Askep Guillain Barre Sindrom Gbs
Askep Guillain Barre Sindrom Gbs
KONSEP PENYAKIT
A. DEFINISI
GBS merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh
imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh
menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik,
sensorik, dan otonom.
Guillain Barre Syndrome (GBS) atau yang dikenal dengan Acute Inflammatory
Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut sebagai Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada
susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks
dan saraf tepi, kadang-kadang mengenai saraf otak yang didahului oleh infeksi.
Penyakit ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel saraf.
B. ETIOLOGI
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
Infeksi
Vaksinasi
Pembedahan
Penyakit sistematik :
Keganasan
Systemic lupus erythematosus
Tiroiditis
Penyakit Addison
Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% 80%, yaitu 1 sampai 4
minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal
Salah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi
autoimun yang menyerang mielin saraf perifer.
Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB
Infeksi Definite Probable Possible
1. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower
motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua
ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak
atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai
secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia.
Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian
distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian
proksimal.
2. Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa
dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan
sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas
ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot
sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3. Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot
muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga
bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I
dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan
N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada
kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.
5. Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal
bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis
diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen
penderita
6. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan
pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan
penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang .
D. PATOFISIOLOGI
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa
sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang
disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda
asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai
menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan
akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-
tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan
bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan
alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel
asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya
limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi
bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-
komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;
berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu
selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang
terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf.
Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang
ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada
kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan
daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada
daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan
semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap
adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus.
Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya,
dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel
inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel
Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan
merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan,
myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang
berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik,
dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu;
sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot,
kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk
berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah
kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla
spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis
dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla
spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat
diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan
sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang
bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai
neuropati perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan
yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur ,
transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga
timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan
prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2.
Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa
lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi
sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson
ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut,
sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf
tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis
yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang
dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada
penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf.
Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun,
saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.
E. PATHWAY
F. KOMPLIKASI
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dapat merawat pasien dengan SGB adalah untuuk memberikan
pemeliharaan fungsi sistem tubuh. Dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang
mengancam jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan
dukungan psikologis untuk pasien dan keluarga.
3. Penatalaksanaan nyeri
Penatalaksanaan nyeri dapat menjadi bagian dari perhatian pad pasien dengan
SGB. Nyeri otot hebat biasanya menghilang sejalan dengan pulihnya kekuatan otot.
Unit stimulasi listrik transkutan dapat berguna pada beberapa orang. Setelah itu nyeri
merupakan hiperestetik. Beberapa obat dapat memberikan penyembuhan sementara.
Nyeri biasanya memburuk antara pukul 10 malam dan 4 pagi, mencegah tidur, dan
narkotik dapat saja digunakan secara bebas pada malam hari jika pasien tidak
mengkompensasi secara marginal karena narkotik dapat meningkatkan gagal
pernafasan. Dalam kasus ini, pasien biasanya diintubasi dan kemudian diberikan
narkotik.
4. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat harus dipertahankan. Jika pasien tidak mampu untuk
makan per oral, dapat dipasang selang peroral. Selang makan, bagaimana pun, dapat
menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit, jadi dibutuhkan pemantauan dengan
cermat oleh dokter dan perawat.
5. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat menjadi masalah berat untuk pasien dengan gangguan
ini,terutama karena nyeri tampak meningkat pada malam hari. Tindakan yang
memberikan kenyamanan, analgesic dan kontrol lingkungan yang cermat (mis,
mematikan lampu, memberikan suasana ruangan yang tenang) dapat membantu
untuk meningkatkan tidur dan istirahat. Juga harus selalu diingat bahwa pasien yang
mengalami paralise dan mungkin pada ventilasi mekanik dapat sangat ketakutan
sendiri pada malam hari, karena ketakutan tidak mampu mendapat bantuan jika ia
mendapat masalah. Harus disediakan cara atau lampu pemanggil sehingga pasien
mengetahui bahwa ia dapat meminta bantuan. Membuat jadwal rutin pemeriksaan
pasien juga dapat membantu mengatasi ketakutan.
6. Dukungan emosional
Ketakutan, keputusasaan, dan ketidakberdayaan semua dapat terlihat pada pasien
dan keluarga sepanjang perjalanan terjadinya gangguan. Penjelasan yang teratur
tentang intervensi dan kemajuan dapat sangat berguna. Pasien harus diperbolehkan
untuk membuat keputusan sebanyak mungkin sepanjang perjalanan
pemulihan. Kadang pasien seperti sangat sulit untuk dirawat karena mereka
membutuhkan banyak waktu perawat. Mereka dapat menggunakan bel pemanggil
secara berlebihan jika merasa tidak aman. Perawat harus mempertimbangkan untuk
membiarkan keluarga menghabiskan sebagian waktu lebih banyak bersama pasien.
