Identitas Penderita
Nama : Tn . X
Usia : 28 tahun
Pekerjaan : wiraswasta
Agama : Islam
Alamat : Jln. banglas
No. MR : 07 16 65
Tanggal masuk poli : 28 /07/ 2017
Anamnesis
Pasien masuk RSUD Kab Kebupaten Meranti via poli bedah tanggal 28 /07/2017
Keluhan Utama:
Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan dinding perut sekitar 1 bulan.
Demam (+), nyeri (+), kemerahan (+), pus (+).
Riwayat Penyakit Sekarang : tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu : tidak ada
Riwayat alergi :tidak terdapat alergi obat
Riwayat Penyakit Keluarga : tidak terdapat keluarga yang mengalami keluhan yang sama
Riwayat pemakian obat : -. Antibiotic
-. Penghilang rasa sakit dan obat demam
PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : compos mentis
Keadaan umum : baik
Vital Sign
TD : 120/80 mmHg
HR :80 kali/menit
RR :20 kali/menit
T : 37,60C
Kepala
Mata :tidak ada kelainan
Hidung : tidak ada kelainan
Telinga : tidak ada kelainan
Mulut : tidak ada kelainan
Leher : KGB tidak membesar, TVJ : < 2 mmHg
Thoraks :
I = pergerakan simetris, retraksi (-)
P = vocal fremitus +/+
P = Sonor
A = vesikuler
Abdomen :
I = ada benjolan diumbilikus
P = nyeri tekan (+) diumbilikus
P = shifting dullness (-), pembesaran hati dan spleen (-)
A = BU (+)
Ekstrimitas: tidak ada kelainan
Genital : tidak ada kelainan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
Hb = 16,3
Eritrosit = 5,13
Leukosit = 11,110
Hematokrit = 45,5
Trombosit = 354.000
Golongan darah = A+
CT = 7
BT = 2
GDS = 112
Ureum = 25
Creatinin = 1,26
Albumin = 4,5
SGOT = 32
SGPT = 42
Natrium = 136,29
Kalium = 4.43
Clorida = 100.79
HBsAg = negative
B20 = non reaktif
TERAPI
Rawat inap
Rencana operasi
Follow up
Tanggal Observasi
31/07/2017 S : benjolan dipusat (+)
O: Kes : CM, TD: 133/81mmHg, Nadi: 54x/i Nafas:
20x/i, Suhu: 36,4C.
Paru : Rhonki (-) wheezing (-)
Jantung : DBN
Abdomen : DBN
A : abses dinding perut
P : - pro insisi
- IVFD RL 20 tts/i
- Inj ceftriaxone 2 gr/24 jam
- Puasa 8jam pre op
-
- Rencana operasi tanggal 1/08/2017
01/08/2017 S: nyeri luka op (+)
O: k/u : sedang, Kes: CM, TD: 111/60mmHg,Nadi:
75x/i, Nafas:20x/i, Suhu:36,5oC,
Paru : Rhonki (-) wheezing (-)
Jantung : DBN
Abdomen : DBN
A: abses dinding abdomen post lapratomi exsplorasi +
drainase + debridement.
P : - IVFD RL 30tts/i
- Inj Ranitidin 2x50mg
- Inj ceftriaxone 2gr/24 jam
- Inj ketoroak 3x30mg
- Paracetamol 4x500mg tab
- Mobilisasi
- Evaluasi sore
I. ABSES
A. DEFINISI
Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus
(bakteri,jaringan nekrotik dan sel darah putih) ( Smelltzer at.al, 2001: 496). Abses adalah
kumpulan nanah (netrofil yang telah mati yang terakumulasi disebuah kavitas jaringan
karena adanya proses infeksi). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan
untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi kebagian lain dari tubuh.
Abses (Latin: abscessus ) merupakan kumpulan nanah ( netrofil yang telah mati)
yang terakumulasi disebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya
oleh bakteri atau parasit ) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka
peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk
mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh. Organisme atau
benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan
sitokin . Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi (peradangan), yang menarik
kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan
meningkatkan aliran darah setempat.
Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses , atau kapsul,
oleh sel-sel sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah nanah
menginfeksi struktur lain di sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali proses
enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-sel imun untuk menjangkau
penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan melawan bakteri-bakteri
yang terdapat dalam nanah.
Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka manifestasi
lain yang mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari proses inflamasi ,
yakni: kemerahan ( rubor), panas (calor ), pembengkakan ( tumor ), rasa nyeri (dolor),
dan hilangnya fungsi. Abses dapat terjadi pada setiap jaringan solid , tetapi paling sering
terjadi pada permukaan kulit, pada paru-paru, otak, gigi, ginjal, dan tonsil . Komplikasi
mayor abses adalah penyebaran abses ke jaringan sekitar atau jaringan yang jauh dan
kematian jaringan setempat yang ekstensif ( gangren).
B. KLASIFIKASI ABSES
Ada dua jenis abses :
Abses septic
Kebanyakan abses adalah septik, yang berarti bahwa mereka adalah hasil dari
infeksi. Septic abses dapat terjadi di mana saja di tubuh. Hanya bakteri dan respon
kekebalan tubuh yang diperlukan. Sebagai tanggapan terhadap bakteri, sel-sel darah
putih yang terinfeksi berkumpul di situs tersebut dan mulai memproduksi bahan kimia
yang disebut enzim yang menyerang bakteri dengan terlebih dahulu tanda dan
kemudian mencernanya. Enzim ini membunuh bakteri dan menghancurkan mereka ke
potongan-potongan kecil yang dapat berjalan di sistem peredaran darah sebelum
menjadi dihilangkan dari tubuh. Sayangnya, bahan kimia ini juga mencerna jaringan
tubuh. Dalam kebanyakan kasus, bakteri menghasilkan bahan kimia yang serupa.
Hasilnya adalah tebal, cairan-nanah kuning yang mengandung bakteri mati, dicerna
jaringan, sel-sel darah putih, dan enzim.
Abses adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan yang diawali dengan
proses yang disebut peradangan. Awalnya, seperti bakteri mengaktifkan sistem
kekebalan tubuh, beberapa kejadian terjadi:
Darah mengalir ke daerah meningkat.
Suhu daerah meningkat karena meningkatnya pasokan darah.
Wilayah membengkak akibat akumulasi air, darah, dan cairan lainnya.
Ternyata merah.
Rasanya sakit, karena iritasi dari pembengkakan dan aktivitas kimia.
Keempat tanda-panas, bengkak, kemerahan, dan sakit-ciri peradangan. Ketika
proses berlangsung, jaringan mulai berubah menjadi cair, dan bentuk-bentuk abses. Ini
adalah sifat abses menyebar sebagai pencernaan kimia cair lebih banyak dan lebih
jaringan. Selanjutnya, penyebaran mengikuti jalur yang paling resistensi, umum, jaringan
yang paling mudah dicerna. Sebuah contoh yang baik adalah abses tepat di bawah kulit.
Paling mudah segera berlanjut di sepanjang bawah permukaan daripada bepergian
melalui lapisan terluar atau bawah melalui struktur yang lebih dalam di mana ia bisa
menguras isi yang beracun. Isi abses juga dapat bocor ke sirkulasi umum dan
menghasilkan gejala seperti infeksi lainnya. Ini termasuk menggigil, demam, sakit, dan
ketidaknyamanan umum.
Abses steril
Abses steril kadang-kadang bentuk yang lebih ringan dari proses yang sama
bukan disebabkan oleh bakteri, tetapi oleh non-hidup iritan seperti obat-obatan. Jika
menyuntikkan obat seperti penisilin tidak diserap, itu tetap tempat itu disuntikkan dan
dapat menyebabkan iritasi yang cukup untuk menghasilkan abses steril. Seperti abses
steril karena tidak ada infeksi yang terlibat. Abses steril cukup cenderung berubah
menjadi keras, padat benjolan karena mereka bekas luka, bukan kantong-kantong sisa
nanah.
C. ETIOLOGI
Menurut ahli penyakit infeksi penyebab abses antara lain :
1. Infeksi Mikroba
Merupakan penyebab paling sering terjadinya abses. Virus menyebabkan
kematian sel dengan cara multiplikasi. Bakteri melepaskan eksotoksin yang
spesifik yaitu suatu sintesis kimiawi yang merupakan awal radang atau
melepaskan endotoksin yang ada hubunganya dengan dinding sel
2. Reaksi hipersensitivitas.
Terjadi bila ada perubahan respon Imunologi yang menyebabkan jaringan rusak.
