Anda di halaman 1dari 27

ILUSTRASI KASUS

Identitas Penderita
Nama : Tn . X
Usia : 28 tahun
Pekerjaan : wiraswasta
Agama : Islam
Alamat : Jln. banglas
No. MR : 07 16 65
Tanggal masuk poli : 28 /07/ 2017

Anamnesis
Pasien masuk RSUD Kab Kebupaten Meranti via poli bedah tanggal 28 /07/2017
Keluhan Utama:
Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan dinding perut sekitar 1 bulan.
Demam (+), nyeri (+), kemerahan (+), pus (+).
Riwayat Penyakit Sekarang : tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu : tidak ada
Riwayat alergi :tidak terdapat alergi obat
Riwayat Penyakit Keluarga : tidak terdapat keluarga yang mengalami keluhan yang sama
Riwayat pemakian obat : -. Antibiotic
-. Penghilang rasa sakit dan obat demam

PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : compos mentis
Keadaan umum : baik
Vital Sign
TD : 120/80 mmHg
HR :80 kali/menit
RR :20 kali/menit
T : 37,60C
Kepala
Mata :tidak ada kelainan
Hidung : tidak ada kelainan
Telinga : tidak ada kelainan
Mulut : tidak ada kelainan
Leher : KGB tidak membesar, TVJ : < 2 mmHg
Thoraks :
I = pergerakan simetris, retraksi (-)
P = vocal fremitus +/+
P = Sonor
A = vesikuler
Abdomen :
I = ada benjolan diumbilikus
P = nyeri tekan (+) diumbilikus
P = shifting dullness (-), pembesaran hati dan spleen (-)
A = BU (+)
Ekstrimitas: tidak ada kelainan
Genital : tidak ada kelainan

PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
Hb = 16,3
Eritrosit = 5,13
Leukosit = 11,110
Hematokrit = 45,5
Trombosit = 354.000
Golongan darah = A+
CT = 7
BT = 2
GDS = 112
Ureum = 25
Creatinin = 1,26
Albumin = 4,5
SGOT = 32
SGPT = 42
Natrium = 136,29
Kalium = 4.43
Clorida = 100.79
HBsAg = negative
B20 = non reaktif

DIAGNOSIS KERJA : Abses dinding abdomen

TERAPI
Rawat inap
Rencana operasi

Follow up
Tanggal Observasi
31/07/2017 S : benjolan dipusat (+)
O: Kes : CM, TD: 133/81mmHg, Nadi: 54x/i Nafas:
20x/i, Suhu: 36,4C.
Paru : Rhonki (-) wheezing (-)
Jantung : DBN
Abdomen : DBN
A : abses dinding perut
P : - pro insisi
- IVFD RL 20 tts/i
- Inj ceftriaxone 2 gr/24 jam
- Puasa 8jam pre op
-
- Rencana operasi tanggal 1/08/2017
01/08/2017 S: nyeri luka op (+)
O: k/u : sedang, Kes: CM, TD: 111/60mmHg,Nadi:
75x/i, Nafas:20x/i, Suhu:36,5oC,
Paru : Rhonki (-) wheezing (-)
Jantung : DBN
Abdomen : DBN
A: abses dinding abdomen post lapratomi exsplorasi +
drainase + debridement.
P : - IVFD RL 30tts/i
- Inj Ranitidin 2x50mg
- Inj ceftriaxone 2gr/24 jam
- Inj ketoroak 3x30mg
- Paracetamol 4x500mg tab
- Mobilisasi
- Evaluasi sore

02/08/2017 S: nyeri luka op(+)


O: Kes : CM, TD: 120/80mmHg, Nadi :90x/I, Nafas:
20x/I, Suhu:36,4
Paru : rhonki (-), wheezing (-)
Jantung : DBN
Abdomen : DBN
A: abses dinding abdomen post laparatomi eksplorasi +
drainase + debridement
P: -. Boleh pulang
-. Infus di AFF
-.cefadroxil 2x500mg
-. As. Mefenamat 3x500 mg
-. Ranitidine 2x 150 mg
-. KONTROL DIPOLI BEDAH
LAPORAN PENDAHULUAN

