Anda di halaman 1dari 35

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. E
Jenis Kelamin : perempuan
Usia : 44 tahun
Alamat : Kramat Sawah, Jakarta
Status : menikah
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : pedagang
Suku : Makassar
Agama : Islam
Datang ke RSCM : 3 Februari 2009
NRM : 293-20-30

II. RIWAYAT PSIKIATRI


Diperoleh dari: autoanamnesis dan alloanamnesis dari rekam
medis (tanggal 3 Februari 2009)
A. Keluhan Utama
Pasien merasa lemas dan tidak nafsu makan tiga hari sebelum
kontrol ke poli jiwa RSCM
B. Riwayat Gangguan Sekarang
Sejak kontrol poli terakhir (8 januari 2009), pasien sudah merasa
baikan. Ketakutan, rasa sedih, emosi, gelisah dan suara-suara yang
menggangu mulai berkurang dan dapat dikendalikan. Dua hari
setelah setelah kontrol poli, saat bangun pagi pasien merasa lupa
siapa dirinya dan keluarganya. Hal ini dirasakan selama + 30 menit
setelah itu pasien kembali ingat.
Seminggu sebelum kontrol, pasien merasa senang dan
mentraktir tetangganya dengan uang keuntungan dagangannya
(Rp.100.000,-). Pasien merasa senang karena tetangganya yang
berkata Wah, senangnya Bu Eripah, dagangannya laris. Setelah
uangnya habis, pasien baru tersadar benar kalau uangnya sudah
habis untuk mentraktir yang seharusnya ditabung untuk membeli
sepeda anak bungsunya.

1
Dalam sebulan terakhir, pasien terkadang masih merasakan
ketakutan terutama tentang keadaan anaknya di sekolah, pasien
takut kalau anak bungsunya jatuh saat main di tangga sekolah.
Selain itu, pasien juga merasa khawatir akan nasib ke-4 anaknya
nanti bila pasien sudah tidak ada (meninggal dunia). Ketakutan pun
dirasakan saat pasien akan memegang pisau dapur untuk
memasak, hal ini mengingatkan pasien saat dulu pernah menyakiti
dirinya dengan pisau. Bila ketakutan muncul pasien biasanya
merasa sedih. Tak lama rasa sedih ini ada, mulailah timbul suara-
suara yang menyuruhnya melakukan hal yang negatif. Suara-suara
itu terdengar saat pasien sedang wudhu dan menjelang sholat.
Suara tersebut terdengar biasanya seminggu sekali. Suara tersebut
awalnya terasa seperti hembusan angin, kemudian terdengar suara
lelaki tua yang berkata buat apa sholat, tidak ada gunanya kamu
sholat. Saat pasien akan minum obat, suara-suara terkadang
terdengar pula dan berkata buat apa minum obat, itu tidak ada
manfaatnya buat kamu, tidak akan buat kamu sembuh.
Untuk mengatasi ketakutan, rasa sedih, dan suara-suara yang
mengganggu itu, selain minum obat teratur, pasien juga melakukan
relaksasi yang telah diajarkan oleh dokter dan menjalankan CBT
(cognitive behaviour theraphy) dengan menuliskan hal-hal yang ia
resahkan dalam diari dan berpikir positif. Relaksasi biasanya
dilakukan selama + 30 menit. Setelah melakukan relaksasi maupun
CBT, perasaan takut, sedih, dan suara-suara yang menggangu itu
hilang. Tiga hari sebelum kontrol, pasien merasakan kesedihan lagi,
pasien merasa lemas dan tidak nafsu makan. Tidak ada suara-suara
yang mengganggu. Pasien masih dapat berdagang dengan lancar.
Saat hari kontrol poli, pasien sudah merasa baikan walaupun masih
ada rasa cemas terhadap anak bungsunya.

C. Riwayat Gangguan Sebelumnya


1. Riwayat Penyakit Dahulu

2
Pasien belum pernah mengalami trauma kepala, kecelakaan, serta
kejang. Pasien juga menyangkal adanya riwayat sering sakit
kepala maupun sering demam tinggi.
2. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif
Pasien tidak pernah mengkonsumsi alkohol, obat-obatan
terlarang, dan rokok.
3. Riwayat Gangguan Psikiatri Sebelumnya
Tahun 1986, setelah melahirkan anak pertama pasien merasa
sedih hingga 25 hari. Saat itu pasien merasa tidak nafsu makan,
sering terbangun malam hari, tidak bisa mengerjakan apa-apa,
tidak bisa berkonsentrasi, merasa hampa, dan tidak bergairah
untuk hidup.
Dua puluh tahun yang lalu (1988), suami pasien berhenti bekerja.
Sebelumnya suaminyalah yang menanggung biaya kehidupan
keluarganya. Pasien berhenti bekerja setelah kejadian kebakaran
di tempat kerjanya (pom bensin) yang disangkut pautkan dengan
suaminya. Perasaan pasien sangat sedih dan kecewa karena
pasien merasa suaminya tidak bersalah atas kejadian itu. Pasien
pun mulai berpikir bagaimana kebutuhan anak-anaknya dapat
terpenuhi. Pasien juga merasa pesimis untuk mengharapkan
pekerjaan yang lebih baik pada suaminya karena suaminya
hanyalah lulusan SMP. Pasien akhirnya memutuskan untuk
menggunakan uang simpanannya untuk usaha buka warung
kecil-kecilan. Namun, usaha ini tak berdiri lama. Kentungan yang
tidak seberapa tak sebanding dengan pengeluaran untuk
membenuhi kebutuhan keluarga terutama anaknya. Pasien
merasa kecewa dan sedih karena usahanya ini harus gulung
tikar.
Di tahun yang sama, pasien dituduh tidak becus mengurus
mertuanya yang mengidap diabetes melitus. Pasien merasa tidak
dihargai dan berguna. Tubuhnya terasa lemas dan dia cenderung
banyak diam. Pasien juga sering mengeluh sakit kepala. Saat
malam hari, pasien mendengar suara-suara yang ia tidak ketahui

3
sumbernya, suara itu menyuruhnya membunuh anaknya. Pasien
awalnya ia tidak mengiraukan suara gaib itu. Akan tetapi,
intensitasnya semakin kuat dan mengganggu tidurnya. Pasien
akan diam bila suara itu terdengar. Hal ini juga membuat pasien
menjadi malas makan, mandi, dan mengurus dirinya dan
anaknya. Hal ini terus terjadi hampir setiap hari dan untuk
mengatasinya pasien hanya berdiam diri. Setelah diam dan
tenang, suara-suara itu menghilang.
Pasien memutuskan untuk berobat ke puskesmas. Dokter
mengatakan bahwa ia harus dirawat di RS Grogol. Pasien tidak
menerima karena ia merasa badannya sehat bugar dan hanya
suara-suara saja yang mengganggunya. Pasien memutuskan
tidak ke RS Grogol dan meminum obat tidur dari dokter
puskesmas bila sulit tidur.
Sebelas tahun yang lalu (1997) pasien mulai merasa gelisah. Ia
dituduh adik iparnya tidak mengurusi mertuanya yang sakit
kencing manis dengan baik hingga akhirnya meninggal dunia.
Pasien jadi merasa bersalah karena merasa tidak becus dalam
merawat mertuanya selama ini. Selain itu, adik iparnya juga
mantii bunuh diri karena ketergantuang obat. Pasien kembali
merasa bersalah karena tidak dapat mencegah hal ini terjadi.
Kedua kejadian ini semakin membuatnya pikiran dan perasaanya
kacau hingga ia sulit tidur selama + 2 minggu. Sejak itu ia mulai
mendengar suara-suara lelaki tak dikenal, yang mengatakan,
Kalau begini terus supaya tidak disalahkan lebih baik kamu
akhiri hidup saja. Pasien tidak dapat mengendalikan suara
tersebut sehingga ia merasa kepalanya bergerak hingga
membentur tembok. Suara tersebut muncul seminggu dua kali.
Selain itu pasien juga sering mendengar bisikan yang
mengatakan, Kalau kamu keluar akan ada yang melukai kamu.
Akibatnya pasien jadi merasa takut bila akan keluar rumah.
Suara-suara tersebut terus terdengar walau intensitasnya
semakin jarang. Namun pada tahun 1999 dan 2002 pasien

