PENDAHULUAN
Derajat kesehatan yang optimal dapat dilihat dari unsur kualitas hidup serta
unsurunsur mortalitas dan yang mempengaruhinya, yaitu morbiditas dan status gizi.
Keadaan gizi yang baik adalah syarat utama untuk mewujudkan sumber daya manusia
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang melalui terciptanya masyarakat, bangsa
dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku
kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata di seluruh wilayah Republik
2009), Oleh karena itu, persoalan ini menjadi salah satu butir penting yang menjadi
secara bertahap harus mampu mengurangi jumlah balita bergizi buruk atau gizi
1
Universitas Sumatera Utara
2
terburuk dapat menyebabkan kematian. Masalah gizi buruk dan gizi kurang
nampaknya belum dapat teratasi dengan baik dalam skala internasional maupun
nasional, tercatat 101 juta anak di dunia dibawah lima tahun menderita kekurangan
Permasalahan gizi ini di Indonesia juga merupakan salah satu persoalan utama
persoalan gizi buruk (Ares, 2006). Walaupun proses pembangunan di Indonesia telah
mampu mengatasi persoalan ini, tetapi dilihat dari kecenderungan data statistik,
masih banyak persoalan yang perlu diselesaikan terutama yang menyangkut persoalan
Masa balita merupakan masa keemasan kedua bagi anak. Pertumbuhan balita
pada masa ini tidak bertumbuh sepesat saat masa bayi, tetapi kebutuhan nutrisi
mereka tetap merupakan prioritas utama dalam perkembangan seorang anak (Sutani,
2008). Menurut Soegeng (2009) ditinjau dari sudut masalah kesehatan dan gizi, maka
balita termasuk dalam golongan masyarakat kelompok rentan gizi, yaitu kelompok
masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi, sedangkan pada saat ini
mereka sedang mengalami proses pertumbuhan yang sangat pesat. Akibat dari kurang
Kekurangan asupan makanan membuat daya tahan tubuh sangat lemah, memudahkan
terkena penyakit infeksi, ditambah dengan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk,
langsung di pengaruhui oleh penyakit infeksi dan tidak cukupnya asupan gizi secara
jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan, pola asuh anak yang kurang memadai,
Pola asuh anak sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan
anak berusia di bawah lima tahun. Masa anak usia 1-5 tahun (balita) adalah masa
dimana anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang
kembang secara fisik, mental, sosial dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus
dibawa sampai anak menjadi dewasa. Pada masa ini juga, anak masih benar-benar
tergantung pada perawatan dan pengasuhan oleh ibunya. Pengasuhan kesehatan dan
makanan pada tahun pertama kehidupan sangatlah penting untuk perkembangan anak.
pertumbuhan badan, lebih penting lagi keterlambatan perkembangan otak dan dapat
pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi
(Soegeng, 2009).
Beberapa hasil penelitian terkait dengan status gizi, yaitu hasil penelitian
(p<0,01) lebih tinggi di antara anak laki-laki dari pada anak perempuan. Anak balita
yang dibesarkan oleh orang tua tunggal cenderung mengalami gizi kurang secara
signifikan (p<0,01) daripada anak balita yang tinggal bersama kedua orang tua.
Prevalensi gizi kurang menurun secara signifikan (p<0,01) jika pendapatan keluarga
meningkat. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, semakin rendah tingkat gizi
berhubungan dengan status gizi adalah jenis pekerjaan ayah dan jenis pekerjaan ibu.
Jenis kelamin, umur balita, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan orang tua,
dan jenis pekerjaan orang tua berhubungan dengan status gizi balita di pedesaan.
