Anda di halaman 1dari 14

Nama : Atik Pujiyanti

Kelas : XI.Bahasa
No :1

CERITA RAKYAT DARI MAYONG JEPARA


RORO AYU MAS SEMANGKIN

Diposkan oleh BloggerKu BloggerMu di 09.04


Sabtu,02

1. PENDAHULUAN

Roro Ayu Mas Semangkin adalah puteri dari Sultan Prawoto yang ke-4. Sewaktu kecil di
asuh oleh bibinya Ratu Kalinyamat. Setelah dewasa dijadikan sebagai garwo selir dari
Panembahan Senopati/ Sutowijoyo dari Kerajaan Mataram. Roro Ayu Mas Semangkin
kembali ke Jepara untuk menumpas pagebluk yang disebabkan oleh kerusuhan dan

banyaknya perampokan di wilayah desa Mayong. Beliau menjadi panglima perang


mendampingi Lurah Tamtomo Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Atas keahlian dan
ketangkasan dari Roro Ayu Mas Semangkin kerusuhan tersebut dapat dipadamkan. Setelah
itu Roro Ayu Semangkin tidak mau kembali ke Mataram dan mendirikan pesanggraha.

Bersama Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan dan Ki Datuk Singorojo.


Kanjeng Ibu Mas Semangkin adalah sosok seorang tokoh yang sangat berjasa, khusunya bagi
warga masyarakat Desa Mayong Lor mengingat beliau adalah cikal bakal, dan pahlawan
putri. Perilaku Ibu Mas Semangkin patut disuri tauladani bagi seluruh pemimpin pada seluruh
lapisan yang ada diwilayah Kabupaten Jepara. Ketauladanan yang dapat dipetik adalah sifat
kesederhanaan, kesehajaan, dan kedekatannya kepada kawula alit. Hal ini ditunjukknannya
dalam kehidupan sehari-hari walaupun seorang isteri raja Mataram namun beliau rela mati
untuk meninggalkan kemewahan duniawi menuju pengabdian kepada masyarakat kecil.

Dengan mengungkap dan menyajikan cerita dan atau sejarah singkat seorang tokoh teladan,
kiranya akan dapat menumbuhkan rasa solidaritas yang tinggi pada diri warga masyarakat
untuk dapat memahami dan menyadari arti suatu perjuangan hidup demi kemaslahatan orang
banyak. Sehingga keberadaan tokoh ini akan tetap dikenang oleh masyarakat dan muncul
sikap untuk turut serta hanguri-uri berbagai peninggalan dan makamnya sebagai salah satu
bentuk perwujutan dalam upaya melestarikan adapt dan tradisi masyarakat melalui
perlindungan, pemeliharaan dan restorasi termasuk didalamnya acara buka luwur yang
diadakan disetiap tanggal 10 Muharram.
2. KELAHIRAN RORO AYU MAS SEMANGKIN

Roro Ayu Mas Semangkin, yang kemudian lebih dikenal Ibu Mas atau bergelar Ratu Mas
Kagaluhan adalah puteri kedua dari Pangeran Haryo Bagus Mukmin (Sunan Prawoto) cucu
dari Sunan Trenggono dan cicit dari Raden Patah. Sunan Prawoto adalah cucu dari Raden
Patah putra dari Sultan Trenggono ( Raja ketiga dari Demak Bintoro) dengan Rr. Ayu
pembayun putri Sunan Kalijaga yang dikaruniai sepuluh anak. Sedangkan Pangeran Haryo
Bagus Mukmin memiliki keturunan tiga orang anak yakni P.Haryo Panggiri (Pangeran
Madepandan) yang bergelar Sultan Ngawantipura, Rr. Ayu Mas Semangkin dan Rr. Ayu Mas
Prihatin.

Pada saat kelahiran Rr. Ayu Mas Semangkin di Kerajaan Demak Bintoro sedang terjadi
kemelut politik disebabkan wafatnya Sultan Trenggono (1546 M). Suksesi pergantian
kepemimpinan pasca wafatnya Sultan Trenggono tidak dapat berjalan mulus dikarenakan
terjadi konflik di Kerajaan Demak Bintoro., Faktor penyebab konflik dari intern (dalam
kerajaan) dan factor ekstern (perbedaan pandangan dari para wali sembilan tentang calon
pengganti Sultan Trenggono).

Konflik intern Kerajaan Demak terjadi karena adanya rasa dendam berebut kekuasaan dari
keturunan Pangeran Sedo Ing Lepen yang dibunuh oleh Sunan Prawoto (Putera Sulung Sultan
Trenggono) ternyata meninggalkan duri dalam hati keturunan Pangeran Sekar Sedo Ing
Lepen, puteranya yang bernama Arya Penangsang merasa lebih berhak menduduki tahta
kerajaan, sebab dia beranggapan bahwa yang menduduki kursi mahkota tersebut adalah
ayahnya, bukan Sultan Trenggono karena Pangeran Sekar adalah kakak dari Sultan
Trenggono dan adik dari Patih Unus atau Pangeran Sabrang Lor (Sultan Syah Alam Akbar II)
yang memerintah tahun 1518 1521 M. Atas dasar inilah Arya Penangsang berusaha untuk
merebut dan menduduki tahta kerajaan Demak. Sedangkan faktor ekstern yaitu munculnya
aksi saling mendukung dari para wali yang memiliki calon-calon pengganti dari Sultan
Trenggono turut mewarnai situasi politik di dalam kerajaan.

Dalam buku Babad Demak disebutkan bahwa Sunan Giri tetap mencalonkan Sunan Prawoto
untuk menjadi Sultan Demak tetapi Sunan Prawoto sendri telah tercemar pribadinya karena
tertuduh membunuh Pangeran Sekar Sedo Ing Lepen. Sedangkan suara Sunan Kudus lain
lagi, beliau mencalonkan Arya Penangsang (Adipati Jipang), karena Arya Penangsang adalah
pewaris (keturunan) langsung Sultan Demak dari garis laki-laki yang tertua, kecuali itu Arya
Penangsang adalah orang yang mempunyai sikap kepribadian yang teguh dan pemberani.

