Anda di halaman 1dari 39

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas ini. Shalawat serta salam marilah
senantiasa kita junjungkan kepada Nabi Muhammad SAW. Saya ucapkan terima
kasih kepada para dokter dan staf di RSUD Provinsi Banten, terutama dr.
Andrianto, Sp. B, selaku pembimbing makalah ini, dr. Doddy, Sp. Rad, dr. Susi
Mulyani dan dr. Wahyu Utomo. Saya sadari tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat saya
harapkan. Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan dapat dijadikan pelajaran bagi yang membacanya.

Serang, Januari 2017

Penulis

!1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar1

Daftar Isi.2

BAB I Pendahuluan.3

1.1 Latar Belakang...3

1.2 Rumusan Masalah.4

1.3 Tujuan Penulisan.4

1.4 Manfaat Penulisan....4

BAB II Ilustrasi Kasus..5

BAB III Tinjauan Pustaka12

3.1 Anatomi Rongga Toraks.12

3.2 Fisiologi Pernafasan15

3.3 Definisi Trauma Toraks17

3.4 Etiologi.18

3.5 Kelainan Akibat Trauma Toraks18

3.6 Penatalaksanaan.26

BAB IV Pembahasan..31

BAB V Kesimpulan34

Daftar Pustaka...35

!2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma toraks yang berhubungan dengan trauma tumpul dan trauma


tembus merupakan penyebab utama rawat inap di dunia dan berhubungan

dengan angka kematian berkisar antara 15 sampai 77%.38 Sekitar 25% kematian

akibat trauma, disebabkan oleh trauma toraks.44 Trauma tumpul toraks

mencakup 15% dari seluruh trauma di dunia.3 Jatuh dari ketinggian dan
kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab paling sering. Setelah mengalami
trauma tumpul toraks, dinding dada seseorang akan rusak dan terjadi perlukaan

pada parenkim paru-paru.11,24,31 Luka yang lebih parah pada organ intratorasik
juga dapat ditemukan, seperti perlukaan vaskular intratorasik, ruptur diafragma,

dan ruptur esofagus.9,14 Trauma-trauma ini dapat menyebabkan hemotoraks atau


pneumotoraks, yang merupakan komplikasi umum dan dapat terjadi langsung

setelah trauma tumpul pada dada.32 Selain itu, fraktur kosta juga merupakan
komplikasi umum dari trauma tumpul toraks. Jumlah kosta yang patah dapat
menunjukan derajat keparahan dari trauma dan berhubungan dengan tingkat

morbiditas dan mortalitas.17

Pada tahun 1981 Di Bagian Bedah FKUI/RSUPNCM didapatkan 20%


pasien trauma toraks dari seluruh pasien trauma. Di Amerika didapatkan
180.000 kematian pertahun disebabkan oleh trauma, 25% diantaranya
disebabkan oleh trauma langsung pada toraks. Trauma tumpul di Australia
sejumlah 45% mengenai rongga toraks. Angka mortalitas pada pasien trauma
akan semakin meningkat jika terdapat trauma pada toraks. Angka kematian
akibat trauma toraks berkisar 38% untuk pneumotoraks, 42% untuk

hematotoraks, 56% untuk kontusio pulmo, dan 69% untuk flail chest.13,14

!3
1.2 Rumusan Masalah

Pokok permasalahan dalam pembahasan makalah ini adalah:

1. Konsep yang membahas tentang anatomi dan fisiologi, definisi,


etiologi, kelainan akibat trauma toraks, dan tatalaksana pada pasien dengan
trauma toraks.

1.3 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui tentang konsep trauma toraks sehingga dapat


melakukan pemeriksaan dan tatalaksana yang tepat pada pasien dengan
trauma toraks

1.4 Manfaat Penulisan

Mengetahui tentang anatomi dan fisiologi, definisi, etiologi, kelainan


akibat trauma toraks, dan tatalaksana pada pasien dengan trauma toraks
sehingga dapat meningkatkan kompetensi dalam penanganan pasien dengan
trauma toraks

!4
BAB II

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. K

Umur : 40 tahun

Pekerjaan : Kuli bangunan

Pendidikan terakhir : SD

Alamat : Kp. Cilowong, Kecamatan Taktakan

Tanggal masuk RS : 23 November 2016 pukul 19.30

ANAMNESIS

Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 23 November 2016

Keluhan utama:

Sesak nafas dan nyeri dada

Riwayat penyakit sekarang:

Pada pukul 12 siang tanggal 23 November 2016 saat OS bekerja menarik


pohon, OS tertimpa pohon seberat kurang lebih 400 kg pada bagian
punggung. OS sempat pingsan kurang lebih selama 5 menit. Muntah (-),
amnesia (-). Kemudian OS dibawa ke rumah warga terdekat. Setelah bangun
OS mengeluhkan sesak nafas disertai nyeri dada. OS sempat diurut 30 menit
setelah kejadian. OS juga mengeluhkan pipis berwarna merah. Kemudian OS

!5
dibawa ke Puskesmas Taktakan dan dikatakan harus segera dibawa ke rumah
sakit. Sebelumnya OS belum pernah mengalami kejadian serupa. OS
mempunyai kebiasaan merokok.

Riwayat penyakit dahulu: Maag (-), DM (-), hipertensi (-), sakit jantung(-),
alergi (-), asma (-)

Riwayat penyakit keluarga: Maag (-), DM (-), hipertensi (-), sakit


jantung (-), alergi (-), asma (-)

PEMERIKSAAN FISIK

Primary Survey

Airway : Clear

Breathing : 28 kali/menit, reguler

Circulation : 76 kali/ menit, kuat, simetris, reguler, TD: 90/70 mmHg

Disability : Alert, compos mentis, E4V5M6, pupil isokor, refleks cahaya (+)

Exposure :-

Secondary Survey

Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Leher : Limfonodi tidak teraba

Toraks :

- Cor
Inspeksi : Iktus kordis terlihat di SIC 2
Palpasi : Iktus kordis teraba di SIC 2
Perkusi : Kardiomegali (-)
Auskultasi : S1, S2 regular, murmur (-), regurgitasi (-)

!6
- Pulmo
Inspeksi : Jejas luka (-), dinding dada lebih tinggi dari abdomen
Palpasi : Taktil fremitus menurun pada hemitoraks dekstra setinggi SIC 5
ke bawah
Perkusi : Redup pada hemitoraks dekstra setinggi SIC 5 ke bawah
Auskultasi : Suara dasar vesikular menurun pada hemitoraks dekstra setinggi
SIC 5 ke bawah, ronkhi (-), wheezing (-)
- Abdomen
Inspeksi : Flat, bekas luka (-), hematom (-)
Auskultasi : Bising usus (+) dalam batas normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (+) suprapubik

- Ekstremitas : WPK < 2 detik, akral hangat, edema (-), clubbing finger (-)

RESUME

Tn. K 40 tahun mengeluhkan sesak nafas dan nyeri dada sebelah kanan
setelah tertimpa pohon di bagian punggung pada kurang lebih 8 jam sebelum
masuk RS. Pingsan (+), muntah (-), amnesia (-). Pasien juga mengeluhkan
pipis berwarna merah.