terhadap gizi kurang pada anak balita adalah status ekonomi keluarga yang tergolong
miskin berisiko meningkatkan kurang gizi 1,3 kali, perilaku higienis ibu yang kurang
baik berisiko sebesar 1,4 kali, adanya penyakit infeksi pada anak balita berisiko
banyak anak balita yang memiliki gizi buruk di Sumatera Barat dimana prevalensi
gizi buruk sekitar 17,6% dan gizi kurang sekitar 14%. Kemiskinan dan tingkat
pendidikan orang tua merupakan faktor utama penyebab balita menderita gizi buruk
dan gizi kurang. Hasil penelitian Zulfadli (2012) menyimpulkan bahwa pola asuh
makan dan pola asuh kesehatan berpengaruh terhadap status gizi anak balita. Pola
Hasil Riset Kesehatan Dasar (2013) menunjukkan prevalensi gizi kurang pada
balita (BB/U<-2SD) memberikan gambaran yang fluktuatif dari 18,4% tahun 2007
menurun menjadi 17,9% tahun 2010 kemudian meningkat menjadi 19,6% tahun
2013. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk, yaitu dari 5,4% pada tahun
2007, 4,9% pada tahun 2010, dan 5,7% pada tahun 2013. Hal ini menunjukkan bahwa
setiap tahun selama periode 2010-2013 ada peningkatan jumlah gizi kurang dan gizi
prevalensi balita gizi buruk dan kurang pada tahun 2013 sebesar 22,4% yang terdiri
dari 8,3% gizi buruk dan 14,1% gizi kurang. Angka ini lebih tinggi 2,8% dengan
angka prevalensi gizi berat dan kurang secara nasional, yaitu 19,6%. Prevalensi gizi
kurang dan gizi buruk sebesar 22,4% di Sumatera Utara masih termasuk dalam
prevalensi gizi berat dan kurang di atas angka prevalensi provinsi, yaitu berkisar
Lawas. Angka prevalensi gizi buruk dan kurang tertinggi terdapat pada 3 (tiga)
kabupaten, yaitu Kabupaten Padang Lawas sebesar 41,4%, Nias Utara sebesar 40,7%
dan Nias Barat sebesar 37,5%. Sedangkan berdasarkan sasaran MDGs 2015
prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita sebesar 15,5% (Dinas Kesehatan
Satu hal penting yang perlu diperhatikan untuk mempertajam identifikasi akar
masalah gizi buruk dan kurang, yaitu adanya fakta bahwa kasus gizi buruk dan
kurang tidak selalu terjadi pada keluarga miskin atau yang tinggal di lingkungan
miskin. Begitu juga sebaliknya, tidak selamanya pada lingkungan yang tidak rawan
gizi atau lingkungan yang baik selalu ditemukan bayi, balita, dan anak dengan
keadaan gizi baik. Secara epidemiologis kasus gizi buruk dan kurang ini merupakan
Kota Medan merupakan salah satu bagian wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Kota Medan tahun 2013 sebesar 19,3% yang
terdiri dari 4,2% gizi buruk dan 15,1% gizi kurang. Angka prevalensi ini mendekati
angka nasional, yaitu sebesar 19,6%. Sedangkan berdasarkan sasaran MDGs 2015
prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita sebesar 15,5%, angka prevalensi ini
termasuk dalam kategori tinggi (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2015).
2015, Kota Medan mendapat ranking kedua (2) kasus balita gizi buruk terbanyak di
Sumut dengan jumlah 113 kasus, setelah Kabupaten Asahan yang berjumlah 117
kasus. Tahun 2015 balita yang menderita gizi buruk di Provinsi Sumatera Utara
mencapai 1.152 kasus. Jumlah tersebut sedikit menurun dibanding 2014, yakni 1.196
kasus. Selain Kota Medan dan Asahan ada beberapa kabupaten/kota lagi yang angka
kasus gizi buruknya tinggi, yaitu Kota Gunung Sitoli 76 kasus, Langkat 72 kasus,
Nias Barat 71 kasus, Mandailing Natal 62 kasus, Dairi 55 kasus, Serdang Bedagai 52
puskesmas dari 39 Puskesmas di Kota Medan yang memiliki kasus gizi buruk dan
kurang pada balita masih tinggi, yaitu dengan prevalensi sebesar 9,93%. Berdasarkan
hasil pemantauan status gizi di Puskesmas Glugur Darat Tahun 2014 ditemukan
kasus gizi buruk dan gizi kurang sebanyak 59 balita, terdiri dari 3 balita gizi buruk
dan 56 balita gizi kurang. Tahun 2015 kasus gizi buruk dan gizi kurang sebanyak 21
balita, terdiri dari 4 balita gizi buruk dan 17 balita gizi kurang meskipun Kecamatan
masalah gizi kurang pada balita yang masih merupakan masalah kesehatan
Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur Tahun 2016.
1.2 Permasalahan
Kasus gizi kurang pada anak balita masih relatif tinggi di Wilayah Kerja
Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur dan kajian komprehensif tentang
faktor-faktor apa saja yang memengaruhi gizi kurang pada anak balita masih terbatas.
terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur
1.4 Hipotesis
jumlah anggota keluarga), dan Pola asuh (asuh makan, asuh kesehatan) berpengaruh
terhadap kejadian gizi kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kecamatan
Medan Timur.
2. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita.
3. Bagi ibu balita, penelitian ini dapat memberikan informasi tentang faktor-faktor