Anda di halaman 1dari 50

BUPATI JAYAPURA

BUPATI JAYPERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA


NOMOR 2 TAHUN 2012

TENTANG
PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI JAYAPURA,
Menimbang : a. bahwa kekayaan potensi sumber daya alam termasuk potensi sumber
daya pertambangan yang berada di Kabupaten Jayapura merupakan
anugerah Tuhan yang harus dikelola dan dimanfaatkan secara
bertanggung jawab dan berkeadilan berdasarkan prinsip kemanfaatan
dan prinsip pelestarian fungsi lingkungan;
b. bahwa sesuai kewenangan dan urusan pemerintahan daerah
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, daerah dapat mengelola dan memanfaatkan kekayaan potensi
sumber daya pertambangan dalam rangka peningkatan pendapatan asli
daerah sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. bahwa untuk menciptakan suasana usaha pertambangan mineral bukan
logam dan batuan yang baik dan sehat serta memberikan jaminan
kepastian hukum bagi dunia usaha perlu ada landasan hukum operasional
yang sah sesuai peraturan perundang-undangan;
d. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura
tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2043);
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi
Otonom Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Propinsi Irian
Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2907);
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

1
5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3888);

6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi


Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4151) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4842);
7. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4544);
8. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
9. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
10. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5049);
11. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
12. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5234);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan
Pengawasan Keselamatan Kerja Bidang Pertambangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3003);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis
Penerimaan Negara bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4314);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4833);

2
17. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah
Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5110);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5111);
19. Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2003 tentang Wajib Daftar
Perusahaan di Kabupaten Jayapura (Lembaran Daerah Kabupaten
Jayapura Tahun 2003 Nomor 29);
20. Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2008 tentang Struktur Organisasi dan
Tata Kerja Dinas-dinas Daerah Kabupaten Jayapura (Lembaran Daerah
Kabupaten Jayapura Tahun 2008 Nomor 17);
21. Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Jayapura Tahun 2008 2028 (Lembaran Daerah
Kabupaten Jayapura Tahun 2009 Nomor 19);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN JAYAPURA
dan
BUPATI JAYAPURA

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN
MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang di maksud dengan :
1. Menteri adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
2. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Papua.
3. Gubernur adalah Gubernur Papua.
4. Daerah adalah Daerah Kabupaten Jayapura.
5. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jayapura.
7. Bupati adalah Bupati Jayapura.
8. Dinas Pertambangan adalah Dinas Pertambangan Dan Energi Kabupaten Jayapura.
9. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pertambangan Dan Energi Kabupaten Jayapura.
10. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,
pengelolaan dan pengusahaan mineral bukan logam dan batuan yang meliputi penyelidikan
umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pascatambang.

3
11. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan
kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan,
baik dalam bentuk lepas atau padu.
12. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau
batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
13. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral bukan logam
dan batuan yang meliputi penyilidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan
pascatambang.
14. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan
usaha pertambangan.
15. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan
penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
16. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP
Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.
17. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan
usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan
investasi terbatas.
18. Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi
geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.
19. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi
secara terinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya
terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan
hidup.
20. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh
informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis
dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta
perencanaan pasca tambang.
21. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta sarana
pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
22. Konstruksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan
seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.
23. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral
bukan logam dan batuan.
24. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan
mutu mineral bukan logam dan batuan serta untuk memanfaatkan dan memperoleh
mineral ikutan.
25. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindah mineral bukan
logam dan batuan dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian
sampai tempat penyerahan.
26. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral
bukan logam dan batuan.
27. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan dan
didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
28. Jasa pertambangan adalah penunjang yang berkaitan dengan kegiatan usaha
pertambangan.
29. Analisa Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian
mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan

4
pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
30. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk
menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat
berfungsi kembali sesuai peruntukannya.
31. Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang adalah kegiatan
terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha
pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi
lokal di seluruh wilayah penambangan.
32. Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat,
baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya.
33. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki
potensi mineral bukan logam dan batuan dan tidak terikat dengan batasan administrasi
pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional dan berada dalam tata
ruang kabupaten.
34. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari WP yang
telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi mengenai mineral
bukan logam dan batuan dan berada dalam batasan administrasi wilayah Daerah.
35. Wilayah Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP
tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat mineral bukan logam dan batuan.

Pasal 2
(1) Pengaturan Pengelolaan usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan
dimaksudkan sebagai kebijakan pengelolaan mineral bukan logam dan batuan untuk
kepentingan bersama di Daerah.
(2) Mineral bukan logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. intan; u. ball clay;
b korundum; v. fire clay;
c. grafit; w. zeolit;
d. arsen; x. kaolin;
e. pasir kuarsa; y. feldspar;
f. fluorspar; z. bentonit;
g. kriolit; aa. gipsum;
h. yodium; bb. dolomite;
i. brom; cc. kalsit;
j. klor; dd. rijang;
k. belerang; ee. pirofilit;
l. fosfat; ff. kuarsit;
m. halit; gg. zirkon;
n. asbes; hh. wolastonit;
o. talk; ii. tawas;
p. mika; jj. batu kuarsa;
q. magnesit; kk. perlit;
r. yarosit; ll. garam batu;
s. oker; mm. clay; dan
t. fluorit; nn. batu gamping untuk semen.
(3) Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. pumice; aa. kayu terkersikan;
b. tras; bb. gamet;
c. toseki; cc. giok;
d. obsidian; dd. agat;
e. marmer; ee. diorite;
f. perlit; ff. topas;
g. tanah diatome; gg. batu gunung;

5
h. tanah serap (fullers earth); hh. quarry besar;
i. slate; ii. kerikil galian dari bukit;
j. grabit; jj. kerikil sungai;
k. granodiorit; kk. batu kali;
l. andesit; ll. kerikil sungai ayak tanpa pasir;
m. gabro; mm. pasir urug;
n. peridotit; nn. pasir pasang;
o. basalt; oo. kerikil berpasir alami (sirtu);
p. trakhit; pp. bahan timbunan pilihan (tanah);
q. leusit; qq. urukan tanah setempat;
r. tanah liat; rr. tanah merah (laterit);
s. tanah urug; ss. batu gamping;
t. batu apung; tt. onik;
u. opal, uu. pasir laut; dan
v. kalsedon, vv. pasir yang tidak mengandung unsur mineral
w. chert, logam atau unsur mineral bukan logam dalam
x. kristal kuarsa, jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi
y. jasper, pertambangan.
z. krisoprase,

BAB II
KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB

Pasal 3
Bupati sesuai kewenangan bertanggungjawab atas pengelolaan usaha pertambangan mineral
bukan logam dan batuan yang berada di lingkup wilayah Daerah meliputi :
a. wilayah dataran Daerah; dan
b. wilayah perairan laut sejauh 4 mil dari garis pantai.

Pasal 4

Kewenangan dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi seluruh hal
yang termasuk urusan Pemerintahan Daerah di bidang pertambangan, meliputi :
a. Pembentukan peraturan perundang-undangan daerah;
b. Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan
usaha pertambangan di wilayah Daerah.
c. Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan
usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah Daerah;
d. Penginventarisasian, penyelidikan, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan
informasi mineral dan batubara;
e. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral bukan logam dan batuan, serta
informasi pertambangan wilayah Daerah;
f. Penyusunan neraca sumber daya mineral bukan logam dan batuan pada wilayah Daerah;
g. Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan
dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;
h. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan
secara optimal;
i. Penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta
eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan Gubernur;
j. Penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri
dan Gubernur;
k. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan
l. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pengelolaan
usaha pertambangan.

6
BAB III
PENETAPAN WILAYAH PERTAMBANGAN DAN
WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN

Bagian Pertama
Wilayah Pertambangan

Pasal 5
(1) Wilayah Pertambangan (WP) mineral bukan logam dan batuan ditetapkan berdasarkan
rencana penetapan wilayah pertambangan sesuai hasil penyelidikan dan penelitian yang
memuat data dan informasi mengenai potensi mineral dan batuan dan informasi geologi
yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dan/atau Pemerintah Provinsi.
(2) Penetapan WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri berdasarkan
hasil koordinasi dengan Gubernur dan Bupati dan hasil konsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) WP yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditinjau
kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(4) Bupati sesuai dengan kewenangannya dapat mengusulkan perubahan WP kepada Menteri
berdasarkan hasil penyelidikan dan penelitian.

Pasal 6
(1) WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 terdiri atas :
a. Wilayah Usaha Pertambangan (WUP);
b. Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
(2) WUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Menteri.
(3) WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Bupati.

Bagian Kedua
Wilayah Usaha Pertambangan

Pasal 7
(1) Penetapan suatu wilayah dalam WP menjadi WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf a dan ayat (2) berdasarkan peta potensi mineral hasil penyelidikan dan
penelitian serta eksplorasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan/atau Pemerintah
Provinsi.
(2) Penetapan WUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan hasil
koordinasi antara Menteri dengan Gubernur dan Bupati.

Bagian Ketiga
Wilayah Ijin Usaha Pertambangan

Pasal 8
(1) Bupati menetapkan WIUP mineral bukan logam dan batuan berdasarkan permohonan dari
badan usaha, koperasi atau perseorangan yang melakukan kegiatan usaha pertambangan.

7
(2) Kewenangan Bupati dalam menetapkan WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada WUP yang mencakup wilayah darat dan wilayah laut sampai 4 (empat) mil
dari garis pantai.
(3) Bupati dalam menetapkan WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) harus
memperhatikan kriteria yang disyaratkan meliputi :
a. letak geografis
b. kaidah konservasi
c. daya dukung lingkungan
d. optimalisasi sumber daya mineral bukan logam dan batuan, dan
e. tingkat kepadatan penduduk.
(4) Keharusan dalam memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
diperhatikan dalam hal menetapkan luas dan batas WIUP pada WUP.

Bagian Keempat
Wilayah Pertambangan Rakyat

Pasal 9
(1) Bupati menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WPR mineral
bukan logam dan batuan berdasarkan potensi mineral serta peta potensi cadangan mineral
sesuai hasil penyelidikan dan penelitian dan hasil eksplorasi.
(2) Bupati dalam menetapkan WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memperhatikan kriteria yang meliputi :
a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau diantara tepi
dan tepi sungai;
b. merupakan endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba;
c. luas maksimal WPR sebesar 25 (dua puluh lima) hektare;
d. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau
e. merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan
sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun;
f. tidak tumpang tindih dengan WUP dan WPN; dan
g. merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang.

