Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
KETOASIDOSIS DIABETIK
Pembimbing:
Disusun Oleh:
Nurlaila, S.Ked
030.12.197
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas kesehatan dan
kemudahan yang dilimpahkan karena berkatNya penulis dapat menyelesaikan tugas case
report dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Kota Bekasi yang berjudul
Ketoasidosis Diabetik.
Tidak sedikit hambatan yang dihadapi penulis dalam penyusunan case report ini, namun
berkat bantuan berbagai pihak karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini
penulis mengucapkan banyak terima kasih sebesar-besarnya kepada kepada berbagai pihak
yang telah membantu dalam penyusunan penyelesaian kasus ini, terutama kepada:
1. dr. Femiko Morauli Natalya Sitohang Sp.PD selaku pembimbing atas masukan dan
pengarahannya selama penulis belajar dalam kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam.
2. Dokter dan staf SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Bekasi.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Bekasi atas bantuan
dan dukungannya.
Saya menyadari dalam pembuatan case report ini masih banyak terdapat
kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan case report ini
sangat saya harapkan dari para pembaca.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam bidang ilmu
penyakit dalam.
Nurlaila, S.Ked
LEMBAR PENGESAHAN
I. IDENTITAS PASIEN
Alamat : :Jl. H. Ilyas No. 29 RT 02/12 kel. Jaka Mulya, kec. Bekasiekasi
Selatan, kota Bekasi Suku: Jawa
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara aloanamnesis pada tanggal 28 Juni 2016 pukul 00.30 WIB di Ruang Teratai
RSUD Kora Bekasi.
KELUHAN UTAMA
Penurunan kesadaran sejak pagi SMRS
KELUHAN TAMBAHAN
Mual, Muntah, Demam, Menggigil, Nyeri perut, Lemah, Batuk
.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien menderita kencing manis yang tidak terkontrol sejak 3 tahun yang lalu dan memiliki
riwayat penyakit TB setahun yang lalu. Riwayat penyakit jantung, penyakit ginjal, asam urat,
tumor, trauma, infeksi berat, asma, dan alergi disangkal pasien.
RIWAYAT KEBIASAAN
Pasien tidak mengontrol makanannya dan sering mengkonsumsi makanan yang manis-manis.
mengaku tidak pernah berolahraga, memiliki kebiasaan merokok 2 bungkus, tidak memiliki
kebiasaan minum alkohol.
RIWAYAT PENGOBATAN
Pasien memiliki riwayat terapi Obat Anti TB (OAT) 1 tahun yang lalu selama 7 bulan.
Pasien rutin mengkonsumsi obat Metformin sebelumnya, namun saat ini OS berhenti minum
obat karena habis.
GCS : E3 M4 V2 =9
- Kesadaran : Somnolen
- Kesan sakit : Tampak sakit berat
Tanda-tanda Vital :
- TD : 100/60 mmHg
- N : 144 x/menit
- RR : 36 x/menit
- S : 36,7oC
- BB : 48 kg
- TB : 163 cm
- BMI: 18,06 kg/m2 (normoweight)
Status Generalis :
Thorax:
Inspeksi
Tidak ada efluoresensi yang bermakna, warna kulit sawo matang, pergerakan dinding dada
simetris dan tidak ada yang tertinggal, sela iga dalam batas normal, Ictus Cordis tidak tampak,
tidak ada dilatasi vena. Buah dada tampak simetris, warna kulit sawo matang, tidak ada
benjolan/massa, papilla mammae tidak ada retraksi dan tidak mengeluarkan sekret.
Palpasi:
Pergerakan dinding dada kanan-kiri Simetris, tidak ada krepitasi, tidak nyeri, Vocal fremitus
simetris pada dinding dada kanan-kiri dan punggung, Ictus Cordis didapatkan setinggi ICS 5
pada garis midclavicularis kiri, Tidak teraba thrill pada 4 area katup jantung, Besar sudut
angulus costae < 90 derajat.
Perkusi:
Suara Sonor pada hemi thorax kanan-kiri pasien, Batas paru dan hepar setinggi ICS 5 linea
midclavicularis kanan dengan suara redup, dan setelah inspirasi ditemukan peranjakan +- 2 jari
pemeriksa. Batas Paru dan lambung setinggi ICS 7 linea aksilaris anterior kiri dengan suara
timpani
Batas jantung kanan setinggi ICS 3 hingga ICS 5 garis sternalis kanan dengan suara Redup, Batas
jantung kiri pada ICS 5 -1cm medial garis midclavicula dengan suara redup, Batas atas jantung
setinggi ICS 3 garis parasternalis kiri
Pada isthmus Kronig didapatkan suara Sonor pada sisi kanan-kiri pasien. Pada perkusi
Punggung didapatkan hemithorak kanan-kiri sonor
Auskultasi:
Pada Paru Didapatkan suara nafas trakeal dengan perbandingan inspirasi dan ekspirasi 1:3,
suara nafas bronchial pada dada dan punggung 1:2, suara nafas sub bronchial pada dada dan
punggung 1:1 dan suara nafas vesicular pada dada, samping dan punggung 3:1. Rhonki (+/+),
wheezing (-/-) dan stridor tidak ada.
