Anda di halaman 1dari 59

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman
hayati yang dapat diolah menjadi berbagai macam obat. Pada saat ini
penggunaan obat tradisional terus meningkat. Menurut penelitian obat-
obatan tersebut banyak digunakan karena keberadaannya yang mudah
didapat, ekonomis, dan menurut penelitian memiliki efek samping relatif
rendah serta adanya kandungan yang berbeda yang memiliki efek saling
mendukung secara sinergis (Katno, 2008). Obat tradisional telah
digunakan secara luas oleh masyarakat Indonesia untuk menjaga
kesehatan dan mengatasi berbagai penyakit sejak berabad-abad yang
lalu. Pengembangan dan pemanfaatan obat bahan alam/obat tradisional
Indonesia ini perlu mendapatkan substansi ilmiah yang lebih kuat,
terutama melalui penelitian dan standarisasi sehingga obat tradisional
Indonesia dapat diintegrasikan dalam sistem pelayanan kesehatan
nasional (WHO, 2012).
Cocor bebek adalah salah satu tanaman obat tradisional. Cocor
bebek (Kalanchoe pinnata L) merupakan tanaman dari family
Crassulaceae. Cocor bebek atau dikenal juga dengan sebutan suru bebek
adalah jenis tumbuhan yang banyak mengandung air (sukulen) (Akbar,
Raditya., 2015). Cocor bebek menjadi tanaman yang umum di daerah
beriklim tropika seperti Asia, Australia, Selandia Baru, India Barat,
Makaronesia, Maskarenes, Galapagos, Melanesia, Polinesia, dan Hawaii
(Sofa, 2011). Tanaman ini banyak ditemui di lahan liar, namun tidak sedikit
pula yang menanamnya sebagai hiasan. Kendati berasal dari
Madagaskar, namun cocor bebek dapat dengan mudah ditemukan di
Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena jenis tanaman ini cocok
tumbuh di daerah tropis (Akbar, Raditya., 2015). Cocor bebek ditemukan
di daerah Aceh, Melayu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura,
Halmahera, Ternate, dan Tidore (Sofa, 2011).

1
Bagian yang dimanfaatkan adalah daun (AR, MB. Rahimsyah, 2012). Oleh
karena itu, cocor bebek terutama pada bagian daunnya, bisa digunakan
sebagai bahan obat tradisional untuk mengobati sejumlah penyakit
(Akbar, Raditya, 2015). Penyakit yang bisa diobati adalah luka bakar,
demam, nyeri lambung, bisul, memar, reumatik dan wasir (AR, MB.
Rahimsyah, 2012).
Daun cocor bebek mengandung senyawa yaitu alkaloid, flavonoid,
saponin dan tanin, diantara senyawa ini yang memberikan efek analgetik
yaitu alkaloid dan flavonoid. Alkaloid memberikan sifat analgetik dengan
cara bekerja terhadap reseptor opioid khas di Sistem Saraf Pusat (SSP),
hingga persepsi nyeri dan respon emosional terhadap nyeri berubah
(dikurangi) (Tjay, T.H. and Rahardja, K., 2007). Golongan opioid adalah
alkaloid opium. Alkaloid opium menimbulkan analgetik melalui kerjanya
didaerah otak yang mengandung peptide yang memiliki sifat farmakologik
menyerupai opoid (Syarif, A., dkk, 2009). Flavonoid memiliki efek analgetik
dengan cara menghambat enzim siklooksigenase yang merupakan
langkah pertama terbentuknya prostaglandin (Tanko, Y., dkk, 2012).
Mekanisme kerja dari flavonoid sebagai vasodilator karena peran
otot polos dan endotel pembuluh darah. Flavonoid mampu bekerja
langsung pada otot polos pembuluh arteri dengan menstimulir atau
mengaktivasi Endothelium Derived Relaxing Factor (EDRF) sehingga
menyebabkan vasodilatasi. Beberapa penelitian tentang pengaruh
flavonoid pada fungsi endotel bahwa kandungan dari flavonoid yaitu
polifenol dapat meningkatkan aktivitas dari Nitric Oxide Synthase (NOS)
yang berpotensi meningkatkan produksi Nitric Oxide (NO) pada sel
endotel pembuluh darah dan berdifusi secara langsung ke otot polos
selanjutnya merangsang guanylate cyclase untuk membentuk cGMP
sehingga terjadi vasodilatasi ( McNeill JR and Jurgens TM., 2006).
Kulit juga merupakan indera peraba yang menerima rangsangan
nyeri, panas, dingin dan sebagainya (Eroschenko, 2011) , didalam
jaringan kulit terdapat kelenjar minyak dan kelenjar keringat (Junqueira,
2007). Seperti halnya bagian tubuh yang lainnya, pada kulit dapat terjadi

2
kerusakan. Kerusakan pada kulit tersebut antara lain dapat disebabkan
karena suhu (Guyton, 2007).
Ketika integritas dari jaringan kulit hilang, maka dapat timbul lesi
atau penyakit. Salah satu lesi yang dapat terjadi pada kulit adalah luka
bakar. Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan
kimia, listrik dan radiasi (Moenadjat, 2011).
Luka bakar merupakan masalah yang serius dalam kesehatan
dunia, khususnya di negara berkembang. Kurang lebih 2,5 juta orang
mengalami luka bakar di Amerika Serikat setiap tahun. Anak kecil dan
orang tua merupakan populasi yang beresiko tinggi untuk mengalami
luka bakar. Kaum remaja laki-laki dalam usia kerja juga lebih sering
menderita luka bakar daripada yang diperkirakan lewat representasinya
dalam total populasi (Meishinta Fitria, dkk, 2014). Luka bakar sering
terjadi di rumah dan ditemukan terbanyak adalah luka bakar derajat IIA
(Superficial Partial Thickness Burn). Luka bakar tipe ini mengenai
kerusakan jaringan yang mengenai epidermis dan sebagian (sepertiga
bagian superficial) dermis sehingga terjadi epidermolisis yang diikuti
terbentuknya lepuh (bula, blister) yang rasanya sangat nyeri karena ujung-
ujung syaraf sensori mengalami kerusakan (Corwin, 2008).
Semua luka bakar (kecuali luka bakar ringan atau luka bakar derajat
I) membutuhkan penanganan medis segera karena berisiko terhadap
infeksi, dehidrasi dan komplikasi serius lainnya. Luka bakar derajat IIA
dalam proses penyembuhannya, terdapat empat fase penyembuhan,
diantaranya hemostasis, inflamasi, proliferasi dan remodeling (Guo dan
DiPietro, 2010).
Fase proliferasi merupakan fase dimana serabut-serabut kolagen
mulai diletakkan sehingga terjadi peningkatan pada proses pembentukan
kapiler-kapiler oleh tunas endothelial yang disebut angiogenesis.
Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah atau
neovaskularisasi. Peristiwa ini terjadi melalui percabangan pembuluh
darah yang sudah ada dan pengerahan sel-sel prekursor endotel (EPC)

3
dari sumsum tulang (Robbin & Cotran, 2008). Proses angiogenesis ini
sendiri juga sangat mempengaruhi penyembuhan luka. Semakin baik
vaskularisasi pada daerah luka, maka akan semakin baik pula proses
penyembuhan luka (Simons, Rubanyi, 2007). Angiogenesis memegang
peranan penting dalam perkembangan, proliferasi, dan perbaikan jaringan
(Folkman,2007). Proses angiogenesis tersusun dari beberapa tahapan,
yaitu, 1) proses inisiasi berupa dilepaskannya enzim protease dari sel
endotel yang teraktivasi, 2) pembentukan pembuluh darah vaskular,
antara lain terjadinya degradasi matriks ekstraseluler, migrasi dan
proliferasi sel endotel, serta pembuatan matriks ekstraseluler baru, dan 3)
tahap maturasi pembuluh darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan.
Terjadinya proses angiogenesis didukung oleh faktor-faktor angiogenik.
Faktor angiogenik merupakan faktor yang menstimulasi pergerakan atau
proliferasi sel endotel, atau keduanya (Frisca dkk., 2009).
Salah satu upaya terapi luka bakar adalah pemberian bahan yang
efektif mencegah inflamasi sekunder (Rahim et al., 2011). Penanganan
dalam penyembuhan luka bakar antara lain mencegah infeksi, memacu
pembentukan kolagen dan mengupayakan agar sisasisa sel epitel dapat
berkembang sehingga dapat menutup permukaan luka (Syamsuhidayat
dan Jong, 2010). Banyak zat seperti ekstrak jaringan, vitamin, dan mineral
serta sejumlah produk tanaman telah dilaporkan memiliki efek
penyembuhan. Agen penyembuh luka yang berasal dari herbal diketahui
mampu melawan infeksi dan mempercepat penyembuh luka (Udupa et al.,
2010).
Agen penyembuh luka yang berasal dari herbal salah satunya
adalah cocor bebek (Kalanchoe pinnata L). Cocor bebek mengandung
banyak zat yang bermanfaat bagi tubuh manusia, seperti asam malat,
damar, zat lendir, magnesium malat, kalsium oksalat, asam formiat,
bufadienolides, dan tanin. Oleh karena itu, cocor bebek terutama pada
bagian daunnya, bisa digunakan sebagai bahan obat tradisional untuk
obat luka bakar ( Akbar, Raditya, 2015).

4
Sehubungan dengan kandungan zat diatas, diharapkan pemberian
ekstrak gel cocor bebek dapat mempercepat penyembuhan luka bakar
derajat IIA pada tikus jantan (Rattus Norvegicus) galur wistar.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah pemberian ekstrak gel cocor bebek (Kalanchoe pinnata
L.) dapat mempengaruhi jumlah pembuluh darah pada punggung tikus
putih (Rattus Novergicus) Galur Wistar dengan luka bakar derajat IIA?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak gel cocor
bebek (Kalanchoe pinnata L.) secara topikal selama 7 hari pada
punggung tikus putih (Rattus norvegicus) Galur Wistar dengan luka
bakar derajat IIA.
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak gel cocor
bebek (Kalanchoe pinnata L.) secara topikal selama 7 hari terhadap
jumlah pembuluh darah pada punggung tikus putih (Rattus
norvegicus) Galur Wistar dengan luka bakar derajat IIA.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat bagi universitas
Dapat menjadi sumber informasi dan bahan referensi
pembelajaran untuk mahasiswa Universitas Hang Tuah, khususnya
Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya.
1.4.2 Manfaat bagi mahasiswa
Penelitian ini merupakan bentuk aplikatif ilmu kedokteran yang
telah diperoleh selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Hang Tuah Surabaya.