4
merasa sangat emosi. Saat itu, pasien sedang menyetrika baju
suami dan anaknya. Tiba-tiba kakak iparnya memarahinya dan
memukul pasien. Tiba-tiba, terdengar suara-suara yang
menyuruhnya untuk kabur dari rumah dan mengikuti jalannya
suara itu. Tanpa sadar pasien sudah tiduran di jalan raya dan
mencoba terjun dari gedung Kenari Mas.
Pasien juga pernah dituduh oleh saudara iparnya mencuri
uang Rp.5000,-. Pasien merasa kesal sekali dan suara-suara itu
terdengar kembali yang menyuruhnya mengakhiri hidupnya.
Kebetulan ada pisau dapur didekat pasien, lalu pasien
menggoreskan pisau itu ke tangan kirinya hingga berdarah.
Untung saja, ibu pasien melihatnya lalu menamparnya sehingga
usaha bunuh diri itu terhenti.
Pasien menyatakan bila sedang ketakutan pasien mencium
bau-bauan bunga, kemenyan dan juga bau busuk. Ia juga
mengatakan jika ketakutan itu bercampur dengan emosi (marah,
perasaan ingin menghancurkan atau memukul sesuatu), bisikan
untuk mengakhiri hidup semakin kencang. Setiap bisikan selalu
diawali dengan bunyi seperti angin lewat kemudian tiupan, kata-
kata mati, dan perintah untuh mengakhiri hidup. Bila suara-suara
untuk bunuh diri sangat kuat pasien jadi merasa lemas, tidak
berdaya, malas mengerjakan sesuatu, dan sulit tidur karena
ketakutan.
Lima tahun yang lalu (Agustus 2003) saat melihat lomba 17
Agustusan, pasien tiba-tiba merasa gelisah dan ketakutan. Pasien
merasa orang-orang di sekitarnya mau melempar pasien dengan
batu. Ia yakin karena melihat tangan diacung-acungkan seperti
orang yang akan melihat barang. Karena merasa sangat
ketakutan pasien menjerit-jerit, lari ke rumah, dan bersembunyi.
Tiga tahun yang lalu (Mei 2005) anak pasien dituduh mencuri
burung. Pasien merasa emosi (marah) dan muncul bisikan untuk
mencari tahu penjelasan masalah ini. Karena sangat emosi ia
terjatuh di trotoar. Pasien merasa lemas seluruh tubuh dan tidak

5
bersemangat. Pasien pun dibawa ke poli saraf. Saat diperiksa,
pasien bercerita bahwa ia merasa emosi, gelisah, ketakutan,
sedih, dan tidak bersemangat. Pasien kemudian dirujuk ke poli
psikiatri dan dikatakan sedang mengalami depresi berat. Pasien
direkomendasikan untuk dirawat namun menolak. Beberapa hari
kemudian, terdengar suara-suara pria tua yang mengatakan
Apa gunanya hidup, lebih baik akhiri saja hidup mu! semakin
sering dan keras. Akibatnya pasien semakin ketakutan sehingga
mengamuk. Ia kemudian dibawa ke IGD oleh kakak pasien dan
akhirnya dirawat di PKW.
Saat di PKW, pasien melihat orang-orang di sekelilingnya
seperti binatang dan makhluk aneh. Ia sampai protes dan
mengatakan kenapa ia dimasukkan ke kandang binatang. Selain
itu, pasien juga melihat orang besar bertaring dan bertanduk di
pintu. Saat dirawat, pasien takut untuk tidur di atas ranjang
karena ada makhluk hitam besar bertaring yang mengawasinya
terus dan hal ini membuat pasien sampai menjerit-jerit hingga
akhirnya diikat. Selama dirawat, pasien mendengar bisikan
kenapa minum obat, tidak ada gunanya, kamu tidak akan
sembuh juga. Pasien jadi sering tidak minum obat dan
menyembunyikannya di bawah lidah. Setelah tidak dilihat oleh
suster pasien membuang obat tersebut. Saat perawatan pasien
meminum Haloperidol dan THP. Pasien mengeluh kaku-kaku
setelahnya. Pasien hanya dirawat selama 4 minggu dan cuti
pulang di tengah-tengah perawatan karena ingin mengurus
anaknya yang akan masuk sekolah. Sebenarnya, Pasien masih
merasa depresi dan suara-suara yang mengganggu itu. Namun,
agar dapat diizinkan pulang, pasien berkata bahwa pasien sudah
tenang dan nyaman.
Setelah keluar dari perawatan pasien merasa lebih baik.
Pasien masih sering merasa ketakutan namun tidak seperti dulu.
Bisikan-bisikan untuk mengakhiri hidup masih ada namun dapat
dikontrol. Ia rutin periksa di poli dan sering mengeluhkan

6
badannya kaku seprti robot sehingga mengganggu aktivitasnya.
Sejak itu obat haloperidol tidak diresepkan lagi dan diganti
dengan Risperidone.
Pada tahun 2006-2007 pasien mengikuti penelitian obat Seroquel
(Quetianapin) dan selama menggunakan obat itu, pasien merasa
enak dan tidak ada gejala-gejala yang muncul. Pasien diresepkan
pula obat Calsetin. Segera sesudah makan obat ini, pasien
merasakan rasa bahagia, lebih banyak senyum, dan tidak mudah
lelah walaupun sudah banyak kerjaaan yang ia lakukan. Hal ini
terus dirasakan selama pasien meminum obat dalam 2 tahun ini.
Setelah tahun 2007, pasien sudah tidak diberikan Calsetin oleh
dokter. Pasien tidak lagi merasakan perasaan senang seperti
sebelumnya.
Setelah mengikuti penelitian tersebut, pasien sempat putus obat
selama 3 hari dan gejala depresi dan suara-suara yang
mengganggu itu terdengar kembali. Bahkan pasien hampir
melukai diri sendiri karena suruhan suara-suara itu. Namun, hal
ini tidak bertahan lama karena pasien sudah kembali minum obat
teratur dan pasien merasa tenang.
Enam bulan yang lalu (Juli 2008) rumah pasien terbakar. Pasien
merasa tidak berdaya lagi, barang-barangnya, alat-alat masak,
dan semua perlengkapan dagangnya musnah dimakan si jago
api. Pasien sungguh sedih sekali, merasa usahanya yang selama
ini dirintis telah musnah berakhir. Bahkan pasien hingga
mengurung diri selama 2 hari di kamar rumah ibunya, tidak
makan dan mandi. Saat itu, pasien mendengar bisikan, Kalau
begini kenapa gak ikut bakar diri aja. Pasien pun menjadi
semakin tidak semangat hidup, susah tidur, dan merasa serba
salah.
Empat bulan yang lalu (September 2008) pasien sempat putus
obat selama 3 hari. Sebelum ke poli pasien merasa gelisah dan
takut tidak mendapatkan obat (obat di apotik habis, sulit
menebus resep). Saat di poli dan diwawancara, pasien melihat

7
pulpen yang dipegang dokter yang memeriksanya berubah
menjadi sebatang kayu. Pasien merasa ketakutan dan ingin
cepat-cepat pulang. Ketika pulang pasien merasa dokter yang
memeriksanya tadi ada di belakangnya dan mengejar-ngejarnya.
Ia menjadi sangat ketakutan. Besoknya pasien kembali ke poli
untuk meminta stempel agar dapat menebus obat. Saat mau ke
apotik pasien mendengar juga bisikan ,Kalau obat tidak ada
lebih baik bunuh diri saja.
Tiga bulan yang lalu (Oktober 2008) pasien putus obat 4 hari. Ia
merasa gelisah dan ketakutan. Suara di telinga yang menyuruh
untuk bunuh diri masih terdengar walau pelan. Semakin hari
suara tersebut semakin kencang. Karena ketakutan pasien
merasa susah tidur (suka terbangun), jadi malas, berpikir hidup
ini tidak ada gunanya (lebih enak ngelamun dan bengong), dan
makan jadi lebih sedikit dari biasanya. Pasien jadi mudah emosi
bila ada masalah sedikit. Pasien juga merasa suka lupa
(bertengkar karena merasa sudah memberi uang jajan pada
anak, padahal belum). Setelah mendapat obat, suara-suara
tersebut terdengar lebih pelan. Ia juga bercerita kalau selama ini
bila sudah merasa baikan obat tidak diminum lagi (bila sehari
harusnya 2 kali hanya diminum sekali atau pernah pula 2 hari
sekali). Hal ini dilakukan untuk menghemat obat karena harga
obat yang mahal dan pasien kesulitan biaya.
Dua bulan yang lalu (November 2008), dalam satu hari pasien
kembali merasakan rasa bahagia. Rasa bahagia ini timbul setelah
ia bangun tidur. Setelah sarapan, pasien sangat giat dalam
merapihkan rumah. Sebelumnya pasien tidak pernah merasakan
hal tersebut. Pasien merasa energinya tidak habis, nyanyi-
nyanyi, dan serasa harga dirinya membumbung. Pasien tidak ada
minum obat calsetin.
Satu bulan yang lalu (Desember 2008) pasien mengatakan rasa
sedihnya berkurang dan justru lebih merasa takut dan cemas.
Rasa cemas muncul jika anak-anaknya tidak ada yang menjaga

8
atau pergi bermain dan ke sekolah. Pasien khawatir terjadi
sesuatu pada anaknya jika anak pergi sekolah. Suara-suara tidak
terdengar lagi.

D. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat Prenatal dan Perinatal
Pasien lahir spontan ditolong bidan, cukup bulan, dengan berat
lahir cukup (3,4 kg). Riwayat trauma, infeksi, dan kejang selama
hamil disangkal.
2. Riwayat Masa Kanak Awal
Pasien diasuh oleh orang tua pasien. Ibu pasien memberikan ASI
eksklusif Pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai dengan
teman-teman sebayanya.
3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan
Pasien tinggal bersama orang tua pasien. Orang tua pasien sering
memukul pasien bila berlaku salah. Pasien jadi sering ketakutan.
Ia menyatakan tidak mempunyai banyak teman karena mudah
tersinggung (sering diejek bertubuh besar).
4. Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja
Pasien menyatakan tidak memiliki banyak teman. Pasien lebih
senang menyendiri.
5. Riwayat Masa Dewasa
a. Riwayat Pendidikan
Pasien hanya bersekolah hingga kelas 2 SMP. Alasan tidak
melanjutkan pendidikan karena biaya dan kemampuan otak
kurang (merasa tidak mampu). Saat kelas 5 SD pernah tidak
naik kelas.
b. Riwayat Pekerjaan
Setelah tidak bersekolah pasien bekerja sebagai pramuniaga
kosmetik. Pasien kemudian mencari nafkah dengan berjualan
makanan setelah menikah.
c. Riwayat Pernikahan
Pasien sudah menikah dan memiliki 4 orang anak

9
Anak I : perempuan, sudah menikah, baru saja melahirkan
anak pertama
Anak II : laki-laki, tamat SMA, saat ini sedang mencari
pekerjaan
Anak III: laki-laki, sudah selesai SMP dan kini ingin
melanjutkan ke STM
Anak IV: perempuan, meninggal usia 7 bulan setelah
laparotomi
Anak V: laki-laki, saat ini di bangku SD
d. Riwayat Kehidupan Beragama
Pasien beragama Islam. Pasien menyatakan rajin dalam
beribadah dan rutin mengikuti kegiatan pengajian baik di
lingkungan tempat tinggal maupun di Masjid Istiqlal.
e. Riwayat Militer
Pasien tidak pernah mengikuti kegiatan militer.
f. Riwayat Pelanggaran Hukum
Pasien tidak pernah melakukan pelanggaran hukum.
g. Riwayat Psikoseksual
Pasien mulai menyukai lawan jenis ketika berusia 20 tahun. Ia
kemudian berpacaran dan menikah pada usia 24 tahun. Pasien
hanya berhubungan seksual dengan suaminya.
h. Aktivitas Sosial
Pasien jarang mengikuti aktivitas yang bersifat sosial di
lingkungan sekitar rumahnya.
i. Situasi Kehidupan Sekarang
Sejak cucu pertamanya lahir 3 bulan yang lalu, pasien mondar-
mandir dari rumahnya ke rumah orang tuanya. Pagi hari ia ke
rumahnya untuk menyiapkan makanan untuk suami dan anak
keduanya serta berjualan makanan. Siangnya ia ke rumah
orang tuanya untuk mengurus cucunya. Pada dasarnya ia lebih
senang tinggal di rumah orang tuanya karena rumahnya gelap
(tidak memakai listrik). Situasi yang gelap membuat ia sering
ketakutan. Selain itu, di rumahnya (Kramat Sawah) tinggal pula

10
kakak ipar dan adik ipar (saudara suaminya) dengan
keluarganya. Hubungannya dengan adik ipar tidak baik (sering
bertengkar).
Suami pasien sudah tidak bekerja lagi sejak 20 tahun yang
lalu sehingga kini dia yang menjadi tulang punggung keluarga.
Jika emosi itu muncul pasien menjadi sulit berdagang karena
takut mendengar bisikan-bisikan untuk melukai dirinya lagi.
Namun, sejak bisa minum obat teratur, relaksasi, dan CBT,
pasien bisa mengendalikan dirinya dan keluhannya terus
berkurang.
6. Riwayat Keluarga
Pasien adalah anak kelima dari delapan bersaudara. Ayah pasien
meninggal karena sakit jantung. Anak-anak pasien tumbuh
dengan normal dan tidak ada yang menampilkan gejala yang
serupa dengan pasien.
7. Persepsi Pasien tentang Diri dan Kehidupannya
Pasien rutin kontrol ke poli karena merasa butuh obat untuk
penyakitnya. Jika minum obat ketakutan, emosi, serta suara-suara
di telinga berkurang. Namun pasien tidak ingin keluarganya
mengetahui bahwa ia mempunyai gangguan jiwa. Orang yang
mengetahui bahwa ia mempunyai gangguan jiwa hanya kakak ke-
3 yang mengantarkannya ketika dirawat di PKW tahun 2005.
Selain itu pada anggota keluarga yang lain ia mengatakan alasan
ia dirawat adalah karena sakit jantung. Hal ini dilakukan karena
sejak merasa ketakutan pasien sering menjerit-jerit sehingga
dijuluki Si Stress.Ia merasa tidak nyaman dan tetangga-
tetangga juga mulai menjauhinya. Pasien jadi lebih senang
menyendiri dan segan berbicara dengan keluarganya.
Genogram

11
Keterangan :
: anggota keluarga laki-laki
: anggota keluarga perempuan
: anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa
: pasien
: tinggal satu rumah

/ : sudah meninggal

8. Persepsi Keluarga tentang Diri Pasien


Keluarga pasien tidak mengetahui bahwa pasien mengalami
gangguan jiwa hanya kakak no 3 yang tahu. Keluarga hanya
melihat ada waktu-waktu tertentu pasien terlihat gelisah, marah-
marah, melamun, menjerit-jerit, dan mencoba bunuh diri. Namun
keluarga tetap mendukung pasien untuk memeriksakan diri.
9. Impian, Fantasi, dan Cita-cita Pasien
Pasien ingin menabung untuk biaya sekolah anaknya yang ingin
melanjutkan ke STM. Selain itu pasien juga ingin mencari tempat
yang permanen untuk berjualan makanan.

III. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL


(Dilakukan pada tanggal 4 Februari 2009)
A. Deskripsi Umum
1. Penampilan

12
Seorang wanita, berpenampilan sesuai usianya,
berpakaian kemeja, celana panjang dan berjilbab. Secara
umum, penampilan pasien menunjukkan pasien dapat
merawat diri dengan baik
2. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
Pasien terlihat tenang saat diwawancara. Kontak mata baik
3. Sikap Terhadap Pemeriksa
Pasien memberikan keterangan secara jelas, terbuka, dan
tidak berbelit-belit. Sikap pasien terhadap pemeriksa
kooperatif.
B. Mood dan Afek
1. Mood : euthym
2. Afek : luas
3. Keserasian : serasi
C. Pembicaraan
Pasien berbicara dengan lancar dan spontan saat ditanya.
Jumlah kata-kata yang dikeluarkan pasien banyak
(produktivitas baik). Kontak mata dengan pemeriksa baik.
D. Gangguan Persepsi
Tidak ada gangguan persepsi
E. Pikiran
1. Proses Pikir/Bentuk Pikir
Tidak ditemukan gangguan proses pikir
2. Isi Pikir
Terdapat ide-ide paranoid terhadap keadaan anak
bungsunya.
F. Kesadaran dan Kognisi
1. Taraf Kesadaran dan Kesigapan
Kompos Mentis. Pasien memiliki kesan sigap bila ada
bahaya yang akan datang pada pasien.
2. Orientasi
Waktu:baik (pasien dapat menyebutkan hari, tanggal,
bulan)

