Anda di halaman 1dari 15

1

LAPORAN PENDAHULUAN
HIPERBILIRUBIN

1. Konsep penyakit
1.1 Definisi
Hiperbilirubin adalah keadaan icterus yang terjadi pada bayi baru lahir, yang
dimaksud dengan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir adalah meningginya kadar
bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler sehingga terjadi perubahaan warna
menjadi kuning pada kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya. (Ngastiyah,
2000)

Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya
lebih dari normal (Suriadi, 2007).

Nilai normal bilirubin indirek 0,3 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 0,4 mg/dl.
(Prawiharjo , 2007)

Hiperbillirubin ialah suatu keadaan dimana kadar billirubinemia mencapai suatu nilai
yang mempunyai potensi menimbulkan kernikterus kalau tidak ditanggulangi dengan
baik (Sarwono, 2007).

1.2 Etilogi
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena keadaan
sebagai berikut (Ngastiyah, 2009):
1.2.1 Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
1.2.2 Gangguan pengambilan (uptake) dan transportasi bilirubin dalam hati.
1.2.3 Gangguan konjugasi bilirubin.
1.2.4 Penyakit Hemolitik, yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah
merah. Disebut juga ikterus hemolitik. Hemolisis dapat pula timbul karena
adanya perdarahan tertutup.
1.2.5 Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan, misalnya
Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obatan tertentu.
1.2.6 Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti :
infeksi toxoplasma. Siphilis.
1.2.7 Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor.
2

1.2.7.1 Produksi yang berlebihan


Hal ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal
pada hemolisis yang meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO,
golongan darah lain, defisiensi enzim G6PD, piruvat kinase,
perdarahan tertutup dan sepsis.

1.2.7.2 Gangguan proses uptake dan konjugasi hepar.


Gangguan ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya
substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil
transferase (sindrom Criggler-Najjar) penyebab lain atau defisiensi
protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake
bilirubin ke sel hepar.
1.2.7.3 Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat, dan sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan
lebih banyak terdapat bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang
mudah melekat ke sel otak.
1.2.8 Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi empedu
(atresia biliari), infeksi, masalah metabolik galaktosemia, hipotiroidjaundice
ASI

Rumus Kramer
Daerah Luas ikterus Kadar bilirubin
1 Kepala dan leher 5 mg%
2 Daerah 1 + badan bagian atas 9mg%
3 Daerah 1,2 + badan bagian bawah dan tungkai 11mg%
4 Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki dibawah lutut 12mg%
5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16mg%

Metabolisme Bilirubin
75% dari bilirubin yang ada pada BBL yang berasal dari penghancuran
hemoglobin, dan25%dari mioglobin, sitokrom, katalase dan tritofan
pirolase.Satu gram bilirubin yang hancur menghasilkan 35 mg bilirubin. Bayi
cukup bulan akan menghancurkan eritrosit sebanyak satu gram/hari dalam
bentuk bilirubin indirek yang terikat dengan albumin bebas (1 gram albumin
akan mengikat 16 mg bilirubin). Bilirubin indirek larut dalam lemak dan bila
sawar otak terbuka, bilirubin akan masuk kedalam otak dan terjadilah
kernikterus. yang memudahkan terjadinya hal tersebut ialah imaturitas,
asfiksia/hipoksia, trauma lahir, BBLR (kurang dari 2500 gram), infeksi,
3

hipoglikemia, hiperkarbia.didalam hepar bilirubin akan diikat oleh enzim


glucuronil transverse menjadi bilirubin direk yang larut dalam air, kemudian
diekskresi kesistem empedu, selanjutnya masuk kedalam usus dan menjadi
sterkobilin. Sebagian di serap kembali dan keluar melalui urin sebagai
urobilinogen.

Pada BBL bilirubin direk dapat di ubah menjadi bilirubin indirek didalam
usus karena disini terdapat beta-glukoronidase yang berperan penting
terhadap perubahan tersebut. Bilirubin indirek ini diserap kembali oleh usus
selanjutnya masuk kembali ke hati (inilah siklus enterohepatik).

1.3 Tanda gejala


1.3.1 Ikterik fisiologis
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang
tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang
membahayakan atau mempunyai potensi menjadi kernicterus dan tidak
menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologik adalah ikterus
yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai
yang disebut hiperbilirubin.

Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah


ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.3.1.1 Timbul pada hari kedua - ketiga.
1.3.1.2 Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
1.3.1.3 Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
1.3.1.4 Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
1.3.1.5 Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
1.3.1.6 Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai
hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
1.3.1.7 Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia
dengan karakteristik sebagai berikut Menurut (Surasmi, 2003) bila
1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam.
3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus <
bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
4

4) Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,


defisiensi enzim G6PD dan sepsis).
5) Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu,
asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi,
hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.
1.3.2 Ikterus Patologis
Menurut Tarigan, (2003) adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi
bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau
mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan
hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan,
dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15
mg%.
1.3.3 Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak
terutama pada korpus striatum, talamus, nucleus subtalamus, hipokampus,
nukleus merah, dan nukleus pada dasar ventrikulus IV.

Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada


neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg%) dan
disertai penyakit hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin
pada otak. Kern ikterus secara klinis berbentuk kelainan syaraf simpatis yang
terjadi secara kronik. (Ngastiyah, 2009).

Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi:


1.3.1 Gejala akut: gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada
neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
1.3.2 Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus
dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa
paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian
otot mata dan displasia dentalis)

Sedangkan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada
kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin
darah mencapai sekitar 40 mol/l.
5

1.4 Pafosiologi
1.4.1 Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
1.4.2 Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z
berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang
memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu.
1.4.3 Pada derajat tertentu, Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat
sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan
terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus
sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada
umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan
timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
1.4.4 Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah
melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir
Rendah, Hipoksia, dan Hipoglikemia (AH, Markum,2007)

1.5 Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu keruskan otak akibat perlangketan bilirubin indirek pada
otak. Pada kern ikterus gejala klinik pada permulaan tidak jelas antara lain: bayi
tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu
(involuntary movements), kejang tonus otot meninggi, leher kaku, dan akhirnya
opistotonus

1.6 Penatalaksanaan
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia
diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia.
Pengobatan mempunyai tujuan:
1.6.1 Menghilangkan Anemia
1.6.2 Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
1.6.3 Meningkatkan Badan Serum Albumin
6

1.6.4 Menurunkan Serum Bilirubin

Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi


Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
1.6.1 Pemberian ASI
Komposisi zat gizi ASI sejak hari pertama menyusui biasanya berubah dari
hari ke hari. Misalnya KOLOSTRUM (cairan bening berwarna kekuningan
yang biasanya keluar pada awal kelahiran) terbukti mempunyai kadar protein
yang lebih tinggi, serta kadar lemak dan Laktosa (gula susu) yang lebih
rendah dibandingkan ASI mature (ASI yang keluar hari ke-10 setelah
melahirkan). Kandungan kolostrum yang seperti ini akan membantu sistem
pencernaan bayi baru lahir yang memang belum berfungsi optimal. Selain itu
komposisi ASI pada saat mulai menyusui (Fore Milk) berbeda dengan
komposisi pada akhir menyusui (Hind Milk). Kandungan protein Fore Milk
(berwarna bening dan encer) tinggi, tetapi kandungan lemaknya rendah bila
dibandingkan dengan Hind Milk (berwarna putih dan kental).

Asi mengandung zat gizi berkualitas tinggi yang berguna untuk pertumbuhan
dan perkembangan kecerdasan bayi. Antara lain, faktor pembentuk sel-sel
otak, terutama DHA, dalam kadar tinggi. ASI juga mengandung Whey
(protein utama dari susu yang berbentuk cair) lebih banyak daripada Casein
(protein utama dari susu yang berbentuk gumpalan) dengan perbandingan
65:35. Komposisi ini menyebabkan protein ASI lebih mudah diserap oleh
tubuh bayi. Sedangkan susu formula tidak semua zat gizi yang terkandung di
dalamnya dapat diserap oleh tubuh bayi. Misalnya, protein susu sapi tidak
mudah diserap karena mengandung lebih banyak casein. Perbandingan whey
dan casein dalam susu sapi adalah 20:80.

