Anda di halaman 1dari 10

TUGAS KELOMPOK

Untuk Memenuhi Tugas Hukum Lingkungan


Dosen Pengampu: Aprilina Pawestri, S.H., M.H

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN MELALUI LEGAL STANDING


ORGANISASI LINGKUNGAN

Daftar Nama Anggota Kelompok:

1. Reynaldi Ferdian Ariyanto NIM. 150111100236


2. Ahmad Hidayat NIM. 150111100245
3. Syarifuddin NIM. 150111100
4. Candra Maulidi Syahputra NIM. 150111100283
5. ST. Yuli Indah Astutik NIM. 150111100285

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
FAKULTAS HUKUM
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Munadjat Danusaputro, lingkungan atau lingkungan hidup adalah semua benda
dan daya serta kondisi, termasuk didalamnya manusia dan tingkah-perbuatannya, yang terdapat
dalam ruang dimana manusia berada dan memengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan
manusia dan jasad-jasad hidup lainnya.1 Problematika tentang lingkungan di Indonesia dianggap
sudah mencapai pada tahap mengkhawatirkan. Berbagai macam permasalahan dalam negeri kita
tercinta ini, khususnya mengenai lingkungan sangatlah kompleks rupanya. Mulai dari segala
macam pencemaran, penggundulan hutan, lahan kritis, alih fungsi hutan, eksplorasi alam tanpa
melihat dampak jangka panjangnya dan masih banyak lagi sudah menjadi sebuah kompleksitas
problem lingkungan di Indonesia.

Seiring dengan memburuknya kondisi lingkungan hidup di Indonesia dari tahun ke tahun
jumlah sengketa yang muncul akibat kerusakan atau penurunan kualitas lingkungan pun
semakin bertambah. Walaupun tidak ada data yang pasti mengenai jumlah sengketa, namun
beberapa studi menunjukkan adanya kenaikan tersebut. Indikasi tersebut misalnya terlihat dari
jumlah pengaduan yang diterima oleh Kementerian Lingkungan Hidup selama tahun 2002-
2006. Status Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2004-2008 menunjukan kondisi lingkungan yang
memburuk dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008, peningkatan polutan di udara maupun air
semakin tinggi termasuk juga pencemaran limbah domestik dan bahan berbahaya dan beracun
(B3). Hasil pemantauan 35 sungai di Indonesia yang dilakukan oleh 30 Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan Hidup (Bapedalda) Provinsi menunjukkan bahwa air sungai-sungai
tersebut sudah tercemar berat bila merujuk pada kriteria mutu air kelas dua. Sumber pencemar
air permukaan dan air tanah pada umumnya adalah industri, pertanian, dan rumah tangga.
Pencemar dari sektor industri pada tahun 2007 adalah sekitar 13 ribu industri besar dan
menengah, angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 29% dari tahun 2004. Sedangkan

1
Muhammad Akib, Hukum Lingkungan, Perspektif Global dan Nasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hal. 1
industri kecil pada tahun 2007 yang berpotensi melakukan pencemaran air permukaan dan air
tanah sebanyak 94 ribu perusahaan.2

Sementara itu, data yang dihimpun WALHI dari berbagai pemberitaan di media nasional
menyebutkan bahwa jumlah sengketa lingkungan hidup pada 2009 cukup besar yakni 387 buah,
yang meliputi sengketa di bidang kehutanan 127 buah, tambang dan energi 120 buah, pesisir dan
laut 48 buah, perkebunan besar 38 buah, air dan pangan 17 buah, dan sengketa lingkungan atau
sumber daya alam lainnya sebanyak 37 buah (WALHI 2010). Kasus-kasus tersebut adalah kasus
yang mendapat perhatian cukup besar di Indonesia, yaitu kasus luapan lumpur di Sidoarjo (2007),
pencemaran Teluk Buyat di Sulawesi Utara (2007), dan pencemaran akibat pertambangan emas di
Minahasa (2009).3

Dengan keadaan yang demikian, menjadi sebuah keprihatinan bersama bagaimana negara
kita masih belum dapat menjaga kehidupan lingkungan yang harmoni dengan pembangunan yang
ada. Sebenarnya masih banyak lagi jika kita mencoba memaparkan data mengenai permasalahan
lingkungan hidup di Indonesia. Dengan demikian dibutuhkan payung hukum dalam
menyelesaikan sengketa lingkungan hidup salah satunya adalah undang-undang nomor 32 tahun
2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH). Dalam penyelesaian
sengketa, pembahasan kita akan merujuk kepada penyelesaian sengketa melalui legal standing
organisasi lingkungan. Maka akan menarik untuk kita mengkaji bersama bagaimana penyelesaian
sengketa lingkungan jika ditinjau dalam aspek tersebut.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana sebenarnya legal standing organisasi lingkungan dalam menyelesaikan


problematika lingkungan menurut aturan yang berlaku ?