Dengan menyediakan perawat primer dapat memberikan pasien dan keluarga rasa
aman, mengetahui bahwa ada seseorang yang dapat menjadi sumber informasi
dengan konsisten. Pertemuan tim dengan pasien dan keluarga harus dilakukan secara
bertahap.
H. TERAPI FARMAKOLOGI
1. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
2. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil
yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas
yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan
dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih
bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
3. Pengobatan imunosupresan:
- Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari
tiap 15 hari sampai sembuh.
- Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah :
6 merkaptopurin (6-MP)
Azathioprine
Cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GUILLAIN
BARRE SINDROM
A. PENGKAJIAN
a) Anamnesis
Identitas klien, antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan,
agama, pendidikan, dsb.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik
secara umum maupun lokalis seperti melemahnya otot-otot pernapasan.
Riwayat Penyakit, meliputi:
1) Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan
komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas. Melemahnya otot
pernapasan membuat klien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap
hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah
pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti
keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari
fungsi kardiovaskular, yang mungkin menyebabkan gangguan sistem saraf otonom
pada klien GBS yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastis
yang mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien
mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat
kartikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai
resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian.
Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang
dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan
tindakan selanjutnya.
Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan
klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun
masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan
akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien
selama masa stres meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah
kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi
dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan
memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap
fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya
hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah,
yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam hubungannya
dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi
pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan individu.
b) Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan
dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi
terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan
frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan
adanya infeksi pada sistem pernapasan dan adanya akumulasi sekret akibat
insufisiensi pernapasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat
(hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan
parasimpatis.
B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan karena infeksi
saluran pernapasan dan paling sering didapatkan pada klien GBS adalah penurunan
frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi
biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan
seperti ronkhi pada klien dengan GBS berhubungan akumulasi sekret dari infeksi
saluran napas.
B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan bradikardi
yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer.Tekanan darah didapatkan
ortostatik Hipotensi atau TD meningkat ( hipertensi transien ) berhubungan dengan
penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
B3 (Brain)
Merupakan pengkajian focus meliputi :
a. Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis ( CM ). Apabila klien
mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting
untuk menilai dan sebagai bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan
keperawatan.
b. Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien
GBS tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental
klien mengalam perubahan.
c. Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi penciuman,
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak
mata, paralis ocular.
Saraf V. Pada klien GBS didapatkan paralis pada otot wajah sehingga
mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena
adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. paralisi otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah, dan
menelan. Kamampuan menelan kurang baik sehngga mengganggu pemenuhan
nutrisi via oral.
Saraf XI. Tidak ada atrof otot sternokleinomastoideus dan trapezius.kemampuan
mobliisasi leher baik.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
d. System motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada klien GBS
tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara
umum sehingga menggaganggu moblitas fisik .
e. Pemeriksaan reflexs
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, periosteum
derajat reflexs dalam respons normal.
f. Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia.
g. System sensorik
Parestesia ( kesemutan kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang
ke ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan
kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.
B4 (Bladder)
Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutris pada klien GBS menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-
otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral
kurang terpenuhi.
B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menururnkan
mobilitas pasien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebh
banyak dibantu orang lain.
c. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada :
Riwayat penyakit dan perkembangan gejala-gejala klinik.
Lumbal pungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya dengan
kenaikan pada mnggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal memperlihatkan adanya
peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal.
Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls sepanjang serabut saraf.
Pengujan elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksi
saraf.
Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik terhadap
cytomegalovirus atau virus Epstein-Barr. Telah ditunjukkan bahwa perubahan
respons imun pada antigen saraf tepi menunjang perkembangan gangguan.
Uji fungsi pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga dapat
ditetapkan nilai dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan penyakit.
Penurunan kapasitas pulmonal dapat menunjukkan kebutuhan akan ventilasi
mekanik.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali
efektif.
Criteria hasil : secara subjektif sesak napas (-),RR 16-20x/menit. Tidak
menggunakan otot bantu pernapasan, gerakan dada normal
Intervensi Rasional
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas Menjadi parameter monitoring serangan
tambahan, perubahan irama dan gagal napas dan menjadi data dasar
kedalaman, penggunaan otot bantu intervensi selanjutnya
pernapasan
Evaluasi keluhan sesak napas bak secara Tanda dan gejala meliputi adanya
verbal maupun nonverbal kesukaran bernapas saat bicara,
pernapasan dangkal dan
ireguler,takikardia dan perubahan pola
napas.