I. ABSES
A. DEFINISI
Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus
(bakteri,jaringan nekrotik dan sel darah putih) ( Smelltzer at.al, 2001: 496). Abses adalah
kumpulan nanah (netrofil yang telah mati yang terakumulasi disebuah kavitas jaringan
karena adanya proses infeksi). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan
untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi kebagian lain dari tubuh.
Abses (Latin: abscessus ) merupakan kumpulan nanah ( netrofil yang telah mati)
yang terakumulasi disebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya
oleh bakteri atau parasit ) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka
peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk
mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh. Organisme atau
benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan
sitokin . Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi (peradangan), yang menarik
kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan
meningkatkan aliran darah setempat.
Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses , atau kapsul,
oleh sel-sel sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah nanah
menginfeksi struktur lain di sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali proses
enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-sel imun untuk menjangkau
penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan melawan bakteri-bakteri
yang terdapat dalam nanah.
Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka manifestasi
lain yang mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari proses inflamasi ,
yakni: kemerahan ( rubor), panas (calor ), pembengkakan ( tumor ), rasa nyeri (dolor),
dan hilangnya fungsi. Abses dapat terjadi pada setiap jaringan solid , tetapi paling sering
terjadi pada permukaan kulit, pada paru-paru, otak, gigi, ginjal, dan tonsil . Komplikasi
mayor abses adalah penyebaran abses ke jaringan sekitar atau jaringan yang jauh dan
kematian jaringan setempat yang ekstensif ( gangren).
B. KLASIFIKASI ABSES
Ada dua jenis abses :
Abses septic
Kebanyakan abses adalah septik, yang berarti bahwa mereka adalah hasil dari
infeksi. Septic abses dapat terjadi di mana saja di tubuh. Hanya bakteri dan respon
kekebalan tubuh yang diperlukan. Sebagai tanggapan terhadap bakteri, sel-sel darah
putih yang terinfeksi berkumpul di situs tersebut dan mulai memproduksi bahan kimia
yang disebut enzim yang menyerang bakteri dengan terlebih dahulu tanda dan
kemudian mencernanya. Enzim ini membunuh bakteri dan menghancurkan mereka ke
potongan-potongan kecil yang dapat berjalan di sistem peredaran darah sebelum
menjadi dihilangkan dari tubuh. Sayangnya, bahan kimia ini juga mencerna jaringan
tubuh. Dalam kebanyakan kasus, bakteri menghasilkan bahan kimia yang serupa.
Hasilnya adalah tebal, cairan-nanah kuning yang mengandung bakteri mati, dicerna
jaringan, sel-sel darah putih, dan enzim.
Abses adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan yang diawali dengan
proses yang disebut peradangan. Awalnya, seperti bakteri mengaktifkan sistem
kekebalan tubuh, beberapa kejadian terjadi:
Darah mengalir ke daerah meningkat.
Suhu daerah meningkat karena meningkatnya pasokan darah.
Wilayah membengkak akibat akumulasi air, darah, dan cairan lainnya.
Ternyata merah.
Rasanya sakit, karena iritasi dari pembengkakan dan aktivitas kimia.
Keempat tanda-panas, bengkak, kemerahan, dan sakit-ciri peradangan. Ketika
proses berlangsung, jaringan mulai berubah menjadi cair, dan bentuk-bentuk abses. Ini
adalah sifat abses menyebar sebagai pencernaan kimia cair lebih banyak dan lebih
jaringan. Selanjutnya, penyebaran mengikuti jalur yang paling resistensi, umum, jaringan
yang paling mudah dicerna. Sebuah contoh yang baik adalah abses tepat di bawah kulit.
Paling mudah segera berlanjut di sepanjang bawah permukaan daripada bepergian
melalui lapisan terluar atau bawah melalui struktur yang lebih dalam di mana ia bisa
menguras isi yang beracun. Isi abses juga dapat bocor ke sirkulasi umum dan
menghasilkan gejala seperti infeksi lainnya. Ini termasuk menggigil, demam, sakit, dan
ketidaknyamanan umum.
Abses steril
Abses steril kadang-kadang bentuk yang lebih ringan dari proses yang sama
bukan disebabkan oleh bakteri, tetapi oleh non-hidup iritan seperti obat-obatan. Jika
menyuntikkan obat seperti penisilin tidak diserap, itu tetap tempat itu disuntikkan dan
dapat menyebabkan iritasi yang cukup untuk menghasilkan abses steril. Seperti abses
steril karena tidak ada infeksi yang terlibat. Abses steril cukup cenderung berubah
menjadi keras, padat benjolan karena mereka bekas luka, bukan kantong-kantong sisa
nanah.

C. ETIOLOGI
Menurut ahli penyakit infeksi penyebab abses antara lain :
1. Infeksi Mikroba
Merupakan penyebab paling sering terjadinya abses. Virus menyebabkan
kematian sel dengan cara multiplikasi. Bakteri melepaskan eksotoksin yang
spesifik yaitu suatu sintesis kimiawi yang merupakan awal radang atau
melepaskan endotoksin yang ada hubunganya dengan dinding sel
2. Reaksi hipersensitivitas.
Terjadi bila ada perubahan respon Imunologi yang menyebabkan jaringan rusak.
3. Agen Fisik
Melalui trauma fisik, ultra violet, atau radiasi, terbakar, atau dinding berlebih
(frostbite).
4. Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan oksidan, asam, basa, akan merusak jaringan dengan cara memprovokasi
terjadinya proses radang, selain itu agen infeksi dapat melepaskan bahan
kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung menyebabkan radang.
5. Nekrosis jaringan
Aliran darah yang kurang akan menyebabkan hipoksia dan berkurangnya
makanan pada dearah yang bersangkutan. Menyebabkan kematian jaringan
yang merupakan stimulus kuat penyebab infeksi pada daerah tepi infeksi sering
memperlihatkan suatu respon radang akut. (Underwood,lC.E. 1999: 232 ).
D. FAKTOR RESIKO
Faktor predisposisi dari abses yaitu :
1. Penurunan daya tahan tubuh.
2. Kurang gizi.
3. Anemia.
4. Diabetes
5. Keganasan(kanker)
6. Penyakit lainya
7. Higienis jelek
8. Kegemukan
9. Gangguan kemotatik
10. Sindroma hiper IgE
11. Carier kronik Staphilococcus Aureus.
12. Sebagai komplikasi dari dermatitis atopi,. ekscoriasis, scabies, pedikulosis.