Pada Jantung didapatkan irama teratur, BJ1 & BJ2 normal, dengan intensitas BJ1 lebih kuat di
mitral dan tricuspid, sedangakan BJ2 kuat di Aorta dan Pulmonal, murmur (-),
Abdomen:
Inspeksi
Bentuk abdomen normal, mendatar, dan simetris, tidak buncit, tidak skafoid, tidak ada sagging
of the flanks. Warna kulit sawo matang, tidak pucat, tidak kemerahan, tidak ikterik, tidak
tampak efloresensi yang bermakna, tidak tampak spider navy, tidak tampak roseola spot, kulit
tidak keriput, tidak ada dilatasi vena, umbilicus normal, tidak menonjol, dan tidak ada smilling
umbilicus. Gerak dinding perut simetris, tidak ada yang tertinggal, tipe pernafasan abdomino-
torakal
Auskultasi
Bising usus 2x/menit, tidak terdengar Arterial bruit, tidak terdengar venous Hum, tidak
terdengar friction rub
Palpasi
Dinding abdomen supel, tidak teraba massa, tidak ada defense muscular, turgor kulit menurun,
nyeri tekan pada hipokondriaka kanan, epigastrium dan hipokondriaka kiri, tidak ada murphy
sign, tidak ada hepatomegaly, Lien tidak teraba, undulasi (-) tidak ada cairan, Ballotement (-)
tidak teraba massa bulat.
Perkusi
Pada ke 4 kuadran didapatkan suara Timpani, batas bawah hepar didapatkan setinggi ICS 7
garis midclavikularis kanan dengan suara pekak, batas atas hepar didapatkan setinggi ICS 5
linea midclavikularis kanan dengan suara redup, tidak ada shifting dullness
Ekstremitas:
Inspeksi
Warna kulit sawo matang, tampak simetris, tidak ada deformitas, tidak tampak edema.
Palpasi
Akral teraba Hangat pada keempat ekstremitas, tidak ada oedem baik pitting maupun non
pitting pada keempat ekstremitas
PEMERIKSAAN PENUNJANG
V. DIAGNOSA KERJA
1. Ketoasidosis Diabetik
2. Sepsis
3. Nefropati diabetik
FOLLOW UP HARIAN
Laboratorium
(28/7/16):
pH 7.150
Osmolalitas=346mOsm
Anion gap=38mmol/L
pCO2 19.3 mmHg
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Studi epidemiologi baru-baru ini menunjukkan bahwa rawat inap untuk KAD di Negara maju
meningkat. Pada dekade 1996-2006, terjadi peningkatan 35% dalam jumlah kasus, dengan total
136.510 kasus dengan diagnosis utama KAD pada tahun 2006-tingkat kenaikan mungkin lebih
cepat dari peningkatan keseluruhan dalam diagnosis diabetes. Kebanyakan pasien dengan KAD
yang berusia antara 18 dan 44 tahun (56%) dan 45 dan 65 tahun (24%), dengan hanya 18%
dari pasien <20 tahun. Dua pertiga pasien KAD yang dianggap memiliki diabetes tipe 1 dan 34%
memiliki diabetes tipe 2; 50% adalah perempuan, dan 45% adalah kulit putih. KAD adalah
penyebab kematian paling umum pada anak-anak dan remaja dengan diabetes tipe 1 dan
menyumbang separuh dari semua kematian pada pasien diabetes lebih muda dari 24 tahun.
Pada pasien dewasa dengan KAD, angka kematian secara keseluruhan adalah <1% di negara
maju dengan sarana yang lengkap, Namun, tingkat kematian> 5% telah dilaporkan pada orang
tua dan pada pasien dengan penyakit yang mengancam jiwa bersamaan pada sarana yang
sederhana. Kematian dalam kondisi ini jarang disebabkan oleh komplikasi metabolik
hiperglikemia atau ketoasidosis tetapi berhubungan dengan penyakit pencetus yang mendasari.
Prognosis baik kondisi secara substansial memburuk pada pasien usia lanjut, hipotensi, sepsis,
syok yang berat, infark miokard akut yang luas.2,3
Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, dan diperkirakan sebagai pencetus
lebih dari 50% kasus KAD . Infeksi yang diketahui paling sering mencetuskan KAD adalah
infeksi saluran kemih, sepsis dan pneumonia. Pada infeksi akan terjadi peningkatan sekresi
kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang bermakna.
Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat mempengaruhi oksigenasi dan
mencetuskan gagal napas, sehingga harus selalu diperhatikan sebagai keadaan yang serius dan
akan menurunkan kompensasi respiratorik dari asidosis metabolik. Faktor lainnya adalah
cerebrovascular accident, alcohol abuse, pankreatitis, infark jantung, hipertiroidisme,
trauma, pheochromocytoma, obat , DM tipe 1 yang baru diketahui dan diskontinuitas
(kepatuhan) atau terapi insulin inadekuat.
2.4 Patofisiologi
Ketoasidosis diabetik merupakan suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut
atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, dan
growth hormon) meningkatkan gluconeogenesis (pembentukan glukosa baru) oleh hepar dan
glikogenolisis (pemecahan kompleks glikogen menjadi glukosa sederhana) oleh jaringan
adipose dan otot skeletal; keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati dan ginjal
meningkat dan penurunan utilisasi glukosa oleh jaringan perifer dengan hasil akhir
hiperglikemia, meningkatkan lipolisis dan produksi benda keton.
Defisiensi insulin baik relative maupun absolut akan meningkatkan aktivitas enzim
glukoneogenik (fosfoenol piruvat karboksilase/PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat
karboksilase. perubahan ini menggeser perubahan piruvat menuju sintesis glukosa. Selain itu
defisiensi insulin juga mengurangi kadar transporter GLUT4, yang mengganggu penyerapan
glukosa ke dalam otot skeletal dan jaringan adiposa juga menyebabkan berkurangnya
metabolisme glukosa intraseluler.1,5
Tingginya ketoasidosis diabetik substrat nonkarbohidrat: alanine, asam laktat, gliserol dan
glutamin pada ginjal mengakibatkan peningkatan gluconeogenesis. Peningkatan produksi
glukosa hepar menunjukkan patogenesis utama yang bertanggung jawab terhadap keadaan
hiperglikemia pada pasien dengan ketoasidosis diabetik.
Ginjal tidak dapat menahan keadaan hiperglikemi ini (ambang batas untuk gula darah
adalah 180mg% di dalam tubuh) sehingga, pada keadaan hiperglikemi maka ginjal tidak dapat
menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah. Jadi saat transport maksimal
glukosa meningkat di ginjal, glukosa akan diekskresi kedalam urine. Ekskresi ini akan disertai
dengan pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotic). Akibat hal ini,
penderita akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan sering merasa haus
(polidipsi), hipovolemia dan penurunan glomerular filtration rate. Keadaan ini akan
memperburuk hiperglikemia yang sudah ada sebelumnya.
Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton (Asam asetoasetat dan beta-
hidroksibutirat) yang prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi
glukagon menghambat proses glikolisis dan menghambat pembentukan malonyl Co A. Malonyl
CoA adalah suatu penghambat camitine palmitoyl-transferase I dan camitine palmitoyl-
transferase II (CPT 1 dan 2) yang bekerja pada transfer asam lemak bebas ke dalam
mitokondria tempat dimana asam lemak teroksidasi. Dengan demikian peningkatan glukagon
akan merangsang oksidasi beta asam lemak dan ketogenesis.
Ketika akumulasi keton melebihi kapasitas tubuh untuk menggunakan keton, terjadi
ketonemia. Pada pH fisiologis, badan keton akan dinetralkan oleh bikarbonat, namun ketika
bikarbonat habis, asidosis metabolik terjadi kemudian. Peningkatan produksi asam laktat
juga memberikan kontribusi untuk terjadi asidosis.
Sistem pernapasan mengkompensasi asidosis dengan meningkatkan kedalaman dan
kecepatan tingkat pernapasan (pernapasan Kussmaul). Saat ekspirasi dari paru keton
aseton akan menghasilkan bau nafas buah yang merupakan karakteristik dari pasien
ketotik.
Keton, khususnya, beta-hidroksibutirat, menginduksi mual dan muntah yang akibatnya
memperburuk keluarnya cairan dan elektrolit yang sudah ada di ketoasidosis diabetik.
Efek gabungan dari hiperosmolaritas serum, dehidrasi seluler, dan hasil asidosis
peningkatan osmolaritas dalam sel otak dapat menganggu fungsi neuron yang secara klinis
bermanifestasi sebagai perubahan dalam tingkat kesadaran.6,7
Gejala rasa haus (yaitu, polidipsia) dan buang air kecil yang meningkat (yaitu, poliuria)
adalah gejala awal yang paling umum dari ketoasidosis diabetikum (KAD) sebagai gejala
dari hiperglikemia. Malaise, kelemahan umum, kelelahan, mual muntah, penurunan nafsu
makan juga dapat hadir sebagai gejala KAD. Riwayat penurunan berat badan yang cepat
adalah gejala pada pasien yang baru didiagnosis dengan diabetes tipe 1.
