PENDAHULUAN
Saat pemerintahan Orde Baru, pemerintah gencar melaksanakan program transmigrasi, dengan
tujuan untuk meratakan penduduk di Indonesia dan juga untuk menyejahterakan rakyat.
Harapannya, rakyat dapat hidup lebih layak hidup di perantauan. Hal ini dilihat dari luasnya
negara Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau sehingga terlihat perbedaan yang mencolok
dalam hal pembangunan, pemusatan penduduk dan berbagai perbedaan antar etnis dan kultur,
dan karena pemusatan pembangunan di daerah Jawa.
Perbedaan sumberdaya alam disetiap daerah juga menjadi faktor di adakannya transmigrasi, serta
kepiawaian masyarakat Jawa dalam mengolah tanah juga dijadikan pertimbangan mengapa suku
Jawa menjadi objek transmigrasi. Selain itu, pulau Jawa merupakan pulau yang padat penduduk.
Banyak masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya, terutama masalah lapangan kerja.
Sebagimana kita ketahui bahwa Jawa merupakan pusat pemerintahan dan juga pusat
Pembangunan, industri-industri banyak yang tumbuh dan berkembang di Jawa, perusahaan asing
juga telah merelokasikan perusahaannya di Jawa, dengan pertimbangan transportasi yang mudah
dijangkau. Namun, itu semua belum dapat menampung tenaga kerja yang tersedia di Jawa.
Tindakan yang solutif yaitu, diadakannya program transmigrasi. Dengan harapan, para pencari
kerja dan para masyarakat yang lain, dapat hidup lebih layak di pulau lain yang jarang
penduduknya, namun memiliki sumberdaya alam yang lebih melimpah tetapi belum dikelola
secara maksimal.
Pembangunan transmigrasi yang ada hingga saat ini sebetulnya sudah dirintis sejak jaman
penjajahan Hindia Belanda tahun 1905 dengan sebuah program kolonisasi. Kemudian sejak
jaman kemerdekaan telah berlangsung sejak tengah abad yang lalu dan dijadikan sebagai salah
satu strategi pembangunan sejak berdirinya depertemen tenaga kerja, Koperasi dan transmigrasi
pada tanggal 12 desember 1950. Departemen atau lembaga yang menaganipun juga sering ganti-
ganti sesuai dengan perubahan politik yang terjadi di Negara ini. Hingga saat ini sudah tiga belas
kali depertemen yang menangani berganti-ganti
Tidak bisa dipungkiri dalam prakteknya transmigrasi menimbulkan berbagai masalah serius yang
membutuhkan solusi serius. Memang dapat dipahami penanganan masalah transmigrasi bukan
sekadar menyiapkan lahan untuk menampung transmigran dan memindahkan penduduk dari
daerah asal ke tempat yang baru. Penanganan masalah transmigrasi jauh lebih luas dan lebih
rumit, karena berkaitan erat dengan pembangunan daerah, kesiapan calon transmigran, supaya
mempersiapkan masyarakat penerima transmigran.
a. Semoga dengan ditulisnya makalah ini dapat menambah perbendaharaan ilmu kita seputar
transmigrasi dan segala hal yang berkaitan dengan masalah itu.
b. Semoga dengan makalah ini lebih ada perhatian khusus mengenai hal-hal yang timbul akibat
transmigrasi.
Dalam masalah ini saya akan mengangkat perihal transmigrasi dengan berbagai hal yang
mendasarinya, dan juga kehidupan para transmigran di daerah barunya. Bagaimana mereka
hidup di lingkungan yang asing baginya, hingga berdampak pada aktifitas sosialnya. Yang akan
dikaji melalui rumusan masalah sebagai berikut :
1.4 Metode
Penulis menggunakan metode penulisan kuantitatif. Yaitu dengan menelaah berbagai informasi
yang berkaitan dengan hal tersebut, sehingga penulis dapat memproleh bahan penulisan dari
beberapa sumber dan mengautkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan beberapa ahli
yang telah membahas hal ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu wilayah yang padat penduduknya ke area
wilayah pulau lain yang penduduknya masih sedikit atau belum ada penduduknya sama sekali.
Transmigrasi di Indonesia biasanya diatur dan didanai oleh pemerintah kepada warga yang
umumnya golongan menengah ke bawah. Sesampainya di tempat transmigrasi para transmigran
akan diberikan sebidang tanah, rumah sederhana dan perangkat lain untuk penunjang hidup di
lokasi tempat tinggal yang baru.
