Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP PENYAKIT
1. Pengertian
Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan
otak, yang dapat terjadi secara akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh
darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan
lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam-2 hari atau 2 minggu dan
kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan (Corwin, 2009).
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.
Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki
ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga
menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik,
hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung,
umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses
bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan
tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah (Arif
Muttaqin, 2008).

2. Etiologi
Penyebab subdural hematoma antara lain (Rosjidi, 2007):
a. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda dan mobil.
b. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
c. Cedera akibat kekerasan.
d. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak.
e. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
f. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
a. Trauma kapitis
Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
b. Trauma pada leher karena guncangan pada badan.
Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi
otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak-anak.
c. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdural
d. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

3. Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi
akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di
permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya
araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak,
sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang
terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana
mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-
gejala akut menyerupai hematoma epidural. Perdarahan yang tidak terlalu besar akan
membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula.
Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan
mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial
yang berangsur meningkat.
Perdarahan subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena
jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil
sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada
vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang
rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala
klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang
spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran
vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari
pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena
pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam
penambahan volume dari perdarahan subdural kronik. Akibat dari perdarahan
subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak.
Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis
spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra
kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup
tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu
akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai
berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang
cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih
lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui
foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui
incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma
subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis
lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya. Terdapat 2 teori
yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner
yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural
hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul
subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang
mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada
kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa
tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti
hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan
berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor
angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural
kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi
di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level
abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik. (Price and Wilson, 2006).

4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang timbul pada hematoma dalah sebagai berikut subdural
(Price and Wilson, 2006; Diane C, 2002) adalah:
a. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24
sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak
dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi
dan tekanan darah.
b. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari
48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam
ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan
status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu
penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk.
Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa
jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak
memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi
intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi
darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-
tanda neurologik dari kompresi batang otak.
c. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara
lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan
terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih
tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi
kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini
yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau
pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering
terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada
kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu
gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa
menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah
besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma
subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya
pengaliran perdarahan ini adalah:
o Sakit kepala yang menetap
o Rasa mengantuk yang hilang-timbul
o Linglung
o Perubahan ingatan
o Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan subdural hematom adalah sebagai
berikut (Junaidi, 2010):
a. CT Scan
CT Scan saat tanpa atau dengan kontras mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. MRI (Magnetic resonance imaging)
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk mengidentifikasi
perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang lebih
cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis menggunakan
CT-scan dibandingkan MRI pada fase akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa
setelah trauma terutama untuk menetukan kerusakan parenkim otak yang
berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-
scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio, dan
cedera aksonal difus. MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural
hematom kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.
c. Angiografi Serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan, trauma.
d. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
e. Analisa Gas Darah
Medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.
f. Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan.
g. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin,
elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.
h. Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya
SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya
perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur
tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap
SDH.

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medik yang dilakukan pada pasien dengan subdural hematom
adalah sebagai berikut (Junaidi, 2010):
a. Tindakan Tanpa Pembedahan
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang)
dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada
kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya
fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran. Servadei dkk merawat
non operatif 15 penderita dengan SDH akut dimana tebal hematoma < 1 cm
dan midline shift kurang dari 0.5 cm. Dua dari penderita ini kemudian
mendapat ICH yang memerlukan tindakan operasi. Ternyata dua pertiga dari
penderita ini mendapat perbaikan fungsional. Merawat nonoperatif sejumlah
penderita SDH akut dengan tekanan intrakranial (TIK) yang normal dan GCS
11 15. Hanya 6% dari penderita yang membutuhkan operasi untuk SDH.
Penderita SDH akut yang berada dalam keadaan koma tetapi tidak
menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) yang bermakna
kemungkinan menderita suatu diffuse axonal injury.
Pada penderita ini, operasi tidak akan memperbaiki defisit neurologik
dan karenanya tidak di indikasikan untuk tindakan operasi. Beberapa penderita
mungkin mendapat kerusakan berat parenkim otak dengan efek massa (mass
effect) tetapi SDH hanya sedikit. Pada penderita ini, tindakan operasi/evakuasi
walaupun terhadap lesi yang kecil akan merendahkan TIK dan memperbaiki
keadaan intraserebral. Pada penderita SDH akut dengan refleks batang otak
yang negatif dan depresi pusat pernafasan hampir selalu mempunyai prognosa
akhir yang buruk dan bukan calon untuk operasi.
b. Tindakan Pembedahan (Craniotomy)
Hematoma subdural yang akut dan kronik, jika memberikan gejala-
gejala yang berat dan progresif maka perlu dioperasi. Pada CT scan pasien
dengan hematoma subdural dengan ketebalan lesi > 10 mm atau midline-shift
> 5 mm maka harus dievakuasi dengan pembedahan,tanpa memperhatikan
GCS pasien. Semua pasien dengan hematoma subdural akut dengan koma
maka Tekanan intrakranialnya harus diawasi. Pasien dengan status koma
dengan ketebalan lesi hematom subdural < 10 mm dan midline shift < 5 mm
harus dievakuasi dengan pembedahan jika GCS menurun diantara waktu
trauma dan masuk di rumah sakit dengan 2 atau lebih poin dan atau pasien
yang menunjukkan asimetris dan atau pupil dilatasi dan atau tekanan
intrakranial melebihi 20 mm Hg.
Pada pasien dengan hematoma subdural akut dan berindikasi untuk
dilakukan pembedahan, maka evakuasi dengan pembedahan harus dilakukan
sesegera mungkin. Jika terdapat indikasi evakuasi pembedahan pada pasien
hematoma subdural akut yang koma, maka harus dilakukan dengan
menggunakan kraniotomi dengan atau tanpa bone flap removal dan
duraplasti.Evakuasi secara bedah merupakan pengobatan definitif dan tak
boleh terlambat, karena menimbulkan resiko berupa iskemia otak dan
hiperventilasi. Pembedahan pada hematoma subdural akut dengan kraniotomi
yang cukup luas untuk mengurangi penekanan pada otak (dekompresi),
menghentikan perdarahan aktif subdural, dan evakuasi darah intraparenkimal.
Setelah evakuasi hematom pada hematoma subdural akut, pemberian
obat ditujukan untuk pengontrolan terhadap tekanan intrakranial (TIK) dan
mempertahankan tekanan perfusi serebral di atas 60-70 mmHg. Parameter ini
dipertahankan selama periode perioperatif. Bila dalam 24 jam ditemukan
terjadinya suatu hematoma subdural akut berulang atau ada suatu peningkatan
tekanan intrakranial dilakukan follow up dengan pemeriksaan CT scan ulang
segera untuk melihat lesi intrakranial atau reakumulasi hematoma subdural.
Pemeriksaan pembekuan trombosit darah setelah tindakan operasi diikuti
untuk mengoreksi jika ada suatu resiko perdarahan tambahan.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi,
stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinan karena aspirasi), cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
b. Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat,
merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
c. Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia
seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada
ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi
gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
i. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
ii. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
iii. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
iv. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
v. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
vi. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu
sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
d. Bladder
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi.
e. Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan
(disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
f. Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal
selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

2. Diagnosa, Intervensi dan Rasional (Doenges, 2000)


a) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
(hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia
(hipovolemia, disritmia jantung).
Tujuan: Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi
motorik/sensorik.
Kriteria hasil: Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
INTERVENSI/RASIONAL
i. Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai
standar GCS.
Rasional : Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan
bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan
SSP.
ii. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi
terhadap cahaya.
Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna
untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan
ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis.
iii. Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
Rasional : Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik
(nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika
diikuti oleh penurunan kesadaran. Demam dapat mencerminkan kerusakan
pada hipotalamus.
iv. Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.
Rasional : Sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan
perfusi jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes
insipidus
v. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan
yang tenang.
Rasional : Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh
dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK
vi. Bantu pasien untuk menghindari / membatasi batuk, muntah, mengejan.
Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.
Rasional : Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak dan
intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
vii. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
Rasional : Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema serebral,
meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.
viii. Berikan obat sesuai indikasi.
Rasional : Diuretik pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, edema
otak dan TIK. Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan
edema jaringan. Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya
aktifitas kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif digunakan
untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan atau
mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh meningkatkan
metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.
b) Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
(cedera pada pusat pernapasan otak)
Tujuan: mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi: bebas sianosis, GDA dalam batas normal
Intervensi/Rasional
i. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan
pernapasan.
Rasional : Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya
ventilasi mekanis.
ii. Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk
melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
Rasional : Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting
untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk
menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.
iii. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.
Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan
adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
iv. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar.
Rasional : Mencegah/menurunkan atelektasis.
v. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik.
Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
Rasional : Penghisapan biasanya jika pasien koma atau dalam keadaan
imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri.
vi. Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara
tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis,
kongesti, atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral
dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.
vii. Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri dan Lakukan ronsen thoraks ulang
Rasional : Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan
kebutuhan akan terapi.
viii. Berikan oksigen.
Rasional : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam
pencegahan hipoksia.
c) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak,
prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh.
Tujuan: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi: Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi/Rasional:
i. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang
baik.
Rasional : Pencegahan infeksi nosokomial harus tetap diterapkan.
ii. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat
invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
Rasional : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk
melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi
selanjutnya.
iii. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis
dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
Rasional : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya
memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
iv. Ajarkan melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus
menerus. Observasi karakteristik sputum.
Rasional : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru menurunkan
resiko terjadinya pneumonia, atelektasis.
v. Berikan antibiotik sesuai indikasi Cara pertama untuk menghindari terjadinya
infeksi nosokomial.
Rasional : Terapi profilatik digunakan pada pasien yang mengalami trauma,
kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nosocomial.

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Diane, C., Baughman. (2002). Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku Untuk
Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.
Doenges, Marlyn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanan dan
Pendokumentasian Perawatan PAsien. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Price, Sylvia Anderson and Wilson. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Ed 6. Jakarta: EGC.
Rosjidi, C., H. (2007). Asuhan Keperawatan Klien dengan Cedera Kepala.
Yogyakarta: Ardana Media.

Laporan Pendahuluan

Asuhan Keperawatan Perioperatif Pada Tn.M Dengan Subdural


Hematoma (SDH) Di Ruang Bedah Emergency (OK Cito) Instalasi
Bedah Sentral RSUDZA Banda Aceh

Disusun Oleh :

Diana Mulyani
PO7120413010
Dosen Pembimbing : Ns. Isneini, S.Kep., M.Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES ACEH
PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN
BANDA ACEH
2017

Anda mungkin juga menyukai