2015
No Kelurahan Tahun 2016 Tahun 2015
1 Sawahan 92,8% 93,1%
2 Jati Baru 92,5% 88,1%
3 Jati 93,7% 92,6%
4 Sawahan Timur 93% 88,3%
5 Simpang Haru 93,2% 92,1%
6 Marapalam 93,8% 93,8%
7 Andalas 92,2% 92,7%
8 Kubu Dalam Parak Karakah 90,6% 90,9%
26
9 Parak Gadang Timur 92,7% 92,3%
10 Ganting Parak Gadang 92,3% 92,3%
Capaian Puskesmas Andalas 92,7% 91,6%
(Dikutip dari: Puskesmas Andalas, 2016)
Timur dibandingkan tahun 2015. Kelurahan Sawahan, Andalas, dan Kubu Dalam
dibanding tahun sebelumnya. Capaian tertinggi pada tahun 2016 terdapat pada
Tabel 3.4 Cakupan Imunisasi DT atau Td Puskesmas Andalas tahun 2016 dan
2015
No Sasaran DT/Td 2016 DT/Td 2015
1 Kelas 1 SD 71,6% 78,2%
2 Kelas 2 SD 74,3% 77,3%
3 Kelas 3 SD 76,8% 92,6%
(Dikutip dari: Puskesmas Andalas, 2016)
imunisasi menurun dibandingkan tahun 2015. Capaian tertinggi pada tahun 2016
27
BAB 4
PEMBAHASAN
Puskesmas Andalas
Indonesia sejak tahun 1956. Mulai tahun 1977 kegiatan imunisasi diperluas
menjadi PPI dalam rangka pencegahan penularan terhadap beberapa PD3I yaitu
28
Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Campak, Polio, Tetanus serta Hepatitis B.
posyandu dilakukan oleh perawat dan bidan serta dibantu oleh kader pada tiap
kelurahan.
ke tahun 2016. Hanya kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah dan Ganting Parak
ke tahun 2016. Namun peningkatan ini tidak menyuluruh untuk seluruh kelurahan
Sawahan, Andalas, Kubu Dalam Parak Karakah, dan Ganting Parak Gadang.
29
Capaian tertinggi masih terdapat pada Kelurahan Marapalam pada tahun 2015 dan
minggu ketiga setiap bulannya, dimana setiap bayi mulai usia 2 bulan akan
dilakukan imunisasi dasar dan lanjutan DPT dan bisa juga datang ke puskesmas
secara langsung.
Tabel 3.4 dapat dilihat bahwa terdapat penurunan rerata cakupan imunisasi
DT/Td tahun 2016 di wilayah kerja Puskesmas Andalas dibandingkan tahun 2015.
seluruh minggu pada Bulan November. Capaian tertinggi pada tahun 2016
dalam program BIAS. Program BIAS juga diadakan pada Bulan Agustus namun
Penyuluhan di sekolah juga diberikan pada guru dan siswa sebelum melakukan
30
ketiga pada BIAS, dimana imunisasi DT diberikan untuk siswa kelas 1 SD dan
Andalas
cakupan imunisasi DPT-HB-Hib 1 pada tahun 2016 mencapai target yaitu 95,2%.
Padang tahun 2016 adalah 95%. Hanya Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah
yang belum mencapai target 95%. Dinas Kesehatan Kota setiap tiga bulan akan
Kota Padang tahun 2016 adalah 92%. Hanya Kelurahan Kubu Dalam Parak
Karakah yang belum mencapai 92%. Dinas Kesehatan Kota setiap tiga bulan juga
Cakupan imunisasi DT/Td dalam program BIAS pada tahun 2016 tidak
Andalas hanya mencakup 71,6%. Cakupan imunisasi Td untuk siswa kelas 2 dan
3 SD adalah 74,3% dan 76,8%. Target capaian cakupan imunisasi DT/Td dari
Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2016 adalah 95%. Cakupan Puskesmas
Andalas untuk imunisasi DT dan Td ini juga berada dibawah rerata capaian
nasional tahun 2015 yang mencapai 85,8% dan 93,7%. Dinas Kesehatan Kota
31
akan menerima laporan dari pemegang program imunisasi setelah program BIAS
Andalas
mengalami kendala. Hal ini terkait dengan isu vaksin palsu yang membuat
menganggap hal itu dapat berdampak buruk pada anak mereka.. Selain isu vaksin
palsu, beberapa masyarakat masih ada yang tidak mempercayai manfaat imunisasi
mereka.
KIPI. KIPI yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Andalas biasanya adalah
kemerahan yang sedikit bengkak ditempat suntikan dan demam. Hal itu dianggap
sebagai keburukan dari imunisasi. Biasanya hal tersebut dapat hilang setelah 1 - 3
DPT. Jika KIPI yang ringan tersebut tidak membaik dalam jangka waktu tersebut
BIAS. Sekolah yang tidak mendukung tersebut beralasan bahwa orangtua siswa di
sekolah mereka ada yang tidak menyetujui imunisasi di sekolah. Guru di sekolah
tersebut tidak ingin dengan adanya imunisasi di sekolah mereka, orangtua akan
32
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
tahun 2013.
33
3. Kendala dalam imunisasi difteri adalah adanya isu vaksin palsu, masih
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
CDC, 2016. Diphtheria vaccination. Atlanta: Centers for Disease Control and
Prevention. http://www.cdc.gov/vaccines/vpd-vac/diphtheria/. Diakses 21
Februari 2017.
Dinkes Kota Padang, 2014. Laporan hasil imunisasi rutin bayi puskesmas tahun
2014. Padang: Dinas Kesehatan Kota Padang.
Dinkes Kota Padang, 2015. Laporan kasus difteri di Kota Padang pada tahun 2014
dan 2015. Padang: Dinas Kesehatan Kota Padang.
34
Hassan R, 2007. Buku kuliah II ilmu kesehatan anak. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 550-6.
IDAI, 2016. Jadwal imunisasi. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor NF, 2016. Nelson textbook of
pediatrics twentieth edition. Philadelphia: Elsevier. 1345-9.
Kresna NR, 2016. Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian difteri di Kota
Padang bulan Januari Maret tahun 2015. E-skripsi Universitas Andalas,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas.
Mukarami H, Phuong NM, Thang HV, Chau NV, Giao PN, Tho ND, 2010.
Epidemic diphtheria in Ho Chi Minh City Vietnam: a match case control
study to identify risk factors of incidence. Vaccine 28(51): 81416.
Ranuh IGNG, 2013. Beberapa catatan kesehatan anak. Jakarta: Sagung Seto.
White NJ, 2009. Diphteria. In: Cook GC, Zumla AI. Mansons tropical disease.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 1133-7.
WHO, 2016. Data incidence rate, annual WHO/UNICEF joint reporting form and
WHO regional offices reports 2016. Geneva: World Health Organization.
35