Pasal 10
(1) Bupati menetapkan wilayah di dalam WP yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2) menjadi WPR mineral bukan logam dan batuan, setelah
berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi dan berkonsultasi dengan DPRD Kabupaten.
(2) Penetapan WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh
Bupati kepada Gubernur dan Menteri.
(3) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mendapatkan
pertimbangan berkaitan dengan data dan informasi yang dimiliki Pemerintah Provinsi.
(4) Konsultasi dengan DPRD Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
memperoleh pertimbangan.

BAB IV
USAHA PERTAMBANGAN

Bagian Pertama
Umum

Pasal 11
(1) Usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dilaksanakan berdasarkan :
a. izin usaha pertambangan (IUP);

8
b. izin pertambangan rakyat (IPR).
(2) IUP dan IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam WIUP untuk IUP dan
WPR untuk IPR.
(3) WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di dalam WUP yang telah ditetapkan
oleh Menteri atau oleh Gubernur.
(4) WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Bupati.
(5) WUP dan WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berada di dalam WP.

Pasal 12
(1) IUP diberikan oleh Bupati berdasarkan permohonan yang diajukan oleh :
a. Badan Usaha;
b. Koperasi; dan
c. Perseorangan.
(2) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa badan usaha
swasta, BUMN atau BUMD.
(3) Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa orang
perseorangan, perusahan firma atau perusahan komanditer.
(4) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pemohon mendapatkan WIUP.
(5) Dalam 1 (satu) WIUP dapat diberikan 1 (satu) atau beberapa IUP.

Pasal 13
IUP diberikan melalui tahapan :
a. Pemberian WIUP; dan
b. Pemberian IUP

Bagian Kedua
Pemberian WIUP Mineral Bukan Logam dan Batuan

Pasal 14
(1) WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a meliputi :
a. WIUP mineral bukan logam; dan
b. WIUP batuan.
(2) WIUP mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh
dengan cara permohonan WP.

Pasal 15
(1) Dalam 1 (satu) WIUP dapat terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP.
(2) Setiap pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) hanya diberikan 1 (satu)
WIUP.

Bagian Ketiga
Tata Cara Pemberian WIUP Mineral Bukan Logam dan Batuan

Pasal 16
(1) Untuk memperoleh WIUP mineral bukan logam dan batuan, Badan Usaha, Koperasi atau
Perseorangan wajib mengajukan permohonan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (2) kepada Bupati dalam hal pengajuan permohonan WIUP yang berada dalam
wilayah Daerah dan/atau pada wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai.

9
(2) Bupati memberikan rekomendasi kepada Gubernur sebagai dasar Menteri menerbitkan
WIUP mineral bukan logam dan batuan.
(3) Pemberian rekomendasi oleh Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permintaan rekomendasi.

Pasal 17
(1) Pemohon WIUP mineral bukan logam dan batuan, yang terlebih dahulu memenuhi
persyaratan teknis administrasi yang berkaitan dengan koordinat, geografis lintang dan
bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional dan
telah membayar biaya pencadangan wilayah dan pencetakan peta harus memperoleh
prioritas utama untuk mendapatkan WIUP.
(2) Bupati dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja, terhitung sejak menerima
permohonan WIUP, wajib memberikan keputusan menerima atau menolak permohonan
WIUP tersebut.
(3) Dalam hal Bupati memberikan keputusan menerima permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), harus menyerahkan keputusan disertai dengan peta WIUP berikut batas dan
koordinat WIUP kepada pemohon.
(4) Dalam hal Bupati menolak permohonan WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus
disampaikan secara tertulis kepada pemohon WIUP disertai dengan alasan penolakan.
(5) Dalam hal terjadi penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pemohon dapat
mengajukan kembali permohonan WIUP dengan memperbaiki persyaratan dan atau
melengkapi persyaratan yang ditetapkan.

Bagian Keempat
Pemberian IUP Mineral Bukan Logam dan Batuan
Paragraf 1
Umum

Pasal 18
(1) IUP mineral bukan logam dan batuan yang diberikan oleh Bupati terdiri atas :
a. IUP Eksplorasi; dan
b. IUP Operasi Produksi.
(2) IUP eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. mineral bukan logam; dan
b. batuan;
(3) IUP operasi produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :
a. mineral bukan logam; dan
b. batuan.

Paragraf 2
Persyaratan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi
Mineral Bukan Logam dan Batuan

Pasal 19
Untuk memperoleh IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi, pelaku kegiatan usaha
pertambangan mineral bukan logam dan batuan harus memenuhi persyaratan yang meliputi :
a. administratif;
b. teknis;
c. lingkungan; dan
d. finansial.

10
Pasal 20
(1) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a bagi pelaku
kegiatan usaha yang berbentuk badan usaha meliputi :
a. surat permohonan;
b. profil badan usaha;
c. akta pendirian badan usaha yang bergerak dibidang usaha pertambangan yang telah
disahkan oleh pejabat yang berwenang;
d. nomor pokok wajib pajak;
e. susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan
f. surat keterangan domisili.
(2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a bagi pelaku
kegiatan usaha yang berbentuk koperasi meliputi :
a. surat permohonan;
b. profil koperasi;
c. akta pendirian koperasi yang bergerak dibidang usaha pertambangan yang telah
disahkan oleh pejabat yang berwenang;
d. nomor pokok wajib pajak;
e. susunan pengurus; dan
f. surat keterangan domisili.
(3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a bagi pelaku
kegiatan usaha yang berbentuk perseorangan meliputi :
a. surat permohonan;
b. kartu tanda penduduk;
c. nomor pokok wajib pajak;dan
d. surat keterangan domisili.
(4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a bagi pelaku
kegiatan usaha yang berbentuk perusahaan firma meliputi :
a. surat permohonan;
b. profil perusahaan;
c. akta pendirian perusahaan yang bergerak dibidang usaha pertambangan;
d. nomor pokok wajib pajak;
e. susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan
f. surat keterangan domisili.

Pasal 21
(1) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b untuk :
a. IUP Eksplorasi, meliputi :
1. daftar riwayat hidup dan surat pernyataan tenaga ahli pertambangan dan/atau
geologi yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun;
2. peta WIUP yang dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur
sesuai ketentuan sistem informasi geografis yang berlaku secara nasional.
b. IUP Operasi Produksi meliputi :
1. peta wilayah yang dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur
sesuai ketentuan sistem informasi geografis yang berlaku secara nasional;
2. laporan lengkap eksplorasi;
3. laporan studi kelayakan;
rencana reklamasi dan pascatambang;
4. rencana kerja dan anggaran biaya;
5. rencana pembangunan sarana dan prasarana penunjang kegiatan operasi produksi;
dan
6. tersedianya tenaga ahli pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling
sedikit 3 (tiga) tahun.

Pasal 22
Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c meliputi :

11
a. Untuk IUP Eksplorasi meliputi pernyataan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
b. Untuk IUP Operasi Produksi meliputi :
1. pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
2. persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan (Amdal, UKL dan UPL).

Pasal 23
Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d untuk :
a. IUP Eksplorasi, bukti penempatan jaminan kesungguhan pelaksanaan kegiatan eksplorasi;
dan
b. IUP Operasi Produksi, meliputi :
1. Laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik;
2. Bukti pembayaran iuran tetap 3 (tiga) tahun terakhir; dan
3. Bukti pembayaran pengganti investasi sesuai dengan nilai penawaran lelang bagi
pemenang lelang WIUP yang telah berakhir.

Paragraf 3
IUP Eksplorasi

Pasal 24
IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a diberikan oleh Bupati
untuk WIUP yang berada dalam 1 (satu) wilayah Daerah dan/atau wilayah laut sampai dengan
4 (empat) mil dari garis pantai.

Pasal 25
(1) IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 diberikan berdasarkan permohonan
dari badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang telah mendapatkan WIUP dan
memenuhi persyaratan.
(2) IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
(3) IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 untuk pertambangan mineral bukan
logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.
(4) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 26
(1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 500
(lima ratus) hektare.
(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral bukan logam dapat diberikan IUP
kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah
mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.

Pasal 27
(1) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 20 (dua puluh)
hektare.
(2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batuan dapat diberikan IUP kepada pihak
lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.

12
(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah
mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama.

Pasal 28
(1) Bupati menerbitkan rekomendasi dalam rangka penerbitan IUP Eksplorasi mineral bukan
logam dan/atau batuan setelah menerima peta WIUP dari Menteri yang diajukan oleh
badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).
(2) Bupati memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya tanda bukti penyampaian peta
WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan.

Pasal 29
(1) Badan usaha, koperasi atau perseorangan yang telah mendapatkan peta WIUP beserta
batas dan koordinat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dalam jangka waktu paling
lama 5 (lima) hari kerja setelah penerbitan peta WIUP mineral bukan logam dan/atau
batuan harus menyampaikan permohonan IUP Eksplorasi kepada Bupati sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
(3) Apabila badan usaha, koperasi atau perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja tidak menyampaikan permohonan IUP, dianggap
mengundurkan diri dan uang pencadangan wilayah menjadi milik Pemerintah Daerah.
(4) Dalam hal badan usaha, koperasi atau perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
telah dianggap mengundurkan diri dimana WIUP menjadi wilayah terbuka.

Pasal 30
Pemegang IUP Eksplorasi dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUP kepada Bupati
sesuai kewenangannya untuk menunjang usaha kegiatan pertambangan.

Paragraf 4
IUP Operasi Produksi

Pasal 31
(1) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b diberikan
kepada Badan Usaha, Koperasi atau Perseorangan sebagai peningkatan dari kegiatan
eksplorasi.
(2) Pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai
peningkatan dengan mengajukan permohonan dan memenuhi persyaratan peningkatan
produksi.
(3) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Badan
Usaha, Koperasi atau Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20.

Pasal 32
(1) IUP Operasi Produksi diberikan oleh Bupati apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan
dan pelabuhan berada dalam wilayah Daerah atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat)
mil dari garis pantai.
(2) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk :
a. pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10
(sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun;
b. pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5
(lima) tahun; dan

13
c. pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun
dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 2 (dua) tahun.
(3) Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing
mempunyai WIUP :
a. mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 50 (lima puluh) hektare;
b. batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 10 (sepuluh) hektare.