Di antara gejala KAD terkait dengan kemungkinan infeksi adalah demam, disuria, batuk,
malaise, menggigil, nyeri dada, sesak napas, dan arthralgia. nyeri dada akut atau palpitasi
dapat terjadi dalam hubungan dengan infark miokard. Infark tidak jarang pada pasien
dengan diabetes dan harus selalu dicurigai pada pasien usia lanjut.
Tanda-tanda asidosis mungkin termasuk pernapasan dalam dan cepat, nyeri perut, dan
gangguan kesadaran. Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai compos mentis,
delirium, sampai koma. Meskipun tanda-tanda ini tidak biasa dalam semua kasus KAD,
kehadiran mereka menandakan bentuk parah dari KAD.8
Tingkat glukosa darah untuk pasien dengan KAD biasanya melebihi 250 mg / dL. klinisi
dapat melakukan tes glukosa darah fingerstick sambil menunggu tingkat glukosa plasma.
2. Hba1c
Serum atau kapiler beta-hidroksibutirat dapat digunakan untuk mengikuti respon terhadap
pengobatan pada pasien dengan KAD. Tingkat lebih besar dari 0,5 mmol / L dianggap abnormal,
dan tingkat 3 mmol / L berkorelasi dengan kebutuhan untuk perawatan untuk KAD.
Pada pasien dengan KAD, Analisa gas darah (AGD) sering menunjukkan manifestasi khas
asidosis metabolik, bikarbonat rendah, dan pH rendah (kurang dari 7,3).
5. Anion Gap
Pada pasien dengan ketoasidosis diabetes, anion gap yang ditinggikan Anion gap = (Na + K)
- (Cl + [HCO3-]) lebih besar dari 10 mEq / L dalam kasus-kasus ringan dan lebih besar dari 12
mEq / L pada kasus sedang dan berat).
jumlah WBC tinggi (lebih dari 15 X 109 / L) atau ditandai pergeseran kiri mungkin
menunjukkan infeksi yang mendasarinya.
BUN dan kreatinin sering meningkat pada pasien dengan ketoasidosis diabetikum karena
terjadi dehidrasi dan penurunan perfusi ginjal
8. Osmolalitas serum
Osmolalitas serum biasanya meningkat (lebih dari 320 mOsm / L) pada pasien dengan
ketoasidosis diabetikum. Jika osmolalitas serum tidak dapat diukur secara langsung, dapat
dihitung dengan rumus berikut: osmolalitas serum=(2 [serum Na + serum K] + glukosa plasma
[mg/dL]/18 + BUN/2.8)
Pasien dengan ketoasidosis diabetes yang dalam keadaan koma biasanya memiliki
osmolalitas lebih besar dari 330 mOsm / kg H2 O. Jika osmolalitas kurang dari ini pada pasien
yang koma, mencari penyebab lain dari koma.
9. Amilase serum/Lipase
Hyperamylasemia dapat dilihat pada pasien dengan ketoasidosis diabetes, bahkan tanpa
adanya pankreatitis.
Creatine kinase dan troponin dapat meningkat pada factor pencetus infark miokard dengan
KAD
Tingkat natrium serum biasanya rendah pada pasien KAD. Efek osmotik hiperglikemia
bergerak air ekstravaskuler ke ruang intravaskular. Untuk setiap 100 mg / dL glukosa lebih dari
100 mg / dL, tingkat natrium serum diturunkan oleh sekitar 1,6 mEq / L. Ketika kadar glukosa
turun, tingkat natrium serum meningkat dengan jumlah yang sesuai. Selain itu, tingkat klorida
serum dan kadar fosfor selalu rendah pada pasien KAD.
Urinalisis
Untuk pasien dengan KAD tes dipstick urine sangat positif untuk glukosa dan keton
Rontgen thorax
Rontgen thorax harus digunakan untuk menyingkirkan infeksi paru seperti pneumonia.
MRI
MRI sangat membantu dalam mendeteksi edema serebral awal; itu harus dilakukan hanya jika
perubahan kesadaran hadir.
CT Scanning
CT scan kepala anak memiliki ambang batas rendah dengan ketoasidosis diabetes yang
telah mengubah status mental, karena hal ini mungkin disebabkan oleh edema serebral.
Banyak perubahan dapat dilihat terlambat pada pencitraan kepala dan tidak harus menunda
pemberian saline hipertonik atau manitol dalam kasus-kasus pediatrik di mana edema serebral
dicurigai.
Elektrokardiografi
KAD dapat dipicu oleh peristiwa jantung, dan gangguan fisiologis KAD dapat
menyebabkan komplikasi jantung. EKG harus dilakukan setiap 6 jam selama hari pertama,
kecuali pasien dipantau. EKG dapat mengungkapkan tanda-tanda infark miokard akut pada
pasien dengan diabetes, terutama pada mereka dengan neuropati otonom.