2
Jurnal yang dikutip dari: http://media.leidenuniv.nl/legacy/policy-brief-vvi-%26-bappenas---efektivitas-
penyelesaian-sengketa-lingkungan-hidup-di-indonesia---februari-2011.pdf. Hal 4
3
Ibid
BAB II

PEMBAHASAN

A. Legal Standing organisasi lingkungan menurut UU Nomor 32 Tahun 2009

Indonesia merupakan negara dengan hukum sebagai panglima tertinggi didalamnya, hal ini
secara tegas dan terang termaktub dalam konstitusi tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945
pasal 1 ayat (3). Dengan demikian, hal tersebut mempunyai konsekuensi logis bahwa
menempatkan hukum diatas segala sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Salah satu
identitas dari negara hukum ialah adanya fungsi kekuasaan kehakiman yang menjadi bagian dalam
struktur bernegara. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam menjalankan fungsi penegakan keadilan,
organisasi lingkungan hidup dapat menjadi subjek dalam pihak sengketa lingkungan hidup.

Dalam peran penegakan keadilan sengketa lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup
dapat bertindak sebagai penggugat dalam peradilan. Gugatan terhadap perkara lingkungan tidak
hanya menyangkut hak milik atau kerugian, tetapi juga kepentingan lingkungan yang baik dan
sehat bagi warga masyarakat. Pengertian dari organisasi lingkungan hidup sendiri adalah
kelompok orang yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan
kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup.4

Mengenai kewenangan menggugat yang dimiliki oleh organisasi lingkungan hidup ini,
dibutuhkan kewenangan yang menjadi dasar dalam menggugat. Legal standing organisasi
lingkungan ini menjadi bahasan yang menarik karena masih terdapat doktrin hukum perdata
tradisional yang menganut asas tiada gugatan tanpa kepentingan hukum yang hanya
memungkinkan kewenangan menggugat atas dasar kepentingan dan hubungan hukum dengan
tergugat serta menimbulkan kerugian.

Christoper D. Stone mengemukakan mengenai pentingnya legal standing organisasi


lingkungan, hal ini beliau argumentasikan sebagai berikut: Ancaman yang menimpa
kelestarian satwa langka atau hutan lindung misalnya, akibat ulah manusia memerlukan kuasa
untuk berperkara demi kepentingan ekologis dan kepentingan publik. Gajah, harimau, pohon-
pohon langka, benda cagar budaya tidak dapat maju menggugat di pengadilan. Menghadapi situasi

4
Poin 27 Pasal 1 Ketentuan Umum UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang PPLH
seperti inilah peranan lembaga swadaya masyarakat yang secara nyata bergerak dalam bidang
lingkungan hidup sangat penting dalam gugatan konservasi.5

Pernyataan Stone tersebut memberikan hak hukum (legal right) kepada objek-objek alam
dan untuk itu kuasa atau walinya dapat bertindak untuk kepentingan mereka. Dalam hal ini
memang tidak mungkin ekosistem alam dapat mengajukan gugatan karena mereka tak dapat
berbicara di hadapan persidangan, dengan demikian maka organisasi lingkungan yang bertindak
sebagai wali (guardian) dari lingkungan tersebut.

Di Indonesia, gugatan yang dilakukan oleh organisasi lingkungan yang pertama adalah
dilakukan pertama kali oleh WALHI melawan PT. IIU, Menteri Perindustrian, Menteri Kehutanan,
Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, dan Gubernur Provinsi Sumatera Utara di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.6. Meskipun sebelumnya memang dalam UULH-1982 tidak
dirumuskan secara tegas mengakui keberadaan hak lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk
mengajukan gugatan. Namun demikian, majelis hakim yang memeriksa dan mengadili kasus ini
mengakui legal standing LSM (WALHI) yang bertindak sebagai penggugat untuk kepentingan
lingkungan sebagaimana dapat dari pertimbangan hakim yang menyatakan:

Menimbang bahwa atas pertimbangan-pertimbangan yang terurai diatas, Majelis


berpendapat bahwa dalam kasus ini Yayasan WALHI dapat bertindak sebagai penggugat untuk
melindungi kepentingan setiap orang dalam pengelolaan lingkungan hidup yang ketentuan
pokoknya tertuang dalam pasal 5 Undang-Undang No. 4 Tahun 1982

