Anda di halaman 1dari 12

1

Tinjauan Kepustakaan

PERMASALAHAN ASAM-BASA PADA KETOASIDOSIS DIABETIKUM


Achnes Pangaribuan, Wira Gotera. Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu
Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Prognosis ketoasidosis diabetikum (KAD) telah mengalami evolusi sangat


luar biasa sejak ditemukannya insulin hampir satu abad yang lalu. Perbaikan
prognosis ini disebabkan oleh pemahaman yang lebih baik tentang patofisiologi
terjadinya KAD dan permasalahan asam-basa yang terjadi pada KAD. Tinjauan
kepustakaan ini akan menguraikan secara ringkas tiga topik yang sering dihadapi
praktisi klinis yang menangani pasien dengan KAD, yang terkait dengan gangguan
asam-basa yaitu: 1. Penggunaan plasma anion gap dan kalkulasi rasio perubahan
anion gap untuk merubah konsentrasi plasma bikarbonat, 2. Indikasi pemberian
bikarbonat, 3. Kondisi asidosis intraselular terhadap terjadinya edema serebral,
terutama pada penderita usia muda dengan ketoasidosis diabetikum.

Definisi
KAD merupakan suatu keadaan dekompensasi kekacauan metabolik dimana
terjadi defisiensi insulin absolut dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon,
katekolamin, kortisol, dan growth hormones), sehingga semua keadaan tersebut
menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utililisasi glukosa oleh sel tubuh
menurun, dengan hasil akhir hiperglikemi (1-5). KAD dikenali dengan suatu trias
yang terdiri dari ketonemia, hiperglikemia dan asidosis metabolik. American
Diabetes Association (ADA) menyarankan penggunaan pendekatan yang lebih
pragmatis, yakni KAD dicirikan dengan asidosis metabolik (pH <7,3), bikarbonat
plasma <18 mmol/L, glukosa plasma >250 mg/dL, disertai dengan ketonemia (6).
2

Tabel 1. Kriteria diagnosis KAD menurut American Diabetes Association (7)


KAD
Parameter Ringan Sedang Berat
Gula darah ( mg/dl) >250 >250 >250
Serum bikarbonat/HCO3- (mmol/L) 15-18 10-15 < 10
pH 7,25-7,30 7,00-7,24 < 7,00
Keton urin + + +
Keton serum + + +
Anion gap > 10 > 12 > 12
Perubahan status mental sadar sadar / mengantuk stupor / koma

Epidemiologi
KAD merupakan komplikasi serius kegawat daruratan pada pasien dengan
diabetes mellitus baik itu tipe 1 atau tipe 2. Insiden KAD dilaporkan lebih dari
500.000 kasus rawat inap setiap tahunnya, dengan usia tersering antara 18-44 tahun
(56%), 2/3 kasus terjadi pada DM tipe 1 dan 1/3 kasus pada diabetes tipe 2 (8). Di
Amerika dilaporkan angka kejadian KAD berkisar 145.000 kasus setiap tahunnya,
dengan angka kematian <1% pada populasi umum dan meningkat >5% pada populasi
berusia lebih dari 60 tahun dan pada penderita dengan komorbid yang menyertai.
Angka kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan yang menyertai KAD,
seperti sepsis, syok, infark miokard akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa
darah awal yang tinggi, uremia dan kadar keasaman darah yang rendah (6).

Patofisiologi
Akibat dari defisiensi insulin absolut dan peningkatan hormon kontra
regulator insulin, penderita akan mengalami: 1. Hiperglikemi dan glukosuria berat, 2.
Penurunan lipogenesis, 3. Peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak
bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, -hidroksibutirat, dan aseton).
Peningkatan keton dalam cairan ekstaseluler mengakibatkan ketosis, meningkatkan
beban ion hidrogen dan mengakibatkan terjadinya asidosis metabolik. Glukosuria dan
ketonuria akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menyebabkan kehilangan air dan
elektrolit seperti: natrium, kalium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida.
3

Muntah yang biasanya sering terjadi akibat dari asidosis metabolik dengan
perangsangan pusat muntah di otak juga ikut serta dalam mempercepat kehilangan air
dan elektrolit. Kehilangan air yang banyak (poliuria) akan menimbulkan uremia
prerenal dan syok hipovolemik. Asidosis metabolik yang hebat sebagian akan
dikompensasi oleh tubuh dengan peningkatan pelepasan CO2 ke luar tubuh melalui
peningkatan ventilasi yang dalam (pernafasan kussmaul). Akibat dari asidosis
metabolik dan penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma
sampai meninggal (9).

Gambar 1. Patofisiologi terjadinya KAD. Stress, infeksi dan ketidakcukupan terapi


insulin, menyebabkan peningkatan hormon kontra regulator, peningkatan lipolisis,
penurunan utilisasi glikosa, peningkatan glikolisis dan proteolisis dengan hasil akhir
terbentuknya benda keton dan dehidrasi (10).
4

Plasma Bicarbonat dan Plasma Anion Gap


Akumulasi asam keton dalam cairan ekstraseluler menyebabkan penambah
anion asam keton serum. Ketoasid ini mengalami disosiasi sempurna dan kelebihan
ion hidrogen akan diikat oleh bikarbonat sehingga menyebabkan penurunan kadar
bikarbonat serum. Dengan adanya osmotik diuresis dan natriuresis yang diinduksi
oleh hiperglikemia, pasien dengan diabetik ketoasidosis akan mengalami peyusutan
volume cairan ekstraseluler yang nyata, sehingga mempengaruhi penilaian status
asam basa dan mempengaruhi pemberian terapi (11, 12).

Gambar 2. Hilangnya sodium bikarbonat pada perjalanan penyakit KAD.


-hidroksibutirat diproduksi di hati, terdisosiasi dalam cairan ekstraseluler menjadi
anion -hidroksibutirat (-HB-) dan ion hidrogen (H+). Ekskresi natrium terjadi
bersamaan dengan ekskresi -hidroksibutirat dalam urin (9).

Penentuan tingkat keparahan asidosis metabolik dinilai berdasarkan pada


banyaknya penurunan konsentrasi plasma bikarbonat. Meskipun demikian,
sebagaimana ditunjukkan dalam persamaan di bawah ini, konsentrasi plasma
bikarbonat hanya mengalami penurunan ringan ketika terdapat dua hal berikut: defisit
dalam jumlah besar kadar bikarbonat cairan ekstraseluler dan penyusutan ekstrim
volume cairan ekstraseluler. Defisit bikarbonat menjadi lebih nyata pada saat
reekspansi volume cairan ekstraseluler, saat pemberian koreksi dengan cairan salin.
5

HCO3- ekstraseluler
Konsentrasi HCO3- ekstrselular :
Volume cairan ekstraseluler

Pada KAD, bikarbonat digantikan dengan asam -hidroksibutirat dan asam


asetoasetat sehingga jumlah konsentrasi bikarbonat dan klorida turun yang
menyebabkan terjadinya peningkatan anion gap, yang merupakan perbedaan antara
konsentrasi kation mayor dalam plasma (sodium) dan anion mayor dalam plasma
(klorida dan bikarbonat). Hubungan antara peningkatan plasma anion gap dan
penurunan konsentrasi plasma bikarbonat memberikan estimasi peningkatan
konsentrasi asam pada KAD.
Sejumlah penelitian mengindikasikan bahwa pada KAD, rasio peningkatan
plasma anion gap terhadap penurunan konsentrasi plasma bikarbonat kurang lebih
adalah 1. Penting untuk dipahami bahwa rasio ini diperoleh berdasarkan
konsentrasi dan bukan konten, sehingga perlu diperhatikan perubahan dalam
volume cairan ekstraseluler ketika menggunakan rasio ini untuk mengukur seberapa
besar penambahan kotoasid. Sebagai contoh, seorang wanita dengan diabetes tipe 1
dan memiliki berat badan 50 kg serta memiliki volume cairan ekstraseluler pada
kondisi normal (steady-state volume) sebesar 10 liter. Wanita ini memiliki
konsentrasi plasma bikarbonat sebesar 25 mmol/L dan plasma anion gap 12 mmol/L.
Pada keadaan KAD, konsentrasi plasma bikarbonat menurun menjadi 10 mmol/L,
dan plasma anion gap meningkat menjadi 27 mmol/L. Karena adanya proses osmotik
diuretik dan natriuresis yang diinduksi oleh kondisi hiperglikemia pada KAD, volume
cairan ekstraseluler pada pasien ini hanya sekitar 7 liter. Meskipun rasio antara
perubahan plasma anion gap dan perubahan konsentrasi plasma bikarbonat tetap 1:1,
akan tetapi defisit bikarbonat dan penambahan sejumlah ketoasid dalam cairan
ekstraseluler berada dalam kadar yang tidak seimbang. Penurunan kandungan ion
bikarbonat yang terjadi adalah sebesar 180 mmol/L ([25 mmol/L x 10 L] [10
mmol/L x 7 L]), sedangkan penambahan anion ketoacid sebesar 105 mmol
([0 mmol/L x 10 L] + [15 mmol/L x 7 L]) (9).
6