EKG juga merupakan cara yang cepat untuk menilai hipokalemia signifikan atau
hiperkalemia. perubahan gelombang T dapat menghasilkan tanda peringatan pertama dari
tingkat kalium serum terganggu. gelombang T rendah dan jelas gelombang U selalu
menandakan hipokalemia, sementara memuncak gelombang T diamati di hiperkalemia.
Telemetri
2.8 Diagnosis
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien ketoasidosis diabetik terdiri dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan patensi
jalan napas, status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-
langkah ini harus dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera
dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.
Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa hari,
perubahan metabolik yang khas untuk ketoasidosis diabetik biasanya tampak dalam jangka
waktu pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat tampak atau
berkembang lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi ketoasidosis diabetik tanpa gejala
atau tanda ketoasidosis diabetik sebelumnya.
Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia,
penurunan berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, kulit dan membran mukosa
kering, lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya koma. Pemeriksaan fisik termasuk
lidah kering, turgor kulit yang menurun, respirasi Kussmaul, nafas bau aseton,
takikardia, hipotensi, takipnea, demam (jika infeksi hadir) , perubahan status mental,
syok, dan koma.
Lebih dari 25% pasien ketoasidosis diabetik menjadi muntah-muntah yang tampak
seperti kopi.
2.10 Penatalaksanaan
Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan. Terapi insulin hanya efektif
jika cairan diberikan pada tahap awal terapi dan hanya dengan terapi cairan saja akan
membuat kadar gula darah menjadi lebih rendah. Studi menunjukkan bahwa selama empat
jam pertama, lebih dari 80% penurunan kadar gula darah disebabkan oleh rehidrasi.
Oleh karena itu, hal penting pertama yang harus dipahami adalah penentuan defisit cairan
yang terjadi. Beratnya kekurangan cairan yang terjadi dipengaruhi oleh durasi
hiperglikemia yang terjadi, fungsi ginjal, dan intake cairan penderita.
Hal ini bisa diperkirakan dengan pemeriksaan klinis atau dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
Rumus lain yang dapat dipakai untuk menentukan derajat dehidrasi adalah dengan
menghitung osmolalitas serum total dan corrected serum sodium concentration.
Serum sodium concentration dapat dikoreksi dengan menambahkan 1,6 mEq/l tiap kenaikan
100 mg/dl kadar gula darah di atas kadar gula 100 mg/ dl. Nilai corrected serum sodium
concentration >140 dan osmolalitas serum total > 330 mOsm/kg air menunjukkan defisit
cairan yang berat. Penentuan derajat dehidrasi dengan gejala klinis :
Resusitasi cairan hendaknya dilakukan secara agresif. Targetnya adalah penggantian cairan
sebesar
50% dari kekurangan cairan dalam 8 12 jam pertama dan sisanya dalam 12 16 jam
berikutnya.5,9
Menurut perkiraan banyak ahli, total kekurangan cairan pada pasien KAD sebesar 100
ml/kgBB, atau sebesar 5 8 liter. Pada pasien dewasa, terapi cairan awal langsung
diberikan untuk ekspansi volume cairan intravaskular dan ekstravaskular dan menjaga
Cairan fisiologis (NaCl 0,9%) diberikan dengan kecepatan 15 20 ml/kgBB/jam atau lebih
selama jam pertama ( 1 1,5 liter). Sebuah sumber memberikan petunjuk praktis pemberian
cairan sebagai berikut: 1 liter pada jam pertama, 1 liter dalam 2 jam berikutnya, kemudian
setiap 4 jam
sampai pasien terehidrasi. Sumber lain menyarankan 1 1,5 lt pada jam pertama, selanjutnya
250 500 ml/jam pada jam berikutnya. Petunjuk ini haruslah disesuaikan dengan status
hidrasi pasien. Pilihan cairan selanjutnya tergantung dari status hidrasi, kadar elektrolit serum,
dan pengeluaran urine. Pada umumnya, cairan NaCl 0,45% diberikan jika kadar natrium
serum tinggi (> 150 mEq/l), dan diberikan dextrose seperti (dextrose 5%, dextrose 5%
pada NaCl 0,9%, atau dextrose 5% pada NaCl 0,45%) untuk menghindari hipoglikemia dan
mengurangi kemunginan edema serebral akibat penurunan gula darah yang terlalu cepat.
2. Terapi Insulin
Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah dengan kecepatan 50-75
mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih tinggi. Jika gula darah tidak menurun
sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada jam pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika status
hidrasi mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat setiap jam sampai tercapai
penurunan gula darah konstan antara 50-75 mg/dl/jam. Ketika kadar gula darah mencapai 250
mg/dl, turunkan infus insulin menjadi 0,05-0,1 u/kgBB/jam (3-6 u/jam), dan tambahkan infus
dextrose 5-10%.
Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose harus disesuaikan
untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis membaik. Pada kondisi klinik
pemberian insulin intravena tidak dapat diberikan, maka insulin diberikan dengan dosis 0,3 iu
(0,4-0,6 iu)/kgBB yang terbagi menjadi setengah dosis secara intravena dan setengahnya lagi
secara subkutan atau intramuskular, selanjutnya diberikan insulin secara intramuskular atau
subkutan 0,1 iu/kgBB/jam, selanjutnya protokol penatalaksanaannya sama seperti pemberian
drip intravena.
3. Natrium
Penderita dengan ketoasidosis diabetik kadang-kadang mempunyai kadar natrium
serum yang rendah, oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap peningkatan
gula darah 100 mg/dl di atas 100 mg/dl maka kadar natrium diasumsikan lebih tinggi
1,6 mEq/l daripada kadar yang diukur. Hiponatremia memerlukan koreksi jika level
natrium masih rendah. Kadar natrium dapat meningkat setelah dilakukan resusitasi
cairan dengan normal saline oleh karena normal saline memiliki kadar natrium lebih
tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat itu disamping oleh karena air tanpa natrium
akan berpindah ke intraselular sehingga akan meningkatkan kadar natrium. Serum
natrium yang lebih tinggi daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl 0,45% .
4. Kalium
Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai setelah kadar kalium
serum kurang dari 5, sumber lain menyebutkan nilai 5,5 mEq/l. Umumnya, 20-30 mEq
kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap liter cairan infus cukup untuk memelihara
kadar kalium serum dalam range normal 4-5mEq. Kadang-kadang pasien KAD
mengalami hipokalemia yang signfikan. Pada kasus tersebut, penggantian kalium harus
dimulai dengan terapi KCl 40 mEq/l, dan terapi insulin harus ditunda hingga kadar
kalium > 3,3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau gagal jantung dan kelemahan otot
pernapasan.
5. Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Mengetahui bahwa asidosis
berat menyebabkan banyak efek vaskular yang tidak diinginkan, tampaknya cukup
bijaksana menentukan bahwa pada pasien dewasa dengan pH < 6,9, 100 mmol natrium
bikarbonat ditambahkan ke dalam 400 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan
kecepatan 200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9-7,0, 50mmol natrium bikarbonat
dicampur dalam 200 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam.
Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0. Sebagaimana natrium bikarbonat,
insulin menurunkan kadar kalium serum, oleh karena itu pemberian kalium harus terus
diberikan secara intravena dan dimonitor secara berkala. Setelah itu pH darah vena
diperiksa setiap 2 jam sampai pH menjadi 7,0, dan terapi harus diulangi setiap 2 jam jika
perlu.11
Gambar 2. Bagan Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik
Monitoring Terapi
Semua pasien KAD harus mendapatkan evaluasi laboratorium yang komprehensif
termasuk pemeriksaan darah lengkap dengan pemeriksaan elektrolit dan analisis gas darah.
Pemberian cairan dan pengeluaran urine harus dimonitor secara hati-hati dan dicatat tiap
jam. Pemeriksaan EKG harus dikerjakan kepada setiap pasien, khususnya mereka dengan
risiko kardiovaskular. ADA merekomendasikan pemeriksaan glukosa, elektrolit, BUN,
kreatinin, osmolalitas dan derajat keasaman vena tiap 2 4 jam sampai keadaan stabil
tercapai. Sumber lain menyebutkan pemeriksaan gula darah tiap 1 2 jam. Pemeriksaan
kadar gula darah yang sering adalah penting untuk menilai hasil pemberian insulin dan
mengubah dosis insulin ketika hasilnya tidak memuaskan. Ketika kadar gula darah 250
mg/ dl, monitor kadar gula darah dapat lebih jarang (tiap 4 jam). Kadar elektrolit serum
diperiksa dalam interval 2 jam sampai 6 8 jam terapi.
2.11 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD ialah edema
paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut, thrombosis cerebral dan komplikasi
iatrogenik (hipoglikemia, hipokalemia, hiperkloremia, edema otak dan hipokalsemia).
Komplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia oleh karena
penanganan yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang disebabkan oleh
pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia
sekunder akibat pemberian insulin yang tidak kontinu setelah perbaikan tanpa
diberikan insulin subkutan.
