Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

SEORANG WANITA 19 TAHUN DENGAN GIGI 5.5 PERIODONTITIS


KRONIS ET CAUSA GANGREN DAN SUPERNUMERARY INCICIVUS
SUPERIOR DEXTRA

Diajukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan senior


Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Pembimbing
drg. Nadia Hardini, Sp. KG

Disusun Oleh:
Nesha Tabita
Padaka Aji Basundoro
Peggy Rahmat Syahputra
Tiara Kasih

ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

SEORANG WANITA 19 TAHUN DENGAN GIGI 5.5 PERIODONTITIS


KRONIS ET CAUSA GANGREN DAN SUPERNUMERARY INCICIVUS
SUPERIOR DEXTRA

Disusun Oleh:

Nesha Tabita
Padaka Aji Basundoro
Peggy Rahmat Syahputra
Tiara Kasih

Semarang, 1 Agustus 2017


Pembimbing

drg. Nadia Hardini, Sp. KG


BAB I
PENDAHULUAN

Pada umumnya masyarakat sekarang enggan untuk menjaga kesehatan gigi


seperti untuk memeriksakan kesehatan gigi ke dokter. Hal ini belum menjadi
kebiasaan di masyarakat dan minimnya pengetahuan mereka tentang pentingnya
menjaga kesehatan gigi dan mulut. Padahal kesehatan gigi dan mulut sangat berperan
dalam menunjang kesehatan seseorang.
Salah satu masalah kesehatan gigi yang dihadapi masyarakt adalah penyakit
periapikal. Penyakit periapikal merupakan suatu keadaan patologis yang terlokalisir
pada daerah apeks atau ujung akar gigi. Penyakit periapikal dapat berawal dari infeksi
pulpa. Konsekuensi dari perubahan patologis pada pulpa adalah saluran akar menjadi
sumber berbagai macam iritan. Iritan-iritan yang masuk ke dalam jaringan periapikal
inilah yang akan menginisiasi timbulnya lesi periapikal.
Proses terjadinya infeksi bakteri akibat karies ini diawali ketika lesi karies
mencapai dentin, sehingga tubulus dentin menjadi jalan masuk untuk bakteri, produk
bakteri, sisa-sisa jaringan, dan iritan dari saliva. Jika karies tidak segera dirawat dan
gigi akhirnya menjadi nekrosis, maka bakteri akan berkoloni pada jaringan nekrotik
sehingga pulpa terinfeksi.
Produk metabolik dan toksin bakteri masuk ke dalam saluran akar dan
berdifusi ke dalam jaringan periapikal sehingga memicu respon inflamasi seperti
pembengkakkan dan rasa sakit. Bakteri utama penyebab terjadinya karies yaitu
Streptococcus mutan. Bakteri ini berperan dalam proses awal terjadinya karies
meskipun bakteri ini termasuk flora normal dalam rongga mulut manusia.
Di dalam rongga mulut, terdapat lebih dari 300 spesies bakteri yang
merupakan flora normal dan memiliki kemampuan untuk menginvasi saluran akar.
Bakteri-bakteri ini hidup bersimbiosis dengan host (rongga mulut), namun dapat
menjadi oportunistik dan menyebabkan penyakit ketika host kehilangan kemampuan
unuk menjaga homeostasis dan ekosistem rongga mulut. Dari semua bakteri tersebut,
hanya beberapa spesies saja yang dapat menyebabkan infeksi. Bakteri yang sering
ditemukan pada saluran akar yang terinfeksi adalah bakteri gram negatif anaerob.
Pada dinding membran sel bakteri ini terdapat lipopolisakarida (LPS) yang diyakini
memiliki korelasi dengan terbentuknya eksudat dan area radiolusen pada lesi
periapikal. Bakteri merupakan faktor esensial dalam perkembangan penyakit pulpa
dan periapikal. Adanya bakteri pada saluran akar atau pada jaringan periapikal akan
menentukan keberhasilan dari perawatan endodontik.
Periodontitis apikalis kronis (PAK) merupakan penyakit gigi yang
berkembang setelah terjadinya nekrosis pulpa dan infeksi akibat karies, trauma,
atau prosedur iatrogenik. Periodontitis apikalis kronis tidak menunjukkan gejala
atau hanya ketidaknyaman yang ringan dan dapat diklasifikasikan sebagai
periodontitis apikalis asimtomatik. Gigi dengan periodontitis apikalis kronis tidak
memberi respon terhadap rangsangan elektrik ataupun termal. Pada pemeriksaan
perkusi terdapat sedikit nyeri atau tidak sama sekali.
Kelainan gigi tidak hanya disebabkan karena infeksi tetapi juga dapat berupa
gangguan pertumbuhan dan perkembangan gigi seperti gigi berlebih atau
supernumerary teeth. Gigi berlebih (supernumerary teeth) adalah gigi tambahan atau
berlebih, sehingga jumlah gigi yang terbentuk dalam rahang lebih banyak dari
jumlah normal. Gigi berlebih dapat menyebabkan susunan gigi-geligi menjadi
berjejal atau dapat menghambat pertumbuhan gigi sebelahnya. Gigi supernumerary
dapat mempengaruhi oklusi normal karena jumlahnya yang lebih banyak dari
seharusnya, sehingga berdampak terhadap terjadinya maloklusi dan kelainan oral.
Jika gigi supernumerary erupsi di luar lengkung rahang, oklusi yang normal
mungkin tidak terganggu, namun apabila erupsi dalam lengkung gigi tempat gigi
permanen seharusnya erupsi maka dapat menyebabkan terjadinya maloklusi.
Mengingat gigi supernumerary mempunyai pengaruh dan menjadi salah satu
penyebab maloklusi, maka tindakan pencegahan serta penatalaksanaan maloklusi
akibat dari gigi supernumerary harus diketahui dan dipahami oleh setiap dokter gigi.
Sehingga diperlukan manajemen dan perawatan yang lebih cermat, sesuai dengan
kasusnya; apakah fase gigi sulung, gigi campuran atau gigi tetap. Secara garis besar
perawatan gigi supernumerary terdiri dari ekstraksi gigi, perawatan ortodontik dan
bedah pada gigi yang impaksi. Secara umum, pengangkatan gigi supernumerary
bertujuan membantu gigi permanen untuk dapat erupsi secara normal dan
menghasilkan susunan gigi yang normal pula.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fungsi Jaringan Periodontal


