PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
1. Hidung 4
2
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan
disebtu nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang
disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding
medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum
nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah
lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista
nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa
hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah
konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil
disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya disebut rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu
meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius
terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid
anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior
dan konka media, terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Batas rongga hidung terdiri dari dinding inferior yang merupakan dasar
rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding
superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
3
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini
berlubang-lubang (kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut
saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os
sfenoid.
4
bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus
kavernosus.
4. Fisiologi Hidung
Hidung memiliki fungsi fisiologis respirasi (mengatur kondisi udara,
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal), fungsi penghidu, fungsi fonetik berguna untuk
resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara
sendiri melalui konduksi tulang, fungsi statik dan mekanik untuk
meringankan kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas, serta
fungsi refleks nasal.1
a. Fungsi respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui
nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian
turun ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan
mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara yang melalui
hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat Celcius. Fungsi pengatur
6
suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel
debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh : a) rambut (vibrissae) pada vestibulum, b)
silia, dan c) palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
refleks bersin.1
b. Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya
mukosa olfakroius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan
kuat.1,5
c. Fungsi fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika
berbicara dan bernyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan
resonansi berkurang atau hilang sehingga terdengar suara sengau
(rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata-
kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan
konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka,
palatum mole turun untuk aliran udara.1,5
d. Refleks nasal
B. Rinitis Vasomotor
1. Definisi
Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa
adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan,
hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker,
aspirin, klorpromazin, dan obat topikal hidung dekongestan). Rinitis ini
7
digolongan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen spesifik tidak dapat
diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit
kulit, kadar antibodi IgE spesifik). Kelainan ini disebut juga vasomotor
catarrh, vasomotor rhinorrhea, nasal vasomotor instability, atau juga non-
allergic perennial rhinitis.1
2. Etiologi
3. Patogenesis
Sesuai dengan etiologi, beberapa hipotesis diungkapkan untuk
menerangkan patofisiologi rinitis vasomotor :1
a. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
8
Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya
peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam. Keadaan
ini disebut siklus nasi. Dengan adanya siklus ini, seseorang akan mampu
untuk bernapas dengan tetap normal melalui lubang hidung yang berubah-
ubah luasnya.1,7
9
untuk memberikan refleks nasal. Refleks yang terjadi berupa bersin,
pengeluaran sekret dan kongesti. Rinitis vasomotor diduga sebagai akibat dari
ketidakseimbangan impuls saraf otonom di mukosa hidung yang berupa
bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis. 1,7
b. Neuropeptida
Pada mekanisme ini terjadi suatu disfungsi hidung yang diakibatkan oleh
meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensorik serabut C di hidung.
Adanya rangasangan abnormal saraf sensorik ini akan diikuti dengan
peningkatan pelepasan neuropeptida seperti substansi P dan calcitonin gene-
related protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan
sekresi kelenjar. Keadaan ini menerangkan terjadinya peningkatan respon
pada hipereaktifitas hidung.1
c. Nitrit oksida
Kadar NO yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga
rangasangan non-spesifik berinteraksi langsung ke lapisan subepitel.
Akibatnya terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment
refleks vaskular dan kelenjar mukosa hidung. 1
d. Trauma
4. Gejala Klinis
Pada rinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai
rangsangan non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum,
munuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin dan pemanas
ruangan, perubahan kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan dan
stres/emosi. Pada keadaan normal faktor-faktor ini tidak dirasakan sebagai
gangguan oleh individu tersebut.1
Kelainan ini memiliki gejala yang mirip dengan rinitis alergi, namun
gejala yang dominan adalah hidung tersumbat bergantian kiri dan kanan,
tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau
serosa. Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata. Gejala dapat
memburuk dipagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan
10
suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap rokok dan
sebagainya.1
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan menjadi tiga
golongan: 1,7
a. Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon baik
dengan terapi antihistamin dan glukokortikoid topikal;
b. Golongan rinorea (runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian
antikolinergik topikal; dan
5. Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu
menyingkirkan adanya rinitis infeksi, alergei, okupasi, hormonal dan akibat
obat. Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran yang khas berupa
edema mukosa hidun, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi
dapat pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rinitis alergi. Permukaan
konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung
terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore
sekret yang ditemukan ialah serosa dan banyak jumlahnya. Pemeriksaan
laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi.
Kadang ditemukan eosinfil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah
sedikit. Tes cukit kulit biasanya negatif. Kadar IgE spesifik tidak meningkat.1
11
Pemeriksaan THT - Struktur abnormal ( - )
- Tanda tanda infeksi ( - )
- Pembengkakan pada mukosa ( + )
- Hipertrofi konka inferior sering
dijumpai
6. Diagnosis Banding
a. Rinitis Alergi
Tabel 2. Perbedaan Rinitis Alergi dan Rinitis Vasomotor 6
12
Neurektomi n. vidianis Tidak membantu Membantu
Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes
hidung dalam waktu lama ialah silia rusak, sel goblet berubah ukuran,
membran basal menebal, pembuluh darah melebar, stroma edema,
hipersekresi kelenjar mukus dan perubahan pH sekret hidung, lapisan
submukosa menebal, dan lapisan periosteum menebal.1,8
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada rinitis vasomotor bervariasi, tergantung pada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar dibagi dalam:1,5
a. Menghindari stimulus/ faktor pencetus
b. Pengobatan simptomatis, dengan obat-obatan dekongestan oral, cuci
hidung dengan larutan garam fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi
dengan larutan AgNO3 25% atau triklor-asetat pekat. Dapat juga
diberikan kortikosteroid topikal 100-200 mikrogram. Dosis dapat
13
ditingkatkan sampai 400 mikrogram sehari. Hasilnya akan terlihat setelah
pemakaian paling sedikit selama 2 minggu. Saat ini terdapat
kortikosteroid topikal baru dalam larutan aqua seperti flutikason
propionat dan mometason furoat dengan pemakaian cukup satu kali
sehari dengan dosis 200 mcg. Pada kasus dengan rinore berat, dapat
ditambahkan antikolinergik topikal (ipatropium bromida). Saat ini sedang
dalam penelitian adalah terapi desensitisasi dengan obat capsaicin topikal
yang mengandung lada.
c. Operasi, dengan cara bedah-beku, elektrokauter, atau konkotomi parsial
konka inferior.
d. Neurektomi n. Vidianus, yaitu dengan melakukan pemotongan pada n.
Vidianus, bila dengan cara di atas tidak memberikan hasil optimal.
Operasi tidaklah mudah, dapat menimbulkan komplikasi, seperti
sinusitis, diplopia, buta, gangguan, lakrimasi, neuralgia atau anestesis
infraorbita dan palatum. Dapat dilakukan tindakan blocking ganglion
sfenopalatina. Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik
daripada golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip
dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk
memastikan diagnosisnya.
8. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi dapat berupa:1
a. Pembentukan polip nasi yaitu suatu perkembangan non-kanker pada
hidung atau sinus mengarah pada inflamasi kronik. Polip ukuran kecil
dapat tanpa keluhan akan tetapi semakin besar akan menimbulkan
sumbatan aliran udara sehingga sulit bernapas.
b. Sinusitis merupakan radang pada selaput yang membungkus sinus.
Tersumbatnya hidung dalam jangka waktu lama meingkatkan
kemungkinan menderita sinusitis.
9. Prognosis
14
Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik dibanding golongan
rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu
anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.1
15
BAB III
KESIMPULAN
16