Anda di halaman 1dari 16

ASPEK PSIKIATRI PADA PASIEN HIV/AIDS

I. PENDAHULUAN

Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah suatu gangguan

neuromedical yang berkaitan dengan infeksi oleh virus human immunodeficiency

virus (HIV) mematikan. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. dari

analisis specimen yang didapatkan pada orang yang meninggal sebelum tahun

tersebut. Di Amerika kasus pertama terjadi pada musim panas tahun 1981. Pada saat

itu mulai dilaporkan adanya Pneumonia Pneumocystic Carinii dan Sarcoma Kaposi

pada seorang pria muda yang menderita homoseksual dan penurunan kekebalan.

Meskipun demikian sebenarnya gambaran yang serupa dengan gangguan ini telah ada

sejak tahun 1959. Hal ini diukung adanya bukti peningkatan penyakit penyakit yang

berhubungan dengan HIV dan AIDS, khususnya di Afrika dan Amerika, namun saat

itu belum dikenal. Menurut Centre for Desease Control and Prevention (CDC) pada

tahun 2001 diperkirakan 500.000 sampai 600,000 orang Amerika akan terinfeksi

virus HIV dan 320,000 lainnya dengan AIDS. Infeksi virus ini memcapai puncaknya

150.000 pada pertengahan tahun 80 an dan berkurang sampai 40.000 pada awal tahun

90an.(1)

Di Indonesia, kasus ini baru dilaporkan pada tahun 1987. Saat itu ditemukan 4

kasus HIV dan 2 kasus AIDS. Dari tahun ke tahun kasus-kasus HIV / AIDS

cenderung meningkat. Data terakhir sampai pada bulan maret 2003 yang

dikumpulkan YAI ada 2876 kasus. Menurut data dari Departemen Kesehatan

1
Kelompok umur 20 tahun hingga 29 tahun, adalah kelompok yang paling rawan

terkena virus HIV. Data terakhir menunjukkan 2.877 orang di kelompok usia ini

menderita penyakit AIDS (1)

Menurut Pusat Pengawasan Penyakit Menular di Amerika Serikat, AIDS adalah

penyakit tanpa penyebab yang jelas, diduga merupakan defek pada sistem imunitas

yang diatur oleh tubuh yang menurunkan resistensi terhadap penyakit tersebut.

Namun karena pada pemeriksaan ditemukan adanya human immunodeficiency virus,

maka dianggap virus tersebutlah penyebabnya. Virus ini ditularkan melalui cairan

tubuh yang terinfeksi, khususnya semen dan darah. (1,2)

Mereka yang termasuk kelompok beresiko tinggi meliputi: (1) pria homoseksual

secara aktif sejak tahun 1977. (2) pengguna zat adiktif intravena. (3) penerima

transfusi darah sejak tahun 1977. (4) pasangan seksual dari tiap orang dalam

kelompok berisiko tinggi. (5) orang dengan luka terbuka yang kontak dengan darah

HIV. (petugas laboratorium, laundry). Diduga 2/3 dari penderita AIDS mempunyai

gejala neuropsikiatrik yang terkait sebagai gejala penampilan pertama.(1,2)

Ketika seseorang diberitahu bahwa dia terinfeksi HIV maka responnya beragam.

Pada umumnya dia akan mengalami lima tahap yang digambarkan oleh Kubler Ross

yaitu penolakan, marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan. Respon permulaan

ini biasanya akan dilanjutkan dengan respons lain sampai pada akhirnya dapat

menerima. Penerimaan seseorang tentang keadaan dirinya yang terinfeksi HIV belum

tentu juga akan diterima dan didukung oleh lingkungannya. Beban yang diderita

2
Odha baik karena gejala penyakit yang bersifat organik maupun beban psikososial

dapat menimbulkan rasa cemas. Depresi berat bahkan sampai keinginan bunuh diri.(1)

Oleh karena itu, untuk mengurangi beban psikososial Odha maka pemahaman

yang benar mengenai AIDS perlu disebarluaskan. Konsep bahwa dalam era obat

antiretroviral AIDS sudah menjadi penyakit kronik yang dapat dikendalikan juga

perlu dimasyarakatkan. Konsep tersebut member harapan kepada masyarakat dan

Odha bahwa Odha tetap dapat menikmati kualitasi hidup yang baik dan berfungsi di

masyarakat.