3. Agen Fisik
Melalui trauma fisik, ultra violet, atau radiasi, terbakar, atau dinding berlebih
(frostbite).
4. Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan oksidan, asam, basa, akan merusak jaringan dengan cara memprovokasi
terjadinya proses radang, selain itu agen infeksi dapat melepaskan bahan
kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung menyebabkan radang.
5. Nekrosis jaringan
Aliran darah yang kurang akan menyebabkan hipoksia dan berkurangnya
makanan pada dearah yang bersangkutan. Menyebabkan kematian jaringan
yang merupakan stimulus kuat penyebab infeksi pada daerah tepi infeksi sering
memperlihatkan suatu respon radang akut. (Underwood,lC.E. 1999: 232 ).
D. FAKTOR RESIKO
Faktor predisposisi dari abses yaitu :
1. Penurunan daya tahan tubuh.
2. Kurang gizi.
3. Anemia.
4. Diabetes
5. Keganasan(kanker)
6. Penyakit lainya
7. Higienis jelek
8. Kegemukan
9. Gangguan kemotatik
10. Sindroma hiper IgE
11. Carier kronik Staphilococcus Aureus.
12. Sebagai komplikasi dari dermatitis atopi,. ekscoriasis, scabies, pedikulosis.
E. MANIFSTASI KLINIS
Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka manifestasi
lain yang mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari prose inflamasi, yakni
kemerahan (rubor), panas (color), pembengkakan (tumor), rasa nyeri (dolor) dan
hilangnya fungsi.
Timbul atau teraba benjolan pada tahap awal berupa benjolan kecil, pada
stadium lanjut benjolan bertambah besar, demam, benjolan meningkat, malaise, nyeri,
bengkak, berisi nanah (pus).
a. Nyeri tekan
b. Nyeri local
c. Bengkak
d. Kenaikan suhu
e. Leukositosis
f. Tanda-tanda infeksi
Rubor ( kemerahan ).
Kolor (panas) menggigil atau demam ( lebih dari 37,7 C ).
Dolor ( nyeri ).
Tumor ( bengkak ) terdapat pus ( rabas ) bau membusuk.
Fungtio laesa.
F. PATOFISIOLOGI
Kuman yang masuk kedalam tubuh akan menyebabkan kerusakanakan jaringan
dengan cara mengeluarkan toksin. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik
(sintesis), kimiawi yang secara spesifik mengawali proses peradangan atau melepaskan
endotoksin yang ada hubunganya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi
bila ada perubahan kondisi respon imunologi mengakibatkan perubahan reaksi imun
yang merusak jaringan. Agent fisik dan bahan kimia oksidan dan korosif menyebabkan
kerusakan jaringan,kematian jaringan menstimulus untuk terjadi infeksi. Infeksi
merupakan salah penyebab dari peradangan, kemerahan merupakan tanda awal yang
terlihat akibat dilatasi arteriol akan meningkatkan aliran darah ke mikro sirkulasi kalor
terjadi bersamaan dengan kemerahan bersifat lokal. Peningkatan suhu dapat terjadi
secara sistemik.
Akibat endogen pirogen yang dihasilkan makrofag mempengaruhi termoregulasi
pada suhu lebih tinggi sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi.
Peradangan terjadi perubahan diameter pembuluh darah mengalir keseluruh kapiler,
kemudian aliran darah kembali pelan. Sel-sel darah mendekati dinding pembuluh darah
didaerah zona plasmatik. Leukosit menempel pada epitel sehingga langkah awal terjadi
emigrasi kedalam ruang ekstravaskuler lambatnya aliran darah yang mengikuti Fase
hyperemia meningkatkan permiabilitas vaskuler mengakibatkan keluarya plasma
kedalam jaringan, sedang sel darah tertinggal dalam pembuluh darah akibat tekanan
hidrostatik meningkat dan tekanan osmotik menurun sehingga terjadi akumulasi cairan
didalam rongga ekstravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu
edema. Regangan dan distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga
abses menyebabkan rasa nyeri. Mediator kimiawi, termasuk bradikinin, prostaglandin,
dan serotonin merusak ujung saraf sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap
reseptor mekanosensitif dan termosensitif yang menimbulkan nyeri. Adanya edema
akan mengganggu gerak jaringan sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh yang
menyebabkan terganggunya mobilitas.