Sunan Kalijaga beliau mencalonkan Hadiwijaya (Adipati Pajang) atau sering disebut juga
dengan nama Joko Tingkir / Maskarebet. Joko Tingkir adalah menantu Sultan Trenggono.
Sikap pencalonan Sunan Kalijaga terhadap Pangeran Hadiwijaya disertai dengan alasan
bahwa jika yang tampil Pangeran Hadiwijaya, maka pusat kesultanan Demak Bintoro akan
dapat dipindahkan ke Pajang, sebab apabila masih di Demak, agama Islam kurang
berkembang, sebaliknya akan lebih berkembang pesat apabila pusat kesultanan itu berada di
Pedalaman (di Pajang).

Sikap dan pendapat dari Sunan Kalijaga ini tampaknya kurang disetujui oleh Sunan Kudus,
karena apabila pusat kerajaan dipindahkan di pedalaman (Pajang) maka sangat dikhawatirkan
ajaran Islam yang mulia, terutama menyangkut bidang Tasawuf, besar kemungkinannya
bercampur dengan ajaran mistik atau Klenik sedangkan Sunan Kudus sedang mengajarkan
ajarannya Wuluang Reh / penyerahan. Dari pendapat ini menunjukkan bahwa Sunan Kudus
tidak setuju dengan sikap dan pendapat Sunan Kalijaga yang mencalonkan Hadiwijaya
sebagai pengganti dari Sultan Trenggono.
Situasi politik semakin meruncing dan tambah memanas, sehingga Arya Penangsang
mengambil sikap, karena merasa dialah yang lebih berhak menduduki tahta kerajaan Demak
Bintoro, maka dengan gerak cepat terlebih dahulu menyingkirkan Sunan Prawoto dengan
pertimbangan, Sunan Prawoto lah yang membunuh ayahnya, kedua dialah yang menjadi
saingan berat dalam perebutan kekuasaan itu, akhirnya Sunan Prawoto mati terbunuh beserta
isterinya oleh budak suruhan Arya Penangsang / Soreng Pati yang bernama Rungkut,
pada tahun 1546. Setelah Sunan Prawoto wafat target berikutnya Joko Tingkir menantu dari
Sulltan Trenggono, karena dianggap berambisi untuk menduduki tahta dari Kerajaan Demak.

Situasi politikyang kian meruncing dan memanas menjadi suasana semakin tidak menentu.
Prahara perang saudara ini disebabkan oleh api dendam Arya Penangsang yang berhasrat
untuk membalas dendam atas kematian ayahandanya dan ambisi menduduki tahta kerajaan
Demak Bintoro yang membuat keselamatan jiwa dari keturunan Sunan Prawoto termasuk
jiwa Rr. Ayu Semangkin.

Pada waktu Rr. Ayu Semangkin dilahirkan kerajaan dalam suasana penuh ketegangan
sehingga ia diberi gelar Ratu Mas Kagaluhan, yang artinya galau / was-was. Sunan
Prawoto beserta isterinya merasa galau / cemas karena jiwanya diancam oleh Arya
Penangsang.

Sejak dilahirkan Rr. Ayu Semangkin telah menjadi anak yatim piatu sehingga hidupnya
penuh penderitaan. Selain itu jiwa keluarganya terancam oleh para Surengpati / pembunuh
bayaran dari Arya Penangsang (Aryo Jipang). Keadaan inilah yang menghantui ketentraman
keluarga mendiang Sunan Prawoto.

3. MENJADI PUTRI ANGKAT RATU KALINYAMAT

Setelah Sunan Prawoto dan isterinya wafat dibunuh oleh budak suruhan Arya Penangsang
yang bernama Rungkut kehidupan keluarganya tidak tentram karena selalu mendapatkan
ancaman dan teror dari para pengikut Arya Penangsang sehingga akan mengganggu
keselamatan jiwanya. Selain itu suasana politik yang memanas menyebabkan Ratu
Kalinyamat dan Pangeran Hadlirin berusaha untuk menyelamatkan keluarga Sunan Prawoto
yang tidak lain kakak kandungnya.

Maka Pangeran Haryo Panggiri, Ratu Prihatin dan Rr. Ayu mas Semangkin berusaha
dilindungi dan diasuh agar jiwanya selamat. Sedangkan Rr. Ayu Mas Semangkin dijadikan
sebagai anak angkat Ratu Kalinyamat dan dipindahkan dari Prawoto ke Jepara yaitu Keraton
Kalinyamatan (lokasinya di sekitar kawasan pabrik padi Bonjot yang sekarang digunakan
sebagai gudang penampungan pupuk pertanian. Letak lokasinya tersebut berjarak kurang
lebih satu kilometer sebelah utara dari jalan pertigaan masjid Purwogondo yang sekarang
termasuk wilayah Kecamatan Kalinyamatan).

Salah satu prajurit yang turut di gladi perang adalah putri angkatnya sendiri yaitu Rr. Ayu
Semangkin dan Rr. Ayu Prihatin. Rr. Ayu Semangkin selalu digladi oleh para tamtama
kerajaan hingga memiliki oleh kanuragan cukup tinggi tanpa pilih tanding. Rr. Ayu
Semangkin yang telah tumbuh menjadi seorang dewasa sangat giat berlatih dan tekun belajar
dibawah bimbingan bibinya Ratu Kalinyamat. Selain belajar ilmu kanuragan dia juga
mempelajari ilmu-ilmu agama Islam serta ilmu-ilmu batin untuk menempa dirinya. Ilmu
kanuragan digunakan untuk melindungi diri dari musuh terutama dari para pengikut Arya
Penangsang. Motivasi dan semangat yang mambara di hati Rr. Ayu Semangkin karena
adanya bara api dendam kepada para pengikut Arya Penangsang yagn telah membunuh
ayahnya. Ketekunan dan keprigelan Rr. Ayu Semangkin kemudian dijadikan Senopati Putri
dari Kerajaan Jepara. Keadaan ini menyebabkan kerajaan Jepara memperoleh kebesaran dan
mencapai puncak kejayaannya.