Transmigrasi merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mencapai keseimbangan
penyebaran penduduk, memperluas kesempatan kerja, meningkatkan produksi dan meningkatkan
pendapatan. Titik pusat penyelenggaraan transmigarasi adalah manusia. Program pelaksanaan
transmigrasi memungkinkan untuk melaksanakan pemerataan pendidikan, kesehatan dan
jaminan sosial kepada golongan penduduk yang selama ini tidak terjamah oleh fasilitas-fasilitas
sosial tersebut. Transmigrasi juga berfungsi untuk mempercepat perubahan pengelompokan dan
penggolongan manusia dan membentuk jalinan hubungan sosial dan interaksi sosial yang baru
(Martono dalam Swasono;1986).
Sedangkan menurut Heeren (1979), transmigrasi ialah perpindahan, dalam hal ini memindahkan
orang dari daerah yang padat ke daerah yang jarang penduduknya dalam batas Negara dalam
rangka kebijaksanaan nasional untuk tercapainya penyebaran penduduk yang lebih seimbang.
Transimgrasi membantu pemerintah dalam pengembangan daerah. Daerah yang dibangun dalam
transmigrasi adalah daerah asal dan daerah tujuan. Di daerah asal dapat dilaksanakan program
pembangunan yaitu pelaksanaan landreform secara konsekuen, pelaksanaan proyek-proyek
pembangunan, pelestarian alam dan lingkungan hidup, perubahan pola usaha tani, pencegahan
korban-korban bencana alam, pengurangan kepadatan penduduk, dan pengurangan urbanisasi.
Sedangkan di daerah tujuan dapat dilaksanakan program penambahan tenaga pembangunan,
perubahan dana-dana dan sarana pembangunan, transfer teknologi, pelaksanaan landreform
secara konsekuen, pembudidayaan potensi alam, dan pembaharuan pola hidup (Martono dalam
Swasono;1986).
Transmigrasi umum ditanggung oleh pemerintah, dimulai dari pendaftaran, dan seleksi hingga
tempat tinggal transmigran. Pada tahun 1956, pemerintah memberikan pinjaman kepada
transmigran. Pada delapan bulan awal, mereka mendapatkan pangan dan sandang dari
pemerintah, namun mereka membayar pinjaman tersebut selama 3 tahun.
Salah satu pola transmigrasi yang berjalan di Indonesia adalah transmigrasi swakarsa. Ciri-ciri
dari transmigrasi swakarsa adalah sebagai berikut (Sujarwadi dalam Warsito et.al;1995):
1. Transmigrasi Umum
Transmigrasi umum adalah program transmigrasi yang disponsori dan dibaiayai secara
keseluruhan oleh pihak pemerintah melalui depnakertrans (departemen tenaga kerja dan
transmigrasi).
2.TransmigrasiSpontan/Swakarsa
Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari daerah padat ke pulau baru sepi penduduk yang
didorong oleh keinginan diri sendiri namun masih mendapatkan bimbingan serta fasilitas
penunjang dari pemerintah.
Transmigrasi bedol desa adalah transmigrasi yang dilakukan secara masal dan kolektif terhadap
satu atau beberapa desa beserta aparatur desanya pindah ke pulau yang jarang penduduk.
Biasanya transmigrasi bedol desa terjadi karena bencana alam yang merusak desa tempat
asalnya. Atau karena dampak dari pembangunan.
Dengan pola apapun dilaksanakannya transmigrasi, benturan atau konflik akan tetap terjadi.
Diantaranya adalah adanya benturan budaya antara yang asli dan pendatang. Permasalahan ini
adalah permasalahan berat yang tidak mungkin dihindari (Wirosardjono dalam Swasono;1986).
Penduduk asli memiliki berbagai sikap terhadap transmigran, ada sikap yang senang menerima
pendatang dan ada yang tidak menyukai kedatangan transmigran. Contohnya adalah masalah
transmigrasi di Lampung yaitu antara transmigran Jawa dengan penduduk asli. Penduduk
Lampung menghina penduduk jawa yang miskin, sedangkan masyarakat Jawa jarang atau
hampir tidak pernah melakukan kontak dengan masyarakat lampung (Heeren, 1979).
