Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

DISTOKIA PADA HEWAN BESAR

Cerelia, SKH B94154307


Reinilda Alwina, SKH B94154335
Tri Setyo Purwanto, SKH B94154345

BAGIAN REPRODUKSI
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR vi
PENDAHULUAN 1
ETIOLOGI 2
KAUSA 2
Distokia maternalis 2
Abnormal pelvis 2
Stenosis vulva dan vagina 2
Vaginal cystocoele 3
Incomplete dilatasi serviks 3
Torsio uteri 3
Rupture uteri 3
Distokia fetalis 4
Oversize fetus 4
Abnormal fetus 4
FAKTOR PREDISPOSISI 6
Body condition score (BCS) 6
Usia induk 6
Fetus kembar 6
Waktu kelahiran 6
Jenis kelamin fetus 6
PENANGANAN DISTOKIA 6
Mutasi dan repulsi 6
Rotasi 7
Fetotomi 8
Sectio caesaria 10
SIMPULAN 10
DAFTAR PUSTAKA 10
DAFTAR GAMBAR
1 Berbagai macam kedudukan fetus sapi yang abnormal 5
2 Tindakan repulsi pada fetus 7
3 Tindakan rotasi pada fetus 7
4 Teknik Slow Rolling pada torsio uteri (Naggar 2016) 8
5 Alat fetotomi 9
6 Fetotomi dengan situs fetus cranial 9
PENDAHULUAN

Reproduksi, salah satu kemampuan yang dimiliki makhluk hidup, dilakukan


dalam rangka menghasilkan keturunan untuk melestarikan suatu jenis, termasuk
tumbuhan dan hewan. Kemampuan ini dapat terjadi melalui proses tertentu dengan
variasi yang bermacam-macam pada setiap jenis, salah satunya melalui
perkawinan. Sebagian besar hewan mengalami reproduksi melalui proses
perkawinan, dimana sel ovum betina akan dibuahi oleh sel sperma jantan sehingga
menghasilkan sebuah sel baru yaitu zygot yang akan berkembang hingga menjadi
fetus. Fetus akan lahir dan tumbuh hingga dewasa lalu reproduksi akan kembali
terjadi dan seterusnya sehingga keturunan akan terus dihasilkan. Oleh karena itu,
reproduksi yang baik juga mampu mempertahankan keberlangsungan generasi
suatu jenis makhluk hidup.
Kemampuan reproduksi juga merupakan aspek yang sangat penting dan
menjadi perhatian utama dalam suatu peternakan. Sebagai salah satu komoditi yang
berkaitan dalam pemenuhan kebutuhan pangan terutama daging dan susu,
keberlangsungan populasi ternak hewan besar, seperti sapi, sangat diperhatikan.
Hal ini berkaitan dengan jumlah dan produk yang dihasilkan dalam suatu populasi
ternak tersebut. Bibit yang unggul serta manajemen yang baik sangat memengaruhi
kualitas dari keturunan yang dihasilkan. Namun, proses tersebut juga sering
mengalami gangguan sehingga dapt meningkatkan resiko terjadinya kegagalan
dalam reproduksi hingga kematian baik induk maupun fetus.
Selama tahap pertama persalinan pada kebuntingan normal (eutokia), sapi
akan menjauhkan diri dari kawanan, menunjukkan tanda-tanda kegelisahan dan
cenderung untuk berbaring dan bangun. Tanda-tanda ini sangat jelas pada sapi
pertama bunting daripada sapi dewasa yang pernah bunting. Dalam tahap ini,
kontraksi rahim terkoordinasi dimulai. Kontraksi ini meningkat setiap 15 menit.
Panjang tahap ini harus berlangsung sekitar 2-6 jam. Jika tahap ini lama, penurunan
aliran darah dan oksigen dari kontraksi uterus berulang mungkin mulai
mempengaruhi kelangsungan hidup janin. Ketika anak sapi dilahirkan kemudian
mati terjadi karena tahap satu berkepanjangan yang gagal menuju tahap dua. Tahap
kedua persalinan terjadi ketika serviks sepenuhnya melebar dan bagian janin
memasuki jalan lahir dan akhirnya terlihat. Sapi tersebut tampak berkontraksi otot-
otot perutnya dalam upaya untuk mendorong fetus melalui jalan lahir. Upaya yang
signifikan pertama mendorong kepala melalui vulva sapi. Pada titik ini sapi akan
sering mengambil jeda singkat yang penting, sehingga sapi mengambil napas dari
udara, karena tali pusar anak sapi dikompresi dalam jalan lahir. Ini setelah ini fetus
keluar. Tahap dua biasanya dapat bertahan dari 30 menit sampai 2 jam. Tahap akhir,
tahap tiga, adalah keluarnya plasenta, yang biasanya terjadi dalam waktu 8-12 jam
(Purohit et al. 2011). Bila lebih dari waktu yang telah diperkirakan, maka perlu
adanya pemeriksaan untuk mengetahui keadaan hidup fetus dapat dilihat dengan
cara mengetahui refleks pada anak sapi. Untuk mengetahui viabilitas dari seekor
anak sapi dapat dilakukan dengan palapasi vagina. Bila situs dari anak sapi situs
longitudinal anterior maka dapat menentukan viabilitas dari refleks ujung
ekstremitas depan, refleks menghisap mulut dan refleks mengedip dari mata. Pada
situs longitudinal posterior dapat memeriksa viabilitas dari refleks extremitas
bagian belakang dan refleks menjepit dari anus (Hopper 2015).
2