Kebesaran kekuasaan Ratu Kalinyamat dapat diketahui dari sumber sejarah yang ditulis oleh
De Coutu dalam bukunya Da Asia menyebutkan Rainha de Jepara, senhora poderosa e
rica artinya raja Jepara seorang perempuan yang kaya dan mempunyai kekuasaan besar.
Kekuasaan besar ditunjukkan pada 1550 dan 1574 membantu kerajaan Johor untuk
mengadakan penyerangan terhadap kekuatan Portugis di Malaka. Pada tahun 1550 Ratu
Kalinyamat mengirimkan 40 kapal perangnya dan 200 orang prajurit pilihan. Sedangkan pada
tahun 1574 mengirimkan pasukan sebanyak 15.000 orang dengan 300 kapal perang dan 80
buah Jung besar, namun kedua kali penyerangan itu tidak berhasil dikarenakan strategi
perang yang digunakan dapat dipatahkan. Untuk menyelesaikan masalah perang tersebut
maka Ratu Kalinyamat bersedia berunding dengan Portugis yang hasilnya mengecewakan.
Dalam perundingan tersebut Portugis menuntut untuk menyerahkan enam kapal perangnya
dan seluruh amunisinya serta bahan makanan yang dibawanya.

Kekalahan pasukan Ratu Kalinyamat membawa kerugian yang sangat besar sehingga akan
berdampak kemunduran bagi kerajaan Kalinyatamatan. Setelah berkuasa cukup lama Ratu
Kalinyamat pulah Kerahmatullah, akan tetapi tidak diketahui tahun kapan beliau wafat dan
peristiwa apa kemangkatan kanjeng ratu ini tidak diketahui secara pasti. Namun ada sumber
yang mengatakan bahwa beliau wafat kira-kira pada tahun 1579 Masehi.

Setelah kemangkatan Ratu Kalinyamat maka kekuasaan pemerintahan diserahkan kepada


putra angkatnya yang bernama Pangeran Jepara yaitu putra Raja Hasanuddin dari Banten,
tetapi banyak terjadi pemberontakan di Pajang. Pada tahun 1578 Kerajaan Pajang runtuh dan
diikuti oleh kerajaan Jepara keruntuhan di tahun 1590 M.

4. MENJADI ISTRI SELIR SUTOWIJOYO

Setelah Sutowijoyo berhasil mengalahkan Aryo Penangsang (Adipati Jipang) sesuai janjinya
Ratu Kalinyamat menghadiahkan kedua putri angkatnya Rr.Ayu Mas Semangkin dan Rr.
Ayu Prihatin diperistri oleh Raden Sutowijoyo dan selanjutnya diboyong dari Jepara ke
Pajang. Waktu itu Sutowijoyo menjadi Senopati perang di Kerajaan Pajang. Pada saat inilah
Rr. Ayu Semangkin dan Rr Ayu Prihatin mendalami olah kanuragan dan mulai tertarik untuk
mulai berlatih perang bersama-sama prajurit Pajang Rr. Mas Semangkin sejak di keraton
Kalinyamat dulu, sering berlatih olah kanuragan dan turut mendampigi Ratu Kalinyamat
dalam melatih para prajuritnya. Kebiasaan itu juga dilakukannya saat mendampingi suaminya
Sutowijoyo di arena latihan maupun di palagan / di tengah-tengah peperangan. Rr Ayu
Semangkin dan Sutowijoyo dikenal sebagai senopati pilih tandingyang sangatditakuti oleh
para musuh-musuhnya.

Setelah sekian lama mengabdi kepada Sultan Hadiwijaya (ayah angkatnya) bersama Rr. Ayu
Semangkin di Pajang kemudian terbetik niat untuk menagih janji hadiah yang pernah
dijanjikan oleh Sultan Hadiwijaya ketika sayembara barang siapa yang dapat mengalahkan
Arya Penangsang maka akan dihadiahi bumi Pati dan hutan Mentaok. Sultan Hadiwijaya baru
menepati satu janjinya yakni memberikan hadiah bumi Pati yang kemudian diserahkan
kepada Ki Penjawi sedangkan hutan Mentaok tak kunjung diberikan sehingga Ki Juru
Mertani dan Sutowijoyo diam-diam meninggalkan istana Pajang untuk membabat hutan
Mentaok yang kelak menjadi kerajaan Mataram.

Setelah meninggalkan PajangKi Juru Mertani dan Sutowijoyo kemudian membabat hutan
Mentaok dan mendirikan Pesanggraan di kota Gede dekat Yogyakarta. Sutowijoyo, Ki Ageng
Pemanahan dan Rr. Ayu Semangkin dan Rr Ayu Prihatin beserta para pengikutnya turut
mesanggrah di kota Gede tersebut. Selain itu senopati perang kerajaan Pajang ini juga ahli
spiritual mengadakan interaksi dengan alam gaib penguasa laut selatan yang bernama Nyai
Loro Kidul. Beliau bersemedi ditemani Ki Juru Mertani duduk disebuah batu hitam yang
kini dikenal dengan nama batu gilang. Batu gilang tersebut sebagai tanda bukti bekas telapak
kaki dan tempat duduk yang membekas hingga sekarang. Di atas batu gilang itulah senopati
Sutowijoyo memperoleh pulung kerajaan seingga kelak menjadi raja di tanah jawa.

Pada saat inilah kelak menjadi embrio kesalah pahaman antara Pajang dan Mataram.
Kesalahpaaman ini muncul ketika perilaku pembangkangan oleh Senopati Mataram (Raden
Ngabehi Loring Pasar) putra dari Ki Ageng Pemanahan (Kyai Gede Mataram), Ia menjadi
senopati Mataram menggantikan ayahnya atas perhatian raja Pajang dengan berbagai
persyaratan, antara lain berkewajiban menghadap raja Pajang setiap tahun sebagai ukuran
kesetiaannya. Namun apa yang terjadi, Senopati(Raden Ngabehi) pada tahun pertama diberi
kelonggaran tidak diwajibkan menghadap ke Pajang. Tetapi kelonggaran itu justru
disalahgunakan kesempatan. Ia menyuruh rakyat Mataram membuat batu bata guna
mendirikan tembok benteng, dan pada tahun berikutnya ia pun tetap tidak menghadap ke
Pajang.

Kyai Gede Mataram dalam waktu singkat dapat menjadikan daerahnya sangat maju. Beliau
sendiri tidak mengecap hasil usahanya karena meninggal pada tahun 1575 tetapi puteranya
yang bernama Sutowijoyo, melanjutkan usaha itu dengan giat. Sutowijoyo dikenal sebagai
orang yang gagah berani. Mahir dalam perang dan karena itu nantinya lebih terkenal sebagai
Senopati ing Alaga (Panglima perang). Sementara itu di Pajang terjadi perubahan yang sangat
besar. Joko Tingkir meninggal pada tahun 1582. Anaknya pangeran Benowo disingkirkan
oleh pangeran Pangiri (dari Demak) dan dijadikan Adipati di Jipang. Maka sebagai sultan
Pajang kini bertahtalah Arya Pangiri yang melanjutkan daerah Demak.

Sultan baru ini dengan tindakan-tindakannya yang merugikan rakyat segera menimbulkan
rasa tidak senang di mana-mana. Kenyataan ini merupakan kesempatan yang baik bagi
Pangeran Benowo untuk merebut kembali kekuasaannya. Ia meminta bantuan kepada
Senopati dari Mataram, yang juga menginginkan robohnya Kerajaan Pajang dan sudah
terlebih dahulu mengambil langkah-langkah untuk melepaskan daerahnya dari Pajang itu.
Pajang diserang dari dua jurusan, dan Arya Pangiri menyerah pada Senopati. Pangeran
sendiri tidak sanggup kalau harus menghadapi saudara angkatnya itu, maka bersedia
mengakui kekuasaan Senopati. Keraton Pajang dipindah ke Mataram, dan berdirilah kerajaan
Mataram (1586).

Pengangkatan Senopati oleh dirinya sendiri menjadi raja Mataram dengan gelar
Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama Kalifatullah. Bila diartikan
Panembahan yaitu orang yang disembah / dijunjung tinggi (dihormati). Senopati artinya :
panglima perang. Ing Alaga artinya : ditengah-tengah palagan / medan pertempuran,
Sayidin Panatagama artinya kepala agama, Kalifatullah artinya wakil dari Allah.

Setelah pengangkatan dirinya menjadi raja Mataram mendapat banyak tantangan, lebih-lebih
oleh karena segera menunjukkan politik ekspansinya. Bentrokan pertama terjadi dalam tahun
1586, yaitu dengan Surabaya. Dengan perantaraan Sunan Giri pertumpahan darah yang lebih
hebat dapat dicegah. Surabaya tidak ditundukkan, tetapi bersedia mengakui kekuasaan
Senopati. Dalam tahun itu juga Senopati menghadapi perlawanan kuat dari Madiun Ponorogo
namun dapat segera dipatahkan. Pada tahun 1587 Senopati mampu menggempur Pasuruhan
bersama Panarukkan dan pada tahun 1595 menaklukkan Cirebon dan Galuh. Pati dan Demak
juga membrontak bahkan tentara mereka dapat mendekati ibukota Mataram. Tetapi pasukan
Senopati yang dipimpin oleh Rr. Ayu Semangkin, Ki Tanujayan, Ki Brojo Penggingtaan dan
keempat perwira yang dipimpin oleh Tumenggung Sukolilo yang bernama Surokerto dapat
meredam pemberontakan.

Setelah perluasan ke Jawa Tengah bagian pesisir utara, Jawa Timur dan Jawa Barat (Cirebon
dan Panarukkan) Senopati wafat tahun 1601 dan kemudian dimakamkan di Kota Gede
Yogyakarta bersanding dengan Rr. Ayu Prihatin Garwo Selir Sutowijoyo yang
dipersembahkan oleh Ratu Kalinyamat ketika dapat mengalahkan Arya Penangsang.
Sedangkan Rr. Ayu Semangkin mendirikan Padepokan di Mayong dan mendirikan rumahnya
di Mayonglor hingga wafat.

5. BERTINDAK SEBAGAI SENOPATI PERANG

Pada awal masa pemerintahan Mataram, sisa-sisa prajurit Jipang yang masih setia kepada
Arya Penangsang, senantiasa mencptakan berbagai bentuk kerusuhan seperti pencurian,
perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, serta bentuk-bentuk tindak kejahatan lainnya. Hal
ini mereka lakukan demi menciptakan ketidaktenteraman dan keresahan bagi masyarakat di
Kasultanan Mataram. Daerah kekuasaan kerajaan Mataram yang seringkali terjadi huru hara
yaitu di wilayah Pati, Jepara (lereng Muria), karena wilayahnya terlalu jauh dari pusat
pemerintahan kerajaan Mataram.

Selain berbagai kerusuhan dan huru-hara juga terjadi di sekitar Mayong, Jepara. Pada
permulaan abad 17, Pati Pesantenan yang dipimpin oleh Bupati Wasis Joyo Kusumo (Bupati
Pragola Pati II) bermaksud membangkang mengadakan kraman dari kekuasaan Sultan di
Mataram. Pembangkangan yang dilakukan oleh Bupati Pati terhadap Kasultanan Mataram
ditunjukkan dengan sikapnya yang tidak mau membayar upeti dan tidak mau tunduk kepada
perintah Sultan Mataram. Sikap tersebut ditandai dengan berkali-kali tidak hadir pada saat
pisowanan agung yang digelar oleh Sultan. Untuk mengetahui kebenaran itu maka dikirimlah
telik sandi ke Pati, Jepara dan daerah-daerah lain yang dianggap rawan tersebut. Setelah telik
sandi dikirim ke tempat kerusuhan tersebut kemudian melaporkan kebenaran informasi
kepada Sultan Mataram.

