Anda di halaman 1dari 17

Manajemen Perioperatif Pada Pasien Rubeinstein Taybi

Syndrome yang Menjalani Operasi Orchidopexy Bilateral

Abstract

Anesthetic management of Rubinstein-Taybi Syndrome (RTS) have been reported since


this syndrome was first diagnosed in 1963. Rubinstein-Taybi syndrome or Thumb-Hallux
Syndrome is a genetic disorder characterized by facial dysmorphism, growth retardation, and
mental deficiency on the sufferer. Consideration of anesthesia in this case include airway,
breathing, heart defects and abnormalities in the spine. Therefore it needs careful preoperative and
planning a systematic anesthesia when facing cases on the RTS.

Abstrak

Manajemen anestesi pada kasus dari Rubinstein-Taybi Syndrome (RTS) telah dilaporkan
sejak sindrom ini pertama kali didiagnosis pada tahun 1963. Sindrom Rubinstein-Taybi atau
Sindrom Thumb-Hallux adalah kelainan genetik yang ditandai dengan dysmorphism wajah,
retardasi pertumbuhan, dan defisiensi mental pada penderitanya. Pertimbangan anestesi pada kasus
ini meliputi jalan nafas, pernafasan, kelainan pada jantung, dan kelainan pada tulang belakang.
Oleh karena itu perlu pre operatif yang seksama dan perencanaan anestesi yang baik dan sistematis
bila menghadapi kasus pada RTS.

1
Ilustrasi Kasus

Identitas Pasien

Nama : An. YB

RM : 01624815

TL : 28/12/2003

Umur : 11 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Operasi : Orchidopexy bilateral pada tanggal 5 Agustus 2015

Anamnesis

Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan Utama

Ibu pasien mengatakan anaknya tidak ada buah kelamin di kantong kemaluan sejak lahir.

Keluhan Sekarang
Pasien menderita sindrom rubeinstein taybi sejak umur 9 tahun. Ditegakkan pada saat
anaknya menderita sindroma nefrotik dengan gejala klinis pembengkakan pada seluruh
tubuh. Pasien mengalami keterlambatan dalam perkembangan bicara dan motorik. Pasien
sekarang sekolah di SLB. Riwayat penyakit asma, alergi, batuk pilek, sesak nafas,
kebiruan, kejang, tidur ngorok disangkal. Pasien belum pernah dioperasi sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menderita RTS dan sindroma nefrotik dalam pengobatan methyl prednisolone 1 x
8 mg pagi hari.
Riwayat Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita kelainan genetik sebelumnya

2
Pemeriksaan Fisik

KU : Baik RR : 20x/menit

BB/TB : 25 kg/ 110 cm Suhu : 37 C

Nd : 90x/menit Kesadaran : Non kooperatif, GCS 15

TD : 120/80 VAS : 1-2

Kepala
Wajah khas RTS, pupil isokor 3mm/3mm, reflex cahaya baik, bukaan mulut > 2jari,
malampati II, cavum oral sempit, gerakan leher maksimal
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis terletak di RIC V 2 jari lateral dari garis mid clavicula sinstra
Palpasi : Teraba kuat angkat di lateral garis mid clavicula
Perkusi : Batas jantung masih dalam batas normal
Auskultasi : S1 dan S2 murni dengan irama reguler, bising jantung tidak ditemukan
Paru
Inspeksi : simteris kiri dan kanan, tidak ada kelainan bentuk
Palpasi : Sonor di kedua lapangan paru
Perkusi : Batas paru masih dalam batas normal
Auskultasi : Vesikuler di kedua lapangan paru, ronki dan wheezing tidak ditemukan
Abdomen
Inspeksi : tidak ditemukan kelainan
Palpasi : Supel, NT (+) perut area bawah, NL (-), Nyeri ketok (-)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising usus masing dalam batas normal
Vertebre
Alignment baik, tidak ada tonjolan tulang yang abnormal, edema sekitar vertebre terdapat
terutama area lumbal dan sakrum
Ekstremitas
Edema minimal pada ekstrimtas bawah, terdapat pembesaran pada ibu jari tangan dan kaki,
tidak terdapat kelaianan yang lain.