Pasal 33
Dalam hal pemegang IUP Operasi Produksi tidak melakukan kegiatan pengangkutan dan
penjualan dan/atau pengolahan dapat dilakukan oleh pihak lain yang memiliki :
a. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan;
b. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan; dan/atau
c. IUP Operasi Produksi.

Pasal 34
(1) IUP Operasi Produksi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a diberikan
oleh Bupati apabila kegiatan pengangkutan dan penjualan dalam wilayah Daerah.
(2) IUP Operasi Produksi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diberikan
oleh Bupati, apabila komoditas tambang yang akan diolah berasal dari wilayah Daerah.

Pasal 35
Berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang,
operasi produksi berdampak lingkungan apabila :
a. berada dalam wilayah daerah, IUP Operasi Produksi diberikan oleh Bupati berdasarkan
rekomendasi dari Menteri dan Gubernur.
b. lintas Kabupaten, IUP Operasi Produksi diberikan oleh Gubernur berdasarkan rekomendasi
dari Bupati.

Pasal 36
Pemegang IUP Operasi Produksi dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUP kepada
Bupati sesuai dengan kewenangannya untuk menunjang usaha kegiatan pertambangan.

Bagian Kelima
Pemasangan Tanda Batas

Pasal 37
(1) Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diperoleh IUP Operasi Produksi, pemegang IUP
Operasi Produksi wajib memberikan tanda batas dengan memasang patok pada WIUP.
(2) Pembuatan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai sebelum
dimulai kegiatan operasi produksi.
(3) Dalam hal terjadi perubahan batas wilayah pada WIUP Operasi Produksi, harus dilakukan
perubahan tanda batas wilayah dengan pemasangan patok baru pada WIUP.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasangan tanda batas WIUP diatur dengan
Peraturan Bupati.

Bagian Keenam
Komoditas Tambang Lain Dalam WIUP

Pasal 38
(1) Dalam hal pada lokasi WIUP ditemukan komoditas tambang lainnya yang bukan mineral
yang diberikan dalam IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Poduksi memperoleh keutamaan
dalam mengusahakan komoditas tambang lainnya yang ditemukan.

14
(2) Dalam mengusahakan komoditas tambang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus membentuk badan usaha baru.
(3) Apabila pemegang IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Poduksi tidak berminat atas komoditas
tambang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kesempatan pengusahaannya
dapat diberikan kepada pihak lain dan diselenggarakan dengan cara lelang atau
permohonan wilayah.
(4) Pihak lain yang mendapat IUP berdasarkan lelang atau permohonan wilayah harus
berkoordinasi dengan pemegang IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi pertama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUP baru sesuai komoditas tambang
lain diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh
Perpanjangan IUP Operasi Produksi

Pasal 39
(1) Permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi diajukan kepada Bupati sesuai
kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya
jangka waktu IUP.
(2) Permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit harus dilengkapi :
a. peta dan batas koordinat wilayah;
b. laporan akhir kegiatan operasi produksi;
c. laporan pelaksanaan pengelolaan lingkungan;
d. rencana kerja dan anggaran biaya; dan
e. neraca sumber daya dan cadangan.
(3) Bupati sesuai dengan kewenangannya dapat menolak permohonan perpanjangan IUP
Operasi Produksi apabila pemegang IUP Operasi Produksi berdasarkan hasil evaluasi,
pemegang IUP Operasi Produksi tidak menunjukkan kinerja operasi produksi yang baik.
(4) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan kepada pemegang IUP
Operasi Produksi paling lambat sebelum berakhirnya IUP Operasi Produksi.
(5) Pemegang IUP Operasi Produksi hanya dapat diberikan perpanjangan sebanyak 2 (dua)
kali.
(6) Pemegang IUP Operasi Produksi yang telah memperoleh perpanjangan IUP Operasi
Produksi sebanyak 2 (dua) kali, harus mengembalikan WIUP Operasi Produksi kepada
Bupati sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 40
(1) Pemegang IUP Operasi Produksi yang telah memperoleh perpanjangan IUP Operasi
Produksi sebanyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (6), dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum jangka waktu masa berlakunya IUP berakhir, harus
menyampaikan kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya mengenai keberadaan
potensi dan cadangan mineral pada WIUP-nya.
(2) WIUP yang IUP-nya akan berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang masih
berpotensi untuk diusahakan, WIUP-nya dapat ditawarkan kembali melalui permohonan
wilayah sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V
IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT
Bagian Kesatu

15
Umum

Pasal 41
(1) IPR diberikan oleh Bupati berdasarkan permohonan yang diajukan oleh penduduk
setempat, baik orang perorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi.
(2) IPR diberikan setelah ditetapkan WPR oleh Bupati.
(3) Dalam 1 (satu) WPR dapat diberikan 1 (satu) atau beberapa IPR.

Bagian Kedua
Pemberian IPR

Pasal 42
(1) Setiap usaha pertambangan rakyat pada WPR dapat dilaksanakan apabila telah
mendapatkan IPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1).
(2) Untuk mendapatkan IPR, pemohon harus memenuhi :
a. persyaratan administratif;
b. persyaratan teknis; dan
c. persyaratan finansial.
(3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk :
a. Orang perseorangan, meliputi :
1. surat permohonan;
2. kartu tanda penduduk;
3. komoditas yang dimohon;
4. surat keterangan dari lurah/kepala kampung setempat;
5. surat perjanjian sewa menyewa/kontrak tanah (apabila tanah tersebut milik orang
lain); dan
6. surat bukti kepemilikan atas tanah.

b. Kelompok masyarakat, paling sedikit meliputi :


1. surat permohonan;
2. kartu tanda penduduk;
3. komoditas tambang yang dimohon;
4. surat keterangan dari lurah/kepala kampung setempat;
5. surat perjanjian sewa menyewa/kontrak tanah (apabila tanah tersebut milik orang
lain); dan
6. surat bukti kepemilikan atas tanah.

c. Koperasi setempat, paling sedikit meliputi :


1. surat permohonan;
2. nomor pokok wajib pajak;
3. akta pendirian koperasi yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4. komoditas tambang yang dimohon;
5. surat keterangan dari lurah/kepala kampung setempat;
6. surat perjanjian sewa menyewa/kontrak tanah (apabila tanah tersebut milik orang
lain); dan
7. surat bukti kepemilikan atas tanah.

(4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa surat pernyataan
yang memuat paling sedikit mengenai :
a. sumuran pada IPR paling dalam 25 (dua puluh lima) meter;
b. menggunakan pompa mekanik, penggelundungan atau permesinan dengan jumlah
tenaga maksimal 25 (dua puluh lima) hours power untuk 1 (satu) IPR; dan
c. tidak menggunakan alat berat dan bahan peledak.

16
(5) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berupa laporan
keuangan 1 (satu) tahun terakhir dan hanya dipersyaratkan bagi koperasi.

BAB VI

PENCIUTAN WILAYAH USAHA, PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN USAHA


DAN BERAKHIRNYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL
BUKAN LOGAM DAN BATUAN

Bagian Kesatu
Penciutan Wilayah Usaha
Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan

Pasal 43
(1) Pemegang IUP sewaktu-waktu dapat mengajukan permohonan kepada Bupati sesuai
kewenangannya untuk menciutkan sebagian atau mengembalikan seluruh WIUP.
(2) Pemegang IUP dalam melaksanakan penciutan atau pengembalian WIUP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus menyerahkan :
a. laporan, data dan informasi penciutan atau pengembalian yang berisikan semua
penemuan teknis dan geologis yang diperoleh pada wilayah yang akan diciutkan dan
alasan penciutan atau pengembalian serta data lapangan hasil kegiatan;
b. peta wilayah penciutan atau pengembalian beserta koordinatnya;
c. bukti pembayaran kewajiban keuangan;
d. laporan kegiatan sesuai status tahapan terakhir; dan
e. laporan pelaksanaan reklamasi pada wilayah yang diciutkan atau dilepas.

Pasal 44
(1) Pemegang IUP Eksplorasi mempunyai kewajiban untuk melepaskan WIUP.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk :
a. IUP mineral bukan logam :
1. pada tahun kedua wilayah eksplorasi yang dapat dipertahankan paling banyak 25
(dua puluh lima) hektar; dan
2. pada tahun ketiga atau pada akhir IUP Eksplorasi saat peningkatan menjadi IUP
Operasi Produksi, wilayah yang dipertahankan paling banyak 15 (lima belas) hektar.
b. IUP batuan :
1. pada tahun kedua wilayah eksplorasi yang dapat dipertahankan paling banyak 15
(lima belas) hektar; dan
2. pada tahun ketiga atau pada akhir eksplorasi saat peningkatan menjadi IUP Operasi
Produksi wilayah yang dipertahankan paling banyak 10 (sepuluh) hektar.
(3) Apabila luas wilayah maksimum yang dipertahankan sudah dicapai sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) pemegang IUP Eksplorasi tidak diwajibkan lagi menciutkan wilayah.

Bagian Kedua
Penghentian Sementara Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
Bukan Logam dan Batuan

Pasal 45
(1) Bupati sesuai kewenangan dapat melakukan penghentian sementara atas kegiatan usaha
pertambangan mineral bukan logam dan batuan.
(2) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan apabila terjadi :

17
a. keadaan kahar;
b. keadaan yang menghalangi; dan/atau
c. kondisi daya dukung lingkungan.
(3) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan oleh Bupati berdasarkan permohonan dari
pemegang IUP.
(4) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c dilakukan oleh Bupati berdasarkan permohonan dari masyarakat.
(5) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) tidak mengurangi masa berlaku IUP.

Pasal 46
(1) Penghentian sementara karena keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat
(2) huruf a harus diajukan oleh pemegang IUP dalam jangka waktu paling lambat 14
(empat belas) hari kalender sejak terjadinya keadaan kahar kepada Bupati untuk
memperoleh persetujuan.
(2) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali.
(3) Penghentian sementara karena keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (2) huruf b diberikan 1 (satu) kali dengan jangka waktu 1 (satu) tahun pada
setiap tahapan kegiatan dengan persetujuan Bupati sesuai kewenangannya.
(4) Apabila jangka waktu penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah
berakhir, dapat diberikan perpanjangan jangka waktu penghentian sementara dalam hal
terkait perizinan dari instansi lain.

