Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan


mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.
Rinitis vasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan
adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung
apabila terpapar oleh iritan spesifik. Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan
idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan
hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrapsepsi oral,
antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung
dekongestan).1
Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen
spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai
(anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik serum). Kelainan ini
disebut juga vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal vasomotor instability,
atau juga non-allergic perennial rinitis.1
Rinitis alergi mempengaruhi populasi di Amerika sekitar 30 sampai 60 ribu
juta orang tiap 10 tahunnya, akan tetapi jumlah pasien rinitis non-alergi sulit
ditentukan secara pasti.2 Rinitis vasomotor merupakan bentuk terbanyak dari
rinitis nonalergik yaitu sekitar 71% dari seluruh kondisi rinis non alergik.
Meskipun epidemiologi dari subtipe rinitis non alergi belum diteliti pasti, akan
tetapi diperkirakan 14 juta penduduk Amerika menderita rinitis vasomotor dengan
prevalensi di seluruh dunia mencapai 320 juta. Kasus ini paling banyak dijumpai
pada usia dewasa terutama timbul pada wanita. Walau demikian, insidensi pasti
tidak diketahui. Biasanya timbul pada dekade 3-4.3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
1. Hidung 4

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke


bawah yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak
hidung (tip), ala nasi, Columela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung
luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os
nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut
juga sebagai kartilago alar mayor dan tepi anterior kartilago septum.

Gambar 1. Anatomi Hidung

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang di pisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum

2
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan
disebtu nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang
disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding
medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum
nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah
lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista
nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa
hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah
konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil
disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya disebut rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu
meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius
terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid
anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior
dan konka media, terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Batas rongga hidung terdiri dari dinding inferior yang merupakan dasar
rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding
superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina

3
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini
berlubang-lubang (kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut
saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os
sfenoid.

Gambar 2. Tulang hidung dan


bagian dalam hidung

2. Pendarahan Hidung 1,4


Pendarahan untuk hidung
bagian dalam berasal dari 3
sumber utama:
a. a. etmoidalis anterior, yang
mendarahi septum bagian superior anterior dan dinding lateral hidung.
b. a. etmoidalis posterior ( cabang dari a. oftalmika ), mendarahi septum
bagian superior posterior.
c. a. sfenopalatina, terbagi menjadi a. nasales posterolateral yang menuju
ke dinding lateral hidung dan a. septi posterior yang menyebar pada
septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.
maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a.
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang
a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina
mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach ( Littles area ) yang letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung

4
bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus
kavernosus.

Gambar 3. Perdarahan hidung

3. Persarafan Hidung 1,4

a. Saraf motorik oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung


bagian luar.
b. Saraf sensoris.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
sensoris dari n. etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n.
nasosiliaris, yang berasal dari n. oftalmika ( N.V-1 ). Rongga hidung
lainnya , sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila
melalui ganglion sfenopalatina.
c. Saraf otonom.
Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu :
1) Saraf post ganglion saraf simpatis ( Adrenergik ).
Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1 3,
berjalan ke atas dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis
superior. Serabut post sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus
dan kemudian sebagai n. petrosus profundus bergabung dengan
serabut saraf parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor
membentuk n. vidianus yang berjalan didalam kanalis pterigoideus.
Saraf ini tidak mengadakan sinapsis didalam ganglion sfenopalatina,
dan kemudian diteruskan oleh cabang palatina mayor ke pembuluh
darah pada mukosa hidung. Saraf simpatis secara dominan
5
mempunyai peranan penting terhadap sistem vaskuler hidung dan
sangat sedikit mempengaruhi kelenjar.
2) Serabut saraf preganglion parasimpatis ( kolinergik ).
Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di
nukleus salivatorius superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus
superfisialis mayor berjalan menuju ganglion sfenopalatina dan
mengadakan sinapsis didalam ganglion tersebut. Serabut serabut post
ganglion menyebar menuju mukosa hidung. Peranan saraf
parasimpatis ini terutama terhadap jaringan kelenjar yang
menyebabkan sekresi hidung yang encer dan vasodilatasi jaringan
erektil. Pemotongan n. vidianus akan menghilangkan impuls
sekretomotorik / parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga rinore
akan berkurang sedangkan sensasi hidung tidak akan terganggu.
d. Olfaktorius ( penciuman )
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.

4. Fisiologi Hidung
Hidung memiliki fungsi fisiologis respirasi (mengatur kondisi udara,
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal), fungsi penghidu, fungsi fonetik berguna untuk
resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara
sendiri melalui konduksi tulang, fungsi statik dan mekanik untuk
meringankan kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas, serta
fungsi refleks nasal.1

a. Fungsi respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui
nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian
turun ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan
mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara yang melalui
hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat Celcius. Fungsi pengatur
6
suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel
debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh : a) rambut (vibrissae) pada vestibulum, b)
silia, dan c) palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
refleks bersin.1
b. Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya
mukosa olfakroius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan
kuat.1,5
c. Fungsi fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika
berbicara dan bernyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan
resonansi berkurang atau hilang sehingga terdengar suara sengau
(rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata-
kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan
konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka,
palatum mole turun untuk aliran udara.1,5
d. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan


dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa
hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti.
Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.5

B. Rinitis Vasomotor
1. Definisi
Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa
adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan,
hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker,
aspirin, klorpromazin, dan obat topikal hidung dekongestan). Rinitis ini
7
digolongan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen spesifik tidak dapat
diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit
kulit, kadar antibodi IgE spesifik). Kelainan ini disebut juga vasomotor
catarrh, vasomotor rhinorrhea, nasal vasomotor instability, atau juga non-
allergic perennial rhinitis.1

2. Etiologi

Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat


gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat
tertentu.5,6
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor:5,6
a. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis,
seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat
vasokonstriktor topikal.
b. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin,
kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang.
c. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil
anti hamil dan hipotiroidisme.
d. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

3. Patogenesis
Sesuai dengan etiologi, beberapa hipotesis diungkapkan untuk
menerangkan patofisiologi rinitis vasomotor :1
a. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)

Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen T1-2,


menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar.
Serabut simpatis melepaskan ko-transmiter noradrenalin dan nueropeptida Y
(NPY) yang menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung.

8
Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya
peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam. Keadaan
ini disebut siklus nasi. Dengan adanya siklus ini, seseorang akan mampu
untuk bernapas dengan tetap normal melalui lubang hidung yang berubah-
ubah luasnya.1,7

Gambar 4. Inervasi saraf simpatis di hidung 3

Serabut saraf parasimpatis berasal dari nukleus salivatorius superior


menuju ganglion sfenopalatina membentuk n.vidianus yang kemudian
menginervasi pembuluh darah dan terutama kelenjar eksokrin. Pada
rangasangan akan terjadi pelepasan ko-transmitter asetilkolin dan vasoaktif
intestinal peptida yang menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan
vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung. 1,7

Gambar 5. Inervasi parasimpatis di hidung3

Bagaimana tepatnya saraf otonom ini bekerja belumlah diketahui dengan


pasti, tetapi mungkin hipotalamus bertindak sebagai pusat penerima impuls
eferen, termasuk rangsang emosional dari pusat yang lebih tinggi. Dalam
keadaan hidung normal, persarafan simpatis lebih dominan. Walau demikian,
sistem parasimpatis pada kondisi normal diaktifkan dengan adanya stimulus
eksogen berbahaya yang ditangkap nervus trigeminus, maka dikeluarkan
signal ke sistem saraf pusat agar mengaktifkan sistem saraf parasimpatis