13
Tempat: baik (pasien mengetahui tempat pasien
berada saat wawancara dan letak rumah pasien)
Orang: baik (pasien dapat menyebutkan nama orang-
orang di sekitar pasien
3. Daya Ingat
Jangka panjang : baik (pasien masih ingat masa
kecilnya ketika
SD sampai SMP, pasien juga ingat
pengalaman-pengalamannya semasa
kanak-kanak)
Jangka sedang : baik (pasien masih ingat hal-hal yang
membawa pasien datang ke rumah
sakit dan orang-orang yang
mengantar pasien ke rumah sakit)
Jangka pendek : baik (pasien ingat akan menu makan
paginya
dan nama pewawancara)
Segera : baik (pasien dapat
menyebutkan empat
macam benda yang disebutkan oleh
pemeriksa)
4. Konsentrasi dan Perhatian
Baik. Pasien dapat mempertahankan konsentrasinya saat
diwawancarai .
5. Kemampuan Membaca dan Menulis
Baik. Pasien dapat membaca dan menulis sesuai
permintaan.
6. Kemampuan Visuospasial
Baik. Pasien dapat menggambar jam dinding .Selain itu
pasien juga dapat menggambar segitiga dan persegi yang
diminta pewawancara dengan baik
7. Pikiran Abstrak

14
Cukup baik. Pasien dapat menyebutkan persamaan bis dan
sepeda motor serta mengerti beberapa arti kiasan panjang
tangan dan setali tiga uang
8. Inteligensi dan Kemampuan Informasi
Cukup. Pasien dapat menyebutkan kabar terbaru yang
sedang hangat dibicarakan di media massa
9. Kemampuan Menolong Diri Sendiri
Baik (pasien dapat makan, minum, mandi, dan mencuci
baju sendiri).
G. Pengendalian Impuls
Baik. Pasien tidak menujukkan agresivitas selama
diwawancara.
H. Daya Nilai dan Tilikan
1. Daya Nilai Sosial: baik (pasien mengatakan tidak pernah
ingin menyusahkan orang lain).
2. Uji Daya Nilai: baik, pasien akan mengembalikan barang
yang tertinggal pada pemiliknya jika tersedia keterangan
yang jelas.
3. Penilaian Realita: baik (pasien menyadari kenyataan
yang sesungguhnya pada diri dan lingkungannya, tidak
ada waham maupun halusinasi lagi)
4. Tilikan: Derajat 6. Pasien sadar sepenuhnya bahwa
dirinya sakit, bahwa sakitnya adalah mendengar suara-
suara tersebut, dan ketakutan serta gelisah. Maka, pasien
berobat ke Poli Psikiatri, mau minum obat, melakukan
relaksasi dan CBT.
I. Taraf Dapat Dipercaya
Secara umum dapat dipercaya meskipun keterangan pasien
suka berubah-rubah.

IV. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
Keadaan umum : Sakit ringan

15
Kesadaran : kompos mentis
Tekanan darah : 150/100 mmHg
Frekuensi nadi : 88x / menit
Frekuensi napas : 24x / menit
Suhu : afebris
Kepala : deformitas (-), rambut hitam, tidak mudah
dicabut
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-,
refleks pupil
baik
THT : deformitas (-), serumen (-/-)
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
Mulut : oral higiene cukup, tampak gigi pasien yang
ompong
Jantung : BJ I/II normal, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : datar lemas, nyeri tekan (-), bising usus (+)
normal
Ekstremitas : simetris, akral hangat, edema -/-, perfusi
perifer
cukup, needle tract (-), scar di tungkai
distal dekstra (+)
B. Status Neurologikus
a. Gejala rangsang selaput otak (-)
b. Pupil bulat, isokor, 3mm/3mm, RCL +/+ dan RCTL +/+
c. Refleks fisiologis normal
d. Nervus kranialis: kesan paresis (-), nistagmus (-)
e. Refleks patologis (-)
e. Pemeriksaan Motorik : 5555 5555
5555 5555
f. Gejala ekstrapiramidal :
- gaya berjalan dan postur tubuh normal
- stabilitas postur tubuh normal

16
- rigiditas ekstremitas tidak ada
- gangguan keseimbangan dan tremor (-)
g. Pemeriksaan Sensorik
Sensibilitas : parestesia di kaki-tangan kiri dan kanan (-)
h. Pemeriksaan Saraf Otonom
Inkontinensia alvi dan urin(-), anhidrosis(-)

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


Telah diperiksa seorang wanita, Ny. E, 44 tahun, bertempat tinggal
di Kramat Sawah, suku Makassar, agama Islam, status menikah
dengan 4 orang anak, pendidikan terakhir SMP kelas II.
Dua puluh tahun yang lalu (1988), suami pasien berhenti
bekerja. Pasien sedih, dan pesimis yang semakin memberat setelah
ia gagal dalam usaha warungnya. Pasien merasa tidak dihargai,
tidak berguna, lemas dan banyak diam. Pasien juga sering
mengeluh sakit kepala. Saat malam hari, pasien mendengar suara-
suara yang ia tidak ketahui sumbernya, suara itu menyuruhnya
membunuh anaknya. Pasien akan diam bila suara itu terdengar. Hal
ini juga membuat pasien menjadi malas makan, mandi, dan
mengurus dirinya dan anaknya.
Pasien telah mendengar suara-suara yang mengganggu
seperti mengomentari tindakannya maupun menyuruhnya melukai
dirinya bahkan menyuruhnya bunuh diri sejak 20 tahun yang lalu
(1988). Awalnya pasien merasa gelisah, ketakutan, rasa bersalah
yang mendalam, dan kesulitan tidur selama + 2 minggu sejak
mertua dan adik iparnya meninggal. Lalu pasien mendengar suara-
suara untuk mengakhiri hidupnya. Bila suara-suara tersebut
semakin kencang dan tanpa sadar menuruti perintah tersebut.
Percobaan bunuh diri pernah dilakukan beberapa kali dengan
membentur-benturkan kepala ke dinding (1997), tiduran di jalan
raya (1999), dan loncat dari gedung bertingkat (Kenari Mas) pada
tahun 2002.

17
Suara-suara tersebut terus ada walau tidak sesering dan
sekencang tahun 1997,1999, dan 2002. Bila pasien merasa
ketakutan, ia juga mencium bau-bau yang tidak dicium oleh orang
sekitarnya.
Pada bulan Agustus 2003, pasien merasa orang-orang ingin
menyakitinya karena ia melihat tangan diacung-acungkan sehingga
ia lari ketakutan, menjerit-jerit, dan bersembunyi di rumah.
Dua tahun setelahnya (tahun 2005) pasien dirujuk dari poli
saraf paska trauma kepala, ke poli psikiatri dan dikatakan
mengalami depresi berat. Pasien kemudian dirawat selama 4
minggu. Selama perawatan pasien melihat orang-orang di
sekelilingnya menjadi binatang. Selain itu ia juga melihat orang
besar bertaring dan bertanduk sehingga pasien menjerit-jerit
ketakutan. Saat dirawat ia juga sering mendengar bisikan bahwa
minum obat itu tidak berguna sehingga tidak jarang ia membuang
obat tersebut. Setelah keluar dari perawatan pasien kontrol rutin ke
poli. Ia merasa gelisah, ketakutan, dan suara-suara yang
mengganggu cenderung berkurang. Pasien rutin minum obat walau
tidak jarang bila merasa sudah enakan ia tidak minum obat lagi. Hal
itu ia lakukan untuk menghemat biaya beli obat.
Enam bulan yang lalu (Juli 2008) rumah pasien terbakar.
Pasien merasa tidak berdaya lagi. Alat-alat masak dan semua
perlengkapan dagangnya telah musnah. Pasien merasa sedih sekali
hingga mengurung diri selama 2 hari, tidak makan dan mandi. Saat
itu, pasien mendengar suara-suara yang menyuruhnya membakar
diri. Pasien pun menjadi semakin tidak semangat hidup, susah tidur,
dan merasa serba salah.
Empat bulan yang lalu (September 2008), saat kontrol ke poli,
pasien tiba-tiba melihat pulpen yang dipegang oleh dokter yang
memeriksanya berubah menjadi kayu. Pasien jadi ketakutan
sehingga cepat-cepat pulang. Saat pulang ia merasa dokter yang
memeriksanya mengikutinya sehingga ia semakin ketakutan.