Periodontal merupakan jaringan yang menyangga/pendukung gigi rahang atas
dan rahang bawah. Jaringan periodontal terdiri dari gingiva dan jaringan
periradikuler. Jaringan periradikular terdiri dari sementum, yang menutupi akar gigi,
prosesus alveolar yang membentuk saluran tulang yang berisi akar gigi, dan ligament
periodontal, yang serabut kolagennya, tertanam di dalam sementum akar dan di dalam
prosesus alveolar, mengikatkan akar pada jaringan di sekelilingnya. Pada daerah ini
terletak jalan masuk dan keluar antara saluran akar dan jaringan disekitarnya dan
muncul reaksi patologik terhadap penyakit pulpa.
1. Gingiva
Secara awam lebih dikenal dengan istilah gusi. Jaringan gingiva berjalan
melapisi tonjolan alveolar dan berakhir pada leher gigi. Gingiva yang sehat biasanya
berwarna merah muda, tergantung etnis individu. Makin gelap kulit seseorang, makin
gelap pula warna merah gingivanya. Konsistensinya padat dan melekat pada tulang
alveolar di bawahnya.
Pembagian gingival adalah sebagai berikut:
a. Marginal gingiva
Yaitu merupakan bagian dari gingiva yang mengelilingi leher gigi, yang terletak
dibagian labial,bukal,dan lingual.
b. Attached gingiva
yaitu merupakan bagian dari gingiva yang melekat pada gigi atau prosesus
alveolaris yang memberikan texture (bentuk).
c. Interdental gingival
yaitu merupakan bagian gingival yang memenuhi interproximal space ( ruang
antar dua gigi ).
d. Sulkus gingival
yaitu merupakan ruang antara gingiva dan gigi yang pada keadaan normal
mempunyai kedalaman kurang lebih 2 mm.
2. Ligamen Periodontal
Ligamen periodontal terdiri atas serabut jaringan ikat berkolagen, berwarna
putih, yang mengelilingi akar gigi dan melekat ke prosesus alveolar.
Fungsi ligamen periodontal adalah :
a. Memelihara aktivitas biologik sementum dan tulang
b. Menyuplai nutrisi dan membersihkan produk sisa melalui aliran darah dan limfe
c. Memelihara relasi gigi terhadap jaringan keras dan lunak
d. Menghantarkan tekanan dan sensasi nyeri melalui jalur trigeminal. Rasa
mengenai lokasi di rongga mulut diteruskan melalui ujung saraf proprioseptif.
3. Sementum
Sementum merupakan lapisan terluar pada akar gigi yang membatasi gigi
dengan jaringan pendukungnya. Sementum berasal dari jaringan mesoderm, yaitu
susunan dan asal yang sama dengan jaringan tulang. Sementum memiliki kemampuan
untuk melakukan regenerasi bila dihubungkan dengan jaringan pendukung gigi, sama
halnya dengan dentin. Tetapi perbedaan antara dentin dan sementum secara kimia,
dentin lebih keras dari sementum, karena dentin lebih banyak mengandung bahan
kimia anorganik 69 persen. Bahan anorganik pada sementum sama dengan tulang
yaitu 40 persen. Bila terjadi rangsangan yang kuat pada gigi maka akan terjadi
Resorpsi/penyerapan sel sementum pada sisi yang terkena rangsang, dan pada sisi
yang berlawanan terbentuk sementum baru.
Fungsi utama sementum adalah :
a. Menahan gigi pada soker tulang dengan perantaraan serabut principal ligamen
periodonsium
b. Mengkompensasi keausan struktur gigi karena pemakaian dengan pembentukan
terus-menerus
c. Memudahkan terjadinya pergeseran mesial fisiologis
d. Memungkinkan penyusunan kembali serabut ligamen periodonsium secara
terus-menerus
4. Tulang alveolar
Tulang alveolar merupakan penyangga gigi yang utama.
Berdasarkan fungsi dan adaptasinya, tulang alveolar dapat dibagi menjadi 2 bagian :
a. Tulang alveolar propium
Yaitu lapisan tipis tulang yang mengelilingi akar dan memberikan tempat
perlekatan bagi ligamen periodontal.
b. Tulang alveolar pendukung
Yaitu bagian prosesus alveolar yang mengelilingi tulang alveola

Gambar. Anatomi gigi


2.2 Definisi Penyakit Periodontal

Penyakit periodontal adalah infeksi yang telah mengenai jaringan pendukung


gigi. Penyakit periodontal terjadi bila racun bakteri dan enzim merusak jaringan
pendukung gigi dan tulang. Plak yang melekat pada gigi jika tidak dibersihkan dalam
waktu 48 jam akan menjadi suatu deposit keras yang disebut kalkulus. Kalkulus yang
berada di bawah gusi akan menyebabkan infeksi dan inflamasi, proses ini tidak
menimbulkan rasa sakit sehingga seringkali seseorang tidak sadar jika dia sudah
terjangkit penyakit periodontal. Penyakit yang paling sering mengenai jaringan
periodontal adalah gingivitis dan periodontitis.

2.2.1 Periodontitis

Periodontitis merupakan peradangan yang sudah sampai ke jaringan pendukung


gigi yang lebih dalam. Penyakit ini bersifat progresif dan irreversible. Apabila tidak
dirawat dapat menyebabkan kehilangan gigi. Periodontitis merupakan kelanjutan dari
gingivitis yang tidak dirawat, dimana plak yang menjadi penyebab utama sudah
terdapat dibagian subgingiva yang berkaitan dengan jaringan. Pengamatan
mikroskopis terhadap plak periodontitis menunjukkan persentase yang tinggi dari
spesies anaerob gram negatif. Bakteri yang terkultur dari lesi periodontitis dalam
jumlah yang tinggi adalah Porphyromonas gingivalis, Bacteroides forchytus,
Prevotella intermedia, Fusobacterium nucleatum, Actinomyces
actinomycetemcomitans, dan spesies Treponema dan Eubacterium.