3
Kelamin
Tidak ditemukan testis di kedua kantong kemaluan.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium
o Alb : 2,9 o PT : 13/14
o GOT : 23 o INR : 0,99
o GPT : 24 o APTT : 34/31
o Bun : 10 o AL : 7
o Cr : 1,0 o Hb : 12,3
o Na : 130 o Hmt : 36,2
o K : 4,9 o AT : 306
o Cl : 102 o Pro urin : +1
Rontgen Thorak
Cor dan pulmo dalam batas normal
EKG
Sinus rhytem dengan frekuensi 95x/menit

Diagnosis

ASA 2 dengan

UDT Bilateral
RTS
Sindrom Nefrotik dalam terapi
Hipoalbumin

Perencanaan Pembiusan

Perioperatif
o Pemasangan IVFD 20/22 G dengan Asering 10 tpm makro
o Puasa makanan padat 8 jam, minuman bening 3 jam sebelum operasi
o Sedia darah 1 PRC.
o Methylprednisolone dilanjutkan pada pagi hari

4
Perioperatif
o GA Intubasi dengan teknik semiclosed spontan assist dengan ETT No 6,0 cuff
dengan obat obatan : sedasi midazolam 0,1 mg/KgBB, co induksi fentanyl
3mcg/KgBB, induksi dengan propofol 2 mg/KgBB
o Kemudian diasses ventilasi dan percobaan memasukan blade intubasi bila
memungkinkan penggunaan muscle relaxan dengan atracririum 0,4 mg/KgBB
o Kemudian dilakukan blok caudal pada sacratus hiatus dengan jarum 20/22 G single
shot dengan agen bupivacaine 0,25% isobaric 20 ml dengan adjuvan fentanyl
2mcg/ml.
o Maintaince dengan agen oksigen, sevofluren dan blok caudal.
Postoperatif
o Kembali kebangsal dengan monitoring ketat,
o Analgetik PCT 20 mg/kgBB/IV/8 jam
o Anti emetic ondansentron 2mg/IV/8 jam bila diperlukan
o Restriksi cairan masuk
o Monitoring hemodinamik secara berkala per 4 jam
o Boleh minum bertahap bila tidak ada mual muntah, bising usus baik.
Pelaksanaan
o Pasien di ruang penerimaan kamar operasi dilakukan pengecekan vital sign dan
kelengkapan administrasi dan infus. Kemudian pasien dibawa ke kamar operasi
tanpa disedasi dikarenakan anak cukup tenang dan kooperatif.
o Di meja operasi pasien dilakukan pemasangan monitor saturasi, EKG dan tekanan
darah. Kemudian dimasukkan obat obatan dengan fentanyl 75 mcg, propofol 50
mg, kemudian dilakukan facemask dengan FM no 2, ventilasi terkuasai kemudian
didalamkan dengan agen sevofluran dengan oksigen. Kemudian dicoba
memsukkan blade intubasi untuk melihat area orofaring dan kemungkinan sulit
intubasi. Didapatkan ruang cavum oris menyempit dikarenakan lidah yang cukup
besar, rongga sempit dengan tonsil T2-T2. Kemudian diputuskan dimasukkan
atracrurium 10 mg. Kemudia dilakukan intubasi endobronchial pada percobaan
pertama gagal dilakukan intubasi dikarenakan view comark III dan edem di sekitar
plica vokalis. Kemudian dilakukan percobaan intubasi kedua dengan bantuan stilet