Pasal 47
Permohonan perpanjangan penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat
(3) diajukan secara tertulis dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender
sebelum berakhirnya penghentian sementara.

Pasal 48
(1) Pemegang IUP yang telah diberikan persetujuan penghentian sementara karena keadaan
kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf a, tidak mempunyai kewajiban
untuk memenuhi kewajiban keuangan.
(2) Pemegang IUP yang telah diberikan persetujuan penghentian sementara karena keadaan
yang menghalangi dan/atau kondisi daya dukung lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (2) huruf b, dan c wajib :
a. menyampaikan laporan kepada Bupati;
b. memenuhi kewajiban keuangan meliputi iuran produksi, dan pajak;
c. tetap melaksanakan pengelolaan lingkungan keselamatan dan kesehatan kerja, serta
pemantauan lingkungan.

Pasal 49
Persetujuan penghentian sementara berakhir karena :
a. habis masa berlakunya; atau
b. permohonan pencabutan dari pemegang IUP.

Pasal 50

18
Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam pemberian persetujuan penghentian sementara
telah habis dan tidak diajukan permohonan perpanjangan atau permohonan perpanjangan tidak
disetujui, penghentian sementara tersebut berakhir.

Pasal 51
(1) Apabila kurun waktu penghentian sementara belum berakhir dan pemegang IUP sudah
siap untuk melakukan kegiatan operasionalnya kembali, dapat mengajukan permohonan
pencabutan penghentian sementara kepada Bupati.
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bupati menyatakan
pengakhiran penghentian sementara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan penghentian sementara diatur
dengan Peraturan Bupati.

Bagian Ketiga
Berakhirnya Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan

Pasal 52
IUP dan IPR berakhir karena :
a. Dikembalikan;
b. Dicabut; atau
c. Habis masa berlakunya.

Pasal 53
(1) Pemegang IUP atau IPR dapat menyerahkan kembali IUP atau IPR-nya dengan pernyataan
tertulis kepada Bupati dan disertai dengan alasan yang jelas.
(2) Pegembalian IUP atau IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah
disetujui oleh Bupati dan setelah memenuhi kewajibannya.

Pasal 54
IUP atau IPR dapat dicabut oleh Bupati apabila :
a. Pemegang IUP atau IPR tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IPR
serta peraturan perundang-undangan;
b. Pemegang IUP atau IPR melakukan tindak pidana di bidang pertambangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang; atau
c. Pemegang IUP atau IPR dinyatakan pailit.

Pasal 55
Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP dan IPR telah habis dan tidak diajukan
permohonan peningkatan atau perpanjangan tahap kegiatan atau pengajuan permohonan
tetapi tidak memenuhi persyaratan, IUP dan IPR tersebut dinyatakan berakhir.

Pasal 56
(1) Pemegang IUP atau IPR yang IUP atau IPRnya berakhir karena hal-hal sebagaimana
diatur dalam Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54 dan Pasal 55 wajib memenuhi dan
menyelesaikan kewajiban kepada Pemerintah Daerah.
(2) Kewajiban Pemegang IUP atau IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap telah
dipenuhi setelah mendapat persetujuan Bupati.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kewajiban administratif, teknis,
finansial dan lingkungan.

19
(4) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Bupati.

Pasal 57
(1) IUP atau IPR yang telah dikembalikan, dicabut, atau habis masa berlakunya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 dikembalikan kepada Bupati.
(2) WIUP atau WIPR yang IUP-nya atau IPR-nya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditawarkan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan melalui mekanisme
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 58
Apabila IUP atau IPR berakhir, pemegang IUP atau IPR wajib menyerahkan seluruh data yang
diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Bupati.

BAB VII
USAHA JASA PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

Pasal 59
(1) Pemegang IUP wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau
nasional.
(2) Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pemegang IUP dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang
berbadan hukum Indonesia.
(3) Khusus perusahaan jasa pertambangan nasional dan perusahaan jasa pertambangan lain
yang berbadan hukum Indonesia harus memperoleh persetujuan dari Bupati.
(4) Jenis usaha jasa pertambangan meliputi :
a. konsultasi, perencanaan, pelaksanaan dan pengujian peralatan di bidang:
1. penyelidikan umum;
2. eksplorasi;
3. studi kelayakan;
4. pengangkutan;
5. lingkungan pertambangan;
6. pascatambang dan reklamasi; dan/atau
7. keselamatan dan kesehatan kerja.
b. konsultasi, perencanaan, pelaksanaan dan pengujian peralatan di bidang :
1. penambangan; atau
2. pengolahan dan pemurnian.

Pasal 60
(1) Dalam hal pemegang IUP menggunakan jasa pertambangan, tanggung jawab kegiatan
usaha pertambangan tetap dibebankan kepada pemegang IUP.
(2) Pelaksana usaha jasa pertambangan dapat berupa badan usaha, koperasi, atau
perseorangan sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi yang ditetapkan oleh Bupati.
(3) Pelaku usaha jasa pertambangan wajib mengutamakan pengusaha dan tenaga kerja lokal.
(4) Pengusaha lokal dan tenaga kerja lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diutamakan
bagi orang asli Papua Kabupaten Jayapura sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi yang
ditentukan.
(5) Penetapan kualifikasi pelaksana usaha jasa pertambangan dan kualifikasi pendidikan
tenaga kerja lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur
dengan Peraturan Bupati.

Pasal 61

20
(1) Dalam pelaksanaan penggunaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), pelaku usaha jasa pertambangan wajib
melakukan pembinaan dan pendampingan bagi pengusaha lokal yang berasal dari orang
asli Papua.
(2) Pembinaan bagi pengusaha lokal orang asli Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam hal :
a. pembinaan administratif;
b. pembinaan teknis dan alih teknologi;
c. pembinaan manajemen keuangan; dan
d. pembinaan penggunaan peralatan.
(3) Pendampingan bagi pengusaha lokal orang asli Papua sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam hal :
a. pendampingan penatausahaan administratif;
b. pendampingan tenaga ahli dan/atau tenaga teknis; dan
c. pendampingan dalam pengelolaan manajemen keuangan.

Pasal 62
(1) Pemegang IUP dilarang melibatkan anak perusahaan dan/atau afiliasinya dalam bidang
usaha jasa pertambangan di wilayah usaha pertambangan yang diusahakannya, kecuali
dengan izin Bupati.
(2) Pemberian izin Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila:
a. tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sejenis di wilayah tersebut; atau
b. tidak ada perusahaan jasa pertambangan yang berminat/mampu.

BAB VIII
HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Kesatu
Hak Pemegang IUP

Pasal 63
Pemegang IUP dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik
kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi.

Pasal 64
Pemegang IUP dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan
pertambangan setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 65
Pemegang IUP berhak memiliki mineral bukan logam, termasuk mineral ikutannya dan batuan,
yang telah diproduksi apabila telah memenuhi kewajibannya sesuai peraturan perundang-
undangan.

Pasal 66
(1) Pemegang IUP tidak boleh memindahkan IUP kepada pihak lain.
(2) Untuk pengalihan kepemilikan dan/atau saham di bursa saham Indonesia hanya dapat
dilakukan setelah melakukan kegiatan eksplorasi.
(3) Pengalihan kepemilikan dan/atau saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan dengan syarat :
a. harus memberitahukan kepada Bupati; dan

21
b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 67
Pemegang IUP dijamin haknya untuk melakukan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Kewajiban Pemegang IUP

Pasal 68
Pemegang IUP wajib :
a. Menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik;
b. Mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia;
c. Meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral bukan logam dan batuan;
d. Melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; dan
e. Mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan.

Pasal 69
Dalam menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP wajib
melaksanakan :
a. Ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;
b. Keselamatan operasi pertambangan;
c. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan
pascatambang;
d. Upaya konservasi sumber daya mineral bukan logam dan batuan; dan
e. Pengelolaan sisa tambang dari satu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat
sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan.

Pasal 70
(1) Pemegang IUP wajib menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai
dengan karakteristik lingkungan Daerah.
(2) Pemegang IUP wajib menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemegang IUP wajib memberikan kompensasi akibat penurunan kualitas lingkungan
kepada Pemerintah Daerah yang besaran nilainya sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 71
(1) Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diperolehnya IUP Operasi Produksi, pemegang
IUP wajib memberikan tanda batas wilayah dengan memasang patok pada WIUP.
(2) Pembuatan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai sebelum
dimulai kegiatan operasi produksi.
(3) Dalam hal terjadi perubahan batas wilayah pada WIUP Operasi Produksi, harus dilakukan
perubahan tanda batas wilayah dengan pemasangan patok baru pada WIUP.
(4) Tata cara pemasangan tanda batas WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 72
(1) Pemegang IUP wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral bukan logam
dan/atau batuan dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemanfaatan mineral
bukan logam dan/atau batuan.

22
(2) Pemegang IUP yang melakukan peningkatan nilai tambah sumber daya mineral bukan
logam dan/atau batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengolah hasil
penambangan.

Pasal 73
(1) Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dapat melakukan
kerja sama pengolahan dengan badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah
mendapatkan IUP.
(2) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan pengolahan dari
hasil penambangan yang tidak memiliki IUP atau IPR.

Pasal 74
(1) Badan usaha yang tidak bergerak pada usaha pertambangan yang bermaksud menjual
mineral bukan logam dan/atau batuan yang tergali wajib terlebih dahulu memiliki IUP
Operasi Produksi untuk penjualan.
(2) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan untuk 1 (satu) kali
penjualan yang dikeluarkan oleh Bupati.
(3) Mineral bukan logam dan/atau batuan yang tergali dan akan dijual sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai pajak.
(4) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan
laporan hasil penjualan mineral bukan logam dan/atau batuan yang tergali kepada Bupati.

Pasal 75
(1) Pemegang IUP harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja lokal diutamakan bagi
orang asli Papua Kabupaten Jayapura, barang dan jasa dalam negeri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam melakukan kegiatan operasi produksi, badan usaha pemegang IUP wajib
mengikutsertakan pengusaha lokal yang ada di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pengutamaan tenaga kerja setempat dan keikutsertaan pengusaha lokal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan bagi orang asli Papua dengan prosentase
70 (tujuh puluh) persen dari keseluruhan tenaga kerja yang direkrut untuk masing-masing
kualifikasi dan klasifikasi baik dari aspek pendidikan maupun aspek teknis.
(4) Keikutsertaan pengusaha lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terutama
diprioritaskan bagi pengusaha orang asli Papua melalui kemitraan dalam bidang keuangan,
peralatan, dan tenaga.