Hipoksemia dan kelainan yang jarang seperti edema paru nonkardiak dapat
sebagai komplikasi KAD. Hipoksemia terjadi mengikuti penurunan tekanan koloid
osmotik yang merupakan akibat peningkatan kadar cairan pada paru dan penurunan
compliance paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai gradient oksigen alveolo-
arteriolar yang lebar yang diukur pada awal pemeriksaan analisa gas darah atau
dengan ronki pada paru pada pemeriksaan fisik tampaknya mempunyai risiko tinggi
untuk menjadi edema paru.12,13
2.12 Prognosis
Prognosis baik jika terapi yang diberikan adekuat dan selama tidak ada penyakit
lain yang fatal (sepsis, syok hipovolemik, IMA, trombosis serebri). Prognosis baik
kondisi secara substansial memburuk pada pasien usia lanjut, hipotensi, sepsis, syok
yang berat, infark miokard akut yang luas.5
2.13 Pencegahan
Faktor pencetus terutama KAD ialah pemberian dosis insulin yang kurang
memadai dan kejadian infeksi. Kebanyakan kasus KAD dapat dicegah melalui akses yang
lebih baik terhadap pusat pelayanan kesehatan serta edukasi yang baik dan komunikasi
yang efektif dengan perawat kesehatan. Penghentian insulin karena alasan keuangan
dan kesulitan mendapatkan insulin merupakan faktor pencetus utama terjadinya KAD
pada pasien-pasien DM tipe 1 yang tinggal didaerah terpencil. Oleh karena itu
diperlukan bantuan pemerintah untuk penyediaan insulin di Puskesmas yang merawat
pasien-pasien DM. Hal yang paling penting adalah bahwa pasien hendaklah diberi
edukasi jangan menghentikan insulin dan segera memeriksakan diri kedokter apabila
mengalami sakit. Keberhasilan penatalaksanaan hari sakit (sick day
management) tergantung dari keterlibatan anggota keluarga. Pasien dan keluarganya
harus bisa melakukan pengukuran kadar glukosa darah, memeriksa keton urin,
penyuntikan insulin, mengukur suhu tubuh, memeriksa denyut nadi dan frekuensi
pernafasan, menimbang berat badan dan melakukan komunikasi dengan dokter yang
merawat.14
BAB III
MASALAH KLINIS
2. Sepsis
Diagnosa ditegakkan dari anamnesis pasien yang memiliki gejala klinis: Batuk
berdahak warna kuning, Demam, Menggigil
Rencana terapi non farmakologi: Bed Rest atau masuk ICU, O2 via kanul nasal 2-4
liter/menit
3. Nefropati diabetik
Diagnosis ditegakkan dari hasil penunjang laboratorium hb 10,4g/dL. Juga didapatkan
hasil ureum 186 mg/dL dengan kreatinin 3,28 mg/dL.
Clearance creatinine (Clcr) digunakan sebagai gambaran fungsi ginjal.
Perhitungan LFG dapat menggunakan formula sebagai berikut :
LFG (ml/mnt/1,73 m2) = ( 140 umur ) x BB * 72 x kreatinin plasma (mg/dl)
(140-47)x48/72x3,28= 4464/236,16mL/min=18,9mL/min termasuk LFG stage 4
dimana pada keadaan ini merupakan LFG menurun berat.
Rencana Diagnostik: USG ginjal untuk menilai ukuran ginjal yang mengecil, korteks
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
Rencana terapi non farmakologi: Diet DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension)
(kaya akan kalium dan kalsium, diet rendah natrium 5-6g/hari), pembatasan
diet protein 0,5-0,85/kg/hari), pengurangan konsumsi garam, dan melakukan
aktivitas fisik rutin (jalan kaki min 30 menit"hari)
Pneumonia
Pada pasien ini termasuk jenis pneumonia komunitas karena didapatkan gejala
pneumonia, sebelum pasien masuk ke rumah sakit. Pneumonia komunitas dapat
didiagnosis berdasarkan hasil dari anamnesis gejala dan tanda klinis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan radiologi, laboratorium, dan mikrobiologi. Adapun manifestasi klinis
yang muncul dapat berupa: batuk, demam, produksi sputum dan nyeri dada pleuritis.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Demam >38oC, suara napas bronkial dan ronki +.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Jumlah leukosit >10.000/ul atau <4000/ul.
disertai pemeriksaan penunjang paru, dengan radiografi dada. Temuan pada
pemeriksaan radiografi dada dapat berkisar dari suatu bercak infiltrat kecil di area
udara sebagai konsolidasi lobaris dengan bronkogram udara hingga infiltrat alveolar
difus atau infiltrat interstisial. Efusi pleura dan kavitasi juga dapat ditemukan.
Gejala pada pasien ini sudah memenuhi kriteria pneumonia yaitu, batuk berdahak
purulen, demam, nyeri dada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan auskultasi paru
terdengar rhonki pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil
laboratorium leukositosis.
Namun, pada pasien ini belum dapat ditegakkan diagnosis pneumonia karena
memerlukan pemeriksaaan rontgen dada dan sputum lebih lanjut untuk memastikan
sumber infeksi berasal dari paru.