5
dan penekanan pada cricoid. Intubasi berhasil dilakukan dan terpasang pada
kedalaman 16 cm.kemudian di fiksasi.
o Setelah terintubasi dilakukan caudal blok di sakratus hiatus, tetapi mengalami
kegagalan dengan perlukuan 5 kali, kemudian dihentikan karena kesulitan dalam
mengakses sacratus hiatus. Identifikasi sulit karena edeme kulit disekitar sacratus
dan terdapat kelainan sacrum dengan tulang ekor lebih mencekung ke arah anterior.
Kemudian Diputuskan dilanjutkan operasi dengan intubasi tanpa caudal blok.
o Maintainan dengan agen inhalasi sevofluran, O2, dan N2O dengan perbandingan
2%:2:2.
o Operasi dilakukan selama 3 jam dengan hemodinamik durante operasi Nd : 90-
120x/menit, TDS : 90-130, TDD : 40-80, T : 36-37 C, SpO2 : 96-100 %, Dengan
cairan masuk kristalloid 300 ml, pendarahan 20 ml, urine 50 ml (0,75
ml/KgBB/jam), Tidak ada kejadian desaturasi dan aritmia selama operasi.
o Operasi selesai dilakukan extub sadar tanpa masalah dan pasien dibawa ruang
pemulihan dengan analgetik PCT 500 mg/IV.
o Pasien kembali ke ruangan setelah pasien sadar

6
Pembahasan

1. Pendahuluan
Rubinstein-Taybi Syndrome (RTS: OMIM 180849), atau sindrom Broad Thumb-
Hallux, awalnya dijelaskan oleh Michail dkk. pada tahun 1957. Pada tahun 1963,
Rubenstein dan Taybi melaporkan tujuh kasus sindrom ini, yang termasuk kelompok
kelainan kongenital terdiri dari jempol pendek lebar dan jari-jari kaki yang besar, retardasi
psikomotor,dan kelainan wajah. Hal ini disebabkan oleh mikrodelesi di 16p13.3 atau
mutasi pada protein CREB-binding (CREBBP atau CBP) atau gen EP300 (di 22q13).
Insiden sindrom ini telah diperkirakan 1 dalam setiap 300.000 bayi baru lahir. Jumlah laki-
laki sama dengan kejadian perempuan (Mnevveroglu 2012).
2. Pemeriksaan Fisik (Flanery 2014)
Banyak penemuan yang ditemukan pada RTS, yakni :

- Abnormalitas pada bentuk wajah


o Hypoplastic maxilla dengan palatum yang sempit (100%), pada kasus pasien
ini ada
o Prominan beaked nose (90%) pada kasus pasien ini ada
o Down-slanting fisura palpebral (88%) pada kasus pasien ini ada
o Letak rendah dan malformasi telinga (84%)
o Strabismus (69%)
o Microcephaly (35%)
o Malposisi atau gigi yang banyak dan tidak beraturan, bibir kecil, (20%)
- Abnormalitas pada jari
o Ibu jari kaki yang lebar (100%), pada kasus pasien ini ada
o Ibu jari tangan yang lebar dan melengkung (87%), pada kasus pasien ini ada
o Jari lain yang melebar (87%)
o Syndactyly and polydactyly (10%)
- Abnormalitas pada pertumbuhan dan perkembangan
o Retardasi mental dengan IQ 30-80
o Kesulitan berbicara (90%), pada kasus pasien ini ada

7
o EEG abnormalitas (30%)
o Rata-rata tinggi laki-laki - 153 cm
o Rata-rata tinggi perempuan - 147 cm
- Abnormalitas pada tulang
o Retarded osseous maturation (49%)
o Vertebral and sternal abnormalitas
o Patellar dislokasi
- Cardiac anomali (33%)
o Ventricular septal defect (VSD) dan patent ductus arteriosus (PDA) paling
sering ditemukan.
o Atrial septal defect (ASD), coarctation of the aorta, pulmonic stenosis, and
bicuspid aortic valve juga ditemukan.
- Gejala lain
o Cryptorchidism (78% of males), pada kasus pasien ini ada
o Hirsutism (75%)
o Keloid formation
o Cardiac arrhythmia
o Kelainan ginjal dan abnormalitas kelamin, pada kasus pasien ini ada

8
Gambar 1 : Pasien An.YB Gambar2 : Wajah Khas Pada RTS (Mnevveroglu 2012)

Gambar 3 : Pembesaran ibu jari tangan pada RTS (Mnevveroglu 2012)

9
3. Pemeriksaan Penunjang
Pencitraan pada pasien dengan sindrom Rubinstein-Taybi menggunakan
pendekatan berdasarkan temuan klinis masing-masing pasien. Sebagai contoh, pasien
dengan cacat jantung bawaan memerlukan penyelidikan jantung terlibat seperti EKG dan
ekokardiogram, sedangkan pasien dengan gangguan kejang membutuhkan EEG dan otak
pencitraan. USG ginjal mungkin tepat, terdapat beberapa laporan dari anomali dicatat.
(Flanery 2014)
Pada pasien ini telah dilakukan rontgen thorax dan ekg, dan hasilnya masih dalam
batas normal sesuai dengan pemeriksaaan klinis sehingga tidak diperlukan untuk dilakukan
echocardiografi, tetapi tetap dikonsulkan ke kardiolog anak. USG ginjal belum dilakukan
walaupun ada penyakit sindroma nefrotik, tidak dilakukan karena penyakit tersebut masih
dalam terapi dan memiliki respon yang baik terhadap obat yang diberikan.
4. Morbiditas dan Mortalitas
Pasien memiliki harapan hidup yang baik dan laporan tentang orang dewasa dengan RTS
sering. Infeksi pernapasan dan komplikasi yang disebabkan oleh kelainan jantung selama
masa kanak-kanak adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Ketidakstabilan
persendian craniovertebral di C1-C2, hipoplasia dan fusi tulang leher telah digambarkan
sebagai malformasi berpotensi mengancam nyawa. (Rogrio 2005).
Pengalaman anestesi melibatkan pertimbangan psikologis, fisik, dan fisiologis faktor, yang
semuanya harus dikontrol jika ada yang mengharapkan hasil yang sukses (Striker1998)
5. Diskusi
Tantangan fisik untuk dokter anestesi pada RTS sekitar tiga bidang utama: anomali
skeletal, anomali saluran napas dan anomali jantung. Masalah pertama kerangka utama
adalah bahwa dismorfisme kraniofasial. Anomali termasuk masalah rahang atas, ada
penyempitan langit-langit dan pengembangan jelek dan malposisi dari mandibula atau
rahang bawah. Yang menyebabkan mulut kecil dan sulit membuka mulut. (Striker 1998).
Beberapa malformasi anatomis dapat mengakibatkan penyempitan pada saluran napas atas,
dan ini telah dilaporkan sebagai penyebab masalah ventilasi pada individu sebelum
pembiusan. (Rogrio 2005).

10
Sekresi berlebihan menyebabkan jalan nafas sering tersumbat telah dilaporkan.
Penyedotan sekresi harus sering dilakuakn untuk mengatasi permasalahan ini. Sehingga
kebanyakan pasien RTS untuk dilakukan intubasi endobrochial selama pembiusan karena
menjaga patensi jalan nafas. (Agarwal)
Aspirasi dapat terjadi baik saat terjaga atau tidur. Kejadian episode berulang dapat
menyebabkan pneumonia berulang dan penyakit paru-paru kronis. Oleh karena itu kejadian
desaturasi dapat terjadi walau tanpa pembiusan. (Darlong 2015)
Riwayat kesulitan makan sejak lahir meningkatkan resiko aspirasi selama anestesi
terutama saat induksi. Ekstubasi harus ditunda sampai pasien sepenuhnya terjaga. (Joseph
2008)
Analisis risk-benefit dari induksi harus dipertimbangkan cermat karena tingginya
insiden gastroesophageal reflux pada pasien RTS. Induksi inhalasi dengan sevofluran
dilakukan sebagai cara yang dapat dilakukan bila akses intravena belum didapatkan diikuti
dengan intubasi endotrakeal dengan cuff endotracheal tube. (Patel 2015)
Kesulitan dengan laringoskopi langsung dan intubasi endotrakeal terutama terkait
dengan anatomi craniofacial. Selain itu, peralatan yang sesuai untuk berurusan dengan
kesulitan jalan nafas harus siap tersedia. (Patel 2015)
Pada kasus RTS angka kejadian GERD, meningkatkanya sekresi lambung atau
sekresi jalan nafas atau aspirasi pada saat pembiusan cukup tinggi, seharusnya diperlukan
obat untuk premedikasi untuk mengurangi hal tersebut. Misalnya untuk sekresi lambung
dapat diberikan H2 antagonis atau PPI untuk mengurangi tetapi pada kasus ini tidak
diberikan. Serta pemberian antisialogok atau pemberian kortikosteroid untuk
mengendalikan sekresi juga tidak diberikan.
Pada kasus ini juga pelaksana tidak mneyiapkan peralatan dan alat untuk kejadian
sulit ventilasi dan sulit intubasi seperti jet insuflasi, berbagai jenis LMA, facemask dan
blade intubasi, stilet berbagai ukuran, boogie stilet, peralatan retrograde intubasi, atau
surgical ventilasi tidak disiapkan. Walaupun pada pemeriksaan jalan nafas pada kasus ini
tidak ditemukan kesulitan intubasi dan ventilasi, dalam menghadapi kasus RTS harus
dianggap semua pasien terdapat kesulitan tersebut.
Pada pasien ini dilakukan ekstubasi sadar dengan sedikit peningkatan
hemodinamik. Tidak ada permasalah berarti selama melakukan ekstubasi pada psien ini.

11
Kelainan kardiovaskular cukup sering pada pasien ini. Kelainan jantung ini juga
predisposisi aritmia dengan penggunaan obat aritmogenik seperti succinylcohline, atropin
dan neostigmin. (Agarwal)

Perubahan pada simpatis dan parasimpatis disebabkan oleh administrasi neostigmin


dan atropin dapat meyebabkan ektopipada jantung. Di sisi lain, ektopi berlangsung selama
setidaknya 5 hari dalam periode pasca operasi tanpa terapi obat lebih lanjut; mungkin juga
telah menjadi kronis sebelum pembiusan, menjadi lebih jelas setelah pemberian neostigmin
dan atropin. (Joseph 2008)

Sekitar 42% dari orang dewasa sehat yang diberikan atropin dan neostigmin untuk
pemulihan blok neuromuskular kemudian menjadi prematur atrial atau disosiasi
atrioventrikular. Mungkin sensitivitas ini untuk atropin dan neostigmin serta
succinylcholine kecenderungan untuk mengubah detak dan irama jantung, dan peningkatan
kejadian aritmia pada pasien RTS. Oleh karena itu perlu diperhatikan pada penggunaan
pelumpuh otot. (Joseph 2008)

Mengingat potensi efek pro-aritmogenik obat dengan efek vagolytic, mungkin ada
keuntungan teoritis untuk penggunaan cis-atracurium disbanding rocuronium untuk
manajemen jalan nafas pada operasi terencana. Atau, intubasi endotrakeal dapat dicapai
tanpa blokade neuromuskuler seperti dengan kombinasi sevoflurane, propofol dan
analgetik kuat. (Patel 2015)

Penyakit jantung bawaan terjadi antara 25-30% pasien dengan RTS. Cacat yang
dilaporkan telah disertakan cacat atrium septum, septum ventrikel, ductus arteriosus paten,
koarktasio aorta, stenosis pulmonal, katup aorta bikuspid, pseudotruncus, stenosis aorta,
cincin vaskular, dan hipoplasia jantung kiri. Mengingat potensi keterlibatan tersebut,
echocardiography pra operasi dan elektrokardiografi harus diperoleh berdasarkan
pemeriksaan klinis dan sejarah. (Mnevveroglu 2012)

Pada pasien ini memang tidak ditemukan anomaly pada kardiak, baik dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Dan insiden terjadinya kelainan jantung pada
kasus RTS hanya 33%. Walaupun demikian bukan berarti tidak dilakukan pemeriksaan

12
lanjutan seperti echocardigrafi untuk melihat secara detail kelainan baik anatomical atau
fungsional yang bertujuan screening, tetapi pada kasus pasien ini mungkin untuk saat ini
masih belum dibutuhkan.

Permasalahan kedua adalah kejadian aritmia selama operasi baik karena perlakuan
ataupun obat-obatan. Jantung pada pasien RTS memiliki respon sensitive terhadap obat
atropine, neostigmine, atau adrenergic yang dapat mencetuskan aritmia, juga factor lain
seperti desaturasi, nyeri, dan gangguan elektrolit juga dapat mencetuskan kejadian aritmia
pada pasien RTS. Oleh karena itu butuh tatalaksana yang dalam menghadapi kejadian ini.
Pada pasien ini memang selama operasi tidak terlihat di monitor EKG bentuk dari aritmia
dan selama operasi tidak menggunakan obat-obat yang dapat mencetuskan gangguan irama
jantung.

Kelainan pada tulang belakang perlu diperhatikan pada pasien RTS. Hal ini
berkaitan dengan penggunan blok neuroaksial yang akan dilakukan. Kelainan tulang
belakang meliputi kelainan difusi vertebre baik servikal hingga sacral perlu diperiksa
secara seksama. Skoliosis vertebre sering terjadi pada pasien ini dan adanya kejadia
terjadinya spina bifida pada pasien RTS. (Mnevveroglu 2012)

Blok neuraksial dapat digunakan pada pasien yang tidak memiliki kelainan tulang
belakang. Ada laporan tentang anestesi umum dikombinasi dengan blok sakral untuk
operasi hernia inguinalis bilateral dengan hasil yang baik. (Rogrio 2005).

Penggunaan blok regional telah diusulkan sebagai sarana untuk membatasi


kebutuhan opioid perioperatif dan post opratif sehingga membatasi efek pada fungsi
pernapasan. Mengingat keterlibatan co-morbid potensi jalan napas dan sistem pernapasan
pengunaan opiod sangat diperhitungkan. Blok regional memiliki tempat sebagai analgesi
yang baik pada pasien ini, dapat dilakukan baik blok perifer, spinal ataupun epidural.
Kombinasi dengan pembiusan umum biasanya diperlukan pada anak-anak untuk menjaga
patensi jalan nafas. (Park 2012)

Pada pasien ini memang direncanakan untuk blok caudal single shot, tetapi
pelaksanaan tidak dapat dilaksanakan karena kesulitan mengakses sacral hiatus. Pada
pemeriksaan fisik seharusnya pemeriksa sudah dapat menyimpulkan kesulitan untuk blok

13
caudal karena adanya edema, dan kurang teliti dalam memeriksa adanya anomaly terhadap
sacral hiatus sehingga kesulitan dalam blok caudal. Dan pemeriksa tidak menyiapkan untuk
perencanaan selanjutnya apabila terjadi kegagalan blok caudal, apakah itu dengan epidural
ataupun spinal blok, bahkan blok perifer pada abdomen dapat dilakukan untuk
mengantisipasi masalah ini. Serta pelaksana tidak merencanakan untuk continues caudal
yang dapat digunakan pasca operasi.

Premedikasi harus hati-hati diberikan. Sedatif mungkin efektif untuk mengurangi


stres psikologis, tetapi risiko depresi pernapasan dan masalah saluran napas bagian atas
dapat membuat kejadian yang tidak diinginkan. (Rogrio 2005). Pasien RTS rentan untuk
terjadinya patah tulang dan dengan demikian perlu pengamatan yang seksama pada saat
pergeseran atau perubahan posisi pasien. (Darlong 2015). Karena terdapat kelainan ibu jari,
pemantauan pulse oksimeter dan neuromuskuler adalah mungkin tidak digunakan pada jari
tersebut. (Darlong 2015). Selama fase emergence reaksi reaktivitas saluran napas muncul
biasanya secara berlebihan dan dapat dikaitkan dengan angka kejadian bronkospasme dan
laringospasme. Pada pasien dengan masalah saluran napas baik anatomi dan fisiologi
menyebabkan keadaan yang mengancam nyawa. (Striker1998)