Pasal 76
(1) Pemegang IUP wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.
(2) Penyusunan program dan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikonsultasikan
kepada Bupati dan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 77
Pemegang IUP wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi
produksi kepada Bupati.

Pasal 78

23
(1) Pemegang IUP wajib memberikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral bukan logam dan/atau batuan kepada
Bupati.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis, waktu, dan tata cara penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 79
(1) Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP yang sahamnya dimiliki
oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) atau badan usaha swasta nasional.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Bagian Keempat
Hak dan Kewajiban Pemegang IPR

Pasal 80
Pemegang IPR berhak :
a. Mendapat pembinaan dan pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja,
lingkungan, teknis pertambangan, dan manajemen dari Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah; dan
b. Mendapat bantuan modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 81
Pemegang IPR wajib :
a. Melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR diterbitkan;
b. Mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja
pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan sesuai standar yang berlaku;
c. Mengelola lingkungan hidup bersama pemerintah Daerah;
d. Membayar iuran wajib dan iuran produksi; dan
e. Menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan rakyat secara berkala
kepada Bupati.

Pasal 82
(1) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, pemegang IPR dalam melakukan
kegiatan pertambangan rakyat wajib mentaati ketentuan persyaratan teknis
pertambangan.
(2) Persyaratan teknis pertambangan diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 83
(1) Bupati melaksanakan pembinaan di bidang pengusahaan, teknologi pertambangan, serta
permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan kemampuan usaha pertambangan
rakyat.
(2) Bupati bertanggung jawab terhadap pengamanan teknis pada usaha pertambangan rakyat
yang meliputi:
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. pengelolaan lingkungan hidup; dan
c. pascatambang.

24
(3) Untuk melaksanakan pengamanan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Bupati
wajib mengangkat pejabat fungsional inspektur tambang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Bupati wajib menyampaikan laporan hasil produksi dari seluruh kegiatan usaha
pertambangan rakyat yang berada dalam wilayahnya secara berkala kepada Gubernur dan
Menteri.

Pasal 84
(1) Pengusaha swasta nasional yang melakukan kegiatan usaha pertambangan di Daerah wajib
melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap pelaku kegiatan pertambangan rakyat
terutama pelaku kegiatan usaha pertambangan rakyat yang berasal dari orang asli Papua.
(2) Pembinaan dan pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. pembinaan administratif;
b. pembinaan teknis dan alih teknologi;
c. pembinaan manajemen keuangan; dan
d. pembinaan penggunaan peralatan.
(3) Pendampingan bagi pengusaha lokal orang asli Papua sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam hal :
a. pendampingan penatausahaan administratif;
b. pendampingan tenaga ahli dan/atau tenaga teknis; dan
c. pendampingan dalam pengelolaan manajemen keuangan.

BAB IX
PENDAPATAN DAERAH

Pasal 85
(1) Pemegang IUP atau IPR wajib memenuhi kewajiban finansial dalam rangka pendapatan
daerah.
(2) Kewajiban finansial pemegang IUP dan IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas :
a. pajak daerah; dan
b. pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Daerah
tersendiri.

BAB X
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Bagian Kesatu
Penyelidikan dan Penelitian

Pasal 86
(1) Bupati wajib melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan untuk memperoleh
data dan informasi.
(2) Pelaksanaan penyelidikan dan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara
teknis dilakukan oleh Dinas sesuai dengan tugas dan fungsi dengan ketentuan :
a. tidak berpotensi lintas wilayah daerah; dan
b. berpotensi untuk dikembangkan.
(3) Penyelidikan dan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

25
a. identifikasi kawasan yang secara geologis mengandung indikasi dan endapan mineral
dalam hal ini mineral bukan logam dan batuan;
b. informasi tentang kondisi geografi, tata guna lahan dan aksesibilitas daerah;
c. kondisi lingkungan geologi;
d. aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat;
e. status legalitas; dan
f. lingkungan hidup.

Pasal 87
(1) Data hasil penyelidikan dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 dikumpulkan
dan diolah sesuai dengan standar nasional pengolahan data geologi oleh Bupati.
(2) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. peta geologi yang antara lain memuat formasi batuan pembawa mineralisasi bukan
logam dan/atau batuan;
b. evaluasi data perizinan yang masih berlaku, yang sudah berakhir dan/atau yang sudah
dikembalikan kepada Bupati;
c. evaluasi data geologi yang berasal dari kegiatan pertambangan yang sedang
berlangsung, telah berakhir dan/atau telah dikembalikan kepada Bupati;
d. peta geokimia dan/atau peta geofisika; dan
e. interpretasi penginderaan jarak jauh baik berupa pola struktur maupun sebaran litologi.
(3) Bupati wajib menyampaikan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan dilampiri
peta wilayah potensi pertambangan kepada Gubernur dan Menteri.
(4) Hasil penyelidikan dan penelitian termasuk peta wilayah potensi pertambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dievaluasi dan digunakan sebagai bahan
penetapan WP.

Pasal 88
(1) Dinas dapat melakukan eksplorasi dan melakukan inventarisasi data hasil eksplorasi.
(2) Pelaksanaan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
terkoordinasi dengan instansi terkait.
(3) Data hasil eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus meliputi:
a. peta, yang terdiri atas :
1. peta geologi dan peta formasi batuan pembawa; dan/ atau
2. peta geokimia dan peta geofisika,
b. bentuk dan sebaran estimasi sumberdaya dan cadangan ;
c. hasil evaluasi data terhadap perizinan dan perjanjian yang:
1. masih berlaku;
2. sudah berakhir ; dan
3. sudah dikembalikan kepada Bupati.
d. hasil evaluasi data atas informasi mengenai pemanfaatan di luar sektor pertambangan.
(4) Bupati wajib menyampaikan laporan hasil eksplorasi dengan dilampiri peta wilayah potensi
pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Gubernur dan
Menteri.
(5) Ketentuan mengenai pedoman evaluasi hasil pelaksanaan penyelidikan dan penelitian
pertambangan dan eksplorasi diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua
Tata Cara Penugasan

Pasal 89

26
(1) Bupati dapat mengusulkan kepada Gubernur atau Menteri suatu wilayah untuk dilakukan
penyelidikan dan penelitian dalam rangka penugasan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan penyelidikan dan penelitian
pertambangan diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 90
(1) Peta wilayah penugasan penyelidikan dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
89 ayat (1) menjadi dasar dalam pemrosesan penerbitan penugasan penyelidikan dan
penelitian.
(2) Pemrosesan permohonan penugasan penyelidikan dan penelitian menerapkan sistem
permohonan pertama yang telah mendapatkan peta wilayah penugasan penyelidikan dan
penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan memenuhi persyaratan administrasi,
teknis, dan finansial mendapatkan prioritas pertama untuk mendapatkan penugasan
penyelidikan dan penelitian.

Bagian Ketiga
Pengelolaan Data dan Informasi

Pasal 91
(1) Setiap data yang berasal dari kegiatan usaha pertambangan merupakan milik Pemerintah
Daerah.
(2) Pengelolaan data diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(3) Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan pengelolaan data diatur dengan Peraturan
Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 92
(1) Pengelolaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 meliputi perolehan,
pengadministrasian, pengolahan, penataan, penyimpanan, pemeliharaan, dan pemusnahan
data.
(2) Pengelolaan data dilakukan dalam sistem informasi geografis dengan koordinat pemetaan
menggunakan Datum Geodesi Nasional yang ditetapkan oleh instansi Pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang survei dan pemetaan nasional.
(3) Pemanfaatan data digunakan untuk:
a. penetapan klasifikasi potensi dan WP.
b. penentuan neraca sumber daya dan cadangan mineral bukan logam dan batuan; dan
c. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mineral bukan logam dan batuan.

Bagian Keempat
Tarif Data dan Informasi

Pasal 93
Data dan informasi pertambangan meliputi hasil kegiatan penyelidikan dan penelitian serta hasil
eksplorasi dikenakan tarif tertentu yang besaran nilainya diatur dalam peraturan daerah
tersendiri.
Bagian Kelima
Pendidikan, Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan

Pasal 94

27
(1) Pemerintah Daerah wajib mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan di bidang pengusahaan mineral bukan logam dan batuan.
(2) Pemerintah Daerah wajib mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan
penelitian dan pengembangan mineral bukan logam dan batuan.
(3) Hasil penelitian dan pengembangan yang telah dilakukan wajib dilaporkan kepada
Pemerintah Daerah.
(4) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah,
swasta, dan masyarakat.

BAB XI
PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN

Pasal 95
(1) Hak atas WIUP atau WIPR tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi.
(2) Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk
melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan
setelah mendapat izin dari Bupati.

Pasal 96
Pemegang IUP Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat
persetujuan dari pemegang hak atas tanah pada tanah yang diusahakan atau dimanfaatkan.

Pasal 97
(1) Pemegang IUP atau IPR sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib
menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara
bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IPR.

Pasal 98
(1) Pemegang IUP atau IPR yang telah melaksanakan penyelesaian terhadap bidang-bidang
tanah dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Hak atas IUP atau IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan hak
kepemilikan atas tanah.

BAB XII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Kesatu
Pembinaan

Pasal 99
(1) Bupati melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha
pertambangan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan;

28
b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi;
c. pendidikan dan pelatihan; dan
d. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan
penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral bukan logam dan batuan.
(3) Bupati bertanggung jawab melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP dan IPR.

Bagian Kedua
Pengawasan
Paragraf 1
Umum

Pasal 100
(1) Bupati melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha
pertambangan.
(2) Bupati melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang
dilakukan oleh pemegang IUP dan IPR.
(3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Gubernur
Provinsi Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 101
(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100, dapat berupa:
a. teknis pertambangan;
b. pemasaran;
c. keuangan;
d. pengolahan data mineral bukan logam dan batuan;
e. konservasi sumber daya mineral bukan logam dan batuan;
f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;
g. keselamatan operasi pertambangan;
h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang;
i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun
dalam negeri;
j. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan;
k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat;
l. pengusahaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan;
m. kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut
kepentingan umum;
n. pengelolaan IUP atau IPR; dan
o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf e, huruf f, huruf g, huruf
h, dan huruf l dilakukan oleh inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dalam hal belum mempunyai inspektur tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh Kepala Dinas.

Pasal 102
Bupati wajib melaporkan pelaksanaan usaha pertambangan di wilayahnya sekurang-kurangnya
1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan kepada Gubernur dan Menteri.

Pasal 103
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan IUP dan IPR diatur dengan
Peraturan Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

29
Paragraf 2
Pengawasan Pengelolaan lzin Usaha Pertambangan

Pasal 104
(1) Pengawasan pengelolaan IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf n,
meliputi:
a. prosedur perizinan, meliputi eksplorasi dan operasi produksi;
b. pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan.
(2) Pengawasan pelaksanaan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi
tahap penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
(3) Pengawasan pelaksanaan operasi produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi konstruksi, operasi produksi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan
penjualan serta pascatambang.
(4) Pengawasan pengelolaan IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
berkala oleh Kepala Dinas.
(5) Ketentuan mengenai pengawasan pengelolaan IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 105
(1) Bupati melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha
pertambangan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. administrasi/tata laksana; dan
b. operasional.

Pasal 106
(1) Bupati melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang
dilakukan oleh pemegang IUP dan IPR.
(2) Bupati melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang
dilakukan oleh :
a. pemegang IUP, yang WIUP-nya berada pada wilayah Daerah dan operasi produksi
kegiatannya berada di wilayah Daerah dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat)
mil;
b. pemegang IPR, yang WIUPR-nya berada pada wilayah Daerah dan operasi produksi
kegiatannya berada di wilayah Daerah dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat)
mil.

Pasal 107
(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dapat dilakukan
secara administratif dan operasional.
(2) Pengawasan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. evaluasi laporan perencanaan kegiatan usaha pertambangan;
b. evaluasi laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan.
(3) Pengawasan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain
pengawasan langsung seluruh kegiatan di lapangan yang dilaksanakan oleh pemegang IUP
dan IPR.

Pasal 108
(1) Pemegang IUP dan Pemegang IPR wajib menyampaikan laporan tertulis secara berkala
setiap 1 (satu) bulan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 dan
Pasal 98 kepada Bupati.

30
(2) Bupati wajib meneruskan laporan tertulis pemegang IUP dan IPR sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada Gubernur dan Menteri secara berkala setiap 6 (enam) bulan.

Paragraf 3
Inspektur Tambang

Pasal 109
(1) Pengangkatan Inspektur Tambang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Inspektur tambang mempunyai tugas melakukan pemeriksaan, penyelidikan, dan
pengujian dan wajib menyampaikan laporannya kepada Kepala Dinas.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), inspektur tambang
mempunyai kewenangan :
a. memasuki tempat kegiatan usaha pertambangan setiap saat;
b. menghentikan atau menutup untuk sementara waktu sebagian atau seluruh kegiatan
pertambangan mineral bukan logam dan batuan, apabila kegiatan dimaksud dinilai
dapat membahayakan keselamatan pekerja tambang, keselamatan umum, atau
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan;
c. mengusulkan penutupan secara tetap sebagian atau seluruh kegiatan pertambangan
mineral bukan logam dan batuan apabila kegiatan dimaksud dinilai dapat
membahayakan keselamatan pekerja tambang, keselamatan umum, atau menimbulkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan kepada Kepala Dinas.
(4) Inspektur Tambang melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan pertambangan
melalui:
a. evaluasi terhadap laporan berkala dan/atau sewaktu-waktu;
b. pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu;
c. penilaian atas keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan.

BAB XII
PERLINDUNGAN, PENGEMBANGAN DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Pasal 110
(1) Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan
berhak:
a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan
pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan
pertambangan yang menyalahi ketentuan.
(2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 111
(1) Pemegang IUP wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di
sekitar WIUP.
(2) Program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikonsultasikan dengan Bupati dan
masyarakat setempat.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan usulan program
kegiatan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat kepada Bupati untuk diteruskan
kepada pemegang IUP.

31
(4) Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diprioritaskan untuk masyarakat di sekitar WIUP yang terkena dampak langsung akibat
aktifitas pertambangan.
(5) Prioritas masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan masyarakat yang
berada dekat kegiatan operasional penambangan dengan tidak melihat batas administrasi
wilayah distrik.
(6) Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibiayai dari alokasi biaya program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
pada anggaran dan biaya pemegang IUP setiap tahun.
(7) Alokasi biaya program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) dikelola oleh pemegang IUP.

Pasal 112
Pemegang IUP setiap tahun wajib menyampaikan rencana dan biaya pelaksanaan program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari rencana kerja dan
anggaran biaya tahunan kepada Bupati untuk mendapat persetujuan.

Pasal 113
Setiap pemegang IUP Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan realisasi program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setiap 6 (enam) bulan kepada Bupati.

Pasal 114
Ketentuan mengenai tata cara pengembangan dan pemberdayaan masyarakat diatur dengan
Peraturan Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XIII
REKLAMASI DAN PASCATAMBANG
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 115
(1) Pemegang IUP dan IPR wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang.
(2) Reklamasi wajib dilaksanakan pada lahan yang rusak akibat kegiatan penambangan.
(3) Pascatambang wajib dilaksanakan untuk memulihkan fungsi lingkungan menurut kondisi
lokal di seluruh wilayah penambangan.
(4) Pelaksanaan reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) wajib memenuhi prinsip-prinsip lingkungan hidup pertambangan, keselamatan dan
kesehatan kerja, serta konservasi mineral bukan logam dan batuan.

Pasal 116
Prinsip-prinsip lingkungan hidup pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115
ayat (4), meliputi :
a. Perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air laut, dan air tanah serta udara sesuai
dengan standart baku mutu lingkungan;
b. Perlindungan keanekaragaman hayati;

32
c. Stabilitas dan keamanan timbunan batuan penutup, lahan bekas tambang serta struktur
buatan lainnya;
d. Pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya; dan
e. Menghormati nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat setempat.

Pasal 117
Prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115
ayat (4), meliputi :
a. perlindungan keselamatan terhadap setiap pekerja; dan
b. perlindungan kesehatan pekerja.

Pasal 118
Prinsip-prinsip konservasi mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
115 ayat (4), meliputi :
a. Penambangan yang optimum dan penggunaan teknologi pengolahan yang efektif dan
efisien;
b. Pengelolaan dan/atau pemanfaatan cadangan mineral kualitas rendah dan mineral kadar
rendah serta mineral ikutan;
c. Pendataan sumberdaya cadangan mineral bukan logam dan batuan yang tidak tertambang
(yang tidak mineable) serta sisa pengolahan.

Pasal 119
(1) Setiap pemegang IUP wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang
pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi.
(2) Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun oleh pemegang IUP Eksplorasi berdasarkan AMDAL atau UKL dan UPL, atau
dokumen pengelolaan lingkungan yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
mempertimbangkan:
a. prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115;
b. peraturan perundang-undangan yang terkait;
c. sistem dan metode penambangan;
d. kondisi spesifik daerah.

Bagian Kedua
Rencana Reklamasi

Pasal 120
(1) Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119, disusun untuk pelaksanaan
setiap jangka waktu 5 (lima) tahun dengan rincian tahunan.
(2) Dalam hal umur tambang kurang dari 5 (lima) tahun, rencana reklamasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan umur tambang.
(3) Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi :
a. tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang;
b. rencana pembukaan lahan;
c. program reklamasi; dan
d. rencana biaya reklamasi.

33
Bagian Ketiga
Rencana Pascatambang

Pasal 121
(1) Rencana pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119, meliputi :
a. profil wilayah;
b. deskripsi kegiatan pertambangan;
c. rona lingkungan akhir lahan pascatambang;
d. kriteria keberhasilan;
e. program pascatambang;
f. organisasi; dan
g. rencana biaya pasca tambang.
(2) Rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil konsultasi
dengan Pemerintah Daerah, instansi terkait dan masyarakat.

Bagian Keempat
Penilaian dan Persetujuan Rencana Reklamasi

Pasal 122
(1) Bupati memberikan penilaian dan persetujuan atau penolakan atas rencana reklamasi
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima rencana
reklamasi, tidak termasuk jumlah hari yang diperlukan untuk penyempurnaan rencana
reklamasi.
(2) Apabila persetujuan tidak diberikan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja dan
tanpa saran penyempurnaan, rencana reklamasi yang diajukan dianggap disetujui.

Pasal 123
(1) Pemegang IUP wajib melakukan perubahan rencana reklamasi yang telah disetujui apabila
terjadi perubahan atas :
a. sistem penambangan;
b. tingkat produksi;
c. umur tambang;
d. tata guna lahan;
e. Amdal atau UKL dan UPL atau dokumen pengelolaan lingkungan.
(2) Pengajuan perubahan rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan
reklamasi periode tahun berikutnya.
(3) Bupati memberikan penilaian dan persetujuan atau penolakan atas perubahan rencana
reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak menerima perubahan rencana reklamasi, tidak termasuk jumlah hari
yang diperlukan untuk penyempurnaan perubahan rencana reklamasi.

Bagian Kelima
Penilaian dan Persetujuan Rencana Pascatambang

Pasal 124
(1) Bupati memberikan penilaian dan persetujuan atau penolakan atas rencana pascatambang
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak menerima rencana
pascatambang, tidak termasuk jumlah hari yang diperlukan untuk penyempurnaan rencana
pascatambang.

34
(2) Apabila persetujuan tidak diberikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja dan tanpa saran penyempurnaan, rencana pascatambang yang diajukan dianggap
disetujui.

Pasal 125
(1) Pemegang IUP wajib melakukan perubahan rencana pascatambang apabila terjadi
perubahan rencana reklamasi.
(2) Bupati memberikan penilaian dan persetujuan atau penolakan atas perubahan rencana
pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari kerja sejak menerima perubahan rencana pascatambang, tidak
termasuk jumlah hari yang diperlukan untuk penyempurnaan perubahan rencana
pascatambang.
(3) Perubahan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah
disetujui 1 (satu) tahun sebelum pelaksanaan kegiatan pascatambang.

Bagian Keenam
Pelaksanaan dan Pelaporan

Pasal 126
(1) Pemegang IUP dan IPR wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan
rencana reklamasi dan rencana pascatambang yang telah mendapat persetujuan Bupati.
(2) Pelaksanaan reklamasi dan pascatambang wajib dipimpin oleh seorang Kepala Teknik
Tambang dari perusahaan yang bersangkutan.
(3) Kepala Teknik Tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menunjuk dan
mengangkat petugas reklamasi dan pascatambang yang kompeten.

Pasal 127
(1) Pelaksanaan reklamasi dan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan
pascatambang.
(2) Pelaksanaan reklamasi dan pascatambang wajib dilakukan sesuai dengan rencana
reklamasi dan rencana pascatambang yang telah disetujui.

Bagian Ketujuh
Pelaksanaan dan Pelaporan Reklamasi

Pasal 128
(1) Pelaksanaan reklamasi wajib dilakukan pada lahan rusak akibat kegiatan penambangan.
(2) Lahan rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lahan bekas tambang dan
lahan di luar bekas tambang yang tidak digunakan lagi.
(3) Lahan yang tidak digunakan lagi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi lahan yang
ditinggalkan sementara dan/atau permanen.
(4) Lahan di luar bekas tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. timbunan tanah penutup;
b. timbunan bahan baku/produksi;
c. jalan transportasi;
d. pabrik/instalasi pengolahan/pemurnian;
e. kantor dan perumahan; dan/atau
f. pelabuhan,

35
(5) Pelaksanaan reklamasi wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja setelah tidak ada kegiatan usaha pertambangan pada lahan rusak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(6) Pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5)
dinyatakan selesai apabila telah memenuhi kriteria keberhasilan reklamasi sesuai ketentuan
yang berlaku.

Pasal 129
Dalam hal pelaksanaan reklamasi terdapat di dalam kawasan hutan, maka perencanaan dan
pelaksanaan reklamasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 130
Pemegang IUP dan IPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan reklamasi setiap 6
(enam) bulan kepada Bupati.

Bagian Kedelapan
Pelaksanaan dan Pelaporan Pascatambang

Pasal 131
(1) Pelaksanaan pascatambang untuk pemegang IUP wajib dilakukan setelah sebagian atau
seluruh kegiatan pertambangan pada lahan rusak akibat kegiatan pertambangan di dalam
dan/atau di luar WIUP berakhir.
(2) Dalam hal kegiatan usaha penambangan berakhir sebelum masa yang telah ditentukan
dalam rencana pascatambang yang telah disetujui, pemegang IUP wajib melaksanakan
pascatambang pada lahan rusak.
(3) Pelaksanaan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah kegiatan
penambangan berakhir.
(4) Pelaksanaan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3)
dinyatakan selesai apabila telah memenuhi kriteria keberhasilan pascatambang sesuai
ketentuan yang berlaku.

Pasal 132
Pemegang lUP dan IPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan pascatambang
setiap 3 (tiga) bulan kepada Bupati.

Bagian Kesembilan
Jaminan
Paragraf 1

Umum

Pasal 133
(1) Pemegang IUP wajib menyediakan Jaminan Reklamasi dan Jaminan Pascatambang sesuai
dengan perhitungan Rencana Biaya Reklamasi dan perhitungan Rencana Biaya
Pascatambang yang telah mendapat persetujuan Bupati.
(2) Jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
ditempatkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah jadwal
yang ditentukan.

36
Paragraf 2
Jaminan Reklamasi

Pasal 134
Pemegang IUP dapat menempatkan jaminan reklamasi dalam bentuk :
a. Deposito Berjangka;
b. Bank Garansi atau Asuransi;
c. Cadangan Akuntansi; atau
d. Jaminan dalam bentuk lain pada Bank yang ditunjuk oleh Bupati.

Pasal 135
(1) Jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 harus menutup seluruh biaya
pelaksanaan reklamasi.
(2) Penempatan Jaminan Reklamasi tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP untuk
melaksanakan reklamasi.
(3) Biaya pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan
pelaksanaan reklamasi oleh pihak ketiga.
(4) Tata cara dan persyaratan mengenai jaminan reklamasi diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 136
(1) Dalam hal pemegang IUP tidak memenuhi kriteria keberhasilan pelaksanaan reklamasi
berdasarkan evaluasi laporan dan/atau penilaian lapangan, Bupati dapat menetapkan pihak
ketiga untuk melaksanakan kegiatan reklamasi dengan menggunakan jaminan reklamasi.
(2) Dalam hal jaminan reklamasi yang telah ditetapkan tidak menutupi untuk menyelesaikan
reklamasi, kekurangan biaya reklamasi tetap menjadi tanggung jawab pemegang IUP.

Pasal 137
(1) Pemegang IUP dapat mengajukan pencairan atau pelepasan dana jaminan reklamasi
kepada Bupati.
(2) Tata cara pelaksanaan pencairan atau pelepasan dana jaminan reklamasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 3
Jaminan Pascatambang

Pasal 138
Jaminan pascatambang ditempatkan setiap tahun dalam bentuk Deposito Berjangka.

Pasal 139
(1) Jaminan pascatambang harus menutup seluruh biaya pelaksanaan pekerjaan
pascatambang.
(2) Biaya pelaksanaan pekerjaan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperhitungkan berdasarkan pascatambang yang dilakukan oleh pihak ketiga.
(3) Penempatan jaminan pascatambang tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP untuk
melaksanakan pascatambang.
(4) Tata cara dan persyaratan mengenai jaminan pascatambang diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

37
Pasal 140
(1) Dalam hal pemegang IUP tidak memenuhi kriteria keberhasilan pelaksanaan kegiatan
pascatambang berdasarkan evaluasi laporan dan/atau penilaian lapangan, Bupati dapat
menetapkan pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan pascatambang dengan
menggunakan jaminan pascatambang.
(2) Dalam hal kegiatan usaha penambangan berakhir sebelum masa yang telah ditentukan
dalam rencana pascatambang yang telah disetujui, maka pemegang IUP wajib
menyediakan jaminan pascatambang sesuai dengan yang telah ditetapkan.
(3) Dalam hal jaminan pascatambang yang telah ditetapkan tidak cukup untuk menyelesaikan
pascatambang, kekurangan biaya pascatambang tetap menjadi tanggung jawab
pemegang IUP.

Pasal 141
(1) Pemegang IUP dapat mengajukan pencairan dana jaminan pascatambang kepada Bupati.
(2) Tata cara pelaksanaan pencairan atau pelepasan dana jaminan pascatambang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kesepuluh
Reklamasi dan Pascatambang Bagi Pemegang IPR

Pasal 142
(1) Pemegang IPR wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang.
(2) Bupati menetapkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang bagi pemegang IPR.

Bagian Kesebelas
Pengawasan Reklamasi dan Pascatambang

Pasal 143
(1) Pengawasan pelaksanaan reklamasi dan pascatambang dilakukan oleh Bupati.
(2) Untuk melaksanakan tugas pengawasan, sebagaimana dimaksud ayat (1) Bupati
menugaskan Dinas Pertambangan.
(3) Dinas dalam melaksanakan tugasnya berkoordinasi dengan instansi terkait.

Bagian Keduabelas
Penyerahan Lahan Pascatambang

Pasal 144
(1) Pemegang IUP yang telah melaksanakan reklamasi atau pascatambang dapat
menyerahkan lahan yang telah direklamasi atau lahan pascatambang pada Bupati.
(2) Dalam hal lahan pascatambang yang telah diserahkan masih memerlukan pemeliharaan
dan/atau pemantauan jangka panjang, Bupati memerintahkan kepada pemegang IUP
untuk menempatkan dana abadi.

BAB XIV
PENYIDIKAN

Pasal 145
(1) Selain Penyidik Kepolisian, Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkungan
Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan

38
tindak pidana di bidang pengelolaan pertambangan mineral bukan logam dan batuan,
sebagimana dimaksud dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang.
(3) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang pengelolaan pertambangan mineral bukan logam dan
batuan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana
pengelolaan pertambangan mineral bukan logam dan batuan tersebut;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana dibidang pengelolaan pertambangan mineral bukan logam dan
batuan;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan
tindak pidana di bidang pengelolaan pertambangan mineral bukan logam dan batuan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan,
dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
di bidang pengelolaan pertambangan mineral bukan logam dan batuan;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda,
dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang pengelolaan
pertambangan mineral bukan logam dan batuan;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
pengelolaan pertambangan mineral bukan logam dan batuan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada
Penyidik Kepolisian dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.

BAB XV
KETENTUAN PIDANA

Bagian Kesatu
Sanksi Administratif

Pasal 146
(1) Bupati memberi sanksi administratif kepada pemegang IUP dan IPR yang tidak memenuhi
dan mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal
70, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81 dan Pasal 85.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
a. peringatan tertulis;
b. pencabutan IUP dan IPR;
c. pembayaran uang paksa.

Pasal 147

39
(1) Peringatan tertulis diberikan kepada pemegang IUP dan IPR yang tidak mematuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, Pasal 68, Pasal 70, Pasal 74, Pasal 75,
Pasal 76, Pasal 77, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81 dan Pasal 85.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga)
kali dalam jangka waktu peringatan masing-masing 1 (satu) bulan.

Pasal 148
Pemegang IUP dan IPR setelah mendapatkan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 147 tetap tidak mematuhinya, Bupati menghentikan sebagian atau seluruh kegiatan
penambangan.
Pasal 149
Bupati mencabut izin usaha pertambangan, apabila pemegang IUP dan IPR setelah diberikan
teguran tertulis dan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 148, dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya penghentian
sebagian atau seluruh kegiatan tidak memperbaiki kesalahannya atau memenuhi persyaratan
yang ditetapkan tersebut.
Pasal 150
Bupati memberi sanksi administratif berupa pembayaran uang paksa bagi pemegang IUP yang
tidak memenuhi ketentuan Pasal 68 huruf a, huruf c, huruf d dan huruf e, Pasal 69 huruf c,
huruf d, dan huruf e.
Bagian Kedua
Sanksi Pidana

Pasal 151
Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP dan IPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 19, Pasal 44 dan Pasal 45 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).

Pasal 152
Pemegang IUP dan IPR yang dengan sengaja menyampaikan laporan yang menjadi
kewajibannya dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).

Pasal 153
(1) Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 154
Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan,
melakukan pengolahan dan pemurnian serta pengangkutan, penjualan mineral bukan logam
dan batuan yang bukan dari pemegang IUP dan IPR, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).

Pasal 155

40
Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang
IUP yang telah memenuhi syarat-syarat, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 156
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh suatu badan
hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan
ditambah 1/3 (satu pertiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) badan hukum dapat dijatuhi
pidana tambahan berupa pencabutan status badan hukum.

Pasal 157
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151, Pasal 152, Pasal 153, Pasal 154, dan
Pasal 155 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana;
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan atau
c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.

Pasal 158
Setiap orang yang mengeluarkan IUP dan IPR yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini
dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara
dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 159
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Jayapura.

Ditetapkan di Sentani
pada tanggal 16 Agustus 2012

PJ. BUPATI JAYAPURA,


ttd.
JANSEN MONIM, S.T., M.M

Diundangkan di Sentani
pada tanggal 16 Agustus 2012
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN JAYAPURA,
ttd.
Drs. EDISON MUABUAY, M.Si
PEMBINA UTAMA MUDA
NIP 195905021984101003.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA TAHUN 2012 NOMOR 2

untuk salinan yang sah sesuai dengan aslinya,


a.n. SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN JAYAPURA

41
KEPALA BAGIAN HUKUM
DAN PERUNDANG-UNDANGAN,

T R I O N O, S.H.
PEMBINA
NIP. 19630906 199303 1 005

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA
NOMOR 2 TAHUN 2012
TENTANG
PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM
DAN BATUAN

I. PENJELASAN UMUM

Potensi sumber daya alam keberadaannya dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 33 ayat (2) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hayat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan ayat (3)
menegaskan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian makna
filosofis yang mendasar tentang pengelolaan kekayaan alam untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat.

Dalam perkembangan dewasa ini tambang sangat berkaitan dengan Hak Asasi Manusia
(HAM) karena pengelolaannya bersentuhan langsung dengan hak-hak masyarakat pemilik
wilayah tambang, baik manfaat maupun dampak. Oleh karena itu pengaturan tentang
potensi sumber daya alam khusus tambang mineral bukan logam dan batuan menjadi
penting melalui Produk Hukum Daerah sebagai implementasi dari hukum pertambangan
yang lebih tinggi kedudukannya. Keharusan pengelolaan tambang mineral bukan logam
dan batuan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan berkaitan dengan kewajiban
Pemerintah Daerah dalam pengelolaan dan pelestarian fungsi lingkungan dengan tetap
menjaga kelestarian alam dan lingkungan.

Kelestarian fungsi lingkungan mencakup kelestarian lingkungan alam dan lingkungan sosial.
Kelestarian yang demikian memerlukan kearifan dalam pengelolaan tambang mineral bukan
logam dan batuan, sehingga tidak menimbulkan dampak lingkungan yang berakibat
bencana alam dan rusaknya kondisi alam sekitar. Demikian juga kondisi lingkungan sosial
perlu mendapat perhatian khusus, karena pengelolaan tambang yang tidak menggunakan
kearifan dapat berakibat konflik sosial diantara masyarakat dengan masyarakat, antara
masyarakat dengan pengelola dan dapat juga konflik antara masyarakat dengan
pemerintah.

Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Jayapura sesuai kewenangan yang
ada diberi tanggung jawab mengelola kekayaan potensi sumber daya alam termasuk
potensi sumber daya pertambangan mineral bukan logam dan batuan yang berada di
wilayah Kabupaten Jayapura yang merupakan anugerah Tuhan, yang harus dikelola dan

42
dimanfaatkan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan,
dan kemanfaatan, serta prinsip pelestarian fungsi ekologi dan lingkungan.

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Cukup Jelas

Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Huruf b,
yang dimaksud dengan konflik masyarakat adalah konflik atau perselisihan yang terjadi
antara masyarakat dengan pemegang IUP atau IPR atau antara masyarakat terkait dengan
sumber daya pertambangan mineral dan batubara termasuk mineral bukan logam dan
batuan di wilayah usaha pertambangan.
Pasal 5
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup Jelas
Pasal 8
Cukup Jelas
Pasal 9
Cukup Jelas
Pasal 10
Cukup Jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Cukup Jelas
Pasal 13
Cukup Jelas
Pasal 14
Cukup Jelas
Pasal 15
Cukup Jelas
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal 17
Cukup Jelas
Pasal 18
Cukup Jelas
Pasal 19
Cukup Jelas
Pasal 20

43
Cukup Jelas
Pasal 21
Cukup Jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup Jelas
Pasal 24
Cukup Jelas

Pasal 25
Cukup Jelas
Pasal 26
Cukup Jelas
Pasal 27
Cukup Jelas
Pasal 28
Cukup Jelas
Pasal 29
Cukup Jelas
Pasal 30
Cukup Jelas
Pasal 31
Cukup Jelas
Pasal 32
Ayat 2
huruf b
jenis-jenis logam baru yang ditemukan dalam penyelidikan, diluar jenis mineral bukan
logam dan batuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 33
Cukup Jelas
Pasal 34
Cukup Jelas
Pasal 35
Cukup Jelas
Pasal 36
Cukup Jelas
Pasal 37
Cukup Jelas
Pasal 38
Cukup Jelas
Pasal 39
Cukup Jelas
Pasal 40
Cukup Jelas
Pasal 41
Cukup Jelas
Pasal 42

44
Cukup Jelas
Pasal 43
Cukup Jelas
Pasal 44
Cukup Jelas
Pasal 45
Cukup Jelas
Pasal 46
Cukup Jelas

Pasal 47
Cukup Jelas
Pasal 48
Cukup Jelas
Pasal 49
Cukup Jelas
Pasal 50
Cukup Jelas
Pasal 51
Cukup Jelas
Pasal 52
Cukup Jelas
Pasal 53
Cukup Jelas
Pasal 54
Cukup Jelas
Pasal 55
Cukup Jelas
Pasal 56
Cukup Jelas
Pasal 57
Cukup Jelas
Pasal 58
Cukup Jelas
Pasal 59
Cukup Jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Pengusaha lokal dan tenaga kerja lokal yang dimaksud, diutamakan bagi orang asli
Papua dalam rangka pemberdayaan dan keberpihakan sesuai dengan klasifikasi dan
kualifikasi atau grade perusahaan dari pelaku usaha yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup Jelas

45
Pasal 61
Cukup Jelas
Pasal 62
Cukup Jelas
Pasal 63
Cukup Jelas
Pasal 64
Cukup Jelas
Pasal 65
Cukup Jelas
Pasal 66
Cukup Jelas
Pasal 67
Cukup Jelas
Pasal 68
Cukup Jelas
Pasal 69
Cukup Jelas
Pasal 70
Cukup Jelas
Pasal 71
Cukup Jelas
Pasal 72
Cukup Jelas
Pasal 73
Cukup Jelas
Pasal 74
Cukup Jelas
Pasal 75
Cukup Jelas
Pasal 76
Cukup Jelas
Pasal 77
Cukup Jelas
Pasal 78
Cukup Jelas
Pasal 79
Cukup Jelas
Pasal 80
Cukup Jelas
Pasal 81
Cukup Jelas
Pasal 82
Cukup Jelas
Pasal 83
Cukup Jelas
Pasal 84

46
Cukup Jelas
Pasal 85
Cukup Jelas
Pasal 86
Cukup Jelas
Pasal 87
Cukup Jelas
Pasal 88
Cukup Jelas
Pasal 89
Cukup Jelas
Pasal 90
Cukup Jelas
Pasal 91
Cukup Jelas
Pasal 92
Cukup Jelas
Pasal 93
Cukup Jelas
Pasal 94
Cukup Jelas
Pasal 95
Cukup Jelas
Pasal 96
Cukup Jelas
Pasal 97
Cukup Jelas
Pasal 98
Cukup Jelas
Pasal 99
Cukup Jelas
Pasal 100
Cukup Jelas
Pasal 101
Cukup Jelas
Pasal 102
Cukup Jelas
Pasal 103
Cukup Jelas
Pasal 104
Cukup Jelas
Pasal 105
Cukup Jelas
Pasal 106
Cukup Jelas
Pasal 107
Cukup Jelas

47
Pasal 108
Cukup Jelas
Pasal 109
Cukup Jelas
Pasal 110
Cukup Jelas
Pasal 111
Cukup Jelas

Pasal 112
Cukup Jelas
Pasal 113
Cukup Jelas
Pasal 114
Cukup Jelas
Pasal 115
Cukup Jelas
Pasal 116
Cukup Jelas
Pasal 117
Cukup Jelas
Pasal 118
Cukup Jelas
Pasal 119
Cukup Jelas
Pasal 120
Cukup Jelas
Pasal 121
Cukup Jelas
Pasal 122
Cukup Jelas
Pasal 123
Cukup Jelas
Pasal 124
Cukup Jelas
Pasal 125
Cukup Jelas
Pasal 126
Cukup Jelas
Pasal 127
Cukup Jelas
Pasal 128
Cukup Jelas
Pasal 129
Cukup Jelas
Pasal 130
Cukup Jelas

48
Pasal 131
Cukup Jelas
Pasal 132
Cukup Jelas
Pasal 133
Cukup Jelas
Pasal 134
Cukup Jelas
Pasal 135
Cukup Jelas
Pasal 136
Cukup Jelas
Pasal 137
Cukup Jelas
Pasal 138
Cukup Jelas
Pasa 139
Cukup Jelas
Pasal 140
Cukup Jelas
Pasal 141
Cukup Jelas
Pasal 142
Cukup Jelas
Pasal 143
Cukup Jelas
Pasal 144
Cukup Jelas
Pasal 145
Cukup Jelas
Pasal 145
Cukup Jelas
Pasal 146
Cukup Jelas
Pasal 147
Cukup Jelas
Pasal 148
Cukup Jelas
Pasal 149
Cukup Jelas
Pasal 150
Cukup Jelas
Pasal 151
Cukup Jelas
Pasal 152
Cukup Jelas
Pasal 153
Cukup Jelas

49
Pasal 154
Cukup Jelas
Pasal 155
Cukup Jelas
Pasal 156
Cukup Jelas
Pasal 157
Cukup Jelas

Pasal 158
Cukup Jelas
Pasal 159
Cukup Jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA TAHUN 2012 NOMOR 8

50

Anda mungkin juga menyukai