Diterimanya pengembangan teori dan penerapan hak standing ini, setidak-tidaknya


didasarkan pada dua hal, yaitu:7

a) Faktor kepentingan masyarakat luas


Banyaknya kasus-kasus publik yang muncul telah mendorong tumbuhnya organisasi-
organisasi advokasi, seperti Seirra Club Defense Fund di Amerika, Pollution Probe di
Kanada, dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) di Indonesia, dalam memperjuangkan
kepentingan masyarakat luas. Selain itu, organisasi tersebut sangat efektif dalam

5
Muhammad Akib, Hukum Lingkungan, Perspektif Global dan Nasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hal. 195
6
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hal. 263
7
Muhammad Akib, Hukum Lingkungan, Perspektif Global dan Nasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hal. 196
mendorong pembaharuan kebijakan dan mengubah sikap perilaku birokrasi serta kalangan
pengusaha melalui tekanan-tekanan (pressures) yang dilakukan.
b) Faktor Penguasaan sumber daya alam (SDA) oleh negara
Penguasaan SDA oleh negara mengandung konsekuensi bahwa sifat keberlanjutan SDA
lebih banyak ditentukan dan bergantung pada konsekuensi, aktivisme, dan keberanian
pemerintah sebagai aparatur negara. Akan tetapi, dalam pratiknya sering kali pemerintah
mengabaikan kewajiban untuk menjaga keberlanjutan sumber daya alam dimaksud.
Keadaan semacam ini menuntut kelompok-kelompok masyarakat termasuk LSM,
melakukan tindakan korektif ini dapat dilakukan secara efektif, dalam hal ini melalui jalur
hukum. Agar tindakan korektif ini dapat dilakukan secara efektif, maka diperlukan
penyediaan akses mereka ke pengadilan melalui pengembangan rumus standing.

Pengakuan secara tegas mengenai legal standing organisasi lingkungan semula terdapat
dalam pasal 38 UUPLH-1997. Ketentuan ini diatur kembali dalam pasal 92 ayat (3) UUPPLH-
2009 yang menentukan sebagai berikut:

a. Dalam rangka pelaksanaan tenggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan


hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup
b. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu
tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil
c. Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi
persyaratan:
a. Berbentuk badan hukum;
b. Menegaskan diri di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan
untuk kepentingan pelestarian fungsi lingungan hidup; dan
c. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling
singkat 2 (dua) tahun.8

Melalui ketentuan pasal 92 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan
tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup

8
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Pasal 92 ayat(3)
berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Melalui
pasal ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa secara tegas diakui hak standing organisasi
lingkungan untuk mengajukan gugatan untuk dan atas nama kepentingan lingkungan. Hak
standing ini diberikan selaras dengan adanya pengakuan hak setiap orang, termasuk badan hukum
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Tidak semua hal dapat digugat oleh organisasi lingkungan. Pasal 92 ayat (2) UU PPLH-
2009 membatasi bahwa yang dapat digugat terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan
tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Meskipun tidak ada
penjelasan yang dimaksud dengan biaya atau pengeluaran riil, tentu yang dimaksudkan adalah
biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan telah dikeluarkan oleh organisasi lingkungan hidup.
Dengan demikian yang menjadi fokus gugatan organisasi lingkungan bukanlah ganti rugi, tetapi
tindakan tertentu untuk pelestarian fungsi lingkungan hukum, misalnya membuat atau
memperbaiki unit pengelolaan limbah, menebar kembali (restocking) bibit ikan, melakukan
penanaman pohon disekitar areal perusahaan, dan lain sebagainya yang sifatnya untuk
memulihkan fungsi lingkungan hidup atau menghilangkan penyebab pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan.

Costintino dan Merchant mendefinisikan konflik sebagai ketidak-sepakatan mendasar


antara dua pihak, dimana sengketa adalah satu bentuknya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat
Douglas Benang bahwa konflik adalah suatu keadaan, bukan proses. Orang yang menentang
kepentingan, nilai, atau kebutuhan berada dalam keadaan konflik, yang mungkin laten (berarti
tidak muncul ke permukaan, tidak ditindaklanjuti ataupun diselesaikan). Sedangkan konflik yang
muncul ke permukaan yang ditindak lanjuti ataupun diselesaikan, salah satu bentuk prosesnya
adalah (penyelesaian) sengketa , "Konflik bisa saja terjadi tanpa perselisihan, tetapi perselisihan
tidak bisa ada tanpa konflik.9 Konflik dalam hal lingkungan dapat dikatakan sebgai sengketa yang
kita ketahui bersama dalam sengketa terdapat penggugat dan tergugat.