DIAGNOSIS BANDING

- Hemotoraks

- Hematopneumotoraks

!7
PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Foto toraks PA/AP (23 November

2016) Kesan:

Hemotoraks dekstra

Pneumotoraks tidak jelas

Kontusio pulmo dekstra

Emfisema subkutis a/r supraklavikula

dekstra Fraktur kosta 8, 9, 10 posterior

dekstra Fraktur kosta 11, 12 dekstra

Fraktur kosta 12 sinistra

- Foto pelvis (23 November 2016)

Avulsi acetabulum superior kanan

- Foto toraks PA/AP (25 November

2016) Kesan:

Hemotoraks dekstra

Kontusio pulmo dekstra

Emfisema subkutis supraklavikula dekstra et dinding toraks

dekstra Fraktur kosta 9, 10 posterior dekstra

!8
Fraktur kosta 11, 12 dekstra

Fraktur kosta 12 sinistra

- Foto toraks PA/AP (1 Desember November

2016) Kesan:

Hemotoraks dekstra

Kontusio pulmo dekstra

Emfisema subkutis supraklavikula dekstra

minimal Fraktur kosta 9, 10 posterior dekstra

Fraktur kosta 11, 12 dekstra

Fraktur kosta 12 sinistra

- Foto toraks PA/AP (7 Desember 2016)

Kesan:

Hemotoraks dekstra (berkurang)

Kontusio pulmo dekstra

Emfisema subkutis supraklavikula dekstra (minimal)

Fraktur kosta 10 posterior kanan

Fraktur kosta 11, 12 dekstra

Fraktur kosta 12 sinistra

!9
- USG abdomen (24 November

2016) Kesan:

Tidak tampak koleksi cairan intraabdomen

USG hepar, kandung empedu, pankreas, spleen, ginjal kanan/kiri, vesika


urinaria dan prostat saat ini tak tampak kelainan

- Laboratorium (23 November

2016) Hemoglobin: 12,5 g/dl

Leukosit: 40,3 x 103

g/dl Hematokrit 36 %

Trombosit: 304 x 103/uL

Eritrosit: 4,0 juta/uL

GDS: 160 mg/dl

- Cystogram (28 November 2016)

Kesan: Tidak tampak ruptur vesika urinaria

DIAGNOSIS

- Hematopneumotoraks dekstra + kontusio pulmo dekstra + emfisema


subkutis a/r supraklavikula dekstra ec. fraktur kosta multipel

- Hematuria ec susp kontusio buli

!10
PENATALAKSANAAN

- Oksigen 3 lpm
- IVFD NaCl loading 500cc, maintenance 20 tpm
- Pasang WSD
- Pasang kateter 24 fr 3way (spooling dengan NaCl)

- Inj. Ranitidin 2 x 1
- Inj. Ketorolak 2 x 1
- Inj. Metronidazol 3 x 1
- Inj. Cefotaxim 2 x 1
- Fisioterapi dada

!11
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Rongga Toraks

Toraks adalah adalah bagian paling superior dari batang tubuh yang
terletak antara leher dan perut. Rongga dada, dikelilingi oleh dinding dada,
berisi jantung, paru-paru, timus, bagian distal dari trakea, dan sebagian besar

dari kerongkongan.29 Rongga dada dibagi oleh mediastinum. Jantung terletak

di mediastinum, tertutup oleh perikardium. Paru-paru menempati daerah kiri-


kanan dan garis pleura membatasi separuh dada dan membentuk batas lateral

mediastinum.8

Dinding Dada

Dinding dada terdiri dari kulit, fasia, saraf, pembuluh, otot, tulang rawan,
dan tulang. Fungsi dari dinding toraks termasuk melindungi organ dada dan
perut; menahan tekanan internal negatif yang dihasilkan oleh elastisitas dari
paru-paru dan gerakan inspirasi; merupakan tempat menempelnya otot-otot
tungkai atas, leher, perut, punggung, otot-otot pernafasan dan mendukung berat
tungkai atas. Kelenjar susu dari payudara terletak di jaringan subkutan dan

berada di atas otot-otot dada menutupi dinding dada anterolateral.29

Otot Dinding Dada

Otot utama dinding anterior toraks adalah pektoralis mayor dan minor.
Dinding posterior toraks dibentuk oleh otot latissimus dorsi, trapezius,
rhomboideus, dan gelang bahu. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot

pernafasan yaitu otot-otot interkostalis dan diafragma.29

!12
Sobotta, Atlas of Human Anatomy, 13th Edition

Kerangka Dinding Dada

Kerangka dinding dada mencakup 12 pasang tulang rusuk dan kartilago kosta,
12 vertebra toraks dan diskus intervertebralis, dan sternum. Tulang rusuk
dengan bagian kartilagonya dipisahkan oleh ruang interkostal, yang diisi oleh

otot-otot interkostal, pembuluh darah, dan saraf.29

Apertura Toraks

Rongga dada berhubungan dengan leher dan ekstremitas atas melalui apertura
toraks superior. Struktur yang melewati aperturea ini adalah trakea, esofagus,
pembuluh darah, dan saraf.

13!
Pada orang dewasa superior ukuran apertura toraks ini sekitar 6,5 cm
anteroposterior dan 11 cm secara melintang. Karena kemiringan dari tulang

rusuk pertama, apertura toraks superior ini miring secara anteroinferior.29

Apertura toraks superior dibatasi:

- Posterior oleh vertebra T1.

- Lateral oleh sepasang kosta 1 dan kartilago kosta 1.

- Anterior oleh batas atas manubrium sterni.

Rongga dada berhubungan dengan perut melalui apertura toraks inferior.


Apertura toraks inferior lebih luas daripada apertura toraks superior. Struktur
yang lewat menuju dan dari toraks ke abdomen melewati suatu lubang yang
terletak di diafragma, misalnya vena kava superior dan esofagus

Apertura toraks inferior dibatasi:

- Posterior oleh vertebra T12.

- Posterolateral oleh sepasang kosta 11 dan 12.

- Anterolateral oleh gabungan kartilago kosta7-10, membentuk batas kosta.

- Anterior oleh xifisternalis joint.

Tulang Rusuk dan Kartilago kosta

Tulang rusuk merupakan tulang yang melengkung dan pipih yang


membentuk sebagian besar dinding dada. Setiap tuang rusuk memiliki interior
seperti spons yang berisi sumsum tulang, yang membentuk sel-sel darah

(jaringan hematopoietik).29

!14
Terdapat tiga jenis tulang rusuk:

- True (vertebrocostal) (1-7) menempel langsung ke sternum melalui kartilago


kosta mereka.