E. MANIFSTASI KLINIS
Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka manifestasi
lain yang mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari prose inflamasi, yakni
kemerahan (rubor), panas (color), pembengkakan (tumor), rasa nyeri (dolor) dan
hilangnya fungsi.
Timbul atau teraba benjolan pada tahap awal berupa benjolan kecil, pada
stadium lanjut benjolan bertambah besar, demam, benjolan meningkat, malaise, nyeri,
bengkak, berisi nanah (pus).
a. Nyeri tekan
b. Nyeri local
c. Bengkak
d. Kenaikan suhu
e. Leukositosis
f. Tanda-tanda infeksi
Rubor ( kemerahan ).
Kolor (panas) menggigil atau demam ( lebih dari 37,7 C ).
Dolor ( nyeri ).
Tumor ( bengkak ) terdapat pus ( rabas ) bau membusuk.
Fungtio laesa.
F. PATOFISIOLOGI
Kuman yang masuk kedalam tubuh akan menyebabkan kerusakanakan jaringan
dengan cara mengeluarkan toksin. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik
(sintesis), kimiawi yang secara spesifik mengawali proses peradangan atau melepaskan
endotoksin yang ada hubunganya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi
bila ada perubahan kondisi respon imunologi mengakibatkan perubahan reaksi imun
yang merusak jaringan. Agent fisik dan bahan kimia oksidan dan korosif menyebabkan
kerusakan jaringan,kematian jaringan menstimulus untuk terjadi infeksi. Infeksi
merupakan salah penyebab dari peradangan, kemerahan merupakan tanda awal yang
terlihat akibat dilatasi arteriol akan meningkatkan aliran darah ke mikro sirkulasi kalor
terjadi bersamaan dengan kemerahan bersifat lokal. Peningkatan suhu dapat terjadi
secara sistemik.
Akibat endogen pirogen yang dihasilkan makrofag mempengaruhi termoregulasi
pada suhu lebih tinggi sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi.
Peradangan terjadi perubahan diameter pembuluh darah mengalir keseluruh kapiler,
kemudian aliran darah kembali pelan. Sel-sel darah mendekati dinding pembuluh darah
didaerah zona plasmatik. Leukosit menempel pada epitel sehingga langkah awal terjadi
emigrasi kedalam ruang ekstravaskuler lambatnya aliran darah yang mengikuti Fase
hyperemia meningkatkan permiabilitas vaskuler mengakibatkan keluarya plasma
kedalam jaringan, sedang sel darah tertinggal dalam pembuluh darah akibat tekanan
hidrostatik meningkat dan tekanan osmotik menurun sehingga terjadi akumulasi cairan
didalam rongga ekstravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu
edema. Regangan dan distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga
abses menyebabkan rasa nyeri. Mediator kimiawi, termasuk bradikinin, prostaglandin,
dan serotonin merusak ujung saraf sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap
reseptor mekanosensitif dan termosensitif yang menimbulkan nyeri. Adanya edema
akan mengganggu gerak jaringan sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh yang
menyebabkan terganggunya mobilitas.
Inflamasi terus terjadi selama, masih ada pengrusakan jaringan bila penyabab
kerusakan bisa diatasi, maka debris akan difagosit dan dibuang oleh tubuh sampai
terjadi resolusi dan kesembuhan. Reaksi sel fagosit yang berlebihan menyebabkan
debris terkumpul dalam suatu rongga membentuk abses di sel jaringan lain membentuk
flegmon. Trauma yang hebat menimbulkan reaksi tubuh yang berlebihan berupa
fagositosis debris yang diikuti dengan pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk
mengganti jaringan yang rusak (fase organisasi), bila fase destruksi jaringan berhenti
akan terjadi fase penyembuhan melalui jaringan granulasi fibrosa. Tapi bila destruksi
jaringan berlangsung terus akan terjadi fase inflamasi kronik yang akan sembuh bila
rangsang yang merusak hilang.
Abses yang tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan
sehingga terjadi kerusakan Integritas kulit. Sedangkan abses yang diinsisi dapat
mengakibatkan resiko penyebaran infeksi.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dari abses antara lain:
1. Kultur ; Mengidentifikasi organisme penyebab abses sensitivitas menentukan obat
yang paling efektif..
2. Sel darah putih, Hematokrit mungkin meningkat, Leukopenia, Leukositosis (15.000
- 30.000) mengindikasikan produksi sel darah putih tak matur dalam jumlah besar.
3. Elektrolit serum, berbagai ketidakseimbangan mungkin terjadi dan menyebabkan
acidosis, perpindahan cairan dan perubahan fungsi ginjal.
4. Pemeriksaan pembekuan : Trombositopenia dapat terjadi karena agregasi
trombosit, PT/PTT mungkin memanjang menunjukan koagulopati yang
diasosiasikan dengan iskemia hati/sirkulasi toksin/status syok.
5. Laktat serum : Meningkat dalam acidosis metabolic, disfungsi hati, syok.
6. Glukosa serum, hiperglikemi menunjukkan glukogenesis dan glikogenesis di dalam
hati sebagai respon dari puasa/perubahan seluler dalam metabolism.
7. BUN/Kr : Peningkatan kadar diasosiasikan dengan dehidrasi, ketidak
seimbangan / kegagalan ginjal dan disfungsi/kegagalan hati.
8. GDA : Alkalosis respiratori hipoksemia,tahap lanjut hipoksemia asidosis
respiratorik dan metabolic terjadi karena kegagalan mekanisme kompensasi.
9. Urinalisis : Adanya sel darah putih/bakteri penyebab infeksi sering muncul protein
dan sel darah merah.
10. Sinar X : Film abdominal dan dada bagian bawah yang mengindikasikan udara
bebas di dalam abdomen/organ pelvis.
11. EKG : Dapat menunjukan perubahan segmen ST dan gelombang T,dan disritmia
yang menyerupai infak miokard.
H. PENATALAKSANAN
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan antibiotik.
Namun demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah,
debridemen, dan kuretase untuk meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan,
suatu abses bisa ditusuk dan dikeluarkan isinya. Salah satu pembedahannya yaitu
dengan laparatomi eksplorasi. Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk
mengidentifikasi penyebabnya, utamanya apabila disebabkan oleh benda asing, karena
benda asing tersebut harus diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda asing,
biasanya hanya perlu dipotong dan diambil absesnya, bersamaan dengan pemberian
obat analgesik dan mungkin juga antibiotik.
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan biasanya di indikasikan
apabila abses telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap
nanah yang lebih lunak. Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area
yang kritis, tindakan pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan
terakhir yang perlu dilakukan. Drainase abses paru dapat dilakukan dengan
memposisikan penderita sedemikian hingga memungkinkan isi abses keluar melalui
saluran pernapasan. Memberikan kompres hangat dan meninggikan posisi anggota
gerak dapat dilakukan untuk membantu penanganan abses kulit.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus,
antibiotik antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan.
Dengan adanya kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA) yang
didapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk
menangani MRSA yang didapat melalui komunitas, digunakan antibiotik lain:
clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan doxycycline.
Adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa penanganan hanya
dengan menggunakan antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan
tindakan yang efektif. Hal tersebut terjadi karena antibiotik sering tidak mampu masuk ke
dalam abses, selain bahwa antibiotik tersebut seringkali tidak dapat bekerja dalam pH
yang rendah. Namun demikian, walaupun sebagian besar buku ajar kedokteran
menyarankan untuk dilakukan insisi pembedahan, sebagian dokter hanya menangani
abses secara konservatif dengan menggunakan antibiotik.
I. KOMPLIKASI
1) Infeksi sekunder ; merupakan komplikasi paling sering, terjadi pada 10-20%
kasus.
2) Ruptur atau penjalaran langsung ; rongga atau organ yang terkena tergantung
pada letak abses. Perforasi paling sering ke pleuropulmonal, kemudian kerongga
intraperitoneum, selanjutnya pericardium dan organ-organ lain.
3) Komplikasi vaskuler ; ruptur kedalam v. porta, saluran empedu atau traktus
gastrointestinal jarang terjadi
4) Parasitemia, amoebiasis serebral ; E. histolytica bisa masuk aliran darah
sistemik dan menyangkut di organ lain misalnya otak yang akan memberikan
gambaran klinik dari lesi fokal intrakranial.

