Anda di halaman 1dari 6

Kehamilan pada masa remaja dan menjadi orang ma ada usia remaja berhubungan secara

bermakna dengan risiko medis dan psikososial, baik terhadap ibu maupun bayinya. Faktor kondisi
fisiologis dan psikososial intrinsik remaja, bila diperberat lagi dengan faktor-faktor sosiodemografi
seperti: kemiskinan, pendidikan yang rendah, belum menikah, asuhan pranatal yang tidak adekuat
akan mengakibatkan meningkatnya risiko kehamilan dan kehidupan keluarga yang kurang baik.
Dari sudut kesehatan obstetri, hamil pada masa remaja memberi risiko komplikasi yang
mungkin terjadi pada ibu dan anak seperti: anemia, preeklamsia, eklamsia, abortus, partus prematurus,
kematian perinatal, perdarahan dan tindakan operatif obstetri lebih sering dibandingkan dengan
kehamilan pada golongan usia 20 tahun keatas. pene1itian di bagian Obstetri dan Ginekologi RSCM
FKUI 1984 mendapatkan kejadian patologi kehamilan usia remaja 22,3 1 per mil dibandingkan
dengan kehamilan di usia 20-30 tahun sebesar 8,36 per mil ; angka kematian perinatal 109,68 per mil
dibandingkan 51,54 per mil dan risiko kehamilan dan persalinannya 2,4 kali lebih tinggi pada
kehamilan remaja dibandingkan kehamilan di usia 20-30 tahun. Kehamilan usia remaja memberikan
gambaran bahwa perempuan tersebut baru mperoleh pendidikan 9 tahun, tamat SLTP atau putus

sekolah SLTA hal mi akan mempengaruhi banyak hal seperti perawatan anak, pendidikan anak,

perkembangan fisik serta mental anak dan juga kehidupan sosial keluarga secara keseluruhan.
(Soetjiningsih, 2014)

EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 1997 angka kehamilan remaja di Amerika Serikat (AS) sebanyak 840.000
dan 79 % adalah kehamilan yang tidak disengaja. Sebesar 10 % setiap tahunnya remaja usia
15-19 tahun menjadi hamil, 19 % dan remaja yang pernah berhubungan menjadi hamil dan
13 % dan seluruh kelahiran di AS adalah kelahiran dan perempuan usia remaja, 31 %
diantaranya adalah kelahiran tanpa perkawinan.
Penelitian Puslit Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan, Depkes R.I tahun
1990 terhadap siswa-siswa di Jakarta danYogyakarta menyebutkan bahwa faktor utama yang
mempengaruhi remaja untuk melakukan senggama adalah : membaca buku porno dan
menonton film biru /blue film (54,39 % di Jakarta, 49,2 % di Yogyakarta). Motivasi utama
melakukan senggama adalah suka sama suka ( 76 % di Jakarta ; 75,6 % di Yogyakarta ),
kebutuhan biologik 14-18 % dan merasa kurang taat pada nilai agama 20-26 %. Pusat studi
kriminologi Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta menemukan 26,35 % dan 846
peristiwa pernikahan telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah dimana 50 %
diantaranya menyebabkan kehamilan. Dan berbagai penelitian menunjukkan perilaku seksual
pada remaja mi mempunyai korelasi dengan sikap remaja terhadap seksualitas. Penelitian
Sahabat Remaja tentang perilaku seksual di empat kota menunjukkan 3,6 % remaja di kota
Medan; 8,5 % remaja di kota Yogyakarta; 3,4 % remaja di kota Surabaya; serta 31,1 %
remaja di kota Kupang telah terlibat hubungan seks secara aktif. Faktor-faktor yang diduga
menjadi sebab terjadinya masalah remaja adalah:
a) Adanya perubahan-perubahan biologok dan psikologik yang akan memberikan
dorongan-dorongan tertentu, yang sering kali tidak diketahui.
b) Institusi pendidik langsung, yaitu orang tua dan guru sekolah kurang siap untuk
memberikan informasi yang benar dan tepat waktu. Berbagai kendala diantaranya
adalah ketidaktahuan dan anggapan di sebagian besar masyarakat bahwa pendidikan
seks adalah tabu.
c) Perbaikan gizi yang menyebabkan umur haid pertama menjadi lebih dini. Di daerah
pedesaan yang masih berpola tradisional kejadian kawin muda masih banyak.
Sebaliknya di daerah kota dimana kesempatan bersekolah dan bekerja menjadi
semakin terbuka bagi perempuan, maka usia kawin cenderung bertambah.
Kesenjangan antara umur haid pertama dan umur perkawinan dalam suasana
pergaulan yang lebih bebas seringkali menimbulkan akses-akses dalam masalah
seksual.
d) Semakin majunya teknologi dan membaiknya sarana komunikasi mengakibatkan
membanjirnya arus informasi dan luar yang sulit sekali diseleksi.
e) Kemajuan pembangunan, pertumbuhan penduduk dan transisi kearah industrialisasi
memberi dampak pada meningkatnya urbanisasi, berkurangnya sumber daya alam dan
perubahan tata nilai. Ketimpangan sosial dan induvidualisme seringkali memicu
timbulnya konflik perorangan ataupun kelompok. Depresi dan frustasi akibat
menyempitnya lapangan kerja menyebabkan remaja mengambil jalan pintas,
terjerumus dalam kenakalan, tindak kriminil, narkotik dan penggunaan obat/bahan
berbahaya.
f) Salah satu peluang yang dapat berfungsi substitusi untuk menyalurkan gejolak remaja
belum sepenuhnya dimanfaatkan, yaitu upaya yang terarah untuk meningkatkan
kebugaran jasmani.
Gejala yang sering kita lihat dan kemudian menimbulkan masalah adalah:
a) Hubungan seks pranikah.
b) Ketidaksiapan remaja mengatasi kehamilan yang diakibatkannya, telah memicu
masalah yang luas: tindakan aborsi, tindakan kekejaman terhadap bayi yang barn
dilahirkan atau masalah dalam perawatan anak. Dampak sosial lain adalah adopsi oleh
orang ma remaja dengan konsekuensi sosial dan tambahan beban ekonomis.
c) Ketakutan yang tidak wajar.
d) Misalnya gadis remaja yang ketakutan selaput daranya robek akibat olahraga, remaja
pria yang merasa berdosa dan depresif karena melakukan masturbasi/onani.
e) Gangguan kesehatan akibat ketidaktahuan, disertai kurangnya pengendalian diri dan
kurangnya bimbingan.
f) Tingkat kebugaran yang rendah. Lambatnya perkembangan prestasi olahraga
merupakan salah satu indikasi dan derajatkesegaran jasmani kelompok remaja.
(Soetjiningsih, 2014)
Dan gejala yang tampak, masalah remaja dapat dikelompokkan dalam tiga kategori:
1) Masalah reproduksi dan penyakit yang berkaitan dengan reproduksi
2) Masalah psikososial
3) Masalah kebugaran
Kurangnya pengetahuan seks dan kehidupan rumah tangga serta adanya istiadat yang
merasa malu kawin tua (perawan tua) menyebabkan meningkatnya perkawinan dan
kehamilan usia remaja. UU Perkawinan No. 1 1974 dengan usia kawin perempuan 16 tahun
