Oleh :
Yesti Mulia Eryani, S.Ked
1218011160
Rinitis merupakan masalah yang sering terjadi di layanan kesehatan primer dan
berkaitan dengan morbiditas yang cukup tinggi. Rinitis mempengaruhi kualitas
hidup, kinerja dan kehadiran di sekolah dan tempat kerja, serta memiliki dampak
yang signifikan terhadap biaya perawatan kesehatan. Meskipun sebagian besar
kasus rinitis jinak, jangka pendek dan bersifat self-limiting atau dapat
sembuh sendiri, namun terdapat sejumlah besar yang mengalami gejala yang
lebih signifikan sering dalam jangka waktu yang lama (Angier, 2010).
Rinitis adalah gangguan yang disebabkan oleh peradangan atau iritasi pada
mukosa hidung. Gejala dominan yaitu sumbatan hidung, namun pada
beberapa pasien, pilek, bersin berlebihan atau hidung gatal mungkin menjadi
gejala yang paling mengganggu. Penyebab paling umum dari inflamasi hidung
adalah infeksi virus dan respon alergi terhadap alergen yang terdapat di udara
(Kalogjera, 2011).
Ada 3 jenis rinitis yang sering ditemukan pada praktek klinik yaitu rinitis non-
alergi, rinitis alergi dan rinitis infeksi. Rinitis non-alergi adalah ketika obstruksi
dan rinore terjadi dalam kaitannya dengan non-alergi, pencetus non-infeksi
seperti perubahan cuaca, paparan bau yang menyengat atau asap rokok, perbedaan
tekanan udara, dan lain-lain. Diperkirakan mempengaruhi lebih dari 19-20 juta
pasien di Amerika Serikat, dengan rinitis vasomotor merupakan subtipe yang
paling umum. Rinitis alergi terjadi ketika alergen merupakan pencetus untuk
menimbulkan gejala pada hidung. Rinitis alergi merupakan kondisi yang paling
umum terjadi di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, mempengaruhi antara 10-
30% populasi dewasa umum dan hingga 40% anak-anak yang menurun seiring
dengan usia sehingga pada usia lanjut rinitis alergi jarang ditemukan.
1
Memasuki usia dewasa, prevalensi rhinitis alergi pada laki-laki dan perempuan
sama (Nguyen, 2011).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Rinitis alergi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara
genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki
peran penting. Pada 2030% semua populasi dan pada 1015% anak memiliki
riwayat atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopmenjadi 4 kali
lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu
alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon
imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.
Berdasarkan cara masuknya, alergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang (anjing, kucing),
rerumputan, dan jamur.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik dan perhiasan.
4
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari 1 organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala
asma bronkial dan rinitis alergi (Rusmono, 2007).
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel pada mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan
IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator
yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan
terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamin. Selai
5
histamin terlepas juga prostaglandin (PGD2), Leukotrien D4 (LTD4), bradikinin,
dan PAF, dan berbagai sitokin lainnya. Inilah yang disebut reaksi alergi fase
cepat (RAFC)
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin IL-3. IL-4, dan IL-5 dan
GM-CSF dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperreaktif atau
hiperresponsif hidung akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari
granulnya. Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non
spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Rusmono, 2007).
6
Gambar 2. Patofisiologi Rinitis Alergi
7
2.5 Klasifikasi RinitisAlergi
Berdasarkan jenis reaksi imunitas, Gell dan Coombs mengklasifikasikan
reaksi ini atas 4 tip, yaitu tipe 1 (anafilaksis), tipe 2 (reaksi sitotoksik), tipe 3
(reaksi kompleks imun, dan reaksi tuberkulin (delayed hipersensitivity) atau
tipe 4. Manifestasi klinik kerusakan jaringan yang terjadi pada rinitis alergi
dan kondisi alergi yang umum pada bidang THT adalah reaksi
hipersensitvitas tipe1 (reaksi anafilaktik).
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan ARIA (Allergic Rinitis and its Impact
on Asthma) tahun 2008, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi:
1. Intermiten (kadang-kadang) bila gejala muncul:
- Kurang dari 4 hari/minggu
- atau kurang dari 4 minggu berturut-turut.
8
- Gejala mengganggu (ARIA, 2008).
a. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya
serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang
normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah
besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik,
bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan
gejala pada RAFC dan kadang- kadang pada RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Gejala lain adalah keluar ingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-
kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi
sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang
timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan
hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala
yang diutarakan oleh pasien (Rusmono, 2007).
b. Pemeriksaan Fisik
Selain dari anamnesis perlu juga untuk dilakukan pemeriksaan fisik. Pada
rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat
dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi
karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut
allergic shiner.
9
Gambar 4. Allergic shiner pada pasien Rinitis
Alergi
Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena
gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic
salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang
disebut sebagai allergic crease.
10
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosis rinits alergi antara lain:
1. Secara invitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio
imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali
bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan
alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
Sorbent Assay Test). Selain itu pemeriksaan sitologi hidung juga
dapat dilakukan, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil
dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan.
Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi
bakteri.
2. Secara invivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin
End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan
dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat
diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas
kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan
diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan
secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu
pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
11
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.
Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu
makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan (Rusmono, 2007).
