Anda di halaman 1dari 14

JURNAL READING

Antihypertensive medication use is associated with increased organ system


involvement and hospitalization in emergency department patients with anaphylaxis

Penggunaan obat antihipertensi berhubungan dengan peningkatan keterlibatan


sistem organ dan hospitalisasi pasien departemen emergensi dengan anafilaksis

Oleh:
Annisa Pertiwi
G99152017

Pembimbing:
dr. Septian Adi Permana, Sp.An, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
ABSTRAK

Latar Belakang
Faktor risiko terhadap peningkatan derajat keparahan reaksi anafilaksis masih sulit
dipahami. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors diketahui berkaitan
dengan reaksi anafilaktik berat pada pasien dengan alergi sengatan hymenoptera.
Penelitian-penelitian sebelumnya yang mengevaluasi hubungan antara beta-blocker
dengan reaksi anafilaksis berat didapatkan saling bertentangan.

Tujuan Penelitian
Untuk mengevaluasi hubungan antara penggunaan obat antihipertensi dengan
peningkatan keparahan reaksi anafilaksis.

Metode Penelitian
Kami melibatkan pasien anafilaksis dari departemen emergensi dengan usia 18 tahun
ke atas. Anafilaksis berat didefinisikan sebagai (1) sinkop, hipotensi atau hipoksia; (2)
tanda dan gejala melibatkan 3 sistem organ atau lebih; (3) perlunya rawat inap. Obat
antihipertensi yang dievaluasi yaitu beta-blocker, ACE inhibitors, calcium channel
blockers, penghambat reseptor angiotensin, dan diuretik. Analisis regresi logistik
sederhana dan majemuk dilakukan untuk mengestimasi hubungan antara penggunaan
obat antihipertensi dengan peningkatan keparahan derajat anafilaksis.

Hasil
Dari 302 pasien dengan anafilaksis, 55 (18%) mengalami sinkop, hipoksia, atau
hipotensi, 57 (19%) membutuhkan rawat inap, dan 139 (46%) mengalami 3 atau lebih
keterlibatan sistem organ. Setelah dilakukan penyesualain terhadap usia, jenis
kelamin, suspek pencetus, dan penyakit paru yang dimiliki, penggunaan obat beta-
blocker, ACE-inhibitor, diuretik berhubungan dengan keterlibatan 3 atau lebih sistem
organ dan kebutuhan rawat inap. Hubungan yang telah disesuaikan antara penggunaan
obat antihipertensi dan keterlibatan 3 atau lebih sistem organ menghasilkan odds ratio
sebesar 2.8 (95% CI, 1.5-5.2; P = .0008) dan dengan perlunya rawat inap sebesar 4.0
(95% CI, 1.9-8.4; P 5 .0001).
Kesimpulan
Pada pasien-pasien yang mengalami reaksi anafilaksis di departemen emergensi,
penggunaan obat antihipertensi berhubungan dengan peningkatan keterlibatan sistem
organ dan peningkatan peluang perlunya rawat inap, tidak tergantung pada umur,
jenis kelamin, suspek pencetus, dan penyakit paru dimiliki. (J Allergy Clin Immunol
2013;131:1103-8.)

Kata kunci: Anafilaksis, pengobatan antihipertensi, angiotensin-converting enzyme