Pantau frekuensi jantung dan irama Perubahan frekuensi dan irama jantung
menunjukkan komplikasi disritma.
Kolaborasi :
Berikan O2 tambahan sesuai indikasi Dapat meningkatkan saturasi oksgean
dalam darah
Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan Bila pemulihan mulai untuk dlakukan,
klien dalam pemenuhan aktivitas sehari- klien dapat hipotensi ortostatik ( dari
hari disfungsi otonom ) dan kemungkinan
membutuhkan meja tempat tidur untuk
menolong mereka mengambil posisi
duduk tegak
Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang
buruk
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi kecemasan hilang atau
berkurang
Criteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor
yang mempengaruhinya, dan menyatakan cemas berkurang
Intervensi Rasonal
Bantu klien mengekspresikan perasaan Cemas berkelanjutan dapat memberikan
marah, kehilangan, dan takut dampak serangan jantung selanjutnya
Kaji tanda verbal dan non verbal Reaksi verbal atau nonverbal dapat
kecemasan, dampingi klien, dan lakukan menunjukkan rasa agitasi, marah dan
tundakan bila menunjukkan perilaku gelisah
merusak
Hindari konfrantasi Konfrontasi dapat meningkatkan rasa
marah, menurunkan kerja sama, dan
mungkin memperlambat penyembuhan
Mulai melakukan tindakkan untuk Mengurangi rangsangan eksternal yang
mengurangi kecemasan. Beri lingkungan tidak perlu
yang tenang dan suasana penuh istirahat
Orientasikan klien terhadap prosedur Orientasi dapat menurunkan kecemasan
rutin dan aktivitas yang diharapkan
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2.
EGC.jakarta.
Jukarnain.,2011. Materi Kuliah Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem
Persarafan. Makassar.
R. Syamsuhidayat & Wim de Jong, 2001, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi,
EGC, Jakarta.
http://fayldestu.blogspot.com/2010/08/askep-sindrom-guillain-barre.html
http://qittun.blogspot.com/2008/05/asuhan-keperawatan-dengan-gullain-
barre.html
http://perawatpskiatri.blogspot.com/2009/2003/sindroma-guillain-barre-sgb.html
http://srigalajantan.wordpress.com/2009/10/31/askep-sindrom-guillain-
barre.html
http://minepoemss.blogspot.com/2010/03/sindrom-guillain-barre-sgb.html
Anatomi dan Fisiologi
Sistem saraf dibagi menjadi dua bagian besar yaitu susunan saraf pusat dan
susunan saraf tepi (Snell, 2006:23). Sistem saraf manusia merupakan jalinan jaringan
saraf yang saling berhubungan, sangat khusus, dan kompleks. Sistem saraf terdiri
dari sel-sel saraf (neuron) dan sel-sel penyokong (Neuroglia dan sel Schwann).
Kedua jenis tersebut demikian erat berkaitan dan terintegrasi satu sama lain sehingga
bersama-sama berfungsi sebagai satu unit. Neuron mempunyai badan sel dengan satu
atau beberapa tonjolan (Price dan Wilson, 2005:1006,1007). Sel neuron mempunyai
dua jenis tonjolan yaitu akson dan dendrit (Snell, 2006:25). Tonjolan tunggal dan
panjang yang menghantarkan informasi keluar dari badan sel adalah akson. Sedangan
dendrit adalah tonjolan yang menghantarkan informasi menuju ke badan sel (Price
dan Wilson, 2005:1012). Sedangkan salah satu sel penyokong dari sistem saraf
adalah myelin. Myelin merupakan substansi yang ada di sekitar atau menyelimuti
akson-akson saraf dan berperan penting pada transmisi impuls saraf (Smeltzer,
2001:2248). Serabut saraf yang mempunyai selubung myelin disebut serabut
bermyelin dan sedangkan yang tidak bermyelin disebut serabut tidak bermyelin
(Price dan Wilson, 2005:1011).