- Salah (vertebrochondral) rusuk (8-10) memiliki kartilago yang bergabung ke


kartilago dari tulang rusuk yang terletak diatas mereka; oleh karena itu,
hubungan mereka dengan sternum tidak langsung.

- Floating (free) rusuk (11-12) memiliki kartilago dasar yang belum sempurna
yang tidak berhubungan bahkan secara tidak langsung dengan sternum.

Pleura

Pleura adalah membran serosa yang melipatan kembali ke dirinya sendiri


untuk membentuk struktur membran dua lapis. Pleura dibagi menjadi dua
bagian, yaitu pleura parietalis dan pleura viseralis. Terdapat ruang tipis yang
dikenal sebagai rongga pleura dan mengandung sejumlah kecil cairan pleural
(beberapa mililiter pada manusia normal). Pleura parietal melekat pada
dinding dada. Rongga pleura membantu fungsi optimal dari paru-paru saat
bernafas. Palam manusia, tidak ada hubungan anatomi antara rongga pleura.
Pleura viseralis menerima suplai darah dari sirkulasi bronkial dan pleura

parietalis menerima suplai darah dari arteri intercostal.8

3.2 Fisiologi Pernafasan

Fungsi dari pernapasan:

1. Ventilasi: Proses memasukkan dan mengeluarkan udara dengan cara


inspirasi dan ekspirasi

2. Distribusi: Menyebarkan udara tersebut secara merata ke seluruh sistem


jalan napas sampai ke alveoli

!15
3. Difusi: Terjadi pertukaran udara antara oksigen dan karbondioksida melalui
membran semipermeabel pada dinding alveoli

4. Perfusi: Darah arteri pada kapiler-kapiler dan darah venous yang digantikan
isinya dengan muatan oksigen yang sudah cukup digunakan untuk menutrisi
jaringan tubuh.

Langkah utama dalam pernapasan adalah inspirasi dan ekspirasi.

Inspirasi melibatkan langkah-langkah berikut:

i. Berkontraksinya otot-otot yang melekat pada tulang rusuk menyebabkan


tulang rusuk tertarik keluar sehingga rongga dada mengembang

ii. Otot antara rongga dada dan rongga perut, disebut diafragma, berkontraksi
dan bergerak ke bawah untuk lebih memperluas rongga dada

iii. Otot-otot perut berkontraksi

Ekspirasi:

Dalam proses ini, otot-otot yang melekat di tulang rusuk bagian dalam,
diafragma dan otot-otot perut rileksasi. Hal ini menyebabkan penurunan
volume rongga dada meningkatkan tekanan pada paru-paru. Udara di paru-
paru didorong keluar dan keluar melalui hidung.

!16
Transportasi Gas:

Oksigen dibawa oleh hemoglobin dari sel-sel darah merah. Hemoglobin


memiliki afinitas yang besar untuk oksigen setiap molekul hemoglobin
mengikat empat molekul oksigen. Oksigen akan diangkut oleh hemoglobin ke
berbagai jaringan. Oksigen lebih sulit larut dalam air dibandingkan dengan
karbondioksida. Oleh karena itu, untuk diangkut perlu dilarutkan dulu dalm
tubuh kita. Beberapa karbon dioksida juga diangkut oleh hemoglobin. Tidak
semua karbon dioksida yang terbentuk dikeluarkan dari tubuh. Beberapa
bereaksi dengan air untuk membentuk senyawa yang berguna bagi proses
kehidupan.

3.3 Definisi Trauma Toraks

Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks dan


atau organ intratoraks yang dapat disebabkan oleh trauma tumpul maupun
trauma tajam. Pemahaman mekanisme trauma dapat meningkatkan
kemampuan dalam mendeteksi dan mengidentifikasi trauma sehingga

penanganan segera dapat dilakukan.13, 26

17!
3.4.Etiologi

Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan
trauma tajam. Penyebab trauma toraks tersering adalah kecelakaan kendaraan
bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan
(impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar, dan
terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat
yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda.
Penyebab trauma toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3
berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendah seperti trauma tusuk,
berenergi sedang seperti pistol, dan berenergi tinggi seperti pada senjata
militer. Penyebab trauma toraks yang lain adalah adanya tekanan yang
berlebihan pada paru-paru yang bisa menyebabkan pneumotoraks seperti

pada scuba.13,37

3.5 Kelainan Akibat Trauma Toraks

A. Trauma Dinding Toraks dan Paru

1. Fraktur Iga

Iga biasanya patah pada titik pertama trauma atau pada sudut posterior
atau posterolateral yang secara struktural merupakan daerah terlemah. Iga
keempat sampai kesembilan merupakan iga yang paling sering patah. Iga 1
sampai 3 relatif terlindungi, dan iga 9 sampai 12 lebih mobile pada bagian
anteriornya. Pasien dengan patah tulang iga sisi kanan hampir tiga kali lebih
mungkin untuk memiliki trauma pada hati, dan pasien dengan patah tulang iga

sisi kiri hampir empat kali lebih mungkin untuk memiliki trauma pada limpa.39

Diagnosis dapat dibuat secara klinis, dengan adanya rasa nyeri ketika
disentuh, krepitasi, ekimosis, dan spasme pada otot diatas tulang iga
merupakan tanda yang paling sering ditemukan. CT scan secara signifikan
lebih efektif dibandingkan pemeriksaan x-ray dada dalam mendeteksi fraktur

iga.41 Tujuan penanganan pasien dengan patah tulang iga akut adalah

!18
mengatasi nyeri dan mempertahankan fungsi paru. Obat untuk nyeri dalam
bentuk oral biasanya cukup untuk pasien muda dan sehat. Analgesik biasanya
diperlukan dalam 1 atau 2 minggu pertama.

2. Flail Chest

Flail chest ketika tiga atau lebih iga berdekatan retak di dua titik, yang
memungkinkan segmen bergerak bebas dari dinding dada dan bergerak dalam
gerakan paradoksal. Hal ini juga dapat terjadi dengan pemisahan kostokondral
atau fraktur sternum vertikal yang terjadi bersamaan dengan patah tulang iga.
Karena hubungannya dekat dengan kontusio paru, flail chest merupakan salah
satu cedera dinding dada yang paling serius. Gerakan paradoksal dari dinding
dada adalah ciri khas kondisi ini, dengan segmen yang patah ikut bergerak ke
dalam dengan inspirasi dan keluar dengan ekspirasi. Kontusio pulmo yang
menyertai flail chest diduga menjadi penyebab utama insufisiensi pernapasan.
Selain itu, rasa sakit dari cedera menyebabkan atelektasis, hipoksemia, dan
penurunan curah jantung. Oksigen harus diberikan, monitor jantung dan
oksimetri dilakukan jika tersedia, dan pasien diobservasi untuk tanda-tanda
cedera terkait seperti tension pneumotoraks. Pemeriksaan EKG 12-lead dan
enzim jantung harus dilakukan, dengan pertimbangan dilakukannya
pemeriksaan ekokardiogram untuk disritmia, high-grade blok, atau
ketidakstabilan hemodinamik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab lain
seperti perdarahan.