II. AKUT ABDOMEN


A. Anatomi dan Fisiologi
Perkembangan dari anatomi rongga perut dan organ-organ visera mempengaruhi
manifestasi, patogenesis dan klinis dari penyakit abdominal peritoneum dan persarafan
sensoris viseral sangat penting untuk evaluasi acute abdominal disease (Gray SW,
1997). Setelah 3 minggu perkembangan janin, usus primitif terbagi menjadi foregut,
midgut, dan hindgut. Arteri mesenterika superior menyuplai dari ke midgut (bagian
keempat duodenum sampai midtransversal kolon). Foregutmeliputi faring, esofagus,
lambung, dan proksimal duodenum, sedangkan hindgut terdiri dari kolon distal dan
rektum. Serabut aferen yang menyertai suplai vaskuler memberikan persarafan sensoris
pada usus dan terkait peritoneum viseral. Sehingga, penyakit pada proksimal
duodenum (foregut) merangsang serabut aferen celiac axis menghasilkan nyeri
epigastrium. Rangsangan di sekum atau apendiks (midgut) mengaktifkan saraf aferen
yang menyertai arteri mesenterika superior menyebabkan rasa nyeri di periumbilikalis,
dan penyakit kolon distal menginduksi serabut saraf aferen sekitar arteri mesenterika
inferior menyebabkan nyeri suprapubik. Saraf prenikus dan serabut saraf aferen
setinggi C3, C4, dan C5 sesuai dermatom bersama-sama dengan arteri prenikus
mempersarafi otot-otot diafragma dan peritoneum sekitar diafragma. Rangsangan pada
diafragma menyebabkan nyeri yang menjalar ke bahu. Peritoneum parietalis, dinding
abdomen, dan jaringan lunak retroperitoneal menerima persarafan somatik sesuai
dengan segmen nerve roots.(Diethelm et al,1997).
Peritoneum parietalis kaya akan inervasi saraf sehingga sensitif terhadap
rangsangan. Rangsangan pada permukaan peritoneum parietal akan menghasilkan
sensasi yang tajam dan terlokalisir di area stimulus. Ketika peradangan pada viseral
mengiritasi pada peritoneum parietal maka akan timbul nyeri yang terlokalisir. Banyak
peritoneal signs yang berguna dalam diagnosis klinis dari acute abdominal pain.
Inervasi dual-sensorik dari kavum abdomen yaitu serabut aferen viseral dan saraf
somatik menghasilkan pola nyeri yang khas yang membantu dalam diagnosis. Misalnya,
nyeri pada apendisitis akut nyeri akan muncul pada area periumbilikalis dan nyeri akan
semakin jelas terlokalisir ke kuadran kanan bawah saat peradangan melibatkan
peritoneum parietal. Stimulasi pada saraf perifer akan menghasilkan sensasi yang tajam,
tiba-tiba, dan terlokalisir dengan baik. Rangsangan pada saraf sensorik aferen
intraperitoneal pada acute abdominal pain menimbulkan nyeri yang tumpul (tidak jelas
pusat nyerinya), nyeri tidak terlokalisasi dengan baik, dengan onset gradual/ bertahap
dan durasi yang lebih lama. Nervus vagus tidak mengirimkan impuls nyeri dari usus.
Sistem saraf aferen simpatik mengirimkan nyeri dari esofagus ke spinal cord. Saraf
aferen dari kapsul hepar, ligamen hepar, bagian central dari diafragma, kapsul lien, dan
perikardium memasuki sistem saraf pusat dari C3 sampai C5. Spinal corddari T6 sampai
T9 menerima serabut nyeri dari bagian diafragma perifer, kantong empedu, pankreas,
dan usus halus. Serabut nyeri dari colon, appendik, dan visera dari pelvis memasuki
sistem saraf pusat pada segmen T10 sampai L11. Kolon sigmoid, rektum, pelvic renalis
beserta kapsulnya, ureter dan testis memasuki sistem saraf pusat pada T11 dan L1.
Kandung kemih dan kolon rektosigmoid dipersarafi saraf aferen dari S2 sampai S4.
Pemotongan, robek, hancur, atau terbakar biasanya tidak menghasilkan nyeri di visera
pada abdomen. Namun, peregangan atau distensi dari peritoneum akan menghasilkan
sensasi nyeri. Peradangan peritoneum akan menghasilkan nyeri viseral, seperti halnya
iskemia. Kanker dapat menyebabkan intraabdominal pain jika mengenai saraf sensorik.
Abdominal pain dapat berupa viseral pain, parietal pain, atau reffered
pain. Visceral pain bersifat tumpul dan kurang terlokalisir dengan baik, biasanya di
epigastrium, regio periumbilikalis atau regio suprapubik. Pasien dengan nyeri viseral
mungkin juga mengalami gejala berkeringat, gelisah, dan mual. Nyeri parietal atau nyeri
somatik yang terkait dengan gangguan intraabdominal akan menyebabkan nyeri yang
lebih inten dan terlokalisir dengan baik. Referred pain merupakan sensasi nyeri
dirasakan jauh dari lokasi sumber stimulus yang sebenarnya. Misalnya, iritasi pada
diafragma dapat menghasilkan rasa sakit di bahu. Penyakit saluran empedu atau
kantong empedu dapat menghasilkan nyeri bahu.
Distensi dari small bowel dapat menghasilkan rasa sakit ke bagian punggung bawah.
Selama minggu ke-5 perkembangan janin, usus berkembang diluar rongga
peritoneal, menonjol melalui dasar umbilical cord, dan mengalami rotasi
180 berlawanan dengan arah jarum jam. Selama proses ini, usus tetap berada di luar
rongga peritoneal sampai kira-kira minggu 10, rotasi embryologik menempatkan organ-
oragan visera pada posisi anatomis dewasa, dan pengetahuan tentang proses rotasi
semasa embriologis penting secara klinis untuk evaluasi pasien dengan acute
abdominal pain karena variasi dalam posisi ( misalnya, pelvic atau retrocecal appendix)
(Buschard K, Kjaeldgaard A,1993).