inhibitor, beta-blocker, faktor risiko, departemen emergensi
PENDAHULUAN
Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik yang pada umumnya ditangani di
departemen emergensi. Tanda dan gejala yang didapatkan bervariasi mulai dari secara
relatif ringan hingga mengancam nyawa. Brown mengembangkan pembagian derajat
berdasarkan penemuan klinis dengan tingkat keparahan. Berdasarkan pembagian
derajat tersebut, anafilaksis berat didefinisikan sebagai pasien yang mengalami
hipoksia, hipotensi, atau neurologic compromise, yang biasanya bermanifestasi
sebagai kolaps.
Faktor risiko terjadinya anafilaksis berat masih belum sepenuhnya dipahami.
Pada penelitian sebelumnya, ACE-inhibitor berhubungan dengan reaksi anafilaksis
berat pada pasien alergi sengatan hymenoptera. Terdapat banyak laporan kasus
peningkatan keparahan reaksi anafilaksis pada pasien yang mengkonsumsi beta-
blocker. Penggunaan beta-blocker diketahui berkaitan dengan peningkatan risiko
reaksi anafilaksis yang diberikan alergen secara intravena, namun tidak berkaitan
dengan peningkatan risiko anafilaksis pada pasien yang menerima injeksi alergen
imunoterapi. Pada analisis regresi logistik majemuk, didapatkan ACE-inhibitor dan
beta blocker tidak berkaitan dengan reaksi anafilaksis yang berat. Oleh karena itu,
hubungan beta-blocker dan ACE-inhibitor dengan peningkatan keparahan reaksi
anafilaksis masih belum jelas. Selain itu, belum ada laporan mengenai hubungan
antara penggunaan diuretik atau pengobatan antihipertensi secara umum terhadap
peningkatan keparahan reaksi anafilaksis.
Kami memiliki hipotesis bahwa penggunaan beta-blocker, ACE-inhibitor,
atau obat antihipertensi lain termasuk diuretik, calcium channel blockers (CCBs), dan
angiotensin receptor blockers berhubungan dengan peningkatan keparahan reaksi
anafilaksis. Untuk menguji hipotesis ini, kami meneliti untuk memperkiraan
hubungan antara penggunaan obat antihipertensi dengan peningkatan keparahan
reaksi anafilaksis.

METODE PENELITIAN
Desain Penelitian dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain retrospektif observasional kohort. Pasien
merupakan pasien departemen emergensi Saint Marys Hospital, pendidikan
departemen emergensi tersier dengan kunjungan pasien setiap tahunnya sebanyak
72,000 pasien.
Pemilihan Partisipan
Rekam medis elektronik di departemen emergensi dengan pasien berusia 18
tahun ke atas secara elektronik diperiksa. Rekam medis semua pasien yang
mempunyai diagnosis yang mengandung allerg, anaphy, atau sting direview,
dan bagi yang memenuhi kriteria diagnosis National Institute of Allergy and
Infectious Disease/Food Allergy and Anaphylaxis Network (NIAID/FAAN) untuk
reaksi anafilaksis dimasukkan. Penelitian ini dilakukan pada April 2008 sampai Juli
2011.

Pengumpulan Data dan Penghitungan Hasil


Data dikumpulkan menggunakan formulir abstraksi data yang sudah
terstandarisasi. Kami mengumpulkan data berdasarkan penggunaan obat sehari-hari,
riwayat medis, suspek pencetus episode anafilaksis (berdasarkan pencetus yang
didokumentasikan pada waktu evaluasi departemen emergensi), tanda dan gejala
klinis, serta manajemen departemen emergensi. Penanda peningkatan keparahan
reaksi anafilaksis termasuk berikut ini: (1) tanda dan gejala sinkop, hipotensi, atau
hipoksia; (2) tanda dan gejala yang melibatkan 3 sistem ogan atau lebih, dan (3)
perlunya rawat inap. Hipotensi didefinisikan berdasarkan kriteria NIAID/FAAN
sebagai penurunan 30% tekanan darah sistolik dari baseline; atau; tekanan darah
sistolik kurang dari 70 mmHg pada anak-anak usia 1 bulan sampai 1 minggu, atau
kurang dari (70 mmHg + [2 x usia]) untuk anak-anak usia 1 hingga 10 tahun, atau
kurang dari 90 mmHg untuk anak-anak usia 11 sampai 17 tahun dan orang dewasa.

Analisis Statistik
Kami menampilkan semua data kontinyu sebagai median dengan jarak
interkuartil sepatutnya untuk distribusi data. Data kategorikal ditampilkan dalam
persen frekuensi terjadinya. Model regresi logistik sederhana (univariat) dan majemuk
(multivariat) cocok untuk memperkirakan hubungan antara penggunaan obat
antihipertensi dengan peningkatan keparahan reaksi anafilaksis. Karena penelitian
sebelumnya menjelaskan hubungan potensial antara usia, jenis kelamin, suspek
pencetus, dan penyakit paru yang dimiliki (seperti asma atau PPOK) dengan
keparahan reaksi anafilaksis, kami menyesuaikan data dengan variabel tersebut dalam
analisis regresi logistik majemuk untuk mencegah masalah kolinearitas.
Odds ratio (OR) dengan interval kepercayaan (CI) 95% dihitung dalam setiap
hubungan. Nilai P mewakili pengujian hipotesis 2 sisi, dan nilai P 0.05 atau kurang
menunjukkan hasil yang secara statistik signifikan. Analisis statistik dilakukan
menggunakan JMP software, versi 9.0 (SAS Institute, Inc, Cary, NC).