Sistem saraf tepi terdiri dari 12 pasang saraf kranialis dan 31 pasang saraf
spinalis (Price dan Wilson, 2005:1008). Sebagian besar saraf tepi berisi serabut
serabut sensorik (aferen) dan motorik (eferen) (Bickley, 2009:550). Serabut aferen
dan eferen berjalan bersama dalam arah yang berlawanan disemua saraf spinal dan
sebagian besar saraf kranial. Beberapa saraf kranial hanya membawa informasi
aferen. Neuron aferen menyampaikan informasi ke sistem saraf pusat dari semua
organ sensorik, reseptor tekanan dan volume, reseptor suhu, reseptor regangan, dan
reseptor nyeri. Neuron eferen menyampaikan stimulasi saraf ke otot dan kelenjar
(Corwin, 2009).
Saraf Kranial
Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan tengkorak
melalui lubang-lubang pada tulang belakang yang disebut foramina (tunggal,
foramen). Terdapat 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan dalam nama atau angka
romawi. Saraf-saraf tersebut adalah Olfactorius (I), Opticus (II), Oculomotoris (III),
Trocklaris (IV), Trigeminus (V), Abducens (VI), Facialis (VII), Vestibulocochlear
(VIII), Glossopharyngeal (IX), Vasgus (X), Accessory (XI), Hypoglossal (XII). Saraf
kranial I,II, dan VIII merupakan saraf sensorik murni ; saraf kranial III, IV, XI dan
XII terutama merupakan saraf motorik, tetapi juga mengandung serabut propioseptif
dari otot-otot yang dipersarafinnya ; saraf kranial V, VII dan X merupakan saraf
campuran. Saraf kranial III, VII, dan X juga mengandung beberapa searbut saraf dari
cabang parasimpatis sistem saraf otonom (Price dan Wilson, 2005:1033)
Tabel. Ringkasan fungsi-fungsi Saraf Kranial
Saraf Spinal
Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen jaringan saraf dan masing-masing
memiliki sepasang saraf spinal yang keluar dari kanalis vertebralis melalui foramina
intervetebralis (tulang pada tulang belakang). Saraf-saraf spinal diberi nama sesuai
dengan foramina interveterbralis tempat keluarnya saraf-saraf tersebut, kecuali saraf
servikal pertama yang keluar diantara tulang oksipital dan vertebra servikal pertama
(Price dan Wilson, 2005:1033).
Masing-masing saraf spinal dihubungkan dengan medulla spinalis oleh dua
radiks; radiks anterior dan radiks posterior. Radiks anterior terdiri atas berkas serabut
saraf yang membawa impuls saraf menjauhi susunan saraf pusat. Serabut saraf
seperti ini dinamakan serabut eferen. Serabut eferen yang menuju ke otot skeletal dan
menyebabkan otot ini berkontraksi atau biasanya dinamakan serabut motorik (Snell,
2006:26).
Radiks posterior terdiri atas berkas serabut saraf yang membawa impuls ke
susunan saraf pusat dan dinamakan serabut aferen. Karena serabut ini berkaitan
dengan penghantaran informasi mengenai sensasi raba, nyeri, suhu, dan vibrasi,
serabut ini dinamakan serabut sensorik (Snell, 2006:26).
Biomekanik
a) Balance (Equilibrium)
Balance atau stabilitas postural adalah istilah generik yang digunakan untuk
menggambarkan proses dinamis di mana posisi tubuh dipertahankan dalam
keseimbangan. Keseimbangan adalah ketika pusat massa tubuh (Center of Mass)
atau pusat gravitasi (Center of Gravity) berada di atas bidang tumpu (Base of
Support) atau kemampuan untuk menggerakkan tubuh dalam equilibrium dengan
gravitasi melalui interaksi sistem sensorik dan motorik. Equilibrium adalah kondisi
tubuh dalam keseimbangan statis maupun dinamis saat istirahat (Kisner, 2007:251).
Center of mass (COM) adalah titik pusat massa tubuh berada dalam
keseimbangan yang sempurna. Hal ini ditentukan dengan mencari rata-rata
keseimbangan dari masing-masing COM pada setiap segmen tubuh. Center of
gravity (COG) mengacu pada proyeksi vertikal dari pusat massa ke tanah. Dalam
posisi anatomi, COG dari orang dewasa terletak sedikit ke anterior vertebra sakral
kedua atau sekitar 55% dari tinggi badan seseorang. Base of support (BOS)
didefinisikan sebagai perimeter bidang kontak antara tubuh dan permukaan bidang
tumpu (Kisner, 2007:251).