B. Tanda dan Gejala


1. Nyeri perut
Keluhan yang paling menonjol pada gawat perut adalah nyeri. Nyeri perut ini
dapat berupa nyeri viseral maupun nyeri somatik, dan dapat berasal dari berbagai
proses pada berbagai organ di rongga perut atau diluar rongga perut, misalnya di
rongga dada.
a) Jenis Nyeri Perut
Nyeri viseral
Nyeri viseral terjadi bila terdapat rangsangan pada organ atau struktur
dalam rongga perut, misalnya cedera atau radang. Peritoneum viserale
yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf otonom dan
tidak peka terhadap perabaan, atau pemotongan. Dengan demikian
sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa rasa nyeri pada
pasien. Akan tetapi bila dilakukan penarikan atau peregangan organ atau
terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot sehingga menimbulkan iskemik,
misalnya pada kolik atau radang pada appendisitis maka akan timbul nyeri.
Pasien yang mengalami nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjukkan
secara tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan seluruh
telapak tangannya untuk menunjuk daerah yang nyeri. Nyeri viseral kadang
disebut juga nyeri sentral (Sjamsuhidajat et all,2004).
Gbr . 1. Innervasi sensoris organ viseral

Gbr.2. Nyeri dari organ viseral abdomen

Penderita memperlihatkan pola yang khas sesuai dengan persarafan


embrional organ yang terlibat. Saluran cerna berasal dari foregut yaitu
lambung, duodenum, sistem hepatobilier dan pankreas yang menyebabkan
nyeri di ulu hati atau epigastrium. Bagian saluran cerna yang berasal
dari midgut yaitu usus halus usus besar sampai pertengahan kolon
transversum yang menyebabkan nyeri di sekitar umbilikus. Bagian saluran
cerna yang lainnya adalah hindgut yaitu pertengahan kolon transversum
sampai dengan kolon sigmoid yang menimbulkan nyeri pada bagian perut
bawah. Jika tidak disertai dengan rangsangan peritoneum nyeri tidak
dipengaruhi oleh gerakan sehingga penderita biasanya dapat aktif
bergerak(Sjamsuhidajat , dkk., 2004).

Nyeri somatik
Nyeri somatik terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi
saraf tepi, misalnya regangan pada peritoneum parietalis, dan luka pada
dinding perut. Nyeri dirasakan seperti disayat atau ditusuk, dan pasien
dapat menunjuk dengan tepat dengan jari lokasi nyeri. Rangsang yang
menimbulkan nyeri dapat berupa tekanan, rangsang kimiawi atau proses
radang (Sjamsuhidajat dkk., 2004).
Gesekan antara visera yang meradang akan menimbulkan rangsang
peritoneum dan dapat menimbulkan nyeri. Perdangannya sendiri maupun
gesekan antara kedua peritoneum dapat menyebabkan perubahan
intensitas nyeri. Gesekan inilah yang menjelaskan nyeri kontralateral pada
appendisitis akut. Setiap gerakan penderita, baik gerakan tubuh maupun
gerakan nafas yang dalam atau batuk, juga akan menambah intensitas
nyeri sehingga penderita pada akut abdomen berusaha untuk tidak
bergerak, bernafas dangkal dan menahan batuk (Sjamsuhidajat, dkk.,
2004).

b) Letak nyeri perut


Nyeri viseral dari suatu organ biasanya sesuai letaknya sama dengan
asal organ tersebut pada masa embrional, sedangkan letak nyeri somatik
biasanya dekat dengan organ sumber nyeri sehingga relatif mudah menentukan
penyebabnya. Nyeri pada anak presekolah sulit ditentukan letaknya karena
mereka selalu menunjuk daerah sekitar pusat bila ditanya tentang nyerinya.
Anak yang lebih besar baru dapat menentukan letak nyeri (Sjamsuhidajat, dkk.,
2004).

c) Sifat nyeri
Berdasarkan letak atau penyebarannya nyeri dapat bersifat nyeri alih,
dan nyeri yang diproyeksikan. Untuk penyakit tertentu, meluasnya rasa nyeri
dapat membantu menegakkan diagnosis. Nyeri bilier khas menjalar ke pinggang
dan ke arah belikat, nyeri pankreatitis dirasakan menembus ke bagian pinggang.
Nyeri pada bahu kemungkinan terdapat rangsangan pada diafragma
(Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Nyeri alih
Nyeri alih terjadi jika suatu segmen persarafan melayani lebih dari satu
daerah. Misalnya diafragma yang berasal dari regio leher C3-C5 pindah ke
bawah pada masa embrional sehingga rangsangan pada diafragma oleh
perdarahan atau peradangan akan dirasakan di bahu. Demikian juga pada
kolestitis akut, nyeri dirasakan pada daerah ujung belikat. Abses dibawah
diafragma atau rangsangan karena radang atau trauma pada permukaan
limpa atau hati juga dapat menyebabkan nyeri di bahu. Kolik ureter atau
kolik pielum ginjal, biasanya dirasakan sampai ke alat kelamin luar seperti
labia mayora pada wanita atau testis pada pria (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).

Nyeri proyeksi
Nyeri proyeksi adalah nyeri yang disebabkan oleh rangsangan saraf
sensoris akibat cedera atau peradangan saraf. Contoh yang terkenal
adalah nyeri phantom setelah amputasi, atau nyeri perifer setempat akibat
herpes zooster. Radang saraf pada herpes zooster dapat menyebabkan
nyeri yang hebat di dinding perut sebelum gejala tau tanda herpes menjadi
jelas (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).

Hiperestesia
Hiperestesia atau hiperalgesia sering ditemukan di kulit jika ada
peradangan pada rongga di bawahnya. Pada gawat perut, tanda ini sering
ditemukan pada peritonitis setempat maupun peritonitis umum. Nyeri
peritoneum parietalis dirasakan tepat pada tempat terangsangnya
peritoneum sehingga penderita dapat menunjuk dengan tepat lokasi
nyerinya, dan pada tempat itu terdapat nyeri tekan, nyeri gerak, nyeri batuk
serta tanpa rangsangan peritoneum lain dan defans muskuler yang sering
disertai hipersetesi kulit setempat. Nyeri yang timbul pada pasien akut
abdomen dapat berupa nyeri kontinyu atau nyeri kolik (Sjamsuhidajat, dkk.,
2004).
Nyeri kontinyu
Nyeri akibat rangsangan pada peritoneum parietal akan dirasakan terus
menerus karena berlangsung terus menerus, misalnya pada reaksi radang.
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan
setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskuler secara refleks
untuk melindungi bagian yang meraadang dan menghindari gerakan atau
tekanan setempat (Sjamsuhidaja, dkk., 2004).

Nyeri kolik
Kolik merupakan nyeri viseral akibat spasme otot polos organ berongga
dan biasanya diakibatkan oleh hambatan pasase dalam organ tersebut
(obstruksi usus, batu ureter, batu empedu, peningkatan tekanan
intraluminer). Nyeri ini timbul karena hipoksia yang dialami oleh jaringan
dinding saluran. Karena kontraksi berbeda maka kolik dirasakan hilang
timbul (Sjamsuhidajat, dkk., 2004). Kolik biasanya disertai dengan gejala
mual sampai muntah. Dalam serangan, penderita sangat gelisah. Yang
khas ialah trias kolik yang terdiri dari serangan nyeri perut yang hilang
timbul mual atau muntah dan gerak paksa.

Nyeri iskemik
Nyeri perut juga dapat berupa nyeri iskemik yang sangat hebat, menetap,
dan tidak mereda. Nyeri merupakan tanda adanya jaringan yang terancam
nekrosis. Lebih lanjut akan tampak tanda intoksikasi umum seperti
takikardia, keadaan umum yang jelek dan syok karena resorbsi toksin dari
jaringan nekrosis.

Nyeri pindah
Nyeri dapat berubah sesuai dengan perkembangan patologi. Misalnya
pada tahap awal appendisitis, sebelum radang mencapai permukaan
peritoneum, nyeri viseral dirasakan di sekitar pusat disertai rasa mual.
Setelah radang mencapai diseluruh dinding termasuk peritoneum viserale,
terjadi nyeri akibat rangsangan yang merupakan nyeri somatik. Nyeri pada
saat itu dirasakan tepat pada peritoneum yang meradang, yaitu perut
kuadran kanan bawah. Jika appendiks mengalami nekrosis dan ganggren
nyeri berubah lagi menjadi nyeri yang hebat menetap dan tidak mereda.
Penderita dapat jatuh pada keadaan yang toksis.
Pada perforasi tukak peptikduodenum, isi duodenum yang terdiri dari
cairan asam garam empedu masuk ke rongga abdomen sehingga
merangsang peritoneum setempat. Pasien akan merasakan nyeri pada
bagian epigastrium. Setelah beberapa saat cairan duodenum mengalir ke
kanan bawah, melalui jalan di sebelah lateral kolon ascendens sampai
sekitar caecum. Nyeri akan berkurang karena terjadi pengenceran. Pasien
sering mengeluh nyeri berpindah dari ulu hati pindah ke kanan
bawah.proses ini berbeda dengan yang terjadi pada appendisitis akut.
Akan tetapi kedua keadaan ini, appendisitis akut maupun perforasi
duodeum akan mengakibatkan general peritonitis jika tidak segera
ditangani dengan baik.

TABLE 1. DIAGNOSIS: SITES OF REFERRED PAIN


Site Organ(s) Common examples
Right subscapular or Diaphragm, gallbladder, liver Biliary colic, perforated ulcer,
shoulder pneumoperitoneum
Left subscapular or Diaphragm, spleen, stomach, tail of Splenic rupture, pancreatitis
shoulder pancreas, splenic flexure
Back Pancreas, duodenum, aorta Pancreatitis, ruptured AAA
Coccyx Uterus, rectum Uterine colic
Groin or genitalia Kidney, ureter, iliac arteries Ureterolithiasis
AAA, abdominal aortic aneurysm.