Adanya sengketa tanah yang terjadi antara penduduk asli dan pendatang dan antar sesama
transmigran merupakan salah satu masalah lain yang timbul akibat transmigrasi (Kustadi dalam
Warsito et.al;1995). Contohnya di Luwu, penduduk asli merasa dirugikan karena kehilangan hak
atas bidang-bidang tanah tertentu. Ada juga kasus lainnya, penduduk asli mendapatkan tanah
pengganti yang jauh dari desa (Heeren, 1979). Akibat transmigrasi penduduk, daerah
transmigrasi semakin padat karena membanjirnya transmigran. Selain itu, letak daerah
transmigran yang terpencil sehingga sulit untuk dicapai, dan hasrat penduduk yang ingin
bertransmigrasi menjadi masalah di daerah asal sehingga penduduk tersebut cenderung
menggunakan calo.
Penduduk asli merasakan perasaan iri, karena fasilitas yang diberikan oleh pemerintah kepada
transmigran, tetapi tidak pernah diberikan oleh pemerintah kepada penduduk asli. Penduduk
merasa tidak enak dengan adanya transmigran. Dengan adanya transmigran, mereka akan
menjadi minoritas didaerah mereka sendiri (Heeren, 1979).
Di daerah luar Jawa, umumnya para petani masih menggunakan sistem ladang berpindah yang
membutuhkan lahan yang luas. Seharusnya mereka merubah cara berpikir mereka dalam sistem
bertani. Namun, adat istiadat yang masih dipegang teguh menghambat kemerdekaan berpikir
mereka. Oleh sebab itu, mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan
mereka mulai menjual harta-harta pusaka mereka yang berupa tanah kepada orang-orang di kota
dan transmigran. Akibatnya, mereka tidak lagi punya usaha dan pergi dari kampungnya. Mereka
mencari pekerjaan lain, diantaranya bekerja diperusahaan-perusahaan pertanian. Namun, mereka
kalah saing karena pendatang baru sudah terbiasa dalam menggunakan alat-alat modern. Banyak
diantara mereka yang menjadi pengangguran yang mengakibatkan peningkatan kriminalitas.
Pada transmigrasi yang berasaskan pertanian, tentunya transmigran yang dikirim harus mampu
menjadi petani yang baik dan dapat berkambang. Hal ini harus disadari bahwa calon transmigran
nantinya akan menghadapi lahan garapan yang makin subur. Sehingga yang diharapkan benar-
benar mampu menjadi pionir pembangunan pertanian yang dapat berkembang. Adapun
gambaran keadaan transmigran sebelum keberangkatan, berdasarkan kepemilikan lahan tanah.
Sebagai berikut :
Guru 0,34 %
Pegawai 0,20 %
Pedagang 13,02 %
Tukang 8,61 %
Petani 47,16 %
Buruh 8,80 %
Buruh Tani 18,86 %
Pengangguran 1,57 %
Adapun penyakapan dan sewa maupun kerjasama lain, yang mengaku petani 47% dan buruh tani
serta buruh 27%. Diantaranya ada yang memiliki pekerjaan lebih dari satu. Syarat-syarat
penyaringan transmigrasi :
Syarat diatas merupakan ketentuan yang harus terpenuhi, agar para transmigran dapat bekerja
dengan tenang tanpa harus disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga yang dapat menghambat.
Namun, pada Undang-undang Transmigrasi Bab XII, pasal 25 Peraturan Pemerintah Indonesia
Nomor 42 Tahun 1973 Tentang Penyelenggaraan Transmigrasi yang menyebutkan: Bahwa untuk
menjadi transmigran, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut :
Berbadan sehat
Sukarela
Syarat-syarat diatas haruslah terpenuhi, namun yang blebih harus diperhatikan adalh syarat ke-5,
yaitu memiliki kemampuan dan keterampilan kerja. Menurut pandangan penulis, syarat tersebut
perinciannya sangat kurang, yaang dimaksud memilki keterampilan kerja yang seperti apa belum
jelas kualifikasinya. Kendatipun syarat yang lain seperti berkelakuan baik juga harus
diperhatikan. Apabila calon transmigran telah memiliki keterampilan dan kemampuan kerja,
bagaimanakah cara penyaeingannya? Seperti apakah tolok ukur seseorang yang mampu dan
terampil? Fakta membuktikan ,bahwa transmigran yang tidak mampu dan terampil, akan
menghambat dirinya sendiri dan juga akan menghambat keberhasilan program transmigrasi
tersebut.