Gambar. Periodontitis

2.2.2 Periodontitis Kronis

Periodontitis kronis merupakan penyakit dengan tipe progresif yang lambat.


Dengan adanya faktor sistemik, seperti diabetes, perokok, atau stress, progres
penyakit akan lebih cepat karena faktor tersebut dapat merubah respon host terhadap
akumulasi plak.
Periodontitis kronis adalah hasil dari respon host pada agregasi bakteri di
permukaan gigi. Mengakibatkan kerusakan irreversibel pada jaringan perlekatan,
yang menghasilkan pembentukan poket periodontal dan kehilangan tulang alveolar
pada akhirnya. Terjadinya periodontitis severe pada orang dewasa muda memiliki
dampak buruk terhadap gigi mereka tapi dalam beberapa perawatan kasus penyakit
periodontal dapat berhasil. Diagnosis periodontitis dan identifikasi individu yang
terkena kadang-kadang menjadi sulit karena tidak ada gejala yang dilaporkan. Oleh
karena itu dianjurkan dokter harus memahami kerentanan pasien pada periodontitis
dengan mengevaluasi eksposur mereka terhadap faktor risiko yang terkait sehingga
deteksi dini dan manajemen yang tepat dapat dicapai. Kerusakan periodontitis telah
digambarkan sebagai konsekuensi dari interaksi antara faktor genetik, lingkungan,
mikroba dan faktor host.
Secara radiografis, periodontitis apikalis kronis menunjukkan
perubahan gambaran dasar radiolusen periapikal. Perubahan berawal dari penebalan
ligamentum periodontal dan resopsi lamina dura kemudian terjadi destruksi tulang
periapikal. Secara histologi periodontitis apikalis kronis dapat digolongkan menjadi
menjadi granuloma dan kista. Granuloma merupakan jaringan granulasi yang
terbentuk sebagai respon jaringan periapikal yang kronis terhadap inflamasi dan
proses nekrosis jaringan pulpa. Pembentukan granuloma dimulai dengan terjadinya
proliferasi sel epitel di periapeks, sehingga membentuk jaringan granulasi akibatnya
sel yang berada di tengah masa epitel tidak mendapatkan suplai nutrisi. Tekanan
dalam jaringan granulasi membesar dan menekan jaringan sehat serta tulang di
sekitarnya, sehingga terjadi resopsi tulang yang terlihat secara radiografis. Kista
radikuler merupakan rongga patologis di daerah periapikal yang berisi cairan
semifluid dan dilapisi sel-sel epitel yang merupakan hasil dari peradangan akibat
nekrosis pulpa.
Gambar. Periodontitis kronik

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko terjadinya Periodontitis Kronis

Periodontitis merupakan penyakit yang disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor


utama terjadinya periodontitis adalah terdapatnya akumulasi plak pada gigi dan
gingiva.
Ada beberapa faktor yang ikut berkontribusi dalam peningkatan resiko
terjadinya penyakit, antara lain:
1. Faktor lokal. Akumulasi plak pada gigi dan gingiva pada dentogingiva
junction merupakan awal inisiasi agen pada etiologi periodontitis
kronis. Bakteri biasanya memberikan efek lokal pada sel dan jaringan
berupa inflamasi.
2. Faktor sistemik. Kebanyakan periodontitis kronis terjadi pada pasien
yang memiliki penyakit sistemik yang mempengaruhi keefektivan
respon host. Diabetes merupakan contoh penyakit yang dapat
meningkatkan keganasan penyakit ini.
3. Lingkungan dan perilaku merokok dapat meningkatkan keganasan
penyakit ini. Pada perokok, terdapat lebih banyak kehilangan
attachment dan tulang, lebih banyak furkasi dan pendalaman poket.
Stres juga dapat meningkatkan prevalensi dan keganasan penyakit ini
4. Genetik. Biasanya kerusakan periodontal sering terjadi di dalam satu
keluarga, ini kemungkinan menunjukkan adanya faktor genetik yang
mempengaruhi periodontitis kronis ini.

2.4 Karakteristik Umum Periodontitis Kronis


Karakteristik yang ditemukan pada pasien periodontitis kronis yang belum
ditangani meliputi akumulasi plak pada supragingiva dan subgingiva, inflamasi
gingiva, pembentukan poket, kehilangan periodontal attachment, kehilangan tulang
alveolar, dan kadang-kadang muncul supurasi.
Pada pasien dengan oral hygiene yang buruk, gingiva membengkak dan
warnanya antara merah pucat hingga magenta. Hilangnya gingiva stippling dan
adanya perubahan topografi pada permukaannya seperti menjadi tumpul dan rata
(cratered papila). Pada banyak pasien karakteristik umum seringkali tidak terdeteksi,
dan inflamasi hanya terdeteksi dengan adanya pendarahan pada gingiva sebagai
respon dari pemeriksaan poket periodontal. Kedalaman poket bervariasi, dan
kehilangan tulang secara vertikal maupun horizontal dapat ditemukan. Kegoyangan
gigi terkadang muncul pada kasus yang lanjut dengan adanya perluasan hilangnya
attachment dan hilangnya tulang.