5
1.4.3 Manfaat bagi masyarakat
1. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai manfaat
buah merah
2. Memberikan alternatif lain dalam bentuk terapi herbal
khususnya untukterapi dalam mengatasi luka bakar
1.4.4 Manfaat bagi peneliti lain
Sebagai sumbangan informasi dan ilmu yang dapat digunakan
sebagai dasar penelitian selanjutnya.

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cocor Bebek (Kalanchoe Pinnata Lam. Pers)


2.1.1 Klasifikasi Cocor Bebek
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledone
Bangsa : Rosales
Suku : Crassulaceae
Marga : Kalanchoe
Jenis : Kalanchoe pinnata Lam. Pers

Gambar 2.1 Kalanchoe Pinnata (http://ayam-laga-bangkok.blogspot.com)

2.1.2 Nama Asing


Kalanchoe pinnatum memiliki sinonim Byrophyllum calycinum
Salisb., B. germinans, B. pinnatum, Cotyledon calycina, C. calyculata, C.

7
pinnata, Crassuvia floripendia, Crassula pinnata, Sedum
madagascariense, Verea pinnata dengan nama umum sosor bebek,
nama daerahnya Didingin Banen (Aceh), Dun Sejuk (Melayu), Buntiris
(Sunda), Sosor Bebek (Jawa tengah), Daun Ancar Bebek (Madura),
Mamala (Halmahera), Rau Kufri (Ternate), Kabi-Kabi (Tidore) (Sofa,
2011).

2.1.3 Morfologi dan Deskripsi


Kalanchoe pinnata merupakan tumbuhan sukulen (mengandung
air) yang berasal dari Madagaskar. Tanaman ini terkenal karena metode
reproduksinya melalui tunas daun (tunas/adventif). Cocor bebek populer
digunakan sebagai tanaman hias di rumah tetapi banyak pula yang
tumbuh liar di kebun-kebun dan pinggir parit yang tanahnya banyak
berbatu. Cocor bebek memiliki batang yang lunak dan beruas (Gambar
2.2). Daunnya tebal berdaging dan mengandung banyak air. Warna
daun hijau muda (kadang abu abu). Bunga majemuk, buah kotak. Bila
dimakan rasanya agak masam dan dingin (Sofa, 2011).

2.1.4 Habitat
Cocor bebek menjadi tanaman yang umum di daerah beriklim
tropika seperti Asia, Australia, Selandia Baru, India Barat, Makaronesia,
Maskarenes, Galapagos, Melanesia, Polinesia, dan Hawaii. Di banyak
daerah tersebut, seperti di Hawaii, tanaman ini dianggap sebagai
spesies yang invasif. Alasan utama penyebarannya yang besar adalah
karena kepopuleran tanaman ini sebagai tanaman hias (Sofa,2011).

2.1.5 Kandungan Senyawa Aktif dan Manfaat


Kandungan kimia dari cocor bebek adalah alkaloid, flavanoid,
senyawa fenolik, tanin, vitamin, makro dan mikro elemen dan masih
banyak lagi (Panchal, 2012). Kandungan flavanoid dari cocor bebek
diduga memiliki daya anti inflamasi. Pemberian gel ekstrak cocor bebek
dapat memberikan penyembuhan luka bakar pada kulit kelinci(Hasyim,

8
2012). Pemberian ekstrak etanolik pada cocor bebek dalama salep juga
berpotensi penyembuhan luka pada tikus (Nayak, 2010).

2.1.5.1 Alkaloid
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang
terbanyak ditemukan di alam. Hampir seluruh senyawa alkaloid berasal
dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis
tumbuhan. Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai
keaktifan biologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula
yang sangat berguna dalam pengobatan. Misalnya kuinin, morfin dan
stiknin adalah alkaloid yang terkenal dan mempunyai efek fisiologis dan
psikologis. Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan
seperti biji, daun, ranting dan kulit batang (Sovia, 2006).

2.1.5.2 Flavanoid
Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang
terbesar. Golongan flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling
umum dan terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus
sampai angiospermae. Flavonoid mempunyai sifat yang khas yaitu bau
yang sangat tajam, sebagian besar merupakan pigmen warna kuning,
dapat larut dalam air dan pelarut organik, mudah terurai pada temperatur
tinggi. Flavonoid punya sejumlah kegunaan. Pertama, terhadap
tumbuhan, yaitu sebagai pengatur tumbuhan, pengatur fotosintesis, kerja
antimiroba dan antivirus. Kedua, terhadap manusia, yaitu sebagai
antibiotik terhadap penyakit kanker dan ginjal, menghambat perdarahan.
Ketiga, terhadap serangga, yaitu sebagai daya tarik serangga untuk
melakukan penyerbukan. Keempat, kegunaan lainnya adalah sebagai
bahan aktif dalam pembuatan insektisida nabati dari kulit jeruk manis
(Hardianzah, 2008).

9
2.1.5.3 Senyawa Fenolik
Senyawa fenolik adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih
gugus hidroksil yang menempel di cincin aromatik. Dengan kata lain,
senyawa fenolik adalah senyawa yang sekurang kurangnya memiliki
satu gugus fenol (Vermerris dan Nicholson 2006). Senyawa fenol
cenderung mudah larut dalam air karena umumnya mereka sering kali
berikatan dengan gula sebagai glikosida, dan biasanya terdapat vakuola
sel (membran sel). Beberapa ribu senyawa fenol alam telah diketahui
strukturnya. Flavonoida merupakan golongan terbesar, tetapi fenol
monosiklik sederhana, fenilpropanoida, dan kuinon fenolik juga tertdapat
dalam jumlah besar. Beberapa golongan bahan polimer penting alam
tumbuhan lignin, melanin, dan tanin adalah senyawa polifenol dan
kadang-kadang satuan fenolik dijumpai pada protein, alkaloida, dan
diantara terpenoida. Peranan beberapa golongan senyawa fenol sudah
diketahui (misalnya lignin sebagai bahan pembangun dinding sel,
antosianin sebagai pigmen bunga), sedangkan peranan senyawa yang
termasuk golongan lain masih merupakan hasil dugaan belaka (JE,
2010).

2.1.5.4 Tanin
Tanin merupakan zat organik yang sangat kompleks dan terdiri
dari senyawa fenolik. Istilah tanin pertama sekali diaplikasikan pada
tahun 1796 oleh Seguil. Tanin terdiri dari sekelompok zat zat kompleks
terdapat secara meluas dalam dunia tumbuh tumbuhan, antara lain
terdapat pada bagian kulit kayu, batang, daun dan buah buahan.
Kegunaan Tanin:
1. Sebagai pelindung pada tumbuhan pada saat massa pertumbuhan
bagian tertentu pada tanaman .
2. Sebagai anti hama bagi tanaman shingga mencegah serangga dan
fungi
3. Digunakan dalam proses metabolisme pada bagian tertentu
tanaman.

10
4. Pada industri farmasi tanin digunakan sebagai anti septik pada
jaringan luka, misalnya luka bakar yaitu dengan cara mengendapkan
protein. Selain itu tanin juga digunakan untuk campuran obat cacing
dan anti kanker.
5. Pada industri kulit tanin banyak dipergunakan karena
kemampuannya mengikat bermacam macam protein sehinggga
dapat mencegah kulit dari proses pembusukkan.
6. Tanin juga dipergunakan pada industri pembuatan tinta dan cat
karena dapat memberikan warna biru tua atau hijau kehitam
hitaman dengan kombinasi kombinasi tertentu.
7. Tanin dapat berperan sebagai antidotum (keracunan alkaloid)
dengan cara mengeluarkan asam tamak yang tidak terlarut.
Pada industri minuman tanin juga digunakan untuk pengendapan serat
serat organik pada minuman anggur atau bir (Lubis,2011).

2.2 Angiogenesis
Angiogenesis merupakan pertumbuhan pembuluh darah baru yang
terjadi secara alami di dalam tubuh, baik dalam kondisi sehat maupun
patologi (sakit) (Plank et al., 2004). Memulihkan jaringan pembuluh darah
setelah mengalami luka bakar sangat penting untuk proses penyembuhan
melalui transport oksigen dan nutrisi ke bagian jaringan yang mengalami
trauma, meningkatkan kontribusi sel inflamasi dan mempersiapkan untuk
memperbaiki area yang rusak dan regenerasi jaringan. Dengan kata lain,
proses angiogenesis memainkan peran yang penting dalam memulihkan
dan menjaga homeostasis lokal (Liekens, 2008).

2.2.1 Proses angiogenesis


Angiogenesis dari pembuluh darah yang sudah ada sebelumnya
berlangsung melalui beberapa tahap. Nitrogen oksida menimbulkan
dilatasi pembuluh darah yang sudah ada. VEGFmenginduksi peningkatan
permeabilitas. Metaloproteinase menguraikan membrane basalis.
Activator plasminogen menimbulkan disrupsi kontak antar sel endotel. Sel-

11
sel endotel berproliferasi dan bermigrasi kearah stimulus angiogenik.
Terjadi maturasi sel endotel yang meliputi inhibisi pertumbuhan dan
remodeling menjadi kapiler. Terjadi perekrutan sel-sel periendotel (perisit
untuk kapiler yang kecil dan sel otot polos vaskuler untuk pembuluh darah
yang lebih besar) (Mitchell, 2008).
Proses inisiasi angiogenesis terjadi pada hari ke-3 oleh stimulus
dari FGF-2 dan dilanjutkan oleh stimulus VEGF dari hari ke-4 hingga hari
ke-7 (Mostafa et al., 2006). Proses angiogenesis terjadi secara bersamaan
dengan proses pembentukan granulasi yang terjadi sekitar 4 hari setelah
perlukaan (Clark dalam Ghulam et al., 2008).

Gambar 2.2Tahap-tahap Proses Angiogenesis (http://www.angio.org/wp-


content/uploads/2013/03/Angiocascade.jpg)

12
Gambar 2.3 gambaran histologis pembuluh darah (Hidayat, Taufiq Sakti
Noer, 2013)

2.2.2 Faktor yang mempengaruhi pembentukan pembuluh darah


VEGF dan angiopoitin merupakan faktor yang paling penting,
reseptor tirosin kinase VEGFR-2 (terutama terbatas pada sel endotel dan
precursor sel endotel) adalah reseptor yang paling penting untuk
angiogenesis (sekalipun FGF-2 dapat pula meningkatkan proliferasi,
diferensiasi dan migrasi sel-sel endotel). Interaksi VEGF/VEGFR-2 terjadi
melalui proses mobilisasi sel precursor endotel dari sumsum tulang dan
meningkatkan proliferasi serta diferensiasinya pada tempat angiogenesis.
Kemudian menstimulasi proliferasi dan motilitas sel endotel yang sudah
ada sehingga terjadi peningkatan pembentukan tunas kapiler.
Angiopoietin 1 berinteraksi dengan sel endotel untuk merekrut sel-sel
periendotel. Interaksi tersebut juga memediasi maturasi pembuluh darah
dari saluran sederhana menjadi struktur vascular yang lebih kompleks dan
membantu mempertahankan inaktivasi sel-sel endotel (Mitchell, 2008).
Pada luka bakar proses angiogenesis melambat karena sel endotel
atau sel-sel angiogenik mengalami perlambatan pada waktu sirkulasinya
dan penurunan pada mobilisasinya. Pada penelitian yang dilakukan oleh
John Hopkins didapatkan hasil bahwa peningkatan pada kedalaman luka
bakar berdampak pada perlambatan waktu mobilisasi dari sirkulasi dan
mobilisasi dari CAC (circulating angiogenesis cell), perlambatan dan

13
penurunan mobilisasi CAC juga dihubungkan dengan penurunan perfusi
dan vaskularisasi dari jaringan yang mengalami luka bakar (Acton,
2011).

2.3 Kulit
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar
tubuh, merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit
beratnya sekitar 16% berat tubuh, pada orang dewasa 2,7-3,6 kg dan
luasnya sekitar 1,5-1,9 m2. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5-6 mm
tergantung dari letak, umur, dan jenis kelamin (Perdanakusuma, 2007).

2.3.1 Anatomi Kulit


Secara embriologis kulit terbagi menjadi 3 lapisan utama yaitu,
epidermis, dermis dan jaringan subkutan. Lapisan luar adalah epidermis
yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan lapisan
dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang
merupakan suatu lapisan jaringan ikat (Perdanakusuma, 2007). Di dalam
lapisan-lapisan tersebut terdapat jutaan sel, ujung saraf, kapiler, kelenjar
minyak, folikel rambut dan kelenjar keringat (Mayo Clinic, 2012)

Gambar 2.3 Anatomi kulit (Mayo Clinic, 2012)

14
2.3.1.1 Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler.
Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit,
Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai
tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan
epidermis hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi
degenerasi setiap 4-6 minggu. Lapisan epidermis berfungsi sebagai
proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan
dan mobilitas sel, pigmentasi (melanosit) dan pengendalian alergen (Sel
Langerhans) (Perdanakusuma, 2007).
Struktur epidermis terdiri atas lima lapisan, antara lain:
1) Stratum Korneum
Terdiri atas beberapa lapis sel yang pipih mati, tidak memiliki inti,
tidak mengalami proses metabolisme, tidak berwarna, dan sangat sedikit
mengandung air. Lapisan ini sebagian besar terdiri dari keratin, yaitu
jenis protein yang tidak larut dalam air, dan sangat resisten terhadap
bahan-bahan kimia. Hal ini berkaitan dengan fungsi kulit sebagai proteksi
dari lingkungan luar. Secara alami, sel-sel yang sudah mati di
permukaan kulit akan melepaskan diri untuk beregenerasi. Permukaan
stratum korneum dilapisi oleh suatu lapisan pelindung pelembab tipis
yang dinamakan mantel asam kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).
2) Stratum Lusidum
Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal
telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis.
3) Stratum Granulosum
Ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang intinya di
tengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan
granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin.
Terdapat sel langerhans.
4) Stratum Spinosum
Terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan tonofibril,
dianggap filament-filamen tersebut memegang peranan penting untuk

15
mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi.
Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan
mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum
basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi. Terdapat
sel Langerhans.
5) Stratum Basale (Stratum Germinativum)
Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab
dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis
diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini
tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan satu lapis sel yang
mengandul melanosit (Perdanakusuma, 2007).

2.3.1.2 Dermis
Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan
menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi.
Dermis berfungsi sebagai struktur penunjang, mechanical strength,
suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi
(Perdanakusuma, 2007).
Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga
mengandung beberapa derivate epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar
sebasea dan kelenjar keringat.
Dermis terdiri dari dua lapisan:
1) Lapisan papiler ; tipis mengandung jaringan ikat jarang
2) Lapisan retikuler ; tebal terdiri dari jaringan ikat padat

2.3.1.3 Subkutan
Merupakan lapisan dibawah dermis atau hypodermis yang terdiri
dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang
menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan dibawahnya.
Subkutan berfungsi untuk menunjang suplai darah ke dermis untuk
regenerasi, melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori,

16
kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock absorber (Perdanakusuma,
2007).

2.3.1.4 Vaskularisasi
Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus terletak
antara lapisan papiler dan retikuler dermis dan selain itu antara dermis
dan jaringan subkutis. Cabang kecil meninggalkan pleksus ini
memperdarahi papilla dermis, tiap papila dermis punya satu arteri
asenden dan satu cabang vena. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh
darah tapi mendapat nutrisi dari dermis melalui membran epidermis
(Perdanakusuma, 2007).

2.3.2 Fisiologi Kulit


Kulit memiliki fungsi melindungi bagian tubuh dari berbagai
macam gangguan dan rangsangan luar yang memungkinkan bertahan
dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol
suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, ekskresi, dan metabolism
(Perdanakusuma, 2007; Geerlings, 2009). Fungsi perlindungan ini terjadi
melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan
tanduk secara terus menerus (keratinasi dan pelepasan sel-sel kulit ari
yang sudah mati) dan pembentukan pigmen melanin untuk melindungi
kulit dari bahaya sinar ultraviolet matahari (Geerlings, 2009).
Sensasi merupakan salah satu fungsi kulit dalam merespon
rangsang raba karena banyaknya akhiran saraf seperti pada daerah
bibir, puting dan ujung jari. Kulit berperan pada pengaturan suhu dan
keseimbangan cairan elektrolit. Termoregulasi dikontrol oleh
hipotalamus. Temperatur perifer mengalami proses keseimbangan
melalui keringat, insessible loss dari kulit, paru-paru, dan mukosa bukal.
Temperatur kulit di control dengan dilatasi atau kontriksi pembuluh darah
kulit. Bila temperature meningkat terjadi vasodilatasi pembuluh darah,
kemudian tubuh akan mengurangi temperatur dengan melepas panas
dari kulit dengan cara mengirim sinyal kimia yang dapat meningkatkan

17
aliran darah di kulit. Pada temperatur yang menurun, pembuluh darah
kulit akan vasokontriksi yang kemudian akan mempertahankan panas
(Perdanakusuma, 2007).

2.4 Tikus Wistar (Rattus norvegicus)


2.4.1 Taksonomi

Gambar 2.4 Tikus Rattus norvegicus galur wistar (Robirukmana, 2012)

Dalam sistematika taksonomi hewan, rattus norvogicus


diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Myomorpha
Keluarga : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : norvegicus

2.4.2 Tikus percobaan


Malole dan Pramono (1989) menjelaskan sifat-sifat yang dimiliki
tikus atau rat (Rattus Norvegicus) antara lain mudah dipelihara dan
relatif sehat, sehingga memenuhi kriteria sebagai hewan percobaan di
dalam suatu penelitian. Tikus yang digunakan secar luas di dalam

18
penelitian laboratorium menurut Malole dan Pramono (1989) adalah
tikus putih yang berasal dari Asia Tengah (Sudrajat, 2008).

2.4.3 Galur tikus


Menurut Malole dan Pramono (1989) terdapat beberapa galur
atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antar lain galur
Sprague-Dawley dengan ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala kecil
dan ekornya lebih panjang daripada badannya; Wistar dengan ciri-ciri
kepala besar dan ekor yang lebih pendek; Long-Evans bercirikan
ukuran lebih kecil daripada tikus putih serta memiliki warna hitam pada
kepala dan tubuh bagian depan; serta galur inbred (Sudrajat, 2008).

2.4.4 Penggunaan tikus percobaan dalam penelitian


Tikus merupakan salah satu alasan pengguna hewan-hewan ini
dalam penelitian berbasis percobaan nutrisi (Smith dan
Mangkoewidjojo, 1988). Penelitian menggunakan tikus percobaan akan
bermanfaat jika digunakan dalam demonstrasi fisiologi dan farmakologi.
Anatomi dan fisiologis tikus mendukung suatu penelitian percobaan
nutrisi dengan menggunakan metode ad libitum (Muchtadi, 1989). Ada
dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain, yaitu
bahwa tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak
lazim di tempat esofagus yang bermuara ke dalam lambung, serta tidak
memiliki kantong empedu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Pernyataan yang hampir sama dikemukakan Muchtadi et al,. (1993)
bahwa karakteristik tikus yaitu : (1) tidak memiliki kantung empedu (gall
blader), (2) tidak dapat memuntahkan kembali isi perutnya, (3) tidak
pernah berhenti tumbuh, namun kecepatannya akan menurun setelah
berumur 100 hari (Sudrajat, 2008).
Penelitian menggunakan tikus percobaan harus memenuhi aspek
kenyamanan hewan percobaan selama masa penelitian, hal tersebut
dilakukan untuk meminimalkan bias lingkungan penelitian terhadap
hewan percobaan. Kandang tikus harus berlokasi pada tempat yang

19
bebas dari suara ribut dan terjaga dari asap industri atau polutan
lainnya. Kandang harus cukup kuat, tidak mudah rusak, terbuat dari
bahan yang mudah dibongkar, mudah dibersihkan dan mudah dipasang
kembali. Kandang harus tahan gigitan, hewan tidak mudah lepas, tetapi
hewan harus tampak jelas dari luar. Alas kandang selalu kering dan
tidak berbau untuk mencegah gangguan respirasi, serta alat-alat dalam
kandang dibersihkan 1-2kali/minggu. Suhu kandang yang ideal berkisar
antar 18-270 C dan kelembaban berkisar antara 40-70%. Cahaya harus
diusahakan agar terdapat keadaan 12 jam terang dan 12 jam gelap
(Malole dan Pramono, 1989; Sudrajat, 2008).
Tikus tergolong hewan yang makan pada malam hari (nocturnal)
dan tidur pada siang hari. Kualitas makanan tikus merupakan faktor
penting yang mempengaruhi kemampuan tikus mencapai potensi
genetik untuk tumbuh, berbiak serta aktifitas hidup sehari-hari.
Makanan tikus tidak berbeda seperti hewan percobaan lainnya yang
membutuhkan protein, lemak, energi serta mineral. Tikus
mengkonsumsi makanan dalam sehari tiap ekor berkisar 12-20 g dan
konsumsi minum 20-45 ml air (Muchtadi, 1989; Sudrajat, 2008).

2.5 Luka Bakar


2.5.1 Definisi
Luka bakar adalah kerusakan jaringan akibat kontak dengan agen
termal, kimiawi, atau listrik (Cecialy and Linda, 2004). Luka bakar
merupakan luka yang disebabkan terpajannya permukaan kulit dengan
benda-benda yang menghasilkan panas (terkena api secara langsung
atau tidak langsung, terkena listrik, bahan kimia, air, dan lain-lain) atau
zat yang bersifat membakar seperti asam kuat atau basa kuat (Jong,
2005). Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada
epidermis, dermis, dan jaringan subkutan tergantung faktor penyebab
dan lama kontaknya dengan sumber panas atau agen penyebab
(Effendi,1999).

20
2.5.2 Faktor resiko
Kelompok terbesar luka bakar adalah anak-anak dengan usia
kurang dari enam tahun bahkan sebagian besar kurang dari dua tahun.
Insiden kedua terbesar adalah luka akibat kerja yaitu pada usia 23
sampai 35 tahun. Insiden luka bakar terutama terjadi pada pria
dikarenakan dominasi pekerjaan pria pada industri industri berat
(Schwartz, 2000)

2.5.3 Etiologi
Luka bakar disebabkan karena adanya kontak dengan agen termal,
kimiawi, maupun listrik. Luka termal akibat agen termal adalah yang
sering terjadi, umumnya terjad di dapur dan kamar mandi. Luka bakar
akibat listrik dan kimia biasa terjadi pada anak anak usia 1 sampai 3
tahun dan pekerja pekerja industri (Cecilia and Linda, 2004). Luka
bakar yang disebabkan oleh paparan panas bersuhu 98C selama 30
detik akan menimbulkan luka derajat II A (Gayline et al., 2000).

2.5.4 Klasifikasi Luka Bakar


Sesuai kedalamannya luka bakar dibagi menjadi tiga jenis yaitu
derajat satu (superfisial) hanya meliputi epidermis superfisial misalnya
akibat terkena sinar matahari. Luka bakar derajat dua meliputi seluruh
epidermis dan berbagai ukuran dermis misalnya akibat terkena air
panas. Luka bakar derajat tiga epidermis dan dermis rusak, meliputi
jaringan adiposa subkutan, fasia otot, dan tulang misalnya akibat
terbakar api (Corwin, 2008).
Manifestasi awal untuk luka bakar sedang sampai berat meliputi:
takikardi, tekanan darah menurun, ekstrimitas dingin dan perfusi buruk,
perubahan tingkat kesadaran, dehidrasi 9ditandai penurunan turgor kulit,
penurunan urin, lidah dan kulit kering), peningkatan frekuensi napas,
serta pucat (Cecily dan Linda, 2004).

21
2.5.4.1 Luka Bakar Derajat I
Adapun ciri dari luka ini yaitu kulit menjadi kering, terjadi hiperemik
memberikan efloresesnsi berupa eritema, tidak dijumpai bula
(gelembung berisi cairan) dan timbul nyeri karena ujung ujung saraf
sensorik teriritasi.

2.5.4.2 Luka Bakar Derajat II


Cirinya yaitu dijumpai bula (gelembung berisi cairan), dasar luka
berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi di atas
permukaan kulit normal, nyeri karena ujung ujung saraf sendorik
teriritasi.
Luka bakar derajat II dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Derajat II A (Dangkal)
Kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis.
Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringan,
kelenjar sebasea masih utuh.
Bula mungkin tidak terbentuk beberapa jam setelah cedera,
dan luka bakar pada mulanya tampak seperti luka bakar derajat
satu dan mungkin terdiagnosa sebagai derajat dua superfisial
setelah 12 sampai 24 jam.
Ketika bula dihilangkan, luka tampak berwarna pink dan basah.
Jaringan menyebabkan hypertrophic/ scar.
Jika infeksi dicegah maka penyembuhan akan terjadi secara
spontan kurang dari 3 minggu.
2. Derajat II B (Dalam)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis.
Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringan,
kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh.
Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendises kulit
yang tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu
lebih dari satu bulan.

22
Juga dijumpai bula, akan tetapi permukaan luka biasanya
tampak berwarna pink dan putih segera setelah terjadi cedera
karena variasi suplai darah ke dermis (daerah yang berwarna
putih mengindikasi aliran darah yang sedikit atau tidak ada
sama sekali; daerah yang berwarna pink mengindikasikan
masih ada beberapa aliran darah).
Jika infeksi dicegah luka bakar akan sembuh dalam 3 sampai
9 minggu.

2.5.4.3 Luka Bakar Derajat III


Cirinya adalah tidak dijumpai bula (gelembung berisi cairan), kulit
yang terbakar berwarna abu abu dan pucat,kering, letaknya lebih
rendah disbanding kulit sekitarnya akibat koagulasi protein pada lapisan
epidermis dan dermis (dikenal dengan sebutan eskar), tidak dijumpai
rasa nyeri, bahkan hilang sensasi karena ujung ujung saraf sensorik
mengalami kerusakan atau kematian dan penyembuhan terjadi lama
karena tidak ada proses epitelisasi spontan baik dari dasar luka, tepi
luka, maupun apendises kulit (Idries, 1997)

2.5.5 Patofisiologi
Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energy dari sumber
panas ke tubuh. Panas tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi
atau radiasi elektromagnetik. Luka bakar dikategorikan sebagai luka
bakar termal, radiasi atau luka bakar kimiawi (Syamsuhidayat dan Jong,
2007)
Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.
Pembuluh kapiler yang terpapar suhu tinggi rusak dan permeabilitas
meninggi. Sel darah yang ada didalamnya ikut rusak sehingga dapat
terjadi anemia. Meningkatnya permebilitas penyebabkan oedema dan
menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu
menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan
kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat

23
penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk
pada luka bakar derajat, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka
bakar derajat 3.
Bila luas luka bakar kurang dari 20% biasanya mekanisme kompensasi
tubuh masih bisa mengatasinya tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi
syok hipovolemik dengan gejala khas seperti gelisah, pucat, dingin,
berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi
urin berkurang. Pembengkakan terjadi pelan pelan, maksimal terjadi
setelah 8 jam.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapileh milai membaik dan terjadi
mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah.
Ini ditandai dengan meningkatnya diuresis.
Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis,
dermis maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan
lamanya kontak dengan sumber panas/penyebabnya. Kedalaman luka
bakar akan mempengaruhi kerusakan atau gangguan integritas kulit dan
kematian sel sel (Effendy, 1999).

2.5.6 Proses Penyembuhan Luka


Penyembuhan luka adalah suatu proses yang kompleks dengan
melibatkan banyak sel. Proses yang dimaksudkan disini karena
penyembuhan luka melalui beberapa fase. Fase-fase penyembuhan luka
menurut Suriadi (2004) meliputi fase koagulasi, inflamasi, proliferasi, dan
fase remodeling.

24
Gambar 2.5: Fase Penyembukan Luka (Robin Novriansyah, 2008).

2.5.6.1 Fase Koagulasi


Pada fase koagulasi merupakan awal proses penyembuhan luka
dengan melibatkan platelet. Awal pengeluaran akan menyebabkan
vasokonstriksi dan terjadi koagulasi. Proses ini adalah sebagai
hemostasis dan mencegah perdarahan yang lebih luas. Pada tahap ini
terjadi adhesi, agregasi dan degranulasi pada sirkulasi platelet di dalam
pembentukan gumpalan fibrin. Kemudian suatu plethora mediator dan
cytokine dilepaskan seperti transforming growth factor beta (TGF-),
platelet derived growth factor (PDGF), vascular endothelial growth factor
(VEGF), platelet-activating factor (PAF), dan insulinilke growth factor-1
(IGF-1), yang akan mempengaruhi edema jaringan dan awal inflamasi
(Robin Novriansyah, 2008).

2.5.6.2 Fase Inflamasi


Proses penyembuhan terjadi sejak awal pada saat terjadi luka, fase
inflamasi terjadi pada hari 0 5. Luka trauma atau luka pembedahan
mengakibatkan kerusakan pada struktur jaringan dan mengakibatkan
perdarahan. Pada tahap awal darah akan mengisi jaringan yang cedera
dan terpaparnya darah terhadap kolagen berakibat terjadinya
degranulasi trombosit dan pengaktifan faktor Hageman. Hal ini akan

25
memicu system biologis lain seperti pengaktifan komplemen kinin,
kaskade pembekuan dan pembentukan plasmin. Keadaan ini
memperkuat sinyal dari tempat luka sehingga tidak hanyak mengaktifkan
pembentukan bekuan yang menyatukan tepi luka akan tetapi juga
akumulasi dari beberapa mitogen dan menarik zat kimia ke daerah luka.
Pembentukan kinin dan prostaglandin menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah di daerah luka. Hal ini
menyebabkan edema dan kemudian menimbulkan pembengkakan dan
nyeri pada awal terjadinya luka. Leukosit polimorfonuklear adalah sel
pertama yang menuju ketempat luka. Jumlahnya meningkat cepat dan
mencapai puncaknya pada 24 48 jam. Fungsi utamanya adalah
melakukan fagositosis bakteri yang masuk. Pada penyembuhan luka
normal kehadiran sel sel ini tidak begitu penting. Adanya sel ini
menunjukkan bahwa luka terkontaminasi bakteri. Bila tidak terjadi infeksi
polimorfonuklear berumur pendek dan jumlahnya menurun cepat setelah
hari ketiga (Robin Novriansyah, 2008).
Makrofag merupakan komponen imun seluler yang muncul pada
tahap selanjutnya. Makrofag muncul pertama 48 96 jam setelah
terjadinya luka dan mencapai puncak pada hari ke 3. Dibandingkan
dengan leukosit polimorfonuklear, makrofag berumur lebih panjang dan
tetap ada didalam luka sampai proses penyembuhan luka berjalan
sempurna. Setelah makrofag akan muncul limfosit T penting
keberadaannya pada penyembuhan luka normal. Sama hal nya dengan
neutrofil, makrofag melakukan fagositosis dan mencerna organisme
organisme patologis dan jaringan sisa. Disamping itu makrofag juga
melepaskan faktor pertumbuhan dan sitokin yang mengawali dan
mempercepat formasi jaringan granulasi (Robin Novriansyah, 2008).
Inflamasi merupakan reaksi kompleks protektif terhadap jejas untuk
membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan kerusakan
sebelumnya. Reaksi ini terdiri atas respon vaskuler, migrasi dan aktivasi
leukosit dan reaksi sistemik. Ada 2 jenis pola dasar inflamasi:
Inflamasi Akut

26
o Respon cepat dan segera terhadap cedera atau mikroba dan
substansi asing lainnya yang didesain untuk mengirim leukosit dan
protein plasma ke daerah cedera. Sesaat setelah sampai pada daerah
cedera, leukosit memulagi proses fagositosis dan apoptosis (Kumar et
al., 2007).
o Inflamasi akut terdiri atas 2 komponen mayor:
1. Perubahan vaskular: vasodilatasi dan perubahan struktural yang
memungkinkan protein plasma meninggalkan sirkulasi (peningkatan
permeabilitas vaskular) (Kumar et al., 2007).

Gambar 2.6: Perubahan Vaskular (Kumar et al., 2007).

2. Cellular events: emigrasi leukosit dari sirkulasi dan terakumulasi


pada daerah cedera (rekruitmen dan aktivasi selular). Jenis leukosit yang
terlibat pada proses inflamasi akut adalah neutrofil (leukosit
polimorfonuklear) (Kumar et al., 2007)

27
Gambar 2.7: EmigrasEutrofil (Kumar et al., 2007).

o Pada lapangan pandang mikroskopik secara menonjol akan terlihat


banyak sel neutrofil, kongesti pembuluh darah pada tahap inflamasi akut

28
o Sedangkan secara makroskopik akan terlihat tanda tanda seperti
rubor, tumor, calor, dolor, functio laesa (semua tanda tersebut hanya
terlokalisasi pada daerah injuri) (Kumar et al., 2007).

Gambar 2.8: contoh gambar makroskopik dan mikroskopik inflamasi


akut (Suppurative or Purulent Inflammation yang ditandai dengan
produksi nanah dalam jumlah banyak neutrofil, sel-sel nekrotik,
cairan edema) (Kumar et al., 2007).

Gambar 2.9: Perubahan pada daerah injuri saat inflamasi akut hingga
kronis (Kumar et al., 2007).

29
Inflamasi Kronis
o Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi
panjang (berminggu minggu hingga bertahun tahun) dan terjadi
proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan
penyembuhan. Perbedaanya dengan inflamasi akut adalah inflamasi
akut ditandai dengan perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil
dalam jumlah besar, sedangkan inflamasi kronis ditandai dengan:
1. Infiltrasi sel mononuklear (makrofag, limfosit dan sel plasma)
2. Destruksi jaringan
3. Perbaikan (angiogenesis dan fibrosis)
o Makrofag merupakan sel yang berperan dominan dalam radang
kronik yang berasal dari Mononuclear phagocyte system. Makrofag
merupakan sel jaringan yang berasal dari monosit dalam sirkulasi yang
telah beremigrasi keluar dari aliran darah.

Gambar 2.10: Stem cell, Monosit, Makrofag (Kumar et al., 2007).

o Sel lain yang berperan dalam inflamasi kronis:


Limfosit
Sel plasma
Eosinofil
Sel mast

30
o Pada lapangan pandang mikroskopik secara menonjol akan terlihat
banyak sel radang mononuklear, dan biasanya disertai nekrosis, fibrosis
(Kumar et al., 2007).
o Gambaran makroskopik umum yang sering ditemukan pada radang
kronik adalah:
Ulkus kronik, yaitu ulkus yang dasarnya dibatasi oleh jaringan
granulasi dan fibrosa, contohnya pada ulkus peptik kronik lambung
dengan luka pada mukosa.
Rongga abses kronik, yaitu rongga yang terbentuk oleh pus pada
radang supuratif. Contohnya osteomyelitis.
Penebalan dinding rongga viskus, contohnya penebalan dinding
pada kolesistitis kronik. Penebalan biasanya bersamaan dengan infiltrat
sel radang kronik.
Radang granulomatosa, yaitu kumpulan histiosit epiteloid sebagai
akibat tidak dapat dihancurkannya substansi tertentu oleh makrofag.
Contohnya pada penyakit tuberkolosis paru.
Fibrosis, yaitu proliferasi jaringan fibroblas setelah sel-sel radang
kronik menghilang/mereda.

31
Gambar 2.11: Perbedaan gambaran mikroskopis inflamasi kronis dan
inflamasi akut (Kumar et al., 2007).

2.5.6.3 Fase Proliferasi


Fase ini terjadi pada hari ke 3 14. Bila tidak ada kontaminasi atau
infeksi yang bermakna, fase inflamasi akan berlangsung pendek.
Jaringan granulasi merupakan kombinasi elemen seluler termasuk
fibroblast dan sel inflamasi, bersamaan dengan angiogenesis dalam
jaringan longgar ekstra seluler matriks kolagen, fibronektin dan asam
hialuronik. Fibroblas muncul pertama kali secara bermakna pada hari ke
3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 7. Meningkatnya jumlah
fibroblast memproduksi kolagen dalam jumlah yang besar, kolagen ini
berupa glikoprotein berantai tripel, unsur utama matriks luka
ekstraseluler yang sangat berguna untuk membentuk kekuatan pada
jaringan parut. Kolagen pertama kali terdeteksi pada hari ke 3 setelah
luka, meningkat terus sampai minggu ke tiga. Pada awalnya
penumpukan kolagen terjadi berlebihan kemudian fibril kolagen
mengalami reorganisasi sehingga terbentuk jaringan regular sepanjang

32
luka. Fibroblas juga menyebabkan matriks fibronektin, asam hialuronik
dan glikos aminoglikan (Robin Novriansyah, 2008).
Proses revaskularisasi luka terjadi secara bersamaan dengan
fibroplasia. Tunas tunas kapiler tumbuh dari pembuluh darah yang
berdekatan dengan luka, tunas tunas kapiler ini bercabang di ujung
kemudian bersatu membentuk lengkung kapiler dimana darah kemudian
mengalir. Tunas tunas baru akan muncul dari lengkung kapiler
membentuk pleksus kapiler. Faktor faktor terlarut yang menyebabkan
angiogenesis belum diketahui sepenuhnya. Diperkirakan proses ini
terjadi dari kombinasi proses proliferasi dan migrasi. Mediator
terbentuknya sel pertumbuhan ini dan kemotaksis termasuk sitokin yang
dihasilkan trombosit, makrofag dan limfosit pada luka. Tekanan oksigen
yang rendah, terbentuknya sitokin dan growth factor seperti platelet
derived growth factor (PDGF), endothelin, vascular endhotelial growth
factor (VEGF), FGF. Beberapa sitokin yang dilepaskan oleh makrofag
serta terlibat dalam proses penyembuhan yaitu : TNF , IL 1, IL 6, IL 8
dan TGF . Peran TGF dalam proses penyembuhan luka adalah
meningkatkan matriks ekstra seluler (ECM) dan meningkatkan
kolagenasi (Robin Novriansyah, 2008).
Proses yang telah diuraikan sebelumnya merupakan proses pada
fase proliferasi didalam luka, sementara itu pada permukaan luka juga
akan terjadi restorasi integritasi epitel. Reepitelisasi beberapa jam
setelah luka. Pada tepi luka epidermis segera mendekati tepi luka dan
menebal. Sel marginal basalis mulai mengalami migrasi sepanjang serat
serat fibrin dan berhenti ketika tepi luka sudah kontak. Pada tingkat
seluler seluruh luka telah mengalami epitelisasi pada kurang dari 48 jam.
Stimulator reepitelisasi sampai saat ini belum diketahui secara lengkap.
Faktor faktor yang diduga berperan adalah EGF, TGF , bFGF, PDGF
dan IGF. Proses epitelisasi terus berulang ketika permukaan epitel sudah
menebal. Fibroblas akan muncul pada bagian dalam luka, selanjutnya
diproduksi kolagen (Robin Novriansyah, 2008).

33
2.5.6.4 Fase Maturasi dan Remodeling
Fase ini berlangsung dari hari ke-7 sampai dengan 1 tahun.
Setelah matriks ekstra sel terbentuk, dimulailah reorganisasi. Matriks
ekstra sel pada mulanya kaya akan fibronektin. Hal ini tidak hanya
menghasilkan migrasi sel substratum dan pertumbuhan sel ke dalam
tetapi juga menyebabkan penumpukan kolagen oleh fibroblas.
Terbentuknya asam hialuronidase dan proteoglikan dengan berat
molekul besar berperan pada pembentukan matriks ekstraseluler dengan
konsistensi seperti gel dan membantu infiltrasi seluler. Kolagen
selanjutnya berkembang cepat menjadi faktor utama yang membentuk
matriks. Pada awalnya serabut kolagen terdistribusi secara acak
membentuk persilangan dan beragregasi membentuk serabut fibril
secara perlahan menyebabkan penyembuhan jaringan dan
meningkatkan kekakuan serta kekuatan ketegangan luka. Setelah 5 hari
periode jeda, pada saat ini bersesuaian dengan pembentukan jaringan
granulasi awal dengan matriks sebagian besar tersusun dari fibronektin
dan asam hialuronidase, selanjutnya akan terjadi peningkatan cepat dari
kekuatan tahanan luka berjalan lambat. Setelah 3 minggu kekuatan
penyembuhan luka mencapai 20% dari kekuatan akhir (Robin
Novriansyah, 2008).
Proses pengembalian ketegangan berjalan perlahan karena
deposisi jaringan kolagen terus-menerus, remodeling serabut kolagen
membentuk serabut-serabut kolagen lebih besar dari cross linking inter
molekuler. Remodeling kolagen selama pembentukan jaringan parut
tergantung pada proses sintesis dan katabolisme kolagen yang
berkesinambungan. Degradasi kolagen pada luka dikendalikan oleh
enzim kolagenase. Kecepatan sintesis kolagen yang tinggi
mengembalikan luka ke jaringan normal dalam waktu 6 bulan sampai 1
tahun (Robin Novriansyah, 2008).

34
2.5.6.5 Mekanisme Penyembuhan Luka

Luka

Fase inflamasi

PDGF dan TGF-beta

Neutrofil

Makrofag

Fibroblas

Sel mast

Degradasi
metalloproteinase

Fase Proliferasi Epithelialization

Jaringan granulasi Stimulated by EGF dan TGF-


alpha
Fibroblas
keratinocytes
Angiogenesis stimulated by
VEGF, bFGF, TGF-beta

Fase Remodelling

Collagen cross-linking

Capillary resorption

Collagen lysis

Penyembuhan luka

35
Gambar 2.12: Patomekanisme Penyembukan Luka (Sussman dan
Jensen, 2007).
Seperti yang digambarkan pada Gambar 2.2, setelah terjadi luka
maka akan terjadi proses inflamasi yang merupakan awal proses
penyembuhan luka. Dalam proses inflamasi terjadi perusakan, pelarutan
dan penghancuran sel atau agen penyebab kerusakan sel. Proses
inflamasi melibatkan PDGF, TGF-, neutrophil, makrofag, dan fibroblast.
Secara keseluruhan proses penyembuhan luka selalu melibatkan
kolagen, pada saat fase inflamasi kolagen berperan membantu proses
hemostasis, menyebabkan pembersihan alami infiltrate inflamasi.
Sintesis kolagen diperbanyak oleh faktor pertumbuhan PDGF, TGF-,
sintesis yang terus menerus ini lama kelamaan akan memodulasi
sintesis dan aktivasi metaloproteinase. Metalloproteinase merupakan
suatu enzim yang berfungsi untuk degradasi komponen matriks
ekstraseluler. Hasil dari sintesis dan degradasi ECM merupakan
remodeling kerangka jaringan ikat, dan struktur ini merupakan gambaran
pokok penyembuhan luka pada fase inflamasi (Triyono, 2005). Setelah
fase inflamasi proses penyembuhan luka dilanjutkan oleh fase proliferasi
dimana terjadi reepitelisasi yang di pici oleh EGF dan TGFa.
Angiogenesis yang dipicu oleh VEGF, bFGF, dan TGF- juga terjadi saat
fase proliferasi (Diegelmann dan Evans, 2004). Pada saat fase
remodeling serabut serabut kolagen menutup bersama, menyebabkan
kolagen cross-linking dan akhirnya mengurangi ketebalan scar. Kolagen
intermolekul dan intermolekul cross-link menghasilkan meningkatan
kekuatan luka (Triyono, 2005).

2.5.7 Perawatan Luka Bakar


Penanganan luka bakar merupakan hal yang sangat penting dalam
menangani pasien luka bakar baik untuk mencegah infeksi maupun
menghindari terjadinya sindrom kompartmen karena adanya luka bakar
circumferencial (Effendy, 1999). Perawatan local adalah mengoleskan
luka dengan antiseptic dan membiarkannya terbuka untuk perawatan

36
terbuka atau menutupnya dengan pembalut steril untuk perawatan
tertutup (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).
Perawatan luka bakar terdiri dari beberapa bagian yang saling
berhubungan. Setiap bagiannya memiliki tujuan yang berbeda sesuai
dengan masalah actual yang sedang dihadapi dalam proses
penyembuhan luka bakar tersebut. Perawatan luka bakar secara umum
dijelaskan sebagai berikut:

Perawatan Pertama
Segera setelah terbakar luka harus segera didinginkan dengan air
bersuhu 20C. Hal ini dilakukan mengingat sifat kulit adalah sebagai
penyimpan panas terbaik, maka pasien yang mengalami luka bakar,
tubuh masih tetap menyimpan energi panas sampai beberapa menit
setelah terjadinya trauma panas. Pengdinginan luka dilakukan guna
mencegah pasien berada pada zona luka bakar yang lebih dalam,
mengurangi perluasan kerusakan fisik sel, dehidrasi dan membersihkan
luka sekaligus mengurangi nyeri (Effendy, 1999).

Perawatan Defitinif
Perawatan luka mencakup pembersihan luka dan debridemen,
pengolesan preparat antibiotik topikal serta pembalutan (Smeltzer dan
Bare, 2002). Proses pembersihan luka terdiri dari memilih cairan yang
tepat untuk membersihkan luka dan menggunakan cara cara mekanik
yang tepat untuk memasukkan cairan tersebut tanpa menimbulkan
cedera pada jaringan luka. Membersihkan luka secara hati hati dengan
normal salin 0,9% dan memasang balutan yang dibasahi larutan salin
merupakan cara yang paling sring digunakan untuk membersihkan luka
dan melakukan debridemen luka (Potter dan Perry, 2006). Kasa yang
digunakan untuk pembalutan dapat terbuat dari bahan biologik,
biosintetik, dan sintetik. Seiring dengan banyaknya jenis luka yang
mungkin terjadi, metode perawatan luka pun bermacam macam.
Umumnya bentuk perawatan luka didasarkan pada tipe luka, ukuran

37
luka, dan jumlah eksudat yang timbul. Metode perawatan dapat
dilakukan dengan dua cara, yakni perawatan terbuka dan tertutup.
Pertimbangan pemilihan metode merawatan luka ini didasarkan pada
beberapa pertimbangan yakni percegahan terhadap infeksi, terhadap
perluasan kerusakan jaringan, waktu penyembuhan luka, penanganan
terhadap inflamasi dan eksudat yang timbul, pencegahan terhadap
perdarahan, dan pencegahan terhadap ekskoriasi kulit sekitar luka
(Kozier, 1995).
Pada metote perawatan terbuka, luka dibiarkan terbuka agar dapat
terkena udara. Perawatan luka tetap dijalankan seperti biasa dan
preparat topikal tetap dioleskan pada luka walaupun luka tidak dibalut.
Keberhasilan metode ini bergantung pada upaya untuk menjaga
lingkungan yang bebas kuman. Jadi pengawasan ketat harus diberikan
pada lingkungan, termasuk linen, orang yang berkontak dengan klien
harus mengenakan masker, sarung tangan, dan tidak diperkenankan
menyentuh klien. Ruangan harus dijaga agar suhu tetap hangan dengan
kelembapan 40-50% untuk mencegah kehilangan cairan melalui
penguapan.
Pada metode tertutup, pemakaian balutan memiliki peran tersendiri.
Balutan oklusif merupakan kasa tipis yang sebelumnya sudah dibubuhi
dengan preparat antibiotik topikal atau yang dipasang sesudah luka
diolesi dengan salep atau krim antibiotik, keuntungan yang didapatkan
melalui metode ini antara lain balutan dapat menyerap drainase,
melindungi dari mikroorganisme, membantu hemostasis, melakukan
debridement luka, menyangga atau mengencangkan tepi luka,
meningkatkan isolasi suhu pada permukaan luka mempertahankan
kelembapan yang tinggi diantara luka dengan balutan dan memberikan
estetika tersendiri sehingga dapat mendukung kondisi psikis klien (Potter
dan Perry, 2006).

38
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konseptual

Tikus diberi luka bakar derajat IIA, Proses penyembuhan


dengan ciri adanya bula pada kulit, luka
nyeri, dan dasar luka kemerahan
Koagulasi

Inflamasi

Akut
Kronis

Perawatan topikal dengan ekstrak Proliferasi Pembuluh


daun cocor bebek darah

*. Alkaloid
Produksi
*. Flavonoid VEGF
*. SenyawaFenolik
Terbentuk
*. Tanin
pembuluh darah
baru
(Angiogenesis)

Peningkatan
Keterangan : vaskularisasi
Diteliti
Tidak
diteliti Remodeling

Maturasi

Penyembuhan luka
bakar secara optimal

39
3.2 Penjelasan Kerangka Konseptual
Pada penelitian ini, pemberian ekstrak gel daun cocor bebek
secara topical pada tikus dengan luka bakar derajat IIA dapat
meningkatkan fibroblast serta menurunkan jumlah polimorfonuklear
serta mononuclear pada area luka tersebut. Stimulasi proliferasi
dan migrasi fibroblast dapat mengakibatkan deposisi kolagen
sehingga menimbulkan terbentuknya jaringan granulasi dan
angiogenesis.
Proses penyembuhan luka terjadi dalam beberapa tahap
yaitu, koagulasi, inflamasi, proliferasi, remodeling, dan maturasi.
Fase koagulasi merupakan awal proses penyembuhan luka dengan
melibatkan platelet. Fase inflamasi adalah reaksi local terhadap
kerusakan jaringan yang bekerja pada tingkatan untuk
mempertahankan homeostatis. Fase proliferasi merupakan fase
pembentukan kembali jaringan kulit yang terdiri dari epitelisasi,
angiogenesis dan granulasi. Fase remodeling dan maturasi
merupakan fase terakhir dari penyembuhan kulit. Dimana pada fase
ini serabut-serabut kolagen mengadakan reorganisasi dan
kekuatan regangan luka meningkat (Morison, 2003).
Pada uji laboratorium, ekstrak gel daun cocor bebek
mengandung alkaloid, flavonoid, senyawa fenolik, dan tannin. Zat-
zat tersebut dapat mempercepat berlangsungnya proses inflamasi
dan menurunkan tanda-tanda dari inflamasi. Bila fase inflamasi
dapat dilalui dengan cepat, maka akan mempengaruhi fase
berikutnya yaitu fase proliferasi. Dimana pada fase ini, terjadi
migrasi dan proliferasi fibroblast di daerah luka dan akan
menginduksi VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) yang
berperan dalam pembentukan pembuluh darah baru.

40
3. 3 Hipotesis
H0 : Ekstrak gel daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata L.) tidak
mempengaruhi jumlah pembuluh darah pada punggung tikus
putih jantan (Rattus norvegicus)Galur Wistar dengan luka bakar
derajat IIA.
H1 : Ekstrak gel daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata L.)
mempengaruhi jumlah pembuluh darah pada punggung tikus
putih jantan (Rattus norvegicus) Galur Wistar dengan luka
bakar derajat IIA.

41
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


4.1.1 Desain penelitian
Desain penelitian ini merupakan penelitian eksperimental
murni laboratoris yang dilakukan dalam laboratorium. Rancangan
penelitian ini tergolong jenis penelitian Post Test Only Control
Group Design. Pada design ini, peneliti dapat mengontrol semua
faktor yang mempengaruhi proses dan hasil penelitian sehingga
memberikan hasil dengan validitas internal dan eksternal yang
tinggi. Kelompok intervensi dan kelompok kontrolnya sudah
dirandomisasi, rancangan ini memungkinkan peneliti mengukur
pengaruh perlakuan (intervensi) pada kelompok eksperimen
dengan cara membandingkan kelompok tersebut dengan kelompok
kontrol (Notoatmodjo S, 2005).

