Anda di halaman 1dari 23

REFRESHING

KEGAWATDARURATAN PADA PENYAKIT KULIT

Pembimbing :
dr. FISALMA MANSJOER, Sp.KK

Disusun Oleh :
Rizki Febrian 2012730088

SMF KULIT DAN KELAMIN RS ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN & KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
pada kami sehingga kami dapat menyelesaikan laporan refreshing dengan judul
kegawatdaruratan pada penyakit kulit sesuai pada waktu yang telah ditentukan.
Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta para
pengikutnya hingga akhir zaman. Laporan ini kami buat sebagai dasar kewajiban dari suatu
proses kegiatan yang kami lakukan yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk praktik
kehidupan sehari-hari.
Terimakasih kami ucapkan kepada seluruh pembimbing yang telah membantu kami
dalam kelancaran pembuatan laporan ini, dr. Fisalma Mansjoer, Sp.KK
. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Kami harapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk menambah kesempurnaan
laporan kami.

Jakarta, November 2016

Penyusun
SINDROM STEVENS- JOHNSON

I. Definisi
Sindrom Stevens Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai kulit selaput
lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat;
kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula dapat di sertai purpura.
II. Epidemiologi
Insiden SSJ diperkirakan 2-3% perjuta populasi setiap tahun di eropa dan amerika
serikat. Umumnya terdapat pada dewasa.
Di RSCM setiap tahun terdapat kira-kira 12 pasien. Umumnya juga pada dewasa.
Hal ini berhubungan dengan kausa SSJ yang biasanya disebabkan oleh alergi obat .
III. Etiologi
50% penyebab utama dari Sindrom Stevens- Johnson adalah alergi obat, sebagian kecil
karena infeksi, vaksinasi, penyakit graft versus host, neoplasma, dan radiasi. Pada sebuah
jurnal penelitian adhi djuanda selama 5 tahun (1998-2002) obat yang tersering
menyebabkan alergi adalah analgetik/antipiretik (45%), karbamazepin (20%) dan jamu
(13,3%).
IV. Gambaran Klinis
Penyakit ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah karena imunitas belum
begitu berkembang. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa
demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan
Terdapat 3 trias dari Sindrom Stevens Johnson:
a. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura
pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
b. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%),
kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%). Sedangkan di lubang
hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan
eksoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat terbentuk pseudo
membran. Di bibir kelainan yang sering tampak adalah berwarna hitam yang tebal.
Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring. Traktus respiratorius bagian
atas da esophagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sukar/tidak dapat menelan.
Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
c. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus; yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridoksilitis.
V. Histopatologis
Gambaran histopatologi sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan
dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa:
Infiltrate sel mononuclear disekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superfisial
Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.
Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.
Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa
Spongiosis dan edema intrasel di epidermis
VI. Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis banding SSJ umumnya tidak sulit karena SSJ mempunyai gejala yang
sangat khas dan mempunyai trias yang tadi di jelaskan. Karena Nekrolisis Epidermal
Toksik merupakan parah dari SSJ maka hendaknya di cari apakah terdapat epidermolisis.
Umumnya pasien berbaring, jadi diperiksa punggungnya. Apabila terdapat epdermiolisis
makan diagnosisnya adalah NET
VII. Penatalaksanaan
Jika keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak menyeluruh cukup di obati
dengan prednison 30-40 mg/ hari. Kalau keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh
harus diobati secara tepat dan cepat dan pasien harus dirawat-inap. Penggunaan obat
kortikosteroid merupakan tindakan life-saving, dapat digunakan deksametason secara
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Pada umunnya masa kritis dapat
diatasi dalam beberapa hari.
Bila tapering off tidak lancer hendaknya dipikirkan faktor lain. Mungkin
antibiotik yang sekarang diberikan menyebabkan alergi sehingga masih timbul lesi baru.
Kalai demikian harus diganti dengan antibiotic yang lain.
Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu maka imunitas pasien akan menurun
karena itu harus diberikan antibiotic untuk mencegah adanya infeksi. Misalnya
bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotic yang dipilih hendaknya
yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan atau sedikit
nefrotoksik. Obat yang memenuhi syarat tersebut misalnya siprofloksasin 2x400 mg iv.
Klindamisin meskipun tidak berspektrum luas sering digunakan Karena juga efektif bagi
kuman anaerob dosisnya 2x600 mg iv sehari. Untuk mengurangi efek dari kortikosteroid
diberikan juga diet yang miskin garam dan tinggi protein.
Untuk infus diberikan misalnya dekstrose 5%, NaCl 9% dan ringer laktat
berbanding 1:1:1 dan 1 labu yang diberikan 8 jam sekali untuk menjaga keseimbangan
elektrolit. Jika tidak Nampak perbaikan dalam jangka waktu 2 hari diberikan tranfusi
darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek dari transfuse darah ialah
sebagai imunorestorasi.
Pada kasus dengan purpura yang luas dapat ditambahkan vitamin C 500 mg atau
1000 mg iv sehari. Untuk terapi topical bisa diberikan krim sulfodiazin-perak. Untuk lesi
dimulut dapat diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle. Bila bibir terdapat krusta
tebal bisa diberikan emolien misalnya urea 10%.