Distokia merupakan salah satu gangguan reproduksi yang sering ditemukan


pada peternakan, terutama ternak sapi. Adanya gangguan berupa distokia ini dapat
menimbulkan kerugian pada peternak, karena hampir sebagian besar kejadian
distokia berlanjut dengan kejadian stilbirth dimana anak sapi mati sesaat setelah
berhasil keluar dari induknya (Waldner 2014). Hal ini merugikan peternak dari segi
ekonomi karena selain kehilangan bakal ternak, induk juga mengalami resiko
cedera akibat proses penanganan distokia tersebut. Berdasarkan kepentingan aspek
reproduksi terutama terkait gangguan reproduksi berupa distokia, maka perlu
adanya pemahaman yanhg baik terhadap penyebab, faktor yang berpengaruh dan
penanganan distokia yang dapat dilakukan pada hewan ternak besar, terutama
ternak sapi.

ETIOLOGI

Distokia adalah suatu kondisi stadium pertama kelahiran (dilatasi cervik) dan
kedua (pengeluaran fetus) lebih lama dan menjadi sulit sehingga tidak mungkin lagi
bagi induk untuk mengeluarkan fetus (Ratnawati 2007).

KAUSA

Penyebab distokia pada sapi berdasarkan asal gangguan dapat dikelompokkan


menjadi dua, yaitu distokia maternalis dan distokia fetalis.

Distokia maternalis

Distokia maternalis merupakan distokia yang terjadi akibat adanya gangguan


pada induk sapi seperti obstruksi atau konstriksi saluran kelahiran, misalnya
abnormal pada pelvis, neoplasia pada vagina dan vulva, incomplete dilatasi serviks,
vulva atau vagina stenosis, vaginal cystocoele, torsio uteri, inertia uteri dan rupture
uteri (Purohit et al. 2011).

Abnormal pelvis
Abnormal pada pelvis dapat menyebabkan terjadinya distokia. Hal ini dapat
terjadi karena ukuran pelvis yang kecil sehingga menyulitkan fetus untuk keluar,
penonjolan pada pelvis (exotoses), osteomalacia dan hypoplasia vagina dan vulva.
Kecilnya rongga pelvis dapat terjadi pada sapi bunting tua, perkawinan antara sapi
jenis besar dengan jenis betina yang kecil, adanya fraktur rongga pelvis, dan
pertumbuhan sapi betina yang buruk.

Stenosis vulva dan vagina


Stenosis pada vulva dan vagina dapat terjadi bila aadanya luka parut, penyakit
congenital stenosis vagina, dan abses pada vagina. Adanya abses pada perivagina
tidak akan mempengaruhi keadaan fetus namun saat fetus mencoba untuk lahir
3

abses ini akan bermasalah dengan menyebarkan pernyakit pada anaknya dan
membuat perlukaan pada vagina.

Vaginal cystocoele
Vaginal cystocoele merupakan keadaan dimana vesica urinary berpidah tempat
melalui uretra ke vagina atau melalui perlukaan pada lantai vagina sehingga
menyebabkan fetus sulit keluar. Keadaan seperti ini penanganan yang dapat
dilakukan berupa anaestesi epidural mereposisi VU dan fetus baru dapat
dikeluarkan dari rongga perut.