3. Kontusio Pulmo

Kontusio pulmo merupakan memar langsung pada parenkim paru yang


disertai oleh edema alveoli dan perdarahan tetapi tanpa disertai oleh laserasi

paru, seperti yang pertama kali dijelaskan oleh Morgagni di 1761.30 Onsetnya

bisa tidak diketahui dan berbahaya, oleh karena itu harus lebih mencurigai dari
mekanisme cedera dibandingkan rontgen dada awal. Manifestasi klinis meliputi
dispnea, takipnea, sianosis, takikardia, hipotensi, dan memar pada dinding
dada. Tidak ada tanda-tanda khusus untuk kontusio pulmo, tetapi hemoptisis

!19
kadang-kadang dapat ditemukan, dan rales atau menghilangnya suara nafas
mungkin terdengar pada auskultasi. Palpasi dinding dada umumnya dapat
menunjukan adanya patah tulang iga. Temuan radiografi khas mulai muncul
dalam beberapa menit dari waktu awal cedera dan dapat berupa tampilan
bercak, ireguler, infiltrat alveolar sampai konsolidasi. Biasanya, perubahan ini
muncul pada pemeriksaan awal, dan hampir selalu ada dalam waktu 6 jam.

Pengobatan untuk kontusi paru biasanya berupa terapi suportif.10

4. Pneumotoraks terbuka

Suatu pneumotoraks dianggap terbuka ketika terdapat luka yang besar


pada dinding dada sehingga menimbulkan komunikasi dengan atmosfir di luar
rongga dada yang menyebabkan tekanan di dalam rongga pleura akan segera
menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Sebuah pneumotoraks kecil
menempati 15% atau kurang dari rongga pleura, moderat 15 - 60%, dan
pneumotoraks besar lebih dari 60%. Udara kadang-kadang terdengar mengalir
masuk dan keluar dari lokasi defek, membuat istilah sucking chest wound.
Hilangnya integritas dinding dada menyebabkan gerakan paradoks. Hal ini
menghasilkan dead space fungsional yang besar untuk paru-paru normal dan,
hilangnya ventilasi dari paru-paru yang terlibat, sehingga gangguan ventilasi

menjadi parah.1

5. Tension pneumotoraks

Tension pneumotoraks terjadi ketika luka memiliki katup satu arah


(mekanisme ventil), sehingga mencegah komunikasi bilateral dengan atmosfer,
dan menyebabkan peningkatan progresif tekanan intrapleural. Udara masuk saat
inspirasi tetapi tidak dapat keluar saat ekspirasi. Hasil dari pergeseran
mediastinum menekan vena kava dan mendistorsi cavoatrial junction, yang
menyebabkan penurunan diastolik filling jantung dan penurunan curah jantung.
Perubahan ini mengakibatkan hipoksia, asidosis, dan syok yang muncul dengan
cepat . Sesak napas dan nyeri dada adalah merupakan keluhan paling umum dari
pneumotoraks. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan

!20
penurunan atau hilangnya suara nafas dan hipersonor pada sisi yang terlibat
serta emfisema subkutan, tapi pada pneumotoraks ukuran kecil mungkin tidak
terdeteksi pada pemeriksaan fisik. Tanda-tanda kardinal tension pneumotoraks
adalah takikardia, distensi vena jugularis , dan menghilangnya suara nafas
pada sisi ipsilateral. Pada foto dada, tension pneumotoraks akan terlihat kolaps
paru komplit dan pergeseran mediastinum ke sisi yang berlawanan. Idealnya,
diagnosis dan pengobatan harus diselesaikan tanpa pemeriksaan x-ray dada
karena keterlambatan dalam memperoleh radiografi ini dapat mempengaruhi
hasil pasien.

6. Pneumotoraks sederhana

Pneumotoraks disebabkan masuknya udara pada ruang potensial antara


pleura viseral dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat
ditemukan bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan
penyebab tersering dari pnerumotoraks akibat trauma tumpul. Dalam keadaan
normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai
dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara kedua
permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan
kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah
menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada
oksigenasi. Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang
terkena dan pada perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi
membantu menegakkan diagnosis.

7. Hemotoraks

Perdarahan dari parenkim paru yang terluka adalah penyebab paling


umum dari hemotoraks, tapi cenderung self-limiting kecuali jika ada laserasi
yang besar. Arteri interkostal dan arteri mamaria interna lebih sering
menyebabkan hemotoraks dibandingkan hilus atau pembuluh darah besar.
Perdarahan dari arteri intercostal akan terjadi dengan cepat karena mereka
merupakan cabang langsung dari aorta. Drainase darah lebih dari 1500 mL

!21
darah dari rongga pleura merupakan indikasi untuk urgent torakotomi.
Mungkin bahkan lebih prediktif dari kebutuhan untuk torakotomi adalah output

lanjutan minimal 200 mL / jam selama 3 hours.43 Pada pemeriksaan fisik akan

ditemukan taktil fremitus menurun, dan suara nafas berkurang atau tidak ada.

8. Hemotoraks masif

Hemotoraks masif muncul dari akumulasi cepat darah lebih dari 1500 mL
atau sepertiga atau lebih dari volume darah dalam rongga dada pasien. Hal ini
paling sering disebabkan oleh luka tusuk yang mengganggu pembuluh darah
sistemik atau hilus. Hemotoraks masif juga dapat disebabkan trauma tumpul.
Pada pasien dengan hemotoraks masif, vena leher bisa datar sebagai akibat
hipovolemia yang parah, atau mungkin distensi jika ada tension
pneumotoraks. Pasien yang memiliki output awal kurang dari 1500 ml cairan,
tapi masih terus berdarah, mungkin juga memerlukan torakotomi. Keputusan
ini tidak hanya didasarkan pada laju terus kehilangan darah yang terus

menerus (200 mL / jam selama 2 sampai 4 jam).1

9. Cedera Trakea dan Bronchus

Cedera pada trakea atau bronkus utama adalah kondisi yang tidak biasa
dan berpotensi fatal yang sering diabaikan pada penilaian awal. Dalam trauma
tumpul mayoritas cedera seperti terjadi 1 inci (2,54 cm) dari karina.
Kebanyakan pasien dengan cedera ini mati di tempat kejadian. Mereka yang
sampai rumah sakit dalam keadaan hidup memiliki tingkat kematian yang
tinggi dari cedera berhubungan atau keterlambatan diagnosis cedera saluran
napas. Biasanya pasien menunjukan gejala hemoptisis, emfisema subkutan,
atau tension pneumotoraks. Ekspansi inkomplit dari paru-paru setelah
penempatan chest tube menunjukkan adanya cedera trakeobronkial, dan
penempatan lebih dari satu chest tube kadang perlu diperlukan untuk
mengatasi kebocoran udara. Pemeriksaan bronkoskopi dapat menegaskan