VIII. Prognosis
Jika kita bertindak tepat dan cepat maka prognosisnya memuaskan. Jika terdapat purpura
yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan
terdapat bronkopnuemonia penyakit ini dapat mendatangkan kematian.
NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK

I. Definisi
Penyakit berat, gejala kulit yang terpenting ialah epidermolisis generalisata dapat
disertai kelainan pada selaput lendir di orifisium dan mata.
II. Etiologi
Eiologinya sama dengan SSJ. Penyebab utama juga alergi obat yang berjumlah
80%-95% dari semua pasien. Penyebab utamanya adalah derivat penisilin (24%) disusul
olehparacetamol (17%) dan karbamazepin (14%). Penyebab lain ialah analgetik/
antipiretik yang lain, kotrimoksazol, Dilantin, klorokuin, seftriakson, jamu dan aditif
III. Epidemiologi
Dibandiingkan dengan SSJ penyakit ini lebih jarang, di RSCM hanya terdapat 2-3
kasus tiap tahunnya. Umumnya pada orang dewasa.
IV. Gejala klinis
Penyakit mulai secara akut dengan gejala prodromal. Pasien tampak sakit berat
dengan demam tinggi, kesadaran menurun (soporo-komatosa). Kelainan kulit mulai
dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan bula, dapat pula disertai
lesi pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi dan perdarahan sehingga
terbentuk krusta berwarna merah hitam pada bibir. Kelainan semacam itu dapat pula
terjadi di orofisium genitalia eksterna. Juga dapat disertai kelainan mata seperti pada SSJ.
Pada NET yang terpenting adalah terjadinya epidermolisis yaitu epidermis terlepas pada
dasarnya yang kemudian menyeluruh. Gambaran klinis menyerupai kombustio. Adanya
epidermiolisis menyebabkan tanda Nikolskiy Positif pada kulit yang eritematosa, yaitu
jika kulit ditekan dan digeser maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah
ditemukan pada daerah yang tertekan yakni pada daerah punggung dan bokong
dikarenakan biasanya pasien dalam posisi berbaring. Pada sebagian pasien kelainan kulit
hanya berupa epidermolisis dan purpura tanpa disertai dengan erosi, vesikel dan bula.
Kuku dapat terlepas (onikolisis). Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan di traktus
gastrointestinal.
V. Histopatologi
Pada stadium dini tampak vakuolisasi dan nekrosis sel-sel basal sepanjang
perbatasan dermal-epidermal. Sel radang di dermis hanya sedikit terdiri atas
limfohistiosit. Pada lesi yang telah lanjut terdapat nekrosis eosinofilik sel epidermis
dengan pembentukan lepuh sub-epidermal.
VI. Diagnosis banding
Diagnosis NET tidak cukup sulit secara klinis, diagnosis bandingnya dengan
sindrom stevens Johnson perbedaannya yaitu tidak ditemukan epidermolisis seperti pada
NET. Diagnosis banding yang lain yaitu Staphylococcus Scalded Skin Syndrome
(S.S.S.S). gambaran klinisnya sangat mirip karena pada Staphylococcus Scalded Skin
Syndrome juga terdapat epidermolisis tetapi selaput lendir jarang dikenai.
VII. Pengobatan
Obat yang dicurigai menjadi penyebab alergi sebaiknya segera dihentikan.
Berikan dosis kortikosteroid lebih tinggi dari dosis pada SSJ umumnya deksametason
yaitu 40 mg sehari iv dosis terbagi. Jika 2 hari tidak ada perbaikan segera pertimbangkan
untuk mengganti obat yang dipakai ketika rawat-inap
Sebagai pengobatan topikal dapat digunakan sulfadiazin perak (krim dermazin,
silvadene). Perak dimaksud sebagai astringen dan mencegah/ mengobati infeksi kuman
gram negatif, gram positif dan candida. Pengobatan untuk mulut dan bibir sama dengan
pengobatan SSJ.
VIII. Prognosis
Jika penyebabnya infeksi maka prognosisnya lebih baik dari pada disebabkan
alergi terhadap obat. Kalau kelainan kulit luas meliputi 50-70 % permukaan kulit maka
prognosisnya buruk.
URTIKARIA DAN ANGIOEDEMA

