Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit difteri masih menjadi masalah kesehatan masyarakat terutama di

negara-negara berkembang. Difteri merupakan penyakit infeksi akut yang

disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae yang ditandai dengan

pembentukan membran pada faring serta toksin yang dapat menyebar ke dalam

aliran darah. Toksin difteri dapat menyebabkan miokarditis dan neuritis yang

berakibat fatal jika tidak ditangani dengan cepat. Komplikasi difteri paling berat

adalah kerusakan atau gagal jantung hingga kematian mendadak (Kliegman,

2016).

World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa jumlah kasus difteri

di dunia terjadi peningkatan dimulai dari tahun 2012 sampai 2014. Jumlah kasus

difteri di dunia tahun 2012 sebanyak 4.490 kasus dan tahun 2014 sebanyak 7.321

kasus. Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia dan pertama di Asia

Tenggara dengan 430 kasus difteri pada tahun 2014. Pada tahun sebelumnya,

Indonesia merupakan negara tertinggi kedua di dunia dengan kasus difteri yaitu

775 kasus (WHO, 2016).

Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI)

tahun 2015, terdapat 13 provinsi yang masih terdapat kasus difteri di wilayahnya.

Provinsi Sumatera Barat merupakan provinsi teratas di Indonesia yang terdapat

kasus difteri, dengan 110 kasus difteri. Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri di

Sumatera Barat terjadi karena peningkatan kasus yang besar dibandingkan tahun

1
2014 yang hanya sembilan kasus. Dari seluruh kasus difteri, sebesar 37% terdapat

pada anak yang tidak mendapatkan imunisasi (Kemenkes RI, 2015).

Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Padang dari tahun

2010 sampai tahun 2013 tidak terdapat kasus difteri di Kota Padang. Pada tahun

2014 terdapat sembilan kasus difteri di Kota Padang. Difteri di Kota Padang tahun

2015 melonjak menjadi 85 kasus dan menjadi yang terbanyak di Provinsi

Sumatera Barat. Dari 85 kasus difteri di Kota Padang, sepuluh diantaranya

terdapat di wilayah kerja Puskesmas Andalas (Dinkes Kota Padang, 2015). Hasil

penelitian Kresna (2016) melaporkan faktor paling dominan yang mempengaruhi

kejadian difteri di Kota Padang adalah status imunisasi Difteri Pertusis Tetanus

(DPT) yang tidak lengkap.

Penyakit difteri dapat dicegah dengan imunisasi sesuai dengan

Pengembangan Program Imunisasi (PPI). Sasaran program ini adalah bayi usia 2-

12 bulan untuk vaksin DPT sebagai imunisasi dasar. Pada anak usia 6-7 tahun

dilakukan dengan imunisasi booster Difteri Toksoid (DT/Td) (Ikatan Dokter Anak

Indonesia, 2011). Pada tahun 2014, Dinkes Kota Padang menyatakan cakupan

imunisasi DPT-Hepatitis B (HB)-1, DPT-HB-2, dan DPT-HB-3 adalah 56,9%,

59,4%, dan 61,1%. Cakupan ini masih dibawah target yang ditetapkan pada tahun

2014 yaitu sebanyak 90% (Dinkes Kota Padang, 2014). Berdasarkan uraian diatas,

penulis tertarik untuk mengetahui cakupan imunisasi difteri di wilayah kerja

Puskesmas Andalas Kota Padang.

2
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana pelaksanaan program imunisasi difteri di Puskesmas

Andalas?
1.2.2 Bagaimana capaian imunisasi difteri dalam program pengendalian dan

pencegahan penyakit di Puskesmas Andalas?


1.2.3 Apa kendala dan permasalahan imunisasi dalam upaya pencegahan

difteri di Puskesmas Andalas?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari makalah ini adalah memberikan gambaran dalam

pencegahan penyakit difteri dengan imunisasi difteri di Puskesmas Andalas.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui pelaksanaan program imunisasi difteri di

Puskesmas Andalas.
2. Untuk mengetahui capaian imunisasi difteri dalam program

pengendalian dan pencegahan penyakit di Puskesmas Andalas.


3. Untuk mengetahui kendala dan permasalahan imunisasi dalam upaya

pencegahan difteri di Puskesmas Andalas.


1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan makalah ini berupa tinjauan pustaka yang merujuk dari

berbagai literatur dan laporan Puskesmas Andalas, analisis, dan diskusi bersama

pemegang program imunisasi Puskemas Andalas.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Difteri


2.1.1 Definisi

3
Difteri merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi dan masih menjadi masalah kesehatan di beberapa negara di dunia.

Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheria.

Penyakit ini ditandai dengan terbentuknya eksudat yang berbentuk membran pada

tempat infeksi yang dapat menyebabkan kerusakan akibat eksotoksin pada organ

viseral dan sistem saraf (White, 2009). Eksotoksin yang diproduksi oleh bakteri

merupakan protein yang tidak tahan panas dan cahaya. Bakteri dapat

memproduksi toksin bila terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen

(Widoyono, 2011).

Gambar 2.1 Bakteri Corynebaterium diphtheriae (Widoyono, 2011)

2.1.2 Etiologi dan Patogenesis

Penyakit difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae. Difteri

berasal dari bahasa Yunani, diphtera = leather hide (kulit yang tersembunyi).

Penyakit ini mempunyai 2 bentuk:

1. Tipe respirasi, yang disebabkan oleh strain bakteri yang memproduksi

toksin (toksigenik).

2. Tipe kutan, yang disebabkan oleh strain toksigenik maupun yang nontoksigenik

(Widoyono, 2011).

Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia, baik sebagai penderita

maupun sebagai carier. Difteri ditularkan dengan kontak langsung melalui batuk,

bersin, berbicara, kontak tidak langsung melalui debu, baju, buku, ataupun mainan

4
yang terkontaminasi. Kontak tidak langsung ini dapat terjadi karena basil ini

cukup resisten terhadap udara panas, dingin, kering, dan tahan hidup pada debu

dan muntah selama 6 bulan (White, 2009).

