NOC, NIC
Diposkan oleh Rizki Kurniadi
1. Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tubeculosis.
2. Etiologi
Jenis kuman berbentuk batang, ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Sebagian
besar kuman berupa lemak/lipid sehingga kuman tahan terhadap asam dan lebih tahan
terhadap kimia , fisik. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang menyukai daerah yang
banyak oksigin, dalam hal ini lebih menyenangi daerah yang tinggi kandunagn oksiginnya
yaitu. daerah apikal paru, daerah ini yang menjadi prediksi pada penyakit Tuberkulosis
3. Proses Penularan
Tuberkulosis tergolong airborne disease yakni penularan melalui droplet nuclei yang
dikeluarkan ke udara oleh individu terinfeksi dalam fase aktif. Setiapkali penderita ini batuk
dapat mengeluarkan 3000 droplet nuclei. Penularan umumnya terjadi di dalam ruangan
dimana droplet nuclei dapat tinggal di udara dalam waktu lebih lama. Di bawah sinar
matahari langsung basil tuberkel mati dengan cepat tetapi dalam ruang yang gelap lembab
dapat bertahan sampai beberapa jam. Dua faktor penentu keberhasilan pemaparan
Tuberkulosis pada individu baru yakni konsentrasi droplet nuclei dalam udara dan panjang
waktu individu bernapas dalam udara yang terkontaminasi tersebut di samping daya tahan
tubuh yang bersangkutan.
Di samping penularan melalui saluran pernapasan (paling sering), M.
tuberculosis juga dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan luka terbuka
pada kulit (lebih jarang).
4. Patofisiologi
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveoli biasanya diinhalasi sebagai suatu
unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil karena gumpalan yang lebih besar cenderung
tertahan di rongga hidung dan dan tidak menyebabkan penyakit (Dannenberg, 1981 dikutip
dari Price, 1995). Setelah berada dalam ruang alveolus (biasanya di bagian bawah lobus atas
atau di bagian atas lobus bawah) basil tuberkulosis ini membangkitkan reaksi peradangan.
Lekosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan mefagosit bakteri tetapi tidak
membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama maka lekosit diganti oleh
makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala-gejala
pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa menimbulkan
kerusakan jaringan paru atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau
berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar limfe regional.
Makrofag yang mengalami infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga
membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya
berlangsung selama 10-20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat seperti keju, lesi
nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan
granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respon
berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut yang akhirnya
membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru disebut fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar limfe
regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Kompleks Gohn yang mengalami
perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan
radiogram rutin.
Respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair
lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari
dinding kavitas akan masuk ke percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali
pada bagian lain dari paru atau basil dapat terbawa ke laring, telinga tengah atau usus.
Kavitas kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan
parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh
jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus. Bahan perkejuan dapat
mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran yang ada dan lesi mirip dengan lesi
berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu
lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui saluran limfe atau pembuluh darah
(limfohematogen). Organisme yang lolos dari kelenjar limfe akan mencapai aliran darah
dalam jumlah yang lebih kecil yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai
organ lain (ekstrapulmoner). Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang
biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi bila fokus nekrotik merusak pembuluh
darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskuler dan tersebar ke dalam
sistem vaskuler ke organ-organ tubuh.
5. Gambaran Klinik
Tuberkulosis sering dijuluki the great imitator yaitu suatu penyakit yang
mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala
umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas
sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik.
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik
dan gejala sistemik:
1. Gejala respiratorik, meliputi:
1.1 Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan.
Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah
ada kerusakan jaringan.
1.2 Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-
bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak
terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar
kecilnya pembuluh darah yang pecah.
1.3 Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang
menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.
1.4 Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila
sistem persarafan di pleura terkena.
7. Terapi
Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk mengobati juga mnecegah
kematian, mencegsah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata
rantai penularan.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan.
Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH,
Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedang jenis obat tambahan adalah Kanamisin,
Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam Klavulanat, derivat Rifampisin/INH. Cara
kerja, potensi dan dosis OAT utama dapat dilihat pada tabel berikut:
Rekomendasi Dosis (mg/kg BB)
Obat Anti TB Esensial Aksi Potensi Per Minggu
Per Hari
3x 2x
Isoniazid (H) Bakterisidal Tinggi 5 10 15
Rifampisin (R) Bakterisidal Tinggi 10 10 10
Pirasinamid (Z) Bakterisidal Rendah 25 35 50
Streptomisin (S) Bakterisidal Rendah 15 15 15
Etambutol (E) Bakteriostatik Rendah 15 30 45
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan
lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologik, hapusan dahak
dan riwayat pengobatan sebelumnya. Di samping itu perlu pemahaman tentang strategi
penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course
(DOTS) yang direkomendasikan oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:
1. Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan dalam penanggulangan TB.
2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung sedang pemeriksaan
penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit
pelayanan yang memiliki sarana tersebut.
3. Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
Pengawas Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus
minum obat setiap hari.
4. Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.
9. Tes Diagnostik
Tes diagnostik yang dilakukan diuraikan pada tabel berikut:
Tes Kulit (PPD, Mantoux, Vollmer) Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau
lebih) menunjukkan infeksi masa lalu dan
adanya antibodi tetapi tidak berarti untuk
menunjukkan keaktivan penyakit.
Biopsi jarum pada jaringan paru Positif untuk gralunoma TB, adanya giant cell
menunjukkan nekrosis.
Darah:
-LED Indikator stabilitas biologik penderita, respon
terhadap pengobatan dan predeksi tingkat
penyembuhan. Sering meningkat pada proses
aktif.
PENATALAKSANAAN :
Penyuluhan
Pencegahan
Pemberian obat-obatan :
1. OAT (obat anti tuberkulosa) :
2. Bronchodilatator
3. Expektoran
4. OBH
5. Vitamin
Fisioterapi dan rehabilitasi
Konsultasi secara teratur
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
a. Pola aktifitas dan istirahat :
Fatique, Aktivitas berat timbul sesak (nafas pendek), Sulit tidur, Berkeringat pada malam hari
b. Pola Nutrisi :
Anorexia, Mual, tidak enak diperut, BB menurun
c. Respirasi :
Batuk produktif (pada tahap lanjut), sesak nafas, Nyeri dada.
d. Riwayat Keluarga :
Biasanya keluarga penderita ada yang mempunyai kesulitan yang sama (penyakit yang sama)
e. Riwayat lingkungan :
Lingkungan kurang sehat (polusi, limbah), pemukiman padat, ventilasi rumah yang kurang,
jumlah anggauta keluarga yang banyak.
f. Aspek Psikososial :
Merasa dikucilkan
Tidak dapat berkomunikasi dengan bebas, menarik diri.
Biasanya pada keluarga yang kurang mampu.
Masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama dan
biaya yang bayak.
Masalah tentang masa depan/pekerjaan pasien.
Tidak bersemangat, putus harapan.
g. Riwayat Penyakit sebelumnya :
Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh sembuh.
Pernah berobat, tetapi tidak sembuh.
Pernah berobat tetapi tidak teratur (drop out).
Pengobatan:
1. Nama obat : INH
Dosis : 1 x 400 mg
Farmakokinetik:
Diabsorbsi : dari saluran pencernaan, makanan mengurangi kecepatan dan tingkat absorbsi
Puncak : 1 - 2 jam
Distribusi : Keseluruh jaringan tubuh dan cairan termasuk CNS, melewati plasenta
Metabolisme : Tidak diaktifkan oleh acetylation di dalam hati
Eliminasi : waktu paruh 1 - 4 jam, 75 - 96% diekresikan dalam urin dalam 24 jam,
diekskresikan dalam air susu
Efek samping : biasanya dihubungkan dengan dosis
CNS : parestesias, perifeal neuropaty, nyeri kepala, kelemahan, tinitus, pusing, vertigo,
ataxia, somnolen, insomnia, amnesia,euphoria, toxis psikosis, perubahan tingkah laku,
depresi, kerusakan memori, hyperpireksia, halusinasi, konvulsi, otot kejang, mimpi yang
berlebihan , menstruasi
Mata : Penglihatan kabur, terganggunya penglihatan, optik neuritis, atropi
GI : Mual , muntah , epigastrium distress, mulut kering, konstipasi
Hematologi : Agranulositosis, hemolitik atau anemia aplastik, trombositopenia, eosinophilia,
methemoglobinemia
Hepatotoksisitas: panas dingin, kulit yang melepuh (mosbiliform, macula papular, purpura,
urticaria) limpadenitis, vaskulitis
Metabolik endokrin : Penurunan absorbsi vitamin B12, defisiensi pridoksin (vitamin B6),
pellagra, gynecomastia, hyperglikemia, glikosuria, hyperkalemia, hipophosphathemia,
hipokalsemia, acetonia, asidosis metabolik, proteinemia
Lain-lain : dyspnea, retensi urine, demam yangdisebabkan obat-obat, rematik, lupus
erythromatosus syndrome, iritasi di tempat bekas injeksi.
Implikasi perawatan :
Pengelolaan :
Obat oral INH lebih baik diberikan sebelum makan 1 - 2 jam sebelum makanan
diabsorbsi, jika terjadi iritasi GI, obat boleh diberikan bersama makanan
Isoniazid dalam bentuk larutan disimpan dalam bentuk kristal dan disimpan dalam
temperatur yang rendah. Jika hal ini terjadi obat disimpan ditempat yang hangat atau dalam
temperatur ruangan.
Nyeri lokal sementara setelah injeksi IM, massage daerah injeksi dengan cara memutar
daerah injeksi
Obat disimpan harus ditutup rapat, temperatur 15 - 30 C kecuali diberikan secara
sebaliknya
Pengkajian /efek obat :
Tes adanya kelemahan yang tepat, sebelum pemberian therapy untuk mendeteksi
kemungkinan bakteri yang resisten
Efek therapetik biasanya menjadi jelas dalam 2 - 3 minggu pertama pemberian therapi.
Lebih dari 90% pasien yang diberikan therapi mempunyai sputum yang berkurang setelah 6
bulan
Pemeriksaan mata
Monitor Tekanan darah selama pemberian obat
Pasien seharusnya secara hati-hati dengan interview dan diperiksa dalam interval bulanan
untuk mendeteksi dini dari tanda dan gejala hepatotoksisitas
Therapi INH yang kontinyu setelah onset dari disfungsi hepatik meningkatkan resiko
kerusakan hati yang lebih berat
Isoniazid hepatitis (kadang-kadang fatal) biasanya berkembang selama 3 - 6 bulan
pertama, tetapi mungkin terjadi setiap waktu selama pemberian therapi, hal ini lebih banyak
frekwensinya pada pasien dengan umur 35 tahun atau lebih atau terutama yang meminum
alkohol setiap hari
Cek berat badan 2 kali seminggu, di bawah kondisi standart
Pasien DM seharusnya diabsorbsi untuk hilangnya kontrol diabetes antara glikosuria yang
nyata dan tes benedik positif; yang palsu segera dilaporkan
Neuritis peripheral lebih banyak menimbulkan afek toksik seringkali didahului oleh
parestesikaki dan tangan. Pasien yang bebas kerentanan meliputi (termasuk) alkoholik atau
pasien denga penyakit liver, malnutrisi, diabetik, inaktivator lambat, wanita hamil dan
kekuatan.
Pendidikan kesehatan kepada keluarga dan pasien
Memeperingatkan pasien terhadap makanan yang mengandung tyramine (keju, ikan)
yang menjadi penyebab dari palpitasi, peningktan tekanan darah.
Instruksi pasien untuk melapor kepada medis bila ada tanda dan gejala dari
perkembangan hepatotoksik
Memperingatkan pasien terhadap makanan yang mengandung histamin (ikan tuna) yang
bisa menjadi penyebab dari palpitasi memperbesar respon obat (nyeri kepala,
hipotensi,palpitasi,berkeringat, diare)
Umumnya therapi INH diberikan 6 bulan - 2 tahun untuk pengobatan TBC yang aktif,
bila digunakan untuk terapi preventif, INH diberikan 12 bulan.
2. Nama obat : Ethambutol hydrochloride
Dosis: Dewasa 15 mg/kgBB (oral), untuk pengobatan ulang mulai dengan 25 mg kg/BB/hari
atau 60 hari, kemudian diturunkan sampai 15 mg/kgBB/hr
Anak: : 6 - 12 tahun: 10 - 15 mg/kgBB/hari
Farmakokinetik:
Absorbsi : 70% - 80% diabsorbsi di saluran pencernaan
Puncak 2 - 4 jam
Distribusi: diodistribusi ke seluruh jaringan tubuh, konsentrasi tertinggi dalam eritrosit,
ginjal, paru-paru, saliva, melalui plasenta, didistribusi kedalam air susu.
Metabolisme: dimetabolisme dalam hati
Eliminasi : waktu paruh 3 - 4 jam, 50% diekresikan dalam urin selama 24 jam, 20 - 22 % dikeluarkan
dalam feses
Efek samping :
CNS : Nyeri kepala , pening/pusing, kebingungan, halusinasi, parestesia, neuritis
peripheral, nyeri tulang sendi, kelemahan pada ekstremitas bagian bawah
Mata : Toksisitas bola mata : neuritis retrabulbar optik, kemungkinan neuritis anterior
optik dengan penurunan dalam ketajaman penglihatan, menyempitnya luas lapang pandang,
kebutaan pada warna merah-hijau, skotoma pada bagian pusat dan periferal, mata nyeri,
fotophobia, perdarahan dan edema retina.
Saluran pencernaan : anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen
Hypersensitifitas : pruritis , dermatitis, anafilaktis
Hyperuresemia, demam , malaise, leukopenia (jarang), sputum yang mengandung darah,
gangguan sementara dalam fungsi liver (kemungkinan hepatotoksisitas), nefrotoksisitas, gout
artritis akut, abnormalitas EKG, pengeluaran keringat
Implikasi Perawatan
Ethambutol mungkin diberikan setelah makan jika iritasi saluran pencernaan terjadi.
Absorpsi tidak begitu dipengaruhi oleh makanan dalam perut.
Lindungi ethambutol dari cahaya, kelembaman dan panas. Letakan dalam kemasan yang
tertutup rapat-rapat pada suhu 15 - 30 C kecuali kalau diberikan langsung .
Pengkajian dan efek obat
Kultur dan tes kerentanan seharusnya seharusnya ditentukan sebelum dimulainya
tindakan/dan pengulangan secara periodik pada terapi secara keseluruhan .
Toksisitas okuli secara umum kelihatan dalam 1 - 7 bulan setelah dimulainya tyerapi.
Gejala biasanya tidak tampak selama beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah obat
tidak dilanjutkan
Uji opthalmoskopik meliputi tes luas lapang pandang , tes untuk ketajaman penglihatan
menggunakan kertas mata, dan tes untuk penggolongan diskriminasi warna seharusnya
ditentukan lebih dulu untuk memulai therapi dan dalam interval bulanan selama therapi. Mata
seharusnya dites secara terpisah sama baiknya secara bersama-sama
Monitor rasio input dan output pada pasien dengan kerusakan ginjal . Laporkan adanya
oliguria atau perubahan yang penting pada ratio atau dalam laporan laboratorium tentang
fungsi ginjal. Akumulasi sistemik dengan toksisitas dapat dihasilkan dari ekresi obat-obat
yang lambat
Tes fungsi ginjal dan hepatik, hitung sel darah dan determinan serum asam urat seharusnya
ditentukan dalam interval yang teratur pada terapi secara menyeluruh.
Alsagaff Hood, Abdul Mukty, (1995). Dasar Dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press.
Surabaya.
Amin muhammad, Hood Alsagaff. (1989). Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press.
Surabaya.
B.AC,Syaifudin, Anatomi dan fisiologi untuk perawat. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Blac,MJ Jacob. (1993). l.uckman & Sorensens Medical surgical Nursing A Phsycopsicologyc Approach.
W.B. Saunders Company. Philapidelpia.
Carpenito, Lynda Juall. (1995). Diagnosa keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Edisi 6, Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall. (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Edisi. 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Engram Barbara. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 1. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Ganong F. William. (1998). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Gibson, John, MD. (1995). Anatomi Dan Fisiologi Modern Untuk Perawat. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.
Hudak & Gallo, ( 1997 ). Keperawatan kritis : suatu pendekatan holistic, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
Laboratorium Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR. (1994). Dasar Dasar Diagnostik Fisik Paru. Surabaya.
Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius
Jakarta.
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo. (1994). Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu
Penyakit Paru. Airlangga University Press. Surabaya.
Soeparman, Sarwono Waspadji. (1990). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Susan Martin Tucker. (1998). Standar Perawatan Klien. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Sylvia Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses
Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.