diagnosis.1

!22
B. Trauma Jantung dan Aorta

1. Trauma Tumpul Jantung (Kontusi Miokardial)

Cedera tumpul jantung dapat menyebabkan kontusi otot miokardium,


ruptur ruang jantung, diseksi arteri koroner dan / atau trombosis, atau
gangguan katup. Ruptur jantung biasanya muncul dengan tamponade kordis
dan harus dapat dikenali pada primary survey. Penggunaan awal FAST dapat
memfasilitasi diagnosis. Gejala klinis yang penting adalah hipotensi, disritmia,
dan / atau dinding-gerak kelainan pada ekokardiografi dua dimensi.
Peningkatan tekanan intratoraks dari pukulan langsung ke dada dapat
menimbulkan cedera jantung. Kompresi dari perut dan pelvis dapat mengubah

posisi visera abdomen ke atas dan mengakibatkan cedera jantung.1

2. Tamponade kordis

Proses utama dari tamponade perikardial adalah peningkatan tekanan


dan volume intraperikardial. Jika volume cairan perikardial melebihi batas
kapasitas atrium dan ventrikel untuk mengisi secara adekuat, pengisian
ventrikel akan terbatas sehingga stroke volume berkurang. Hal ini
menyebabkan curah jantung menurun, berkurangnya tekanan darah sistolik
arteri dan penurunan tekanan nadi. Sekitar 60 sampai 100 mL darah dan
bekuan darah pada pericardium dapat menghasilkan gambaran klinis
tamponade. Central Venous Pressure (CVP) naik karena cadangan mekanik
darah ke vena kava. Beberapa mekanisme kompensasi kemudian terjadi.
Denyut jantung dan total resistensi perifer akan meningkat dalam upaya
untuk mempertahankan curah jantung dan tekanan darah yang cukup.
Terdapat sebuah respon kompensasi kurang efektif, yang menyebabkan
kenaikan CVP yang lebih besar dalam CVP, yaitu peningkatan tonus
venomotor yang disebabkan oleh kontraksi dari otot-otot halus dalam dinding
vena yang cava.25,27 Temuan fisik tamponade perikardial adalah hipotensi,

distensi vena jugularis , dan menjauhnya suara jantung.4 Becks Triad ini
kadang-kadang sulit ditemukan secara klinis, terutama di tengah-tengah

!23
resusitasi dengan hipovolemia, ketika vena leher mungkin datar.25 FAST
merupakan suatu metode yang cepat dan akurat untuk pencitraan jantung dan
perikardium.

3. Ruptur Aorta (Traumatic Aortic Disruption)

Trauma tumpul aorta biasanya menyebabkan perdarahan mematikan


yang cepat. Lokasi yang paling umum terkena cedera adalah isthmus aorta
dan aorta ascenden yang terletak proksimal dari pembuluh darah

brakiosefalika.34 Pasien dengan ruptur aorta 60-90% akan mati di lokasi

kecelakaan atau dalam beberapa jam setelah masuk rumah sakit.12,36 Pasien
dengan ruptu aorta yang bertahan hidup cenderung memiliki laserasi inkomplit
di dekat ligamentum arteriosum aorta.

C. Cedera Toraks Lain

1. Emfisema subkutis

Emfisema subkutis pada trauma dinding dada biasanya menunjukkan


cedera dada yang lebih serius. Robekan ekstrapleural di tracheobronchial
memungkinkan udara bocor ke mediastinum dan jaringan lunak leher anterior
sehingga menimbulkan pneumomediastinum, yang dapat menjadi tension
pneumomediastinum walaupun jarang terjadi. Hal ini paling sering terjadi pada
pasien yang sedang menjalani ventilasi tekanan positif dan memiliki
pneumoperikardium yang terlihat pada pemeriksaan x-ray dada. Mereka juga
mungkin memiliki Hammans crunch, yang merupakan suara berderak dengan
setiap detak jantung, dan terdengar pada auskultasi jantung.

2. Asfiksia Traumatik

Asfiksia traumatik merupakan sindrom langka yang disebabkan oleh


kompresi parah pada dada oleh benda yang sangat berat sehingga terjadi
peningkatan tekanan pada dada dan vena kava superior menyebabkan aliran
darah balik dari sisi kanan jantung menuju ke dalam vena besar kepala dan

!24
leher. Vena cava dan vena-vena besar kepala dan leher tidak memiliki katup
sehingga memungkinkan transmisi tekanan kapiler kepala dan leher, yang
menjadi penuh dengan darah. Asfiksia traumatik ditandai dengan warna ungu
tua dari kulit kepala dan leher, perdarahan subkonjungtiva bilateral, petekiae,

dan edema wajah.7 Manifestasi neurologis biasanya akan mereda dalam waktu

24-48 jam dan sekuel jangka panjang jarang terjadi.2

3. Trauma Diafragma

Ruptur diafragma muncul 1 - 6% pada trauma toraks major. Ruptur


diafragma terjadi paling sering setelah trauma tumpul torakoabdominal,

seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma tusuk.19

Dalam kasus trauma tumpul, tekanan yang meningkat dalam kavum abdomen
akan menyebabkan diafragma robek, perbedaan tekanan 5-10 mmHg akan
mednorong organ di dalam perut melewati diafragma yang robek tadi. Dengan
berjalannya waktu, tekanan negatif dalam toraks yang dihasilkan oleh inspirasi
akan membuat isi perut menuju ke ke toraks. Efek ini akan hilang dengan
penggunaan intubasi dan ventilasi tekanan positif. Karena ada efek plugging
visera pada bagian yang defek, migrasi dari organ perut ke dalam dada
biasanya tertunda, sehingga cedera ini didiagnosis hanya 10% dari kasus di

phase akut.35 Pemeriksaan radiografi dada merupakan pemeriksaan

pencitraan pertama untuk menentukan adanya ruptur diafragma, tetapi jika


rontgen dada polosini dilakukan segera setelah kecelakaan akan menimbulkan
kecurigaan tentang diagnosis ruptur diafragma pecah pada 20 - 34%. kasus.
Pemeriksaan CT Scan perut dan dada merupakan alat yang sangat berguna
dan dapat diandalkan dalam evaluasi trauma tumpul diafragma, tetapi lokasi

dan jenis cedera akan mempengaruhi sensitivitasnya.16 Trauma diafragma

mungkin menjadi prediktor dari cedera serius terkait dalam trauma dan

menjadi penanda keparahan,5 tetapi mereka biasanya tidak memerlukan

tindakan segera.