2.5 Patogenesis Periodontitis Kronis


Penyakit periodontal yang disebabkan karena reaksi inflamasi local terhadap
infeksi bakteri gigi dan dimanifestasikan oleh rusaknya jaringan pendukung gigi.
Gingivitis merupakan bentuk dari penyakit periodontal dimana terjadi inflamasi
gingiva, tetapi kerusakan jaringan ringan dan dapat kembali normal. Periodontitis
merupakan respon inflamasi kronis terhadap bakteri subgingiva, mengakibatkan
kerusakan jaringan periodontal irreversible sehingga dapat berakibat kehilangan gigi.
Pada tahap perkembangan awal, keadaan periodontitis sering menunjukkan
gejala yang tidak dirasakan oleh pasien. Periodontitis didiagnosis karena adanya
kehilangan perlekatan antara gigi dan jaringan pendukung (kehilangan perlekatan
klinis) ditunjukkan dengan adanya poket dan pada pemeriksaan radiografis terdapat
penurunan tulang alveolar. Penyebab periodontitis adalah multifaktor, karena adanya
bakteri patogen yang berperan saja tidak cukup menyebabkan terjadi kelainan.
Respon imun dan inflamasi pejamu terhadap mikroba merupakan hal yang juga
penting dalam perkembangan penyakit periodontal yang destruktif dan juga
dipengaruhi oleh pola hidup, lingkungan dan faktor genetik dari penderita.
Pada periodontitis, terdapat plak mikroba gram negatif yang berkolonisasi
dalam sulkus gingiva (plak subgingiva) dan memicu respon inflamasi kronis. Sejalan
dengan bertambah matangnya plak, plak menjadi lebih patogen dan respon inflamasi
pejamu berubah dari keadaan akut menjadi keadaan kronik. Apabila terjadi kerusakan
jaringan periodontal, akan ditandai dengan terdapatnya poket. Semakin dalamnya
poket, semakin banyak terdapatnya bakteri subgingiva yang matang. Hal ini
dikarenakan poket yang dalam terlindungi dari pembersih mekanik (penyikatan gigi)
juga terdapat aliran cairan sulkus gingiva yang lebih konstan pada poket yang dalam
dari pada poket yang diangkat.

2.6 Klasifikasi Periodontitis Kronis


Berikut adalah klasifikasi dari periodontitis kronis:
1. Periodontitis dewasa kronis
Tipe ini adalah tipe periodontitis yang berjalan lambat, terjadi pada 35 tahun keatas.
Kehilangan tulang berkembang lambat dan didominasi oleh bentuk horizontal. Faktor
etiologi utama adalah faktor lokal terutama bakteri gram negatif. Tidak ditemukan
kelainan sel darah dan disertai kehilangan tulang
2. Early Onset Periodontitis (EOP)
a) Periodontitis prepubertas: Tipe ini adalah tipe yang terjadi setelah erupsi
gigi sulung. Terjadi dalam bentuk yang terlokalisir dan menyeluruh. Tipe ini
jarang terjadi dan penyebarannya tidak begitu luas.
b) Periodontitis juvenil (periodontosis), Localised Juvenil Periodontitis (LJP)
adalah penyakit peridontal yang muncul pada masa pubertas. Gambaran klasik
ditandai dengan kehilangan tulang vertikal yang hebat pada molar pertama
tetap, dan mungkin pada insisif tetap. Biasanya, akumulasi plak sedikit dan
mungkin tidak terlihat atau hanya sedikit inflamasi yang terjadi. Predileksi
penyakit lebih banyak pada wanita dengan perbandingan wanita:pria 3:1.
Bakteri yang terlibat pada tipe ini adalah Actinobacillus
actinomycetemcomittans. Bakteri ini menghasilkan leukotoksin yang bersifat
toksis terhadap leukosit, kolagenase, endotoksin, dan faktor penghambat
fibroblas. Selain bentuk terlokalisir, juga terdapat bentuk menyeluruh yang
mengenai seluruh gigi-geligi.
c) Periodontitis yang berkembang cepat adalah penyakit yang biasanya
dimulai sekitar masa pubertas hingga 35 tahun. Ditandai dengan resorbsi
tulang alveolar yang hebat, mengenai hampir seluruh gigi. Bentuk kehilangan
yang terjadi vertikal atau horizontal, atau kedua-duanya. Banyaknya
kerusakan tulang nampaknya tidak berkaitan dengan banyaknya iritan lokal
yang ada. Penyakit ini dikaitkan dengan penyakit sistemik (seperti diabetes
melitus, sindrom down, dan penyakit-penyakit lain), tetapi dapat juga
mengenai individu yang tidak memiliki penyakit sistemik. Keadaan ini dibagi
dalam dua subklas:
1. Tipe A: terjadi antara umur 14-26 tahun. Ditandai dengan kehilangan tulang
dan perlekatan epitel yang cepat dan menyeluruh.
2. Tipe B: ditandai dengan kehilangan tulang dan perlekatan epitel yang cepat
dan menyeluruh pada usia antara 26-35 tahun.
3. Nekrosis ulseratif gingivo-periodontitis (NUG-P) adalah bentuk periodontitis
yang biasanya terjadi setelah episode berulang dari gingivitis ulseratif
nekrosis akut dalam jangka waktu lama, yang tidak dirawat atau dirawat tetapi
tidak tuntas. Pada tipe ini terjadi kerusakan jaringan di interproksimal,
membentuk lesi seperti kawah, baik pada jaringan lunak mapun tulang
alveolar.
3. Periodontitis yang berkaitan dengan penyakit sistemik
2.7 Gangren Radiks
Gangren radiks adalah tertinggalnya sebagian akar gigi. Etiologi Gangren
radiks dapat disebabkan oleh karies, trauma, atau ekstraksi yang tidak sempurna.
Manifestasi Klinis yang didapat dari gangrene bisa terjadi tanpa keluhan sakit, dalam
keadaan demikian terjadi perubahan warna gigi, dimana gigi terlihat berwarna
kecoklatan. Pada inspeksi sudah tidak terlihat lagi bagian dari mahkota gigi. Pada
gangren radiks, tidak dilakukan pemeriksaan sondasi dan vitalitas, pada
perkusi tidak menimbulkan nyeri.