Atas kebenaran laporan tersebut Sultan Mataram kemudian memerintahkan para perwiranya
untuk menumpas huru hara dan kraman di sekitar lerang pegunungan Muria.
Mendengar berita tentang keadaan yang sangat merisaukan dan membahayakan Kasultanan
Mataram ini, maka Rr. Ayu Semangkin sebagai salah satu dari Senopati Putri pada waktu
Ratu Kalinyamat terketuk dan terpanggil hatinya turut menyelesaikan berbagai macam
permasalahan yang menyangkut keamanan di wilayah lereng pegunungan Muria. Rr. Ayu
Semangkin merasa berutang budi dengan masyarakat di wilayah Jepara karena bertahun-
tahun beliau hidup dan dibesarkan di istana Kalinyamatan serta telah digembleng berbagai
ilmu kanuragan, ilmu keprajuritan dan ilmu spriritual.

Rr. Ayu Semangkin dengan keteguhan hatinya untuk turut serta menumpas huru-hara dan
kraman yang dilakukan oleh Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo beserta para sorengpati-
sorengpati pengikut Arya Penangsang. Darah keprajuritan dan keprawiraan yang mengalir
dalam jiwanya hal ini menyebabkan beliau berkeinginan untuk turun di tengah-tengah
palagan dan memimpin sendiri penumpasan tersebut. Keteguhan hatinya untuk menjadi
senopati perang melawan Bupati Pati dan para sorang-soreng pati pengikut Aryo Penangsang
ini disampaikannya sewaktu ada pisowanan agung / musyawarah agung yang membahas
tentang permasalahan gangguan keamanan di lereng pegunungan Muria.

Pada pertemuan ini Rr. Ayu Semangkin memohon ijin untuk menumpas kraman tersebut
tetapi Sultan Mataram tidak memperkenankan turut dalam penumpasan tersebut karena
mengkhawatirkan keselamatannya. Namun Rr. Ayu Semangkin mendesak dan meyakinkan
kepada sultan hingga akhirnya merestui dan mengijinkan untuk turut menumpas huru hara
dan kraman tersebut. Setelah mendapatkan ijin dan restu dari Sultan Mataram maka Rr. Ayu
Mas Semangkin pergi ke tengah-tengah palagan dengan didampingi oleh dua orang tamtama
perang yang sakti mandraguna yakni Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan.

Selain rombongan prajurit dari Rr. Ayu Semangkin, Panembahan Senopati juga mengirimkan
empat perwira terbaiknya guna membantu Rr. Ayu Semangkin yang dikhususkan untuk
menumpas kraman yang dilakukan oleh Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo. Bupati Pati dikenal
sebagai salah satu seorang yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi dan daya kesaktian
yang menakjubkan serta memiliki pusaka Kere Wojo rampasan dari Baron Sekeder yang
dapat menambah kesaktiannya dalam pepatah Jawa Ora tedhas Tapak Palune Pandhe
sisaning gurendo. Keempat perwira masing-masing Kanjeng Raden Tumenggung Cinde
Amoh, Kanjeng Tumenggung Roro Meladi, orang menyebut Roro Molo, Kajeng Raden
Tumenggung Candang Lawe orang menyebut Raden Slendar, Kanjeng Raden Tumenggung
Samirono, orang menyebut Raden Sembrono. Keempat perwira beserta para prajurit dan
pasukannya setelah mendapatkan tugas dan restu dari Kanjeng Sultan kemudian segera
berangkat ke medan perang.

Keempat perwira tersebut mendapatkan tugas masing-masing sesuai dengan strategi yang
digunakan dalam berperang. Suro Kadam mendapat tugas sebagai penunjuk jalan dan
sekaligus sebagai prajurit telik sandi. Sebagai prajurit Telik Sandi Suro Kadam bertugas
untuk sebagai mata-mata. Agar berhasil dalam menjalankan tugas maka dia mengadakan
penyamaran dan bergabung dengan masyarakat. Suro Kadam menjalankan tugasnya dengan
penuh keberanian dan kehati-hatian. Suro Kadam dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
Suro Kerto adik kandungnya sendiri. Atas keberanian dan kehati-hatian tersebut Suro Kadam
dapat memberikan informasi yang tepat tentang keberadaan Bupati Wasis Joyo Kusumo
beserta pasukannya.

Dengan informasi yang tepat inilah keempat perwira dari Kasultanan Mataram kemudian
mengadakan koordinasi, bermusyawarah untuk mengatur strategi perangnya agar dapat
mengalahkan pasukan Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo. Berkat kejituan strategi perang yang
digunakan dan semangat dari para prajurit Mataram untuk memenangkan peperangan maka
dalam waktu yang cukup singkat Bupati Wasis Joyo Kusumo dan pasukannya dapat
ditakukkan.
Sepulang dari peperangan, para prajurit bersemayam / mesanggrah di Kademangan Sukolilo.
Saat-saat itu bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 Maulud. Para
prajurit terbiasa memperingati di setiap tanggal 12 Maulud di Keraton Mataram diadakan
upacara Sekaten untuk itu mereka mengadakan upacara Skatenan di Sukolilo, sebagaimana
adat Kasultanan setiap tahunnya. Keempat perwira tersebut kemudian mohon ijin untuk
tinggal di Sukolilo guna mengawasi para pengikut Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo.
Panembahan Senopati mengijinkan membangun tenpat tinggal disana serta memberikan
palilah (ijin), di Kademangan Sukolilo untuk melestarikan Maulid Nabi dengan
mengadakan perayaan yang mirip Skaten yang disebutnya Meron, yang dalam bahasa Jawa
dimaksudkan ramene tiron-tiron.
Sedangkan tempat berkumpulnya para Tumenggung untuk bertirakat sekarang dikeramatkan
dengan nama Talang Tumenggung, sedang daerah tempat mesanggrah, sekarang menjadi
Dukuh Pesanggrahan. Diantara keempat Tumenggung tersebut ada yang meninggal di
Kademangan Sukolilo, yaitu Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Among dan dimakamkan di
makan Sentono Pesanggrahan (300 meter arah Timur Laut Talang Tumenggung)

Berkat kerjasama Pasukan Rr. Ayu Semangkin dan Tumenggung Sukolilo beserta para
prajurit dan pengikut-pengikutnya maka Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo dapat ditumpas.
Kemudian keempat perwira tersebut memutuskan untuk menetap dan membangun Desa
Sukolilo dan sekitarnya. Sedangkan Rr. Ayu Semangkin melanjutkan perjuangan di Mayong
untuk menumpas para perusuh dan pengikut setia Arya Penangsang yang senantiasa membuat
huru hara dan kerusuhan seperti perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan sehingga
membuat keresahan dan ketidaktentraman masyarakat di Mayong dan sekitarnya.