TABLE 2. DIAGNOSIS: PAIN LOCALIZING TO AN ABDOMINAL QUADRANT


RIGHT UPPER LEFT UPPER
QUADRANT PAIN QUADRANT PAIN
Biliary colic/cholecystitis Splenic rupture
Cholangitis Splenic infarction
Hepatic abscess Splenomegaly
Hepatitis (toxic or viral) Ruptured splenic artery aneurysm
Perihepatitis (Fitzhugh-Curtis syndrome) Gastritis
Hepatic congestion Perforated gastric ulcer (phlegmonous gastritis)
Budd-Chiari syndrome Jejunal diverticulitis
Hepatic tumor (primary or secondary) Pancreatitis
Appendicitis Diverticulitis (splenic flexure)
Perforated peptic ulcer Perinephritis
Perinephritis Pneumonia (left lower lobe)
Pneumonia (right lower lobe) Pulmonary infarction
Pleuritis
Pulmonary infarction Pericarditis
Pleuritis Myocardial ischemia
Myocardial ischemia Empyema
Empyema Rib fracture
Rib fracture Herpes zoster
Herpes zoster

RIGHT LOWER LEFT LOWER


QUADRANT PAIN QUADRANT PAIN
Appendicitis Diverticulitis
Acute enterocolitis (viral or bacterial) Appendicitis
Perforated colon cancer
Crohn's disease (ileitis) Intestinal obstruction
Foreign body perforation Crohn's colitis
Right-sided diverticulitis Ischemic colitis
Cecal diverticulitis Ruptured iliac artery aneurysm
Meckel's diverticulitis Ruptured ovarian cyst (including
Mittelschmerz)
Torsion of appendix epiploica Ovarian torsion
Mesenteric adenitis Endometriosis
Intestinal obstruction Salpingitis (pelvic inflammatory disease)
Perforated peptic ulcer Ectopic pregnancy
Pancreatitis Renal or ureteral calculi
Ruptured ovarian cyst (including Pyelonephritis
Mittelschmerz)
Ovarian torsion Psoas abscess
Endometriosis Seminal vesiculitis
Salpingitis (pelvic inflammatory disease) Rectus sheath hematoma
Ectopic pregnancy Herpes zoster
Cholecystitis
Ruptured iliac artery aneurysm
Renal or ureteral calculi
Pyelonephritis
Psoas abscess
Seminal vesiculitis
Rectus sheath hematoma
Herpes zoster

TABLE 3. ETIOLOGY: CAUSES OF MIDLINE ABDOMINAL PAIN


EPIGASTRIC HYPOGASTRIC
Peptic ulcer Large intestinal obstruction
Pancreatitis Intussusception
Gastritis Appendicitis
Esophagitis
Diverticulitis
Mesenteric ischemia
Appendicitis (early) Enterocolitis
Myocardial ischemia Ovarian torsion
Pericarditis Testicular torsion
Cholecystitis Degeneration or torsion of uterine
PERIUMBILICAL fibroid
Small intestinal obstruction Cystitis
Appendicitis
Tabel 4. Diagnosis Banding Akut Abdomen

Kwandran kanan atas: Kwandran kiri atas:


1. Cholecystitis acute 1. Ruptur lienalis
2. Perforasi tukak duodeni 2. Perforasi tukak lambung
3. Pancreatitis acute 3. Pancreatitis acute
4. Hepatitis acute 4. Ruptur aneurisma aorta
5. Acute congestive 5. Perforasi colon
hepatomegaly
(tumor/corpus alineum)
6. Pneumonia + pleuritis
6. Pneumonia + pleuritis
7. Pyelonefritis acute
7. Pyelonefritis acute
8. Abses hepar
8. Infark miokard akut

Paraumbilical:
1. Ileus obstruksi
2. Appendicitis
3. Pancreatitis acute
4. Trombosis A/V mesentrial
5. Hernia Inguinalis strangulata
6. Aneurisma aorta yang pecah
7. Diverculitis (ileum/colon)

Kwandran kanan bawah: Kwandran kiri bawah:


1. Appendicitis 1. Sigmoid diverculitis
2. Salpingitis acute 2. Salpingitis acute
3. Graviditas axtra uterine yang 3. Graviditas axtra uterine yang
pecah pecah
J. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Fokus Pengkajian
Data tergantung pada tipe,lokasi,durasi dari proses infektif dan organ-organ yang
terkena.
Aktifitas I istirahat
Gejala : Malaise
Sirkulasi
Tanda : Tekanan darah normal/sedikit dibawah jangkauan normal (selama curah
jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat (perifer hiperdinamik);
lemah/lembut/mudah hilang, takikardi ekstrem (syok). Suara jantung : disritmia
dan perkembangan S3 dapat mengakibatkan disfungsi miokard, efek dari
asidosis/ketidakseimbangan elektrolit. Kulit hangat, kering, bercahaya
(vasodilatasi), pucat, lembab, burik (vasokonstriksi).
Eliminasi
Gejala : Diare
Makanan/cairan
Gejala : Anoreksia, mual, muntah.
Tanda : Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/masa otot
(malnutrisi). Penurunan haluaran, konsentrasi urine; perkembangan ke arah
oliguria, anuria.
Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, pusing, pingsan.
Tanda : Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma
Nyeri I/kenyamanan
Gejala : Kejang abdominal, lokalisasi nyeri/ketidaknyamanan, urtikaria, pruritus
umum.
Pernafasan
Tanda : Takipnea dengan penurunan kedalaman pemafasan, penggunaan
kortikosteroid, infeksi baru, penyakit viral. Tanda : Suhu umumnya meningkat
(37,95C atau lebih) tetapi mungkin normal pada lansia mengganggu pasien,
kadang sub normal (dibawah 36,5C), menggigil, luka yang sulit/lama sembuh,
drainase purulen, lokalisasi eritema, ruam eritema makuler.
Sexualitas
Gejala : Perineal pruritus, baru saja menjalani kelahiran/aborsi
Tanda : Maserasi vulva, pengeringan vaginal purulen.