4.1.2 Metode penelitian


Metode penelitian pada percobaan ini adalah mengukur
pemberian gel daun cocor bebek dengan membandingkan
kelompok kontrol yang hanya diberi luka bakar dengan kelompok
perlakuan yang diberi luka bakar dan gel daun cocor bebek. Secara
skematis rancangan penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:

O P1 O1

R S

O P2 O2

42
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian

R : Randomisasi seluruh sampel

S : Kelompok sampel

P1 : Tanpa perlakuan

P2 : Perlakuan dengan pemberian Gel daun cocor bebek

O : Observasi sampel

O1 : Observasi sampel setelah tanpa perlakuan (dilakukan


setiap hari hingga hari ke 7)

O2 : Observasi sampel setelah perlakuan atau pemberian


daun cocor bebek (kalanchoe pinnata) (dilakukan
setiap hari hingga hari ke 7)

4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan


Sampel
4.2.1 Populasi
Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus
putih (Rattus norvegicus) jantan Galur Wistar dewasa.
4.2.2 Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus
putih (Rattus norvegicus) jantan Galur Wistar berumur 10 12
minggu dengan berat badan antara 150 - 250 gram sebanyak 30
ekor, yang diperoleh dan dipelihara oleh Laboratorium Biokimia
Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya.

Kriteria inklusi :
1. Galur Wistar
2. Umur 10 12 minggu
3. Berat badan 150 - 250 gram
4. Jenis kelamin jantan

43
5. Sehat selama penelitian (keadaan tikus: gerakan lincah, mata
cerah, bulu halus, nafsu makan baik, anatomi tubuh sempurna)

Kriteria eksklusi :
1. Sakit dalam masa persiapan atau adaptasi (tubuh melemah,
kurang lincah, mata pudar, nafsu makan turun, bulu kasar dan
berdiri).
2. Cacat fisik

Kriteria drop out :


1. Mati dalam masa penelitian
2. Menderita penyakit lain, disamping yang disebabkan oleh
perlakuan

4.2.3 Besar sampel


Besar sampel yang digunakan untuk setiap kelompok perlakuan berdasar
rumus (Steel & Torrie, 1991).

n = (Z/2 + Z)

= 0,05

Z/2 = 1,96

1- = 0,80

Z = 0,85

Pada penelitian eksperimental / = 1

Sekarang :

n = (1,96+0,85) = 7,9 dibulatkan menjadi 8.

Besar sample yang diperlukan untuk masing-masing kelompok adalah


menjadi 8 tikus.

44
4.2.4 Teknik pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah
dengan pengambilan secara acak sederhana (simple random
sampling). Dimana pada teknik ini, setiap anggota populasi memiliki
kemungkinan yang sama untuk dipilih menjadi sampel
(Notoatmodjo, 2010).

4.3 Variabel dan Definisi Operasional Variabel


4.3.1 Variabel bebas
Pemberian ekstrak gel cocor bebek secara topikal.

4.3.2 Variabel tergantung


1. Jumlah pembuluh darah
2. Penyembuhan luka bakar pada tikus putih (Rattus norvegicus)
jantan Galur Wistar

4.3.3 Variabel terkendali


1. Luka: ukuran luka, jenis luka dan cara perawatan luka
2. Hewan coba: jenis hewan coba yang digunakan, jenis kelamin,
umur, berat badan, kesehatan fisik hewan coba, pemeliharaan
dan perawatan hewan coba
3. Waktu yang digunakan dalam pemberian perlakuan

4.3.4 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Skor Skala


Data
Variabel Maserasi terhadap Ekstrak gel -
bebas daun cocor bebekdapat cocor bebek

- ekstrak dilakukan melalui langkah- dioleskan 2X


langkah berikut :
gel cocor sehari mulai
1. Daun cocor bebek
bebek hari pertama

45
yang telah dibersihkan tikus diberi
yang berjumlah 1550 luka bakar
gram, lalu dikeringkan
dengan oven,
kemudian dihaluskan.
Sehingga
menghasilkan 300
gram bahan ekstrak
yang sudah halus.
Selanjutnya dimaserasi
dengan menggunakan
pelarut etanol 70% dan
asam selama 3x24
jam dan disaring.
2. Diperoleh ekstrak
etanol daun cocor
bebek dan ampas.
Kemudian ekstrak
etanol daun cocor
bebek di pekatkan
dengan rotary
evaporator.
3. Ekstrak kental etanol
daun cocor bebek
yang diperoleh di uji
fitokimia dan aktivitas
antioksidannya serta
dilanjutkan dengan
analisis Kromatografi
Lapis Tipis (KLT).

46
Langkah-langkah
pembuatan gel ekstrak
daun cocor bebek
(kalanchoe pinnata) :
1. 20ml aquadest
dipanaskan
dicampurkan dengan
1,75gram
hydroxypropyl
methylcellulose
(HPMC) secara
perlahan-lahan agar
mudah larut, dan
dicampur dengan 80ml
aquadest hingga berat
basis sebesar 97,5
gram.
2. Basis dicampur
dengan 2,5 ekstrak
daun cocor bebek
(kalanchoe pinnata)
hingga rata, sehingga
didapatkan 100 gram
gel ekstrak daun cocor
bebek (kalanchoe
pinnata) dengan
konsentrasi 2,5%.

Variable Interpretasi pengamatan Jaringan luka Rerata Rasio


diambil
tergantung banyaknya pembuluh jumlah
dengan
- Jumlah darah yang terbentuk prosedur pembuluh
pembedahan
sel diidentifikasi pada darah
dan

47
fibroblast penampang melintang selanjutnya
diperiksa
dengan bentuk lumen
dengan
bulat berwarna merah pengecatan
HE, yaitu
muda dan umumnya
dimulai dari
terdapat eritrosit berwarna tahap
pembuatan
merah pada lapisan sel-
jaringan
sel endotel pada histopatologi,
pengecatan
pewarnaan Hematoxylin-
dan
Eosin (HE). pembacaan.

Varibel Luka yang diberikan Lokasi pada Nominal


terkendali berupa luka bakar pada punggung
-Luka punggung tikus, dengan tikus
diameter 1,5cm, luka Diameter
dirawat sesuai dengan 1,5cm
ketentuan perawatan Lempeng
kelompok kontrol dan besi panas
kelompok perlakuan. Pada diletakkan
kelompok kontrol luka diatas
dibiarkan (tidak diberikan punggung
ekstrak gel cocor bebek). tikus tanpa
Pada kelompok perlakuan ditekan
luka diolesi ekstrak gel Suhu
cocor bebek. lempeng
Penyembuhan luka besi 98 C
merupakan tahap
akhir Lempeng
atas proses jaringan akan besi
luka. Indikator diletakkan
penyembuhan luka pada selama 30
penelitian ini adalah detik
secara mikroskopis yang
ditandai dengan adanya

48
pembuluh darah baru
dihitung dengan
menggunakan mikroskop
cahaya dengan
pemberasan 40X/ 5
lapangan pandang.
- Tikus Tikus yang digunakan Ekor Nominal
adalah tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Wistar
dengan jenis kelamin
jantan, berumur sekitar 12
minggu, memiliki berat
kurang lebih 150 250
gram, dan dalam kondisi
fisik sehat. Kesehatan fisik
hewan coba mempunyai
ciri ciri sebagai berikut
(Farris EJ, Griffith JG,
1962)
bermata jernih
bulu mengkilat
gerakan aktif
tinja baik atau tidak
lembek
berat badan tidak
turun lebih dari
10% selama
proses.

49
4.4 Bahan dan Instrumen Penelitian
4.4.1 Bahan penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1. Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus
putih galur wistar dengan jenis kelamin jantan, umur 10 - 12
minggu, berat tikus sekitar 150 250 gram, dan semua tikus
dalam kondisi sehat. Jumlah tikus dari setiap kelompok
adalah 10 ekor.
2. Ekstrak Gel Cocor Bebek
Ekstrak gel cocor bebek yang diberikan pada kelompok
perlakuan selama 7 hari.
3. Makanan dan Minuman Hewan Coba
4. Larutan Eter Untuk Anastesi Inhalasi
5. Alkohor 70% untuk sterilisasi
6. Jaringan kulit dengan luka bakar pada hewan coba
7. Formalin 10%
8. Bahan-bahan untuk sediaan histopatologi yaitu larutan
Mayers Hematoxylin, larutan Eosin, Xylol, alkohol dengan
konsentrasi yang bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, 100%),
larutan Lithium Carbonat, akuades,asam asetat 1%, Schiff
Reagent, air sulfit, larutan Mordant, larutan Carrazis,
Hematoxylin, larutan Orange G 0,75%, larutan Ponceau
Xylidine Fuchsin, larutan Phosphotungstic Acid 2,5%, Anilin
Blue dan paraffin (Argamula, 2008).

4.4.2 Instrumen penelitian


1. Kandang binatang
2. Tempat makanan (pelet)
3. Tempat minum untuk tikus
4. Sekam
5. Timbangan torbal (Thorsion balance) untuk mengukur berat
badan tikus

50
6. Lempengan logam untuk alas pembedahan tikus
7. Lempengan logam untuk membuat luka bakar
8. Gunting
9. Handscoon
10. Peralatan untuk membuat sediaan histopatologi seperti
mikrotom, gelas objek dan gelas penutup.
11. Tissue dan kapas
12. Larutan dietyl ether anaestheticum
13. Larutan Ketamine HCl
14. Thermometer
15. Mikroskop cahaya
16. Oven

4.5 Tempat dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian : Pemeliharaan dan terminasi di Labotorium
hewan Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya, kemudian pembacaan preparat dilaksanakan di
Labotorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Hang Tuah Surabaya
Waktu penelitian : November Desember 2015

4.6 Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data


4.6.1 Penyediaan Ekstrak Daun Cocor Bebek
Maserasi terhadap daun cocor bebek dapat dilakukan melalui
langkah-langkah berikut :

1. Daun cocor bebek yang telah dibersihkan yang berjumlah 1550


gram, lalu dikeringkan dengan oven, kemudian dihaluskan.
Sehingga menghasilkan 300 gram bahan ekstrak yang sudah
halus. Selanjutnya dimaserasi dengan menggunakan pelarut
etanol 70% dan asam selama 3x24 jam dan disaring.

51
2. Diperoleh ekstrak etanol daun cocor bebek dan ampas.
Kemudian ekstrak etanol daun cocor bebek di pekatkan dengan
rotary evaporator.
3. Ekstrak kental etanol daun cocor bebek yang diperoleh di uji
fitokimia dan aktivitas antioksidannya serta dilanjutkan dengan
analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT).

4.6.2 Pembuatan Gel Ekstrak Daun Cocor bebek


Langkah-langkah pembuatan gel ekstrak daun cocor bebek
(kalanchoe pinnata) :

1. 20 ml aquadest dipanaskan, dicampurkan dengan 1,75 gram


hydroxypropyl methylcellulose (HPMC) secara perlahan-lahan
agar mudah larut dan dicampur dengan 80ml aquadest hingga
berat basis sebesar 97,5 gram.
2. Basis dicampur dengan 2,5 ekstrak daun cocor bebek
(kalanchoe pinnata) hingga rata, sehingga didapatkan 100 gram
gel ekstrak daun cocor bebek (kalanchoe pinnata) dengan
konsentrasi 2,5%.