I. Definisi
Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya
ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan,
berwarna pucat dan kemerahan, meninggi dipermukaan kulit, sekitarnya sering di
kelilingi halo.
Angioedema adalah urtikaria yang mengenai lapisan kulit yang lebih dalam dari
pada dermis, dapat di submukosa atau di subkutis juga dapat mengenai saluran nafas,
saluran cerna dan organ kardiovaskular.
II. Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hamper 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga
penyebab urtikaria bermacam-macam diantaranya: obat, makanan, gigitan/sengatan
serangga, bahkan fotosentizer, inhalan, kontaktan, trauma fisik, infeksi dan infestasi
parasit, psikis, genetic dan penyakit sistemik.
III. Gejala klinis
Keluhan subjektif gatal, rasa terbakar atau tertusuk. Klinis tampak eritema dan edema
setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak lebih pucat. Bentuknya
dapat popular seperti pada urtikaria akibat gigitan serangga, besarnya dapat lenticular,
numular, sampai plakat. Bila mengenai jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan
subkutan, juga beberapa alat dalam misalnya saluran cerna dan nafas disebut angioedema.
Pada keadaan ini jaringan yang lebih sering terkena ialah muka, disertai sesak nafas,
serak dan rhinitis.
Urtikaria akibat penyinaran biasanya pada gelombang 285-320 nm dan 400-500 nm
timbul setelah 18-72 jam penyinaran dan klinis berbentuk urtikaria popular. Hal ini harus
dibuktikan dengan tes foto tempel. Urtikaria kolinergik dapat timbul pada peningkatan
suhu tubuh, emosi, makanan yang merangsang dan pekerjaan yang berat.
IV. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjukan penyebabnya adalah:
1. Pemeriksaan darah rutin, urine, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya
infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam. Cryoglobulin dan
cold hemolysin perlu diperiksa untuk mengetahui dugaan urtikaria.
2. Periksaan THT untuk menyingkirkan lokasi TOPIKAL
3. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.
4. Tes kulit memskipun terbatas kegunaannya dapat digunakan untuk menegakan
diagnosis.
5. Tes eleminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya dalam beberapa waktu.
6. Pemeriksaan histopatologik, walaupun tidak selalu diperlukan, dapat
membantu diagnosis.biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapilar di
papilla dermis, geligi epidermis mendatar dan serat kolagen membengkak.
Pada permulaan tampak infiltrasi seluler dan pada tingkat lanjut terdapat
infiltrasi leukosit terutama disekitar pembuluh darah.
7. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.
8. Suntikan mecholyl intradermal dapat dilakukan tes foto tempel..
9. Tes dengan es (es cube test).
10. Tes dengan air hangat.
V. Pengobatan
Pengobatan yang paling ideal adalah dengan menghindarkan pasien dari penyebab
yang dicurigai menyebabkan keluhan. Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria
sangat bermanfaat
Penggolongan antihistamin H1
Kelas/ nama generik Nama pabrik
Etanolamin/difenhidramin Benadryl
Etilendiamin/ tripelenamin Pyribenzamine
Alkilamin/ klofeniramid Chlortrimethon
Piperazine/ siklizin Marazine
Fenotiazin/ prometazin Phenergan
Tambahan:
Hidroksizin hidroklorid Atarax
Siproheptadin Periactin
Antihistamin H2 Cimetidine

Pada umumnya efek dari antihistamin telah terlihat dalam waktu 15-30 menit
setelah pemakaian oral dan mencapai puncaknya di 1-2 jam. Antihistamin yang kerjanya
lebih lama yaitu meklizin dan klemastin. Bila pengobatan dengan datu jenis antihistamin
tidak berhasil maka harus diplih antihistamin jenis yang lain. Hidroksizin ternyata lebih
ampuh untuk penderita urtikaria, dermografisme dan urtikaria kolinergik.
VI. Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi.
Urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.
PEMFIGUS VULGARIS

I. Definisi
Pemfigus vulgaris adalah penyakit autoimun berbula kronik, menyerang kulit dan
membrane mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula bula intraepidermal
akibat proses akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibody terhadap
komponen desmosom pada permukaan sel keratinosit jenis IgG, baik terikat maupun
beredar dalam sirkulasi darah.
II. Epidemiologi
Merupakan bentuk yang paling sering yang ditemukan dari pada jenis pemphigus
yang lain. Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan
ras. Frekuensinya pada kedua jenis kelamin yang sama. Umumnya mengenai umur
pertengahan, tetapi dapat juga mengenai semua umur, termasuk anak.
III. Etiologi
Disebabkan karena autoimun, ditemukan autoantibodi pada serum penderita, juga
dapat disebabkan oleh obat (drug induced pemphigus), misalnya D penisilamin dan
kaptopril. Pemphigus yang diinduksi oleh obat dapat berbentuk pemfigus foliaseus
(termasuk pemfigus eritematosus) atau pemfigus vulgaris.
IV. Gejala Klinis
Keadaan umum penderita pada umumnya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai
lesi di kulit kepala yang berambut atau rongga mulut kira-kira pada 60% kasus, berupa
erosi yang disertai dengan krusta. Lesi ditempat tersebut dapat berlangsung berbulan-
bulan sebelum timbul bula generalisata.
Semua selaput lendir dengan epitel skuamosa dapat diserang, yakni selaput lendir
konjungtiva, hidung, faring, laring, esophagus, uretra, vulva dan serviks. Bula yang
timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan meninggalkan kulit terkelupas. cara
mengetahui tanda tersebut ada dua, pertama dengan menekan dan menggeser kulit
diantara bula dan kulit tersebut akan terkelupas. Cara kedua dengan dengan menekan
bula maka bula akan meluas karena cairan yang didalamnya mengalami tekanan.
Epitelisasi terjadi setelah penyembuhan dengan meninggalkan hipopigmentasi
atau hiperpigmentasi dan biasanya tanpa jaringan parut.
V. Histopatologi
Pada gambaran histopatologik didapatkan bula intraepidermal suprabasal dan sel-
sel epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula. Pada pemeriksaan mikroskop
electron dapat diketahui bahwa permulaan perubahan patologik ialah perlunakan segmen
interseluler. Juga dapat dilihat perusakan desmosom dan tonofilamen sebagai peristiwa
sekunder.
VI. Diagnosis banding
Diagnosis banding dari pemfigus vulgaris adalah dermatitis herpetiformis dan
pemfigus bulosa. Dermatitis herpetiformis dapat mengenai anak dan dewasa, keadaan
umum baik, keluhannya sangat gatal, ruam polimorf, dinding vesikel/bula tegang dan
berkelompok dan mempunyai tempat predileksi.
Pemfigus bulosa berbeda dengan pemfigus vulgaris karena keadaan umumnya
baik , dinding bula tegang, letaknya subepidermal, dan terdapat IgG linear.
VII. Pengobatan
Pengobatan utama ialah dengan kortikosteroid karena bersifat imunosupresif.
Yang sering digunakan adalah prednisone dan deksametason dosis bervariasi yakni 60-150
mg sehari atau menggunakan dosis 3 mg/KgBB sehari bagi pemfigus yang berat. Pada
dosis yang lebih tinggi sebaiknya diberikan deksametason i.m atau i.v sesuai dengan
ekuivalennya karena lebih praktis.
Jika belum ada perbaikan atau bertambah buruk setelah 5-7 hari maka dosis inisial
dinaikan 50%. Kalau ada perbaikan dosis diturunkan secara bertahap biasanya satiap 5-7
hari di turunkan 10-20 mg.
Jika pemberian prednison melenihi 40 mg sehari harus disertai dengan antibiotic untuk
mencegah infeksi sekunder.obat sitostatik untuk pemfigus ialah azatioprin, siklofosfamid,
metrotreksat dan mikofenolat mofetil. Obat-obat sitostatik sebaiknya diberikan jika dosis
prednison mencapai 60 mg sehari untuk mencegah sepsis dan bronkopneumonia.
VIII. Prognosis
Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada 50% penderita
dalam tahun pertama. Sebab kematian ialah sepsis, kakeksia dan ketidakseimbangan
elektrolit. Pengobatan dengan kortikosteroid membuat prognosis lebih baik.
ERITRODERMA (DERMATITIS EKSFOLIATIVA)