Apabila minat transmigrasi besar, seharusnya diberlakukan penyaringan yang lebih selektif dan
terarah. Hal ini barmaksud agar keberhasilan para transmigran lebih cepat secara kualitatif.
Walaupun belum tau tolok ukur keberhasilan itu sperti apa. Sebagai contoh transmigran di derah
Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan pada tahun 1976, petani yang berpenghasilan Rp
200.000,- atau lebih hanya berkisar 2,67 %.
Maka cukup jelas apabila negara telah mengaturnya dalm undang-undang, terutama dalam Pasal
26 Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1973 yang isinya wajib mengadakan
penerangan/penyuluhan, pendaftaran, dan seleksi tentang penyelenggaraan transmigrasi. Yang
pelaksanaannya berdasarkan U.U. No. 3 Tahun 1972, tentang ketentuan lain untuk menilai
kemampuan dan keterampilan dalam saringan pemilihan calon transmigrasi, yang disusun
sebagai berikut :
Kepala Keluarga
Isteri
b. Berdagang.
Hal yang perlu dipersiapkan sebelum pindah adalah pembekalan keterampilan. Pada latihan
keterampilan ini, para transmigran diberitahu tentang gambaran lahan yang akan mereka garap
diperantauan, karena lahan yang biasa mereka olah sudah pasti akan berbeda dengan lahan yang
ada di daerah yang akan mereka tinggali nantinya. Alangkah lebih baik lagi apabila mereka
diberitahu jenis tanah dan cara pengolahannya nanti.
Salah satu tujan transmigrasi adalah untuk memberikan taraf hidup yang lebih baik pada objek
transmigrasi, dibandingkan dengan kehidupan sebelumnya di daerah asalnya. Untuk itu
diperlukan sarana dan prasarana yang diperuntukkan pada para transmigran. Diantaranya adalah :
Memberikan lahan yang produktif seluas satu hektar disekitar lingkungan tempat tinggal sebagi
pekarangan dan tegal
Sesungguhnya semua bantuan tersebut cukup bagi transmigran untuk memulai hidup mereka
yang baru, apalagi bila mereka cakap mengolah pertanian serta trampil, tidak mustahil mereka
akan meraih kesuksesan.
Masalah yang sering terjadi di daerah transmigran adalah kemampuan tenaga keluarga
transmigran yang kurang, untuk membuka peluang usaha ke-2, yaitu mengolah lahan yang belum
dibuka, yang masih berupa hutan belantara. Meskipun sudah ada daerah yang telah terkondisi
dan berpokok pada tanaman perkebunan, walaupun 72,2% daerah transmigran masih berpola
pertanian pangan, kalaupun ada itu hanya sampingan bagi mereka. Memang semua itu telah
sesuai dengan keterampilan yang telah dibekali, yaitu mengolah lahan pertanian pangan.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa tanaman pangan lebih cepat dipanen dan merupakan bahan pokok
utama untuk hidup. Tetapi untuk mencapai kesejah teraan hidup akan menjadi lambat, hal ini
disebabkan oleh :
Setiap musim memerlukan bibit yang tidak dapat diperoleh dengan mudah
Adanya gangguan tanaman yang sering terjadi, sehingga peluang gagal sangat terbuka.
Pola demikian erat kaitannya dengan budaya masyarakat Jawa yang sering menanam tanaman
pangan, sehingga tetap dipertahankan walupun sudah berada dilain daerah. Sehingga dari situlah
muncul permasalahan-permasalahan akibat dari perbedaan budaya, antara penduduk asli dan
para penduduk transmigran. Yang terkadang juga menimbulkan integrasi sosial, dan perbedaan
kelas ekonomi.
1. Menggalakkan program KB atau Keluarga Berencana untuk membatasi jumlah anak dalam
suatu keluarga secara umum dan masal,sehingga akan mengurangi jumlah angka kelahiran.
2. Menunda masa perkawinan agar dapat mengurangi jumlah angka kelahiran yang tinggi.
Dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat maka diharapkan hilangnya kepercayaan banyak
anak banyak rejeki. Di samping itu pula diharapkan akan meningkatkan tingkat pendidikan yang
akan merubah pola pikir dalam bidang kependudukan.
Dengan menyebar penduduk pada daerah-daerah yang memiliki kepadatan penduduk rendah
diharapkan mampu menekan laju pengangguran akibat tidak sepadan antara jumlah penduduk
dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia.