Gambar. Gangren Radiks


2.8 Patogenesis Gangren Radiks
Karies dapat terjadi akibat pertumbuhan bakteri di dalam mulut yang mengubah
karbohidrat yang menempel pada gigi menjadi suatu zat bersifat asam yang
mengakibatkan demineralisasi email. Umumnya, proses remineralisasi dapat
dilakukan oleh air liur, namun jika terjadi ketidakseimbangan antara demineralisasi
dan remineralisasi, maka akan terbentuk lubang pada gigi. Karies kemudian dapat
meluas dan menembus lapisan dentin. Pada tahap ini, jika tidak ada perawatan, dapat
mengenai daerah pulpa gigi yang banyak berisi pembuluh darah, limfe dan syaraf.
Pada akhirnya, akan terjadi nekrosis pulpa, meninggalkan jaringan mati dan gigi akan
keropos perlahan hingga tertinggal sisa akar gigi.
Mahkota gigi dapat patah akibat trauma pada gigi, seperti terbentur benda keras
saat terjatuh, berkelahi, atau sebab lainnya. Seringkali mahkota gigi yang
patah menyisakan akar gigi yang masih tertanam dalam gusi, dengan pulpa gigi yang
telah mati. Pencabutan tidak sempurna juga sering menyebabkan gangren
radiks. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain struktur gigi yang rapuh,
akar gigi yang bengkok, akar gigi yang menyebar, kalsifikasi gigi, dan tekanan yang
berlebihan pada waktu tindakan pencabutan. Sisa akar gigi atau gangren radiks yang
hanya dibiarkan saja dapat muncul keluar gusi setelah beberapa waktu, hilang
sendiri karena teresorbsi oleh tubuh, atau dapat berkembang menjadi abses,
kista dan neoplasma. Setiap sisa akar gigi juga berpotensi untuk mencetuskan
infeksi pada akar gigi dan jaringan penyangga gigi. Infeksi ini
menimbulkan rasa sakit dari ringan sampai hebat, pembengkakan pada gusi atau
wajah hingga sukar membuka mulut (trismus). Pasien terkadang menjadi lemas
karena susah makan. Infeksi pada akar gigi maupun jaringan penyangga gigi
dapat mengakibatkan migrasinya bakteri ke organ yang lain melalui pembuluh darah
yang dikenal dengan fokal infeksi. Bakteri yang berasal dari infeksi gigi dapat meluas
ke jaringan sekitar rongga mulut, kulit, mata, saraf, atau organ berjauhan seperti otot
jantung, ginjal, lambung, persendian, dan lain sebagainya. Gigi atau sisa akar
seperti ini sebaiknya segera dicabut (ekstraksi). Antibiotik umumnya diberikan
beberapa hari sebelumnya untuk menekan infeksi yang telah terjadi.
2.9 Anomali Gigi
Anomali gigi atau sering disebut kelainan gigi geligi yaitu gigi yang bentuknya
menyimpang dari bentuk aslinya.
Faktor-faktor yang menyebabkan anomali gigi:
1. Gangguan metabolisme
2. Faktor herediter
3. Gangguan pada waktu pertumbuhan, perkembangan gigi
Anomali gigi sering terjadi:
a. Bentuk abnormal atau terjadi perubahan bentuk
b. Gigi kembar (bersatu)/ fused anterior teeth
c. Kelebihan gIgi atau supernumerary (extra) tooth
d. Anodontia yaitu tidak ada benih gigi di dalam rahang
e. Untuk gigi tetap lebih banyak daripada gigi susu
f. Untuk gigi geligi atas lebih banyak daripada gigi geligi bawah
Anomali gigi berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi :
A. Gangguan formatif
Kelainan numerik
Kelainan bentuk dan ukuran
Gangguan pembentukan struktur jaringan
B. Gangguan erupsi
Gangguan waktu muncul
Kelaian tempat
C. Gangguan pasca pembentukan
Kanies
Erosi
Abrasi (mekanis)
Atrisi (terpakai untuk mengunyah)
Hipersementosis
Sementoblastoma
. Akar tambahan
2.9.1 Supernumerary Teeth (Jumlah gigi yang berlebih)
Definisi Hiperdonsia atau dens supernumerary atau supernumerary teeth yaitu
adanya satu atau lebih elemen gigi melebihi jumlah gigi yang normal, dapat terjadi
pada gigi sulung maupun gigi tetap. Gigi ini bisa erupsi dan bisa juga tidak erupsi.
Beberapa penelitian melaporkan prevalensinya pada anak-anak 0,3 2,94 %.
Menurut Bodin dan Kaler, kasus ini lebih banyak dijumpai pada laki-laki.
Akibat yang ditimbulkan tergantung pada posisi yang berlebih, dapat berupa ;
malposisi, krowded, tidak erupsinya gigi tetangga, persistensi gigi sulung,
terlambatnya 4 erupsi gigi insisivus sentralis tetap, rotasi, diastema, impaksi, resobsi
akar dan hilangnya vitalitas. Pembentukan kista dan masalah estetis juga dapat
dijumpai.
Diagnosa awal dari anomali ini sangat perlu untuk menghindari kerusakan yang
lebih parah, gigi berlebih ini dapat didiagnosa dengan pemeriksaan radiografi, juga
dengan tanda-tanda klinis yang dapat menimbulkan keadaan patologis.
Tanda-tanda klinis gigi berlebih ini antara lain terhambatnya erupsi gigi sulung,
terhambatnya erupsi gigi pengganti, perubahan hubungan aksial dengan gigi tetangga
dan rotasi gigi insisivus tetap.
Berdasarkan lokasinya gigi berlebih dapat dibagi yaitu :
a. Mesiodens
Lokasinya di dekat garis median diantara kedua gigi insisivus sentralis terutama
pada gigi tetap rahang atas. Jika gigi ini erupsi biasanya ditemukan di palatal atau
diantara gigi-gigi insisivus sentralis dan paling sering menyebabkan susunan yang
tidak teratur dari gigi-gigi insisivus sentralis. Gigi ini dapat juga tidak erupsi sehingga
menyebabkan erupsi gigi insisivus satu tetap terlambat, malposisi atau resobsi akar
gigigigi insisivus didekatnya

Gambar. Super numerary teeth mesiodens


b. Laterodens
Laterodens berada di daerah interproksimal atau bukal dari gigi-gigi selain
insisivus sentralis.
c. Distomolar
Lokasinya di sebelah distal gigi molar tiga.