Inflamasi terus terjadi selama, masih ada pengrusakan jaringan bila penyabab
kerusakan bisa diatasi, maka debris akan difagosit dan dibuang oleh tubuh sampai
terjadi resolusi dan kesembuhan. Reaksi sel fagosit yang berlebihan menyebabkan
debris terkumpul dalam suatu rongga membentuk abses di sel jaringan lain membentuk
flegmon. Trauma yang hebat menimbulkan reaksi tubuh yang berlebihan berupa
fagositosis debris yang diikuti dengan pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk
mengganti jaringan yang rusak (fase organisasi), bila fase destruksi jaringan berhenti
akan terjadi fase penyembuhan melalui jaringan granulasi fibrosa. Tapi bila destruksi
jaringan berlangsung terus akan terjadi fase inflamasi kronik yang akan sembuh bila
rangsang yang merusak hilang.
Abses yang tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan
sehingga terjadi kerusakan Integritas kulit. Sedangkan abses yang diinsisi dapat
mengakibatkan resiko penyebaran infeksi.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dari abses antara lain:
1. Kultur ; Mengidentifikasi organisme penyebab abses sensitivitas menentukan obat
yang paling efektif..
2. Sel darah putih, Hematokrit mungkin meningkat, Leukopenia, Leukositosis (15.000
- 30.000) mengindikasikan produksi sel darah putih tak matur dalam jumlah besar.
3. Elektrolit serum, berbagai ketidakseimbangan mungkin terjadi dan menyebabkan
acidosis, perpindahan cairan dan perubahan fungsi ginjal.
4. Pemeriksaan pembekuan : Trombositopenia dapat terjadi karena agregasi
trombosit, PT/PTT mungkin memanjang menunjukan koagulopati yang
diasosiasikan dengan iskemia hati/sirkulasi toksin/status syok.
5. Laktat serum : Meningkat dalam acidosis metabolic, disfungsi hati, syok.
6. Glukosa serum, hiperglikemi menunjukkan glukogenesis dan glikogenesis di dalam
hati sebagai respon dari puasa/perubahan seluler dalam metabolism.
7. BUN/Kr : Peningkatan kadar diasosiasikan dengan dehidrasi, ketidak
seimbangan / kegagalan ginjal dan disfungsi/kegagalan hati.
8. GDA : Alkalosis respiratori hipoksemia,tahap lanjut hipoksemia asidosis
respiratorik dan metabolic terjadi karena kegagalan mekanisme kompensasi.
9. Urinalisis : Adanya sel darah putih/bakteri penyebab infeksi sering muncul protein
dan sel darah merah.
10. Sinar X : Film abdominal dan dada bagian bawah yang mengindikasikan udara
bebas di dalam abdomen/organ pelvis.
11. EKG : Dapat menunjukan perubahan segmen ST dan gelombang T,dan disritmia
yang menyerupai infak miokard.
H. PENATALAKSANAN
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan antibiotik.
Namun demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah,
debridemen, dan kuretase untuk meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan,
suatu abses bisa ditusuk dan dikeluarkan isinya. Salah satu pembedahannya yaitu
dengan laparatomi eksplorasi. Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk
mengidentifikasi penyebabnya, utamanya apabila disebabkan oleh benda asing, karena
benda asing tersebut harus diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda asing,
biasanya hanya perlu dipotong dan diambil absesnya, bersamaan dengan pemberian
obat analgesik dan mungkin juga antibiotik.
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan biasanya di indikasikan
apabila abses telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap
nanah yang lebih lunak. Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area
yang kritis, tindakan pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan
terakhir yang perlu dilakukan. Drainase abses paru dapat dilakukan dengan
memposisikan penderita sedemikian hingga memungkinkan isi abses keluar melalui
saluran pernapasan. Memberikan kompres hangat dan meninggikan posisi anggota
gerak dapat dilakukan untuk membantu penanganan abses kulit.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus,
antibiotik antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan.