Hal ini untuk mengimbangi jangan sampai persediaan bahan pangan tidak diikuti dengan laju
pertumbuhan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Departemen Transmigrasi sebagai lembaga yang berwenang mengatasi, serta yang memiliki
program tersebut, seharusnya lebih menungkatkan mutu para transmigran untuk mewujudkan
kesuksesan dari progran transmigrasi.
Sebelum diberangkatkan ke tempat tujuan, Departemen Transmigrasi seharusnya memberikan
gambaran kepada para calon transmigran tentang keadaan sosial budaya, serta adat-adat yang ada
di tanah rantauan.
Para transmigran, dibekali keterampilan sebagai tindakan awal apabila priduksi pertanian mereka
belum berhasil.
3.2 Saran
Dengan adanya penulisan makalah ini, diberikan saran yaitu memberikan perhatian terhadap
daerah-daerah transmigrasi sehingga tercapainya tujuan pemerintah yaitu adanya keseimbangan
jumlah penduduk, perluasan kesempatan pekerjaan dan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Warsito, Rukmadi,dkk. Transmigrasi Dari Daerah Asal Sampai Benturan Budaya di Tempat
Pemukiman. 1984. Jakarta : CV. Rajawali.
( http://www.wikipedia.ac.id )
PENYEBARAN PENDUDUK: MIGRASI, TRANSMIGRASI, URBANISASI
Yunindyawati/SPD/I363100011/S3
A. PENDAHULUAN
Diskursus kependudukan menyangkut tiga persoalan utama yaitu kelahiran, kematian dan
migrasi. Kelahiran dan kematian sudah didiskusikan pada pertemuan sebelumnya. Pada
kesempatan ini giliran penyebaran penduduk untuk dibahas dann didiskusikan. Berbicara tentang
penyebaran penduduk tidak akan lepas dari konsep migrasi. Bagi orang awam (umum) ketika
mendengar kata migrasi sepintas akan terbersit kata perpindahan dari suatu tempat ke tempat
lain. Ketika masih duduk di bangku SD,SMP, SMA konsep migrasi dibedakan menjadi imigrasi
dan emigrasi. Imigrasi diasumsikan perpindahan penduduk dari luar negeri masuk ke dalam
negeri dan emigrasi perpindahan penduduk dari dalam negeri ke luar negeri.
Namun ternyata konsep migrasi tidak sesederhana apa yang dibayangkan ketika di sekolah.
Muncul definisi konsep yang lebih komprehensif dan mendetail tentang perpindahan penduduk.
Setelah di bangku kuliah definisi konsep tersebut dikupas lebih mendalam menyangkut aspek
pokok, factor-faktor, dan bahkan akibat dari migrasi. Tulisan ini mencoba memahami persoalan
migrasi dengan cara membaca literature yang relevan. Utamanya hendak melihat definisi konsep
tentang migrasi, transmigrasi dan urbanisasi.
B. MIGRASI
Gerak penduduk dalam demografi dikenal denga istilah population mobility atau territorial
mobility, biasanya mengandung makna gerak spasial, fisik atau geografis. Ada dua dimensi
gerak penduduk yaitu gerak penduduk permanen dan non-permanen. Migrasi merupakan dimensi
gerak penduduk permanen. Sementara sirkulasi dan komutasi merupakan gerak penduduk non-
permanen. Migrasi adalah suatu bentuk gerak penduduk geografis, spatial atau territorial antara
unit geografis melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu dari tempat asal ke tempat tujuan. Ada
dua jenis migrasi yaitu megrasi internal dan migrasi internasional. Emigrasi adalah migrasi
internasional dipandang dari Negara asal/pengirim sedangkan imigrasi adalah migrasi
internasional dipandang dari Negara penerima (Rusli: 1982).
Ada empat faktor yang perlu diperhatikan dalam studi migrasi penduduk, (Lee: 1987) yaitu : 1.
Faktor-faktor daerah asal, 2. Faktor-faktor yang terdapat pada daerah tujuan, 3. Rintangan antara,
4. Faktor-faktor individual
Ukuran-Ukuran Migrasi:
1.Angka migrasi masuk (mi), yang menunjukkan banyaknya migran yang masuk per
1000 penduduk di suatu kabupaten/kota tujuan dalam satu tahun.
2.Angka migrasi keluar (mo), yang menunjukkan banyaknya migran yang keluar dari suatu
kabupaten/kota per 1000 penduduk di kabupaten/kota asal dalam satu tahun.