18
Tiga bulan yang lalu (Oktober 2008) pasien putus obat 4 hari.
Ia kembali merasa gelisah dan ketakutan. Suara di telinga yang
menyuruh untuk bunuh diri masih terdengar walau pelan. Semakin
hari suara tersebut semakin kencang. Karena ketakutan pasien
merasa susah tidur (suka terbangun), jadi malas, berpikir hidup ini
tidak ada gunanya (lebih enak ngelamun dan bengong), dan makan
jadi lebih sedikit dari biasanya. Pasien jadi mudah emosi bila ada
masalah sedikit. Pasien juga merasa suka lupa. Setelah mendapat
obat, suara-suara tersebut terdengar lebih pelan. Ia juga bercerita
kalau selama ini bila sudah merasa baikan obat tidak diminum lagi
Hal ini dilakukan untuk menghemat obat karena harga obat yang
mahal dan pasien kesulitan biaya.
Dua bulan yang lalu (November 2008) Pasien merasa
energinya tidak habis, nyanyi-nyanyi, dan serasa harga dirinya
membumbung.
Satu bulan yang lalu (Desember 2008) pasien mengatakan
rasa sedihnya berkurang dan justru lebih merasa takut dan cemas.
Rasa cemas masih berkaitan dengan anaknya. Suara-suara tidak
terdengar lagi.
Saat kontrol poli psikiatri (3 Februari 2008) pasien sudah
merasa baikan. Ketakutan, rasa sedih, emosi, dan suara-suara yang
menggangu mulai berkurang dan dapat dikendalikan. Pasien sempat
mengalami selama + 30 menit. Pasien juga pernah merasa senang
yang amat hingga mentraktir tetangganya dengan uang
keuntungan dagangannya. Dalam sebulan terakhir, pasien
terkadang masih merasakan ketakutan terutama tentang keadaan
anaknya dan masa depannya. Ketakutan pun dirasakan saat pasien
akan memegang pisau dapur untuk memasak. Bila ketakutan
muncul pasien biasanya merasa sedih. Tak lama rasa sedih ini ada,
mulailah timbul suara-suara yang menyatakan ataupun
menyuruhnya melakukan hal yang negatif. Untuk mengatasi
ketakutan, rasa sedih, dan suara-suara yang mengganggu itu, selain
minum obat teratur, pasien juga melakukan relaksasi yang telah

19
diajarkan oleh dokter dan menjalankan CBT. Keadaan keluarganya
sekarang, suami pasien tidak bekerja sejak 20 tahun yang lalu.
Hubungannya dengan adik ipar tidak baik (sering bertengkar).
Dari pemeriksaan status mental (saat kontrol poli 3 Februari
2009) ditemukan sudah tidak ditemukan halusinasi auditori,
halusinasi olfaktorius, visual, maupun taktil. Pada pasien didapat
ide-ide paranoid. Sedangkan dari pemeriksaan fisik ditemukan
adanya hipertensi, nistagmus, parestesia di kaki kiri dan telapak
kaki kanan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hipertensi grade 1.
Tidak ada nistagmus dan parastesia kaki dan tangan kiri dan kanan.

VI. FORMULASI DIAGNOSTIK


Pada pasien ditemukan sindrom atau pola perilaku atau psikologis
yang bermakna secara klinis dan menimbulkan penderitaan
(distress) dan hendaya (disability) dalam fungsi pekerjaan dan
aktivitas sehari-hari pasien. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa pasien mengalami suatu gangguan jiwa sesuai dengan
definisi yang tercantum dalam PPDGJ III.
Diagnosis Aksis I
Berdasarkan anamnesis tidak ditemukan adanya riwayat trauma
kepala yang dapat menyebabkan gangguan intrakranial. Sakit
kepala yang berputar pada pasien dan adanya nistagmus
menunjukkan adanya penyakit vertigo. Namun, kelainan ini tidak
menjadi sebab gangguan yang dialami pasien. Selain itu, tidak
ditemukan riwayat kejang yang mengarah pada kelainan organik di
otak. Pada pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan adanya tanda-
tanda yang mengarah pada gangguan intrakranial sehingga adanya
gangguan organik (F0) pada pasien dapat disingkirkan.
Gejala yang ditemukan pada pasien dapat terjadi pada
penggunaan zat psikoaktif. Namun, tidak didapatkan adanya riwayat
penggunaan zat psikoaktif berupa konsumsi alkohol maupun obat-
obat yang dapat menstimulasi maupun mendepresi susunan saraf
pusat. Dari pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan adanya needle

20
tract. Pasien juga tidak mengkonsumsi rokok. Kemungkinan
gangguan mental akibat penggunaan zat psikoaktif (F1) sejauh ini
dapat disingkirkan.
Pada pasien didapatkan hendaya dalam menilai realita, oleh
sebab itu gangguan jiwa pada pasien dimasukkan ke dalam
golongan besar psikotik. Selain itu, pasien juga ditemukan hendaya
pada moodnya. Hendaya moodnya ini dapat muncul mendahului
ataupun bersamaan dengan gejala psikotiknya pada hampir setiap
episodenya. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan status mental,
ditemukan beberapa gejala psikopatologi yaitu:
1. Adanya riwayat halusinasi auditorik yang bersifat commenting
dan commanding (menyuruh pasien bunuh diri dan
mengatakan obat itu tidak berguna).
2. Adanya riwayat waham kejar (pasien merasa ada orang yang
ingin menyakiti dirinya, misal :ada orang yang ingin
memukulnya)
3. Adanya riwayat halusinasi visual (melihat monyet,dll), taktil
(merasa didorong orang) dan halusinasi olfaktorius (bau-
bauan bunga, kemenyan, busuk).
4. Riwayat waham rujukan (merasa orang-orang
membicarakannya)
5. Riwayat gejala depresi yakni susah tidur (suka terbangun),
jadi malas, berpikir hidup ini tidak ada gunanya (lebih enak
ngelamun dan bengong), dan makan jadi lebih sedikit dari
biasanya.
6. Riwayat gejala manik (perasaan senang yang amat ,
mentraktir tetangganya, irritable, dan gelisah).
7. Adanya ide-ide paranoid tentang keadaan anak bungsunya.
8. Gejala tersebut sudah muncul lebih dari satu bulan (sudah
sejak 11 tahun yang lalu)
9. Setiap episode gangguan mood, terjadi kurang dari 2 minggu
untuk depresi dan 1 minggu untuk manik.

21
Berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan saat ini, diagnosis
pada pasien adalah skizoafektif tipe campuran (F25.2) yang sedang
terkontrol pengobatan. Skizofrenia paranoid dan gangguan afektif
bipolar dengan gejala psikotik merupakan diagnosis banding pada
kasus ini.
Dipikirkannya skizofrenia paranoid terkontrol sebagai
diagnosis banding karena gejala psikotik seperti waham kejar serta
halusinasi terutama auditorik yang bersifat commenting dan
commanding yang pernah ada cukup menonjol dalam mewarnai
setiap episode yang ada. Namun, pada skizofrenia paranoia tidak
terjadi penonjolan gejala-gejala afek dan mood yang cukup jelas
pada pasien walaupun terjadi secara rapid cycling. Atas dasar
adanya gangguan afektif yang meramaikan perjalanan
penyakitnya, perlu dipikirkan diagnosis banding gangguan afektif
bipolar dengan gejala psikotik episode kini remisi.
Diagnosis Aksis II
Tidak ada diagnosis.
Diagnosis Aksis III
Saat ini pasien menderita penyakit jantung, hipertensi, carpal
tunnel syndrome, dan tarsal tunnel syndrome. Pasien sering merasa
nyeri seperti ditekan pada dadanya, bila tidur harus memakai 2
bantal (orthopnea), dan sering capai jika berjalan jauh (exercise
intolerance). Pasien rutin kontrol ke poli jantung dan meminum ISDN
dan adalat. Pasien memiliki riwayat vertigo dan dulu meminum obat
Mertigo, Flexor, dan Renadinac. Untuk hipertensi, CTS, dan TTS
pasien lupa nama obatnya.
Diagnosis Aksis IV
Pasien mengalami masalah ekonomi. Suami pasien tidak bekerja
lagi sehingga pasien menjadi tulang punggung keluarga. Bila ada
keuntungan berjualan makanan baru pasien bisa membeli obat.
Akibat kesulitan ekonomi itu pula yang membuat pasien tidak
minum obat dengan teratur. Alasannya agar uang bisa dihemat
untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Namun saat ini,

22
masalah ekonomi menjadi beban pikiran bagi pasien. Pasien
mencoba untuk menerima dan berusaha sebaik mungkin
pekerjaannya sekarang walaupun masih menjadi masalah.
Selain itu, pasien juga mengalami masalah dengan keluarga
terutama saudara ipar sehingga membuat pasien tidak betah
tinggal di rumah. Ia juga menyembunyikan penyakitnya dari
keluarganya sehingga kurang ada yang mendukung pengobatan
pasien, dan hubungan dengan keluarga menjadi renggang. Pasien
juga mulai merasa terasing dari lingkungannya karena sering
dijuluki Si Stress.
Kedua masalah ini tidaklah jelas sebagai stressor untuk
diagnosis. Tetapi stressor yang berpengaruh dalam pengobatan dan
prognosis.
Diagnosis Aksis V
Pada aksis V, dinilai kemampuan penyesuaian diri pasien dengan
menggunakan GAF (Global Assessment of Functioning). GAF saat
dilakukan pemeriksaan adalah 90 (beberapa gejala minimal,
berfungsi baik, cukup puas, dan gangguan yang ada tidak lebih dari
masalah harian biasa). Hal ini ditetapkan karena pasien tetap bisa
berdagang untuk mencari nafkah walaupun terkadang masih ada
halusinasi auditorik dalam kuantitas dan kualitas minimal (saat
pemeriksaan tidak ada) maupun ide-ide paranoid. Kedua gangguan
ini sudah menjadi biasa bagi pasien dan dengan mudah ia tangani
dengan relaksasi dan CBT. Sedangkan nilai tertinggi GAF tahun lalu
adalah 55 (gejala sedang, disabilitas sedang dalam fungsi). Hal ini
berdasarkan riwayat gangguan tahun 2008, dimana saat itu terjadi
peristiwa terbakarnya rumah pasien serta riwayat beberapa kali
putus obat (hanya beberapa hari) yang membuat gejala depresi dan
psikotik muncul kembali bahkan hingga fungsi pasien mengalami
disabilitas sedang.

VII. DAFTAR MASALAH

23
1. Organobiologis: Jantung, vaskular (hipertensi grade 1), dan
saraf tepi (CTS dan TTS)
2. Psikologis:
Ide-ide paranoid
Riwayat halusinasi auditorik yang bersifat commanding
dan commenting, halusinasi visual, olfaktori, dan taktil.
Riwayat waham kejar
Riwayat gejala depresi dan manik
3. Lingkungan dan sosial ekonomi:
Masalah ekonomi: pasien menjadi tulang pungggung
perekonomian keluarga
Masalah keluarga: tidak akur dengan adik iparnya sehingga
pasien tidak betah di rumah dan lebih senang tinggal di
rumah orang tuanya. Selain itu pasien juga ingin
menyembunyikan penyakitnya dari keluarganya (hanya
kakak no 3 yang tahu) sehingga dukungan keluarga
terhadap penyakit pasien kurang
Masalah dengan lingkungan: karena sering terlihat
ketakutan dan menjerit-jerit pasien dijuluki si stress oleh
keluarganya.

VIII. EVALUASI MULTIAKSIAL


Aksis I : Skizoafektif tipe campuran terkontrol obat
DD/ Gangguan Afektif bipolar dengan gejala psikotik
episode kini
Remisi (dalam pengobatan)
Skizofrenia paranoid terkontrol obat
Aksis II : tidak ada diagnosis.
Aksis III : penyakit jantung, hipertensi, CTS, TTS, riwayat
vertigo
Aksis IV : masalah ekonomi, keluarga, dan lingkungan
Aksis V : GAF Current : 90
GAF Highest Level Past Year : 55

24
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap perjalanan
penyakit pasien:
Wanita
Onset pada usia dewasa
Adanya pengetahuan pasien untuk berobat
Tidak ada anggota keluarga yang menderita kelainan yang
sama
Adanya gejala gangguan mood (diagnosis skizoafektif)
Pasien sudah menikah
Respon terhadap pengobatan baik
Lama setiap episode kurang dari sebulan (karena pengobatan)
Sikap pasien yang kooperatif
Faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap perjalanan
penyakit pasien :
Gangguan berulang
Onsetnya tersembunyi (insidious)
Dukungan yang kurang dari keluarga (hanya ibu dan kakak
kandungnya)
Masalah ekonomi yang dapat membuat pasien tidak teratur
minum obat

X. FORMULASI PSIKODINAMIK
Gangguan psikiatri dapat terjadi apabila terdapat
ketidakseimbangan adaptasi antara faktor biologis, sosiokultural,
dan psikologis. Psikodinamika adalah suatu pendekatan konseptual
yang memandang proses-proses mental sebagai gerakan dan
interaksi energi psikis, yang berlangsung intra- maupun inter-
individual.

25
Berdasarkan definisi tersebut, psikodinamika berusaha
mempelajari struktur (kepribadian), kekuatan (dorongan), gerakan
(aksi), pertumbuhan dan perkembangan, serta maksud dan tujuan
dari fenomena patologik yang ada pada seseorang. Psikodinamika
menganggap bahwa gejala-gejala psikosis yang dialami pasien
terjadi akibat konflik yang dialaminya.
Freud berpendapat bahwa skizofrenia terjadi akibat fiksasi
dalam perkembangan kepribadian dan adanya defek ego. Karena
kedua hal tersebut, seseorang akan mengalami regresi ke tingkat di
mana terjadi fiksasi apabila ia mengalami konflik atau kejadian yang
signifikan dalam hidupnya.
Skizofrenia digambarkan oleh Freud sebagai keadaan
pecahnya objek dari emosi dari pikiran, ide, atau seseorang, dan
sebuah regresi yang merupakan respon terhadap frustasi atau
konflik terhadap orang lain. Pada berulangnya kasus pasien ini
karena tidak ada pekerjaan sehingga pasien merasa putus asa.
Onset dari gejala-gejala skizofrenia biasanya mulai muncul
pada fase kehidupan adolesence, di mana pada saat ini seorang
remaja membutuhkan ego yang kuat untuk berfungsi secara bebas,
terlepas dari orang tua, untuk mengidentifikasi tugas, untuk
mengkontrol insting-insting dasar, dan untuk menyeimbangkan diri
dengan stimulasi eksternal yang intense. Gejala psikotik muncul
pada pasien ketika usia dewasa tepat setelah masa adolescense.
Teori psikoanalisis lain mengatakan bahwa setiap gejala
psikosis memiliki makna simbolik bagi pasien. Halusinasi timbul
akibat ketidakmampuan pasien dalam menghadapi kenyataan
objektif dan menggambarkan ketakutan atau keinginan pasien yang
terpendam. Sedangkan waham merupakan upaya-upaya regresif
untuk menciptakan suatu realita yang baru atau untuk
mengekspresikan ketakutan atau impuls yang tersembunyi.
Pada kasus ini, gejala-gejala psikosis yang dialami pasien
(dalam hal ini berupa antara lain halusinasi anditorik yang bersifat
commanding dan commenting, halusinasi visual, taktil, dan olfaktori

26
serta adanya waham kejar. Pada pasien dengan gangguan psikotik,
mekanisme pertahanan yang digunakan biasanya berupa
penyangkalan, proyeksi, regresi dan distorsi (semuanya merupakan
mekanisme pertahanan yang imatur).
Pasien dengan gangguan skizofrenia paranoid tidak pernah
mendapatkan objek secara konstan yang dicirikan sebagai suatu
perasaan yang aman. Pasien skizofrenia menemukan kesulitan
untuk menangkap berbagai macam stimulus dan memfokuskan
pada satu stimulus pada saat yang bersamaan.
Pemahaman psikodinamik tentang depresi yang digambarkan
oleh Sigmund Freud dan telah diperluas oleh Karl Abraham dikenal
sebagai pandangan yang klasik tentang depresi. teori tersebut
terdiri dari empat, yaitu: (1) gangguan pada hubungan ibu-anak
pada usia 10-18 bulan pertama kehidupan menjadikan seseorang
lebih mudah untuk jatuh ke dalam depresi; (2) depresi dapat
merupakan perwujudan kehilangan suatu obyek; (3) introjeksi dari
obyek yang hilang tersebut adalah suatu mekanisme pertahanan
yang dihubungkan dengan kehilangan obyek tersebut; dan (4)
sebab kehilangan obyek yang hilang tersebut merupakan campuran
dari rasa cinta dan rasa benci, sehingga kemarahan diarahkan pada
diri sendiri.
Edward Bibring melihat depresi sebagai fenomena dimana
seseorang menyadari pertentangan antara ide-ide yang tinggi dan
ketidakmampuan untuk mencapai tujuan-tujuan. Edith Jacobson
melihat depresi sebagai sesuatu yang tidak berbeda dengan anak
yang lemah dan tanpa pertolongan yang merupakan korban dari
orangtuanya. Silvano Arieti mengobservasi bahwa orang yang
menderita depresi telah menjalani hidup mereka lebih banyak untuk
orang lain dibandingkan dengan dirinya sendiri. Depresi muncul
ketika pasien menyadari bahwa seseorang atau tempat dimana
pasien tersebut hidup tidak akan pernah memberikan respon atas
apa yang telah mereka kerjakan. Hal ini terlihat pada pasien, saat ia
dituduh tidak merawat mertuanya dan akhirnya meninggal pada

27
tahun 1997 bersamaan dengan kematian adik iparnya. Konsep
depresi dari Heinz Kohut, diambil dari teorinya tentang self-
psychological, dimana suatu pribadi yang berkembang memiliki
kebutuhan yang spesifik yang harus disadari oleh orang tua untuk
memberikan kepercayaan diri yang positif kepada anaknya. Ketika
seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, akan terjadi
kehilangan kepercayaan diri yang sangat besar yang bermanifestasi
sebagai depresi. John Bowlby meyakini bahwa perpisahan yang
traumatik pada masa kanak-kanak merupakan predisposisi untuk
menjadi depresi.
Etiologi depresi pada pasien ini belum jelas. Namun beberapa
faktor diduga berpengaruh terhadap etiologi depresi. Faktor yang
pertama yaitu faktor genetik. Meskipun penyebab depresi secara
pasti tidak dapat ditentukan, faktor genetik mempunyai peran
terbesar. Gangguan alam perasaan cenderung terdapat dalam suatu
keluarga tertentu. Bila suatu keluarga salah satu orangtuanya
menderita depresi, maka anaknya berisiko dua kali lipat dan apabila
kedua orangtuanya menderita depresi maka risiko untuk mendapat
gangguan alam perasaan sebelum usia 18 tahun menjadi empat kali
lipat. Tetapi pada pasien ini tidak ditemukan riwayat gangguan yang
sama dengan yang dialami pasien.
Faktor yang kedua adalah faktor sosial. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa status perkawinan orangtua, jumlah sanak
saudara, status sosial keluarga, perpisahan orangtua, perceraian,
fungsi perkawinan, atau struktur keluarga banyak berperan dalam
terjadinya gangguan depresi. Suami pasien sudah tidak bekerja lagi
sejak 20 tahun yang lalu dan sebagai kompensasinya pasien harus
berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri.
Sedangkan dalam fungsi keluarga yang, suami sebagai kepala
keluarga yang berperan utama sebagai tulang punggung keluarga
bukan istri. Hal ini dapat menjadi faktor terjadinya depresi pada
pasien karena harus menanggung beban berat sendiri.

28
Faktor yang terakhir diduga berpengaruh dalam terjadinya
gangguan depresi yaitu faktor biologis. Dua hipotesis yang menonjol
mengenai mekanisme gangguan alam perasaan terfokus pada:
terganggunya regulator sistem monoamin-neurotransmiter,
termasuk norepinefrin dan serotonin (5-hidroxytriptamine).
Hipotesis lain menyatakan bahwa depresi yang terjadi erat
hubungannya dengan perubahan keseimbangan adrenergik-
asetilkolin yang ditandai dengan meningkatnya kolinergik,
sementara dopamin secara fungsional menurun.
Banyak teori psikodinamik tentang manik menyatakan bahwa
manik merupakan sebuah defensi melawan depresi. Karl Abraham
percaya bahwa manik terjadi sebagai refleksi dari ketidakmampuan
untuk mentoleransi suatu tragedi yang sedang berkembang. Manik
juga dikatakan sebagai hasil dari superego triannikal, yang tidak
dapat menerima kritikan padanya dan digantikan dengan kepuasan
euforianya. Klein juga menyatakan hal yang serupa dengan Karl
dimana pada seseorang dengan manik akan berkembang waham
kebesaran. Pasien mengetahui betul bahwa sedang sulit dalam
masalah keuangan dan setiap ada keuntungan pasien harus
memikirkan alokasi pemanfaatan uang yang didapat. Untuk
kebutuhan makan sekeluarga, memenuhi permintaan anak
bungsunya untuk dibelikan sepeda, dan menambah modal
usahanya. Tekanan pemikiran ini diduga menyebabkan depresi pada
pasien dan ternyata defensi pasien justru timbul manik dengan
mentraktir tetangganya.

XI. RENCANA TERAPI


A. Psikofarmaka
Risperidon (per oral) 2x3 mg
Asam valproat (per oral) 3x 250 mg, setelah makan
B. Psikoterapi
Dilakukan melalui:
a. Psikoterapi suportif

29
Psikoterapi ini dapat dilakukan dengan bimbingan, reassurance,
serta terapi kelompok
b. Psikoterapi reedukatif
Terhadap Pasien
Memberikan informasi kepada pasien dan edukasi mengenai
penyakit yang dideritanya, gejala-gejala, dampak, faktor-
faktor penyebab, pengobatan, komplikasi, prognosis, dan
risiko kekambuhan agar pasien tetap taat meminum obat dan
segera datang ke dokter bila timbul gejala serupa di kemudian
hari
Memotivasi pasien untuk berobat teratur
Mengajarkan terapi relaksasi pada pasien saat pasien marah
ataupun akan marah sehingga diharapkan pasien dapat
mengontrol marahnya dan mengemukakan amarahnya
dengan cara yang lebih halus.
Terhadap Keluarga
Memberikan edukasi dan informasi mengenai penyakit pasien,
gejala, faktor-faktor pemicu, pengobatan, komplikasi,
prognosis, dan risiko kekambuhan di kemudian hari.
Menjelaskan kepada keluarga bahwa salah satu faktor pemicu
penyakit pasien saat ini adalah keluarga pasien yang
mengabaikan pasien
Meminta keluarga untuk mendukung pasien pada saat-saat
setelah sakit agar pasien dapat mengalami remisi.
c. Terapi kognitif perilaku
Dilakukan untuk merubah keyakinan yang salah dari pasien dan
memperbaiki distorsi kognitif.

XII. DISKUSI
Menurut DSM IV diagnosis Skizoafektif dapat ditegakkan apabila
terdapat:

30
1. Pada saat episode yang sama, terdapat episode depresi dan atau
manik yang bersamaan engan gejala pada kriteria A untuk
skizofrenia yakni:
Gejala karakteristik : 2 atau lebih dari gejala muncul dalam waktu
yang signifikan selama 1 bulan (atau kurang bila berhasil diobati)
a. Waham
b. Halusinasi
c. Disorganisasi dalam berbicara (inkoherensi, dll)
d. Perilaku disorganized, katatonik
e. Gejala negatif yaitu afek yang mendatar,dll
Bila waham yang terdapat pada pasien adalah waham aneh atau
halusinasi yang bersifat commenting maka 1 gejala sudah dapat
memenuhi.
2. Selama periode sakit (episode), terdapat waham atau halusinasi
setidaknya minimal 2 minggu dimana tidak ada gejala gangguan
mood/afektif yang berarti
3. Gejala yang memenuhi kriteria episode gangguan mood jelas
terjadi pada bagian dari total durasi periode aktif dan residual
dari penyakit
4. Gangguan ini terjadi bukan karena efek langsung dari zat
psikoatif ataupun penyakit sistemik tertentu.
Pada pasien ditemukan halusinasi auditori yang bersifat
commenting, commanding, dan waham kejar selama lebih dari satu
bulan (gejala yang mereda bila mengkonsumsi obat).. Gejala
gangguan mood/afektif pada pasien ditemukan gejala depresi dan
manik dengan sifat rapid cycling yakni terjadi perubahan dari manik
dan depresi dari hari ke hari bahkan jam ke jam. Gejala depresi
pasien terlihat jelas dari episode-episode yang ada, dimana hampir
setiap gejala depresi akan diikuti dengan gejala psikotik. Untuk
manik, tidak seperti gejala depresinya, manik yang terjadi tidak
selalu diikuti oleh gejala psikotik. Terkadang gejala psikotik saja
yang jelas dalam satu episode tanpa ada gejala depresi maupun
manik. Dari anamnesis juga tidak didapatkan keterangan

