Oleh:
Annisa Pertiwi
G99152017
Pembimbing:
dr. Septian Adi Permana, Sp.An, M.Kes
Latar Belakang
Faktor risiko terhadap peningkatan derajat keparahan reaksi anafilaksis masih sulit
dipahami. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors diketahui berkaitan
dengan reaksi anafilaktik berat pada pasien dengan alergi sengatan hymenoptera.
Penelitian-penelitian sebelumnya yang mengevaluasi hubungan antara beta-blocker
dengan reaksi anafilaksis berat didapatkan saling bertentangan.
Tujuan Penelitian
Untuk mengevaluasi hubungan antara penggunaan obat antihipertensi dengan
peningkatan keparahan reaksi anafilaksis.
Metode Penelitian
Kami melibatkan pasien anafilaksis dari departemen emergensi dengan usia 18 tahun
ke atas. Anafilaksis berat didefinisikan sebagai (1) sinkop, hipotensi atau hipoksia; (2)
tanda dan gejala melibatkan 3 sistem organ atau lebih; (3) perlunya rawat inap. Obat
antihipertensi yang dievaluasi yaitu beta-blocker, ACE inhibitors, calcium channel
blockers, penghambat reseptor angiotensin, dan diuretik. Analisis regresi logistik
sederhana dan majemuk dilakukan untuk mengestimasi hubungan antara penggunaan
obat antihipertensi dengan peningkatan keparahan derajat anafilaksis.
Hasil
Dari 302 pasien dengan anafilaksis, 55 (18%) mengalami sinkop, hipoksia, atau
hipotensi, 57 (19%) membutuhkan rawat inap, dan 139 (46%) mengalami 3 atau lebih
keterlibatan sistem organ. Setelah dilakukan penyesualain terhadap usia, jenis
kelamin, suspek pencetus, dan penyakit paru yang dimiliki, penggunaan obat beta-
blocker, ACE-inhibitor, diuretik berhubungan dengan keterlibatan 3 atau lebih sistem
organ dan kebutuhan rawat inap. Hubungan yang telah disesuaikan antara penggunaan
obat antihipertensi dan keterlibatan 3 atau lebih sistem organ menghasilkan odds ratio
sebesar 2.8 (95% CI, 1.5-5.2; P = .0008) dan dengan perlunya rawat inap sebesar 4.0
(95% CI, 1.9-8.4; P 5 .0001).
Kesimpulan
Pada pasien-pasien yang mengalami reaksi anafilaksis di departemen emergensi,
penggunaan obat antihipertensi berhubungan dengan peningkatan keterlibatan sistem
organ dan peningkatan peluang perlunya rawat inap, tidak tergantung pada umur,
jenis kelamin, suspek pencetus, dan penyakit paru dimiliki. (J Allergy Clin Immunol
2013;131:1103-8.)
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain retrospektif observasional kohort. Pasien
merupakan pasien departemen emergensi Saint Marys Hospital, pendidikan
departemen emergensi tersier dengan kunjungan pasien setiap tahunnya sebanyak
72,000 pasien.
Pemilihan Partisipan
Rekam medis elektronik di departemen emergensi dengan pasien berusia 18
tahun ke atas secara elektronik diperiksa. Rekam medis semua pasien yang
mempunyai diagnosis yang mengandung allerg, anaphy, atau sting direview,
dan bagi yang memenuhi kriteria diagnosis National Institute of Allergy and
Infectious Disease/Food Allergy and Anaphylaxis Network (NIAID/FAAN) untuk
reaksi anafilaksis dimasukkan. Penelitian ini dilakukan pada April 2008 sampai Juli
2011.
Analisis Statistik
Kami menampilkan semua data kontinyu sebagai median dengan jarak
interkuartil sepatutnya untuk distribusi data. Data kategorikal ditampilkan dalam
persen frekuensi terjadinya. Model regresi logistik sederhana (univariat) dan majemuk
(multivariat) cocok untuk memperkirakan hubungan antara penggunaan obat
antihipertensi dengan peningkatan keparahan reaksi anafilaksis. Karena penelitian
sebelumnya menjelaskan hubungan potensial antara usia, jenis kelamin, suspek
pencetus, dan penyakit paru yang dimiliki (seperti asma atau PPOK) dengan
keparahan reaksi anafilaksis, kami menyesuaikan data dengan variabel tersebut dalam
analisis regresi logistik majemuk untuk mencegah masalah kolinearitas.
Odds ratio (OR) dengan interval kepercayaan (CI) 95% dihitung dalam setiap
hubungan. Nilai P mewakili pengujian hipotesis 2 sisi, dan nilai P 0.05 atau kurang
menunjukkan hasil yang secara statistik signifikan. Analisis statistik dilakukan
menggunakan JMP software, versi 9.0 (SAS Institute, Inc, Cary, NC).
HASIL PENELITIAN
Dari April 2008 hingga Juli 2011, kami melibatkan 302 pasien dewasa yang
memenuhi kriteria diagnosis anafilaksis dari NIAID/FAAN. Karakteristik baseline,
suspek pencetus anafilaksis, penyakit paru yang mendasarinya, dan hasil dari
penelitian kohort telah dirangkum di Tabel I. Usia rata-rata sampel penelitian adalah
44.3 tahun (kisaran interkuartil, 31.5-58.0). Dua ratus empat pasien (68%) merupakan
perempuan, dan 91% ras kulit putih, yang menunjukkan kecilnya proporsi minoritas
di komunitas. Delapan puluh tujuh (29%) pasien paling tidak mengkonsumsi 1 obat
antihipertensi lainnya, 49 (16%) menggunakan beta-blocker, 34 (11%) menggunakan
ACE inhibitor, 22 (7%) menggunakan CCB, 8 (3%) menggunakan penghambat
reseptor angiotensin, dan 45 (15%) menggunakan diuretik.