1.6.2 Fototerapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi
Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya
dengan intensitas yang tinggi ( a bound of fluorencent light bulbs or bulbs in
the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi
menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar
Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan
mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut
Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah
melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan
7

Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu


dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa
proses konjugasi oleh hati.

Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar


Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis
dapat menyebabkan Anemia. Secara umum Fototherapi harus diberikan pada
kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan
kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5
mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi
Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan
Lahir Rendah.

1.6.3 Tranfusi Pengganti


Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1.6.4.1 Titer anti Rh lebih dari 1:16 pada ibu.
1.6.4.2 Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
1.6.4.3 Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam
pertama.
1.6.4.4 Tes Coombs Positif
1.6.4.5 Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
1.6.4.6 Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
1.6.4.7 Hemoglobin kurang dari 12 gr/dl.
1.6.4.8 Bayi dengan Hidrops saat lahir.
1.6.4.9 Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.

Transfusi Pengganti digunakan untuk :


1.6.4.1 Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan)
terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
1.6.4.2 Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
1.6.4.3 Menghilangkan Serum Bilirubin
1.6.4.4 Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan
dengan Bilirubin

Ada beberapa macam penggolongan darah. Yang paling terkenal dan paling
besar penggolongan darah ABO dan rhesus. Penggolongan tersebut dilakukan
berdasarkan zat-zat yang ada dalam darah masing-masing individu.Setiap
jenis darah (A, B, AB, dan O) memiliki antigen khusus dalam sel-sel darah
8

merah dan antibodi khusus dalam darah. Orang dengan golongan darah A
berarti mempunyai antigen A. Golongan darah B memiliki antigen B. Jika
orang bergolongan darah AB berarti mempunyai antigen A dan B. Sedangkan
yang bergolongan darah O (nol) tidak mempunyai antigen.

Ketidakcocokan golongan darah ABO sering terjadi pada ibu yang


mempunyai golongan darah O. Misalnya, golongan darah ibu O (nol) dan
pasangannya mempunyai golongan darah B. Jika anaknya mempunyai
golongan darah B, maka ibu itu akan membentuk zat anti B.Golongan darah
O bisa ditransfusikan pada golongan darah lainnya, asalkan mempunyai
rhesus yang sama. Tak heran kalau ada kasus seperti gangguan pembekuan
darah saat transfusi dilakukan dengan golongan darah yang sama. Artinya
golongan darah yang sama tidak selalu memiliki rhesus sama.

1.6.4 Terapi obat


Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang
meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik
diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu
sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menja
dipertentangan karena efek sampingnya (letargi). Colistrisin dapat
mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urinesehingga
menurunkan siklus Enterohepatika(Ngastiyah, 2009)
9

1.7 Pathway

Reflek Isap
Kurang

Ketidakse
imbangan
nutrisi
kurang
Sumber :( AH, Markum,2007) dari
kebutuhan
tubuh
10

2. Rencana asuhan klien dengan gangguan hiperbilirubin


2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
2.1.1.1 Riwayat Penyakit
Perlunya ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang sama,
apakah sebelumnya pernah mengkonsumsi obat-obat atau jamu tertentu
baik dari dokter maupun yang di beli sendiri, apakah ada riwayat
kontak denagn penderiata sakit kuning, adakah riwayat operasi empedu,
adakah riwayat mendapatkan suntikan atau transfuse darah. Ditemukan
adanya riwayat gangguan hemolissi darah (ketidaksesuaian golongan
Rh atau darah ABO), polisitemia, infeksi, hematoma, gangguan
metabolisme hepar, obstruksi saluran pencernaan dan ASI, ibu
menderita DM.
2.1.1.2 Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO,
Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
2.1.1.3 Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua
merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
2.1.1.4 Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah
mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan,
kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia .
2.1.1.5 Pola Kebutuhan sehari-hari.
Data dasar klien:
1) Aktivitas / istirahat : Latergi, malas
2) Sirkulasi: Mungkin pucat, menandakan anemia.
3) Eliminasi: Bising usus hipoaktif, Pasase mekonium mungkin
lambat, Feses lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran
bilirubin,Urine gelap pekat, hitam kecoklatan ( sindrom bayi
bronze )
4) Makanan/cairan: Riwayat perlambatan/makan oral buruk, ebih
mungkin disusui dari pada menyusu botol, Palpasi abdomen dapat
menunjukkan perbesaran limfa, hepar.
5) Neurosensori: Hepatosplenomegali, atau hidropsfetalis dengan
inkompatibilitas Rh berat. Opistetanus dengan kekakuan lengkung
punggung,menangislirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
11