31
penggunaan zat psikoaktif, alkohol, rokok, maupun penyakit
sistemik yang berkaitan dengan gangguan psikiatri. Dengan
demikian gejala-gejala pada pasien sudah memenuhi kriteria
skizoafektif menurut DSM IV. Karena didapatkan gejala depresi dan
manik pada perjalanan penyakitnya dan pada saat kunjungan poli
terakhir (anamnesis dan pemeriksaan status mental) tidak ada
keluhan lagi sehingga diagnosis lengkapnya menjadi skizoafektif
tipe campuran terkontrol obat. Untuk kasus (terutama riwayat
perjalan penyakitnya, bukan keadaan sekarang) ini perlu didiagnosis
banding dengan gangguan afektif bipolar disertai gejala psikotik dan
skizofrenia paranoid.
Untuk skizofrenia paranoid, dapat disingkirkan dengan adanya
gejala afek yang menonjol pada pasien. Namun masih perlu
dipikirkan terjadi superimposed atau concomitant antara skizofrenia
paranoid dengan gejala depresi. Hal ini dapat dipikirkan karena
terdapat beberapa episode depresif terjadi setelah gejala psikotik
halusinasi auditorik yang menyuruhnya bunuh diri ataupun
commenting pasien.
Gangguan afektif bipolar dengan gejala psikotik merupakan
diagnosis banding terkuat, terutama gangguan afektif bipolar tipe II.
Gejala depresi pada pasien bervariasi dari depresi ringan, sedang,
hingga berat. Hal ini terlihat jelas pada perjalanan penyakit
depresinya yang dari sekedar membuat disabilitas fungsi ringan
hingga adanya perasaan ingin mengakhiri hidupnya (berat). Akan
tetapi, efek dari depresi yang banyak terjadi cenderung ringan-
sedang dan adanya usaha bunuh diri lebih disebabkan gejala
psikotik halusinasi auditoriknya bukan langsung dari depresinya.
Untuk gejala manik yang segera timbul setelah minum
calsetin, tidaklah suatu manik karena antidepresan. Hal ini
kemungkinan suatu episode manik murni. Dalam kepustaakaan,
efek primer dari antidepresan baru ada setelah 2-4 minggu
pemakaian. Dari keterangan pasien, selama ia minum obat calsetin
pasien merasakan gejala manik. Diduga manik saat 2 minggu

32
pertama pemakaian calsetin adalah manik murni sedangkan
minggu-minggu selanjutnya manik murni tersalut oleh efek samping
antidepresan.
Dalam awal perjalanan penyakitnya pasien kemungkinan
mengalami depresi berat dengan gejala psikotik. Namun, depresi
yang tidak berat terkadang diikuti dengan gejala psikotik. Gejala
psikotik tidak selalu bersama gejala depresi dan saat itu pasien
mengalami skizoafektif tipe depresif. Dalam 2 tahun ini, pasien juga
mengalami episode manik selain gejala depresi dan psikotiknya.
Sehingga diagnosis pasien menjadi skizoafektif tipe campuran.
Terapi pada pasien terdiri dari psikofarmaka dan psikoterapi.
Psikofarmaka yang diberikan berupa risperidon obat anti psikosis
atipikal dari golongan benzisoxazole. Obat ini mempunyai afinitas
tinggi terhadap reseptor serotonin (5HT2) dan aktivitas menengah
terhadap reseptor dopamin (D2), 1 dan 2 adrenergik, serta
histamin. Dengan demikian obat ini efektif baik untuk gejala positif
(waham, halusinasi), maupun gejala negatif (upaya pasien yang
menarik diri dari lingkungan). Risperidon dimetabolisme di hati dan
diekskresi di urin. Dengan demikian perlu diadakan pengawan
terhadap fungsi hati. Secara umum risperidon ditoleransi dengan
baik. Efek samping sedasi, otonomik, dan ekstrapiramidal sangat
minimal dibandingkan obat antipsikosis tipikal. Dosis anjurannya
adalah 2-6 mg/hari. Pada pasien ini diberikan dosis 2x3 mg/hari
karena pada dosis yang lebih rendah 2x2 mg pasien tidak
merasakan manfaatnya.
Pemberian asam valproat ditujukan untuk mengatasi
gangguan mood/afektifnya pasien yakni depresi dan manik. Asam
valproat diindikasikan pada gangguan afektif bipolar (kombinasi
dengan litium) dan skizoafektif. Obat ini lebih efektif pada rapid
cycling yang terjadi pada pasien dibandingkan litium sehingga
dijadikan pilihan utama pada gangguan afektif dengan ciri rapid
cycling . Pembuktian terakhir menndapatkan bahwa asam valproat
lebih efektif menangani episode depresi dibandingkan litium dan

33
karbamazepin. Mekanisme keefektivitasannya dalam gangguan
psikiatri masih belum diketahui. Obat ini dimetabolisme oleh hati
melalui sistim beta-oksidasi, glukuronidasi, dan sitokrom P450.
Adapun efek samping yang sering terjadi antara lain gangguan
gastrointestinal, hati (hepatitis), darah (trombositopenia), dan saraf
(ataksia, tremor). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan
fungsi hati dan hematologi secara berkala.
Psikoterapi yang diberikan pasien adalah psikoterapi suportif,
psikoterapi reedukatif, dan terapi kognitif-perilaku. Psikoterapi
suportif bertujuan untuk memperkuat mekanisme defens
(pertahanan) pasien terhadap stres. Hal ini dilakukan mengingat
toleransi (kemampuan) pasien mengahadapi stres (tekanan,
kecewa, frustasi) rendah. Selain itu pasien mudah marah (merasa
emosi, ingin memukul, menghancurkan barang) bila ada masalah.
Adanya percobaan bunuh diri beberapa kali juga semakin
memprkuat kenyataan bahwa perlu diadakannya terapi untuk
meningkatkan kemampuan pengendalian diri dan menghadapi
masalah.
Psikoterapi reedukatif bertujuan untuk meningkatkan insight
(pengetahuan pasien) terhadap penyakitnya serta mengembangkan
kemampuannya untuk menunjang penyembuhan dirinya. Selain itu
juga meningkatkan pengetahuan keluarga untuk mendukung
kesembuhan pasien. Peningkatan pengetahuan dilakukan dengan
edukasi baik terhadap pasien maupun keluarga.
Keluarga pasien saat ini belum mengetahui penyakit pasien.
Adalah hak pasien untuk tidak memberitahukan keadaan ini
terhadap keluarga. Namun sudah menjadi tanggung jawab kita
sebagai dokter untuk memberikan informasi apa saja keuntungan
yang didapat bila keluarga turut berperan serta sebagai care giver
yang menunjang kesembuhan pasien. Adapun materi yang dapat
diberikan pada keluarga adalah informasi mengenai penyakit
pasien, gejala, faktor-faktor pemicu, pengobatan, komplikasi,
prognosis, dan risiko kekambuhan di kemudian hari. Perlu pula

34
dijelaskan bahwa dukungan moral sangat dibutuhkan oleh pasien.
Dengan demikian sebaiknya keluarga tidak mengucilkan dan
menjatuhkan mental pasien dengan menganggapnya orang yang
stress.
Selain psikoterapi di atas dapat dilakukan pula terapi kognitif
perilaku. Terapi ini bertujuan untuk merubah keyakinan yang salah
dari pasien dan memperbaiki distorsi kognitif.
Prognosis Quo ad vitam pasien adalah bonam. Karena pasien
sudah tidak lagi merasakan halusinasi yang pernah menyuruhnya
untuk bunuh diri. Quo ad functionam bonam karena pasien masih
dapat menjalankan fungsinya misal merawat diri, mengurus rumah
tangga, dan berdagang dengan baik. Quo ad sanactionam dubia ad
bonam. Gangguan yang ada beberapa waktu terakhir ini sudah
cenderung berkurang dari segi kualitas maupun kuantitias dan
pasien sudah dapat mengatasinya dengan relaksasi dan CBT).

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pelayanan Medik.
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ
III). Jakarta : Departemen Kesehatan RI. 1993.
2. Kaplan HI, Saddock BJ, Greb JA. Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences / Clinical Psychiatry. 9 th ed. USA : Lippincott Williams &
Wilkins. 2003.
3. Maslim R. Paduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
Jakarta : PT Nuh Jaya. 1996.
4. Birnkrant J, Carlsen A. Crash course Psychiatry: The Psychotic
Disorders and The Mood disorders. In: Horton-Szar D, editor. U.K
ed. China: Mosby Elsevier Inc.2007.
5. Albers J L, Hahn RK, Reist C. Handbook of Psychiatric Drugs. 2005
edition. Current Clinical Strategies Publishing. Diunduh dari:
www.ccspublishing.com/ccs pada tanggal 30 Januari 2009.

35

Anda mungkin juga menyukai