Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Hakikat Teori Konstruktivisme

Konstruktivisme adalah suatu teori yang menjelaskan bagaimana

seseorang sampai kepada pengetahuan yang dimilikinya. Teori ini mulai

diterapkan pada tahun 1980 saat penelitian-penelitian tentang otak dan cara

kerjanya mulai menyajikan banyak hal. Banyak pemikiran para ahli yang

mendasari teori konstruktivisme, diantaranya teori Jean Piaget tentang skema,

teori belajar bermakna dari David Ausubel, dan konsep Zone of Proximal

Development dari Vygotsky.

Jean Piaget dalam Iskandar (2015) menyatakan bahwa anak-anak

membangun pemahamannya berdasarkan eksplorasi dan interaksinya dengan

teman-temannya, orang dewasa disekitarnya, serta dengan benda-benda yang ada

di lingkungannya. Piaget memiliki suatu Schema yang terdiri atas asimilasi

(proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep

atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam

pikirannya), akomodasi (proses membentuk skema baru yang dapat cocok dengan

rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan

rangsangan itu), dan equilibration (proses menyeimbangkan asimilasi dan

akomodasi).

Sedangkan Vygotsky dalam Cahyono (2010) menyatakan bahwa peserta

didik dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan

9
10

sosial. Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat

perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan

masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan

sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau

melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Dengan kata lain,

teori konstruktivisme yang dibangun dari dasar pemikiran bahwa peserta didik

sudah memiliki pengetahuan yang didapat dari pengalamannya berinteraksi

dengan lingkungan dan teman sebaya, kemudian peserta didik mengalami proses

pembelajaran di sekolah dan membangun konsep-konsep dari materi yang didapat

secara mandiri maupun hasil diskusi dalam kelompok. Peserta didik diberi

kebebasan membangun konsep mereka sendiri dengan tetap dibimbing oleh

pendidik sehingga dalam teori ini pembelajaran terpusat pada peserta didik.

David Ausbel berpendapat bahwa pembelajaran akan lebih bermakna atau

memiliki makna jika terjadi kaitan-kaitan antara pengetahuan terdahulu yang

merupakan konsep-konsep umum dengan konsep baru (Cahyono, 2010). Secara

tidak langsung, pendapat Ausbel mendukung teori yang dikemukakan oleh Piaget

dan Vygotsky. Selain Ausbel, Bruner (1983) juga mendukung pendapat dari

Vygotsky dan Piaget. Dikutip dari Wardoyo (2013), Bruner berpendapat bahwa

belajar adalah proses aktif dan sosial di mana peserta didik mengkonstruksi ide

dan konsep baru berdasarkan pengetahuan yang sekarang. Kontak sosial dengan

orang lain (guru dalam konteks pembelajaran formal) merupakan elemen kunci

dalam proses ini. Peserta didik, dengan tidak sadar, menyeleksi informasi,

menciptakan hipotesis dan mengintegrasikan materi baru dalam pengetahuan dan

konstruk mental mereka (skema). Media bahasa merupakan hal yang sangat
11

penting menurut Bruner, seperti halnya pada konstruktivis sosial yang lain

(Wardoyo, 2013).

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori

konstruktivisme adalah suatu teori belajar dimana peserta didik bebas membentuk

suatu konsep-konsep terhadap materi yang sedang dipelajari berdasarkan ilmu

pengetahuan yang telah mereka dapat berdasarkan pengalaman belajar

sebelumnya.

2. Hakikat Matematika

Matematika berasal dari kata latin mathematike yang mulanya dari

perkataan Yunani Mathematike yang berarti mempelajari. Perkataan itu

mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu. Perkataan

mathematike berhubungan sangat erat dengan sebuah kata lainnya yang serupa,

yaitu mathein atau mathenein yang mengandung arti belajar (berpikir).

Matematika lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), bukan

menekankan dari hasil eksperimen atau hasil observasi matematika terbentuk

karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan ide, proses, dan

penalaran (Russeffendi ET, 1980). Menurut James dan James (1976) Matematika

adalah ilmu tentang logika, mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-

konsep yang berhubungan satu dengan lainnya. Matematika terbagi dalam tiga

bagian besar yaitu aljabar, analisis dan geometri. Tetapi ada pendapat yang

mengatakan bahwa matematika terbagi menjadi empat bagian yaitu aritmatika,

aljabar, geometris dan analisis dengan aritmatika mencakup teori bilangan dan

statistika.
12

Matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunianya secara

empiris. Kemudian pengalaman itu diproses di dalam dunia rasio, diolah secara

analisis dengan penalaran di dalam struktur kognitif sehingga sampai terbentuk

konsep-konsep matematika supaya konsep-konsep matematika yang terbentuk itu

mudah dipahami oleh orang lain dan dapat dimanipulasi secara tepat, maka

digunakan bahasa matematika atau notasi matematika yang bernilai global

(universal). Konsep matematika didapat karena proses berpikir, karena itu logika

adalah dasar terbentuknya matematika.

Materi-materi pada mata pelajaran matematika saling terintegrasi.

Sebelum melanjutkan ke materi berikutnya, peserta didik harus menguasai materi

prasyarat. Misalnya materi geometri pada kelas X. Untuk dapat mamahami materi

tersebut, peserta didik sudah menguasai pemahaman dasar yang terkait dengan

konsep tersebut. Untuk kasus di atas, peserta didik seharusnya sudah menguasai

materi aljabar, trigonometri, dan konsep kesebangunan.

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa matematika

adalah ilmu yang berasal dari proses berpikir manusia secara empirik yang

menekankan pada proses pembuktian secara logis dan terstruktur untuk

mengembangkan konsep-konsep sebelumnya mengenai aritmatika, aljabar,

geometris dan analisis.

3. Masalah Matematika

Menurut Setiawan (2015) masalah merupakan sesuatu yang harus

diselesaikan atau dipecahkan. Suatu soal atau pertanyaan dapat menjadi sebuah

masalah jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge)


13

yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui si

pelaku.

Dalam pembahasan sebelumnya, telah dinyatakan bahwa dalam

matematika kita memerlukan proses berpikir secara empirik yang menekan pada

proses pembuktian secara logis dan terstruktur untuk mengembangkan konsep-

konsep sebelumnya mengenai aritmatika, aljabar, geometris dan analisis. Saat kita

melakukan proses berpikir, kita pasti akan menemukan permasalahan-

permasalahan. Permana (2011) menyebutkan masalah dalam matematika

diklasifikasikan dalam dua jenis antara lain:

1. Soal mencari (problem to find) yaitu mencari, menentukan, atau

mendapatkan nilai atau objek tertentu yang tidak diketahui dalam soal

dan memenuhi kondisi atau syarat yang sesuai dengan soal. Objek yang

ditanyakan atau dicari (unknown), syarat-syarat yang memenuhi soal

(condition) dan data atau informasi yang diberikan merupakan bagian

penting atau pokok dari sebuah soal mencari dan harus dipenuhi serta

dikenali dengan baik pada saat memecahkan masalah.

2. Soal membuktikan (problem to prove), yaitu prosedur untuk menentukan

apakah suatu pernyataan benar atau tidak benar. Soal membuktikan

terdiri atas bagian hipotesis dan kesimpulan. Pembuktian dilakukan

dengan membuat atau memproses pernyataan yang logis dari hipotesis

menuju kesimpulan

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disumpulkan bahwa masalah

matematika merupakan suatu persoalan yang memiliki tantangan mengenai

aritmatika, aljabar, geometri, dan analisis yang dapat berupa mencari nilai dan
14

membuktikan suatu pernyataan serta membutuhkan pemecahan bagi yang

menghadapi.

4. Hakikat Model Pembelajaran Problem Posing

a. Pengertian Model Pembelajaran

Model merupakan pola (contoh, acuan, ragam dan sebagaianya)

dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan (Setiawan, 2015). Dalam

proses pembelajaran, diperlukan suatu pola atau acuan agar pendidik

dapat mencapai tujuan yang ingin dicapai dengan cara yang sistematis.

Joice & Well dalam Riadi (2012) menyatakan bahwa model

pembelajaran adalah suatu pola atau rencana yang sudah direncanakan

sedemikian rupa dan digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur

materi pelajaran dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelasnya.

Sejalan dengan pendapat Joice & Well, Agus Suprijono dalam

Arbangatun (2012) berpendapat bahwa model pembelajaran adalah pola

yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di

kelompok maupun tutorial. Sedangkan Indrawati (2011) menyatakan

bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan

prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar

untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman

bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam

merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar.

Rusman dalam Riadi (2012) menyatakan bahwa model

pembelajaran memiliki ciri-ciri, yaitu: (1) berdasarkan teori pendidikan

dan teori belajar dari para ahli tertentu, (2) mempunyai misi atau tujuan
15

pendidikan tertentu, (3) dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan

kegiatan belajar mengajar di kelas, (4) memiliki bagian-bagian model

yang dinamakan urutan langkah-langkah pembelajaran, adanya prinsip-

prinsip reaksi, sistem sosial, dan sistem pendukung, (5) memiliki dampak

sebagai akibat terapan model pembelajaran yang meliputi dampak

pembelajaran (hasil belajar yang dapat diukur) dan dampak pengiring

(hasil belajar jangka panjang), dan (6) membuat persiapan mengajar

dengan pedoman model pembelajaran yang dipilihnya.

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model

pembelajaran merupakan kerangka konseptual dari suatu proses

pembelajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran

tertentu.

b. Pengertian Model Pembelajaran Problem Posing

Salah satu rekomendasi dari Agenda Aksi yang dihasilkan oleh

NCTM menempatkan pemecahan masalah sebagai fokus pembelajaran

matematika (Abu-Elwan, 2000). Pembelajaran matematika hendaknya

menjadikan pemecahan masalah sebagai bagian utama dari semua aspek

aktivitasnya. Guru perlu memberikan masalah-masalah yang menantang dan

memotivasi peserta didik.

Banyak ahli pendidikan telah merekomendasikan berbagai cara atau

strategi peningkatan kemampuan pemecahan masalah. Salah satu cara atau

strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah adalah problem posing. Problem posing merujuk pada pembuatan

soal oleh peserta didik berdasarkan kriteria tertentu. Problem posing


16

selanjutnya diistilahkan dengan pembuatan atau pembentukan soal, telah

menjadi salah satu tema utama dalam pembelajaran matematika. Reformasi

pembelajaran matematika terkini merekomendasikan penerapan problem

posing dalam pembelajaran matematika (Christou et al dalam Mahmudi,

2008). Sesungguhnya, problem posing bukan ide baru dalam pembelajaran

matematika, melainkan telah diperkenalkan dan diteliti di berbagai negara,

seperti Amerika, Inggris, Australia, Jepang, dan Singapura pada beberapa

dekade yang lalu. Namun, di Indonesia sendiri model pembelajaran problem

posing masuk pada tahun 2000 dimana hanya diterapkan pada mata

pelajaran matematika.

Menurut Silver dalam Mahmudi (2000), problem posing meliputi

beberapa pengertian, yaitu (1) perumusan soal atau perumusan ulang soal

yang telah diberikan dengan beberapa perubahan agar lebih mudah

dipahami peserta didik, (2) perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-

syarat pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka penemuan alternatif

penyelesaian, dan (3) pembuatan soal dari suatu situasi yang diberikan.

Dalam model pembelajaran pengajuan soal (problem posing) peserta didik

dilatih untuk memperkuat dan memperkaya konsep-konsep dasar

matematika. Dengan demikian, kekuatan-kekuatan model pembelajaran

problem posing sebagai berikut.

1) Memberi penguatan terhadap konsep yang diterima atau memperkaya

konsep konsep dasar.

2) Diharapkan mampu melatih peserta didik meningkatkan kemampuan

dalam belajar.
17

3) Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang pada

dasarnya adalah pemecahan masalah.

Model pembelajaran problem posing secara umum memiliki

karakteristik membentuk suatu permasalahan matematika yang berasal dari

data yang sudah diberikan oleh pendidik. Menurut Brown dan Walter dalam

Permana (2011), problem posing can give one a chance to develop

independent thinking processes. Yang artinya problem posing memberikan

kesempatan kepada peserta didik untuk dapat berpikir secara bebas dan

mandiri dalam menyelesaikan masalah. Masalah disini tentunya masalah

dalam matematika.

c. Tipe-tipe Model Pembelajaran Problem Posing

Silver dan Cai dalam Mahmudi (2008) mengklasifikasikan model

pembelajaran problem posing menjadi 3 tipe, yaitu tipe pre-solution posing,

tipe within-solution posing, dan tipe post-solution posing. Penjelasan tipe-

tipe model pembelajaran problem posing adalah sebagai berikut.

1) Tipe Pre-solution Posing, yaitu pembuatan soal berdasarkan situasi atau

informasi yang diberikan. Karakteristik dari tipe ini adalah pendidik

memberikan suatu data yang kemudian peserta didik membuat soal dari

data yang telah ada. Persoalan-persoalan yang terbentuk hanya terbatas

dari data-data yang diberikan.

Contoh

Diketahui suatu kubus ABCD.EFGH dengan rusuk a cm

Soal-soal yang mungkin disusun peserta didik adalah sebagai berikut.

a. Tentukan panjang diagonal bidang dan ruang kubus tersebut!


18

b. tentukan jarak titik D ke bidang ACH!

2) Tipe Within-solution Posing, yaitu pembuatan atau formulasi soal yang

sedang diselesaikan. Pembuatan soal demikian dimaksudkan sebagai

penyederhanaan dari soal yang sedang diselesaikan. Dengan demikian,

pembuatan soal demikian akan mendukung penyelesaian soal semula.

Tipe within solution posing memiliki karakteristik, yaitu menyusun suatu

pertanyaan ketika sedang menyelesaikan suatu masalah matematika.

Contoh

Diketahui segitiga PQR siku-siku di P dengan panjang PR = 5 cm dan

sudut Q = 30. Tentukan jarak dari P ke ruas garis QR!

Soal-soal yang mungkin disusun peserta didik yang dapat mendukung

penyelesaian soal tersebut adalah sebagai berikut.

a. Berapa besar masing-masing sudut segitiga tersebut?

b. Berapa panjang PQ dan QR?

3) Tipe Post-solution Posing atau biasa disebut juga dengan strategi find a

more challenging problem. Peserta didik merevisi tujuan atau kondisi

soal yang telah diselesaikan untuk menghasilkan soal-soal baru yang

lebih menantang. Pembuatan soal demikian merujuk pada strategi what

if not atau what happen if. Beberapa hal yang bisa menjadi

karakteristik tipe ini adalah: (a) mengubah informasi atau data pada soal

semula, (b) menambah informasi atau data pada soal semula, (c)

mengubah nilai data yang diberikan, tetapi tetap mempertahankan

kondisi atau situasi soal semula, dan (d) mengubah situasi atau kondisi
19

semula, tetapi tetap mempertahankan data atau informasi yang ada pada

soal semula.

Contoh

Diketahui kubus ABCD.EFGH dengan rusuk 12 cm. Tentukan jarak

bidang ACH ke bidang EGB!

Soal-soal yang mungkin disusun peserta didik adalah sebagai berikut.

a. Jika panjang rusuk ditambah 1,5 kali panjang semula, maka

tentukanlah jarak bidang ACH ke bidang EGB!

b. Berapa perbandingan jarak ACH ke bidang EGB antara panjang awal

dan setelah diperpanjang 1,5 kali panjang semula?

d. Langkah-langkah Model Pembelajaran Problem Posing

Secara umum, langkah-langkah model pembelajaran problem posing

menurut Lyn D. English dalam Puspita (2013) sebagai berikut. (a) Guru

menjelaskan materi pelajaran kepada para peserta didik. Penggunaan alat

peraga untuk memperjelas konsep sangat disarankan. (b) Guru memberikan

soal secukupnya. (c) Peserta didik diminta untuk mengajukan 1 atau 2 soal

yang menantang, dan yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya.

Tugas ini dapat dilakukan secara berkelompok. (d) Pada pertemuan

berikutnya, secara acak guru menyuruh peserta didik untuk menyajikan soal

temuannya di depan kelas. Dalam hal ini, guru dapat menentukan peserta

didik secara seletif berdasarkan bobot soal yang diajukan oleh peserta didik.

(e) Guru memberikan tugas rumah secara individual.


20

e. Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Problem Posing

1) Keunggulan Model Pembelajaran Problem Posing

a) Kegiatan pembelajaran tidak terpusat pada pendidik, tetapi dituntut

keaktifan peserta didik.

b) Minat peserta didik dalam pembelajaran matematika lebih besar

dan peserta didik lebih mudah memahami soal karena dibuat

sendiri.

c) Semua peserta didik terpacu untuk terlibat secara aktif dalam

membuat soal.

d) Dengan membuat soal dapat menimbulkan dampak terhadap

kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan masalah.

e) Dapat membantu peserta didik untuk melihat permasalahan yang

ada dan yang baru diterima sehingga diharapkan mendapatkan

pemahaman yang mendalam dan lebih baik, merangsang peserta

didik untuk memunculkan ide yang kreatif dari yang diperolehnya

dan memperluan bahasan/pengetahuan, peserta didik dapat

memahami soal sebagai latihan untuk memecahkan masalah.

2) Kelemahan Model Pembelajaran Problem Posing

a) Persiapan pendidik lebih lama karena menyiapkan informasi apa

yang dapat disampaikan.

b) Waktu yang digunakan lebih banyak untuk membuat soal dan

penyelesaiannya sehingga materi yang disampaikan lebih sedikit.

Penelitian ini menerapkan model pembelajaran problem posing tipe within

solution posing. Model pembelajaran problem posing tipe within solution posing
21

memiliki karakteristik membuat soal berdasarkan persoalan yang sedang

diselesaikan. Dibanding tipe yang lain, tipe within solution posing lebih terfokus

pada satu persoalan tanpa mengubah situasi dan kondisi permasalahan yang ada.

Sehingga peserta didik akan terfokus pada satu persoalan. Akibatnya, peserta

didik akan lebih paham terhadap konsep yang sedang diajarkan.

Dalam model pembelajaran problem posing tipe within-solution posing,

langkah-langkah pembelajaran merujuk pada model pembelajaran problem posing

secara umum. Langkah-langkah model pembelajaran problem posing tipe within

solution posing yang diterapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Kegiatan Awal

1. Pendidik menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk

mengikuti proses pembelajaran.

2. Pendidik melakukan apersepsi sebagai penggalian pengetahuan awal

peserta didik terhadap materi yang akan diajarkan.

3. Pendidik menyampaikan tujuan pembelajaran dan pokok-pokok materi

yang akan dipelajari.

4. Penjelasan tentang cara belajar.

b. Kegiatan Inti

1. Pendidik menjelaskan materi kepada peserta didik disertai contoh soal.

2. Peserta didik diberikan soal oleh pendidik

3. Peserta didik bekerja secara individu menyelesaikan permasalahan yang

diberikan guru. Guru berkeliling untuk mengontrol cara bekerja peserta

didik.
22

4. Pendidik menginstruksikan peserta didik membuat soal berdasarkan

langkah-langkah dari penyelesaian soal yang sudah dikerjakan.

5. Peserta didik menukar persoalan yang dia buat kepada teman

sebangkunya untuk dikerjakan secara mandiri.

6. Jawaban peserta didik dikumpulkan.

7. Pendidik mengadakan refleksi dengan menanyakan kepada peserta

tentang hal-hal yang dirasakan peserta didik, materi yang belum

dipahami dengan baik, kesan dan pesan selama mengikuti pelajaran.

c. Kegiatan Akhir

1. Pendidik dan peserta didik membuat kesimpulan cara menyelesaikan

soal tersebut.

2. Peserta didik ditugaskan membuat 1 buah soal yang berkaitan dengan

materi yang telah diajarkan.

Berdasarkan uraian tersebut, yang dimaksud dengan model pembelajaran

problem posing tipe within-solution posing adalah suatu model pembelajaran

dimana peserta didik mengajukan atau membentuk suatu permasalahan

matematika yang berasal dari persoalan matematika sebelumnya atau persoalan

matematika yang sedang dipecahkan tapi tidak mengubah data dari persoalan

sebelumnya

Tabel 2.1
Sintaks Model Pembelajaran Problem Posing Tipe Within-Solution Posing
Fase Aktivitas Guru Aktivitas Peserta Didik
Pendahuluan Memotivasi peserta didik agar Menemukan sendiri
mereka menemukan sendiri pengetahuan dan
pengetahuan dan keterampilannya
ketrampilannya yang akan
dipelajari
23

Fase Aktivitas Guru Aktivitas Peserta Didik


Menjelaskan tentang materi Bertanya kepada guru
yang dipelajari beserta contoh tentang hal-hal yang belum
Kegiatan Inti soal dipahami dalam
pembelajaran
Menyuruh peserta didik untuk Mengerjakan soal yang
mengerjakan soal secara diberikan secara individu
individu. Kemudian membuat lalu membuat soal baru
soal baru berdasarkan langkah- berdasarkan langkah-
langkah penyelesaian soal yang langkah penyelesaian soal
diberikan yang diberikan pendidik

Menyuruh peserta didik saling Menukar soal yang ia buat


menukarkan soal dengan teman dengan teman sebangku, lalu
sebangku, lalu mengerjakan mengerjakan soal tersebut.
soal tersebut dan dikumpul.
Membimbing peserta didik Peserta didik melakukan
untuk melakukan refleksi refleksi terhadap
terhadap pembelajaran yang pembelajaran yang telah
telah dilakukan dilakukan
Penutup Menugaskan peserta didik Menerima tugas membuat 1
membuat 1 soal mengenai soal mengenai materi yang
materi yang telah dipelajari telah dipelajari.

(Lyn D. English dalam Puspita, 2013)

5. Pemahaman Konsep Matematika

Kata pemahaman konsep berasal dari 2 kata, yaitu pemahaman dan

konsep. Kata pemahaman berasal dari kata dasar paham yang berarti mengerti

terhadap suatu hal yang dihadapi. Pemahaman berarti proses untuk mengerti

terhadap suatu hal yang dihadapi (Setiawan, 2015). Driver dalam Setiani (2013)

menyatakan pemahaman merupakan kemampuan untuk menjelaskan suatu situasi

atau suatu tindakan.

Selanjutnya, kata konsep dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ide

atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret. Menurut Rosser dalam

Alawiah (2011), konsep merupakan suatu abstraksi yang mewakili satu kelas
24

objek-objek, kejadian-kejadian, atau hubungan-hubungan yang mempunyai

atribut-atribut yang sama. Alawiah (2011) menyebutkan bahwa kita menyatakan

suatu konsep dengan menyebut nama misalnya buku, yaitu lembaran-lembaran

kertas dengan ukuran yang sama yang disatukan atau dijilid, dan berisi huruf cetak

dan gambar dalam urutan-urutan yang mengandung arti. Konsep membantu murid

menyederhanakan dan meringkas informasi, dan meningkatkan efisiensi memori,

komunikasi dan penggunaan waktu. Jadi, pemahaman konsep merupakan suatu

kemampuan seseorang untuk menghubungkan konsep atau suatu fakta yang sesuai

dengan pengetahuan yang dimiliki serta mampu menangkap makna dari konsep

yang dijabarkan.

Bloom dalam Setiani (2013) menyebutkan ada tiga macam pemahaman.

Pemahaman tersebut meliputi pengubahan (translation), Pemberian arti

(interpretation) dan pembuatan ekstrapolasi (extrapolation). Dikutip dari

Alawiyah (2011), Berikut penjelasan dari translation, interpretation, dan

extrapolation.

a. Penerjemahan (translation) adalah kemampuan yang berkaitan dengan

kemampuan peserta didik dalam menerjemahkan kalimat dalam soal menjadi

bentuk matematika misalnya menyebutkan variabel-variabel yang diketahui

dan ditanyakan, kemampuan menerjemahkan dari bentuk simbolik ke bentuk

lain atau sebaliknya, kemampuan menerjemahkan dari lambang ke arti yang

dimaksud. Kata kerja operasional yang digunakan diantaranya adalah

menerjemahkan, mengubah, dan menyajikan.

b. Pemberian arti (interpretation) yaitu kemampuan untuk memahami pemikiran

dari suatu bahan bacaan, kemampuan untuk membedakan antara kesimpulan


25

yang diperlukan, yang tidak beralasan atau yang bertentangan yang diambil

dari sebuah data, kemampuan untuk menafsirkan berbagai jenis data, dan

kemampuan untuk menjelaskan makna yang terdapat di dalam simbol,

kemampuan dalam menentukan konsep-konsep yang tepat untuk digunakan

dalam menyelesaikan soal. Kata kerja operasional yang digunakan

diantaranya adalah, menjelaskan, menggambarkan, membedakan, dan

menginterpretasikan.

c. Ekstrapolasi (extrapolation) yaitu kemampuan peserta didik dalam

menerapkan konsep dalam perhitungan matematis, kemampuan untuk melihat

kecenderungan atau arah atau kelanjutan dari suatu temuan, dan kemampuan

menyimpulkan suatu yang telah diketahuinya. Kata kerja operasional yang

digunakan diantaranya adalah menemukan, memperhitungkan, dan

menyimpulkan.

Dalam matematika terdapat materi geometri. Dalam geometri, terdapat

konsep titik, garis, bidang, dan ruang serta berbagai definisi, aksioma, teorema,

dan lemma yang berkaitan dengan geometri. Selain itu, geometri juga

menggunakan konsep aljabar (untuk menghitung jarak antar ruas garis), dan

trigonometri (menentukan besar masing-masing sudut pada suatu bidang). Pada

sekolah menengah atas, konsep yang diperkenalkan lebih banyak konsep abstrak

seperti kedudukan titik, garis, dan bidang dengan berbagai teoremanya. Tujuannya

agar peserta didik memiliki kemampuan analisis dari berbagai sudut pandang. Jika

salah satu definisi, teorema, atau konsep terlupakan, maka peserta didik akan

kesulitan memahami konsep geometri selanjutnya.


26

Saat mempelajari matematika, peserta didik harus mampu berpikir secara

logis dan sistematis. Peserta didik dikatakan mampu memahami konsep jika

mampu mengidentifikasikan konsep, mengidentifikasi dan memberi contoh atau

bukan contoh dari konsep, mengembangkan kemampuan koneksi matematika

sebagai ide memahami bagaimana ide-ide matematika saling terkait satu sama lain

sehingga terbangun pemahaman menyeluruh, dan menggunakan matematika

dalam konsep diluar matematika. Sedangkan peserta didik dikatakan memahami

prosedur jika mampu mengenali sejumlah langkah-langkah dari kegiatan yang

dilakukan yang didalamnya termasuk aturan prosedur atau prosedur menghitung

yang benar. Sehingga, menurut Lampiran Permendikbud No. 104 tahun 2014

tentang Penilaian Hasil Belajar Oleh Pendidik pada Pendidikan Dasar dan

Pendidikan Menengah, penilaian pemahaman konsep matematika pada penelitian

ini lebih menekankan pada 4 dimensi, yaitu: (1) faktual (pengetahuan tentang

istilah, nama orang, nama benda, angka, tahun, dan hal-hal yang secara khusus

dengan mata pelajaran matematika), (2) konseptual (pengetahuan tentang

kategori, klasifikasi, keterkaitan antara satu kategori dengan lainnya, hukum

kausalita, definisi, teori), (3) prosedural (pengetahuan tentang prosedur dan proses

khusus dari suatu mata pelajaran seperti algoritma, teknik, metode, dan kriteria

untuk menentukan ketepatan suatu prosedur), dan (4) metakognitif (pengetahuan

tentang cara mempelajari pengetahuan, menentukan pengetahuan yang penting

dan tidak penting atau strategic knowledge, pengetahuan yang sesuai dengan

konteks tertentu dan pengetahuan diri (self-knowledge).

Berdasarkan uraian tersebut, yang dimaksud dengan pemahaman konsep

adalah kemampuan peserta didik untuk menghubungkan konsep atau suatu fakta
27

yang sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki serta mampu menangkap makna

dari konsep yang dijabarkan.

6. Phobia Matematika

a. Pengertian Phobia

Kata phobia berasal dari istilah Yunani phobos yang berarti lari,

takut dan panik (panic-fear), takut hebat (terror). Istilah ini sudah

digunakan sejak zaman Hippocrates. Phobia merupakan kelainan

kecemasan yang umum ditemukan (Mayer, 2008). Masih menurut Mayer

The words fear and anxiety are often used interchangeably, but they

have different meanings. Fear is something external, specific, and definable.

Anxiety, on the other hand, is nonspecific; its intangible in nature....

Mayer berpendapat bahwa kata takut dan kecemasan sering digunakan

secara bergantian, namun memiliki arti yang berbeda. Takut artinya

pengaruh dari luar yang jelas dan spesifik. Sedangkan kecemasan berasal

dari pengaruh yang tidak bisa dinyatakan dengan jelas. Rasa takut yang

berlebihan akan menimbulkan rasa gelisah dan cemas. Bentuk ekstrem dari

takut adalah phobia.

Baharuddin (2007) berpendapat bahwa phobia adalah perasaan takut

yang sangat kuat terhadap hal-hal tertentu meskipun tidak ada alasan yang

nyata, seperti takut pada tempat gelap atau ruangan tertutup. Lalu, Csti

(2003) menyatakan A phobia is an irrational fear of something that is not

necessarily harmful and, although the sufferer may be aware of this, she

will go to great lengths to avoid the thing or situation that causes the

fear.... Berdasarkan pendapat 3 ahli tersebut, yang dimaksud phobia adalah


28

suatu gangguan kejiwaan dimana seseorang mengalami perasaan cemas,

gelisah, dan takut terhadap hal-hal yang terkadang diluar logika orang pada

umumnya.

b. Jenis-jenis Phobia

Jenis-jenis phobia sangat banyak. Contohnya, takut terhadap gelap,

takut terhadap air, takut pada keramaian, dan masih banyak lagi. Namun,

tahun 1992, WHO dalam ICD-10 Classification of Mental and Behaviour

Disorders membagi berbagai jenis phobia ke dalam 3 kategori, yaitu:

agoraphobia, social phobia, dan specific phobias.

1) Agoraphobia.

Agoraphobia merupakan ketakutan yang dialami seseorang ketika

berada di keramaian. Para penderita agoraphobia merasa mereka akan

sulit melarikan diri dalam kondisi tertentu atau ketakutan bahwa bantuan

tidak akan datang bila terjadi kondisi darurat (Csti, 2003).

2) Social Phobia.

Wibisono (2014) menyatakan bahwa social phobia adalah gangguan

ketakutan/kecemasan berlebihan untuk berinteraksi sosial dengan orang

lain. Kecemasan ini muncul didasari oleh ketakutan yang dinilai negatif

oleh orang lain.

3) Specific Phobia (arachnophobia).

Mayer (2008) berpendapat, ...A specific phobia is the illogical fear of

being harmed or losing control when exposed to a clearly defined object

or situation, for example, being afraid of dogs who could bite or not

wanting to fly because the plane might crash..., artinya specific phobia
29

merupakan ketakutan yang tidak logis dan menyebabkan kehilangan

kontrol ketika menghadapi objek atau situasi yang jelas. Mayer

membagi specific phobia kedalam 5 tipe, yaitu : (a) tipe binatang

(ketakutan pada binatang), (b) tipe lingkungan alami (ketakutan terhadap

petir, cahaya, ketinggian, dan air), (c) Tipe injeksi darah atau cedera

pada bagian tubuh (ketakutan pada darah), (d) tipe situasional (ketakutan

pada tempat yang tertutup), dan (e) tipe yang lain (kategori ini meliputi

ketakutan terhadap tersedak, dan takut mengidap suatu penyakit).

c. Ciri-ciri Phobia

Orang yang mengalami phobia biasanya menunjukkan ciri-ciri

tertentu. Csti (2003) berpendapat bahwa orang yang mengalami phobia,

akan menunjukkan gejala serangan panik (panic attack) dan gangguan

kecemasan umum (generalised anxiety disorder). Orang yang mengalami

panic attack secara fisik memiliki gejala-gejala, seperti sakit perut, perasaan

tidak nyaman di areal dada, badan panas-dingin, tersedak, merasa pusing

dan lemah, selalu merasa ingin buang air kecil, mual dan muntah-muntah,

mati rasa atau kesemutan di bagian tubuh tertentu, mengalami palpitasi

(jantung berdetak abnormal), jantung berdetak cepat, merasa terguncang,

sesak nafas, tiba-tiba merasa panas atau dingin, dan berkeringat. Ketika

seseorang mengalami minimal 4 dari gejala tersebut, maka dapat

diindikasikan orang tersebut mengalami panic attack secara fisik.

Sedangkan secara psikologi memiliki gejala-gejala sebagai berikut.

a. Derealisation (merasa dunia itu tidak nyata, merasa terpisah dari

lingkungan sekitar)
30

b. Depersonalisation (merasa terpisah dengan dirinya sendiri atau

kehilangan jati diri)

c. Kehilangan kendali

d. Ketakutan

e. Selalu marah-marah

f. Merasa dirinya akan mati

Selain gejala serangan panik, penderita phobia juga mengalami

gangguan kecemasan umum dimana penderita mengalami gejala-gejala

yang sama dengan penderita serangan panik hanya ditambah gejala-gejala

seperti: (a) mudah menjadi lelah, (b) menjadi pemarah, (c) merasa gelisah,

(d) sulit berkonsentrasi, (e) insomnia, dan (f) otot-otot menjadi tegang.

d. Pengertian Phobia Matematika

Diantara banyak jenis phobia, terdapat mathophobia. Mathophobia

atau phobia terhadap matematika termasuk kedalam jenis specific phobia.

Gordon (Alao & Adeleke, 2003) menyatakan mathophobia merupakan

sekumpulan faktor-faktor di dalam konstelasi interaktif yang menghasilkan

sikap takut atau benci terhadap matematika. Orang-orang yang mengalami

mathophobia pada awalnya masih bisa menerima dan mengerjakan tugas

matematika. Namun, ada kondisi/keadaan yang menyebabkan mereka

mengalami fase traumatis (fase yang sangat tidak menyenangkan yang

menyebabkan mereka membuat benteng diri untuk tidak berdekatan dengan

matematika). Trauma bisa disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut.

1. Faktor lingkungan. Guru yang otoriter saat mengajar akan mempercepat

seseorang semakin cepat mengalami fase traumatis.


31

2. Karakter kepribadian individu. Seseorang merasa lemah, tidak

mempunyai konsep diri yang kuat, tidak berdaya, dan mudah putus asa.

Gejala tersebut sama seperti gejala psikologis dari panic attack. Artinya,

faktor-faktor tersebut merupakan pengalaman yang sangat tidak

menyenangkan bagi dirinya, sehingga kondisi psikisnya terganggu.

Ketika seseorang mengalami trauma tersebut, maka phobia itu bisa

terjadi. Reaksi terhadap mathophobia berbeda-beda pada tiap individu. Pada

phobia tingkat tinggi, individu mendengar kata matematika sudah membuat

dirinya pusing, merasa panas dingin mual, dan muntah-muntah. Pada tingkat

sedang, ia akan enggan bersekolah bila ada pelajaran matematika. Terakhir,

pada tingkat ringan, ia hanya sekedar tidak mau mengerjakan soal

matematika.

e. Ciri-ciri Phobia Matematika

Orang yang mengalami phobia matematika akan terlihat secara fisik

dan psikologisnya. Secara fisik, penderita phobia matematika akan

mengalami sakit perut, perasaan tidak nyaman di areal dada, merasa pusing

dan lemah, selalu ingin buang air kecil, jantung berdetak cepat, dan

berkeringat. Secara psikologi, penderita tidak memiliki konsep diri yang

kuat, motivasi diri rendah, gugup saat ditanya, sulit berkonsentrasi, merasa

gelisah, dan ketakutan saat mendengar kata matematika.

Penelitian tim Nanyang Technological University dan National

Institute of Education Singapura (1992) menceritakan ciri-ciri anak yang

mengalami mathophobia, yaitu pada saat pelajaran matematika wajah anak

terlihat pucat pasi terutama sekitar mulut, tubuh mudah berkeringat


32

meskipun ruangan tidak panas, gugup bila ditanya, jantung berdebar-debar,

pandangan mata kosong dan pikiran menerawang karena merasa tidak

paham tentang apa yang diterangkan gurunya serta berusaha menghindar

apabila ada yang membicarakan tentang matematika.

Berdasarkan uraian tersebut, yang dimaksud dengan phobia matematika

adalah perasaan takut dan cemas yang berlebihan terhadap mata pelajaran

matematika yang disebabkan oleh trauma pengalaman belajar matematika yang

dialami seseorang.

7. Model Pembelajaran Konvensional

a. Pengertian Model Pembelajaran Konvensional

Model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran

tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu

model ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru

dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam

pembelajaran sejarah model konvensional ditandai dengan ceramah yang

diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan (Djamarah

dalam Kresma, 2014). Burrowes dalam Riadi (2012) menyampaikan bahwa

pembelajaran konvensional menekankan pada resitasi konten, tanpa

memberikan waktu yang cukup kepada peserta didik untuk merefleksi

materi-materi yang dipresentasikan, menghubungkannya dengan

pengetahuan sebelumnya, atau mengaplikasikannya kepada situasi

kehidupan nyata.
33

b. Ciri-ciri Model Pembelajaran Konvensional

Nasution dalam Yeni (2011) memberikan ciri-ciri pembelajaran

konvensional, antara lain: (a) bahan pelajaran disajikan kepada kelompok

atau kelas secara keseluruhan tanpa memperhatikan peserta didik secara

individu; (b) pembelajaran umumnya berbentuk ceramah, tugas tertulis, dan

media menurut pertimbangan guru; (c) peserta didik umumnya bersifat pasif

karena harus mendengarkan penjelasan guru; (d) dalam hal kecepatan

belajar, semua peserta didik belajar menurut kecepatan yang umumnya

ditentukan oleh kecepatan guru mengajar; (e) keberhasilan belajar biasanya

dinilai guru secara subjektif; dan (f) guru terutama berfungsi sebagai

penyampai/pentransfer pengetahuan.

c. Sifat-sifat Model Pembelajaran Konvensional

Menurut Riadi (2012), pembelajaran konvensional memiliki sifat-

sifat diantaranya: (1) guru sering membiarkan adanya peserta didik yang

mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok, (2)

akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering

diborong oleh salah seorang anggota kelompok sedangkan anggota

kelompok lainnya hanya mendompleng keberhasilan pemborong, (3)

kelompok belajar biasanya homogen, (4) pemimpin kelompok sering

ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih pemimpinnya

dengan cara masing-masing, (5) keterampilan sosial sering tidak secara

langsung diajarkan, (6) pemantauan melalui observasi dan intervensi sering

tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung,

(7) guru sering tidak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam
34

kelompok-kelompok belajar, dan (8) penekanan sering hanya pada

penyelesaian tugas.

Dari sifat-sifat di atas, terlihat bahwa model pembelajaran

konvensional tidak memberikan kesempatan kepada seluruh peserta didik

untuk mengembangkan konsep yang ia terima. Selain itu, pendidik selalu

merasa pengetahuan yang ia miliki itu benar. Sehingga peserta didik, suka

atau tidak suka harus menuruti apa yang disampaikan oleh pendidik.

Akibatnya, suasana yang diciptakan cenderung kaku karena pembelajaran

berpusat pada pendidik, kemudian peserta didik menjadi malas dan takut

untuk menyampaikan pendapatnya.

d. Langkah-langkah Model Pembelajaran Konvensional

Dikutip dari Putra (2015), langkah-langkah model pembelajaran

konvensional adalah sebagai berikut.

1) Pendahuluan

a) Guru menyampaikan pokok bahasan atau materi yang akan

diberikan.

2) Kegiatan Inti

a) Guru mendemontrasikan keterampilan atau menyajikan materi

tahap demi tahap.

b) Guru memberikan contoh soal yang relevan dengan materi yang

diberikan.

c) Mengarahkan peserta didik untuk mengerjakan soal yang ada

dalam LKPD (Lembar Kerja Peserta Didik).


35

3) Penutup

a) Guru memberikan ulangan atau tes.

b) Guru memberikan pekerjaan rumah.

e. Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Konvensional

Model ini sangat diandalkan oleh para pendidik karena memiliki

beberapa keunggulan, yaitu: (1) berbagi informasi yang tidak mudah

ditemukan di tempat lain, (2) menyampaikan informasi dengan cepat, (3)

membangkitkan minat akan informasi, (4) mengajari peserta didik yang cara

belajar terbaiknya dengan mendengarkan, dan (5) mudah digunakan dalam

proses belajar mengajar.

Namun, model pembelajaran konvensional memiliki beberapa

kelemahan, yaitu: (1) pembelajaran terpusat pada pendidik, (2) suasana

kelas cenderung kaku, dan (3) peserta didik tidak bisa mengembangkan

potensi akademiknya secara bebas.