9
untuk memberikan refleks nasal. Refleks yang terjadi berupa bersin,
pengeluaran sekret dan kongesti. Rinitis vasomotor diduga sebagai akibat dari
ketidakseimbangan impuls saraf otonom di mukosa hidung yang berupa
bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis. 1,7
b. Neuropeptida
Pada mekanisme ini terjadi suatu disfungsi hidung yang diakibatkan oleh
meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensorik serabut C di hidung.
Adanya rangasangan abnormal saraf sensorik ini akan diikuti dengan
peningkatan pelepasan neuropeptida seperti substansi P dan calcitonin gene-
related protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan
sekresi kelenjar. Keadaan ini menerangkan terjadinya peningkatan respon
pada hipereaktifitas hidung.1
c. Nitrit oksida
Kadar NO yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga
rangasangan non-spesifik berinteraksi langsung ke lapisan subepitel.
Akibatnya terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment
refleks vaskular dan kelenjar mukosa hidung. 1
d. Trauma

Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari


trauma hidung melalui mekanisme neurogenik dan/atau neuropeptida. 1

4. Gejala Klinis
Pada rinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai
rangsangan non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum,
munuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin dan pemanas
ruangan, perubahan kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan dan
stres/emosi. Pada keadaan normal faktor-faktor ini tidak dirasakan sebagai
gangguan oleh individu tersebut.1
Kelainan ini memiliki gejala yang mirip dengan rinitis alergi, namun
gejala yang dominan adalah hidung tersumbat bergantian kiri dan kanan,
tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau
serosa. Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata. Gejala dapat
memburuk dipagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan

10
suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap rokok dan
sebagainya.1
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan menjadi tiga
golongan: 1,7
a. Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon baik
dengan terapi antihistamin dan glukokortikoid topikal;
b. Golongan rinorea (runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian
antikolinergik topikal; dan

c. Golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya memberikan respon


yang baik dengan terapi glukokortikoid.

5. Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu
menyingkirkan adanya rinitis infeksi, alergei, okupasi, hormonal dan akibat
obat. Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran yang khas berupa
edema mukosa hidun, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi
dapat pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rinitis alergi. Permukaan
konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung
terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore
sekret yang ditemukan ialah serosa dan banyak jumlahnya. Pemeriksaan
laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi.
Kadang ditemukan eosinfil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah
sedikit. Tes cukit kulit biasanya negatif. Kadar IgE spesifik tidak meningkat.1

Tabel 1. Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis


vasomotor 1

Riwayat penyakit -Tidak berhubungan dengan musim.


-Riwayat keluarga ( - )
- Riwayat alergi sewaktu anak-anak ( - )
- Timbul sesudah dewasa
- Keluhan gatal dan bersin ( - )

11
Pemeriksaan THT - Struktur abnormal ( - )
- Tanda tanda infeksi ( - )
- Pembengkakan pada mukosa ( + )
- Hipertrofi konka inferior sering
dijumpai

Radiologi X Ray / CT - Tidak dijumpai bukti kuat


keterlibatan sinus
- Umumnya dijumpai penebalan
mukosa

Bakteriologi - Rinitis bakterial ( - )

Test alergi Ig E total - Normal

Prick Test - Negatif atau positif lemah

RAST - Negatif atau positif lemah

6. Diagnosis Banding
a. Rinitis Alergi
Tabel 2. Perbedaan Rinitis Alergi dan Rinitis Vasomotor 6

Rhinitis alergi Rhinitis vasomotor

Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3-4

Riwayat terpapar allergen Riwayat terpapar allergen (-)


(+)

Etiologi Reaksi Ag-Ab terhadap Reaksi neurovaskuler


rangsangan spesifik terhadap beberapa
rangsangan mekanis atau
kimia, juga faktor psikologis

Gatal dan bersin Menonjol Tidak menonjol

Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai

Test kulit Positif Negative

Secret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat

Eosinofil darah Meningkat Normal

Ig E darah Meningkat Tidak meningkat

12
Neurektomi n. vidianis Tidak membantu Membantu

b. Rinitis Induksi Obat


Beberapa obat yang dapat menyebabkan kongesti hidung adalah obat
antihipertensi dan vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung)
yang digunakan dalam waktu lama sehingga menyebabkan sumbatan hidung
yang menetap. Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap
rangsangan atau iritan. Obat topikal vasokonstriktor dari golongan
simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasi terganggu dan akan berfungsi
normal kembali apabila obat dihentikan.8
Vasodilatasi rebound pada rinitis medikamentosa dapat terjadi akibat
penyalahgunaan tetes hidung dekongestan simpatomimetik dan semprot
hidung. Rata-rata individual menderita kongesti hidung mendapat
kesembuhan segera selama beberapa jam dengan menggunakan preparat
topikal ini. Namun penggunaan jangka lama dapat berakibat keadaan
kongestif kronik dimana membran hidung menjadi peka terhadap iritan,
terutama bila diberikan secara intermiten.8

Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes
hidung dalam waktu lama ialah silia rusak, sel goblet berubah ukuran,
membran basal menebal, pembuluh darah melebar, stroma edema,
hipersekresi kelenjar mukus dan perubahan pH sekret hidung, lapisan
submukosa menebal, dan lapisan periosteum menebal.1,8

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada rinitis vasomotor bervariasi, tergantung pada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar dibagi dalam:1,5
a. Menghindari stimulus/ faktor pencetus
b. Pengobatan simptomatis, dengan obat-obatan dekongestan oral, cuci
hidung dengan larutan garam fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi
dengan larutan AgNO3 25% atau triklor-asetat pekat. Dapat juga
diberikan kortikosteroid topikal 100-200 mikrogram. Dosis dapat

13
ditingkatkan sampai 400 mikrogram sehari. Hasilnya akan terlihat setelah
pemakaian paling sedikit selama 2 minggu. Saat ini terdapat
kortikosteroid topikal baru dalam larutan aqua seperti flutikason
propionat dan mometason furoat dengan pemakaian cukup satu kali
sehari dengan dosis 200 mcg. Pada kasus dengan rinore berat, dapat
ditambahkan antikolinergik topikal (ipatropium bromida). Saat ini sedang
dalam penelitian adalah terapi desensitisasi dengan obat capsaicin topikal
yang mengandung lada.
c. Operasi, dengan cara bedah-beku, elektrokauter, atau konkotomi parsial
konka inferior.
d. Neurektomi n. Vidianus, yaitu dengan melakukan pemotongan pada n.
Vidianus, bila dengan cara di atas tidak memberikan hasil optimal.
Operasi tidaklah mudah, dapat menimbulkan komplikasi, seperti
sinusitis, diplopia, buta, gangguan, lakrimasi, neuralgia atau anestesis
infraorbita dan palatum. Dapat dilakukan tindakan blocking ganglion
sfenopalatina. Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik
daripada golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip
dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk
memastikan diagnosisnya.

8. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi dapat berupa:1
a. Pembentukan polip nasi yaitu suatu perkembangan non-kanker pada
hidung atau sinus mengarah pada inflamasi kronik. Polip ukuran kecil
dapat tanpa keluhan akan tetapi semakin besar akan menimbulkan
sumbatan aliran udara sehingga sulit bernapas.
b. Sinusitis merupakan radang pada selaput yang membungkus sinus.
Tersumbatnya hidung dalam jangka waktu lama meingkatkan
kemungkinan menderita sinusitis.

c. Infeksi telinga tengah. Terjadi akibat meningkatnya cairan hidung dan


hidung tersumbat

9. Prognosis

14
Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik dibanding golongan
rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu
anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.1

15
BAB III

KESIMPULAN

Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa


adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid),
dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin,
dan obat topikal hidung dekongestan. Patofisiologi rinitis vasomotor diantaranya
disfungsi sistem otonom, neuropeptida, nitrik oksida, dan trauma. Gejala klinik
rinitis vasomotor berupa bersin, rinorea, dan tersumbat. Diagnosis umumnya
ditegakkan dengan cara ekslusi, yaitu menyingkirkan adanya rinitis alergi, infeksi,
okupasi, hormonal dan akibat obat. Penatalaksanaan pada rinits vasomotor
bervariasi tergantung pada trigger dan gejala yang menonjol. Prognosis
pengobatan golongan obstruksi lebih baik dibanding golongan rinore.

16

Anda mungkin juga menyukai