Gambar. Super numerary teeth distomolar


2.9.2 Perawatan
Perawatan pilihan untuk masing-masing kasus harus dianalisa secara individual,
tergantung kepada jenis dan posisi gigi yang berlebih. Secara garis besar
perawatannya dilakukan dengan pencabutan, pengambilan secara bedah (bila gigi
tersebut tidak dapat erupsi) atau pada kasus tertentu gigi dibiarkan berada dalam
mulut dengan observasi (misal distomolar di belakang molar tiga dan tidak
mengganggu).
Pada kasus diastema yang disebabkan mesiodens, perawatan dilakukan dengan
pencabutan, kemudian dilanjutkan dengan perawatan ortodonti. Waktu yang ideal
untuk pengambilan gigi berlebih pada regio depan adalah usia 6-7 tahun, karena akar
insisivus sentralis sedang berkembang, namun belum sepenuhnya terbentuk. Penting
untuk memonitor ruangan yang ada serta oklusinya selama periode ini.
2.10 Penatalaksanaan Ekstraksi Gigi
Ekstraksi gigi adalah cabang dari ilmu kedokteran gigi yang menyangkut
pencabutan gigi dari soketnya pada tulang alveolar. Ekstraksi gigi yang ideal yaitu
penghilangan seluruh gigi atau akar gigi dengan minimal trauma atau nyeri
yang seminimal mungkin sehingga jaringan yang terdapat luka dapat sembuh
dengan baik dan masalah prostetik setelahnya yang seminimal mungkin.
Di bawah ini adalah beberapa contoh indikasi dari pencabutan gigi.
a. Karies yang parah
b. Nekrosis pulpa
c. Penyakit periodontal yang parah
d. Alasan orthodontik
e. Gigi yang mengalami malposisi
f. Gigi yang retak , dll
Kontraindikasi
Semua kontraindikasi baik lokal ataupun sistemik, dapat relatif atau
mutlak bergantung pada kondisi umum pasien.
Kontraindikasi relatif :
a. Lokal
1. Periapikal patologi, jika pencabutan gigi dilakukan maka infeksi akan
menyebar luas dan sistemik, jadi antibiotik harus diberikan sebelum dilakukan
pencabutan gigi.
2. Adanya infeksi oral seperti Vincents Angina, Herpetic
gingivostomatitis. Hal ini harus dirawat terlebih dahulu sebelum
dilakukan pencabutan gigi.
3. Perikoronitis akut, perikoronitis harus dirawat terlebih dahulu sebelum
dilakukan pencabutan pada gigi yang terlibat, jika tidak maka infeksi bakteri
akan menurun ke bagian bawah kepala dan leher
4. Penyakit ganas, seperti gigi yang terletak di daerah yang terkena tumor. Jika
dihilangkan bisa menyebarkan sel sel dan dengan demikian mempercepat
proses metastatik.
5. Pencabutan gigi pada rahang yang sebelumnya telah dilakukan iradiasi dapat
menyebabkan osteoradionekrosis, oleh karena itu harus dilakukan tindakan
pencabutan yang sangat ekstrem atau khusus.
c. Sistemik
2. Diabetes tidak terkontrol, pasien diabetes lebih rentan terhadap infeksi dan
proses penyembuhan lukanya akan lebih lama. Pencabutan gigi harus dilakukan
setelah melakukan diagnosis pencegahan yang tepat pada penyakit diabetes
pasien dan dibawah antibiotik profilaksis.
3. Penyakit jantung, seperti hipertensi, gagal jantung, miokard infark, dan
penyait arteri koroner.
4. Dyscrasias darah, pasien anemia, hemofilik dan dengan gangguan
perdarahan harus ditangani dengan sangat hati hati untuk mencegah
perdarahan pasca operasi yang berlebihan.
5. Medically compromised, pasien dengan penyakit yang melemahkan (
seperti TB ) dan riwayat medis miskin harus diberikan perawatan yang tepat
dan evaluasi preoperatif kondisi umum pada pasien adalah suatu keharusan.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Nn. R
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 19 tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Tembalang
Tgl. Pemeriksaan : 31 Agustus 2017

3.2 Anamnesis
(Autoanamnesis pada 31 Agustus 2017 pukul 11.30 di Poliklinik Gigi dan Mulut
RSND)
Keluhan utama : Nyeri gigi kanan atas belakang dengan patah sebagian

Riwayat Penyakit Sekarang:


2 tahun yang lalu, gigi kanan atas patah sebagian dan terkadang terasa nyeri.
Rasa nyeri dialami semakin lama semakin bertambah berat. Rasa nyeri dirasakan
bahkan saat pasien diam saja dan bertambah nyeri jika makan makanan yang keras.
Pasien belum menerima pengobatan apapun. Pasien juga mengeluhkan adanya gigi
patah pada bagian bawah kanan. Pasien juga mengeluhkan terdapat gigi tambahan di
bagian rahang atas depan. Riwayat perdarahan gusi disangkal. Riwayat demam
disangkal. Sehari-hari pasien menggosok gigi hanya 2x sehari saat mandi. Pasien lalu
memeriksakan diri ke RSND.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat alergi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat Hipertensi disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pekerjaan pasien adalah mahasiswa. Pasien belum menikah. Pasien menggunakan
kartu BPJS.