12
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi
dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi 1 (klasik) dan
generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga
dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta
serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, sedangkan
yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin generasi 2
bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat
selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek
antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP minimal (non-sedatif).
Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif
untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non
sedatif dapat dibagi menjadi dua golongan menurut keamananya. Kelompok
pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang
tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan
kematia medadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah
loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.
13
c. Preparat kortikosteroid. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama
sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat
lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon).
Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini
menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen
(bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal
bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga
pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga
menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil,
eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai
profilaksis.
3. Tindakan operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual
(Rusmono, 2007).
14
WHO Initiative ARIA pada tahun 2008 membuat alur penatalaksanaan
pasien dewasa dengan rinitis alergi sebagai berikut:
G
a
m
b
a
r
7
.
A
l
g
o
r
i
t
m
a
15
vasomotor rinorhea, nasal vasomotor instability, atau juga non-allergic
perennial rinitis (Irawati, 2007).
16
atas dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior.
Serabut post sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus dan
kemudian sebagai n. petrosus profundus bergabung dengan serabut
saraf parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor membentuk n.
vidianus yang berjalan didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak
mengadakan sinapsis didalam ganglion sfenopalatina, dan kemudian
diteruskan oleh cabang palatina mayor ke pembuluh darah pada mukosa
hidung. Saraf simpatis secara dominan mempunyai peranan penting
terhadap sistem vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi
kelenjar (Andrina, 2003).
17
2
.
N
e
u
r
o
p
e
p
t
i
d
a
Gambar 8. Persarafan hidung
2. Nitrit Oksida
Peranan nitric oxide (NO) dalam meyebabkan terjadinya rinitis telah
dipelajari. NO diturunkan dari nitric oxide synthase (NOS) yang
memerlukan nicotinamineadenine dinucleotide phosphate (NADPH)
sebagai ko-faktor. NO dalam jaringan hanya bersifat sementara, oleh
karena itu keberadaan dan aktivitas NO sangat dipengaruhi oleh
jumlah NADPH dalam jaringan yang juga berkolerasi dengan aktivitas
18
NOS. Pada pasien yang mengalami rinitis vasomotor, kerusakan epitel
berkolerasi dengan peningkatan aktivitas NADPH yang pada akhirnya
menyebabkan peningkatan NO. Telah diketahui bahwa NO mempunyai
efek sitotoksik yang dapat menyebabkan kerusakan epitel. Kerusakan
tersebut mengakibatkan terganggunya sistem mukosiliar, kehilangan tight
junction dan rusaknya membran basal. Hal ini berujung pada peningkatan
reaktivitas serabut aferen trigeminal, sistem sekresi mukus, dan refleks
vaskular yang bermanifestasi sebagai gejala klinis rinitis vasomotor
(Irawati, 2007).
3. Trauma
Rinitis vasomotor dapat juga merupakan komplikasi trauma.
Dimana pada keadaan trauma dapat terjadi kerusakan siliar, tidak adanya
tight junction, peregangan ruang interseluler, dan kehilangan sel goblet
yang pada akhirnya bermanifestasi sebagai rinitis vasomotor (Irawati,
2007).
19
Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 3
golongan, yaitu:
1. Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan
respon yang baik dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid
topikal.
2. Golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan
pemberian antikolinergik topikal.
3. Golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya
memberikan respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topical
dan vasokonstriktor oral (Irawati, 2007).
20
tetapi dapat pula pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol (tidak
rata). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan
tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan
jumlah yang banyak (Irawati, 2007).
21
memuaskan. Contoh steroid topikal seperti Budesonide,
Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone.
d. Antikolinergik efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan
utamanya. Contohnya Ipratropium bromide (nasal spray).
2.16 Komplikasi
Komplikasi yang sering timbul pada rinitis vasomotor antara lain:
1. Sinusitis paranasal
2. Polip nasi
3. Otitis media
2.17 Prognosis
Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan
rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi,
perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosis
(Irawati, 2007).
22
BAB III
KESIMPULAN
Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat,
bersin-bersin, keluar ingus cair seperti air bening. Seringkali gejala meliputi mata,
yaitu berair, kemerahan dan gatal. RA merupakan penyakit umum dan sering
dijumpai. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya
allergic shiner, allergic salute dan allergic crease. Pemeriksaan alergi dengan
prick test terhadap berbagai alergen mungkin dapat menunjang penegakan
diagnosis RA. Bila hasil belum dapat mengetahui mungkin diperlukan tes alergi
intra dermal. Pemeriksaan kadar lgE di darah meningkat (tidak spesifik).
Pemeriksaan terhadap lgE spesifik terhadap alergen tertentu. Pengobatan rinitis
alergi bergantung pada tingkat keparahan penyakit. Namun yang terpenting
adalah dengan menghindari alergen pemicu.
23
gangguan vasomotor. Penatalaksanaan dapat dilakukan secara konservatif dan
apabila gagal dapat dilakukan tindakan operatif.
24
DAFTAR PUSTAKA
25
[disitasi tanggal 01 Juli 2017]; 3(3): 148156. Tersedia dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3121056
Rusmono N, Irawati N, Karsakeyan E. Rinitis alergi. Dalam: Soepardi EA,
Nurbaiti Iskandar, Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 2007.
26