4.6.3 Aklimatisasi
Aklimatisasi hewan coba dilakukan selama 7 hari terhadap
makanan serta lingkungan di dalam Laboratorium hewan Fakultas
Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.

4.6.4 Pembagian kelompok hewan coba


Pembagian kelompok hewan coba dilakukan secara acak
dan terdiri dari 2 kelompok, yaitu:
1. K1 : Kelompok kontrol tanpa pemberian ekstrak gel cocor bebek
secara topikal setiap 2 kali sehari selama 7 hari
2. K2 : Kelompok perlakuan dengan pemberian ekstrak gel cocok
bebek secara topikal setiap 2 kali sehari selama 7 hari.

52
4.6.5 Penimbangan berat badan Tikus
Penimbangan berat badan dilakukan satu kali sebelum
masuk masa aklimatisasi dan satu kali dilakukan pada akhir masa
aklimatisasi untuk memastikan tikus masuk dalam kriteria inklusi.
Hewan coba ditimbang dengan menggunakan timbangan torbal.
Penimbangan ditujukan untuk homogenitas berat badan tikus.

4.6.6 Persyaratan etik


Implikasi etik pada tikus putih sebagai hewan coba mengikuti
animals ethic. Hal yang perlu dilaksanakan sesuai etik antara lain
perawatan tikus putih dalam kandang yaitu pemberian makan dan
minum, aliran udara ke dalam ruang kandang, perlakuan saat
penelitian, pengambilan unit analisis penelitian dan
pemusnahannya.

4.6.7 Prosedur Penelitian


Sehari sebelum pembuatan luka bakar, bulu tikus dicukur
pada daerah punggung. Kemudian pada saat akan dilukai, tikus
dianastesi terlebih dahulu. Pembiusan dilakukan dengan
menggunakan diethyl ether. Tikus dimasukkan ke dalam wadah
kaca dan ditutup dengan kasa, kemudian larutan diethyl ether
diteteskan ke dalam wadah. Tikus diangkat dari wadah jika sudah
tidak bergerak lagi sekitar 1 menit setelah penetesan diethyl ether.
Tikus kemudian diletakkan pada alas bedah untuk diberikan luka.
Pada daerah kulit punggung yang telah dicukur dan
sekitarnya dibersihkan dengan larutan alcohol 70%. Setelah itu
maka dibuat luka bakar berbentuk lingkaran dengan diameter 1,5
cm, dengan cara kulit dijejas pada suhu 98C selama 30 detik.
Tikus tikus dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pada
kelompok pertama luka hanya dibiarkan, sebagai kelompok kontrol.
Kelompok ke 2 diberi ekstrak gel cocor bebek secara topikal
sebagai kelompok perlakuan. Percobaan berlangsung selama 7

53
hari. Kemudian pada hari ke 8 tikus diambil jaringan kulitnya
kemudian dibuat preparat histopatologi. Setelah preparat diamati
dibawah mikroskop kemudian dilakukan perhitungan jumlah
pembuluh darah melalui mikroskop.
Setelah penelitian selesai, hewan coba dieuthanasia pada
hari ke-8 dan dilakukan terminasi. Hal ini dilakukan karena setelah
pengambilan darah dan jaringan, hewan coba tidak dapat bertahan
hidup atau dapat mengalami kecacatan. Hewan coba dieuthanasi
dengan menggunakan Ketamine HCl, kemudian dilakukan
pengambilan kulit. Sisa tubuh hewan coba dikirim ke incinerator
Rumah Sakit Angkatan Laut Dr.Ramelan Surabaya untuk terminasi.

54
16 ekor tikus

Diadaptasikan pada lingkungan


laboratorium hewan Fakultas
Farmasi Universitas Katolik Widya
Mandala Surabaya selama 1
minggu
Bulu pada daerah punggung
dicukur

Tikus dianastesi dengan


eter dalam bentuk
inhalasi

Daerah punggung tikus yang telah


dicukur, dibersihkan dengan alkohol
70% kemudian diberi jejas berdiameter
1,5 cm dengan cara kulit dijejas pada
suhu 98C selama 30 detik

8 ekor tikus 8 ekor tikus

Tanpa Diberi ekstrak gel


pengobatan cocor bebek secara
topikal 2 kali sehari

Diambil jaringan kulitnya dan


dibuat preparat histopatologi

Pemeriksaan mikroskopi
.
jumlah pembuluh darah baru

55
4.6.8 Prosedur pengambilan kulit
Pengambilan kulit tikus dilakukan setelah tikus dieuthanasi
untuk bahan preparat. Daerah punggung yang akan diambil
kulitnya dibersihkan terlebih dahulu dari bulu, kulit di gunting
dengan ketebalan 3mm dan sepanjang 1-1,5 cm. Kulit yang
diperoleh kemudian difiksasi dengan larutan neutral buffer formalin
10% dibiarkan pada suhu kamar selama 48 jam (Argamula, 2008).

4.6.9 Pembuatan Preparat Histopatologi


1. Fiksasi
Jaringan yang akan dibuat sediaan histopatologi difiksasi dalam
larutan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10% minimal 48 jam hingga
mengeras. Sampel jaringan terfiksasi dengan sempurna di-trimming
setebal + 0,5 cm potongan kemudian dimasukkan dalam tissue
cassette dari plastik.
2. Dehidrasi
Proses dehidrasi dimaksudkan untuk menarik air dari jaringan dan
mencegah terjadinya pengerutan sampel yang diuji. Dehidrasi
dilakukan dengan cara merendam sampel dalam larutan alkohol
dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, 100%). Proses
perendaman masing-masing konsentrasi alkohol dilakukan selama 2
jam.
3. Penjernihan
Penjernihan atau clearing dilakukan 2 tahap, yaitu dengan xylol I
dan xylol II. Penggunaan xylol dimaksudkan untuk melarutkan alkohol
dan paraffin.
4. Pencetakan atau parafinisasi
Proses parafinisasi menggunakan paraffin I dan paraffin II. Sediaan
dimasukkan ke dalam pencetak yang berisi paraffin setengah volume
dan sediaan diletakkan ke arah vertikal dan horisontal sehingga
potongan melintang melekat pada dasar paraffin. Setelah mulai

56
membeku, paraffin ditambahkan kembali hingga alat pencetak penuh
dan dibiarkan sampai paraffin mengeras.
5. Pemotongan
Pemotongan atau sectioning adalah proses pemotongan jaringan
dengan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4-5 m. Hasil
potongan yang berbentuk pita (ribbon) tersebut dibentangkan di atas
air hangat bersuhu 460C dan langsung diangkat. Hal ini berguna untuk
meregangkan potongan agar tidak berlipat atau menghilangkan lipatan
akibat dari pemotongan. Sediaan tersebut kemudian diangkat dan
diletakkan di atas gelas objek dan dikeringkan selama 24 jam dalam
inkubator bersuhu 600C untuk kemudian dapat dilakukan pewarnaan
Hematoxylin-Eosin (Argamula, 2008).
6. Pewarnaan Hematoxylin-Eosin
Sebelum melakukan pewarnaan, preparat histopatologi
dideparafinisasi dengan larutan xylol I dan xylol II selama 2 menit.
Kemudian dilakukan proses rehidrasi dengan cara mencelupkan
sediaan ke dalam alkohol bertingkat (100%, 95%, 80%). Perendaman
dalam alkohol 95% dan 80% dilakukan selama 1 menit. Kemudian
sediaan dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 1 menit. Sediaan
diwarnai dengan pewarna Mayers Hematoxylin dengan tahapan
sebagai berikut :
a) Preparat direndam dalam larutan Mayers Hematoxylin selama 8
menit;
b) Dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 30 detik;
c) Dicelupkan ke dalam larutan lithium karbonat selama 15-30
detik;
d) Dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 2 menit;
e) Preparat direndam dalam larutan Eosin selama 2-3 menit;
f) Cuci dengan air mengalir (air kran) selama 30-60 detik;
g) Preparat dicelupkan ke dalam larutan alkohol 95% dan 100%
sebanyak 10 kali celupan, absolut II selama 2 menit, xylol I
selama 1 menit dan xylol II selama 2 menit.

57
7. Mounting
Setelah tahapan pewarnaan, sediaan ditetesi perekat Permount
dan ditutup dengan cover glass (Argamula, 2008).

4.6.10 Pengamatan Histopatologi


Pengamatan histopatologi dilakukan pada sampel kulit yang
telah diambil pada hari ke-8. Parameter yang diamati pada
penelitian ini adalah jumlah pembuluh darah dengan preparat yang
digunakan adalah preparat yang telah diwarnai dengan pewarnaan
Hematoxylin-Eosin. Pengamatan dilakukan di Laboratorium
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hangtuah
Surabaya.

4.6.11 Prosedur identifikasi jumlah pembuluh darah


Perhitungan jumlah pembuluh darah dilakukan dengan
menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 40x/ 5 lapangan
pandang. Interpretasi hasil pengamatan banyaknya pembuluh
darah diidentifikasi dengan bentuk bulat berwarna merah muda
dengan eritrosit berwarna merah pada lapisan sel-sel endotel pada
pewarnaan Hematoxylin-Eosin pada saat dilakukan pengamatan
(Eroschenko, 2010).

4.6.12 Terminasi
Setelah penelitian selesai, hewan coba dieuthanasia pada
hari ke-8 dan dilakukan terminasi. Hal ini dilakukan karena setelah
pengambilan darah dan jaringan, hewan coba tidak dapat bertahan
hidup atau dapat mengalami kecacatan. Hewan coba dieuthanasi
dengan menggunakan Ketamine HCl, kemudian dilakukan
pengambilan kulit. Sisa tubuh hewan coba dikirim ke incinerator
Rumah Sakit Angkatan Laut Dr.Ramelan Surabaya untuk terminasi

58
4.7 Cara Analisis Data

Berdasarkan tujuannya, penelitian ini termasuk jenis


penelitian komparatif karena membandingankan tiap kelompok
perlakuan dan skala data penelitian ini adalah numerik (ratio).
Karena data berskala rasio maka akan dilakukan uji normalitas.
Jika data berdistribusi normal dan memiliki varian homogen, maka
data akan dianalisa dengan uji statistika parametrik. Karena ada 2
kelompok hewan coba yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol,
variabel terlihat berskala rasio, serta hanya dilakukan pengukuran 1X
data maka akan dianalisa dengan uji statistika independent t-test (t-test
bebas).

59

Anda mungkin juga menyukai