3.Angka migrasi neto (mn), yaitu selisih banyaknya migran masuk dan keluar ke dan dari suatu
kabupaten/kota per 1000 penduduk dalam satu tahun.
Untuk perhitungan angka migrasi, populasi yang dihitung adalah penduduk usia 5 tahun ke
atas. Karena itu, dalam perhitungan angka migrasi menurut kelompok umur, penduduk usia 0-4
tahun datanya tidak tersedia. Untuk mengatasi hal ini, khusus kelompok umur 0 - 4 tahun,
digunakan data migrasi seumur hidup untuk penduduk berusia 0-4 tahun.
MetodePerhitungan
5*P
5*P
4.
OutMig= Jumlah penduduk yang keluar dari suatu kabupaten/kota selama 5 tahun
5*P
Dimana: Mn=Angka migrasi neto
Reit Migrasi :
Ptt
C. TRANSMIGRASI
Transmigrasi merupakan bentuk migrasi yang direncanaka, diseleksi dari penduduk di pulau
yang padat ke pulau yang penduduknya jarang.. Transmigrasi adalah satu bentuk migrasi internal
di Indonesia, yaitu perpindahan penduduk dari tempat tinggal permanen di Jawa ke luar pulau
Jawa. Program ini dimulai pada masa Hindia Belanda dengan nama kolonisasi yang tujuan
awalnya untuk mengurangi kepadatan penduduk di pulau Jawa. Pada tahun 1905 dengan daerah
tujuan Lampung terjadi pertama kali pemindahan penduduk dari Jawa Tengah. Dan setelah
Indonesia merdeka (1946), nama program ini berubah menjadi transmigrasi.
Istilah transmigrasi tidak hanya dikenakan pada migrasi yang disponsori pemerintah, tetapi juga
migrasi atas inisiatif sendiri. Keberhasilan program ini sangat dipengaruhi oleh informasi
keberhasilan migran terdahulu. Kekuatan sentripetal migran dapat menarik penduduk dari daerah
asal untuk bermigrasi. Dalam hal ini transmigran pionir memegang peranan penting dalam
meningkatnya jumlah transmigran swakarsa (transmigrasi atas swadaya sendiri). Karena selain
mendapat informasi keberhasilan, migran baru juga ditampung dan dicukupi kebutuhan
makannya oleh migran lama, dan dibantu untuk memperoleh sebidang tanah pertanian (jual beli).
D. URBANISASI
Proses meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di daerah perkotaan lazim disebut
urbanisasi. Penyebab terjadinya proses urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke
kota, pertumbuhan alamiah penduduk perkotaan, perluasan wilayah, maupun perubahan status
wilayah dari daerah pedesaan menjadi daerah perkotaan.
Urbanisasi sangat terkait dengan mobilitas maupun migrasi penduduk. Ada sedikit perbedaan
antara mobilitas dan migrasi penduduk. Mobilitas penduduk didefinisikan sebagai perpindahan
penduduk yang melewati batas administratif tingkat II, namun tidak berniat menetap di daerah
yang baru. Sedangkan migrasi didefinisikan sebagai perpindahan penduduk yang melewati batas
administratif tingkat II dan sekaligus berniat menetap di daerah yang baru tersebut.
Diperkirakan bahwa proses urbanisasi di Indonesia akan lebih banyak disebabkan migrasi desa-
kota. Perkiraan ini didasarkan pada makin rendahnya pertumbuhan alamiah penduduk di daerah
perkotaan, relatif lambannya perubahan status dari daerah pedesaan menjadi daerah perkotaan,
serta relatif kuatnya kebijaksanaan ekonomi dan pembangunan yang memperbesar daya tarik
daerah perkotaan bagi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan . Dengan rendahnya tingkat
kelahiran dan kematian, ukuran keluarga menjadi kecil, kesejahteraan keluarga dan masyarakat
meningkat, akan mendorong keinginan penduduk untuk melakukan mobilitas menuju daerah
perkotaan. Arus gerak penduduk dari desa ke kota di Indonesia meningkat dikarenakan:
1.Perbaikan sarana transportasi desa ke kota.2.Meningkatnya jasa angkutan umum yang
menembus kedesa-desa terpencil.3.Meningkatnya pendapatan masyarakat sehingga mampu
membayar biaya perjalanan. 4.Mampu membeli kendaraan pribadi.
Studi Pustaka