Tidak semua organisasi lingkungan berhak mengajukan gugatan. Menurut pasal 92 ayat
(3) UUPPLH-2009, yang dapat mengajukan gugatan hanyalah organisasi yang memenuhi tiga
kriteria secara kumulatif, yaitu: (1) Berbentuk badan hukum; (2) Menegaskan diri di dalam

9
Wiwiek Awiati, dalam jurnal yang berjudul hak gugat dan penyelesaian sengketa lingkungan. Hal 1
anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi
lingungan hidup; dan (3) Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya
paling singkat 2 (dua) tahun. Dengan demikian jika salah satu persyaratan tersebut tidak terpenuhi
, maka gugatan tersebut tidak dapat diterima. Ketentuan ini bertujuan untuk membatasi banyaknya
organisasi lingkungan atau yang hanya sekedar mengaku organisasi lingkungan untuk mengajukan
gugatan, padahal ia tidak memiliki visi, misi program dan kegiatan nyata dibidang pelestarian
fungsi lingkungan hidup.10

Salah satu contoh kasus sengketa lingkungan yaitu Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat melalui Putusan No. 820/Pdt.G/1988/PN.JKT.PST tanggal 14 Agustus 1989,
menolak substansi/pokok perkara gugatan WALHI yang mempersoalkan keabsahan studi
AMDAL PT IIU, ditutupnya akses penggugat pada informasi AMDAL dan informasi perihal
kondisi kerusakan serta pencemaran lingkungan. Namun demikian, Yayasan WALHI walaupun
tidak memiliki kepentingan kepemilikan (proprietary interest) diakui hak gugatnya (standing)
untuk tampil sebagai penggugat di pengadilan. Inti keputusan yang menyangkut soal standing ini
sekaligus menggeser doktrin hukum keperdataan konvensional yang mendalilkan tiada gugatan
tanpa kepentingan hukum .

Selain putusan Pengadilan negeri Jakarta Pusat, beberapa perkara lain yang juga terkait
dengan gugatan LSM adalah:

a) WALHI melawan PT Freeport Indonesia (Mei 2000) atas insiden Danau Wanagon. Diputus
oleh PN Jakarta Selatan, 28 September 2001. Dalam hal ini Legal Standing WALHI sebagai
organisasi lingkungan diakui dan gugatan dimenangkan hingga pada pokok perkara.
b) WALHI melawan PT. Lapindo Brantas, PT. Energi Mega Persada, Kalila Energi limited, PAN
Asia, Medco Energi, Santos Brantas, Pemerintah Pemda Jatim, Gubernur Jatim, dan Bupati
Sidoarjo pada 2007 di PN Jakarta Selatan, diputus pada 27 Desember 2007. Dalam kasus ini
hakim mengakui legal standing WALHI. Namun dalam pemeriksaan pokok perkara Majelis
hakim menilai semburan lumpur di lingkungan PT Lapindo Brantas merupakan fenomena
alam.

10
Muhammad Akib, Hukum Lingkungan, Perspektif Global dan Nasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hal. 200
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Organisasi lingkungan mempunyai legal standing yang sah dan kuat dalam mekanisme
penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Pengakuan secara tegas mengenai legal standing
organisasi lingkungan semula terdapat dalam pasal 38 UUPLH-1997. Ketentuan ini diatur kembali
dalam pasal 92 ayat (3) UUPPLH-2009. ketahui bersama dalam sengketa terdapat penggugat dan
tergugat. Tetapi, tidak semua organisasi lingkungan berhak mengajukan gugatan. Menurut pasal
92 ayat (3) UUPPLH-2009, yang dapat mengajukan gugatan hanyalah organisasi yang memenuhi
tiga kriteria secara kumulatif, yaitu: (1) Berbentuk badan hukum; (2) Menegaskan diri di dalam
anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi
lingungan hidup; dan (3) Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya
paling singkat 2 (dua) tahun.
Daftar Pustaka

Akib, Muhammad, Hukum Lingkungan, Perspektif Global dan Nasional, Jakarta: Rajawali
Pers, 2014.
Rahmadi, Takdir ,Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Awiati, Wiwiek , Hak Gugat dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Undang - Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
dikutp dari : http://media.leidenuniv.nl/legacy/policy-brief-vvi-%26-bappenas---
efektivitas-penyelesaian-sengketa-lingkungan-hidup-di-indonesia---februari-
2011.pdf., diakses pada 9 Mei 2017

Anda mungkin juga menyukai