!25
3.6 Penatalaksanaan

Penilaian dan penanganan awal pasien dengan trauma toraks terdiri dari
primary survey, resusitasi tanda vital, secondary survey yang detail

dan terapi definitif.1

1. Primary Survey

Pada primary survey, identifikasi dan tangani trauma-trauma sebagai berikut:

- Gangguan jalan nafas

- Tension pneumotoraks

- Pneumotoraks terbuka

- Hemotoraks masif

- Tamponade kordis

AIRWAY

Penting untuk mengenali trauma major yang mempengaruhi jalan nafas


saait pemeriksaan primary survey. Patensi jalan nafas dan pertukaran udara
harus diperiksa dengan mendengarkan aliran udara pada hidung , mulut dan
paru-paru pasien; melihat orofaring untuk obstruksi benda asing; dan
observasi retraksi otot interkostal dan supraklavikula.

BREATHING

Dada dan leher pasien harus diekspos seluruhnya untuk pemeriksaan


pernafasan dan vena leher. Gerakan dan kualitas pernafasan diperiksa dengan
cara inspeksi, palpasi dan auskultasi. Trauma-trauma mayor toraks yang
mempengaruhi pernafasan dan harus dikenali saat primary survey
diantaranya:

!26
1. Tension Pneumotoraks

Tension pneumotoraks membutuhkan dekompresi segera dan


penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran
besar pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami
kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumotoraks menjadi
pneumotoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang
bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi
definitif selalu dibutuhkan dengan pemasangan selang dada (chest tube) pada
sela iga ke 5 (garis putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris.

2. Pneumotoraks terbuka (sucking chest wound)

Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa steril yang diplester
hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan
terjadi efek flutter Type Valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan
menutup luka, mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa
penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka
sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus berjauhan dari luka
primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara di
dalam rongga pleura yang akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali
jika selang dada sudah terpasang.

3. Flail chest dan kontusio paru

Penanganan awal pasien dengan flail chest meliputi ventilasi yang


adekuat, administrasi oksigen, dan resusitasi cairan. Pilar terapi flail chest
termasuk fisioterapi paru secara agresif, analgesia yang efektif, penggunaan
selektif intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik, dan observasi ketat untuk
pernapasan. Pada kontusio paru ketika terdapat hanya satu paru-paru yang
cedera parah sehingga menyebabkan hipoksemia berat, harus dipikirkan
tindakan intubasi dan ventilasi masing-masing paru secara terpisah dengan
menggunakan dual lumen endotrakeal tube dan dua ventilator.

!27
CIRCULATION

1. Hemotoraks masif

Penanganan awal hemotoraks masif adalah dengan volume darah secara


cepat dan dekompresi rongga dada. Chest tube ukuran 36 atau 40 F
dimasukkan, setinggi puting dada, anterior dari garis midaksilaris. Infus
kaliber besar, infus kristaloid, dan darah tipe tertentu dapat diberikan sesegera
mungkin. Darah dari chest tube harus ditempatkan dalam sebuah perangkat
yang cocok untuk autotransfusi. Jika pada evakuasi cairan ditemukan 1500 ml,
torakotomi hampir selalu diperlukan.

2. Tamponade kordis

Jika intervensi bedah tidak mungkin dilakukan, perikardiosentesis dapat


dijadikan sebagai tindakan diagnostik maupun terapeutik, bukan terapi definitif
untuk tamponade jantung.

Pada secondary survey, kenali dan tangani trauma-trauma sebagai berikut:

1. Pneumotoraks sederhana

Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest


tube. Tempat insersi chest tube yang dipilih untuk penyisipan adalah spatium
interkostal keempat atau kelima di linea midaxillaris. Jika chest tube
diposisikan posterior dan diarahkan ke arah apeks, secara efektif dapat
menghilangkan udara dan cairan. Posisi chest tube yang lateral lebih disukai
tidak hanya karena lebih efisien, tetapi juga karena tidak menghasilkan cacat
kosmetik yang mudah terlihat, seperti pada sisi anterior di spatium interkostal
kedua di linea midklavikula. Dengan trauma multisistem, ukuran chest tube
yang memadai (36-F 40-F pada orang dewasa dan 16-F 32-F pada anak-anak)
harus digunakan, terutama dalam kasus-kasus trauma major, dimana
hemotoraks mungkin terjadi.

!28
2. Hemotoraks

Penanganan hemotoraks terdiri dari memulihkan volume darah yang


bersirkulasi, mengontrol jalan napas, dan mengevakuasi darah yang sudah
terakumulasi. Tabung torakostomi dapat digunakan untuk memantau konstan
kehilangan darah, dan pemeriksaan foto dada serial dapat digunakan untuk
memantau reekspansi paru. Sebuah selang berdiameter besar (36-F 40-F)
harus dimasukkan dalam spatium interkosta kelima garis aksilaris anterior dan
dihubungkan ke drainase segel dan hisap bawah air (20-30 mL H2O).

3. Kontusio paru

Monitor oksimetri, analisis gas darah, observasi EKG dan peralatan


ventilator pernafasan penting untuk penanganan yang optimal.

4. Trauma trakeobronkial

Jika cedera trakeobronkial dicurigai, konsultasi ke bagian bedah


dianjurkan. Intubasi sementara dari mainstem bronkus berlawanan mungkin
diperlukan untuk memberikan oksigenasi yang memadai. Namun, intubasi
pasien dengan cedera tracheobronkial sering sulit karena distorsi anatomi dari
hematoma paratrakeal, cedera orofaringeal, dan / atau cedera trakeobronkial
itu sendiri.

5. Trauma tumpul jantung

Pasien dengan cedera tumpul jantung dengan kelainan konduksi (EKG


abnormal) beresiko untuk disritmia secara tiba-tiba dan harus dipantau dalam
24 jam pertama. Setelah interval ini, risiko munculnya disritmia biasanya
menurun. Pasien tanpa kelainan EKG tidak memerlukan pemantauan lebih
lanjut.

6. Ruptur Aorta (Traumatic Aortic Disruption)

Penanganannya adalah antara perbaikan langsung dari bagian yang luka

dan menggantinya dengan graft interposisi. Repair endovaskular merupakan

!29
pendekatan alternatif yang dapat diterima.

7. Trauma diafragma

Penanganan pilihannya adalah operasi. Evaluasi diafragma dengan


laparoskopi untuk eksklusi cedera pada semua pasien yang asimtomatik dan

hemodinamik stabil direkomendasikan.18

8. Trauma tumpul esofagus

Penanganan terdiri dari drainase luas kavum pleura dan mediastinum


dengan perbaikan langsung dari luka dengan torakotomi, jika memungkinkan.

9. Asfiksia Traumatik

Kondisi ini biasanya jinak dan self-limiting jika benda berat telah

dipindahkan sebelum komplikasi hipoksia seperti anoxic ensefalopati terjadi.2

Jika pemeriksaan pasien dan x-ray dada menunjukan hasil yang meragukan,
pemeriksaan CT scan dada harus dilakukan.

10. Emfisema subkutis

Jika ventilasi tekanan positif diperlukan, tabung torakostomi harus


dipertimbangkan pada sisi emfisema subkutan sebagai antisipasi dari

munculnya tension pneumothorax.1

11. Fraktur sternum, iga, dan klavikula

Plester iga, pengikat iga dan bidai eksternal merupakan kontraindikasi,


karena walaupun dapat mengatasi nyeri dapat menyebabkan hipoventilasi
dengan atelektasis dan pneumonia. Yang penting adalah menghilangkan rasa
nyeri agar penderita dapat bernafas dengan baik. blok interkostal, anestesi
epidural dan analgesi sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi nyeri.

!30
BAB IV

PEMBAHASAN KASUS

Pasien Tn. K 40 tahun datang ke IGD RSUD Banten setelah 6 jam


sebelumnya tertimpa pohon. Pasien datang dengan keluhan utama sesak nafas
dan nyeri dada. BAK pasien juga dikeluhkan karena berwarna merah. Primary
survey airway clear, breathing 28 kali/menit, ritme reguler, circulation nadi 76
kali/menit, ritme reguler, tekanan darah 90/70 mmHg. Pada pemeriksaan
toraks ditemukan tidak adanya jejas, nyeri pada hemitoraks dekstra, suara
vesikular hemitoraks dekstra menurun, taktil fremitus hemitoraks dekstra
menurun, disertai rasa nyeri pada penekanan. Pada pemeriksaan abdomen
didapatkan adanya nyeri tekan pada area suprapubik. Kemudian dilakukan
pemeriksaan laboratorium, foto dada, usg abdomen dan cystogram.
Berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan adanya hematopneumotoraks
dekstra + kontusio pulmo dekstra + emfisema subkutis a/r supraklavikula
dekstra ec fraktur kosta multipel, dan hematuria ec. suspek kontusio buli.
Pada primary survey tidak ditemukan gangguan jalan nafas, tension
pneumotoraks, pneumotoraks terbuka, hemotoraks masif maupun tamponade
kordis. Dilakukan pemasangan WSD dengan menggunakan chest tube no 24,
didapatkan cairan berwarna merah 230cc. Untuk pasien dengan trauma
toraks, ukuran chest tube tidak berpengaruh terhadap hasil klinis pasien. Tidak
ada perbedaan dalam efikasi drainase, rasio komplikasi termasuk hemotoraks
yang masih ada, tambahan selang untuk drainase atau prosedur invasif.
Ukuran selang tidak mempengaruhi rasa nyeri yang dirasakan pasien di lokasi

masuknya selang.21

Hemotoraks disini bukan hemotoraks masif karena menurut definisi,


hemotoraks dikatakan masif bila drainase darah lebih dari 1500 mL darah dari

rongga pleura dan merupakan indikasi untuk urgent torakotomi.43 Setelah

dilakukan follow up selama kurang lebih 2 minggu, drainase darah hanya


berkisar 100-200 mL dalam 24 jam. Pada pasien juga dilakukan pemeriksaan
cystogram karena pasien mengeluhkan pipis berwarna merah.

!31
Hasil cystogram dikatakan tidak tampak ruptur vesika urinaria. Pipis berwarna
bisa juga disebabkan oleh adanya kontusio pada buli. Dilakukan spooling
menggunakan NaCl 0,9%. Ketika dilakukan follow up selama 2 minggu, pipis
pasien pada tanggal 8 Desember 2016 sudah menjadi warna kuning bening.
Ditemukan juga fraktur kosta multipel pada pasien. Beberapa penelitian
menunjukan bahwa pasien dengan fraktur kosta multipel mempunyai penurunan
kualitas hidup 3 tahun setelah trauma awal. Hanya 71% kembali lagi ke rutinitas

pekerjaan mereka.28 Pada hasil pemeriksaan foto toraks pasien tanggal 23

November 2016 juga ditemukan emfisema subkutis pada bagian atas klavikula
sebelah kanan. Terdapatnya emfisema subkutis di daerah

32!
supraklavikula dan leher anterior biasanya mengindikasikan sebuah
pneumomediastinum. Pada tanggal 25 November 2016 dilakukan foto toraks
post pemasangan WSD dan ditemukan emfisema subkutis di lokasi tempat
masuk selang WSD yaitu di sela iga 6 linea aksilaris anterior dekstra.
Penemuan klinis ini berhubungan dengan posisi selang yang bergeser, selang

yang kurang terfiksasi dan torakostomi yang terblok.23 Manajemennya dapat

berupa reposisi selang atau dilakukan pemasangan ulang, jika kondisi


memungkinkan. Pada pasien ini ketika difoto dada ulang pada tanggal 1
Desember 2016, sudah tidak terlihat lagi emfisema subkutis pada lokasi
tempat masuk selang dada.
Fraktur kosta dan kontusio pulmo merupakan penyebab umum insufisiensi
pernafasan akut pada pasien trauma toraks. Pada pemeriksaan radiologi
kontusio paru akan muncul infiltrat yang terlihqat jelas dalam waktu 4-6 jam
setelah trauma. Lesi ini akan terlihat jelas pada pemeriksaan CT Scan

toraks.42 Flail segmen yang disebabkan fraktur kosta multipel merupakan

penyebab utama meningkatnya morbiditas dan mortalitas.20 Malunion dari


fraktur kosta lama dapat menyebabkan rasa yang sangat sakit tetapi dapat

dihindari dengan pemasangan fiksasi kosta.6 Penggunaan batang titanium,


plate dan screw telah meningkat penggunaannya dalam fiksasi fraktur kosta.
Fiksasi kosta diindikasikan pada flail chest, lesi paru yang bersamaan,
gangguan serius pada bentuk dada serta nyeri kronik yang menetap yang

mempengaruhi kualitas hidup.40

!33
BAB V

KESIMPULAN

Prinsip penanganan awal pasien dengan trauma toraks terdiri dari primary
survey, resusitasi tanda vital, secondary survey yang detail dan terapi definitif.
Tujuan utamanya adalah mencegah dan memperbaiki hipoksia. Kebanyakan
trauma dada yang mengancam jiwa dapat diatasi dengan mengontrol jalan
nafas atau melakukan pemasangan chest tube atau jarum.

!34
Daftar pustaka

1. American College of Surgeons Committee on Trauma . 9th ed. American


College of Surgeons; Chicago, IL: 2012. ATLS Advanced Trauma Life Support
Program for Doctors American College of Surgeons.

2. Balci AE, et al: Blunt thoracic trauma in children: Review of 137 cases. Eur J
Cardiothorac Surg 2004; 26:387.

3. Battle C, Hutchings H, Lovett S, et al. Predicting outcomes after blunt chest


wall trauma: development and external validation of a new prognostic model.
Crit Care (London, England) 2014; 18:R98.

4. Beck CS: Acute and chronic compression of the heart. Am Heart J 1937;
14:515.

5. Bergeron E, et al: Elderly trauma patients with rib fractures are at greater
risk of death and pneumonia. J Trauma 2003; 54:478.

6. Bille A, Okiror L, Karenovics W, et al, Experience with titanium devices for


rib fixation and coverage of chest wall defects, Interact. Cardiovasc. Thorac.
Surg. 15 (2012) 588595.

7. Byard RW, Wick R, Simpson E, Gilbert JD: The pathological features and
circumstances of death of lethal crush/traumatic asphyxia in adultsa 25-year
study. Forensic Sci Int 2006; 159:200.

8. Charalampidis C, Youroukou A, Lazaridis G, et al. Pleural Space Anatomy. J


Thorac Dis 2015;7(S1):S27-S32.

9. Chen SW, Huang YK, Liao CH, Wang SY. Right massive haemothorax as the
presentation of blunt cardiac rupture: the pitfall of coexisting pericardial
laceration. Interact Cardiovasc Thorac Surg 2014; 18:245246.

!35
10. Cohn SM, Dubose JJ: Pulmonary contusion: An update on recent advances
in clinical management. World J Surg 2011; 34:1959-1970.

11. Couret D, de Bourmont S, Prat N, et al. A pig model for blunt chest
trauma: no pulmonary edema in the early phase. Am J Emerg Med 2013;
31:1220 1225.

12. Conroy C, et al: Motor vehicle-related cardiac and aortic injuries differ from
other thoracic injuries. J Trauma 2007; 62:1462.

13. David A Fullerton, Frederick L.Grover (2005) , Pathophysiology and initial


management of Thorac Injury In Thoracic Surgery, 1523-1534,

14. Diaz-Miron JL, Dillon PA, Saini A, et al. Left main coronary artery dissection
in pediatric sport-related chest trauma. J Emerg Med 2014; 47:150154. 7.

15. Eggiimann P et al (2001), Infection control In The ICU. Chest 120:


2059-82.

16. Eren S, Kantarci M, Okur A: Imaging of diaphragmatic rupture after


trauma. Clin Radiol 2006; 61:467.

17. Flagel BT, Luchette FA, Reed RL, et al, Half-a-dozen ribs: the breakpoint
for mortality, Surgery 138 (4) (2005) 717725.

18. Friese RS, Coln EC, Gentilello LM: Laparoscopy is sufficient to exclude
occult diaphragm injury after penetrating abdominal trauma. J Trauma 2005;
58:789.

19. Hanna WC, Ferri LE: Acute traumatic diaphragmatic injury. Thoracic Surg
Clin 2009; 19:485-489.

20. Ibrahim Al-Koudmani, Bassam Darwish, Kamal Al-Kateb, et al, Chest


trauma experience over eleven-year period at Al- Mouwasat University
Teaching HospitalDamascus: a retrospective review of 888 cases, J.
Cardiothorac. Surg. 7 (2012) 35.

!36
21. Inaba K, et al: Does size matter? A prospective analysis of 28-32 versus
36-40 French chest tube size in trauma. J Trauma Acute Care Surg 2012; 422-
7.

22. Jean Deslauriers (2005), Empyema And Bronchopleural Fistel. In Thoracic


Surgery. 1017-1025.

23. Jones PM, Hewer RD, Wolfenden HD, Thomas PS. Subcutaneous

emphysema associated with chest tube drainage. Respirology 2001;6:87-9.

24. Khoriati AA, Rajakulasingam R, Shah R. Sternal fractures and their


management. J Emerg Trauma Shock 2013; 6:113116.

25. Kirkpatrick AW, Ball CG, DAmours SK: Acute resuscitation of the unstable
adult trauma patient: Bedside diagnosis and therapy. Can J Surg 2008; 51:57.

26. Kukuh B. Rachmad (2002). Penanganan Trauma Toraks. Pendidikan


berkelanjutan untuk Ahli Bedah, Jakarta, 10-84

27. Ma OJ, et al: Prospective analysis of a rapid trauma ultrasound


examination performed by emergency physicians. J Trauma 1995; 38:879.

28. Marasco S, Lee G, Summerhayes R, Fitzgerald M, Bailey M (2014) Quality


of life after major trauma with multiple rib fractures. Injury 46 (1): 61-65.

29. Moore KL, Agur AM, Dalley AF. Essential Clinical Anatomy 4th Edition.

30. Morgagni JB: Epistola 54:140, 1761.

31. Niesler U, Palmer A, Radermacher P, Huber-Lang MS. Role of alveolar


macrophages in the inflammatory response after trauma. Shock (Augusta, GA)
2014; 42:310.

32. Ogawa F, Naito M, Iyoda A, Satoh Y. Report of a rare case: occult


hemothorax due to blunt trauma without obvious injury to other organs. J
Cardiothorac Surg 2013; 8:205.

!37
33. Pape HC, Remmers D, Rice J, Ebisch M, Krettek C, Tscherne H. Appraisal of
early evaluation of blunt chest trauma: development of a standardized scoring
system for initial clinical decision making. J Trauma. 2000;49(3):496-504.

34. Parmley LF, Mattingly TW, Manion WC, Jahnke EJ Jr: Nonpenetrating
traumatic injury of the aorta. Circulation 1958; 17:1086.

35. Reber PU, et al: Missed diaphragmatic injuries and their long term
sequelae. J Trauma 1998; 44:183.

36. Schulman CI, et al: Incidence and crash mechanisms of aortic injury
during the past decade. J Trauma 2007; 62:664.

37. Sjamsoehidajat R (2003), Trauma Toraks, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah ,
Pusat Penerbitan Buku Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Hal: 403- 518.

38. Shorr RM, Crittenden M, Indeck M, Hartunian SL, Rodriguez A. Blunt

thoracic trauma: analysis of 515 patients. Ann Surg 1987;206:200205.

39. Shweiki E, Klena J, Wood GC, Indeck M: Assessing the true risk of
abdominal solid organ injury in hospitalized rib fracture patients. J Trauma
2001; 48:684.

40. Stephenson JT, Song K, Avansino JR, et al, Novel titanium constructs for
chest wall reconstruction in children, J. Pediatr. Surg. 46 (2011) 10051010.

41. Traub M, et al: The use of chest computed tomography versus chest x-ray
in patients with major blunt trauma. Injury 2007; 38:43.

42. Whizar-Lugo V, Sauceda-Gastelum A, Hernndez-Armas A, Garzn-Garnica


F, Granados-Gmez M (2015) Chest Trauma: An Overview. J Anesth Crit Care
Open Access 3(1): 00082. DOI: 10.15406/jaccoa.2015.03.00082

!38
43. Working Group, Ad Hoc Subcommittee on Outcomes, American College of
Surgeons Committee on Trauma: Practice management guidelines for
emergency department thoracotomy. J Am Coll Surg 2001; 193:303.

44. Ziegler DW, Agarwal NN. The morbidity and mortality of rib fractures. J
Trauma 1994;37:975979.

!39

Anda mungkin juga menyukai