Corynebacterium diphteriae awalnya masuk ke dalam hidung atau mulut,

kemudian tumbuh pada mukosa saluran nafas bagian atas terutama tonsil. Selain

itu kulit, konjungtiva, genitalia, mata dan telinga tengah juga dapat menjadi

tempat invasi. Selanjutnya kuman akan memproduksi toksin yang diabsorpsi

melewati membran sel mukosa, yang menyebabkan terjadinya peradangan dan

destruksi sel epitel diikuti oleh nekrosis (Kliegman, 2016).

Toksin yang terbentuk selanjutnya masuk ke dalam pembuluh darah

menyebar ke seluruh tubuh menimbulkan kerusakan jantung, ginjal, dan jaringan

saraf. Apabila mengenai jantung menimbulkan miokarditis, dan gagal jantung.

Kerusakan jaringan saraf akan menimbulkan paralisis terutama pada palatum

mole, otot mata dan ekstremitas (Kliegman, 2016).

Pada keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi kuman ini akan semakin

meningkat, sehingga daerah nekrosis juga bertambah luas dan dalam. Hal ini

dapat menyebabkan terbentuknya fibrous exsudate atau pseudomembran di tonsil,

faring, laring, dan kadang kadang dapat meluas sampai ke trakea dan bronkus.

Pseudomembran ini terdiri dari jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit

dan eritrosit, berwarna abu-abu sampai hitam. Membran ini sukar terkelupas, jika

dipaksa akan menimbulkan perdarahan. Lesi ini juga bisa mengenai kulit atau

mukosa organ kelamin, kemudian diikuti dengan edema jaringan lunak dibawah

mukosanya. Keadaan ini dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas sehingga

butuh penanganan segera (Kliegman, 2016).

5
Toksin difteri dapat menimbukan pembesaran kelenjar getah bening

servikal dan demam pada muka. Kombinasi antara limfadenopati servikal dan

edema muka menimbulkan perubahan wajah yang disebut Bulls neck appearance.

Toksin difteri mempengaruhi semua sel tubuh manusia, karena eksotoksin yang

terbentuk akan diserap kedalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

Hal ini menyebabkan kerusakan jaringan di organ-organ tubuh berupa degenerasi,

infiltrasi lemak dan nekrosis terutama pada miokardium (myocarditis), jaringan

saraf perifer (demyelination) dan ginjal (acute tubular necrosis) (White, 2009).

Toksin difteri setelah terfiksasi dalam sel, terdapat masa inkubasi yang

bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Manifestasi klinis pada saluran

pernapasan atas biasanya timbul setelah 2-5 hari setelah bakteri mulai

menginfeksi. Miokarditis biasanya timbul dalam 10 14 hari, manifestasi saraf

pada umumnya terjadi setelah 3 7 minggu (Widoyono, 2011).

2.1.3 Manifestasi Klinis


Gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala lokal serta gejala
akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul berupa

demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga

penderia tampak sangat lemah sekali. Gejala fokal biasanya disertai dengan gejala

khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak

napas dengan serak dan stridor, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung

kepada jaringan yang terkena seperti miokarditis, paralisis jaringan saraf, atau

nefritis (Kliegman, 2016).


Manifestasi klinis penyakit difteri dibagi sesuai dengan tempat infeksinya,

yaitu:
1. Difteri Nasal Anterior

6
Difteri hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala

pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur

menjadi serosa dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada hidung dan

bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih keabuan pada daerah septum

nasal. Absorb sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga

lama untuk terdiagnosis (Hassan, 2007).


2. Difteri Tonsil dan Faring
Difteri tonsil dan faring merupakan difteri yang paling sering dijumpai,

awalnya tersamarkan oleh malaise, demam ringan, dan nyeri tenggorok ringan.

Dalam 12 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu;

besar dan luasnya bervariasi sesuai dengan status imun hospes. Membran pada

awalnya tipis, putih dan terlokalisir, ketika penyakit memburuk membran ini

bergabung dan meluas dari tonsil ke palatum lunak atau keras sekitarnya, dinding

faring, laring dan trakea (Hassan, 2007).


Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stridor inspirasi

walaupun belum terjadi sumbatan laring. Hal ini disebabkan oleh paralisis

palatum mole. Pada pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar hemoglobin

dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin,

sedangkan pada urin mungkin dapat ditemukan albuminuria ringan (Hassan,

2007).
3. Difteri Laring dan Trakea
Difteri laring pada umumnya merupakan perluasan difteri faring, jarang

sekali dijumpai berdiri sendiri. Gejala klinis difteri laring yaitu gangguan jalan

napas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat dapat

timbul sesak nafas hebat, sianosis, danretraksi dinding dada. Pembesaran kelenjar

regional akan menyebabkan bullneck. Pada pemeriksaan laring tampak

7
kemerahan, sembab, banyak secret dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran

(Hassan, 2007).
Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,

supraklavikular, intrakostal dan epigastrial. Bila terjadi pelepasan membran yang

menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran

dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Difteri jenis ini merupakan difteri

paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas

(Kliegman, 2016).

4. Difteri Kulit
Merupakan keadaan yang sangat jarang terjadi, biasanya kelainan berupa

eritema, ulkus yang tidak menyembuh, superfisial dengan membran coklat keabu-

abuan. Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus

atau stafilokokus. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari, luka

goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder. Tungkai

lebih sering terkena daripada badan atau kepala (Kliegman, 2016).

2.1.4 Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan ditemukannya Corynebacterium diphtheriae pada

preparat langsung pada biakan. Untuk pengobatan tidak dibenarkan menunggu

hasil pemeriksaan preparat lansung ataupun biakan, tetapi bila secara klinis

terdapat dugaan yang kuat adanya difteri maka penderita harus diobati sebagai

penderita difteri (Hassan, 2007).


Diagnosis dini sangat penting karena keterlambatan pemberian antiotoksin

sangat mempengaruhi prognosis penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan

berdasarkan manifestasi klinisnya yang khas dan pemeriksaan laboratorium,

karena keterlambatan diagnosis dapat menyebabkan penyakit bertambah lanjut,

berat, dan fatal (Hassan, 2007).

8
Adanya membran di tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk

difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran.

Membran pada difteri berbeda dengan membran penyakit lain, yaitu warna

membran pada difteri lebih gelap, lebih keabuabuan disertai lebih banyak fibrin

yang melekat dengan mukosa dibawahnya, dan apabila diangkat terjadi

perdarahan (Kliegman, 2016).


Bila dicurigai harus diupayakan isolasi organisme dari lesi setempat.

Dianjurkan untuk mengambil spesimen (swab) untuk biakan nasofaring dan faring
karena memungkinkan hasil positif 20% lebih tinggi bila dua biakan dibanding

satu. Bila waktu pengangkutan ke laboratorium lebih dari 24 jam, apusan harus

ditempatkan dalam medium pengangkutan. Spesimen diinokulasi pada agar

miring Loeffler atau Pai, piring agar sistin telurit dan piring agar darah domba 5%

dan pengeraman dilakukan semalaman pada suhu 350C. Pertumbuhan pada agar

miring kemudian diwarnai dengan biru metilen dan dilihat bentuk

Corynebacterium diphtheriae yang morfologinya khas (White, 2009).

2.1.5 Pengobatan Penyakit Difteri


Perawatan yang baik, istirahat total di tempat tidur. Pasien dirawat di

ruang isolasi untuk menghindari kontak dengan orang sehat. Pasien diberikan

makanan lunak atau cair bergantung pada keadaan penderita. Kontrol rekam listrik

jantung 2-3 kali seminggu untuk mendeteksi miokarditis secara dini. Bila terjadi

paralisis dilakukan fisioterapi pasif dan diikuti fisioterapi pasif bila keadaan

membaik (Hassan, 2007).


Pengobatan spesifik terdiri dari pemberian antitoksin dan terapi antibiotik.

Antitoksin diberikan sedini mungkin begitu diagnosis secara klinis ditegakkan,

tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan bakterologis. Antitoksin diberikan untuk

menetralkan toksin dalam sirkulasi, tetapi tidak mempunyai efek pada toksin yang

9
terikat pada jaringan sehingga keterlambatan pemberian antitoksin dapat

meningkatan resiko kematian (Hassan, 2007).


Difteria nasal ringan diberikan Diphtheria antitoxin (DAT) 20.000-40.000

U/ hari selama 2 hari. Sebelumnya telah dilakukan uji kulit terlebih dahulu. Difteri

nasal sedang diberikan 40.000-60.000 U secara IV. Difteri berat diberikan 80.000

- 120.000 U secara IV (Hassan, 2007).


Corynebacterium diphtheriae rentan terhadap beberapa antibiotik,

termasuk penisilin dan eritromisin. Antibiotik terutama diberikan untuk mencegah

pasien menularkan penyakit. Difteri saluran nafas diberikan Penisilin 50.000

U/kgBB/hari selama 3 hari bebas panas, Aquous crystalline 100.000-150.000

U/kg/hari dibagi 4 dosis selama 14 hari, prokain 25.000-50.000 U/kg/hari dibagi 2

dosis selama 14 hari ataau eritromisin 40-50 mg/kg per oral atau parenteral selama

14 hari (Hassan, 2007).

2.1.6 Pencegahan Difteri

Pencegahan penyakit difteri dapat dilakukan melalui pemberian vaksin

kombinasi, yaitu DPT, DT, dan dT (difteri untuk anak usia diatas 7 tahun dan

orang dewasa). Sesuai peraturan pemberian imunisasi, vaksinasi dasar DPT pada

bayi diberikan tiga kali yaitu pada umur 2, 3, dan 4 bulan dan booster pertama

pada usia 18 bulan atau satu tahun setelah vaksinasi dasar ketiga. Booster kedua

pada usia 6 tahun sebelum masuk sekolah dasar (SD). Td untuk anak besar dan

orang dewasa sudah ada vaksin kombinasi empat macam untuk bayi dan anak

sebelum usia 6 tahun yaitu DTaP dengan hemofilus influenza tipe B (Hib)

yang mengurangi jumlah suntikan, meringankan biaya, dan mengurangi

kunjungan untuk vaksinasi (Ranuh, 2013).

Imunisasi dapat memberikan kadar antitoksin protektif konstan dan dapat

10
mengurangi koloni Corynebacterium diphtheriae. Penderita yang sudah terkena

difteri harus diisolasi, pada pemeriksaan sediaan langsung tidak terdapat lagi

Corynebacterium diphteriae lagi baru boleh dipulangkan. Langkah selanjutnya

adalah pencarian dan kemudian mengobati karier difteri (Hassan, 2007).

2.2 Imunisasi

2.2.1 Definisi Imunisasi

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI)

No 42 Tahun 2013, ada beberapa definisi yaitu,

Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan

kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila

suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya

mengalami sakit ringan.


Vaksin adalah antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati, masih

hidup tapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, yang telah diolah,

berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid, protein

rekombinan yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan

kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu.


Penyelenggaraan Imunisasi adalah serangkaian kegiatan perencanaan,

pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan imunisasi.

2.2.2 Imunisasi Difteri

Menurut Center for Disease Control and Prevention (CDC) ada empat

kombinasi vaksin yang dignakan untuk mencegah penyakit difteri, tetanus,

pertusis: Diphteria-Tetanus-acellular Pertusis vaccine (DTaP), Tetanus-diphteria-

acelluar Pertusis vaccine (Tdap), Diphteria-Tetanus vaccine (DT), dan Tetanus-

11
diphteria vaccine (Td). DTaP dan DT diberikan kepada anak-anak usia dibawah 7

tahun, sedangkan Tdap dan Td diberian kepada anak-anak diatas 7 tahun dan

untuk orang dewasa. Anak-anak harus mendapatkan 5 dosis DTap, satu dosis

disetiap usia: 2, 4, 6, and 15-18 bulan and 4-6 tahun (CDC, 2015).
Vaksin DPT dibedakan menjadi dua, yaitu DTwP dan DTaP berdasaran

perbedaan pada vaksin tetanus. Diphtheria-Tetanus-whole cell-Pertusis (DTwP)

mengandung suspensi kuman B. pertusis yang telah mati, sedangkan DTaP tidak

mengandung seluruh komponen kuman B. pertusis melainkan hanya beberapa

komponen yang berguna untuk patogenesis dan memicu pembentukan antibodi

(Ranuh, 2013).
Pengembangan Program Imunisasi (PPI) mewajibkan pemberian DPT

untuk dosis pertama pada usia 2-4 bulan, pemberian DPT ke-2 pada usia 3-5

bulan, dan pemberian DPT ke-3 pada usia 4-6 bulan dengan interval antara

pemberian pertama, kedua, ketiga minimal 4 minggu. Pemberian booster

diberikan saat anak masuk sekolah dasar kelas I (DT) dan kelas II, III (Td) dengan

program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). Kandungan toksoid difter dalam

vaksin DPT dan DT adalah 20 Lf. Vaksin Td memiliki kandungan toksoid difteri

dengan dosis lebih rendah yaitu difteri 2 Lf dengan ukuran tiap dosisnya sama 0,5

ml. (Ranuh, 2013).


Beberapa penelitian menunjukkan status imunisasi merupakan faktor

risiko kejadian difteri. Individu yang tidak diimunisasi (DPT/DT) berisiko lebih

tinggi untuk menderita difteri dibandingkan dengan yang diimunisasi (Mukarami,

2010) dan orang yang diimunisasi tidak lengkap lebih berisiko untuk menderita

difteri dibanding yang diimunisasi dengan lengkap (Hassan, 2007).


Imunisasi DPT penting untuk mengurangi risiko individu terkena difteri.

Individu yang tidak pernah diimunisasi maupun yang pernah diimunisasi namun

12
tidak lengkap, merupakan faktor risiko untuk terjadinya difteri. Penelitian yang

telah dilakukan oleh Mukarami (2010) yang menyebutkan bahwa individu yang

tidak pernah imunisasi DPT/DT berisiko untuk terkena difteri 9,9 kali

dibandingkan dengan individu yang telah diimunisasi DPT/DT sebanyak 3 kali.

Hasil penelitian ini juga didukung dengan penelitian lainnya yang menyatakan

bahwa individu dengan status imunisasi DPT/DT tidak lengkap memiliki risiko

lebih tinggi untuk terkena difteri dibandingkan anak dengan status imunisasi

lengkap (Mukarami, 2010).


Meskipun demikian, kegagalan imunisasi tak dapat dielakkan. Kegagalan

imunisasi pada 7,1 % dari anak yang sudah mendapat imunisasi, kemungkinan

disebabkan karena imunisasi yang tidak lengkap, cara pemberian vaksin yang

tidak tepat, dan vaksin yang digunakan tidak poten lagi karena vaksin sudah

kadaluarsa atau terputus rantai penyusunnya. Penting diperhatikan penyimpanan

dan transportasi vaksin harus pada temperatur antara 2C - 8C atau 4C, vaksin

tersebut harus dihindarkan dari sinar matahari (Hassan, 2007).

2.2.3 Cara Melakukan Imunisasi DPT

1. Persiapan (Puskesmas Andalas, 2016)


a) Cuci tangan
b) Periksa Vaccine Vial Monitor (VVM) dan tanggal kadaluarsa

vaksin
c) Kocok vial vaksin pastikan tidak ada penggumpalan atau partikel

hilang ada setelah dikocok


d) Pastikan suhu vaksin sama (2 - 80C)
e) Amati vial pastikan tidak retak
f) Sedot vaksin dalam spuit 1 cc
2. Pelaksanaan (Puskesmas Andalas, 2016)
a) Bersihkan kulit dengan kapas kering dan air matang.
b) Tunggu hingga kering.

13
c) Suntikkan vaksin DPT dosis 0,5 cc di mid-anterolateral paha kanan

secara intramuskular.
d) Setelah vaksin masuk, jarum dikeluarkan.
e) Pada tempat bekas lokasi suntikan, kemudian ditekan dengan kapas

baru yang kering. Jika ada perdarahan tetap ditekan pada lokasi

suntikan hingga darah berhenti.


3. Penyelesaian (Puskesmas Andalas, 2016)
a) Semua alat suntik setelah digunakan dimasukkan ke dalam kotak

pengaman tanpa menutup kembali tutup jarumnya.


b) Cuci tangan.

Gambar 2.2 Vaksin DPT-HB-Hib (Biofarma, 2015)


2.2.4 Cakupan Imunisasi DPT

Pada tahun 2012, cakupan imunisasi DPT-3 di negara ASEAN terlihat

negara Indonesia adalah negara yang menduduki cakupan paling rendah

dibandingkan negara lain yaitu sebesar 63%. Negara Malaysia dan Srilanka

memiliki cakupan imunisasi paling tinggi yaitu sebesar 99%. Cakupan

imunisasi dasar lengkap di Indonesia tidak mengalami kenaikan yang cukup

pesat, bahkan pada tahun 2012 dan 2014 menurun hingga 86,9 %. Pada tahun

2011 cakupan imunisasi dasar lengkap mencapai 93,3% (Kemenkes RI, 2015).

Cakupan imunisasi dasar lengkap Provinsi Sumatera Barat juga rendah

pada tahun 2012 dan 2014 yaitu mencapai 77,2% dan 79,1%. Jika dilihat pada

tahun 2011 terjadi penurunan cakupan imunisasi dasar lengkap karena cakupan

pada tahun itu mencapai 85,3%. Cakupan imunisasi DPT/HB-3 di Indonesia

mengalami penurunan dimulai pada tahun 2012 hingga 2014 yaitu 100%

14
sampai menjadi 49,7%. Di Provinsi Sumatera Barat, cakupan DPT/HB3 juga

menurun pada tahun 2012 dan 2014 yaitu sebesar 84,9% dan 84,0% dari

tahun 2011 yaitu sebesar 87,1%. Target DPT/HB-3 adalah 90% (Kemenkes RI,

2015).

2.3 Jadwal Imunisasi Program Nasional


Program imunisasi nasional dikenal sebagai program PPI yang

dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1977. Program ini berguna untuk mencapai

komitmen international yaitu Universal Child Imunizatian pada akhir 1982.

Imunisasi yang termasuk dalam PPI adalah BCG, Polio, DPT, Campak, dan

Hepatitis B (Kemenkes RI, 2015).

Tabel 2.1 Jadwal Program Imunisasi Nasional


Jenis vaksin Umur sebelum 1 tahun Sekolah Dasar (BIAS) *Kelas
Lahir 2 3 4 9 1 2 3 6

Hepatitis B X
Polio (OPV) X
BCG X
DPT/Hepatitis B X X X
Campak X X
DT X X X X
(Dikutip dari: Permenkes RI No 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Imunisasi)

Tabel 2.2 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar


Umur Jenis Imunisasi
0 bulan Hepatitis B0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT-HB-Hib1, Polio2
3 bulan DPT-HB-Hib2, Polio 3
4 bulan DPT-HB-Hib 3, Polio 4
9 bulan Campak
(Dikutip dari: Permenkes RI No 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Imunisasi)

15
Bayi yang lahir di institusi rumah sakit, klinik, dan bidan praktik

swasta, imunisasi BCG dan Polio 1 diberikan sebelum dipulangkan. Bayi yang

telah mendapatkan imunisasi DPT-HB-Hib 1, DPT-HB-Hib 2, DPT-HB-Hib 3,

dinyatakan mempunyai status imunisasi T2.

Tabel 2.3 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Bawah Tiga Tahun
Umur Jenis Imunisasi
18 bulan DPT-HB-Hib
24 bulan Campak
(Dikutip dari: Permenkes RI No 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan

Imunisasi)

Tabel 2.4 Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Usia Sekolah


Sasaran Jenis Imunisasi Waktu Pelaksanaan
Kelas 1 SD Campak Agustus
DT November
Kelas 2 SD Td November
Kelas 3 SD Td November
(Dikutip dari: Permenkes RI No 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan

Imunisasi)
Batita yang telah mendapatkan imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib

dinyatakan mempunyai status imunisasi T3. Anak usia sekolah dasar yang telah

mendapatkan imunisasi DT dan Td dinyatakan mempunyai status imunisasi T4

dan T5.

Selain jadwal imunisasi berdasarkan Permenkes RI, jadwal imunisasi

anak usia 0-18 tahun juga dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia

(IDAI) pada tahun 2016. IDAI merekomendasikan jadwal imunisasi anak

sebagai berikut:

16
Gambar 2.3 Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 18 Tahun (IDAI, 2016)

2.4 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) adalah kejadian medik yang

berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek simpang,

toksisitas, reaksi sensitifitas, efek farmakologis, kesalahan program, koinsidens,

reaksi suntikan, dan hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan (Permenkes,

2013). Klasifikasi lapangan menurut WHO untuk petugas kesehatan di lapangan

untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu kesalahan

program, reaksi suntikan, reaksi vaksin, koinsiden, dan sebab tidak diketahui.

17
Klasifikasi lapangan ini dapat dipakai untuk pencatatan dan pelaporan KIPI

(IDAI, 2011).

a. Kesalahan program / teknik pelaksanaan (programmatic errors)

Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan

teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,

pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat

terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:

dosis antigen (terlalu banyak)

lokasi dan cara menyuntik

sterilisasi semprit dan jarum suntik

jarum bekas pakai

tindakan aseptik dan antiseptik

kontaminasi vaksin dan peralatan suntik

penyimpanan vaksin

pemakaian sisa vaksin

jenis dan jumlah pelarut vaksin

tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian,

kontraindikasi)

Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila

terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.

Upaya untuk mencegah program error (IDAI, 2011):

- alat suntik steril untuk setiap suntikan

- lemari pendingin tidak boleh ada obat lain selain vaksin

18
- pelatihan vaksinasi dan supervisi yang baik

- programmatic error dilacak, agar tidak terulang kesalahan yang sama

b. Reaksi suntikan

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik

langsung maupun tidak langsung dan harus dicatat sebagai reaksi KIPI.

Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada

tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa

takut, pusing, mual, sampai sinkop. Reaksi ini tidak berhubungan dengan

kandungan yang terdapat pada vaksin, sering terjadi pd vaksinasi masal yaitu

(IDAI, 2011):

Pingsan / Syncope

Hiperventilasi akibat ketakutan

Beberapa anak takut jarum, gemetar, histeria

Penting penjelasan dan penenangan

Pencegahan KIPI Reaksi suntikan dengan:

Teknik penyuntikan yang benar

Suasana tempat penyuntikan yang nyaman

Hindari stress saat anak menunggu

Hindari trauma akibat jatuh/ posisi sebaiknya duduk.

Atasi rasa takut yang muncul pada anak yang lebih besar

c. Induksi vaksin (reaksi vaksin)

19
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat

diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara

klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat

seperti reaksi anafilaktik sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini

sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian

tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus,

atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan

interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan

ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi (IDAI, 2011).

Reaksi vaksin terdiri atas:

1. Reaksi lokal:

Rasa sakit di tempat suntikan

Bengkak kemerahan pada suntikan DPT sekitar 11 - 38%

2. Reaksi Sistemik:

Iritabel, malaise, gejala sistemik 0,5 - 10%

Demam >38oC sekitar 10 50%

3. Reaksi vaksin berat:

Kejang

Hypotonic hyporesponsive episode/HHE

Persistent inconsolable screaming bersifat self-imiting dan tidak

merupakan permasalahan jangka panjang

Anafilaksis, potential menjadi fatal tetapi dapat disembuhan

Ensefalopati akibat imunisasi DPT

Pencegahan terhadap reaksi vaksin:

20
- Perhatikan kontraindikasi

- Vaksin hidup tidak diberikan kepada anak dengan defisiensi imunitas

- Orang tua diajar menangani reaksi vaksin yang ringan dan dianjurkan

segera kembali apabila ada reaksi yang tidak diinginkan

- Parasetamol dapat diberikan 4x sehari untuk mengurangi gejala demam

dan rasa sakit

- Mengenal dan mampu mengatasi reaksi anafilaksis

- Lainnya disesuaikan dengan reaksi ringan/berat yang terjadi atau harus

dirujuk ke RS dengan fasilitas lengkap

d. Faktor kebetulan (koinsiden)

Kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah imunisasi.

Indikator faktor kebetulan ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama saat

bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakteristik serupa tetapi

tidak mendapat imunisasi.

e. Penyebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan

ke dalam salah satu penyebab. Dibutuhkan kelengkapan informasi lebih lanjut

tentang reaksi KIPI yang terjadi.

21
BAB 3
ANALISIS SITUASI

3.1 Kondisi Geografis Wilayah Kerja Puskesmas Andalas

Wilayah kerja Puskesmas Andalas terletak di Kecamatan Padang Timur,

Kota Padang yang terdiri dari sepuluh kelurahan dengan luas wilayah +8,15 km2.

Sepuluh kelurahan tersebut terdiri atas:

a. Kelurahan Sawahan

b. Kelurahan Jati Baru

c. Kelurahan Jati

d. Kelurahan Sawahan Timur

e. Kelurahan Kubu Marapalam

f. Kelurahan Andalas

g. Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah

h. Kelurahan Parak Gadang Timur

i. Kelurahan Simpang Haru

j. Kelurahan Ganting Parak Gadang

Daerah ini ter terletak -0,939 LS/LU dan 100.38428 BT, dengan batas-

batas sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Padang Utara

b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Lubuk Begalung

c. Sebelah Barat berbatas dengan Kecamatan Padang Barat

d. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Padang Selatan

24
Gambar 3.1 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Tahun 2016 (Puskesmas

Andalas, 2016)

3.2 Kondisi Demografis Wilayah Kerja Puskesmas Andalas


Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Padang Timur Tahun 2016

No Kelurahan Laki-laki Perempuan Jumlah


1 Sawahan 2.595 2.704 5.299
2 Jati Baru 2.840 3.859 6.699
3 Jati 5.162 4.893 10.055
4 Sawahan Timur 2.321 2.204 4.525
5 Simpang Haru 3.049 3.044 6.093
6 Andalas 5.577 5.533 11.110
7 Marapalam 7.184 6.914 14.098
8 Kubu Dalam Parak Karakah 4.417 4.455 8.872
9 Parak Gadang Timur 2.375 2.333 4.708
10 Ganting Parak Gadang 5.518 5.594 11.112
Jumlah 41.038 41.533 82.571
(Dikutip dari: Puskesmas Andalas, 2016).

Berdasarkan data di atas, jumlah penduduk Kecamatan Padang Timur

adalah sebanyak 82.571 jiwa. Penduduk terbanyak berada di Kelurahan

Marapalam, penduduk paling sedikit berada di Kelurahan Sawahan Timur.

25
3.3 Cakupan Imunisasi Difteri di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas

Tabel 3.2 Cakupan Imunisasi DPT-HB-Hib 1 Puskesmas Andalas Tahun 2016 dan
2015
No Kelurahan Tahun 2016 Tahun 2015
1 Sawahan 95,9% 95,9%
2 Jati Baru 95,3% 90,7%
3 Jati 95,8% 95,3%
4 Sawahan Timur 95,3% 89,5%
5 Simpang Haru 95,5% 95,5%
6 Marapalam 96,4% 96,4%
7 Andalas 95,1% 95,1%
8 Kubu Dalam Parak Karakah 92,9% 95,5%
9 Parak Gadang Timur 95,1% 95,1%
10 Ganting Parak Gadang 95,2% 95,7%
Capaian Puskesmas Andalas 95,2% 94,5%
(Dikutip dari: Puskesmas Andalas, 2016).

Berdasarkan laporan tahunan Puskesmas Andalas tahun 2016, pada

umumnya didapatkan peningkatan cakupan imunisasi DPT-HB-Hib 1 pada

Kecamatan Padang Timur kecuali Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah dan

Kelurahan Ganting Parak Gadang. Capaian tertinggi pada tahun 2016 terdapat

pada Kelurahan Marapalam yaitu 96,4% (Puskesmas Andalas, 2016).

Tabel 3.3 Cakupan Imunisasi DPT-HB-Hib 3 Puskesmas Andalas tahun 2016 dan
2015
No Kelurahan Tahun 2016 Tahun 2015
1 Sawahan 92,8% 93,1%
2 Jati Baru 92,5% 88,1%
3 Jati 93,7% 92,6%
4 Sawahan Timur 93% 88,3%
5 Simpang Haru 93,2% 92,1%
6 Marapalam 93,8% 93,8%
7 Andalas 92,2% 92,7%
8 Kubu Dalam Parak Karakah 90,6% 90,9%

26
9 Parak Gadang Timur 92,7% 92,3%
10 Ganting Parak Gadang 92,3% 92,3%
Capaian Puskesmas Andalas 92,7% 91,6%
(Dikutip dari: Puskesmas Andalas, 2016)

Berdasarkan laporan tahunan Puskesmas Andalas tahun 2016, terdapat

peningkatan rerata cakupan imunisasi DPT-HB-Hib 3 pada Kecamatan Padang

Timur dibandingkan tahun 2015. Kelurahan Sawahan, Andalas, dan Kubu Dalam

Parak Karakah mengalami penurunan cakupan imunisasi DPT-HB-Hib 3

dibanding tahun sebelumnya. Capaian tertinggi pada tahun 2016 terdapat pada

Kelurahan Marapalam yaitu 93,8% (Puskesmas Andalas, 2016).

Tabel 3.4 Cakupan Imunisasi DT atau Td Puskesmas Andalas tahun 2016 dan
2015
No Sasaran DT/Td 2016 DT/Td 2015
1 Kelas 1 SD 71,6% 78,2%
2 Kelas 2 SD 74,3% 77,3%
3 Kelas 3 SD 76,8% 92,6%
(Dikutip dari: Puskesmas Andalas, 2016)

Berdasarkan laporan tahunan Puskesmas Andalas tahun 2016, terdapat

penurunan rerata cakupan imunisasi DT/Td pada Kecamatan Padang Timur

dibandingkan tahun 2015. Seluruh kelas 1, 2, dan 3 SD yang menjadi sasaran

imunisasi menurun dibandingkan tahun 2015. Capaian tertinggi pada tahun 2016

terdapat pada siswa kelas 3 SD yaitu 76,8% (Puskesmas Andalas, 2016).

27
BAB 4

PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Pelaksanaan Program Imunisasi di Wilayah Kerja

Puskesmas Andalas

Program Imunisasi merupakan suatu program pencegahan dan

pemberantasan penyakit dibawah program usaha kesehatan masyarakat esensial.

Menurut Permenkes RI No. 42 Tahun 2013, kegiatan imunisasi diselenggarakan di

Indonesia sejak tahun 1956. Mulai tahun 1977 kegiatan imunisasi diperluas

menjadi PPI dalam rangka pencegahan penularan terhadap beberapa PD3I yaitu

28
Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Campak, Polio, Tetanus serta Hepatitis B.

Pelaksanaan imunisasi di wilayah kerja Puskesmas Andalas dilakukan di 86

posyandu, 8 puskesmas pembantu, sekolah dasar/sederajat, unit pelayanan swasta,

dan Puskesmas Andalas.

Berdasarkan Permenkes RI No.42 tahun 2013, imunisasi dilakukan oleh

dokter atau dokter spesialis, namun dokter di puskesmas dapat mendelegasikan

kewenangan pelayanan imunisasi kepada bidan dan perawat sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan imunisasi wajib sesuai

program pemerintah. Dari hasil wawancara diketahui bahwa pemegang program

imunisasi di Puskesmas Andalas adalah seorang bidan. Pelaksana pelayanan

posyandu dilakukan oleh perawat dan bidan serta dibantu oleh kader pada tiap

kelurahan.

Berdasarkan tabel 3.2 dapat dilihat bahwa cakupan imunisasi DPT-HB-Hib

1 menunjukkan peningkatan rerata di wilayah Puskesmas Andalas dari tahun 2015

ke tahun 2016. Hanya kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah dan Ganting Parak

Gadang yang mengalami penurunan cakupan imunisasi dibandingkan tahun

sebelumnya. Capaian tertinggi terdapat pada Kelurahan Marapalam pada tahun

2015 dan 2016, yaitu 96,4%.

Pada tabel 3.3 terlihat bahwa cakupan imunisasi DPT-HB-Hib 3

menunjukkan peningkatan rerata di wilayah Puskesmas Andalas dari tahun 2015

ke tahun 2016. Namun peningkatan ini tidak menyuluruh untuk seluruh kelurahan

di Padang Timur. Terdapat empat kelurahan yang mengalami penurunan cakupan

imunisasi DPT-HB-Hib 3 dibandingkan tahun sebelumnya yaitu Kelurahan

Sawahan, Andalas, Kubu Dalam Parak Karakah, dan Ganting Parak Gadang.

29
Capaian tertinggi masih terdapat pada Kelurahan Marapalam pada tahun 2015 dan

2016, yaitu 93,8%.

Berdasarkan diskusi dengan pemegang program, untuk menjalankan

program imunisasi DPT-HB-Hib dilakukan penyuluhan di posyandu saat turun ke

lapangan, lalu bersama kader melakukan penyuluhan dan imunisasi ke rumah-

rumah warga. Pelaksanaan posyandu dilakukan pada minggu pertama hingga

minggu ketiga setiap bulannya, dimana setiap bayi mulai usia 2 bulan akan

dilakukan imunisasi dasar dan lanjutan DPT dan bisa juga datang ke puskesmas

secara langsung.

Tabel 3.4 dapat dilihat bahwa terdapat penurunan rerata cakupan imunisasi

DT/Td tahun 2016 di wilayah kerja Puskesmas Andalas dibandingkan tahun 2015.

Seluruh kelas 1, 2, dan 3 SD yang menjadi sasaran imunisasi menurun

dibandingkan tahun sebelumnya. Pelaksanaan imunisasi DT/Td dilakukan dalam

seluruh minggu pada Bulan November. Capaian tertinggi pada tahun 2016

terdapat pada siswa kelas 3 SD yaitu 76,8%.

Berdasarkan diskusi dengan pemegang program, untuk menjalankan

program imunisasi DT dan Td dilakukan pada bulan November setiap tahunnya

dalam program BIAS. Program BIAS juga diadakan pada Bulan Agustus namun

bukan untuk imunisasi DT dan Td, melainkan untuk imunisasi campak.

Penyuluhan di sekolah juga diberikan pada guru dan siswa sebelum melakukan

imunisasi. Sebelum dapat turun ke sekolah, pihak Puskesmas Andalas harus

terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pihak sekolah untuk melakukan

imunisasi. Pelaksanaan imunisasi dilakukan pada minggu pertama hingga minggu

30
ketiga pada BIAS, dimana imunisasi DT diberikan untuk siswa kelas 1 SD dan

imunisasi Td diberikan untuk siswa kelas 2 dan 3 SD.

4.2 Gambaran Capaian Imunisasi Difteri di Wilayah Kerja Puskesmas

Andalas

Berdasarkan laporan tahunan Puskesmas Andalas pada tahun 2016,

cakupan imunisasi DPT-HB-Hib 1 pada tahun 2016 mencapai target yaitu 95,2%.

Target capaian cakupan imunisasi DPT-HB-Hib 1 dari Dinas Kesehatan Kota

Padang tahun 2016 adalah 95%. Hanya Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah

yang belum mencapai target 95%. Dinas Kesehatan Kota setiap tiga bulan akan

menerima laporan dari pemegang program untuk dilakukan evaluasi kegiatan

yang telah dilakukan pemegang program imunisasi.

Cakupan imunisasi DPT-HB-Hib 3 pada tahun 2016 mencapai target yaitu

92,7%. Target capaian cakupan imunisasi DPT-HB-Hib 3 dari Dinas Kesehatan

Kota Padang tahun 2016 adalah 92%. Hanya Kelurahan Kubu Dalam Parak

Karakah yang belum mencapai 92%. Dinas Kesehatan Kota setiap tiga bulan juga

akan mengevaluasi cakupan imunisasi DPT-HB-Hib 3 dari setiap puskesmas yang

melaporkan perkembangan capaian imunisasi di wilayah kerjanya.

Cakupan imunisasi DT/Td dalam program BIAS pada tahun 2016 tidak

mencapai target. Imunisasi DT pada siswa kelas 1 SD di wilayah kerja Puskesmas

Andalas hanya mencakup 71,6%. Cakupan imunisasi Td untuk siswa kelas 2 dan

3 SD adalah 74,3% dan 76,8%. Target capaian cakupan imunisasi DT/Td dari

Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2016 adalah 95%. Cakupan Puskesmas

Andalas untuk imunisasi DT dan Td ini juga berada dibawah rerata capaian

nasional tahun 2015 yang mencapai 85,8% dan 93,7%. Dinas Kesehatan Kota

31
akan menerima laporan dari pemegang program imunisasi setelah program BIAS

dilaksanakan untuk dievaluasi cakupan imunisasi DT/Td yang sudah dilakukan.

4.3 Gambaran Kendala dan Permasalahan Imunisasi Difteri di Puskesmas

Andalas

Dalam pelaksanaan imunisasi, kader dan pemegang program terkadang

mengalami kendala. Hal ini terkait dengan isu vaksin palsu yang membuat

masyarakat tidak percaya dengan pemberian vaksin. Sebagian masyarakat

menganggap hal itu dapat berdampak buruk pada anak mereka.. Selain isu vaksin

palsu, beberapa masyarakat masih ada yang tidak mempercayai manfaat imunisasi

sama sekali. Mereka merasa tidak memerlukan imunisasi untuk anak-anak

mereka.

Hal yang ditakutkan oleh masyarakat setelah pemberian imunisasi adalah

KIPI. KIPI yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Andalas biasanya adalah

kemerahan yang sedikit bengkak ditempat suntikan dan demam. Hal itu dianggap

sebagai keburukan dari imunisasi. Biasanya hal tersebut dapat hilang setelah 1 - 3

hari, sehingga orangtua akan diberikan parasetamol setelah diberikan imunisasi

DPT. Jika KIPI yang ringan tersebut tidak membaik dalam jangka waktu tersebut

biasanya orang tua akan membawa bayi ke puskesmas.

Sebagian sekolah di Kecamatan Padang Timur tidak mendukung progam

BIAS. Sekolah yang tidak mendukung tersebut beralasan bahwa orangtua siswa di

sekolah mereka ada yang tidak menyetujui imunisasi di sekolah. Guru di sekolah

tersebut tidak ingin dengan adanya imunisasi di sekolah mereka, orangtua akan

protes ke pihak sekolah karena adanya imunisasi ini.

32
BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Puskemas Andalas telah melaksanakan program imunisasi sesuai dengan

pelaksanaan pelayanan imunisasi yang diatur oleh Permenkes RI No.42

tahun 2013.

2. Pencapaian imunisasi DPT-HB-Hib 1 dan 3 di Puskesmas Andalas sudah

mencapai target, imunisasi DT dan Td di sekolah yang berada di wilayah

kerja Puskesmas Andalas belum mencapai target.

33
3. Kendala dalam imunisasi difteri adalah adanya isu vaksin palsu, masih

adanya sebagian masyarakat yang menolak anaknya diberikan vaksin, dan

pihak sekolah yang tidak ingin memberikan imunisasi pada siswanya.

5.2 Saran

1. Sebaiknya petugas puskesmas lebih gencar untuk melakukan penyuluhan

manfaat diberikannya imunisasi, mengklarifikasi tentang isu vaksin palsu,

dan memberikan pemahaman kepada pihak sekolah tentang pentingnya

melakukan imunisasi pada anak usia sekolah.

2. Sebaiknya ada kerjasama antara Dinas Kesehatan Kota Padang dengan

Dinas Pendidikan Kota Padang dalam melaksanakan program BIAS.

3. Sebaiknya pemegang program imunisasi dan kader bekerjasama dengan

tokoh masyarakat dalam memberikan pemahaman tentang pentingnya

imunisasi kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Biofarma, 2015. Vaksin pentabio (DTP-HB-Hib). www.biofarma.co.id. Diakses


tanggal 21 Februari 2017.

CDC, 2016. Diphtheria vaccination. Atlanta: Centers for Disease Control and
Prevention. http://www.cdc.gov/vaccines/vpd-vac/diphtheria/. Diakses 21
Februari 2017.

Dinkes Kota Padang, 2014. Laporan hasil imunisasi rutin bayi puskesmas tahun
2014. Padang: Dinas Kesehatan Kota Padang.

Dinkes Kota Padang, 2015. Laporan kasus difteri di Kota Padang pada tahun 2014
dan 2015. Padang: Dinas Kesehatan Kota Padang.

34
Hassan R, 2007. Buku kuliah II ilmu kesehatan anak. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 550-6.

IDAI, 2011. Pedoman imunisasi di Indonesia. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan


Dokter Anak Indonesia.

IDAI, 2016. Jadwal imunisasi. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia.

Kemenkes RI, 2015. Profil kesehatan Indonesia 2015. Jakarta: Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia.

Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor NF, 2016. Nelson textbook of
pediatrics twentieth edition. Philadelphia: Elsevier. 1345-9.

Kresna NR, 2016. Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian difteri di Kota
Padang bulan Januari Maret tahun 2015. E-skripsi Universitas Andalas,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas.

Mukarami H, Phuong NM, Thang HV, Chau NV, Giao PN, Tho ND, 2010.
Epidemic diphtheria in Ho Chi Minh City Vietnam: a match case control
study to identify risk factors of incidence. Vaccine 28(51): 81416.

Permenkes No. 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi.

Puskesmas Andalas, 2016. Laporan tahunan Puskesmas Andalas dan standar


operasional prosedur program imunisasi Puskesmas Andalas tahun 2016.

Ranuh IGNG, 2013. Beberapa catatan kesehatan anak. Jakarta: Sagung Seto.

White NJ, 2009. Diphteria. In: Cook GC, Zumla AI. Mansons tropical disease.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 1133-7.

WHO, 2016. Data incidence rate, annual WHO/UNICEF joint reporting form and
WHO regional offices reports 2016. Geneva: World Health Organization.

Widoyono, 2011. Penyakit tropis epidemiologi, penularan, pencegahan, dan


pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.

35

Anda mungkin juga menyukai