I. Definisi
Kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema universalis (90-100%),
biasanya disertai skuama. Bila eritemanya antara 50-90% dinamai pre-eritoderma. Pada
definisi eritroderma harus ada eritema, sedangkan skuama tidak selalu terdapat misalnya
pada eritroderma karena alergi obat secara sistemik.
II. Epidemiologi
Dari jumlah makin tahun semakin bertambah dikarenakan psoriasis yang meluas.
Hal tersebut seiring dengan meningkatnya insiden psoriasis.
III. Gejala klinis
a. Eritroderma akibat alergi obat biasanya secara sistemik
Untuk menentukannya diperlukan anamnesis yang teliti; yang
dimaksudkan alergi obat secara sistemik ialah masuknya obat kedalam badan
dengan cara apa saja, misalnya melalui mulut melalui hidung, dengan cara
suntikan/infus, melalui rectum dan vagina. Selain itu alergi dapat pula terjadi
karena obat mata, obat kumur, tapal gigi dan melalui kulit sebagai obat luar.
b. Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit
Pada penyakit tersebut yang sering terjadi ialah akibat psoriasis dapat pula
karena dermatitis seboroik pada bayi oleh karena itu hanya kedua penyakit
tersebut yang dijelaskan
1. Eritroderma karena psoriasis (psoriasis eritrodermik)
Psoriasis dapat menjadi eritroderma karena 2 hal disebabkan oleh
penyakitnya sendiri atau karena pengobatan yang terlalu kuat misalnya
pengobatan dengan dosis yang terlalu tinggi, pada anamnesis harus
ditanyakan apakah menderita psoriasis. Penyakit tersebut bersifat
menahun dan residif, kelainan kulit yang eritematosa dan sirkumskrip.
Umumnya didapati eritema yang tidak merata. Pada tempat
predileksinya dapat ditemukan kelainan lebih eritematosa dan agak
meninggi dari pada di sekitarnya dan skuama di tempat itu lebih tebal.
Kuku juga perlu dilihat dicari apakah ada pitting nail berupa lekukan
miliar, tanda ini hanya menyokong dan tidak patognomosis untuk
psoriasis.
2. Penyakit leiner
Nama lain dari penyakit ini adalah eritroderma deskuamativum.
Etiologinya belum diketahui pasti tetapi menurut pendapat penulis
umumnya penyakit ini disebabkan oleh dermatitis seboroik yang
meluas, karena pada pasien penyakit ini hamper selalu terdapat
kelainan khas untuk dermatitis seboroik.
c. Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan
Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam dapat menyebabkan kelainan
kulit berupa eritroderma. Jadi setiap eritroderma yang tidak termasuk golongan
1 dan II harus dicari penyebabnya, yang berarti harus diperiksa secara
menyeluruh (termasuk pemeriksaan laboratorium dengan sinar X toraks),
adakalanya terdapat leukositosis namun tidak ditemukan penyebabnya jadi
terdapat infeksi bacterial yang tersembunyi (Occult infection) yang perlu di
obati. Ada kemungkinan pasien-pasien eritroderma yang meskipun telah dicari
kausanya belum juga dapat ditemukan.

Sindrom sezary
Penyakit ini termasuk limfoma ada yang berpendapat merupakan stadium
dini mikosis fungoides, penyebabnya belum diketahui, diduga berhubungan
dengan infeksi virus HTLV-V dan dimasukan kedalam CTCL( cutaneous T
Cell Lymphoma).
Sindrom ini ditandai dengan eritema berwarna merah membara yang
universal disertai pula infiltrat pada kulit dan edema. Pada sepertiga sampai
setengah pasien didapatkan splenomegaly, limfadenopati superfisialis, alopesia,
hiperpigmentasi, hiperkeratosis palmaris dan pada plantaris serta kuku distrofik.