Incomplete dilatasi serviks


Dilatasi serviks sangat penting pada proses kelahiran agar fetus dapat keluar.
aktivasi dari jaringan inflamasi sangat berperan penting dalam dilatasi serviks.
Peningkatan sitokin inflamasi selama proses partus diketahui berefek pada dilatasi
serviks yang saling berpengaruh terhadapa hormone. Ketika serviks benar-benar
terbuka maka pada saat palpasi rectal akan terasa jelas, namun ketika dilatasi tidak
sempurna akan teraba jelas. penanganan yang dapat diberikan estrogen seperti
estradiol 20-30 mg.

Torsio uteri
Torsio uteri biasanya terjadi pada koruna uteri, namun torsio ini dapat
terjadi pada corpus, bahkan pada vagina. Torsio uteri terjadi selama salah satu
cornua uteri bunting dan inordinate fetus atau terhambatnya pergerakan fetus yang
memungkinkan terjadinya torsio uteri. Terjadinya torsio uteri dapat pada saat
kebuntingan, diakhir kebuntingan bahkan pada saat partus. Torsio dapat ke kiri atau
ke kanan dengan derajat putaran dapat 90-720. Gejala klini yang terlihat kolik,
anoreksia, depresi dan apatis.

Inetia uteri
Pada saat keadaaan ini walaupun serviks telah dilatasi, fetus dalam keadaan,
posisi, dan postur yang normal, fetus tidak cepat lahir. Hal ini dikarenakan
kurangnya kontraksi dari uterus. Inertia uteri biasanya terjadi pada sapi perah dan
kerbau dan perlu dipertimbangkan hewan sedang hipokalsemia dengan gejala milk
fever. Terapi yang dapat diberikan dapat berupa pemberian kalsium boroglukonat
secara IV dan 15-20 IU oksitosin.

Rupture uteri
Rupture uteri dapat terjadi karena kecelakaan, atau perlukaan akibat torsio
uteri. Luka yang besar pada uterus dapat menyebabkan fetus masuk ke rongga
peritoneal atau setelah partus organ visceral dapat keluar dari vagina melalui
perlukaan besar uterus. Hal ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan
kematian pada fetus. Keadaan seperti ini hewan biasanya dalam keadaan yang
buruk sehingga harus segera diberikan terapi cairan dan dilakukan laparotomi.
Fetus yang mungkin ada di uterus atau di rongga abdomen harus segera dikeluarkan
dan perlukaan pada uterus perlu diperbaiki.
4

Distokia fetalis

Distokia dengan penyebabnya adalah fetus terdiri dari fetus yang terlalu besar
dan abnormal pada fetus (Purohit et al. 2011).

Oversize fetus
Oversize fetus umumnya terjadi pada sapi dibandingkan kerbau. Salah satu
penyebab terjadinya oversize fetus adalah perkawinan antar jenis sapi yakni
perkawinan sapi jenis kecil dengan sapi jenis besar sehingga menghasilkan fetus
dengan ukuran besar namun pelvis tidak cukup mendukung dalam proses kelahiran.
Penanganan yang dapat diberikan tergantung pada kondisi fetus. Bila fetus dalam
keadaan hidup dapat dilakukan operasi caesar, namun bila fetus mati dapat
dilakukan fetotomi (Purohit et al. 2012).

Abnormal fetus

Abnormal fetus yang dapat menyebabkan terjadinya distokia adalah


Schistosoma reflexus, kematian fetus diikuti dengan cyclopia, hydrocephalus,
achites, dan fetus maldisposisi (Purohit et al. 2012).
Pemeriksaan terhadap dari situs, posisi, dan sikap dari anak sapi perlu
dilakukan terlebih dahulu untuk menentukan tindakan bila terjadi distokia. Situs
merupakan perbandingan sumbu memanjang fetus terhadap sumbu memanjang
hewan induk. Berbagai macam situs yang dapat terlihat adalah situs longitudinal
anterior, longitudinal posterior, situs tranversal, situs vertikal, dan situs diagonal.
Posisi merupakan kedudukan punggung fetus terhadap tulang-tulang yang
membatasi jalan kelahiran (tulang pelvis/gerbang kelahiran). Macam posisi sebagai
berikut dorso sakral, dorso ilial dekstra, dorso ilial sinistra, dan dosro pubilikal.
Sikap adalah keadaan dari bagian tubuh fetus yang mudah dibengkokan seperi leher,
ekstremitas depan dan ekstremitas belakang (Hopper 2015).
5

Gambar 1 Berbagai macam kedudukan fetus sapi yang abnormal (Hopper 2015):
situs anterior dengan salah satu kaki depan terlipat (A), situs anterior
dengan tertekuknya kaki depan pada bagian lutut (B), situs anterior
dengan kaki depan bersilangan diatas leher (C), situs anterior dengan
kepala menunduk (D), situs anterior dengan kepala terlipat kebelakang
(E), situs anterior dengan posisi punggung berada di ventral (F), situs
anterior dengan kaki belakang menghadap ke arah pelvis (G), bagian
pantat menghadap jalan kelahiran (H dan I), situs posterior dengan
punggung mengarah ke bawah (J), semua kaki menghadap ke arah pelvis
(K), situs dorsolumbar (L).
6

FAKTOR PREDISPOSISI

Beberapa faktor predisposisi perlu diperhatikan karena dapat meningkatkan


resiko terjadinya distokia, antara lain perubahan body condition score (BCS), jenis
kelamin fetus, fetus kembar, usia induk, dan waktu kelahiran (Waldner 2014).

Body condition score (BCS)


Induk betina dengan nutrisi yang buruk (BCS rendah) atau nutrisi yang
berlebih dapat meningkatkan resiko terjadinya distokia. Manajemen nutrisi perlu
diperhatikan sebelum masa kelahiran untuk mengontrol BCS dari induk.

Usia induk
Induk yang mengalami kebuntingan pertama (primipara) pada usia kurang
lebih 2 tahun, memiliki resiko yang lebih besar mengalami distokia. Resiko tersebut
akan menurun setelah kebuntingan kedua dan ketiga pada sapi yang berusia 5 tahun.

Fetus kembar
Fetus kembar meningkatkan terjadinya distokia pada induk. Hal utama yang
menyebabkan distokia adalah adanya maldisposisi dari kedua fetus.

Waktu kelahiran
Pada daerah yang memiliki empat musim, distokia sering terjadi pada
kelahiran di bulan Desember hingga Februari. Resiko distokia menurun pada
kelahiran di bulan Maret dan April.

Jenis kelamin fetus


Distokia pada kelahiran fetus jantan lebih sering ditemukan dibandingkan
dengan kelahiran fetus betina. Fetus jantan mengalami pertumbuhan berat badan
lebih konstan dari pada fetus betina sehingga sering membutuhkan bantuan dalam
proses kelahiran fetus.

PENANGANAN DISTOKIA

Mutasi dan repulsi


Mutasi merupakan pengembalian kedudukan fetus yang menyimpang dan
dikembalkan pada kedudukan mendekati kedudukan normal. Hal yang dapat
dilakukan dengan teknik mutasi adalah repulsi atau fetus dikembalikan ke dalam
rongga perut. Cara melakukan metode mutasi dan traksi adalah mendorong kembali
fetus ke dalam rongga rahim untuk memperbaiki posisi fetus maka fetus dapat
ditarik keluar (Abdullah 2015). Lalu dapat digunakan rotasi atau pemutaran posisi
fetus terhadap sumbu longitudinalnya. Pada kedudukan anak sapi dari situs
longitudinal anterior atau longitudinal posterior dikembalikan pada posisi dorso
sakral. Tindakan pada versi merupakan tindakan pemutaran situs fetus dalam
sumbu tranversalnya menjadi situs anterior atau posterior. Tindakan perentangan
7

dan pembetulan letak ekstremitas dengan cara menarik kaki depan pada situs
longitudinal anterior menuju jalan kelahiran. Tindakan dari mutasi terhadap letak
kepala dengan cara mengikat tali pada mandibula anak sapi pada situs longitudinal
anterior dan ditarik ke arah jalan keluar kelahiran (Hopper 2015 dan Moges 2016).

Gambar 2 Tindakan repulsi pada fetus

Bila tindakan mutasi sudah terlaksana namun dorongan dari induk kurang dan
pemberian hormonal tidak ada reaksi maka dapat dilakukan tindakan tarik paksa.
Syarat dari tindakan ini adalah diameter fetus harus sama atau lebih besar dengan
diameter jalan kelahiran. Bila saat akan melakukan tindakan tarik paksa ternyata
cairan amion sudah kering dapat diberikan air kanji atau minyak kelapa. Tindakan
tarik paksa harus dilakukan seirama dengan kontraksi uterus dan mengikuti bentuk
tulang yang membatasi jalan kelahiran (Hopper 2015).

Rotasi

Distokia dapat dialami bila terjadi rotasi pada sekitar bagian uterin pada
bagian longitudinal axis akibat dari penggantung uterine yang tidak memiliki
panjang yang sama atau karena pergerakan fetus, tidak adanya keseimbangan
nutrisi, pernah terjadi Gambar
jatuh selama masarotasi
3 Tindakan kebuntingan,
pada fetussapi yang jalan pada
permukaan yang tidak rata. Terjadinya torsio uteri lebih sering pada betina bunting
usia trisemester akhir. Torsio uteri dapat menyebabkan jalan keluar bayi yang penek,
stenosis, dan fetus tidak dapat keluar saat waktunya. Metode yang akan diberikan
berupa koreksi keadaan situs fetus dan slow rolling (Naggar 2016).
8

Gambar 4 Teknik Slow Rolling pada torsio uteri (Naggar 2016)

Namun ada batasan dalam melakukan manipulasi misalkan saat bagian


carpal fetus tertekuk keduanya dan tolakan fetus untuk dilakukan manipulasi.
Karena hal tersebut diperlukan dilakukan episiotomi pada daerah vulva. Hal
pertama yang dilakukan adalah memblok daerah vulva dengan teknik ring blok
dengan menggunakan 5 ml Lignocaine hidroklorida (Abdullah 2015).
Setelah daerah tersebut diaseptik dengan menggunakan iodine dan
dilanjutkan sayatan melengkung di bagian posterior dari vulva dengan
menggunakan dengan menggunakan blade nomer 24. Lalu dapat dilakukan traksi
secara perlahan untuk mengevakuasi janin mati dan plasenta. Setelah semua janin
dan plasenta keluar maka dilakukan irigasi intrauterin dengan menggunakan 200
mL larutan NaCl 0.9% ,dan dilanjutkan dengan pemberian oxytetracycline dengan
dosis 20 mg / kg berat badan. Sebelum penjahitan maka diberikan vitamin K3 telah
ditanamkan ke dalam situs sayatan untuk mempercepat terjadinya koagulasi.
Penjahitan tipe simple interupted menggunakan benang jenis silk dengan nomer 3-
0. Setelah selasai penjahitan ditaburkan campuran bubuk negasunt dan pasta iodium
pada lokasi jahitan sebagai antiseptik. Perawatan selama paska-operasi diberiakn
obat berupa flunixin meglumine (dosis 2,2 mg / kg berat badan) via intramuskuler
dua kali sehari selama 3 hari sebagai anti-inflamasi, dan norodine dengan dosis 1
mL / 16-kg berat badan diberikan secara intramuskular sekali sehari selama 5 hari
sebagai antibiotik spektrum luas (Abdullah 2015).

Fetotomi
Fetotomi dapat diberikan bila fetus yang sudah mati. Petimbangan dilakukan
fetotomi adalah fetus terlalu besar atau jalan kelahiran terlalu kecil. Fetotomi
diberikan juga bila tindakan reposisi fetus sudah dilakukan namun adanya
hambatan terhadap pengeluran fetus. Alat yang digunakan untuk melakukan
fetotomi adalah fetotom jenis thygiesen. Alat utama kebidanan pada hewan besar
terdiri dari rantai kebidanan dengan panjang 152 cm dan 76 cm, krey hook dengan
rantai, t- bar obstetric chain handle, moore's obstetric handle, komponen dari fetal
extractor. Alat tambahan dari kebidanan adalah fetal head snare, de-torsion bar or
rod, wooden dowel for applying torque to detorsion bar, double blunt eye hooks
atau vienna scissor eye hooks. Alat fetotomi terdiri atas utrecht fetotome, threader
or insertion coil dan wire brush, lyss wire saw handles, wire saw handles, shriever
wire saw introducer of passer, hauptner wire saw introducer of passer, pisau
Linde's fetotomy palm, pisau geunther's fetotomy finger, side cutters to sever wires
saw, T-bar obstetric handle, krey hook with obstetric chain attached, wire saw,
moore's obstetric handle (Hopper 2015).
9

Gambar 5 Alat fetotomi terdiri atas utrecht fetotome (a), threader or insertion
coil and wire brush (b), lyss wire saw handles (c), wire saw handles
(d), shriever wire saw introducer of passer (e), hauptner wire saw
introducer of passer (f), Linde's fetotomy palm knife (g), geunther's
fetotomy finger knife (h), side cutters to sever wires saw (i), T-bar
obstetric handle (j), krey hook with obstetric chain attached (k), wire
saw (l), moore's obstetric handle (m) (Hopper 2015).

Untuk tindakan fetotomi diperlukan minimal tiga orang yang bertindak


sebagai operator, penarik kawat gergaji dan penahan bagian ang akan dipotong.
Tahap-tahap dalam melakukan fetotomi adalah dilakukan epidural anastesi. Lalu
dilakukan pembersihan bagian perianal induk. Alat fetotom sudah dilakukan
perendaman dengan cairan antiseptik. Operator yang akan mengerjakan harus
dalam keadaan tangan hingga lengan bersih. Pemotongan bagian fetus tergantung
dengan bagaian mana yang paling dekat dengan operator. Metode pemotongan
dapat dilakukan metoda langsung atau metode tidak langsung tergantung dari
keadaan fetus. Pemotongan diret dapat dilakukan bila bagian ekstermitas yang
merupakan bagian yang menghalangi. Pemtongaan tidak langsung dilakukan bila
bagain kepala yang menjadi penghalang kelahiran. Tindakan eviserasi atau
pengeluaran organ fetus dapat dilakukan bila hal tersebut menghalangi dalam
pengeluaran fetus (Moges 2016).

Gambar 6 Fetotomi dengan situs fetus cranial


10

Sectio caesaria
Tindakan pembedahan dapat dilakukan tindakan sectio caesaria. Tindakan
tersebut dilakukan dengan indikasi fetus yang masih hidup namun dengan cara tarik
paksa tidak dapat dilkaukan. Tindakan section caesaria dilakukan dalam keadaan
induk berdiri. Preoperasi yang dilakukan dalah anastesi epidural dan paralumbal
dan pada tempat penyayatan diberikan anastesi intrakutan pada bagian profundal
dan superficial. Daerah operasi pada bagian flank sebelah kiri. Sayatan yang
digunakan sebesar 30-35 cm secara vertikal (Moges 2016).

SIMPULAN

Kejadian distokia merupakan salah satu kejadian gangguan reproduksi yang


sering terjadi pada hewan besar seperti sapi. Hal tersebut memerlukan penanganan
yang tepat dan sesuai dengan kondisi induk dan fetus. Sehingga perlu adanya
pemahaman yang baik terhadap penyebab, faktor pendukung kejadian dan jenis
penanganan yang tepat, selain itu manajemen yang baik juga diperlukan untuk
menurunkan resiko terjadinya distokia pad ternak sapi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah et al. 2015. Management of fetal dystocia caused by carpal flexion in ewe.
J Adv Vet Anim Res.2(2): 225-228.
Anderson P. 2012. Cow/Calf Management: Minimizing Calving Difficulty in Beef
Cattle. Minesota (US): University of Minesota.
Hopper RM. 2015. Bovine Reproduction. Oxford (UK): Wiley Blackwell
Moges N. 2016. Etiology, Incidence and Economic Significance of Dystocia and
Recommendations for Preventive Measure and Treatment to Reduce the
Incidence of Dystocia: Review. J Reprod. & Infertility.7(1): 24-33.
Naggar MAE, Raheim AA, Megahed GA, Amrawi. 2016. Course of Obstretic
Contents. EVET
Pires JAG. 2010. Approach to Fetomartenal Dispropotion in Cattle. Vila Real
(PO): Universidade de Tras Os Montes E Alto Douro.
Purohit GN, Barolia Y, Shekkhar C, Kumar P. 2011. Maternal dystocia in cow and
buffaloes: a review. Open Journal of Animal Sciences. 1(2):41-53.
Purohit GN, Kumar P, Solanki K, Shekkhar C, Yadav SP. 2012. Perspectives of
fetal dystocia in cattle and buffalo. Veterinary science development. 2(8):31-
42).
Ratnawati D, Pratiwi WC, Affandhy L. 2007. Petunjuk teknis penanganan
gangguan reproduksi pada sapi potong. Pasuruan (ID): Pusat penelitian dan
pengembangan peternakan.
Waldner CL. 2014. Cow attributes, herd management and environmental factors
associated with the risk of calf death at or within 1 h of birth and the risk of
dystocia in cowcalf herds in Western Canada. Livestock science.163:126-139.

Anda mungkin juga menyukai