II. DEFINISI

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah tahap akhir dan paling

serius dari penyakit infeksi HIV, yang menyebabkan kerusakan berat pada system

imunitas. Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention), disebut AIDS

bila seseorang dengan infeksi HIV mempunyai jumlah sel CD4 dibawah 200 (CD4

juga disebut T-cell, adalah suatu tipe sel imunitas). AIDS juga didefinisikan bila

terdapat sejumlah infeksi oppurtunistik dan kanker yang terjadi pada seseorang

dengan infeksi HIV (3)

III. DIAGNOSIS

Diagnosis AIDS ditegakkan melalui tes serum dan konseling.(3)

a. Tes Serum

Ada dua teknik pengujian yang sekarang secara luas tersedia untuk menemukan

antibodi anti-HIV dalam serum manusia. Para perawat kesehatan dan pasien harus

mengerti bahwa adanya antibodi-HIV petunjuk infeksi. Dengan penemuan positif

3
pada seseorang merupakan petunjuk bahwa dia telah terpapar oleh virus dan

berpotensi menularkannya pada orang lain. Dan hampir selalu pada akhirnya

berkembang menjadi AIDS. Bila hasil tes negatif dapat berarti dia tidak terpapar

virus-HIV dan tidak terinfeksi atau terpapar virus HIV tetapi antibody-HIV belum

berkembang.

Kedua teknik pengujian yang digunakan itu adalah enzyme-linked immuno

absorbent assay (ELISA) dan Western blot assay. Elisa digunakan sebagai tes

penyaringan pertama karena tes tersebut lebih murah dari Western blot dan lebih baik

untuk penyaringan dalam skala besar. ELISA sensitive dan cukup spesifik, namun

ada laporan hasil negative palsu, tapi mengindikasikan positif palsu. Untuk alasan itu

hasil positif dari tes ELISA harus dikomfirmasikan dengan menggunakan tesyang

lebih mahal dan lebih rumit yaitu Western blot assay yang lebih sensitive dan spesifik

b. Konseling

Konseling sebelum dan sesudah tes harus dilakukan pada setiap orang, tidak

cukup hanya melalui telepon dan sebaiknya dilindungi arti dari hasil tes dan implikasi

dari perubahan perilaku mereka.(3)

Konseling Pre-pemeriksaan HIV (3,6,8)

1. Perbincangan arti hasil positif dan jelaskan salah arti (contoh hasil pemeriksaan

hanya menyatakan bahwa ada kontak dengan virus AIDS, tapi bukan

pemeriksaan untuk AIDS

2. Perbincangan arti hasil negative (contoh : konversi serum butuh waktu, perilaku

4
berisiko yang baru saja terjadi, butuh waktu dalam pemeriksaan)

3. Selalu siap membahas rasa takut dan perihatin pasien (ketakutan yang tidak

realistik mungkin membutuhkan intervensi psikologik)

4. Bahaslah sebab perlunya pemeriksaan (Ingat, tidak semua pasien mengakui

perbuatan berisiko tinggi)

5. Selidiki reaksi pasien bila hasilnya positif (contoh: saya akan bunuh diri bila

hasilnya positif). Ambil tindakan yang diperlakukan untuk intervensi bila

diduga akan ada reaksi katastropik.

6. Selidiki reaksi terdahulu terhadap stres yang hebat

7. Bahaslah masalah kerahasiaan dalam hubungan dengan situasi pemeriksaan

(contoh lingkungan yang namanya dirahasiakan atau tidak dirahasiakan).

Beritahu pasien tentang kemungkinan pemeriksaan di tempat lain yang namanya

dirahasiakan (contoh: hasil pemeriksaan tidak akan disimpan dalam status

medik yang biasa). Bahaslah orang yang bertanggung jawab atas hasil

pemeriksaan itu.

8. Bahaslah dengan pasien masalah sero positif dan akibatnya terhadap status

sosial nantinya (contoh: asuransi kesehatan dan jiwa, pekerjaan, dan perumahan)

9. Selidikilah perilaku berisiko tinggi dan anjurkan intervensi menurunkan resiko.

10. Catatlah hasll bahasan dalam status pasien

11. Berikan pasien waktu untuk bertanya

Konseling Pasca-Pemeriksaan HIV (3)

5
1. Penjelasan hasil pemeriksaan

- Jelaskan salah interpretasi (seperti: hasil negatif berarti kamu masih dapat

kena virus pada saat mendatang, itu tidak berarti kamu kebal terhadap

AIDS.

- Tanyakan pada pasien tentang pengertian dan reaksi emosional terhadap

hasil pemeriksaannya.

2. Rekomendasi untuk pencegahan penularan (pembahasan yang cermat tentang

perilaku berisiko tinggi dan pedoman untuk pencegahan penularan).

3. Rekomendasi tentang perawatan lanjutan dari pasangan seksual dan kontak

jarum.

4. Bila hasil pemeriksaan positif, rekomendasi untuk tidak menyumbangkan darah,

sperma atau organ dan jangan meminjamkan pisau cukur/silet, sikat gigi, dan

benda lain yang mengandung darah

5. Rujuklah untuk mendapatkan dukungan psikologik :

- Pasien dengan HIV positif sering memerlukan tim kesehatan jiwa (nilailah

kebutuhan untuk rawat inap atau rawat jalan, pikirkan terapi yang

mendukung perorangan atau kelompok). Yang sering terjadi ialah kekagetan

mendengardiagnosanya, takut akan mati dan akibat sosialnya, sedih akan

kemungkinan kehilangan macam - macam fasilitas, dan selalu

mengharapkan untuk berita yang bagus. Juga cari adanya depresi,

keputusasaan, geram, frustasi, rasa dosa dan obsesi

6
- Mendukung aktif pada pasien (seperti : keluarga, teman, pelayanan social.

Diagnosa AIDS ditegakkan pada seorang pasien dengan HIV positif dengan

penurunan imunitas dan infeksi opportunistik (seperti : pneumonia pneumocystic

carinii) atau neoplasma (seperti : sarcoma Kaposi) sebagai tambahan, definisi kasus

pangawasan AIDS yang diperluas termasuk semua orang yang terinfeksi oleh HIV

yang mempunyai jumlah CD+4 T-limfosit kurang dari 200/l. atau kurang dari 14

persen CD+4 T-limfosit dari total limfosit yang didignosis sebagai tuberculosis

pulmoner, kanker servikal, atau pneumonia rekurentis. (3)

IV. GAMBARAN KLINIK PSIKIATRI PADA PASIEN HIV/AIDS

Manifestasi psikiatrik yang sering dijumpai berhubungan dengan infeksi HIV

berupa gangguan fungsional seperti depresi, cemas, gangguan, hingga keinginan

untuk bunuh diri. Dapat juga dijumpai gangguan mental organik seperti demensia dan

delirium sebagai akibat infeksi HIV langsung pada SSP atau infeksi yang kebetulan

oleh organisme lain penyebab infeksi oportunistik.(3,4)

a. Gangguan mental organik akibat HIV/AIDS

1. Demensia terkait HIV

Istilah demensia terkait HIV (HIV associated dementia-HAD) mencakup

spektrum luas perwujudan psikiatri dan neurologi dari infeksi HIV pada SSP.