IV. Tatalaksana
Untuk eritroderma golongan 1 obat yang di curigai sebagai penyebab harus segera
dihentikan. Berikan kortikosteroid misalnya prednison dengan dosis 4x10 mg.
penyembuhan secara cepat, umumnya beberapa hari sampai beberapa minggu.
Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan kortikosteroid.
Dosis mula-mula 4x10 mg 4x15 mg sehari. Jika setelah beberapa hari tidak tampak
perbaikan dan dosis dapat dinaikan. Setelah tampak perbaikan maka di turunkan secara
perlahan. Jika eritroderma terjadi karena pengobatan dengan ter pada psoriasis maka
obat tersebut harus segera dihentikan. Eritroderma karena psoriasis dapat pula diobati
dengan etredinat.
V. Prognosis
Eritroderma termasuk golongan I yakni karena alergi obat secara sistemik,
prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat dibandingkan dengan
golongan lain.
Pada eritroderma yang tidak diketahui sebabnya pemberiaan korikosteroid hanya
mengurangi gejala yang muncul dan nanti pasien akan ketergantungan dengan obat
kortikosteroid (corticosteroid dependence).
STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME

I. Definisi
Infeksi kulit oleh staphylococcus aureus tipe tertentu dengan ciri khas adalah
terdapatnya epidermolisis.
II. Epidemiologi
Umumnya penyakit ini terdapat pada anak < 5 tahun dan pria lebih banyak
menderita dari pada wanita.
III. Etiologi
Pemyebab utama dari penyakit ini adalah staphylococcus aureus grup II faga 52,
55 dan/ atau faga 71.
IV. Gejala Klinis
Gejala awal terdapat demam yang tinggi disertai infeksi di saluran nafas bagian
atas. Kelainan kulit yang pertama timbul adalah eritema yang timbul mendadak pada
muka, leher, ketiak dan lipat paha, kemudian menyeluruh dalam 24 jam. Dalam waktu
24-48 jam akan timbul bula-bula besar berdinding kendur. Jika kulit yang tampaknya
normal ditekan dan digeser kulit tersebut akan terkelupas dan di temukan tanda
Nikolsky positif. Dalam 2-3 hari akan terjadi pengeriputan spontan disertai dengan
pengelupasan lembar-lembar kulit sehingga tampak daerah-daerah erosif. Akibat
epidermolisis tersebut gambarannya mirip kombustio. Daerah-daerah tersebut akan
mongering membentuk deskuamasi. Meskipun daerah bibir sering terkena tetapi
mukosa jarang diserang. Penyembuhan penyakit akan berlangsung dalam 10-14 hari
tanpa disertai dengan sikatrik.
V. Pemeriksaan penunjang
Jika terdapat di tempat lain kita anjurkan untuk melakukan pemeriksaan
bakteriologik. Periksan tipe kuman karena S.S.S.S disebabkan oleh staphylococcus
aureus tipe tertentu. Pada kulit, seperti telat disebutkan tidak didapati kuman penyebab
karena kerusakan kulit akibat toksin.
VI. Histopatologi
Ditemukan gambaran yang khas yakni telihat lepuh intradermal celah terdapat di
stratum granulosum. Meskpun ruang lepuh sering mengandung sel-sel akan tokolitik.
Epidermis sisanya tampaknya utuh tanpa disertai nekrolisis sel.
VII. Diagnosis banding

VIII. Pengobatan

Untuk pengobatan diberikan antibiotik, jika terjadi derivat penisilin hendaknya


yang juga efektif bagi staphylococcus aureus yang membentuk penisilinase misalnya
kloksasilin dengan dosis 3x250 mg untuk orang dewasa sehari peroral pada neonatus
(penyakit Ritter) dosisnya 3x500 mg sehari per os. Obat lain yang dapat diberikan ialah
klindamisin dan sefalosporin generasi topikal dapat diberikan suffratulle atau krim
antibiotik. Selain itu juga harus selalu di pantau keseimbangan elektrolit pasien.

IX. Prognosis
Kematian dapat terjadi terutama jika pada bayi berusia dibawah 1 tahun yang berkisar
antara 1-10%. Penyebab utama kematian adalah tidak adanya keseimbangan cairan.
ERUPSI OBAT ALERGIK

I. Definisi
Reaksi hipersensitivitas terhadap obat dengan manifestasi pada kulit yang dapat disertai
maupun tidak keterlibatan mukosa. Yang dimaksud dengan obat adalah yang dipakai
untuk menegakan diagnosis, diagnosis profilaksis, dan pengobatan.
II. Etiologi
Beberapa studi menunjukan hubungan kuat antara human lymphocyte allele (HLA)
dengan EOA, misalnya HLA B*1502 pada kasus sindrom steven Johnson. Berdasarkan
klasifikasi COOMBS and GELL, patomekanisme yang mendasari pathogenesis EOA
terbagi menjadi 4 tipe mekanisme:
Tipe 1
Dimediasi oleh IgE yang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis, urtikaria, dan
angioedema
Tipe II
Merupakan mekanisme sitotoksik yang diperantarai reaksi antigen, IgG dan
komplemen terhadap eritrosit, leukosit, trombosit maupun sel precursor
hematologic lainnya.
Tipe III
Reaksi imun kompleks akibat penggunaan obat sistemik dosis tinggi dan jangka
panjang
Tipe IV
Diperantarai oleh limfosit T dengan manifestasi erupsi ringan hingga berat.
III. Gejala klinis
EOA dapat bermanifestasi klinis ringan dan berat sehingga mengancam jiwa. Lesi
dominan yang timbul merupakan petunjuk reaksi hipersensitivitas yang mendasari
a. Urtikaria dan angioedema
Urtikaria ditandai dengan edema setempat pada kulit dengan ukuran yang
bervariasi. Predileksi dapat diseluruh tubuh. Keluhan umumnya gatal dan panas
pada tempat lesi. Lesi individual biasanya tahan kurang dari 24 jam kemudian
hilang perlahan.
Angioedema biasanya terjadi didaerah bibir, kelopak mata, genitalia eksterna,
tangan dan kaki. Angioedema pada glottis menyebabkan asfiksia, sehingga
dibutuhkan penanganan segera. Penyebab tersering ialah penisilin, asam
asetilsalisilat dan NSAID.
b. Erupsi makulopapular
Erupsi makulopapular disebut juga erupsi eksantematosa atau morbiliformis
merupakan bentuk EOA paling sering ditemukan. Timbul dalam 2-3 minggu
setelah konsumsi obat. Biasanya lesi eritematosa diawali dengan batang tubuh
kemudian menyebar ke perifer secara simetris dan generalisata, dan selalu
hampir selalu disertai pruritus. Erupsi makulopapular akan hilang dengan cara
deskuamasi dan terkadang meninggalkan bekas hiperpigmentasi. Erupsi jenis
ini sering disebabkan oleh ampisilin, NSAID, sulfonamid, fanitoin, serta
karbamazepin.
c. Fixed drug eruption (FDE)
FDE merupakan salah satu erupsi kulit yang paling sering dijumpai. Lesi
berupa macula atau plak eritema-keunguan dan kadang disetai vesikel/bula pada
bagian tengah lesi sehingga sering menyerupai eritema multiforme. Predileksi
tersering didaerah bibir, tangan dan genitalia. Kemudian meninggalkan bercak
hiperpigmentasi yang lama hilang. Bahkan sering menetap. Ciri khas FDE
adalah berulang pada predileksi yang sama setelah pajanan obat penyebab. Obat
tersering yang menyebabkan FDE adalah tetrasikin, naproxen dan metamizol.
d. Pustulosis eksantematosa generalisata akut
Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA) merupakan erupsi
akut yang timbul 1-3 minggu setelah konsumsi obat yang diawali oleh demam,
mual, dan malaise.
Kelainan kulit yang ditemukan berupa pustule milier berjumlah banyak diatas
dasar eritematosa. Predileksi tersering utama pada wajah dan lipatan tubuh.
PEGA terkadang sulit dibedakan dengan psoriasis pustulosis dan dermatosis
pustulosis subkorneal (penyakit sneddon Wilkinson) sehingga terkadang
dibutuhkan pemeriksaan histopatologis.
e. Eritroderma
Eritroderma disebut juga dengan dermatitis eksfoliativa, merupakan lesi eritema
difus disertai skuama lebih dari 90% area tubuh. Bukan merupakan suatu
diagnose spesifik dan dapat disebabkan oleh berbagai penyakir lain selain EOA,
misalnya perluasan penyakit kulit, penyakit sistemik termasuk keganasan
(penyakit Hodgkin) atau idiopatik. Perlu dilakukan pemeriksaan teliti dan
penunjang untuk membantu menyingkirkan kemungkinan penyebab lain, pada
eritroderma sering terjadi ketidakseimbangan elektrolit, gangguan termoregulasi
serta kehilangan albumin, sehingga merupakan indikasi psien untuk dirawat.
Oleh penyebab antara lain adalah asetaminofen dan minosiklin.
f. Sindrom hipersensitivitas obat
Sindroma hipersensitivitas obat (SHO) merupakan bentuk EAO tipe berat yang
dapat mengancam jiwa, karena keterlibatan multiorgan. Dahulu SHO dikenal
dengan drug reaction with eosinophilia and systemic symptom (DRESS).
Sering kali diawali oleh infeksi saluran pernafasan atas dan dihubungkan
dengan dengan virus HHV-6, HHV-7, Epstein Barr Virus dan Cytomegalovirus.
Tanda karakteristik SHO adalah demam diatas 38o C lesi pada kulit,
limfadenopati, gangguan fungsi hati dan fungsi ginja, leukositosis dan
eosinophilia. Lesi kulit biasanya timbul 3 minggu setelah konsumsi obat.
Dengan lesi makulopapular paling sering ditemukan. Dapat juga ditemuan lesi
pustular atau epidermolisis. Wajah biasanya mengalami edema dan disribusi
lesi makulopapular tersebar simetris hampir diseluruh tubuh, tetapi jarang pada
telapak tangan dan kaki. Beberapa gambaran unik pada SHO adalah awitan
yang lambat, gambaran klinis yang tetap timbul walaupun obat sudah
dihentikan, serta reaksi silang dengan struktur kimia obat yang berbeda yang
hingga saat ini belum bisa dijelaskan.
Bentuk EOA lain adalah dermatitis medikamentosa, purpura atau vaskulitis,
eritema multiforme, sindrom stevens Johnson dan nekrolisis epidermal toksik.
IV. Pengobatan
1. Terapi sistemik
kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid hingga saat ini masih menjadi kontroversi, di RSCM
memberikan respon yang baik dan angka mortalitas menurun. Pada EOA ringan
kortikosteroid diberikan 0,5 mg/KgBB/ hari, sedangkan pada EOA berat 1-4
mg/KgBB/ hari. Selama pemberian kortikosteroid waspadai efek samping yang
terjadi misalnya perdarahan intestinal, resiko sepsis, dan peningkatan gula darah.

Antihistamin

Antihistamin terutama diberika EOA tipe urtikaria dan angioedema. Dapat


diberikan sebagai terapi simptomatis pada EOA tipe lain yang disertai rasa gatal
yang berat misalnya eritroderma atau eksantematosa.

2. Topikal
Pemberian topokal tidak spesifik, tergantung pada kondisi luas lesi kulit sesuai
prinsip dermatoterapi. Misalnya oada erosi akibat epidermiolisis pada SSJ atau
NET dapat diberikan bahan keratoplasti asam salisilat 1-2 %.

3. Terapi sistemik lain


Terapi sitemik lain yang pernah dilaporkan adalah pengguanaan siklosporin,
plasmaferesis, dan immunoglobulin intravena (IVIg).
V. Prognosis
Prognosis EOA tipe ringan baik bila obat penyebab dapat diidentifikasi dan segera
dihentikan. Pada EOA tipe berat, misalnya eritroderma dan nekrolisis epidermal toksik
prognosis dapat menjadi buruk disebabkan komplikasi yang terjadi misalnya sepsis.
PURPURA VASKULITIS

I. Definisi
Purpura adalah ekstravasasi sel darah merah (eritrosit) ke kulit dan selaput
lendir(mukosa) dengan manifestasi berupa makula kemerahan yang tidak hilang pada
penekanan. Kadang-kadang purpura dapat diraba (palpable purpura). Purpura secara
perlahan-lahan mengalami perubahan warna,mula-mula merah kemudian menjadi
kebiruan, disusul warna coklat kekuningan dan akhirnya memudar dan menghilang.
Menurut ukuran besarnya dibedakan atas:
Ptekie
Purpura superfisialis berukuran miliar atau dengan diameter kira-kira berukuran 3
mm, mula-mula berwarna merah kemudian menjadi kecoklatan seperti besi karat
Ekimosis
Ukurannya lebih besar dan letaknya lebih dalam dari pada ptekie, berwarna biru
kehitaman.
Sugulasio
Ukuran purpura adalah nummular.
Hematoma
Bila darah berkumpul dijaringan membentuk tumor dengan konsistensi yang
padat
II. Klasifikasi
Purpura bisa diklasifikasikan kepada dua yaitu, purpura tanpa inflamasi dan
purpura dengan inflamasi (vaskulitis).
Purpura dengan inflamasi terbagi:
Vaskulitis leukositoklasik (purpura anafilaksis).
Disebut juga sebagai purpura alergik. Kelainan ini diakibatkan karena reaksi
antigen antibody di dekat endotel pembuluh darah yang mengakibatkan
perubahan permeabilitas pada dindingnya dan dilatasi pembuluh darah.
Klinis didapatkan adanya purpura yang dapat diraba ,eritema,edema,urtikaria,dan
bula.Tempat predileksi adalah tempat yang berhubungan dengan tekanan
hidrostatik.Apabila kelainan terbatas disebut sebagai purpura simpleks.Bilamana
disertai nyeri sendi dinamai sindrom SCHOLEIN dan bila disertai gejala saluran
cerna serta saluran kemoh disebut sindrom HENOCH.
Krioglobulinemia campuran (vaskulitis neutrofilik)
Krioglobulin adalah immunoglobulin yang mengendap pada suhu dingin dan
mencair lagi pada suhu panas.Ada dua jenis yaitu krioglobulinemia monoclonal
dan campuran(multikomponen).Krioglobulinemia campuran merupakan
imunukompleks IgG dan IgM,dapat ditemukan pada lupus eritematosus sistemik
dan arthritis rheumatoid,infeksi hepatitis B,dan vaskulitis leukositoklastik.Secara
klonik dijumpai adanya purpura yang dapat diraba.atralgia dan glomerulonefritis.
Ptiriasis likenoides et varioliformis akuta (PLEVA)
Keadaan akut ini sering dikenal sebagai penyakit MUCHA HABERMAN,klinis
terdapat erupsi kulit yang luas terutama di badan ditandai dengan papul-papul
yang berkembang menjadi papulonekrotik disertai perdarahan dan meninggalkan
bekas sikatriks ringan.
Purpura pigmentasi kronik (vaskulitis limfositik)
Menurut LEVER ada 4 penyakit yang termasuk didalamnya,yaitu:
a) Purpura anularis telangiektoides (MAJOCHI)
Kelainan ini dapat mengenai usia dewasa muda, tetapi juga dapat pada semua
golongan umur, tidak terdapat perbedaan jenis kelamin.Lesi dimulai dengan
macula eritematosa karena dilatasi kapiler pada seluruh tubuh. MACKEE (1915)
menyatakan ada tiga fase penyakit yaitu fase telangiektasis, perdarahan, serta
pigmentasi dan atrofi.Fase telangiektasis diikuti timbulnya titik merah hitam di
tepi lesi. Lesi secara perlahan-lahan meluas berukuran 1-2cm.Penyembuhan
dimulai dari bagian tengah sehingga membentuk lesi anular. Lesi anularis akan
bersatu membentuk arkus yang sirsinar. Lesi ini akan menetap beberapa bulan
sampai beberapa tahun dan akan meninggalkan atrofi.
b) Dermatosis pigmentosa progresif (SCHAMBERG)
Kelainan ini berupa dermatosis yang kronik dimulai dengan lesi merah
kecoklatan disebabkan adanya endapan hemosiderin di kulit tampak bercak-
bercak merah disebut cayene pepper, terutama pada anggota badan bagian
bawah. Pada umumnya lesi timbul tanpa disertai rasa gatal. Kelainan ini menetap
selama bertahun-tahun meninggalkan bercak hiperpigmentasi.
c) Dermatosis purpura pigmentosa likenoides (GOUGEROT dan BLUM)
Lebih dikenal dengan nama sindrom GOUGEROT-BLUM. Biasanya timbul pada
usia sekitar 40-60 tahun. Lokalisasi di mana saja tetapi tersering di tungkai
berbentuk papul likenoid yang bersatu membentuk plakat,lesi dapat simetris dan
menetap dan mempunyai warna yang bermacam-macam. Seringkali dihubungkan
dengan liken aureus.
d) Purpura ekzematoid (DOUCAS dan KAPETANAKIS)
Keadaan ini terdapat pada ekstremitas bawah biasanya gatal ditandai adanya
papul, skuama dan likenifikasi. Purpura ekzematoid, pigmentosa purpura di
ekstremitas bawah dan itching purpura sulit dibedakan dengan SCHAMBERG.
Karena itu keempatnya secara klinis baik disebutkan sebagai purpura pigmentosa
kronika.
Purpura infeksiosa
Lebih sering terjadi kerusakan vaskuler baik langsung atau melalui reaksi alergi.
Terdapat kelainan laboratorium yaitu trombositopenia. Infeksi tersering adalah
oleh meningokok yang mengakibatkan terjadinya sepsis, endokarditis bacterial,
infeksi virus misalnya morbili dan lain-lain. Purpura dapat timbul sebagai gejala
prodromal.
Purpura akibat alergi obat
- Obat yang menekan sumsum tulang, misalnya benzol dan nitrogen mustard
- Obat yang merusak sumsum tulang misalnya kloramfenikol
- Obat yang merusak/ menimbulkan trombositopenia misalnya kina dan
sedermid
- Obat- obat lain juga yang menyebabkan purpura antara lain fenobarbital,
yodida, streptomisin, salisilat, tolbutamid, klorforamid, dan antimetabolik.
III. Etiologi
Infeksi virus merupakan factor pencetus, begitu pula infeksi bakteri dan alergi
terhadap makanan, aspirin, zat warma azo dan benzoate yang dibutuhkan pada makanan.
Pada pemeriksaan imunologi ditemukan peningkatan kompleks IgA dan IgG.
IV. Gambaran klinis
Klinis ddapatkan adanya purpura yang dapat diraba, eritema, edema, urtikaria,
dan bula. Tempat predileksinya adalah tempat yang berhubungan dengan tekanan
hidrostatik. Apabila kelainan terbatas disebut purpura simpleks. Bila mana disertai nyeri
sendi dinamai sindroma Scholein dan bila disertai gejala saluran cerna serta saluran
kemih disebut sindrom Henoch.
V. Diagnosis
Purpura dapat dibedakan dengan eritema. Purpura terjadi akibat ekstravasasi
eritrosit dari pembuluh darah ke dermis sehingga penekanan tidak menyebabkan
pudarnya warna lesi, sedangkan eritema terjadi akibat proses inflamasi, kemerahan
timbul akibat vasodilatasi lokal yang hilang pada penekanan dengan jari atau diaskopi.
Kombinasi perdarahan dan inflamasi dapat menyebabkan purpura yang memudar
sebagian.
Penyebab purpura dapat berupa kelainan hematologi, dermatologi, infeksi
reumatologik, traumatic atau kelainan vaskular.manifestasi purpura dapat berupa ptekie,
purpura, macula, ekimosis, kontusio. Lesi purpura biasanya merah, biru atau keunguan
dan dapat pula kuning kehijauan akibat proses degradasi hemoglobin sehingga warna
menunjukan patofisiologi purpura. Purpura yang merah disebabkan oleh saturasi
hemoglobin dengan aliran darah dan perfusi yang cukup pada kulit. Warna merah terang
menunjukan perdarahan superficial. Warna biru menunjukan hambatan aliran darah dan
sering terlihat pada lesi perdarahan dan sianosis. Livedo reticlaris berwarna biru
keunguan dengan pola seperti jarring akibat hambatan aliran darah ke kulit.
VI. Penatalaksanaan
Seperti telah disampaikan pada pendahuluan, purpura merupakan salah satu
symptom klinis yang penyebabnya sangat kompleks, sehingga setiap kasus perlu
mendapat pemeriksaan yang teliti. Penggunaan Vitamin C, Vitamin K, transamin atau
anaroksil masih dianjurkan. Pada keadaan tertentu diperlukan transfuse dan splenektomi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Effendi, Evita H, Sindrom Steven Johnson Dan Nekrolisis epidermal Toksik. Editor:
Menaldi SL, Bramono K, Indriatami W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh.
Jakarta. FKUI; 2015; 199
2. Allanore VL, Roujeau CJ. Epidermal Necrolisis (Steven Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis). In: Lowell AG, Stephen IK , Barbara AG. Editor. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. Eight Edition. United State: Mc Graw-Hill
Companies; 184-187
3. James WD, Berger TG, Elston DM. Hansens disease. In Andrews Diseases of THE Skin
Clinical Dermatology. 10th ed. New York: Saunders Elsevier; p. 344-52
4. Budianti, Windy Keumala, Erupsi Obat Alergik. Editor: Menaldi SL, Bramono K,
Indriatami W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta. FKUI; 2015; 190
5. Aisyah S, Effendi Evuta H. Urtikaria dan Angioedema, In: Menaldi SL, Bramono K,
indriatami W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta. FKUI; 2015; 311-
314
6. Djunda, Adhi. Eritroderma. Editor: Menaldi SL, Bramono K, indriatami W. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta. FKUI; 2015; 228-231
7. Wiryadi, Benny E, Dermatosis Vesikobulosa Kronik. Editor: Menaldi SL, Bramono K,
indriatami W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta. FKUI; 2015; 234
8. Boediarja SA. Purpura, Editor : Menaldi SL, Bramono K, indriatami W. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta. FKUI; 2015; 337-341

Anda mungkin juga menyukai