Berdasarkan uraian tersebut, yang dimaksud dengan model pembelajaran

konvensional suatu pembelajaran yang berpusat pada pendidik sebagai sumber

ilmu pengetahuan dan biasanya dalam menyampaikan materi menggunakan

metode ceramah sebagai andalan.


36

Tabel 2.2
Sintaks Model Pembelajaran Konvensional
Fase Aktivitas Guru Aktivitas Peserta didik
Pendahuluan Menyampaikan pokok bahasan Mendengarkan informasi
atau materi yang akan yang disampaikan dan
diberikan menerima materi baru
Kegiatan Inti Mendemontrasikan Memperhatikan penjelasan
ketrampilan atau menyajikan guru
materi tahap demi tahap

Memberikan contoh soal yang Mencatat contoh soal


relevan dengan materi yang
diberikan
Mengarahkan peserta didik Menyelesaikan soal-soal
untuk mengerjakan soal yang yang ada dalam LKPD
ada dalam LKPD
Penutup Memberikan ulangan/tes Menjawab soal-soal tes
Memberikan pekerjaan rumah Mencatat pekerjaan rumah
(PR) (PR)

(Putra, 2015)

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Permasalahan yang diteliti didukung oleh beberapa hasil penelitian

sebelumnya, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ana Ari Wahyu

Suci dan Abdul Haris Rosyidi, dengan judul Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematika Siswa pada Pembelajaran Problem Posing Berkelompok. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah peserta didik

rata-rata berada di kategori baik setelah mengikuti pembelajaran dengan problem

posing. Hal ini ditunjukkan dengan total skor kemampuan pemecahan masalah

peserta didik berada dikisaran 23-32 dengan skor maksimal 32.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Oktiana Dwi Putra Herawati,

Rusdy Siroj, dan H.M Djahir Basir, dengan judul Pengaruh Pembelajaran

Problem Posing Terhadap Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa

Kelas XI IPA SMA Negeri 6 Palembang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
37

terdapat perbedaan kemampuan pemahaman konsep matematika antara peserta

didik yang memperoleh pembelajaran problem posing dengan peserta didik yang

memperoleh pembelajaran konvensional. Kemampuan pemahaman konsep

matematika peserta didik pada kelas yang memperoleh pembelajaran problem

posing lebih baik daripada peserta didik pada kelas yang memperoleh

pembelajaran konvensional. Temuan itu didukung oleh perolehan nilai rata-rata

pada kelas dengan pembelajaran problem posing sebesar 78,9 dan pada kelas

dengan pembelajaran konvensional sebesar 70,8.

Dan terakhir penelitian dari Yinghui Lai, Xiaoshuang Zhu, Yinghe Chen

dan Yanjun Li, dengan judul Effects of Mathematics Anxiety and Mathematical

Metacognition on Word Problem Solving in Children with and without

Mathematical Learning Difficulties. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa anak

dengan kesulitan belajar matematika mendapat skor rendah dalam penggambaran

diri dan skor tinggi untuk hasil mathematical anxiety. Kecemasan belajar

matematika anak yang mengalami kesulitan belajar matematika juga lebih tinggi

dibanding rekan-rekan mereka yang mengalami apresiasi rendah. Hasil ini

memberikan kita pandangan terhadap faktor-faktor yang dapat menengahi

kelemahan Word Problem Solving ketika tekanan dari pelajaran matematika

muncul. Hasil ini juga menyarankan bahwa kecemasan selama belajar matematika

harus diperhitungkan dalam intervensi kesulitan belajar matematika


38

C. Kerangka Berpikir

Penelitian ini memiliki kerangka berpikir sebagai berikut.

Model Pembelajaran Model Pembelajaran


Problem Posing Tipe Konvensional
Within Solution Posing

Belajar dengan Belajar dengan mendengar


membentuk masalah dan mencatat penjelasan
untuk memecahkan dari guru sebagai sumber
masalah yang dihadapi pengetahuan

Pemahaman Phobia
Konsep Matematika

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian

Keterangan:
: implikasi langsung diterapkannya model pembelajaran

Penjelasan dari Gambar 2.1 adalah sebagai berikut.

1. Pengaruh Model Pembelajaran Problem Posing Tipe Within-Solution


Posing terhadap Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika
Dalam melakukan pembelajaran matematika pendidik masih

menggunakan pembelajaran secara konvensional. Pembelajaran konvensional

memiliki aktivitas pendidik menerangkan materi dengan metode ceramah, lalu

memberi contoh soal dari buku, ketika kelas tersebut gaduh pendidik akan

memberikan punishment kepada peserta didik yang terkadang kelewat batas. Dan

begitu seterusnya dalam setiap menyampaikan materi. Sisi baik bagi pendidik

adalah tidak perlu persiapan yang banyak dibanding menggunakan model

pembelajaran yang lain. Sehingga pendidik tidak mengembangkan bahan ajar

mereka. Sedangkan bagi peserta didik, mereka akan merasa malas untuk belajar
39

karena terkadang, guru agak cepat dalam menjelaskan. Selain itu, mereka menjadi

takut untuk bertanya karena sikap pendidik yang otoriter. Hal tersebut akan

berpengaruh pada kemampuan pemahaman konsep khususnya dalam mata

pelajaran matematika.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka dirancang Model pembelajaran

problem posing tipe within solution posing yang merangsang peserta didik untuk

aktif dalam membuat suatu persoalan matematika dari soal yang sedang

dikerjakan. Soal yang dibuat peserta didik bisa mengenai langkah-langkah

pengerjaan soal tersebut maupun sedikit mengubah data yang diberikan. Problem

posing tipe within solution posing mampu meningkatkan kemampuan pemahaman

konsep matematika peserta didik karena dalam model pembelajaran ini, peserta

didik membuat soal dari langkah-langkah penyelesaian suatu permasalahan

matematika. Pertanyaan-pertanyaan yang dibuat bisa menguji kemampuan

temannya karena mereka sudah tahu jawabannya, atau menanyakan hal-hal yang

kurang mengerti. Lalu peserta didik saling menukarkan soal kemudian dijawab

oleh mereka. Secara tidak langsung, hal tersebut akan makin menguatkan konsep

yang telah mereka pelajari dalam matematika.

Berdasarkan uraian tersebut, ada pengaruh secara signifikan dari model

pembelajaran problem posing tipe within solution posing terhadap kemampuan

pemahaman konsep.

2. Pengaruh Model Pembelajaran Problem Posing Tipe Within-Solution


Posing terhadap Phobia Matematika
Dalam penerapan pembelajaran konvensional pendidik menerangkan

materi dengan metode ceramah, lalu memberi contoh soal dari buku, ketika kelas

tersebut gaduh pendidik akan memberikan punishment kepada peserta didik yang
40

terkadang kelewat batas. Hal tersebut selalu diulang-ulang oleh pendidik karena

kepraktisan dalam menggunakan model pembelajaran konvensional. Namun,

dampak bagi peserta didik sangat fatal. Akibat pembelajaran konvensional yang

diterapkan oleh para pendidik, peserta didik yang awalnya masih semangat

mengikuti pelajaran matematika, semangatnya menjadi menurun.

Ketika semangat belajarnya menurun, peserta didik akan malas untuk

belajar matematika. Pada kondisi tertentu, peserta didik maupun pendidik akan

mengalami suatu kejenuhan. Saat kejenuhannya memuncak ditambah kondisi

lingkungan belajar yang kurang mendukung, peserta didik akan masuk kedalam

fase traumatis, suatu fase dimana peserta didik merasa tidak nyaman dengan

lingkungan belajarnya dan membuat suatu benteng untuk tidak berhubungan

dengan suatu hal. Dalam kondisi ini, saat kejenuhan peserta didik mencapai

puncaknya, ditambah suasana dalam pembelajaran konvensional yang cenderung

membuat mereka pasif, mereka akan mengalami fase traumatik. Peserta didik

akan menghindari matematika dan menjauhi sesuatu yang berhubungan dengan

menghitung dan berpotensi mengalami phobia matematika atau bisa disebut

mathophobia dan mathematics anxiety.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka dirancang Model pembelajaran

problem posing tipe within solution posing untuk membuat peserta didik aktif

dalam membuat suatu persoalan matematika dari soal yang sedang dikerjakan.

Mereka dengan bebas membuat pertanyaan berdasarkan langkah-langkah dalam

menyelesaikan suatu persoalan matematika. Lalu peserta didik saling menukarkan

soal kemudian dijawab oleh mereka. Secara tidak langsung, model pembelajaran

ini membuat peserta didik sebagai pusat pembelajaran. Peserta didik tidak akan
41

canggung lagi untuk bertanya karena merekalah pusat pembelajaran. Pendidik

disini hanya sebagai pengawas dan menengahi apabila terdapat perbedaan konsep

yang sangat berlawanan. Model pembelajaran problem posing tipe within solution

posing jika terus diterapkan, akan mampu mengubah suasana belajar yang kaku

menjadi aktif dan menyenangkan karena peserta didik secara tidak langsung

termotivasi secara positif untuk aktif membuat persoalan dan berkompetisi secara

sehat. Dampak secara psikologis, lingkungan yang menyenangkan dan

pembelajaran yang membuat peserta didik aktif akan mengurangi resiko peserta

didik mengalami fase traumatik terhadap matematika yang pada akhirnya

mengurangi peserta didik untuk mengalami phobia matematika.

Berdasarkan uraian tersebut, ada pengaruh secara signifikan dari model

pembelajaran problem posing tipe within solution posing terhadap phobia

matematika peserta didik.

3. Pengaruh Model Pembelajaran Problem Posing Tipe Within-Solution


Posing terhadap Kemampuan Pemahaman Konsep dan Phobia
Matematika Secara Simultan
Pembelajaran konvensional memiliki aktivitas pendidik menerangkan

materi dengan metode ceramah, lalu memberi contoh soal dari buku, ketika kelas

tersebut gaduh pendidik akan memberikan punishment kepada peserta didik yang

terkadang kelewat batas. Dan begitu seterusnya dalam setiap menyampaikan

materi. Sisi baik bagi pendidik adalah tidak perlu persiapan yang banyak

dibanding menggunakan model pembelajaran yang lain. Sehingga pendidik tidak

mengembangkan bahan ajar mereka. Sedangkan bagi peserta didik, mereka akan

merasa malas untuk belajar karena terkadang, guru agak cepat dalam menjelaskan.

Selain itu, mereka menjadi takut untuk bertanya karena sikap pendidik yang
42

otoriter. Peserta didik yang awalnya masih semangat mengikuti pelajaran

matematika, semangatnya menjadi menurun dan mengalami kejenuhan karena

suasana belajar yang tidak mendukung dirinya berkembang. Hal tersebut akan

menimbulkan trauma kepada peserta didik yang dapat berpotensi menjadi phobia

matematika. Saat peserta didik mengalami phobia pada matematika, mereka akan

menjauhi diri mereka terhadap matematika. Dampaknya bisa saja mereka bolos

saat mata pelajaran matematika dan sangat membenci matematika. Tentu saja hal

itu akan berpengaruh pada kemampuan pemahaman konsep khususnya dalam

mata pelajaran matematika.

Guru sebagai pendidik harus menghindari hal tersebut. Pendidik juga

harus menciptakan suasana belajar dimana peserta didik dapat mengemukakan

pendapatnya dan aktif saat pembelajaran. Terdapat Model pembelajaran problem

posing tipe within solution posing yang dirancang untuk membuat peserta didik

aktif dalam membuat suatu persoalan matematika dari soal yang sedang

dikerjakan. Mereka dengan bebas membuat pertanyaan berdasarkan langkah-

langkah dalam menyelesaikan suatu persoalan matematika. Lalu peserta didik

saling menukarkan soal kemudian dijawab oleh mereka. Secara tidak langsung,

model pembelajaran ini membuat peserta didik sebagai pusat pembelajaran.

Peserta didik tidak akan canggung lagi untuk bertanya karena merekalah pusat

pembelajaran. Pendidik disini hanya sebagai pengawas dan menengahi apabila

terdapat perbedaan konsep yang sangat berlawanan.

Model pembelajaran problem posing tipe within solution posing jika terus

diterapkan, akan mampu mengubah suasana belajar yang kaku menjadi aktif dan

menyenangkan karena peserta didik secara tidak langsung termotivasi secara


43

positif untuk aktif membuat persoalan dan berkompetisi secara sehat. Dampak

secara psikologis, lingkungan yang menyenangkan dan pembelajaran yang

membuat peserta didik aktif akan mengurangi resiko peserta didik mengalami fase

traumatik terhadap matematika yang pada akhirnya mengurangi peserta didik

untuk mengalami phobia matematika dan pada akhirnya, saat mereka merasa

nyaman atau tidak trauma terhadap matematika, akan mempengaruhi kemampuan

pemahaman konsep matematika peserta didik.

Berdasarkan uraian tersebut, ada pengaruh secara signifikan dari model

pembelajaran problem posing tipe within solution posing terhadap kemampuan

pemahaman konsep dan phobia matematika peserta didik secara simultan.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teori yang dirumuskan dengan teori yang dikemukakan

dan kerangka berpikir, maka dapat disusun suatu hipotesis sebagai berikut.

1. Terdapat pengaruh secara signifikan dari model pembelajaran problem

posing tipe within solution posing terhadap kemampuan konsep

matematika peserta didik.

2. Terdapat pengaruh secara signifikan dari model pembelajaran problem

posing tipe within solution posing terhadap phobia matematika peserta

didik.

3. Terdapat pengaruh secara signifikan dari model pembelajaran problem

posing tipe within solution posing terhadap kemampuan pemahaman

konsep dan phobia matematika peserta didik secara simultan.

Anda mungkin juga menyukai