6) Pernafasan: Riwayat afiksia


7) Keamanan:: Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus , Tampak
ikterik pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian distal
tubuh, kulit hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi.
8) Penyuluhan/Pembelajaran : Faktor keluarga, misal: keturunan
etnik, riwayat
9) hiperbilirubinemia pada kehamilan sebelumnya,
penyakithepar,distrasias darah (defisit glukosa-6-fosfat
dehidrogenase (G-6-PD). Faktor ibu, mencerna obat-obat (misal:
salisilat), inkompatibilitas Rh/ABO. Faktor penunjang intrapartum,
misal: persalinan pratern.
2.1.2 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus, ikterus terlihat
pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu eritema palmaris, jari tubuh
(clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan termasuk pemeriksaan organ hati
(tentang ukuran, tepid an permukaan); ditemukan adanya pembesaran limpa
(splenomegali), pelebaran kandung empedu, dan masa abdominal, selaput
lender, kulit nerwarna merah tua, urine pekat warna teh, letargi, hipotonus,
reflek menghisap kurang/lemah, peka rangsang, tremor, kejang, dan tangisan
melengking.
2.1.3 Pemeriksaan penunjang
2.1.3.1 Laboratorium (Pemeriksan Darah)
1) Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin
lebih dari 14 mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl
merupakan keadaan yang tidak fisiologis.
2) Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
3) Protein serum total.
4) USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
5) Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan
hapatitis dan atresia billiari.
2.1.3.2 Pemeriksaan Radiologi
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan
diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma
2.1.3.3 Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan
ekstra hepatic
2.1.3.4 Biopsy hati
12

Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar


seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic
selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati,
hepatoma.

2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
2.2.1 Definisi
Keadaan dimana intake nutrisi kurang dari kebutuhan metabolisme tubuh
(NANDA, 2011).
2.2.2 Batasan Karakteristik
Penggunaan diagnosis ini hanya jka terdapat satu diantara tanda NANDA
berikut:
2.2.2.1 Berat badan kurang dari 20% atau lebih dibawah berat badan ideal
untuk tinggi badan dan rangka tubuh
2.2.2.2 Asupan makanan kurang dari kebutuhan metabolik, baik kalori total
maupun zat gizi tertentu
2.2.2.3 Kehilangan berat badan dengan asupan makanan yang adekuat
2.2.2.4 Melaporkan asupan makanan yang tidak adekuat kurang dari
recommended daily allowance (RDA).

Subjektif:
2.2.2.5 Kram abdomen
2.2.2.6 Nyeri abdomen
2.2.2.7 Menolak makan
2.2.2.8 Indigesti
2.2.2.9 Persepsi ketidakmampuan untuk mencerna makanan
2.2.2.10 Melaporkan perubahan sensasi rasa
2.2.2.11 Melaporkan kurangnya makanan
2.2.2.12 Merasa cepat kenyang setelah mengkonsumsi makanan

Objektif:
2.2.2.13 Pembuluh kapiler rapuh
2.2.2.14 Diare
2.2.2.15 Adanya bukti kekurangan makanan
2.2.2.16 Kehilangan rambut yang berlebihan
2.2.2.17 Bising usus hiperaktif
13

2.2.2.18 Kurang informasi, informasi yang salah


2.2.2.19 Kurangnya minat terhadap makanan
2.2.2.20 Membrane mukosa pucat
2.2.2.21 Tonus otot buruk
2.2.2.22 Menolak untuk makan
2.2.2.23 Rongga mulut terluka (inflamasi)
2.2.2.24 Kelemahan otot yang berfungsi untuk menelan atau mengunyah
2.2.3 Faktor yang berhubungan
2.2.3.1 Ketergantungan zat kimia
2.2.3.2 Penyakit kronis
2.2.3.3 Kesulitan mengunyah atau menelan
2.2.3.4 Faktor ekonomi
2.2.3.5 Intoleransi makanan
2.2.3.6 Kebutuhan metabolik tinggi
2.2.3.7 Refleks mengisap pada bayi tidak adekuat
2.2.3.8 Kurang pengetahuan dasar tentang nutrisi
2.2.3.9 Akses terhadap makanan terbatas
2.2.3.10 Hilang nafsu makan
2.2.3.11 Mual dan muntah
2.2.3.12 Pengabaian oleh orang tua
2.2.3.13 Gangguan psikologis