HASIL PENELITIAN
Dari April 2008 hingga Juli 2011, kami melibatkan 302 pasien dewasa yang
memenuhi kriteria diagnosis anafilaksis dari NIAID/FAAN. Karakteristik baseline,
suspek pencetus anafilaksis, penyakit paru yang mendasarinya, dan hasil dari
penelitian kohort telah dirangkum di Tabel I. Usia rata-rata sampel penelitian adalah
44.3 tahun (kisaran interkuartil, 31.5-58.0). Dua ratus empat pasien (68%) merupakan
perempuan, dan 91% ras kulit putih, yang menunjukkan kecilnya proporsi minoritas
di komunitas. Delapan puluh tujuh (29%) pasien paling tidak mengkonsumsi 1 obat
antihipertensi lainnya, 49 (16%) menggunakan beta-blocker, 34 (11%) menggunakan
ACE inhibitor, 22 (7%) menggunakan CCB, 8 (3%) menggunakan penghambat
reseptor angiotensin, dan 45 (15%) menggunakan diuretik.
Lima puluh lima pasien (18%) mempunyai tanda atau gejala sinkop, hipoksia,
atau hipotensi. Seratus tiga puluh sembilan pasien (46%) mengalami keterlibatan 3
atau lebih sistem organ, dan 57 (19%) pasien memerlukan perawatan di rumah sakit,
termasuk 27 pasien memerlukan perawatan di ruang intensif dan 30 pasien di bangsal.
Untuk membuktikan hubungan antara perlunya perawatan di rumah sakit dan
keparahan reaksi anafilaksis, kami menganalisis hubungan antara perlunya perawatan
di rumah sakit dan keparahan reaksi anafilaksis (terdapatnya sinkop, hipoksia,
hipotensi) sebagaimana hubungan perlunya perawatan di rumah sakit dengan
diberikannya lebih dari 1 dosis epinefrin dengan cara analisis regresi logistic multipel.
Kami menemukan (setelah disesuaikan usia, jenis kelamin, pencetus, dan penyakit
kardiovaskular atau paru yang mendasarinya) bahwa terdapatnya sinkop, hipotensi,
atau hipoksia (OR, 4.5; 95% CI, 2.2-9.2; P < .0001) dan pemberian lebih dari 1 dosis
epinefrin (OR, 17.3; 95% CI, 7.0-46.4; P < .0001) berhubungan dengan perlunya
perawatan di rumah sakit, yang menunjukkan perlunya perawatan di rumah sakit
didasarkan atas derajat keparahan dari reaksi anafilaksis.
Pada analisis regresi logistik sederhana, beta-blocker, ACE-inhibitor, diuretik
secara signifikan berhubungan dengan keterlibatan 3 atau lebih sistem organ (Tabel
II). Selain itu, obat-obat tersebut ditambah dengan CCB berhubungan dengan
perlunya rawat inap (Tabel II). Hubungan yang tidak disesuaikan antara penggunaan
obat antihipertensi dengan keterlibatan 3 atau lebih sistem organ menghasilkan OR
2.5 (95% CI, 1.5-4.2; P 5 .0004) dan dengan hospitalisasi menghasilkan OR 4.4 (95%
CI, 2.4-8.1; P < .0001). Analisis regresi logistik sederhana juga menunjukkan bahwa
PPOK, juga berkaitan dengan perlunya perawatan di rumah sakit. Namun, setelah
disesuaikan dengan usia, kaitan tersebut tidak lagi signifikan. Analisis regresi logistik
sederhana tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pengobatan
dengan antihipertensi dengan terjadinya hipotensi atau persyaratan untuk mengulang
dosis epinefrin, atau melanjutkan infus dengan agen inotropik.

Setelah menyesuaikan usia, jenis kelamin, perkiraan pencetus, dan penyakit


paru, tidak ada pengobatan antihipertensi yang berkaitan secara signifikan dengan
munculnya tanda sinkop, hipotensi, maupun hipoksia (Fig 1, A), dengan OR yang
telah disesuaikan sebesar 1.3 (95% CI, 0.61-2.7; P = 0.51). Namun, penggunaan beta-
blocker, ACE-inhibitor, diuretik secara signifikan berhubungan dengan keterlibatan 3
sistem organ atau lebih (Fig 1, B) dan perawatan di rumah sakit (Fig 1, C). Hubungan
yang telah disesuaikan antara penggunaan antihipertensi agregat dengan keterlibatan 3
sistem organ atau lebih didapatkan hubungan yang signifikan (OR, 2.8; 95% CI, 1.5-
5.2; P = 0.0008), sebagaimana hubungan yang disesuaikan dengan perawatan di
rumah sakit (OR, 4.0; 95% CI, 1.9-8.4; P = 0.0001).
DISKUSI

Pada penelitian kohort ini, kami menemukan bahwa penggunaan obat


antihipertensi berhubungan dengan peningkatan keterlibatan sistem organ dan
perlunya perawatan di rumah sakit setelah disesuaikan dengan usia, jenis kelamin,
suspek pencetus, dan penyakit paru yang sebelumnya telah dimiliki. Meskipun
hubungan antara ACE inhibitor dan beta blocker dengan tingkat keparahan reaksi
anafilaksis telah diteliti sebelumnya, penelitian kami melibatkan spektrum penanda
potensial yang lebih luas dalam peningkatan keparahan dan mengumpulkan data pada
pengobatan antihipertensi tambahan.

Obat-obat antihipertensi dapat mempotensiasi anafilaksis, yang kemudian


dapat meningkatkan keterlibatan sistem organ dan meningkatkan kemungkinan
perlunya rawat inap melalui berbagai cara. ACE inhibitor secara kompetitif
menghambat ACE, dimana ACE merupakan enzim nonspesifik yang berperan dalam
metabolisme beberapa peptida kecil, termasuk bradikinin. ACE bertanggung jawab
dalam 70-90% katabolisme bradikinin. Bradikinin menstimulasi sintesis nitrit oksida,
yang kemudian meningkatkan vasodilatasi. Selain itu, bradikinin dan mediator lain
yang kemudian berakumulasi, dalam kondisi terdapatnya ACE inhibitor dapat
menstimulasi bronkospasme. Selain itu, elevasi kadar bradikinin secara akut dapat
menyebabkan angioedema orofaringeal berat, seperti yang terlihat pada angioedema
herediter. Oleh karena itu, secara fisiologis, ACE inhibitor dapat meningkatkan kadar
bradikinin yang kemudian menyebabkan angioedema, hipotensi, dan bronkospasme.
Demikian juga peningkatan keparahan reaksi anafilaksis pada pasien yang
mengkonsumsi beta-blocker mungkin dapat berkaitan dengan eksaserbasi
bronkospasme, penurunan kontraktilitas otot jantung, atau respon yang kurang
terhadap epinefrin. Diuretik mungkin berperan terhadap deplesi intravaskular relative
dan penurunan simpanan kardiovaskular pada kondisi reaksi anafilaksis.

Summers et al meneliti hubungan antara kadar ACE serum dengan edema


faring pada pasien dengan alergi kacang. Meskipun tidak ada pasien tersebut yang
mengkonsumsi ACE inhibitor, pasien dengan edema faring yang berat (didefinisikan
sebagai terdapatnya drooling dan dispneu) mempunyai kadar ACE serum yang secara
signifikan lebih rendah daripada pasien dengan kuartil paling rendah, yaitu 9.7 kali
kemungkinan mengalami edema faring berat dibandingkan pasien-pasien dengan
kadar ACE lebih tinggi setelah disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, dan penyakit
atopi yang dimiliki. Sebaliknya, tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar
ACE serum dengan bronkospasme, penurunan kesadaran, urtikaria, dan angioedema
nonfaringeal. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar aktivitas ACE serum, yang
dapat juga dilihat pada pasien yang mengkonsumsi ACE inhibitor, meningkatkan
risiko edema faring berat. Pada penelitian kohort kami menemukan hubungan antara
penggunaan ACE inhibitor dengan keterlibatan 3 sistem organ atau lebih dan
hospitalisasi. Kami tidak menemukan hubungan penggunaan ACE inhibitor dengan
edema orofaring, yang menunjukkan bahwa peningkatan keparahan reaksi anafilaksis
kemungkinan disebabkan oleh berbagai mekanisme. Penelitian yang lebih besar
dibutuhkan untuk menentukan secara lebih presisi mekanisme yang berperan terhadap
tingkat keparahan reaksi anafilaksis pada pasien departemen emergensi yang
mengkonsumsi ACE inhibitor.

Hubungan antara beta blocker dan ACE inhibitor dinilai dalam penelitian
kohort observasional sebelumnya pada pasien dengan riwayat alergi lebah atau vespid
yang mengunjungi 14 klinik alergi. Dua puluh satu persen pasien mengalami reaksi
berat yang didefinisikan sebagai syok anafilaktik, penurunan kesadaran, atau henti
jantung-paru. Meskipun penggunaan beta-blocker secara signifikan berhubungan
dengan reaksi anafilaktik berat pada analisis regresi logistik sederhana, penggunaan
ACE-inhibitor tetap berkaitan terhadap peningkatan derajat keparahan anafilaksis
pada model regresi logistik multipel. Karena hanya 5% pasien penelitian kohort yang
mengkonsumsi beta-blocker, namun, penulis menyimpulkan bahwa penemuan negatif
mereka tidak mengesampingkan kemungkinan hubungan antara beta-blocker dengan
anafilaksis berat.

Tidak adanya hubungan antara obat antihipertensi dengan reaksi anafilaktik


berat yang didefinisikan sebagai sinkop, hipoksia, atau hipotensi, pada penelitian
kohort kami konsisten dengan penemuan Brown. Brown melakukan penelitian
retrospektif pada 1149 pasien departemen emergensi, termasuk anak-anak dan
dewasa, yang didesain untuk mengembangkan sistem penentuan derajat klinis untuk
anafilaksis, dengan tujuan sekunder untuk mengevaluasi predictor anafilaksis berat
termasuk hubungan dengan penggunaan beta-blocker atau ACE inhibitor. Penelitian
kohort ini melibatkan 21 pasien (2%) yang menggunakan beta-blocker dan 57 pasien
(5%) yang menggunakan ACE inhibitor. Total 139 (12%) pasien mengalami
anafilaksis berat yang didefinisikan sebagai tanda dan gejala hipotensi, hipoksia, dan
pingsan. Meskipun keduanya (beta blocker dan ACE inhibitor) berhubungan dengan
keparahan reaksi anafilaktik pada analisis regresi logistik sederhana, setelah
disesuaikan dengan usia, tidak ada satupun baik penggunaan beta blocker maupun
ACE inhibitor tetap berhubungan secara signifikan. Berdasarkan oleh ketidak adanya
hubungan setelah penyesuaian, OR tidak ditampilkan di artikel ini. Selain itu,
perhitungan kekuatan juga tidak ditampilkan.

Meskipun ditemukan kurang lebih 10% dan 6% peningkatan angka sinkop,


hipoksia, atau hipotensi pada pasien yang mengkonsumsi beta-blocker dan ACE
inhibitor, tetap tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik.
Penelitian kami kurang bertenaga untuk mendeteksi perbedaan kurang dari 20%. Oleh
karena itu, hasil yang kami dapatkan sepakat dengan hasil yang dilakukan oleh
Brown, namun tidak secara keseluruhan menyingkirkan kemungkinan bahwa beta-
blocker dan ACE inhibitor merupakan predictor dalam peningkatan risiko hipoksia,
hipotens, atau sinkop pada pasien anafilaksis pada departemen emergensi. Selain itu,
beberapa obat mungkin dapat secara khusus mengurangi particular pasien untuk
meningkatan keparahan, seperti pada pasien yang mengkonsumsi ACE inhibitor yang
memiliki alergi bisa. Kami tidak dapat menentukan efek obat antihipertensi pada
subpopulasi karena heterogenitas penelitian kohort kami, penelitian yang lebih besar
diperlukan.