Manajemen nyeri pada pasien ini menyajikan situasi yang kompleks. Interpretasi
rasa sakit dan komunikasi yang sulit. Penilaian nyeri dan efek obat yang marjinal, dan
mengurangi margin dari safety obat analgesia adalah sebuah tantangan. Teknik regional
seperti anestesi epidural dengan atau tanpa kateter tersedia untuk pasien ini. Narkotika,
dapat digunakan pada manajemen nyeri akut, menunjukkan potensi yang sama. Masalah
yang dapat tiimbul seharusnya tidak menghalangi upaya di manajemen nyeri tetapi
memerlukan upaya pemantauan teliti yang rajin dan seksama untuk menghindari hasil yang
buruk. (Striker1998)

Salah satu fenomena menarik adalah kenyataan bahwa pasien RTS rentan untuk
mengembangkan tumor. Tumor ini menunjukkan pola saraf dan asal perkembangan seperti
neuroblastoma, medullablastoma, oligodendroglioma, meningioma, seminoma, odontoma,
choristoma, dan polimatrixtomas adalah tumor yang sering dilaporkan pada pasien RTS.
(Mnevveroglu 2012)

14
Kesimpulan

Anak-anak dengan RTS bervariasi bentuk dan keparahan gejala dan temuan fisik serta
komplikasi yang dikembangkan selama periode perioperatif. Apapun presentasi pasien dengan
RTS, tantangan fisik untuk anestesi harus selalu berpusat sekitar tiga bidang utama: anomali
kraniofasial dan vertebre, napas dan komplikasi paru dan anomali jantung. Oleh karena itu,
perencanaan yang cermat dari anestesi dan manajemen saluran napas yang terencana dengan baik
diperlukan hingga pasca operasi.

Pada pasien ini memang tidak ditemukan penyulit berarti baik disistem jalan nafas,
pernafasan dan anomaly cardiac. Tetapi bukan serta merta dianggap mudah dalam menangi kasus
RTS. Ahli anestesi banyak yang belum familiar terhadap sindrom ini sehingga perlu dipelajari
seksama dan dibutuhkan perencanaan yang matang untuk segala kondisi yang mungkin bisa timbul
selama perioperative.

15
Daftar Pustaka

Agarwal Shvetank. 2011. M.E.J. ANESTH 21 : Anesthetic Management Of Children With


Rubinstein-Taybi Syndrome. Department of Anesthesiology, Childrens Hospital of
Michigan/Wayne State University. Detroit : USA

Darlong Vanlal. 2014. Case Report : Perioperative Management Of A Patient Of Rubinstein-


Taybi Syndrome With Ovarian Cyst For Laparotomy. Department Of Anaesthesiology.
New Delhi :India

Flannery David. 2014. Genetics of Rubinstein-Taybi Syndrome. Access from emedicine.com


at 10 October 2015.

Joseph Stirt. 2008. Anesthetic Problems in Rubinstein-Taybi Syndrome. Anesthesia And


Analgesia Vol.60, No 7.

Mnevveroglu A.P and Akgl. 2012. Rubinstein-Taybi Syndrome: A Case Report. Department
of Pedodontics, Faculty of Dentistry, Istanbul Medipol University, Fatih, Istanbul, Turkey

Park Cheon-Hee. 2012. Management of Anesthesia for Rubinstein-Taybi syndrome. Korean


J Anesthesiol. 2012 Dec; 63(6): 571572

Patel Samir et al. 2015. Case Report : Anesthetic Implications in Rubinstein-Taybi Syndrome.
Department of Anesthesiology and Pain Medicine, Nationwide Childrens Hospital,
Columbus, OH, USA.

Rogrio Carlos. 2005. Anesthesia in patient with Rubinstein-Taybi syndrome. Case report.
Anestesiologista da Santa Casa de Misericrdia de Santos. Portugese

Striker Theodore W. 1998. Anesthesia Considerations in Rubinstein-Taybi Syndrome.


Anesthesia and Pediatrics Childrens Hospital Medical Center Cincinnati : Ohio.

16
Tabel I : Kelainan pada RTS dan pertimbangan anestesi

17

Anda mungkin juga menyukai