Kuman yang tersering menginfeksi pada pneumonia komunitas berdasarkan
prevalensi kejadian menurut North American Study (NAS) dan British Thoracic Society
(BTS) dapat dilihat pada tabel 4 seperti berikut
Penyebab Prevalensi
NAS BTS
Kuman tipikal
Streptoccoccus pneumonia 20 60 60 75
Haemophilus infuenzae 3 10 45
Staphylococcus aureus 35 15
Basil gram negatif 3 10 Jarang
Lainnya 35 -
Kuman atipikal 10 20 -
Legionella 28 25
Mycoplasma pneumoniae 16 5 18
Clamydia pneumonia 46 -
Virus 2 15 8 16
Aspirasi 6 10 -
bahan dan metode yang berbeda beda di beberapa pusat pelayanan kesehatan
Rawat Jalan
Kondisi sehat dan tidak Tanpa faktor modifikasi : Beta
menggunakan antibiotik selama 3 laktam atau beta laktam + anti
bulan : beta laktamase
A. Florokuinolon
dengan komplikasi sepsis berat dan memiliki resiko mortalitas yang tinggi. Pada
pasien yang sudah membaik dapat dilakukan alih terapi dari terapi secara intravena
ke oral.8
Tn N, Pria, 47 tahun, dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Bekasi dengan
keluhan penurunan kesdaran sejak pagi SMRS. Mengeluh nausea disertai emesis sebanyak
5 kali sejak satu hari yang lalu berisi makanan. Terdapat dyspnea sejak 3 hari SMRS yang
dirasakan semakin progresif. Febris disertai menggigil 5 hari yang lalu. Batuk berdahak
warna kuning. Terdapat nyeri pada epigastrium menjalar ke dada seperti ditusuk. OS
mengeluh malaise 5 hari belakangan ini. Pasien memiliki Riw. penyakit DM tipe II namun
saat ini OS berhenti minum obat karena habis. Riw. Ibu memiliki DM tipe II . Riw. Kebiasaan
konsumsi makanan manis, merokok 2 bungkus, dan jarang berolahraga.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran somnolen, tampak sakit berat. Tanda
vital didapatkan takikardi, takipnea. Hasil status generalis didapatkan pernapasan
kussmaul, bibir tampak sedikit kering, nafas berbau aseton, lidah tampak kering,
Auskultasi Paru: Rh+/+, Palpasi abdomen Nyeri Tekan hipokondriaka dextra, sinistra dan
epigastrium+, turgor kulit menurun. Pada Pemeriksaan Lab darah: Hb menurun,
Leukositosis, Eritrosit menurun, Hematokrit menurun, Hipoalbumin, Hiperglobulinemia,
Hiperuremia , Hiperkreatinemia, Hiperglikemia, Hiponatremi, Hiperkalemi, Hipochlorida,
pH menurun, pCO2 menurun, HCO3 menurun, Osmolalitas meningkat, Anion gap
meningkat, Ketonuria.
1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata K, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6 Jilid II. Jakarta: Interna Publishing, 2014.
2. Ioannidis I . Diabetic coma . In: Katsilambros N , Diakoumopoulou E , Ioannidis I , Liatis S ,
Makrilakis K , Tentolouris N , Tsapogas P (ed), Diabetic ketoacidosis in adults 31 Diabetes in
Clinical Practice, Questions and Answers from Case Studies , West Sussex , England: John
Wiley & Sons Ltd , 2006 : 81 91 .
3. Umpierrez GE , Smiley D , Kitabchi AE . Narrative review: ketosis prone type 2 diabetes
mellitus . Ann Intern Med 2006 ; 144 : 350 7 .
4. Westerberg P D. Cooper Medical School of Rowan University, Camden, New Jersey. Am
Fam Physician. 2013 Mar 1;87(5):337-346.
5. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic crisis in adult patients with
diabetes. Diabetes Care. 2009;32(7):1339. Copyright 2009 American Diabetes Association.
6. Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo DH. 19th Edition
Harrisons Principles of Internal Medicine. United States: McGraw-Hill Education, 2015.
7. Price, S. A. dan Lorraine M. Wilson, 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses
Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
8. Greenstein B, Wood D. At a Glance Sistem Endokrin.2nd ed. Jakarta: Erlangga, 2006.
11. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, et al.; American Diabetes Association.
Hyperglycemic crisis in diabetes. Diabetes Care. 2004;27(suppl 1):S98. Copyright 2004
American Diabetes Association
12. Chansky M, Haddad G. Acute diabetic emergencies, hypoglycemia, and glycemic control. In:
Parrillo JE, Dellinger RP, eds. Critical Care Medicine: Principals of Diagnosis and Management
in the Adult. 3rd ed. Philadelphia, Pa.: Mosby Elsevier; 2008:12451257.
13. Lawrence SE, Cummings EA, Gaboury I, Daneman D. Population-based study of incidence
and risk factors for cerebral edema in pediatric diabetic ketoacidosis. J Pediatr. 2005;146(5):688
692.
14. Weber C, Kocher S, Neeser K, Joshi SR. Prevention of diabetic ketoacidosis and self-
monitoring of ketone bodies: an overview. Curr Med Res Opin. 2009;25(5):11971207.