Dengan adanya kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA) yang
didapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk
menangani MRSA yang didapat melalui komunitas, digunakan antibiotik lain:
clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan doxycycline.
Adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa penanganan hanya
dengan menggunakan antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan
tindakan yang efektif. Hal tersebut terjadi karena antibiotik sering tidak mampu masuk ke
dalam abses, selain bahwa antibiotik tersebut seringkali tidak dapat bekerja dalam pH
yang rendah. Namun demikian, walaupun sebagian besar buku ajar kedokteran
menyarankan untuk dilakukan insisi pembedahan, sebagian dokter hanya menangani
abses secara konservatif dengan menggunakan antibiotik.
I. KOMPLIKASI
1) Infeksi sekunder ; merupakan komplikasi paling sering, terjadi pada 10-20%
kasus.
2) Ruptur atau penjalaran langsung ; rongga atau organ yang terkena tergantung
pada letak abses. Perforasi paling sering ke pleuropulmonal, kemudian kerongga
intraperitoneum, selanjutnya pericardium dan organ-organ lain.
3) Komplikasi vaskuler ; ruptur kedalam v. porta, saluran empedu atau traktus
gastrointestinal jarang terjadi
4) Parasitemia, amoebiasis serebral ; E. histolytica bisa masuk aliran darah
sistemik dan menyangkut di organ lain misalnya otak yang akan memberikan
gambaran klinik dari lesi fokal intrakranial.
Nyeri somatik
Nyeri somatik terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi
saraf tepi, misalnya regangan pada peritoneum parietalis, dan luka pada
dinding perut. Nyeri dirasakan seperti disayat atau ditusuk, dan pasien
dapat menunjuk dengan tepat dengan jari lokasi nyeri. Rangsang yang
menimbulkan nyeri dapat berupa tekanan, rangsang kimiawi atau proses
radang (Sjamsuhidajat dkk., 2004).
Gesekan antara visera yang meradang akan menimbulkan rangsang
peritoneum dan dapat menimbulkan nyeri. Perdangannya sendiri maupun
gesekan antara kedua peritoneum dapat menyebabkan perubahan
intensitas nyeri. Gesekan inilah yang menjelaskan nyeri kontralateral pada
appendisitis akut. Setiap gerakan penderita, baik gerakan tubuh maupun
gerakan nafas yang dalam atau batuk, juga akan menambah intensitas
nyeri sehingga penderita pada akut abdomen berusaha untuk tidak
bergerak, bernafas dangkal dan menahan batuk (Sjamsuhidajat, dkk.,
2004).
c) Sifat nyeri
Berdasarkan letak atau penyebarannya nyeri dapat bersifat nyeri alih,
dan nyeri yang diproyeksikan. Untuk penyakit tertentu, meluasnya rasa nyeri
dapat membantu menegakkan diagnosis. Nyeri bilier khas menjalar ke pinggang
dan ke arah belikat, nyeri pankreatitis dirasakan menembus ke bagian pinggang.
Nyeri pada bahu kemungkinan terdapat rangsangan pada diafragma
(Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Nyeri alih
Nyeri alih terjadi jika suatu segmen persarafan melayani lebih dari satu
daerah. Misalnya diafragma yang berasal dari regio leher C3-C5 pindah ke
bawah pada masa embrional sehingga rangsangan pada diafragma oleh
perdarahan atau peradangan akan dirasakan di bahu. Demikian juga pada
kolestitis akut, nyeri dirasakan pada daerah ujung belikat. Abses dibawah
diafragma atau rangsangan karena radang atau trauma pada permukaan
limpa atau hati juga dapat menyebabkan nyeri di bahu. Kolik ureter atau
kolik pielum ginjal, biasanya dirasakan sampai ke alat kelamin luar seperti
labia mayora pada wanita atau testis pada pria (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Nyeri proyeksi
Nyeri proyeksi adalah nyeri yang disebabkan oleh rangsangan saraf
sensoris akibat cedera atau peradangan saraf. Contoh yang terkenal
adalah nyeri phantom setelah amputasi, atau nyeri perifer setempat akibat
herpes zooster. Radang saraf pada herpes zooster dapat menyebabkan
nyeri yang hebat di dinding perut sebelum gejala tau tanda herpes menjadi
jelas (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Hiperestesia
Hiperestesia atau hiperalgesia sering ditemukan di kulit jika ada
peradangan pada rongga di bawahnya. Pada gawat perut, tanda ini sering
ditemukan pada peritonitis setempat maupun peritonitis umum. Nyeri
peritoneum parietalis dirasakan tepat pada tempat terangsangnya
peritoneum sehingga penderita dapat menunjuk dengan tepat lokasi
nyerinya, dan pada tempat itu terdapat nyeri tekan, nyeri gerak, nyeri batuk
serta tanpa rangsangan peritoneum lain dan defans muskuler yang sering
disertai hipersetesi kulit setempat. Nyeri yang timbul pada pasien akut
abdomen dapat berupa nyeri kontinyu atau nyeri kolik (Sjamsuhidajat, dkk.,
2004).
Nyeri kontinyu
Nyeri akibat rangsangan pada peritoneum parietal akan dirasakan terus
menerus karena berlangsung terus menerus, misalnya pada reaksi radang.
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan
setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskuler secara refleks
untuk melindungi bagian yang meraadang dan menghindari gerakan atau
tekanan setempat (Sjamsuhidaja, dkk., 2004).
Nyeri kolik
Kolik merupakan nyeri viseral akibat spasme otot polos organ berongga
dan biasanya diakibatkan oleh hambatan pasase dalam organ tersebut
(obstruksi usus, batu ureter, batu empedu, peningkatan tekanan
intraluminer). Nyeri ini timbul karena hipoksia yang dialami oleh jaringan
dinding saluran. Karena kontraksi berbeda maka kolik dirasakan hilang
timbul (Sjamsuhidajat, dkk., 2004). Kolik biasanya disertai dengan gejala
mual sampai muntah. Dalam serangan, penderita sangat gelisah. Yang
khas ialah trias kolik yang terdiri dari serangan nyeri perut yang hilang
timbul mual atau muntah dan gerak paksa.
Nyeri iskemik
Nyeri perut juga dapat berupa nyeri iskemik yang sangat hebat, menetap,
dan tidak mereda. Nyeri merupakan tanda adanya jaringan yang terancam
nekrosis. Lebih lanjut akan tampak tanda intoksikasi umum seperti
takikardia, keadaan umum yang jelek dan syok karena resorbsi toksin dari
jaringan nekrosis.
Nyeri pindah
Nyeri dapat berubah sesuai dengan perkembangan patologi. Misalnya
pada tahap awal appendisitis, sebelum radang mencapai permukaan
peritoneum, nyeri viseral dirasakan di sekitar pusat disertai rasa mual.
Setelah radang mencapai diseluruh dinding termasuk peritoneum viserale,
terjadi nyeri akibat rangsangan yang merupakan nyeri somatik. Nyeri pada
saat itu dirasakan tepat pada peritoneum yang meradang, yaitu perut
kuadran kanan bawah. Jika appendiks mengalami nekrosis dan ganggren
nyeri berubah lagi menjadi nyeri yang hebat menetap dan tidak mereda.
Penderita dapat jatuh pada keadaan yang toksis.
Pada perforasi tukak peptikduodenum, isi duodenum yang terdiri dari
cairan asam garam empedu masuk ke rongga abdomen sehingga
merangsang peritoneum setempat. Pasien akan merasakan nyeri pada
bagian epigastrium. Setelah beberapa saat cairan duodenum mengalir ke
kanan bawah, melalui jalan di sebelah lateral kolon ascendens sampai
sekitar caecum. Nyeri akan berkurang karena terjadi pengenceran. Pasien
sering mengeluh nyeri berpindah dari ulu hati pindah ke kanan
bawah.proses ini berbeda dengan yang terjadi pada appendisitis akut.
Akan tetapi kedua keadaan ini, appendisitis akut maupun perforasi
duodeum akan mengakibatkan general peritonitis jika tidak segera
ditangani dengan baik.
Paraumbilical:
1. Ileus obstruksi
2. Appendicitis
3. Pancreatitis acute
4. Trombosis A/V mesentrial
5. Hernia Inguinalis strangulata
6. Aneurisma aorta yang pecah
7. Diverculitis (ileum/colon)
b. Diagnosa Keperawatan
Secara teori pada kasus abses dapat ditarik beberapa diagnose keperawatan
antara lain :
1. Resiko tinggi berhubungan dengan prosedur invasive
2. Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin
pada hipotalamus, perubahan regulasi temperatur.
3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan
reduksi aliran darah arteri dan vena.
4. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan
permiabilitas / kebocoran cairan kedalam lokasi interstisial (ruang ketiga).
5. Resiko tinggi terhadap pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
aliran darah.
6. Kurang pengetahuan mengenai penyakit berhubungan dengan kesalahan
interpretasi informasi.
7. Nyeri berhubungan dengan regangan dan distorsi abses
(kerusakanjaringan).
8. Gangguan mobilitas berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh
(gangguan neuromuskular).
9. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan
kulit karena destruksi lapisan kulit. (Doenges,2000:241).
c. Fokus Intervensi
Ada beberapa fokus intervensi yang muncul adalah sebagai berikut :
1. Resiko tinggi infeksi terhadap perkembangan infeksi oportunistik berhubungan
dengan prosedur invasif.
Tujuan : Menunjukan penyembuhan luka seiring perjalanan waktu.
Kriteria Hasil : Bebas dari sekresi purulen/drainase, atau eritema dan afebris.
Intervensi :
a. Berikan isolasi / pantau pengunjung sesuai indikasi.
b. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktifitas walaupun
menggunakan sarung tangan steril.
c. Batasi penggunaan alat / prosedur invasif jika memungkinkan.
d. Lakukan inspeksi terhadap luka / sisi alat invasif setiap hari, berikan
perhatian utama terhadap jalur hiperalimentasi
e. Gunakan teknik steril pada waktu penggantian balutan
f. Gunakan sarung tangan / pakaian pada waktu merawat luka yang
terbuka/antisipasi dari kontak langsung dengan sekresi ataupun ekskresi.
g. Buang balutan/bahan yang kotor dalam kantung ganda
h. Pantau kecenderungan suhu.
i. i. Amati adanya menggigil dan diaphoresis
j. j. Memantau tanda-tanda penyimpangan kondisi / kegagalan untuk
membaik selama masa terapi.
k. k. Inspeksi rongga mulut terhadap sariawan. Selidiki laporan rasa gatal /
peradangan vaginal / perineal.
l. l. Berikan obat anti infeksi sesuai petunjuk.
m. m. Bantu / siapkan insisi dan drainase luka. (Doenges, 2000: 874)
2. Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada
hipotalamus, perubahan pada regulasi temperatur.
Tujuan : Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan.
Kriteria Hasil : Tidak mengalami komplikasi berhubungan
Intervensi :
a. Pantau suhu pasien (derajad dan pola); perhatikan menggigil /
diaphoresis.
b. Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen tempat tidur, sesual
indikasi.
c. Berikan kompres mandi hangat; hindari penggunaan alcohol.
d. Berikan antipiretik.
e. Berikan selimut pendingin. (Doenges,2000 : 874)
Carpenito, L,J, 2001, Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Klinik (terjemahan), Edisi 3, EGC,
Jakarta.
Doenges, M.E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien (terjemahan), edisi 3, EGC, Jakarta
http://imadeharyoga.com (diakses 30 juni 2010)
http://www.surabayapost.co.id (diakses 30 juni 2010)
http://lensaaskep.blog.com/kebutuhan-cairan-dan-elektrolit.html(diakses 30 juni 2010)
http://ruangkesehatan.blog.com/20%abses (diakses 30 juni 2010)
Price, SA dan Wilson, LM, 1995, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
(terjemahan), Eidisi 4, Volume 1, EGC, Jakarta
Smeltzer, S.C, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (terjemahan), Edisi 8, Volume 2,
EGC, Jakarta.
S. Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 1998, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta
Underwood, J.C.E, 1999, Buku Ajar Ilmu Bedah (terjemahan), Edisi 4, EGC, Jakarta.