3.3. Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pemeriksaan fisik 31 Agustus 2017 pukul 11.30 WIB di Poliklinik
Gigi dan Mulut RSDK
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Nyeri : VAS 3
Keadaan gizi : Baik
Tanda-tanda vital ;
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 24x/menit
Suhu : 36,5oC
Gambaran umum lainnya;
Tinggi Badan : tidak diperiksa
Berat Badan : tidak diperiksa
Hidrasi : Baik
Edema :-
Pucat :-
Clubbing finger: -
Jaundice :-
Pemeriksaan Ekstraoral
Wajah
Inspeksi : simetris
Mata : diplopia (-), injeksi conjunctiva (-)
Hidung : deviasi (-), discharge (-)
Telinga : discharge (-)
Mulut : trismus (-)
Sensorik : Normoesthesia
Leher
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Pembesaran limfonodi (-), nyeri tekan (-)
Pemeriksaan Intraoral
Mukosa pipi : edema (-/-), hiperemis (-/-)
Mukosa palatum : edema (-/-), hiperemis (-/-)
Mukosa dasar mulut/lidah : edema (-), hiperemis (-)
Mukosa pharynx : edema (-), hiperemis (-/-)
Ginggiva atas : edema (-/-), hiperemis (-/-)
Ginggiva bawah : abses subgingiva(-/+)
Kalkulus/plak : pada semua regio
Palatum : stomatitis di palatum durum
Gigi anomali : Supernumery teeth
Odontogram

UE UE

UE UE

Keterangan:
- Gigi 5.5 terdapat karies pada sisi oklusolabial, gigi 8.4 terdapat karies pada
sisi oklusolingual
- Terdapat satu buah gigi tambahan di belakang antara gigi 1.1 dan 1.2
- Gigi 1.8, 2.8, 3.8, 4.8 unerupted

Status Lokalis
Gigi 5.5
Inspeksi : karies (+), terdapat sisa patahan
Sondasi : nyeri (+)
Perkusi : tidak nyeri
Tekanan : tidak nyeri
Palpasi : ginggiva tidak gampang berdarah
Vitalitas : tidak vital
Mobilitas : tidak mobile
Gigi 8.4
Inspeksi : karies (+), terdapat sisa patahan
Sondasi : nyeri (+)
Perkusi : tidak nyeri
Tekanan : tidak nyeri
Palpasi : ginggiva tidak gampang berdarah
Vitalitas : tidak vital
Mobilitas : tidak mobile

Status Dental
Inspeksi :
- Gigi 5.5 terdapat karies pada sisi oklusolabial, gigi 8.4 terdapat karies pada
sisi oklusolingual
- Terdapat satu buah gigi tambahan di belakang antara gigi 1.1 dan 1.2
- Gigi 1.8, 2.8, 3.8, 4.8 unerupted
Sondasi : Gigi 5.5, 8.4 nyeri (+)
Perkusi : tidak nyeri
Palpasi : tidak nyeri
Vitalitas : tidak vital

Mobilitas : tidak ada gigi yang goyang


Gambar. Foto klinis

3.4. Diagnosis Kerja


Gigi 5.5 dan 8.4 periodontitis apikalis kronis et causa gangren radix

3.5. Diagnosis Tambahan


Supernumeray teeth

3.6. Rencana Terapi


Komprehensif:
Rujuk ke dokter gigi, usulan pemeriksaan lebih lanjut dan ekstraksi gigi 5.5 dan
8.4
Pemberian Amoxicillin dan Asam Mefenamat
Definitif : Ekstraksi gigi 5.5 dan 8.4

Edukasi :
Menjelaskan pada pasien dan keluarga bahwa perlunya rujukan ke dokter gigi
Menjelaskan pada pasien dan keluarga pasien kemungkinan tindakan ekstraksi
yang akan dilakukan
Menjelaskan pada pasien bahwa terdapat gigi yang jumlahnya melebihi gigi
normal
Menjelaskan pada pasien dan keluarga pasien mengenai oral higiene yang baik
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang perempuan 19 tahun datang dengan keluhan nyeri gigi kanan atas belakang
dengan patah sebagian. 2 tahun yang lalu, gigi kanan atas patah sebagian dan
terkadang terasa nyeri. Rasa nyeri dialami semakin lama semakin bertambah berat.
Rasa nyeri dirasakan bahkan saat pasien diam saja dan bertambah nyeri jika makan
makanan yang keras. Pasien belum menerima pengobatan apapun. Pasien juga
mengeluhkan adanya gigi patah pada bagian bawah kanan. Pasien juga mengeluhkan
terdapat gigi tambahan di bagian rahang atas depan. Riwayat perdarahan gusi
disangkal. Riwayat demam disangkal. Sehari-hari pasien menggosok gigi hanya 2x
sehari saat mandi. Pasien lalu memeriksakan diri ke RSND. Pasien tidak memiliki
riwayat alergi, hipertensi, maupun diabetes melitus.
Dari hasil pemeriksaan fisik ekstra-oral, pada inspeksi wajah simetris dan
tidak ada kelainan. Pada pemeriksaan leher tidak didapatkan pembesaran limfonodi.
Pada pemeriksaan status lokalis di gigi 5.5 didapatkan hasil inspeksi terdapat karies
pada sisi oklusolabial dan pada gigi 8.4 didapatkan karies pada sisi oklusolingual.
Pemeriksaan perkusi dan tekanan tidak nyeri. Pemeriksaan palpasi tidak didapatkan
gusi mudah berdarah dan tidak nyeri. Tes vitalitas didapatkan gigi tidak vital.
Pemeriksaan sondasi pada gigi 5.5 dan 8.4 didapatkan nyeri. Tidak didapatkan gigi
yang mobile pada gigi 5.5 maupun 8.4. Pada pemeriksaan status dental gigi
didapatkan gigi 5.5 terdapat karies pada sisi oklusolabial, gigi 8.4 terdapat karies pada
sisi oklusolingual, terdapat satu buah gigi tambahan diantara gigi 1.1 dan 1.2, gigi
1.8, 2.8, 3.8, 4.8 unerupted. Tes sondasi positif pada gigi 5.5 dan 8.4. Pemeriksaan
perkusi dan palpasi didapatkan tidak nyeri. Tes vitalitas didapatkan gigi tidak vital.
Tidak ada gigi yang goyang. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien ini
didiagnosis periodontitis apikalis kronis et causa gangren radix pada gigi 5.5 dan 8.4.
Berdasarkan data yang didapat telah diketahui bahwa penyebab terjadinya
periodontitis kronis adalah gangren radix. Keadaan gangren radix ditandai dengan tes
vitalitas negatif yang menunjukkan bahwa gigi 5.5 dan 8.4 sudah non vital.
Sedangkan periodontitis kronis di tandai dengan hasil perkusi, tekanan, dan palpasi
yang negatif dan riwayat sakit gigi. Pasien juga memiliki diagnosis tambahan
supernumery teeth, dimana terdapat gigi tambahan di belakang gigi antara gigi 1.1
dan 1.2
Terapi yang dapat diberikan oleh dokter umum adalah pemberian antibiotik
amoxicilin dan asam mefenamat. Terapi definitif pada pasien adalah ekstraksi karena
gigi sudah nekrosis dan tidak dapat dipertahankan. Tujuan dari tatalaksanan ini
adalah untuk menghilangkan ketidaknyamanan pasien dan untuk mencegah terjadinya
infeksi. Dengan demikian dapat meningkatkan kesejahteraan hidup pasien. Terapi
definitif pada pasien ini akan dirujuk kepada teman sejawat dokter gigi.
Selain itu, pasien perlu di edukasi mengenai perlunya rujukan ke dokter gigi,
menjelaskan kemungkinan tindakan ekstraksi yang akan dilakukan pada gigi yang
sakit, menjelaskan bahwa terdapat gigi yang jumlahnya melebihi gigi normal dan
menyarankan agar pasien berkonsultasi lebih lanjut dengan dokter gigi mengenai gigi
tambahan tersebut dan menjelaskan mengenai oral higiene yang baik.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Telah diperiksa seorang perempuan 19 tahun dengan diagnosis periodontitis kronis et
causa gangren radix pada gigi 5.5 dan gigi 8.4 disertai diagnosis tambahan
supernumery teeth. Penegakan diagnosis pada pasien dilakukan dari anamnesis dan
pemeriksaan intraoral dan ekstraoral. Penanganan pasien pada gigi yang terkena
periodontitis kronis et causa gangren radix berupa ekstraksi gigi. Penanganan untuk
supernumery teeth dianjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter gigi. Penanganan
yang bisa dilakukan sebagai dokter umum terhadap pasien adalah memberikan obat
amoxicilin dan asam mefenamat lalu merujuknya ke dokter gigi.

5.2 Saran
1. Diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang periodontitis
kronis bagi dokter umum, sehingga dapat mengenali dan dapat melakukan
penanganan awal pada kegawat dauratan periodontitis kronis sebelum merujuknya ke
dokter gigi.
2. Diperlukan edukasi ke pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit yang
diderita, pilihan terapi yang dapat dilakukan, risiko dan komplikasi tindakan, serta
prognosis penyakit pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Grossman L, Oliet S, Del CE. Ilmu endodontik dalam praktek. Alih bahasa:
Abiyono R. Edisi 11. Jakarta: EGC; 1995. h. 65-70, 86-99
2. Torabinejad M, Walton RE. Principles and practice of endodontic. 4th Ed.
Philadelphia: Saunders Company; 2009.p. 38-40, 58-63
3. Cohen S, Burns RC. Pathway of the pulp. 6th Ed. Missouri: Mosby; 1994. p.
22, 345, 365
4. Bergenholt G, Bindslev HP. Textbook of endodontology. 2nd Ed. London:
Wiley Backwel; 2010. p.113-28
5. Rocassa IN, Siqueira JF. Root canal microbiota of teeth with chronic apiklal
periodontitis. J Clin Microbiol 2008; 46: 3599-606
6. Gary C, Goodell. Pulpa and periradicular diagnosis. Clin Update 2005; 28(7):
7. Sundqvist G. Ecologi of the root canal flora. J Endodont 1991; 18(2): 427-30
8. Jewetz, Melnick. Mikrobiologi kedokteran. 23th Ed. Alih bahasa: Hartono H.
Jakarta: EGC; 2004. p. 194-201
9. Vandepitte J, Verhaegen J. Prosedur laboratorium dasar untuk bakteriologi
klinis. 2nd Ed. Alih bahasa: Setiawan L.Jakarta: EGC;2002.p.61-81
10. Peciuliena V, Meneliene R, Balcikonyte E, Drukteinis S, Rutkunas V.
Microorganisms in root canal infections: a review. Balt Dent J 2008; 10: 4-9
11. Filingim RB, King CD, Ribeiro MC, Williams BR, Riley JL. Sex, gender and
pain: a review of recent clinical and experimental findings. J Pain 2009; 10(5)
12. Lix, Kolltveit, Tronstad L, Olsen I. Systemic diseases caused by
oralinfection. Clinical Microbiology Reviews 2000 Oct; 547-58.
13. Peterson LJ. Odontogenic infections. Diunduh dari
:http://famona.erbak.com/OTOHNS/Cummings?cumm069.pdf, 29 Juni 2009).
14. Sonis ST, Fazio RC, Fang L. Principles and practice of oral medicine. 2nded.
Philadelphia: WB Saunders Company; 1995. p.399-415.
15. Ghom, AG. Infections of Oral Cavity. Textbook of Oral Medicine, 2nd
ed.New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2010. Hal.484-48
16. Brand, R.W., and Isseihard D.E., 1991, Anatomy of Orofacial Structures, 5th
ed. CV. Mosby Co., Toronto.
17. Conen and Buens ,R.C., 1995, Pathways of The Pulp, Mosby Co., Toronto.
18. Diamond ,M., 1952, Dental Anatomy, 3th ed, Mc. Millan.
19. Dixon ,A.D., 1993, Anatomi untuk Kedokteran Gigi (terj), 5th ed, Church ii
Livingstone, London.
20. Itjingningsih, W.H., 1995, Anatomi Gigi ECG, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai