Jurding Ipd
Jurding Ipd
Systemic inflammatory response syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau lebih dari
kriteria berikut:
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun SIRS, sepsis dan syok
sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia.
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi, atau
hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi:
1. Asidosis laktat
2. Oliguria
3. Atau perubahan akut pada status mental
Terdapat beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis, diantaranya memasukkan pertanda
biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein, sebagai langkah awal dalam
diagnosis sepsis.
(Hermawan, 2007).
Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi
jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme sel/jaringan. Syok septik
merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah (sistolik < 90mmHg atau
penurunan tekanan darah sistolik > 40mmHg) disertai tanda kegagalan sirkulasi, meski telah
dilakukan resusitasi secara adekuat atau perlu vasopressor untuk mempertahankan tekanan
darah dan perfusi organ (Chen dan Pohan, 2007).
Etiologi
Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting terhadap sepsis
adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar dari bakteri gram negatif.
LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung mengaktifkan sistem imun
seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan gejala septikemia. LPS tidak toksik, namun
merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri
gram positif, jamur, dan virus, dapat juga menyebabkan sepsis dengan prosentase yang lebih
sedikit. Peptidoglikan yang merupakan komponen dinding sel dair semua kuman, dapat
menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas membran sel imun
secara langsung (Hermawan, 2007).
Patogenesis
Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk LPSab (Lipo
Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan perantara reseptor
CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag mengekspresikan
imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi adalah bakteri gram
negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.
Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh monosit
atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), kemudian ditampilkan
dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major
Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan pada peptida MHC kelas II
akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR (T cell
receptor).
Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai
immunomodulator yaitu: IFN-, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony stimulating factor).
Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN- merangsang
makrofag mengeluarkan IL-1 dan TNF-. IFN-, IL-1 dan TNF- merupakan sitokin
proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1 dan TNF- dalam serum
penderita. Sitokin IL-2 dan TNF- selain merupakan reaksi sepsis, dapat merusakkan endotel
pembuluh darah, yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas. IL-1 sebagai
imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk pembentukan
prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1
(ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitisasi oleh
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan
adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel terdiri dari 3 langkah, yaitu:
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme yang melisiskan
dinding endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk radikal bebas yang
mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga akibatnya endotel
menjadi nekrosis, dan rusak. Kerusakan endotel tersebut menyebabkan vascular leak,
sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel. Pendapat lain yang memperkuat pendapat
tersebut bahwa kelainan organ multipel disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam
pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik yang berakhir dengan kematian.
Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang
melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan
berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana
terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi melebihi
kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi
berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan gangguan pada tingkat
sesluler pada berbagai organ.
Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal
sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan
pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan, iskemia
reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut berperan adalah
terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance), malnutrisi
kalori protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari
terapi yang diberikan (Chen dan Pohan, 2007).
Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif seperti lemah,
malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering: paru, tractus
digestivus, tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala sepsis akan menjadi
lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan
pasien dengan granulositopenia.
(Hermawan, 2007).
Diagnosis
Riwayat
Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan apakah pasien
immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
1. Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi
2. Hipotensi, oliguria, atau anuria
3. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas
4. Perdarahan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi dan inflamasi yang
terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan pemeriksaan rektum, pelvis, dan
genital.
Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, urea darah,
nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri,
elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang
terinfeksi harus dilakukan.
Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan
proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya hiperventilasi menimbulkan alkalosis
respiratorik. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
(Hermawan, 2007).
Penatalaksanaan
Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien harus
dipantau. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat.
Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah
arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, dan
norepinefrin.
Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang jika diberikan secara dini
dapat menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sampel
didapatkan dari pasien, diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum aktivitas
luas. Bila telah ditemukan penyebab pasti, maka antimikrobial diganti sesuai dengan
agen penyebab sepsis tersebut (Hermawan, 2007).
Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik yang kuat, misalnya
antara golongan penisilin/penicillinaseresistant penicillin dengan gentamisin.
1. Golongan penicillin
3. Gentamycin
Bila hasil kultur dan resistensi darah telah ada, pengobatan disesuaikan. Beberapa
bakteri gram negatif yang sering menyebabkan sepsis dan antibiotik yang dianjurkan:
Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobik.
Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang gangren
(Hermawan, 2007).
Penatalaksanaan Syok Septik
Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang perlu
dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama,
dimulai sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing; b)
circulation; c) oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan.
Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena
sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5
ml/kgBB/jam.
1. Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau
kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Transpor
oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi
miokard menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah
akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun. Transpor
oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler,
mikrotrombus dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami
iskemia.
2. Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik kristaloid
maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar
tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon terhadap pemberian cairan dapat
terlihat dari peningkatan tekanan darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi
nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan
kesadaran. Perlu diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan
vena jugular, ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan hidrostatik
melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit
(PRC) perlu diberikan pada keadaan perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada
keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang
akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl.
4. Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum bikarbonat <9
meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.
5. Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun
hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada hemodialisis digunakan
gradien tekanan osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi
digunakan gradien tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama
perawatan, sedangkan bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis.
6. Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak, cairan, vitamin dan
mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara enteral dan
bila tidak memungkinkan beru diberikan secara parenteral.
7. Kortikosteroid
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi insufisiensi adrenal, dan
diberikan secara empirik bila terdapat dugaan keadaan tersebut. Hidrokortison dengan
dosis 50mg bolus intravena 4 kali selama 7 hari pada pasien renjatan septik
menunjukkan penurunan mortalitas dibanding kontrol.