Segera setelah pemberian koreksi terhadap volume cairan ekstraseluler


dengan memberikan salin, maka defisit ion bikarbonat akan semakin terlihat jelas,
karena penurunan plasma anion gap tidak sejalan dengan peningkatan konsentrasi ion
bikarbonat. Penurunan sodium bikarbonat secara tidak langsung ini dapat menjadi
komponen yang dominan dalam asidosis metabolik yang dialami sejumlah pasien
dengan KAD.

Terapi dengan Sodium Bikarbonat


Terapi sodium bikarbonat pada asidosis metabolik akibat KAD masih
kontroversial. Asidemia berat yang terjadi pada KAD dapat menyebabkan penurunan
kontaktilitas jantung, penurunan respon terhadap katekolamin dan predisposisi
terhadap aritmia jantung. Semua kejadian tersebut merupakan faktor risiko untuk
perburukan hemodinamik. Asidemia berat juga dapat mempengaruhi kerja insulin
terhadap reseptornya, yang dapat mengganggu kapasitas insulin untuk memperlambat
kecepatan produksi ketoasid (7, 9).
Pada pasien dengan konsentrasi plasma bikarbonat yang sangat rendah,
penambahan ion hidrogen dalam jumlah kecil akan menghasilkan penurunan
konsentrasi plasma bikarbonat dan pH plasma yang lebih besar. Sebagai contoh,
penurunan konsentrasi plasma bikarbonat hingga separuhnya akan menyebabkan
penurunan pH arterial sebesar 0.30 unit jika tekanan arteri parsial dari karbon
dioksida (PaCO2) tidak mengalami penurunan. Untuk itu diperlukan pemahaman
terhadap faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kecepatan produksi dan
ekskresi ketoasid pada penderita KAD yang mengalami asidemia berat.
Kecepatan produksi ketoasid selama masa puasa atau kelaparan yang
berkepanjangan sekitar 1500 mmol perhari. Oksidasi asam lemak rantai panjang
(contohnya asam palmitat) dalam mitokondria sel hepatosit akan menghasilkan acetyl
coenzyme A, yang merupakan prekursor pembentukan ketoasid; sementara itu,
nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+) akan mengalami reduksi menjadi NADH
dan flavin adenine dinucleotide (FAD) akan mengalami reduksi menjadi bentuk
hidroquinonenya, FADH2. Karena kofaktor-kofaktor penting ini hanya ada dalam
7

konsentrasi kecil dalam mitokondria, maka NADH harus diubah menjadi NAD+ dan
FADH2 harus diubah menjadi FAD. Konversi ini terjadi selama reaksi coupling
fosforilasi oksidatif, dimana adenosine triphosphate (ATP) diregenerasi dari
adenosine diphosphate (ADP), yang mengembalikan ion hidrogen yang dihasilkan
melalui oksidasi asam lemak rantai panjang kembali ke mitokondria. Oleh karena itu,
kecukupan ADP akan menentukan batas kecepatan reaksi coupling fosforilasi
oksidatif. Pada penderita KAD, hati tidak dapat menghasilkan ADP dalam jumlah
yang mencukupi untuk konversi NADH menjadi NAD+ dan FADH2 menjadi FAD,
dengan demikian menyebabkan akumulasi produksi ketoacid.
Ketoasid secara primer teroksidasi di otak dan ginjal. Pasien dengan ketosis
yang diakibatkan oleh kelaparan berkepanjangan hanya mengalami asidemia derajat
ringan, karena kecepatan ekskresi ketoasid oleh otak dan ginjal setara dengan
kecepatan produksi ketoasid hepatik. Selama terjadi ketosis yang disebabkan oleh
kelaparan berkepanjangan, otak dapat mengoksidasi sekitar 800 mmol ketoasid per
hari. Ginjal akan mengoksidasi sekitar 250 mmol ketoasid dan mengekskresikan
sekitar 150 mmol anion ketoacid (sebagian besar bersama amonium) setiap harinya,
sehingga pasien dengan ketosis akibat kelaparan jarang datang dengan kadar
konsentrasi bikarbonat <18 mEq/L dan keseimbangan asam-basa masih terjaga.
Dalam tiga penelitian uji klinis randomisasi terkontrol yang melibatkan total
73 pasien dengan KAD, pemberian sodium bikarbonat tidak memberikan keuntungan
(9). Sebagian besar pasien KAD tidak memerlukan pemberian sodium bikarbonat,
karena pemberian infus insulin dapat memperlambat kecepatan produksi ketoacid,
dan ion bikarbonat akan diproduksi ketika anion ketoasid teroksidasi. Meskipun
demikian, setelah pemberian insulin kecepatan produksi ketoasid mungkin tidak
mengalami penurunan sampai beberapa jam kemudian. Selain itu, produksi ion
bikarbonat akan mengalami penurunan jika otak dan ginjal mengoksidasi lebih sedikit
ketoasid. Kecepatan penggunaan ATP dalam otak mengalami penurunan ketika
pasien koma dan ketika pasien dalam pengaruh sedatif akibat pemberian obat atau
etanol, karena kedua kondisi ini dapat menyebabkan penurunan kecepatan
metabolisme serebral. Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal, ekskresi ketoasid
8

akan mengalami penurunan karena kecepatan oksidasi -hidroksibutirat dan ekskresi


amonium mengalami penurunan dan pemberian cairan salin secara cepat akan
menyebabkan penurunan konsentrasi plasma bikarbonat akibat dilusi.
Meskipun konsensus tidak menyarankan untuk memberikan koreksi dengan
sodium bikarbonat pada pasien dengan KAD, kecuali jika pH plasma arteri di bawah
6.90, Kamel dkk, menyarankan bahwa keputusan terapi sodium bikarbonat pada
pasien dewasa dengan KAD harus dipertimbangkan secara individual dan tidak
hanya bergantung pada nilai pH darah semata (9). Terapi dengan sodium bikarbonat
dapat dipertimbangkan pada pasien yang diperkirakan memiliki kemampuan
kecepatan pembuangan ketoasid rendah (pada pasien dengan penurunan kesadaran
atau pasien dengan disfungsi ginjal tingkat lanjut yang telah diketahui sebelumnya),
untuk menghindari perburukan penurunan pH plasma dan kemungkinan perburukan
status hemodinamik. Pada penderita yang diperkirakan memiliki kemampuan
ekskresi ketoasid yang rendah pemberian terapi dengan sodium bikarbonat harus
diinfuskan dengan kecepatan yang sesuai dengan kecepatan produksi ketoasid
hepatik, yang berkisar sekitar 60 mmol per jam (8).

Edema Serebral selama Terapi


Insiden edema serebral selama terapi KAD masih tinggi, terutama pada anak-
anak. Secara Klinis edema serebri biasanya terjadi dalam 12 jam pertama setelah
terapi, namun hal ini dapat terjadi sebelum pemberian terapi atau bahkan 24-48 jam
setelah terapi. Brown menegaskan bahwa komplikasi yang menakutkan ini terjadi
paling sering setelah terapi dimulai (13). Terdapat dugaan bahwa hipoperfusi serebral
yang telah terjadi sebelum pemberian terapi KAD dapat menjadi predisposisi
terhadap terjadinya edema serebral ketika terjadi reperfusi. Glaser dkk. menemukan
bahwa resiko edema serebral secara signifikan meningkat pada pasien yang memiliki
PaCO2 rendah akibat hiperventilasi, kadar urea nitrogen darah yang tinggi saat
diagnosis dan pada pasien yang menerima sodium bikarbonat (14). Risiko edema
serebral semakin meningkat pada penderita dengan pemberian sodium bikarbonat
yang juga mendapatkan bolus insulin. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sodium
9

bikarbonat tidak boleh diberikan pada anak-anak dengan KAD, kecuali terjadi
asidemia yang berat (pH < 6.90 dan konsentrasi plasma bikarbonat < 5 mmol/L) dan
pada pasien yang tidak memberikan respon terhadap koreksi cairan (15). Faktor risiko
terjadinya edema serebri meningkat berbanding lurus dengan berbagai faktor, antara
lain: beratnya asidosis saat diagnosis, tingginya serum urea nitrogen, terapi
bikarbonat untuk koreksi asidosis, penurunan osmolalitas plasma yang sangat jelas,
peningkatan atau penurunan kadar natrium selama terapi, pemberian volume cairan
yang besar dalam 4 jam pertama dan pemberian insulin pada jam pertama terapi (9).
Sel-sel otak membengkak terjadi akibat adanya peningkatan osmolalitas
efektif dalam sel otak dibanding osmolalitas efektif dalam plasma kapiler sekitar
blood-brain barrier, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran cairan intraseluler
(intracellular shift of water) ke dalam sel otak. Peningkatan osmolit intraseluler otak
terjadi bersamaan dengan peningkatan influks ion sodium ke dalam sel otak. Ion
hidrogen dengan konsentrasi tinggi dalam sel otak dapat mengaktifkan mekanisme
transport ion sodium dalam membran sel, terutama sodium-hydrogen exchanger 1.
Konsentrasi ion hidrogen dalam sel otak meningkat ketika asam -hidroksibutirat
memasuki sel melalui monocarboxylic acid co-transporter.
Kation exchanger ini juga teraktivasi oleh konsentrasi insulin yang tinggi
dalam cairan interstitial. Setelah pasien dengan asidemia berat menerima insulin
melalui bolus intravena, maka sodium-hydrogen exchanger 1 dalam membran sel
otak teraktivasi, sehingga meningkatkan osmolitas efektif dalam sel otak, karena
influks ion sodium sedangkan sejumlah ion hidrogen dalam jumlah besar yang
dieksport secara osmotik menjadi inaktif karena ion-ion ini terikat pada protein
intraseluler. Beban Na+ kemudian akan dieksport menggunakan elektrogenik Na-K-
ATPase. Peningkatan voltage negatif intraseluler menyebabkan retensi ion potassium
(K+) dalam sel, yang dapat memicu terjadinya aliran air melalui aquaporin water
channels (AQP) dengan hasil akhir berupa peningkatan jumlah osmolit efektif dalam
sel otak. Guidelines terbaru penatalaksanaan KAD merekomendasikan untuk tidak
memberikan bolus intravena insulin (9).
10

Gambar 3. Patofisiologi terjadinya edema serebri pada KAD. Masuknya asam


-hidroksibutirat ke dalam sel otak melalui monocarboxylic acid cotransporter
(MCT), berdisosiasi menjadi anion -HB- dan ion + H+ sehingga menyebabkan
peningkatan konsentrasi ion H+. Sodiumhydrogen exchanger 1 (NHE-1) yang
diaktivasi oleh insulin akan menambah jumlah osmolit efektif karena ion influk Na+,
sedangkan sejumlah besar ion H+ yang dieksport dari sel ini inaktif karena terikat
oleh protein. Na+ yang memasuki sel-sel ini melalui NHE-1 menyebabkan
peningkatan voltage negatif intraseluler yang menyebabkan retensi ion potassium
(K+) sehingga memicu terjadinya aliran air melalui aquaporin water channels (AQP)
kedalam sel otak (9).

Kompartemen intersitial cairan ekstraseluler sel otak mengalami ekspansi jika


terjadi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler, penurunan tekanan osmotik koloid
plasma, peningkatan permeabilitas kapiler, atau gabungan dari semua faktor ini.
Karena salin yang diberikan didistribusikan dalam plasma dan mencapai blood brain
barrier sebelum berekuilibrasi dengan seluruh volume cairan ekstraseluler,
pemberian salin dalam jumlah besar dapat meningkatkan tekanan hidrostatik kapiler,
11

menurunkan konsentrasi albumin plasma, dan dengan demikian menurunkan tekanan


osmotik koloid kapiler. Disamping itu, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa
blood brain barrier itu sendiri mungkin sudah mengalami kebocoran sebelum
dimuainya terapi KAD (9). Glaser dkk, menyarankan bahwa osmolalitas efektif
plasma tidak diperbolehkan mengalami penurunan selama 15 jam pertama terapi,
periode waktu dimana risiko tersering terjadinya edema serebral (16).

Ringkasan
Asidemia pada penderita dengan KAD terjadi akibat hilangnya sodium
bikarbonat secara tidak langsung. Penting untuk dipahami bahwa rasio peningkatan
plasma anion gap terhadap penurunan konsentrasi plasma bikarbonat ini diperoleh
berdasarkan konsentrasi dan bukan konten, sehingga perlu diperhatikan
perubahan dalam volume cairan ekstraseluler ketika menggunakan rasio ini untuk
mengukur seberapa besar penambahan kotoasid. Pemberian sodium bikarbonat dapat
dipertimbangkan pada pasien yang memiliki kemampuan kecepatan pembuangan
ketoasid rendah (pasien dengan penurunan kesadaran atau disfungsi ginjal tingkat
lanjut yang telah diketahui sebelumnya). Osmolalitas efektif plasma tidak
diperbolehkan mengalami penurunan selama 15 jam pertama terapi, periode waktu
dimana sebagian besar terjadinya edema serebral.

Daftar Pustaka
1. Chua HR, Schneider A, Bellomo R. Bicarbonate in diabetic ketoacidosis - a
systematic review. Ann Intensive Care. 2011;1(1):23.

2. Umpierrez G, Korytkowski M. Diabetic emergencies - ketoacidosis,


hyperglycaemic hyperosmolar state and hypoglycaemia. Nat Rev Endocrinol.
2016;12(4):222-32.

3. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Barrett EJ, Kreisberg RA, Malone
JI, et al. Management of hyperglycemic crises in patients with diabetes.
Diabetes care. 2001;24(1):131-53.

4. Pollock F, Funk DC. Acute diabetes management: adult patients with


hyperglycemic crises and hypoglycemia. AACN Adv Crit care.
2013;24(3):314-24.
12

5. Westerberg DP. Diabetic ketoacidosis: evaluation and treatment. Am Fam


Physician. 2013;87(5):337-46.

6. Smiley D, Chandra P, Umpierrez GE. Update on diagnosis, pathogenesis and


management of ketosis-prone Type 2 diabetes mellitus. Diabetes
management. 2011;1(6):589-600.

7. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic crises in
adult patients with diabetes. Diabetes care. 2009;32(7):1335-43.

8. Seth P, Kaur H, Kaur M. Clinical Profile of Diabetic Ketoacidosis: A


Prospective Study in a Tertiary Care Hospital. J Clin Diagn Res.
2015;9(6):OC01-4.

9. Kamel KS, Halperin ML. Acid-base problems in diabetic ketoacidosis. N Engl


J Med. 2015;372(20):1969-70.

10. Wolfsdorf J, Glaser N, Sperling MA, American Diabetes A. Diabetic


ketoacidosis in infants, children, and adolescents: A consensus statement from
the American Diabetes Association. Diabetes care. 2006;29(5):1150-9.
11. Kraut JA, Madias NE. Approach to patients with acid-base disorders. Respir
Care. 2001;46(4):392-403.

12. Emmett M, Narins RG. Clinical use of the anion gap. Medicine.
1977;56(1):38-54.

13. Brown TB. Cerebral oedema in childhood diabetic ketoacidosis: is treatment a


factor? J Emerg Med. 2004;21(2):141-4.

14. Glaser NS, Marcin JP, Wootton-Gorges SL, Buonocore MH, Rewers A,
Strain J, et al. Correlation of clinical and biochemical findings with diabetic
ketoacidosis-related cerebral edema in children using magnetic resonance
diffusion-weighted imaging. J Pediatr. 2008;153(4):541-6.

15. Wolfsdorf J, Craig ME, Daneman D, Dunger D, Edge J, Lee W, et al.


Diabetic ketoacidosis in children and adolescents with diabetes. Pediatr
Diabetes. 2009;10 Suppl 12:118-33.

16. Glaser N, Barnett P, McCaslin I, Nelson D, Trainor J, Louie J, et al. Risk


factors for cerebral edema in children with diabetic ketoacidosis. The
Pediatric Emergency Medicine Collaborative Research Committee of the
American Academy of Pediatrics. N Engl J Med. 2001;344(4):264-9.

Anda mungkin juga menyukai