menyebabkan perkawinan sah usia remaja meningkat. Temuan Biro Pusat Statistik 1980
bahwa 6,40 % perempuan menikah pertamakali pada usia 16 tahun, 23,89 % usia 17-18 tahun
dan 39,70% menikah pada usia 19 tahun. (Soetjiningsih, 2014)
Konsekuensi dan kehamilan remaja mi adalah pernikahan remaja dan pengguguran
kandungan. Hasil penelitian PKBI beberapa waktu lalu menunjukkan, di Medan, Jakarta,
Yogyakarta. Surabaya, Bali dan Menado angka kehamilan sebelum menikah pada remaja dan
yang mencari pertolongan untuk digugurkan meningkat dan tahun ke tahun. Di bawah ini
adalah skema: Dinamika masalah kesehatan reproduksi remaja. (Soetjiningsih, 2014)
Gambar 1. Dinamika masalah kesehatan reproduksi remaja. (Dikutip dari Pola
Pembinaan Kesehatan Reproduksi Remaja dalam Pembinaan Kesehatan Keluarga. Depkes RI
Jakarta 1993)
Salah satu risiko dan seks pranikah atau seks bebas adalah terjadi kehamilan yang
tidak diharapkan (KTD). Ada dua hal yang bisa dan biasa dilakukan remaja jika mengalami
KTD : 1) Mempertahankan kehamilan atau 2 ) Mengakhiri kehamilan (aborsi). Semua
tindakan tersebut dapat membawa risiko baik fisik, psikis maupun sosial.
1) Bila kehamilan dipertahankan
a. Risiko fisik. Kehamilan pada usia dini bisa menimbulkan kesulitan dalam
persalinan seperti perdarahan, bahkan bisa sampai pada kematian.
b. Risiko psikis atau psikologis. Ada kemungkinan pihak perempuan menjadi ibu
tunggal karena pasangan tidak mau menikahinya atau tidak mempertanggungj
awabkan perbuatannya. Kalau mereka menikah, hal mi juga bisa mengakibatkan
perkawinan bermasalah dan penuh konflik karena sama-sama belum dewasa dan
siap memikul tanggung jawab sebagai orang ma. Selain itu, pasangan muda
terutama pihak perempuan, akan dibebani oleh berbagai perasaan yang tidak
nyaman seperti dihanmi rasa malu yang terus menerus, rendah din, bersalah atau
berdosa, depresi atau tertekan, pesimis dan lain-lain. Bila tidak ditangani dengan
baik, maka perasaan-perasaan tersebut bisa menjadi gangguan kejiwaan yang
lebih parah.
c. Risiko sosial. Salah sam risiko sosial adalah berhenti/pums sekolah atas kemauan
sendiri dikarenakan rasa malu atau cuti melahirkan. Kemungkinan lain
dikeluarkan dan sekolah. Hingga saat mi masih banyak sekolah yang tidak
mentolerir siswi yang hamil. Risiko sosial lain yaitu menjadi obyek pembicaraan,
kehilangan masa remaja yang seharusnya dinikmati, dan terkena cap buruk
karena melahirkan anak di luar nikah. Kenyataannya di Indonesia, kelahiran
anak di luar nikah masih sering menjadi beban orang tua maupun anak yang lahir.
d. Risiko ekonomi. Merawat kehamilan, melahirkan dan membesarkan bayi/anak
membutuhkan biaya besar. (Soetjiningsih, 2014)
2) Aborsi
Banyak remaja memilih untuk mengakhiri kehamilan (aborsi) bila hamil.
Aborsi bisa dilakukan secara aman, bila dilakukan oleh dokter ataupun bidan
berpengalaman. Sebaliknya, aborsi tidak aman bila dilakukan oleh dukun ataupun
cara-cara yang tidak benar atau tidak lazim. Aborsi bisa mengakibatkan dampak
negatif secara fisik, psikis dan sosial terutama bila dilakukan secara tidak aman.
a. Risiko fisik. Perdarahan dan komplikasi lain merupakan salah satu risiko aborsi.
Aborsi yang yang berulang selain bisa mengakibatkan komplikasi juga bisa
menyebabkan kemandulan. Aborsi yang dilakukan secara tidak aman bisa
berakibat fatal yaim kematian.
b. Risiko psikis. Pelaku aborsi seringkali mengalami perasaan-perasaan takut, panik,
tentekan atau stres, trauma mengingat proses aborsi dan kesakitan. Kecemasan
karena rasa bersalah, atau dosa akibat aborsi bisa berlangsung lama. Selain itu
pelaku aborsi juga sering kehilangan kepercayaan diri.
c. Risiko sosial. Ketergantuiigan pada pasangan seringkali menjadi lebih besar
karena perempuan merasa sudah tidak perawan, pernah mengalami KTD dan
aborsi. Selanjutnya remaja perempuan lebih sukar menolak ajakan seksual
pasangannya. Risiko lain adalah pendidikan terpums atau masa depan terganggu.
d. Risiko ekonomi. Biaya aborsi cukup tinggi. Bila terjadi komplikasi maka biaya
semakin tinggi. (Soetjiningsih, 2014)
Angka aborsi di Indonesia diperkirakan mencapai 2,3 juta per tahun, sekitar 750.000
diantaranya dilakukan oleh remaja. Program kesehatan reproduksi yang dikembangkan
pemerintah hanya untuk mereka yang sudah menikah dan tidak merujuk pada kebutuhan yang
terkait dengan informasi seksualitas, edukasi dan penyediaan pelayanan. Diperlukan
peraturan yang lebih fleksibel agar pemerintah memberikan keleluasaan pada lembaga-
lembaga swadaya masyarakat untuk menggarap bidang abu-abu, misalnya aborsi aman dan
penyediaan kontrasepsi bagi remaja dan dewasa muda yang belum menikah. (Soetjiningsih,
2014)

Anda mungkin juga menyukai