Hubungan antara obat-obat antihipertensi multipel dan penanda keparahan


anafilaksis mungkin dapat mendukung teori bahwa komorbiditas kardiovaskular yang
mendasari dan bukan obat antihipertensi sendiri yang menyebabkan pasien
mengalami reaksi anafilaksis yang lebih berat. Pada penemuan yang konsisten bahwa
usia merupakan faktor risiko independen dalam peningkatan keparahan anafilaksis
juga mendukung ide ini. Signaling endotel vaskular yang kurang baik dan disfungsi
endothelial subsekuen meruakan mekanisme putatif penyakit kardiovaskular yang
mendasarinya. Disfungsi endotel menghasilkan remodeling microvaskuler sistemik,
vasodilatasi endothelium-dependent yang kurang baik, dan peningkatan
vasokonstriksi. Mekanisme disfungsi endothelial yang mendasari kompleks dan
melibatkan berbagai mediator vasoaktif seperti nitrit oxide, prostasiklin, endothelin-1,
tromboxan A2, dan lainya. Disfungsi dari jalur signaling mungkin dapat
menyebabkan respon berlebihan terhadap mediator vasoaktif anafilaksis, mekanisme
kompensatori fisiologi yang kurang, atau secara potensial menghilangkan respon
pemberian epinefrin, predisposisi pasien untuk lebih mengalami anafilaksis berat.
Selain itu, hubungan antara obat dan komorbiditas dapat kemungkinan predispose
pasien untuk keterlibatan sistem organ dan meningkatkan masuknya ke rumah sakit.
Kami tidak mampu menghitung efek komorbiditas kardiovaskular pada keparahan
anafilaksis pada penelitian kohort kami karena tingginya hubungan antara penyakit
kardiovaskuler dan penggunaan obat antihipertensi.

Meskipun belum ada penelitian uji acak atau prospektif pada efek obat-obat
antihipertensi teradap tingkat keparahan anafilaksis, model penentuan analisis telah
dikembangkan untuk membantu klinisi menentukan apakah terapi beta-blocker dapat
bermanfaat bagi pasien dengan alergi kacang. Berdasarkan contoh tersebut, terapi
dengan beta-blocker dapat meningkatkan survival pasien dengan gagal jantung
kongestif atau pasien dengan riwayat infark miokard. Meskipun kami tidak dapat
membuat kesimpulan definitive terhadap risiko jangka panjang dan manfaat obat
antihipertensi pada pasien dengan anafilaksis, hasil penelitian kami mengindikasikan
bahwa beta- blockers, ACE inhibitors, dan diuretic kemungkinan dapat meningkatkan
risiko anafilaksis berat. Kami tidak menemukan hubungan yang signifikan secara
statistik antara penghambat reseptor angiotensin dan CCB dengan anafilaksis berat
setelah penyesuaian multivariate. Karena relatif jarang penelitian kohort mengenai
obat-obat tersebut, ke depannya penelitian tersebut perlu dibutuhkan untuk
menentukan apakah obat-obat seperti di atas mungkin menjadi alasan alternatif bagi
pasien dengan riwayat anafilaksis.

Penelitian kami memiliki beberapa kekurangan. Kualitas data bergantung pada


keakuratan rekam medis karena desain kami yang retrospektif. Namun formulir
abstraksi data yang terstandarisasi digunakan untuk mengurangi keacakan dan
systematic errors dan meningkatkan presisi, serta meningkatkan akurasi dari variabel
yang dikumpulkan. Selain itu, pasien yang dilibatkan dalam penelitian kohort
konsekutif menurunkan efek dari bias selektif. Relatif kecilnya sampel mencegah
adanya analisis subgroup tambahana seperti hubungan antara pasien yang
mengkonsumsi beberapa obat antihipertensi atau efek pada kelompok dengan
pencetus tertentu. Sebagai tambahan, seperti telah diungkapkan di atas, karena
kolinearitas antara penggunaan antihipertensi dengan penyakit kardiovaskular, kami
tidak dapat melibatkan penyakit kardiovaskular ke dalam model regresi logistik
multipel kami. Sehingga kami tidak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa
komorbid penyakit kardiovaskular yang dimiliki merupakan faktor risiko yang
signifikan terhadap anafilaksis yang lebih berat. Pada akhirnya, penelitian ini
dilakukan di satu pusat, dengan dominan ras kulit putih, yang mungkin dapat menjadi
kekurangan validitas external.

Kesimpulannya, penggunaan obat beta-blocker, ACE-inhibitor, diuretik


berhubungan terhadap peningkatan keterlibatan sistem organ dan perlunya rawat inap
pada pasien di departemen emergensi dengan syok anafilaktik. Berdasarkan tren
peningkatan keparahan dengan pengobatan beberapa obat antihipertensi,
memungkinkan komorbid penyakit kardiovaskular atau kombinasi antara komorbid
penyakit kardiovaskular serta penggunaan obat antihipertensi meningkatkan
keparahan reaksi anafilaksis. Penelitian yang lebih besar dibutuhkan untuk
menentukan efek obat-obatan tersebut terhadap gejala spesifik atau terhadap pencetus
alergi.

Anda mungkin juga menyukai