Lima puluh lima pasien (18%) mempunyai tanda atau gejala sinkop, hipoksia,
atau hipotensi. Seratus tiga puluh sembilan pasien (46%) mengalami keterlibatan 3
atau lebih sistem organ, dan 57 (19%) pasien memerlukan perawatan di rumah sakit,
termasuk 27 pasien memerlukan perawatan di ruang intensif dan 30 pasien di bangsal.
Untuk membuktikan hubungan antara perlunya perawatan di rumah sakit dan
keparahan reaksi anafilaksis, kami menganalisis hubungan antara perlunya perawatan
di rumah sakit dan keparahan reaksi anafilaksis (terdapatnya sinkop, hipoksia,
hipotensi) sebagaimana hubungan perlunya perawatan di rumah sakit dengan
diberikannya lebih dari 1 dosis epinefrin dengan cara analisis regresi logistic multipel.
Kami menemukan (setelah disesuaikan usia, jenis kelamin, pencetus, dan penyakit
kardiovaskular atau paru yang mendasarinya) bahwa terdapatnya sinkop, hipotensi,
atau hipoksia (OR, 4.5; 95% CI, 2.2-9.2; P < .0001) dan pemberian lebih dari 1 dosis
epinefrin (OR, 17.3; 95% CI, 7.0-46.4; P < .0001) berhubungan dengan perlunya
perawatan di rumah sakit, yang menunjukkan perlunya perawatan di rumah sakit
didasarkan atas derajat keparahan dari reaksi anafilaksis.
Pada analisis regresi logistik sederhana, beta-blocker, ACE-inhibitor, diuretik
secara signifikan berhubungan dengan keterlibatan 3 atau lebih sistem organ (Tabel
II). Selain itu, obat-obat tersebut ditambah dengan CCB berhubungan dengan
perlunya rawat inap (Tabel II). Hubungan yang tidak disesuaikan antara penggunaan
obat antihipertensi dengan keterlibatan 3 atau lebih sistem organ menghasilkan OR
2.5 (95% CI, 1.5-4.2; P 5 .0004) dan dengan hospitalisasi menghasilkan OR 4.4 (95%
CI, 2.4-8.1; P < .0001). Analisis regresi logistik sederhana juga menunjukkan bahwa
PPOK, juga berkaitan dengan perlunya perawatan di rumah sakit. Namun, setelah
disesuaikan dengan usia, kaitan tersebut tidak lagi signifikan. Analisis regresi logistik
sederhana tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pengobatan
dengan antihipertensi dengan terjadinya hipotensi atau persyaratan untuk mengulang
dosis epinefrin, atau melanjutkan infus dengan agen inotropik.
Hubungan antara beta blocker dan ACE inhibitor dinilai dalam penelitian
kohort observasional sebelumnya pada pasien dengan riwayat alergi lebah atau vespid
yang mengunjungi 14 klinik alergi. Dua puluh satu persen pasien mengalami reaksi
berat yang didefinisikan sebagai syok anafilaktik, penurunan kesadaran, atau henti
jantung-paru. Meskipun penggunaan beta-blocker secara signifikan berhubungan
dengan reaksi anafilaktik berat pada analisis regresi logistik sederhana, penggunaan
ACE-inhibitor tetap berkaitan terhadap peningkatan derajat keparahan anafilaksis
pada model regresi logistik multipel. Karena hanya 5% pasien penelitian kohort yang
mengkonsumsi beta-blocker, namun, penulis menyimpulkan bahwa penemuan negatif
mereka tidak mengesampingkan kemungkinan hubungan antara beta-blocker dengan
anafilaksis berat.
Meskipun belum ada penelitian uji acak atau prospektif pada efek obat-obat
antihipertensi teradap tingkat keparahan anafilaksis, model penentuan analisis telah
dikembangkan untuk membantu klinisi menentukan apakah terapi beta-blocker dapat
bermanfaat bagi pasien dengan alergi kacang. Berdasarkan contoh tersebut, terapi
dengan beta-blocker dapat meningkatkan survival pasien dengan gagal jantung
kongestif atau pasien dengan riwayat infark miokard. Meskipun kami tidak dapat
membuat kesimpulan definitive terhadap risiko jangka panjang dan manfaat obat
antihipertensi pada pasien dengan anafilaksis, hasil penelitian kami mengindikasikan
bahwa beta- blockers, ACE inhibitors, dan diuretic kemungkinan dapat meningkatkan
risiko anafilaksis berat. Kami tidak menemukan hubungan yang signifikan secara
statistik antara penghambat reseptor angiotensin dan CCB dengan anafilaksis berat
setelah penyesuaian multivariate. Karena relatif jarang penelitian kohort mengenai
obat-obat tersebut, ke depannya penelitian tersebut perlu dibutuhkan untuk
menentukan apakah obat-obat seperti di atas mungkin menjadi alasan alternatif bagi
pasien dengan riwayat anafilaksis.