Reaksi equilibrium yang baik terlihat dari adanya perubahan otot yang
memungkinkan untuk pemeliharaan postur yang diinginkan atau jika ada gangguan
yang lebih besar yang mengharuskan adanya perubahan reaksi dari gangguan
tersebut maka respon tubuh akan memperpanjang atau memanjangkan sisi weight
bearing dengan cara fleksi dari sisi non weight bearing dengan beberapa rotasi dalam
sumbu tubuh. Tingkat rotasi tergantung pada arah gangguan. Ketika gangguan yang
terlalu besar atau terlalu cepat maka reaksi proteksi akan membantu melindungi
individu tersebut dari cedera serta membantu mengembalikan pusat gravitasi dalam
base of support (Edwards, 2002:13).
b) Gait Cycle
Siklus berjalan (Gait Cycle) adalah interval waktu antara dua kejadian berurutan
dari salah satu peristiwa berulang dari berjalan. Siklus ini terdiri dari dua komponen,
yaitu Stance Phase dan Swing Phases. Stance phase adalah bagian dari siklus
dimana kaki kontak dengan lantai atau tanah dan Swing phase adalah bagian dari
siklus dimana kaki sudah tidak kontak langsung dengan lantai dan bergerak kedepan
untuk mengambil langkah. Presentasi dari gait cycle adalah 60% Stance dan 40%
Swing (Edwards, 2002:56).
c) Stance Phase
Stance phase adalah fase menumpu, atau fase dimana bagian tubuh (kaki)
bersentuhan dengan lantai. Stance phase memberikan stabilitas untuk gait cycle dan
penting untuk fase swing phase yang benar (Irfan, 2002:55). Pada fase ini terdapat
tahapan-tahapan yang terjadi pada fase stance phase, antara lain :
i. Initial Contact
Initial contact merupakan awal dari fase stance phase dengan posisi heel rocker.
Fase ini merupakan momen seluruh COG berada pada tingkat terendah dan
seseorang pada tingkat yang paling stabil (Irfan, 2002:55). Otot-otot yang bekerja
pada saat fase initial contact adalah otot Gluteus maximus, Hamstring dan Tibialis
anterior (Edwards, 2002:59).
v. Pre swing
Pada akhir fase dari stance adalah interval gerakan kedua double stance pada siklus
berjalan. Dimulai dari initial contact pada anggota gerak bawah kontralateral dan
diakhiri toe-off pada anggota gerak ipsilateral, dengan meningkatnya ankle ke posisi
plantar fleksi diikuti fleksi knee maka hip tidak lagi pada posisi ekstensi. Disaat yang
sama anggota gerak bawah yang lain pada fase laoding response. Menyentuhnya
anggota gerak atau tungkai kontralateral merupakan awal dari terminal double
support (Irfan, 2002:56). Otot Gastrocnemius, Abdduktor longus dan Rektus femoris
adalah otot yang bekerja atau berperan pada fase preswing (Edwards, 2002:59).
vi. Swing Phase
Swing phase adalah bagian dari siklus dimana kaki sudah tidak kontak langsung
dengan lantai dan bergerak kedepan untuk mengambil langkah (Edwards, 2002:56).
Pada swing phase, tahapan-tahapan terdiri dari :
Initial Swing
Diawali dengan memngangkat kaki dari lantai dan diakhiri ketika mengayun kaki sisi
kontralateral dari kaki yan menumpu. Pada saat posisi initial swing hip bergerak
fleksi dan knee naik menjadi fleksi dan ankle pada posisi setengah dorsal fleksi. Di
saat yang sama sisi yang kontralateral bersiap pada fase mid swing (Irfan, 2002:57).
Otot yang berperan pada fase ini adalah otot Hip fleksor group (iliacus, adduktor
longus, Sartorius, dan gracilis), Bisep femoris, Tibialis anterior, dan Long toe
ekstensor (Edwards, 2002:59).
Mid Swing
Pada fase kedua dari periode swing dimulai, saat mengayun anggota gerak bawah
yang berlawanan dari tungkai yang menumpu. Akhir dari fase ini ketika tungkai
mengayun kedepan dan tibia vertikal atau lurus. Saat mid swing hip fleksi dengan
knee bergerak ekstensi untuk merespon gravitasi, dan diikuti dengan ankle
dorsifleksi menuju posisi netral (Irfan, 2002:57-58). Otot yang berperan pada fase ini
adalah otot Tibialis anterior (Edwards, 2002:59).
Terminal Swing
Akhir dari fase swing dimulai dari tibia vertikal dan diakhiri saat kaki menyentuh
lantai. Posisi akhir dari fase terminal swing adalah posisi ekstensi knee dan hip
mempertahankan fleksi sedangkan ankle bergerak dari dorsifleksi ke arah netral
(Irfan, 2002:58). Otot yang berperan adalah otot Hip fleksor, Hamstring, Quadrisep,
dan Tibialis anterior (Edwards, 2002:59).