Berkat semangat dan kegigihan serta kemahiran dari para prajurit Mataram lebih-lebih Lurah
Tamtono Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Maka pasukan Rr. Ayu Semangkin
dalam waktu yang cukup singkat dapat menumpas para perusuh sehingga keadaan menjadi
tenang dan pulih kembali seperti sedia kala. Namun Rr. Ayu Mas Semangkin masih khawatir
terjadi kerusuhan lagi sehingga beliau beserta para pengikutnya untuk mendirikan
pesanggrahan dan sekaligus membabat hutan di Mayong Lor sebagai tempat tinggalnya.

6. MENDIRIKAN PADEPOKAN DI WILAYAH MAYONG

Berkat kegigihan, kedigjayaan, keperwiraan dan ketangkasan dalam olah kanuragan Rr. Ayu
Mas Semangkin dalam memimpin pasukannya sehingga para perusuh perlawanan dalam
waktu singkat dapat dipatahkan bahkan menyerah dan bertekuklutut dihadapan para prajurit
mataram. Suasana masyarakat diwilayah lereng pegunungan Muria khususnya di daerah
Mayong dan sekitarnya mulai kembali aman, dan tentram. Kehidupan masyarakat kembali
seperti semula karena masyarakat telah dapat beraktifitas / bekerja dengan tentram.

Tugas suci Rr. Ayu Mas Semangking beserta pasukannya telah dilaksanakan dengan cepat
dan sukses, namun beliau dan pasukannya tidak segera pulang ke Mataram , mengingat
serangan musuh mungkin bisa terulang lagi maka Kanjeng Ibu Mas Semangking
mengerahkan kepada kedua tamtama dan para prajuritnya untuk sementara waktu
menumpang di sebuah di padepokan yaitu di sebuah tempat yang dihuni oleh kakek tua.
Penghuni padepokan ini adalah seorang pengembara dari pulau Dewata (Bali) dari Singaraja
maka tempat tersebut sampai saat sekarang disebut desa Singorojo. Letak desa tersebut
berjarak kurang lebih dua kilometer arah utara dari desa Pelemkerep Mayong.

Kakek tua penghuni padepokan tersebut bernama Idha Gurnandhi yang lebih dikenal oleh
masyarakat dengan sebutan Ki Datuk Singorojo. Selama rombongan prajurit Mataram berada
di tempat Ki Datuk Singorojo, perusuh-perusuh tidak dapat berani datang lagi. Kemudian
Kanjeng Ibu Mas yang didampngi oleh kedua tamtama dan dikawal oleh beberapa prajurit
Mataram memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram. Kanjeng Ibu Mas bersama kedua
tamtama (Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujaya) yang dikawal oleh prajurit Mataram ingin
menetap di daerah baru. Dari tempat Ki Datuk Singorojo, rombongan prajurit Mataram
bersama Kanjeng Ibu Mas Semangkin dan kedua Lurah tamtomo menuju kearah selatan
kurang lebih 2 kilometer dari Desa Singorojo dan sampailah rombongan tersebut di daerah
yang agak landai dan masih ditumbuhi oleh pohon semak-semak belukar.

Kanjeng Ibu Mas Semangkin bersama rombongan memutuskan untuk membabat hutan
tersebut dan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Rr. Ayu
Semangkin dan Ki Brojo Penggingtaan membabat hutan diwilayah utara. Sedankan dibagian
selatan dipimpin oleh Ki Tanujayan bersama sebagian prajuritnya.
Pohon-pohon mulai ditebang semak belukar dibakar dan puing-puing disingkirkan. Tanpa
terasa pekerjaan tersebut telah memakan waktu berbulan-bulan lamanya. Setelah semua itu
dikerjakan maka kedua kelompok rombongan prajurit Mataram tersebut memutuskan untuk
tetap tinggal di daerah baru tersebut. Daerah baru tersebut kemudian diberi nama desa
Mayong.

Daerah baru bagian utara Kanjeng Ibu Mas yang didampingi ki Brojo penggingtaan bersama
prajurit Mataram mendirikan sebuah padepokan sebagai tempat tinggal sedangkan di daerah
baru bagian selatan Ki Tanujayan bersama prajurit Mataram atas perintah Kanjeng Ibu Mas
juga mendirikan padepokan sebagai tempat tinggal.
Di daerah baru tersebut kedua Lurah Tamtama mengajarkan ilmu-ilmunya baik ilmu
kanuragan maupun ilmu kerohanian, budi luhur, kesucian batin terhadap sesama dan suka
menolong, penyabar serta rendah hati dan masih banyak lagi mengenai hal-hal menuju
kebaikan. Lambat laun berita tersebut tersiar sampai kedaerah-daerah lainnya. Akhirnya
banyak orang yang berdatangan untuk meminta pertolongan atau datang untuk menimba ilmu
serta banyak pula yang dating berguru bahkan adapula yang datang untuk menetap menjadi
murid dan penghuni baru ditempat itu.