Diagnosa II : Risiko kerusakan integritas kulit


2.2.4 Faktor Risiko
2.2.4.1 Zat kimia
2.2.4.2 Ekskresi dan sekresi
2.2.4.3 Usia ekstream muda atau ekstrem tua
2.2.4.4 Kelembapan
2.2.4.5 Hipertemi
2.2.4.6 Hipotermi
2.2.4.7 Fakotr mekanis (mis., Friksi, penekanan, restrain)
2.2.4.8 Obat
2.2.4.9 Kelembapan kulit
2.2.4.10 Imobilitas fisik
2.2.4.11 Radiasi
2.2.4.12 Internal (somatic)
2.2.4.13 Perubahan pigmentasi
2.2.4.14 Perubahan turgor kulit
14

2.2.4.15 Faktor perkembangan


2.2.4.16 Ketidakseimbangan nutrisi
2.2.4.17 Faktor imunologis
2.2.4.18 Gangguan sirkulasi
2.2.4.19 Gangguan status metabolic
2.2.4.20 Gangguan sensasi
2.2.4.21 Faktor psikogenik

2.3 Perencanaan
Tindakan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan & Data
Tujuan & Kriteria Rasional
Penunjang Tindakan
Hasil
Ketidakseimbangan nutrisi kurang Setelah dilakukan 1. Monitor TTV 1. Mengetahui
dari kebutuhan tubuh tindakan setiap 2 jam, perubahan suhu
Berhubungan dengan : keperawatan tingkat bayi terkait
Ketidakmampuan untuk selama2X24 kesadaran dengan
memasukkan atau mencerna JAM.nutrisi kurang penurunan suhu
nutrisi oleh karena faktor belum teratasi dengan tubuh bayi.
sempurnanya organ pencernaan indikator: 2. Monitor berat 2. Mengetahui dan
1. Albumin dalam badan bayi membandingkan
rentang normal bb bayi
2. Penurunan bb 3. Pertahankan 3. Untuk menjaga
tidak lebih dari intake 8 cc ASI keseimbangan
10%/2hari nutrisi bayi
3. Turgor kulit baik 4. Pantau jumlah 4. Untuk
4. Jumlah intake residu mengetahui
dan output jumlah residu
seimbang dan sebagai
patokan
pemberian intake

Resiko kerusakan integritas kulit Setelah dilakukan 1. Jaga kulit agar 1. Agar kulit bayi
berhubungan denga peningkatan asuhan keperawatan tetap bersih dan tidak iritasi dan
bilirubin dikulit dan efek foto selama 2 x 24 jam kering menimbulkan
terapi risiko kerusakan luka
integritas kulit dapat 2. Monitor kulit 2. Untuk
diminimalkan akan adanya mengetahui
dengan kriteria hasil: kemerahan warna kulit
1. Tidak ada luka 3. Kaji lingkungan 3. Agar tidak ada
dan lesi pada dan peralatan alat/benda yang
kulit yang di pakai bayi
2. Integritas kulit menyebabkan menimbulkan
yang baik bisa tekanan iritasi pada kulit
dipertahankan
3. Menunjukkan
terjadinya proses
penyembuhan
luka
15

4. Daftar Pustaka
Alimul, Hidayat A. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: Salemba
medika

Aminullah, A. (2010). Ikterus, Hiperbilirubinemia, dan Sepsis pada Neonatus


dalam: Markum AH, Ismael S, Editor. Ilmu ajar Kesehatan Anak. Jakarta: EGC

Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC

Prawihardjo, Sarwono. (2007). Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Surasmi, Asring, dkk. (2003). Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC

Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada AnakEdisi I. Jakarta: Fajar
Inter Pratama.

Pelaihari, Februari 2017


Preseptor Akademik Preseptor Klinik

(..) (..................................................)

Anda mungkin juga menyukai