Gangguan ini mencakup berbagai derajat gejala kognitif, motorik, dap perilaku. Pada

bagian akhir spektrum yang parah ini terdapat AIDS Dementia Complex (ADC), suatu

7
kondisi yang dapat mengakibatkan kerusakan SSP secara bermakna dan ini

merupakan suatu penyulit yang didefinisikan AIDS. Disisi lain dari spektrum ini

adalah Minor cognitive-motor disorder (MCMD) terkait HIV, ini menggambarkan

gejala yang sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk demensia karena gejala ini tidak

mengganggu kegiatan sehari-hari secara bermakna. (4,5)

HIV-Associated Dementia, dalam DSM IV TR (Diagnostik and Statistical

Manual of Mental Disorders Fourth edition Text Revision) diperbolehkan

mendiagnosis demensia karena HIV bila ada penampilan demensia merupakan

konsekuensi patofisiologi langsung dari infeksi HIV. Demensia dengan HIV tersebut

tidak disebabkan oleh infeksi HIV saja tapi juga dapat disebabkan oleh infeksi lain

atau tumor seperti infeksi SSP, tumor SSP, abnormalitas SSP akibat infeksi sistemik,

dan endokrinopati serta efek samping akibat penggunaan zat / obat pada SSP.

Sedangkan dalam ICD-10 dan PPDGJ-III. Digambarkan bahwa Demensia pada

penyakit HIV merupakan suatu gangguan yang ditandai oleh defisit kognitif yang

memenuhi kriteria diagnostik klinis untuk demensia, tanpa ditemukannya penyakit

atau kondisi lain selain infeksi HIV. Gambaran klinik khas dari gangguan ini

menunjukkan keluhan sering lupa, gerakan lamban, kurang konsentrasi, sulit

membaca serta mengatasi masalah, apati, spontanitas menurun, penarikan diri secara

sosial. Pada pemeriksaan fisik sering menunjukkan adanya tremor, gangguan gerakan

berulang-ulang yang cepat, gangguan keseimbangan, hipertonia. Demensia HIV

merupakan tanda prognosis yang buruk, karena biasanya berjalan secara cepat dan

progresif (dalam beberapa minggu atau bulan) menjadi demensia global yang parah,

8
mutisme, dan berakhir dengan kematian. 50-75 % HIV dengan demensia meninggal

dalam waktu 6 bulan. (5)

2. Delirium

Delirium adalah nama generik untuk keadaan jiwa umum dengan banyak

penyebab. Pasien AIDS yang dirawat inap berisiko lebih tinggi untuk mengalami

delirium dengan kejadian 30% sampai 40%. Tidak seperti demensia, serangan

delirium biasanya akut, dan pasien dibawa kerumah sakit sebagai akibat dari

perubahan status keadaan mental. Gejala pada pasien mungkin keliru dikira

memburuknya demensia atau penyakit jiwa yang sudah ada sebelumnya.(5)

Delirium ditandai dengan adanya gangguan pada ketajaman dan kesadaran, dan

ketidakmampuan untuk menghadapi rangsangan luar atau berkonsentrasi. Pasien

sering kali memperlihatkan gerak-gerik psikomotor-kegiatan motor berulang.

Halusinasi visual dan paranoid adalah umum karena disorientasi dan gangguan siklus

tidur bangun. (5)

Pengobatan delirium berdasarkan pada pengobatan terhadap penyebab yang

mendasarinya. Perawatan harus termasuk dukungan terhadap pasien dan

mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Penyalahgunaan zat atau gejala

lepas zat juga mengacaukan gambaran klinis. (5)

Disamping mengobati penyebab dasarnya, pendekatan baku terhadap pengobatan

bersifat farmakologi dan lingkungan. Pengobatan berdasar gejala dengan obat hampir

selalu diperlukan, terutama untuk kasus yang parah. Obat neuroleptik merupakan

pengobatan utama farmakologi dan dapat diberikan secara oral maupun intravena.

9
Dosis awal sebaiknya rendah, dan harus diperhatikan untuk menghindari

memburuknya antikolinergik. Olanzapin cukup berguna untuk efek samping

Parkinson meski angka kejadiannya rendah. Haloperidol berguna karena dapat

diberikan melalui oral maupun intravena. Benzodiazepine sebaiknya dihindari karena

terbukti memperburuk delirium akibat efek sedasinya yang meningkat, yang dapat

menekan fungsi batang otak sehingga menyebabkan kematian. (5)

b. Gangguan Fungsional akibat HIV/AIDS

Saat seseorang diberitahu bahwa dia terinfeksi HIV maka responnya beragam.

Pada umumnya dia akan mengalami lima tahap yang digambarkan oleh Kubler Ross

yaitu penolakan, marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan. Respon permulaan

ini biasanya akan dilanjutkan dengan respons lain sampai pada akhirnya dapat

menerima. Penerimaan seseorang tentang keadaan dirinya yang terinfeksi HIV belum

tentu juga akan diterima dan didukung oleh lingkungannya. Beban yang diderita

Odha baik karena gejala penyakit yang bersifat organik maupun beban psikososial

dapat menimbulkan rasa cemas. Depresi berat bahkan sampai keinginan bunuh diri.

1. Depresi

Berkisar 4%-40% yang terinfeksi dengan HIV telah dilaporkan memenuhi

kriteria depresi. Pada perkembangannya tingkat depresi ditemukan lebih besar diawal

penyakit pasien yang baru didiagnosis dengan HIV/AIDS dibanding dengan

kelompok yang sudah lama mengetahui dirinya HIV, hal ini dikarenakan pada

awalnya terjadi sebuah penolakan terhadap kenyataan yang ada. (3,6)

10
Gejala dari depresi terbagi menjadi 2 kategori yakni gejala afektif dan gejala

somatik. Gejala afektif meliputi afek depresif, perasaan bersalah, putus asa bahkan

terdapat ide untuk bunuh diri. Sedangkan gejala somatik meliputi penurunan berat

badan, gangguan tidur, agitasi, mudah lelah, dan penurunan konsentrasi. (6)

Terdapat beberapa obat HIV yang memiliki efek samping yang dapat menjadi

pemicu terjadinya depresi, dan gejala psikologi yang lain yaitu: (6)

HIV Medication May Trigger

Interleukin Depresi, disorientasi hingga koma

Efavirens (sustiva) Menurunkan konsentrasi, depresi

Stavudin (zerit, d4t) Depresi atau bahkan mania

Zidovudine (retrovir, AZT) Depresi

Zalcitabine (Hivid) Depresi, penurunan kognitif

Vinlabastine Depresi, penurunan kognitif

Oleh karena itu, sangat sulit membedakan gejala klinik depresi yang

disebabkan oleh penerimaan pasien terhadap HIV ataupun efek samping pengobatan,

kecuali kita memperoleh informasi mengenai onset perubahan perilaku dari pasien.

2. Gangguan Anxietas

Pasien yang terinfeksi HIV mungkin mengalami anxietas jenis apapun. Namun,

yang paling sering adalah gangguan cemas menyeluruh, gangguan stress pasca

trauma, dan gangguan obsesif kompulsif. Reaksi anxietas pada Odha sering kali

mencakup rasa khawatir yang mendalam, ketakutan, dan prihatin terhadap kesehatan,

11
masalah somatik, kematian, dan ketidakpuasan mengenai penyakitnya. Reaksi ini

kerap kali mengarah kepada sulit tidur dan berkonsentrasi dan meningkatnya keluhan

somatik. Lebih sering terjadi pada saat diagnosis dan selama pengobatan baru atau

penyakit akut. Penanganan tergantung pada luas dan sifat penyakit tertentu dan gejala

yang diperlihatkan. Psikoterapi sering kali cukup membantu, khususnya dalam

keadaan hubungan konseling. Intervensi farmakologi sebaiknya dibawah pengawasan

psikiater. (3,6)

3. Gangguan penyesuaian

Gangguan penyesuaian dengan afek cemas atau afek depresi dilaporkan terjadi

pada 5 20 % pasien dengan infeksi HIV. Insidennya gangguan penyesuaian pada

orang dengan infeksi HIV lebih tinggi ditemukan juga pada awal pasien didiagnosa

menderita penyakit ini.(3,6)

4. Suicide (Ide bunuh diri)

Percobaan bunuh diri juga meningkat pada pasien dengan infeksi HIV dan AIDS.

Faktor pendorong untuk bunuh diri diantara orang-orang dengan infeksi HIV adalah

karena mempunyai teman yang meninggal karena AIDS.(6)

V. FARMAKOTERAPI

Suatu daftar yang terus berkembang berisi agen yang bekerja dengan cara yang

berbeda dengan cara yang berbedadalam replikasi virus untuk pertama kalinya

menumbuhkan harapan bahwa HIV dapat disupresi secara permanen atau benar-benar

dieradikasi oleh tubuh. Rekomendasi terkini menganjurkan bahwa pengobatan

sebaiknya dimulai dengan terapi tripel yaitu kombinasi dua penghambat transkriptase

12
ditambah satu inhibitor protease. Terapi tripel dapat digunakan untuk orang yang

telah mengalami kontak seksual tak terduga dengan pasangan yang berpotensi

terinfeksi. (7)

Agen antiretroviral memiliki banyak efek samping, yang paling penting bagi

psikiater adalah bahwa penghambat protease dimetabolisme oleh sistem oksidase

sitokrom P450 hepatik dan oleh karena itu dapat meningkatkan kadar beberapa obat

psikotropik yang dimetabolisme dengan cara serupa. Obat tersebut mencakup

Bupropion (wellbutrin), meperidin (Demerol), berbagai jenis benzodiazepine dan

SSRI. Oleh karena itu harus berhati-hati meresepkan psikotropik kepada orang yang

mengonsumsi penghambat protease. (7)

Jika terdapat kerusakan neorologis, maka diindikasikan penilaian suportif yang

biasa dilakukan untuk orang yang secara neurokognitif terganggu. Hal ini meliputi

penekanan upaya untuk mempertahankan orientasi yang baik, penghindaran obat

yang dapat membahayakan fungsi kogitif lebih jauh, terutama benzodiazepine. Bila

harus digunakan maka sebaiknya obat tersebut diberikan dalam dosis yang rendah

dari biasa. Obat antidepresan dan anti psikotik bila diindikasikan, mungkin juga harus

meresepkan dalam dosis yang jauh lebih rendah.(7)

VI. PSIKOTERAPI

Psikoterapi adalah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional seorang

pasien yang dilakukan oleh seorang terlatih dalam hubungan professional secara

dengan maksud hendak menghilangkan, mengubah, atau menghambat gejala-gejala

13
yang ada, mengoreksi perilaku yang terganggu dan mengembangkan pertumbuhan

kepribadian secra positif. (7,8)

Tema psikodinamik pasien terinfeksi HIV mencakup menyalahkan diri sendiri,

harga diri, dan masalah tentang kematian. Psikiater dapat membantu pasien mengatasi

perasaan bersalah seputar perilaku yang menyebabkan dirinya terkena infeksi atau

AIDS. Seluruh pendekatan psikoterapetik mungkin sesuai untuk pasien dengan

gangguan trkait HIV. Baik terapi individu maupun kelompok menjadi lebih efektif.

Terapi individu dapat bersifat jangka pendek dan jangka panjang dan dapat berupa

suportif, kognitif, perilaku dan psikodinamika. (7,8)

Psikoterapi supportif pada pasien HIV bertujuan untuk menguatkan daya mental

yang ada, mengembangkan mekanisme yang baru dan yang lebih baik untuk

mempertahankan kontrol diri, mengembalikan keseimbangan adaptif (dapat

menyesuaikan diri). Seperti berupa bujukan, sugesti, bimbingan, penyuluhan,

hipnoterapi. Psikoterapi kelompok berguna untuk membebaskan individu dari stress,

membantu para anggota kelompok agar dapat mengerti lebih jelas sebab kesukaran

mereka; membantu terbentuknya mekanisme pembelaan yang lebih baik, yang dapat

diterima dan yang lebih memuaskan. Agar proses kelompok berjalan lancer maka,

individu harus diterima sebaik-baiknya sebagaimana adanya dan pembatasan yang

tidak perlu dihindarkan dan diskriminasi. (7,8)

14
VII.KESIMPULAN

Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang didiagnosis

AIDS meninggal 3 tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5% kasus pasien

terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imunologis.

Kenali bahwa penegakan diagnosis AIDS sangat menimbulkan distress pada

pasien karena dampak sosial yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut dan prognosis

tidak menggembirakan. Pasien dapat kehilangan pekerjaan dan rasa aman finansial

selain itu kehilangan dukungan keluarga dan sahabat-sahabatnya. Lakukan tindakan

yang terbaik untuk membantu pasien mengatasi perubahan citra tubuh yang menjadi

beban emosional akibat sakit yang serius dan acaman kematian.

Manifestasi psikiatrik yang sering dijumpai berhubungan dengan infeksi HIV

berupa gangguan fungsional seperti depresi, cemas, gangguan, hingga keinginan

untuk bunuh diri. Dapat juga dijumpai gangguan mental organik seperti demensia dan

delirium. Meskipun begitu, juga dapat dikhawatirkan perubahan suasana afektif dari

pasien ini juga dipengaruhi oleh obat-obatan HIV/AIDS. Sehingga seorang psikiater

harus lebih mampu melihat gangguan ini apakah berasal dari penolakan pasien

terhadap penyakitnya maupun efek samping pengobatannya.

Perlunya pertimbangan psikoterapi pada proses pengobatan pasien HIV/AIDS

sehingga tidak hanya berorientasi pada penyembuhan gejala tetapi juga dengan

melihat aspek psikiatri dari pasien.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan HI, Sadock BJ. Sindroma Imuno-Defisiensi Akuisita (SIDA, AIDS), Ilmu
Kedokteran Jiwa Darurat, Alih Bahasa : Wicaksana M. Roan Cet 1, EGC.
Jakarta, 1998, 92 96.
2. Adler MW. Perkembangan Epidemiologi, dalam Petunjuk Penting AIDS. Edisi
ketiga. EGC : Jakarta, 1996.
3. Kaplan HI, Sadock BJ. Neuropsychiatric Aspect of HIV Infection and AIDS ,
Sypnosis of Psychiatry, 9 th ed. William & Wilkins, Baltimore USA. 2000 P 371
79
4. Goldenberg, David MD. HIV dan Psikiatri. Alih Bahasa. http://spirita.or.id
5. American Pshyciatry Association : HIV and Cognitive disorder and delirim,
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (DSM-IV). Washington
.USA, 1994
6. American Pshyciatry Association : HIV Clinical Depression and anxiety,
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (DSM-IV). Washington
.USA, 1994
7. Fernandez, Francisco; Ruiz, Pedro. Title: Psychiatric Aspects of HIV/AIDS, 1st
Edition. Pg. 150-160
8. Jeffrey J. Weiss and David R. Bang Berg. Pshycgiatric aspect of adherence to
medical care and treatment for HIV/AIDS. Chapter 22. Pg. 281-290

16

Anda mungkin juga menyukai