Tugas Mandiri Ilmu Faal
Tugas Mandiri Ilmu Faal
SHOCK HIPOVOLEMIK
Oleh :
021311133042
i
ABSTRAK
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................................ ii
Bab 1 PENDAHULUAN
Bab 4 PENUTUP
iii
4.2 SARAN................................................................................................................ 18
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB 1
PENDAHULUAN
Shock bisa merupakan akibat dari kehilangan cairan tubuh lain selain
dari darah dalam jumlah yang banyak. Shock hipovolemik yang terjadi akibat
kehilangan cairan lain ini adalah gastroenteritis refraktrer dan luka bakar hebat.1
1.2 Tujuan
1
3. Menjelaskan manifestasi klinis Shock Hipovolemik
4. Menjelaskan patofisiologi Shock Hipovolemik
5. Mengetahui dan memahami komplikasi dari Shock Hipovolemik
1.4 Manfaat
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Shock Hipovolumik
2.1.1 Definisi Shock Hipovolumik
Shock hipovolemik merujuk kepada suatu keadaan di mana terjadi
kehilangan cairan tubuh dengan cepat sehingga terjadinya multiple organ
failure akibat perfusi yang tidak adekuat.5
Shock hipovolemik merupakan shock yang terjadi akibat
berkurangnya volume plasma di intravaskuler. Shock ini dapat terjadi akibat
perdarahan hebat (hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan
cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat
oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat. Kasus-kasus shock
hipovolemik yang paing sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan
sehingga shock hipovolemik dikenal juga dengan shock hemoragik.
Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh berbagai trauma hebat pada organ-
organ tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan luka ataupun luka
langsung pada pembuluh arteri utama.1
Kehilangan cairan cepat dan banyak menurunkan preload ventrikel
sehingga terjadi penurunan curah jantung dan terjadilah penurunan hantaran
oksigen ke tubuh. Shock yang terjadi karena perdarahan selain terjadi
penurunan cardiac output juga terjadi penurunan hemoglobin sehingga
transport oksigen ke jaringan makin berkurang.5
3
2. Kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan
banyak kehilangan darah antara lain aneurisma, diseksi, dan
malformasi arteri-vena.
3. Kelainan yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu
kehamilan ektopik terganggu, plasenta previa, dan solutio
plasenta. Shock hipovolemik akibat kehamilan ektopik
umum terjadi. Shock hipovolemik akibat kehamilan ektopik
pada pasien dengan tes kehamilan negatif jarang terjadi,
tetapi pernah dilaporkan.
4. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena
kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya
pada kelainan pada gastrointestinal yang dapat
menyebabkan Shock hemoragik antara lain: perdarahan
varises oesofagus, perdarahan ulkus peptikum, Mallory
Weiss tears, dan fistula aortointestinal.5
4
2.1.3 Manifestasi Klinis Shock Hipovolemik
1. Agitasi
2. Akral dingin
3. Penurunan konsentrasi
4. Penurunan kesadaran
5. Penurunan atau tidak ada keluaran urine
6. Lemah
7. Warna kulit pucat
8. Napas cepat
9. Berkeringat
5
yaitu 15, 15-30, 30-40, dan >40%. Setiap stadium shock hipovolemik ini
dapat dibedakan dengan pemeriksaan klinis tersebut.3
1. Stadium-I adalah shock hipovolemik yang terjadi pada
kehilangan darah hingga maksimal 15% dari total volume
darah. Pada stadium ini tubuh mengkompensai dengan
dengan vasokontriksi perifer sehingga terjadi penurunan
refiling kapiler. Pada saat ini pasien juga menjadi sedkit
cemas atau gelisah, namun tekanan darah dan tekanan nadi
rata-rata, frekuensi nadi dan nafas masih dalam kedaan
normal.
2. Shock hipovolemik stadium-II afalah jika terjadi perdarahan
sekitar 15-30%. Pada stadium ini vasokontriksi arteri tidak
lagi mampu menkompensasi fungsi kardiosirkulasi,
sehingga terjadi takikardi, penurunan tekanan darah
terutama sistolik dan tekanan nadi, refiling kapiler yang
melambat, peningkatan frekuensi nafas dan pasien menjadi
lebih cemas.
3. Shock hipovolemik stadium-III bila terjadi perdarahan
sebanyak 30-40%. Gejala-gejala yang muncul pada
stadium-II menjadi semakin berat. Frekuensi nadi terus
meningkat hingga diatas 120 kali permenit, peningkatan
frekuensi nafas hingga diatas 30 kali permenit, tekanan nadi
dan tekanan darah sistolik sangat menurun, refiling kapiler
yang sangat lambat.
4. Stadium-IV adalah shock hipovolemik pada kehilangan
darah lebih dari 40%. Pada saat ini takikardi lebih dari 140
kali permenit dengan pengisian lemah sampai tidak teraba,
dengan gejala-gejala klinis pada stadium-III terus
memburuk. Kehilangan volume sirkulasi lebih dari 40%
menyebabkan terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi
semakin kecil dan disertai dengan penurunan kesadaran
atau letargik.3
6
Berdasarkan perjalanan klinis shock seiring dengan jumlah
kehilangan darah terlihat bahwa penurunan refiling kapiler, tekanan nadi
dan produksi urin lebih dulu terjadi dari pada penurunan tekanan darah
sistolik. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting
dilakukan. Pemeriksaan yang hanya berdasarkan perubahan tekanan darah
sitolik dan frekuensi nadi dapat meyebabkan kesalahan atau keterlambatan
diagnosoa dan penatalaksanaan (neglected cases).4
Tekanan nadi (mean arterial pressure: MAP) merupakan
merupakan tekanan efektif rata-rata pada aliran darah dalam arteri. Secara
matematis tekanan ini dipadapatkan dari penjumlahan tekanan sistolik
dengan dua kali tekanan diastolik.4
Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena
adanya mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya hipovolemia.
Pada awal-awal terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistim saraf
simpatis yang mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan frekuensi
jantung. Dengan demikian pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat
dipertahankan. Namun kompensasi yang terjadi tidak banyak pada
pembuuh perifer sehingga telah terjadi penurunan diastolik sehingga
secara bermakna akan terjadi penurunan tekanan nadi rata-rata.4
Berdasarkan kemampuan respon tubuh terhadap kehilangan
volume sirkulasi tersebut maka secara klinis tahap shock hipovolemik
dapat dibedakan menjadi tiga tahapan yaitu tahapan kompensasi, tahapan
dekompensasi dan tahapan irevesrsibel. Pada tahapan kompensasi,
mekanisme autoregulasi tubuh masih dapat mempertahankan fungsi
srikulasi dengan meningkatkan respon simpatis. Pada tahapan
dekompensasi, tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya
dengan baik untuk seluruh organ dan sistim organ. Pada tahapan ini
melalui mekanisme autoregulasi tubuh berupaya memberikan perfusi ke
jaringan organ-organ vital terutama otak dan terjadi penurunan aliran
darah ke ekstremitas. Akibatnya ujung-ujung jari lengan dan tungkai mulai
pucat dan terasa dingin. Selanjutnya pada tahapan ireversibel terjadi bila
7
kehilangan darah terus berlanjut sehingga menyebabkan kerusakan organ
yang menetap dan tidak dapat diperbaiki. Kedaan klinis yang paling nyata
adalah terjadinya kerusakan sistim filtrasi ginjal.3
8
A. Airway (+ lindungi tulang servikal)
B. Breathing (+ oksigen jika ada)
C. Circulation + kendalikan perdarahan
1. Posisi shock
Angkat kedua tungkai dengan menggunakan papan setinggi
45o. 300 500 cc darah dari kaki pindah ke sirkulasi sentral.
Gambar 2.1 Posisi shock.5
9
4. Pemasangan infus dan pergantian volume darah dengan
cairan/darah.
5. Cari sumber perdarahan yang tersembunyi
Rongga perut (hati, limpa, arteri), rongga pleura,
panggul atau pelvis, tulang paha (femur), kulit kepala (anak)
6. Lokasi dan Estimasi perdarahan
Fraktur femur tertutup : 1,5-2 liter
Fraktur tibia tertutup : 0,5 liter
Fraktur pelvis : 3 liter
Hemothorak : 2 liter
Fraktur iga (tiap satu) : 150 cc
Luka sekepal tangan : 500 cc
Bekuan darah sekepal : 500 cc.7
10
F. Folley Catheter
Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin
akan adanya hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan
memantau produksi urin. Darah pada urethra atau prostat dengan
letaktinggi, mudah bergerak, atau tidak tersentuh pada laki-laki
merupakan kontraindikasi mutlak bagi pemasangan kateter
urethra sebelum ada konfirmasi radiografis tentang urethra yang
utuh.7
G. Gastric Cholic Dekompresi
Dilatasi lambung seringkali terjadi pada penderita trauma,
khususnya pada anak-anak, dan dapat mengakibatkan hipotensi
atau disritmia jantung yang tak dapat diterangkan, biasanya
berupa bradikardi dari stimulasi syaraf vagus yang berlebihan.
Distensi lambung membuat terapi shock menjadi sulit. Pada
penderita yang tidak sadar, distensi lambung membesarkan
resiko aspirasi isi lambung, ini merupakan suatu komplikasi
yang bias menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan
memasukkan selang/pipa kadalam perut melalui hidung atau
mulut dan memasangnya pada penyedot untuk mengeluarkan isi
lambung. Namun walau penempatan pipa sudah baik, masih
memungkinkan terjadi aspirasi.7
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan
shock hipovolemik antara lain:
1. Memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan
ventilasi yang adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah,
dan memperbaiki aliran darah,
2. Mengontrol kehilangan darah lebih lanjut, dan
3. Resusitasi cairan.7
11
harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti
pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu
pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah
besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien.
Ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien
yang mengalami shock hipovolemik dan sebaiknya dihindari.2
Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum
Poeseuille mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan
panjang kateter infus dan berhubungan langsung dengan diameter.
Sehingga kateter infus intravena yang ideal adalah pendek dan
diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya. Jalur
intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena sphena, atau
vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik
Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan
kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat
digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling penting dalam
melakukannya adalah skill dan pengalaman.2
Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan
perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring
tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah.2
Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi
adalah kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal.
Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien
anak), dan respon pasien dinilai.2
Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil
dan darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital
membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan
darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau
tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan
(darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita usia
subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut).2
12
Jika pasien kritis dan hipotensi berat (shock derajat IV), diberikan
cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan
darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi
pasien.2
Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu
contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan.
Contoh lain dari posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien
yang sementara hamil dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan
memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan
sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan
hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg
juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat
mengganggu pertukaran udara.2
Autortransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma.
Beberapa alat diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan
retransfusi darah disediakan. Pada penanganan trauma. Darah yang
berasal dari hemothoraks dialirkan melalui selang thorakostomi.2
13
dengan reaksi negatif, seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia
miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk
penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu
menguntungkan.2
Infus somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya
pengurangan perdarahan gastrointestinal yang bersumber dari varises
dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja vasopressin tanpa efek
samping yang signifikan.2
Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-
Blakemore tube dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster
dan balon esofagus. Balon gaster pertama dikembangkan dan
dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan berlanjut. Penggunaan
selang ini dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur esofagus,
asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan tersebut,
penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara pada
keadaan yang ekstrim.2
Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi
(contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta,
ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi bedah.2
PASG dapat digunakan untuk mengendalikan perdarahan dari patah
tulang pelvis atau ekstremitas bagian bawah, namun tidak boleh
mengganggu resusitasi cairan cepat. Cukupnya perfusi jaringan
menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan. Mungkin
diperlukan operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan internal.2
3. Resusitasi Cairan
Apakah kristaloid dan koloid merupakan resusitasi terbaik yang
dianjurkan masih menjadi masalah dalam diskusi dan penelitian. Banyak
cairan telah diteliti untuk digunakan pada resusitasi, yaitu: larutan
natrium klorida isotonis, larutan ringer laktat, saline hipertonis, albumin,
fraksi protein murni, fresh frozen plasma, hetastarch, pentastarch, dan
dextran 70.
14
Pendukung resusitasi koloid membantah bahwa peningkatan
tekanan onkotik dengan menggunakan substansi ini akan
menurunkan edema pulmonal. Namun, pembuluh darah pulmonal
memungkinkan aliran zat seperti protein antara ruang intertisiel dan
ruang intravaskuler. Mempertahankan tekanan hidrostatik
pulmoner (< 15 mmHg tampaknya menjadi faktor yang lebih
penting dalam mencegah edama paru).4
Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk
meningkatkan volume intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan
akan kebenaran hal ini. Namun, mereka belum menunjukkan
perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan kristaloid.4
Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran
70 mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan koloid
alami seperti fraksi protein murni, fresh frozen plasma, dan
albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume yang sama,
tetapi karena strukturnya dan berat molekul yang tinggi, maka
kebanyakan tetap berada pada intravaskuler, mengurangi edema
intertisiel. Meskipum secara teoritis menguntungkan, penelitian
gagal menunjukkan perbedaan pada parameter ventilasi, hasil tes
fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama perawatan, atau
kelangsungan hidup.4
Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari
sebelumnya karena fakta-fakta menunjukkan bahwa hal ini dapat
meningkatkan kontraktilitas dan sirkulasi jantung. Penelitian di
Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan perbedaan
kombinasi ini jika dibandingkan dengan larutan natrium klorida
isotonik atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan
resusitasi yang dapat digunakan, tetap dianjurkan untuk
menggunakan Ringer Laktat terlebih dahulu, dan pilihan kedua
yaitu Normal Saline 0,9%.
15
Area yang lain yang menarik tentang resusitasi adalah tujuan untuk
mengembalikan volume sirkulasi dan tekanan darah kepada
keadaan normal sebelum control perdarahan.4
Komplikasi yang dapat terjadi saat terjadi Shock Hipovolemik antara lain,
1. Kerusakan ginjal
2. Kerusakan otak
3. Gangren dari lengan atau kaki, kadang-kadang mengarah ke
amputasi
4. Serangan jantung.7
2.1.7 Prognosis
Syok Hipovolemik selalu merupakan darurat medis. Namun, gejala-
gejala dan hasil dapat bervariasi tergantung pada:
1. Jumlah volume darah yang hilang
2. Tingkat kehilangan darah
3. Cedera yang menyebabkan kehilangan
4. Mendasari pengobatan kondisi kronis, seperti diabetes dan jantung,
paru-paru, dan penyakit ginjal.7
16
BAB 3
KERANGKA KONSEP
Etiologi
Manifestasi klinis
Shock
Patofisiologi
Hipovolumik
Penanganan
Shock
Hipovolumik
Prognosis
17
BAB 4
PENUTUP
4.2 Saran
Dengan mempelajari materi ini mahasiswa agar dapat lebih peka
terhadap tanda dan gejala ketika menemukan pasien yang mengalami
shock sehingga dapat melakukan pertolongan segera. Mahasiswa dapat
melakukan tindakan-tindakan untuk melakukan pertolongan segera kepada
pasien yang mengalami shock.
18
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA
19