Oleh karena kearifan dan kebijaksanaan Kanjeng Mas juga Ki Brojo Penggingtaan dan Ki
Tanunjayan bersama prajurit-prajurit ditempat baru masing-masing, yang pada masa
sebelumnya sering terjadi keganasan perampok maka sejak dihuninya daerah tersebut oleh
penghuni baru kerusuhan-kerusuhan tidak terjadi lagi. Berkat kebesaran ketinggian budi serta
kearifan Kanjeng Ibu Mas bersama kedua Tamtama Ki Brojo Penggingtaan dan Ki
Tanunjayan maka mereka diangkat menjadi sesepuh dan cikal bakal dari masyarakat Mayonr
Lor dan Mayong Kidul.

Setelah beberapa lama singgah di padepokan Datuk Singorojo, Roro Ayu Semangkin
bersama dengan Ki Lurah Tamtama, Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan memutuskan
untuk tidak kembali ke Mataram dan mendirikan Padepokan di Mayong Lor dan Mayong
Kidul. Setelah padepokan berdiri banyak murid-murid yang datang dari wilayah Jepara,
Kudus, Demak, dan Pati untuk berguru kanuragan dan ilmuilmu kejawen serta ilmu-ilmu
agama kepada tokoh-tokoh tersebut.

Para murid padepokan dari Roro Ayu Semangkin, Ki Brojo Pengingtaan dan Ki Tanujayan
selain berguru kepadanya juga banyak berguru di pdepokan Datuk Singorojo yang kebetulan
ahli dalam pembuatan ukit-ukiran dan keramik. Keahlian Datuk Singorojoini kemudian
ditularkan kepada murid-murid di padepokan tersebut. Dalam waktu singkat padepokan
tersebut banyak kedatangan murid untuk berguru ilmu kanuragan, kejawen, keagamaan dan
yang terpenting yaitu belajar untuk membuat gerabah. Sejalan dengan perjalanan waktu
muncul perkampungan Undagen di desa Mayong Lor yang mengembangkan gerabah,
genteng, keramik dan seni ukir. Dalam perkembanganyya maka pada tahun 1937 Belanda
mendirikan pasar Mayong yang kini telah yerbakar untuk menampung berbagai macam
barang-barang kerajinan gerabah yang digunakan untuk kepentingan rumah tangga dan
berbagai macam mainan seperti manuk-manukan, gajah-gajahan, sapi-sapian, terbang-
terbangan dan sebagainya. Keahlian masyarakat Mayong Lor dalam membuat gerabah dan
teknik pembuatan keramik maka di Mayong Lor didirikan pabrik keramik. Selain itu Mayong
Lor juga dijadikan pusat kawedanan, kecamatan dan di Kecamatan Mayong inipun telah lahir
seorang pahlawanan wanita yang bernama RA. Kartini yang kini tempat ari-arinya telah
dibangun di dekat pendopo kecamatan Mayong.

Berdasarkan riwayat tentang Kanjeng Ibu Mas yang dikisahkan oleh para pinisepuh bahwa
sejak kecil Rr. Ayu Mas Semangkin telah terbiasa dengan pola hidup yang bersahaja dan
bahkan cenderung dengan tata kehidupan rakyat kecil serta kehidupan yang dilandaskan atas
ketentuan kepercayaan yang beliau anut. Bentuk kepasrahan diri kepada Tuhan YME secara
tulus menjadi suatu nafas kehidupan yang senantiasa beliau pelihara hingga akhit hayatnya.
Dengan ketulusan, kejujuran dan kesucian batin yang senantiasa beliau pelihara dalam
kehidupannya telah menempa dan membentuk jiwa beliau yang benar-benar rendah hati jujur
berjiea tulus penyabar dan pengayom bagi masyarakat khususnya masyarakat bawah.

Rasa rendah hati ini dibuktikan dengan kerel;aan beliau yang jasadnya hanya dikebumikan
disuatu makam di desa kecil desa Mayong Lor yang letaknya sangat jauh dari kemegahan
dari makam kerbat keratin. Dengan demikian bukanlah suatu hal yang mustahil apabila beliau
termasuk salah satu hamba yang dekat dan dikasihi Allah Yang Maha Kuasa.
7. RORO AYU MAS SEMANGKIN WAFAT

Setelah mendirikan Padepokan Agung di Mayong bersama Ki Brojo Penggingtaan dan Ki


Tanujayan. Rr. Ayu Semangkin kemudian memutuskan untuk menetap di desa Mayonglor
dan mendirikan pesanggrahan serta rumah persinggahan di Mayonglor yang kini bekasnya
masih ada tetapi hanya tinggal puing-puingnya. Beliau mengabdikan dirinya untuk bersama-
sama masyarakat membangun desa Mayong Lor maupun Mayong Kidul. Selain beliau
bertempat tinggal di Mayong Lor sesekali juga sowan di Kasultanan Mataram. Dan setelah
beliau mengenalkan putranya bernama Danang Syarif dan Danang Sirokol kepada
ayahhandanya Panembahan Senopati dan akhirnya kedua putranya ini diangkat menjadi
senopati perang. Tak lama kemudian beliau wafat dan dimakamkan di Desa Mayong Lor.

Masyarakat Mayong berkeyakinan bahwa kesucian batin dan kedekatan Kanjeng Ibu Mas
dengan sang pencipta, maka banyak warga masyarakat yang memohon kepada Allah SWT
dengan berwasilah kepada Kanjeng Ibu Mas. Permohonan umat manusia kepada Tuhannya
dengan cara berwasilah kepada leluhur yang dianggap suci dan dekat kepada Allah tidak
dilarang menurut agama Islam. Permohonan ini terjadi karena merasa diri mereka tidak
sebersih dan sesuci para leluhur yang diwasilahilah ini diharapkan agar hajat mereka
kehendaki dapat terkabul.

Berdasarkan anggapan masyarakat tentang diri Rr. Ayu Mas Semangkin sebagai seorang
hamba dan kekasih Allah yang dipilih karena sepanjang hidupnya mengabdikan dirinya demi
keamanan, ketentraman masyarakat di wilayah Mayong serta turut membangun kehidupan
masyarakat menuju kesejahteraan. Untuk menghormati jasanya ini maka beliau dijadikan
sebagai cikal bakal dan dimakamkan di Dukuh Gleget Desa Mayonglor yang kini setiap hari
dan hari-hari tertentu makamnya dijadikan sebagai tempat para peziarah, dari berbagai
golongan masyarakat. Dan setiap tahunnya tepat pada tanggal 10 Suro / Muharram diadakan
upacara bukak luwur.

8. MITOS ATU RITUAL ATAU KEGIATAN-KEGIATAN DI MAKAM RORO AYU


MAS SEMANGKIN SAMPAI SEKARANG

Berbagai kegiatan rutin di makam Kanjeng Ibu Mas Semangkin dapat dijumpai dan dilihat
yang dilakukan oleh warga masyarakat dari berbagai lapisan, diantaranya yang menonjol
adalah sebagai berikut:

a. Kegiatan pada hari Kamis sore

Banyak para peziarah yang datang dari berbagai lapisan masyarakat dan dari penjuru desa
dan kota, pada umumnya para peziarah tersebut mengadakan selamatan di makam dan berdoa
menurut cara dan keyakinan masing-masing yang dipandu oleh Juru Kunci Makam. Dari hari
ke hari jumlah para peziarah semakin bertambah. Tidak kurang dari 50 orang yang khusus
berziarah ke Makam Kanjeng Ibu Mas Semangkin pada setiap Kamis sore.

b. Kegiatan pada hari Kamis Malam (Malam Jumat)

Mulai pukul 22.00 WIB, banyak warga masyarakat (khususnya laki-laki) yang datang dari
berbagai penjuru desa dan kota untuk melakukan tirakatan dan bersemadi di dalam makam
Kanjeng Ibu Mas Semangkin. Dari pengamatan yang dilakukan, tidak kurang dari 10
(sepuluh) orang yang datang untuk melakukan tirakatan dan bersemadi pada setiap Malam

c. Kegiatan pada setiap Malam Jumat kliwon dan Jumat Wage

Pada hari-hari tersebut diatas, dimulai sekitar pukul 20.30 WIB diadakan pengajian dan tahlil
bersama-sama yang dilanjutkn dengan membaca Sholawat Nariyah. Anggota Sholawat
Nariyah tercatat sebanyak tidak kurang dari 65 orang, tetapi yang hadir pada hari-hari
tersebut tercatat berkisar antara 45 sampai dengan 50 orang

d. Kegiatan pada Setiap Tanggal 10 sampai dengan 11 Muharram

Sebagai penghormatan warga desa kepada almarhumah Kanjeng Ibu Mas Semangkin, maka
pada setiap tanggal tersebut diatas diadakan peringatan hari wafatnya Kanjeng Ibu Mas
Semangkin (Haul). Dari catatan Pengurus menunjukkan adanya peningkatan jumlah
pengunjung pada setiap diadakannya haul.

Haul yang diselenggarakan secara terbuka untuk umum ini baru dirintis sejak tahun 1999 M.
Meskipun peringatan-peringatan hari wafatnya Kanjeng Ibu Mas Semangkin ini belum lama
dipublikasikan, tetapi catatan pengurus makam menunjukkan adanya peningkatan jumlah
pengunjung yang sangat mengejutkan, karena pada haul Kanjeng Ibu Mas Semangkin tahun
2001 tidak kurang dari 4.000 pengunjung yang hadir. Pada haul tahun-tahun sebelumnya
hanya tercatat tidak lebih dari 1.500 pengunjung. Kenyataan ini menunjukkan betapa semakin
sadarnya warga masyarakat dalam menghargai dan menghormati para leluhurnya.

e. Kepercayaan Rakyat (MITOS RAKYAT)

Terkait dengan cerita Ibu Mas Semangkin terdapat perilaku dan kepercayaan yang hidup di
kalangan masyarakat Mayong Lor. Kepercayaan yang terkait dengan Ibu Sumangkin antara
lain Di atas makam Ibu Mas Semangkin sering terlihat fenomena gaib. Jika terlihat bola api
menunjukkan ada musibah. Bola api merah berjalan di atas rumah makam Fenomena tersebut
sesekali terlihat di atas rumah makam Ibu Semangkin. Fenomena tersebut pernah terlihat
ketika terjadi perkelahian antar desa yang melibatkan Desa Mayong Lor.

Masyarakat Mayong Lor sebagian juga percaya orang-orang perempuan tidak boleh
memasuki komplek makam dengan memakai baju warna hijau pupus daun. Warna tersebut
adalah kesukaan Ibu Mas Semangkin ketika masih hidup. Pantangan memakai baju warna
pupus bagi perempuan diperhatikan oleh sebagian masyarakat Mayong Lor sampai sekarang

Patahnya cabang pohon besar ( bergat ) dilingkungan makam Ibu Mas Semangkin, setiap ada
calon pemimpin desa (petinggi) memberikan isyarat tokoh yang akan terpilih. Kearah calon
yang mana cabang pohon itu patah maka calon tersebut yang akan terpilih. Masyarakat
setempat percaya bahwa peristiwa itu dapat dilihat beberapa kali pada saat pemilihan kepala
desa (petinggi).
Ketoprak atau seni pertunjukan dilarang memainkan peran tokoh ibu Mas Semangkin. Jika
hal itu dilanggar maka besar kemungkinan penyelenggara dan pemainnya akan mendapat
musibah. Oleh karena itu penduduk sampai sekarang tidak bernai memainkan peran Ibu Mas
Semangkin pada pertunjukan seni Ketoprak. Pada saat ini tokoh pemerintahan bupati, camat,
petinggi dan kyai/ ulama.menghadiri acara buka luwur dan khaul Ibu Mas Semangkin. Acara
khaul juga dihadiri keturunan Sunan Kalijaga di Jepara dan sekitarnya.

sumber :http://www.kudusterkini.com/Lomba-Menulis/cerita-masayarakat-dari-mayong-
jepara-roro-ayu-mas-semangkin.html

Anda mungkin juga menyukai