b. Diagnosa Keperawatan
Secara teori pada kasus abses dapat ditarik beberapa diagnose keperawatan
antara lain :
1. Resiko tinggi berhubungan dengan prosedur invasive
2. Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin
pada hipotalamus, perubahan regulasi temperatur.
3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan
reduksi aliran darah arteri dan vena.
4. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan
permiabilitas / kebocoran cairan kedalam lokasi interstisial (ruang ketiga).
5. Resiko tinggi terhadap pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
aliran darah.
6. Kurang pengetahuan mengenai penyakit berhubungan dengan kesalahan
interpretasi informasi.
7. Nyeri berhubungan dengan regangan dan distorsi abses
(kerusakanjaringan).
8. Gangguan mobilitas berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh
(gangguan neuromuskular).
9. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan
kulit karena destruksi lapisan kulit. (Doenges,2000:241).

c. Fokus Intervensi
Ada beberapa fokus intervensi yang muncul adalah sebagai berikut :
1. Resiko tinggi infeksi terhadap perkembangan infeksi oportunistik berhubungan
dengan prosedur invasif.
Tujuan : Menunjukan penyembuhan luka seiring perjalanan waktu.
Kriteria Hasil : Bebas dari sekresi purulen/drainase, atau eritema dan afebris.
Intervensi :
a. Berikan isolasi / pantau pengunjung sesuai indikasi.
b. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktifitas walaupun
menggunakan sarung tangan steril.
c. Batasi penggunaan alat / prosedur invasif jika memungkinkan.
d. Lakukan inspeksi terhadap luka / sisi alat invasif setiap hari, berikan
perhatian utama terhadap jalur hiperalimentasi
e. Gunakan teknik steril pada waktu penggantian balutan
f. Gunakan sarung tangan / pakaian pada waktu merawat luka yang
terbuka/antisipasi dari kontak langsung dengan sekresi ataupun ekskresi.
g. Buang balutan/bahan yang kotor dalam kantung ganda
h. Pantau kecenderungan suhu.
i. i. Amati adanya menggigil dan diaphoresis
j. j. Memantau tanda-tanda penyimpangan kondisi / kegagalan untuk
membaik selama masa terapi.
k. k. Inspeksi rongga mulut terhadap sariawan. Selidiki laporan rasa gatal /
peradangan vaginal / perineal.
l. l. Berikan obat anti infeksi sesuai petunjuk.
m. m. Bantu / siapkan insisi dan drainase luka. (Doenges, 2000: 874)
2. Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada
hipotalamus, perubahan pada regulasi temperatur.
Tujuan : Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan.
Kriteria Hasil : Tidak mengalami komplikasi berhubungan
Intervensi :
a. Pantau suhu pasien (derajad dan pola); perhatikan menggigil /
diaphoresis.
b. Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen tempat tidur, sesual
indikasi.
c. Berikan kompres mandi hangat; hindari penggunaan alcohol.
d. Berikan antipiretik.
e. Berikan selimut pendingin. (Doenges,2000 : 874)

3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan


reduksi aliran darah arteri dan vena.
Tujuan : Menunjukan perfusi jaringan adekuat
Kriteria Hasil : Tanda-tanda vital stabil, nadi perifer jelas, kulit hangat dan kering,
tingkat kesadaran umum, haluaran urine individu yang sesuai dan bising usus
aktif
Intervensi :
a. Pertahankan tirah baring; bantu dalam aktifitas dan perawatan
b. Pantau kecenderungan pada tekanan darah, mencatat perkembangan
hipotensi, dan perubahan pada tekanan denyut.
c. Pantau frekuensi dan irama jantung. Perhatikan disritmia.
d. Perhatikan kualitas / kekuatan dari denyut perifer.
e. Kaji frekuensi pernafasan, kedalaman, dan kualitas. Perhatikan dispnea
berat.
f. Selidiki perubahan pada sensorium.
g. Kaji kulit terhadap perubahan warna, suhu, kelembaban.
h. Catat haluaran urine dan berat jenisnya.
i. Auskultasi bising usus.
j. Pantau pH gaster sesuai petunjuk. Hematest sekresi gaster / feses darah
k. Evaluasi kaki dan tangan bagian bawah untuk pembengkaan jaringan lokal,
eritema, tanda Homan positif
l. Pantau tanda-tanda perdarahan.
m. Catat efek obat-obatan dan tanda-tanda keracunan.
n. Berikan cairan parenteral
o. Berikan obat-obatan steroid sesuai petunjuk.
p. Pantau pemeriksaan laboratorium.
q. Berikan suplemen O2
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L,J, 2001, Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Klinik (terjemahan), Edisi 3, EGC,
Jakarta.
Doenges, M.E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien (terjemahan), edisi 3, EGC, Jakarta
http://imadeharyoga.com (diakses 30 juni 2010)
http://www.surabayapost.co.id (diakses 30 juni 2010)
http://lensaaskep.blog.com/kebutuhan-cairan-dan-elektrolit.html(diakses 30 juni 2010)
http://ruangkesehatan.blog.com/20%abses (diakses 30 juni 2010)
Price, SA dan Wilson, LM, 1995, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
(terjemahan), Eidisi 4, Volume 1, EGC, Jakarta
Smeltzer, S.C, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (terjemahan), Edisi 8, Volume 2,
EGC, Jakarta.
S. Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 1998, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta
Underwood, J.C.E, 1999, Buku Ajar Ilmu Bedah (terjemahan), Edisi 4, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai