Anda di halaman 1dari 15

PRESENTASI JURNAL

Updates About Implementation of the Use of


Antenatal Corticosteroids

DISUSUN OLEH :

Oktaviani Angella Budiman

112015418

PEMBIMBING:

dr. Bram Pradipta, Sp.OG

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Kepaniteraan Ilmu Kebidanan dan Kandungan
Rumah Sakit Umum Daerah Koja
Periode 1 Mei - 8 Juli 2017
BAB I
PENDAHULUAN

Dahulu, imaturitas paru seringkali menjadi penyebab kematian bayi preterm yang baru
lahir. Dengan penatalaksanaan klinis intensif yang ada saat ini permasalahan fungsi paru tidak
lagi menjadi permasalahan perawatan pada sebagian besar bayi preterm baru lahir.
Penatalaksanaan tersebut meliputi pemberian kortikosteroid antenatal untuk memicu percepatan
maturasi paru janin. Pemahaman mengenai proses pematangan paru harus dikuasai sebagai dasar
pemberian terapi kortikosteroid antenatal untuk proses pematangan paru.
Terapi kortikosteroid yang diberikan pada ibu dengan risiko persalinan preterm secara
signifikan menurunkan insiden distress pernapasan dan tingkat kematian bayi sebagai komplikasi
dari persalinan preterm. Regimen pemberian kortikosteroid yang direkomendasikan oleh Royal
College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) tahun 2010 adalah 2 dosis betametason 12
mg i.m selang 24 jam atau 4 dosis deksametason 6 mg i.m selang 12 jam pada setiap wanita
dengan risiko persalinan preterm dengan usia kehamilan 24 minggu 0 hari hingga 34 minggu 6
hari. Pemberian kortikosteroid sebelum paru matang akan memberikan efek berupa peningkatan
sintesis fosfolipid surfaktan pada sel pneumosit tipe II dan memperbaiki tingkat maturitas paru.1
Pada makalah ini juga akan dibahas update dari jurnal SMFM (Society of Maternal-Fetal
Medicine) dan BMJ Journal tentang implementasi penggunaan kortikosteroid dosis tunggal vs
plasebo dan efektifitas pemberian antenatal kortikosteroid pada usia kehamilan 34 minggu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Paru
Rongga Pleura
Toraks dibagi menjadi tiga kompartemen:
Rongga pleura kanan
Rongga pleura kiri
Mediastinum
Paru-paru berada diantara rongga pleura, dimana kedua paru juga dilapisi oleh pleura
viseralis (yang membungkus kedua paru) dan pleura parietalis. Normalnya, rongga pleura
mengandung sejumlah kecil cairan serosa, yang melumasi permukaan dan mengurangi gesekan
selama respirasi. Pleura parietalis sangat kaya innervasi oleh serabut saraf nyeri pleura yang
berasal dari saraf somatik interkostalis sedangkan pleura viseralis hanya sedikit serabut saraf
nyeri. Paru-paru berbatasan dengan pleura parietal secara inferior ke kartilago kosta keenam. Di
luar titik ini, paru-paru tidak menempati keseluruhan rongga pleura selama respirasi yang tenang.
Poin ini penting untuk diketahui supaya memudahkan akses ke rongga pleura tanpa melukai
paru-paru, seperti pada kasus efusi pleura yang perlu mengeluarkan cairan eksudat inflamasi,
perdarahan (hemotoraks) atau udara (pneumotoraks) di rongga toraks. Dalam respirasi yang
tenang, batas paru berada dua rusuk di tingkat atas rongga pleura pada garis midclavicula,
midaxilla, dan midscapula. 2

Paru-Paru
Kedua paru melekat pada pleura viseralis dan menempel pada struktur mediastinum
(seperti trakea dan jantung) pada hillusnya. Masing-masing paru memiliki struktur:
Apeks: bagian superior dari lobus atas yang membentang ke akar leher (di atas klavikula)
Hilus: daerah yang terletak pada bagian tengah tempat struktur yang akan keluar dan
masuk paru-paru
Fasia Kostalis: bagian anterior, lateral, dan posterior paru yang mempunyai kontak
dengan elemen kosta di kavum toraks interna
Fasia Diafragmatika: bagian inferior paru yang mempunyai kontak dengan diafragma
yang ada dibawahnya.
Paru kanan mempunyai tiga lobus dan sedikit lebih besar daripada paru kiri yang
mempunyai dua lobus. Kedua paru terdiri atas jaringan yang kenyal dan elastis, yang akan
mengembang dan berkontraksi agar sesuai dengan kontur kavum toraks interna. Paru-paru
disuplai oleh sejumlah kecil arteri bronkial yang muncul dari bagian proksimal aorta descenden.
Meskipun sebagian besar darah ini kembali ke jantung melalui vena pulmonalis, beberapa juga
berkumpul menjadi bagian kecil vena bronkial kecil yang akan mengalir ke sistem vena azygos.
Aliran limfatik dari kedua paru mengalir ke kelenjar pulmoner (intrapulmoner) dan
bronkopulmoner (hilar), yang kemudian mengalir ke kelenjar trakeobronkial. Sebagai struktur
viseral, paru-paru diinervasi oleh sistem saraf otonom. Saraf simpatis yang bersifat bronkodilator,
yang bekerja mengendurkan otot polos, berasal dari segmen medula spinalis toraks bagian atas.
Saraf parasimpatik yang bersifat bronkokonstriksi, yang bekerja untuk kontraksi otot polos dan
meningkatkan sekresi lendir, berasal dari saraf vagus. 2

Gambar 1. Anatomi Paru Kanan dan Kiri2


Trakea dan Bronkus
Trakea adalah jalan napas tengah tunggal yang membentang dari tulang rawan krikoid ke
percabangan pada sudut sternal Louis. Terletak di anterior kerongkongan dan disusun oleh 16
sampai 20 cincin kartilago berbentuk C yang kaku. Trakea bercabang inferior ke bronkus utama
kanan dan kiri, yang memasuki hilus paru-paru kanan dan kiri, masing-masing, dan langsung
terbagi menjadi bronkus lobaris (sekunder). Masing-masing bronkus lobaris bercabang lagi
menjadi bronkus tersier yang mensuplai 10 segmen bronkopulmoner dari masing-masing paru
(terkadang paru kiri mempunyai 8-10 segmen). Segmen bronkopulmoner adalah bagian dari paru
yang disuplai oleh bronkus tersier dan bagian dari arteri pulmoner yang melewati masing-masing
paru. Bronkus dan saluran pernapasan terus terbagi menjadi saluran yang kecil sampai mereka
berakhir di kantong alveoli. Pertukaran gas hanya terjadi di daerah ini. 2

Gambar 2. Trakea dan Bronkus2

Embriologi Paru
Organogenesis paru dapat dibagi menjadi lima tahapan yang berbeda. Tahapan awal
meliputi fase embrionik (hari ke-26 hingga 52) dan fase pseudoglanduler (hari ke-52 hingga
akhir minggu ke-16 kehamilan) yang berikutnya adalah fase kanalikuler (17 hingga 26 minggu
kehamilan), fase sakuler (26 hingga 36 minggu kehamilan) dan terakhir adalah fase alveoler (36
minggu sampai 24 bulan postnatal).1
Fase embrional
Pada fase embrional paru pertama kali muncul sebagai sebuah ventral bud yang terpisah
dari esofagus dan kaudal dari sulkus laringotrakheal. Celah antara bud paru dan esofagus akan
semakin dalam, disertai dengan semakin memanjangnya bud dan mesenkim dan semakin
terpisah membentuk calon bronkhi. 1
Fase pseudoglanduler
Fase ini dicirikan dengan pembelahan yang cepat membentuk 15 hingga 20 saluran udara.
Saluran udara yang terbentuk dilapisi oleh selapis sel kuboid yang kaya akan glikogen.
Diferensiasi sel berlangsung secara sentrifugal dimana pada bagian distal tubulus dilapisi oleh sel
yang semakin tidak terdiferensiasi. Pembuluh darah arteri dan paru juga berkembang seiring
dengan perkembangan saluran udara. Di akhir fase pseudoglanduler saluran udara, arteri dan
vena telah berkembang menyerupai pola yang ditemukan pada paru dewasa. Pada fase ini pula
diafragma terbentuk dan memisahkan rongga dada dan abdomen, kegagalan penutupan akan
menyebabkan hernia diafragma dan hipoplasia paru. 1
Fase kanalikuler
Fase kanalikuler, antara 17 hingga 26 minggu kehamilan, menunjukkan perubahan dari
paru yang praviabel menjadi paru yang berpotensi viabel dengan kemampuannya untuk
melakukan pertukaran gas. Perubahan utama yang terjadi pada fase ini adalah terbentuknya
asinus, diferensiasi epitel dengan pembentukan sawar udara-darah (airblood barrier) dan
dimulainya sintesis surfaktan di sel tipe II. Asinus muncul sebagai sebuah jonjot di bagian distal
saluran udara yang berasal dari sebuah bronkiolus terminalis. Perkembangan asinus merupakan
tahapan penting dalam kemampuan paru untuk melakukan pertukaran gas di masa berikutnya.
Lapisan mesenkim yang melapisi sekitar saluran udara awalnya miskin akan vaskularisasi
menjadi lebih kaya akan pembuluh darah. Pada fase ini juga terbentuk daerah permukaan calon
tempat terjadinya pertukaran gas. Diferensiasi epitel dicirikan oleh penipisan dari proksimal ke
distal dengan perubahan sel dari epitel kuboid menjadi epitel tipis yang melapisi rongga saluran
udara. Saluran udara ini semakin bertambah dalam hal panjang dan diameter dengan perubahan
mesenkim yang menjadi semakin kaya akan vaskularisasi. Setelah usia kehamilan 20 minggu sel
kuboid yang kaya akan glikogen ini akan mulai membentuk badan lamellar dalam sitoplasmanya
menandakan dimulainya produksi surfaktan. 1
Fase sakuler
Fase ini merupakan fase perkembangan paru pada janin yang dianggap viabel yaitu pada
usia kehamilan 26 hingga 36 minggu. Sakulus merupakan struktur terminal dari paru janin, yang
terdiri dari tiga tahapan pembentukan, yaitu bronkiolus repiratorik, duktus alveolaris, baru
kemudian terjadi septasi sekunder dari sakulus yang akan membentuk alveoli. Pada fase ini
ruang udara meningkat dari 65.000 pada usia kehamilan 18 minggu menjadi hingga 4 juta pada
usia kehamilan 32-36 minggu. Mikrosvaskularitas juga meningkat, yang berarti terjadi
peningkatan area tempat pertukaran gas. 1
Fase alveoler
Alveolarisasi dimulai pada usia kehamilan 32 hingga 36 minggu dari sakulus terminalis
dengan munculnya septa yang mengandung kapiler, serat elastin, dan kolagen. Sakulus dan
alveoli yang baru terbentuk secara cepat mengalami septasi membentuk 100 juta aleveoli pada
aterm dan sekitar 500 juta alveoli pada orang dewasa. Kecepatan pembentukan alveoli maksimal
terjadi pada antara usia kehamilan 36 minggu hingga beberapa bulan setelah lahir dan selesai
pada sekitar usia 2 tahun. Jika proses alveolarisasi terganggu kemungkinan terjadi efek buruk
jangka pendek dan jangka panjang pada fungsi paru bayi baru lahir. Sejumlah tindakan intervensi
klinis dan bahan kimia diketahui dapat mengganggu proses alveolarisasi. Hiperoksia, hipoksia
dan ventilasi mekanis dapat mempengaruhi alveolarisasi. Glukokortikoid dapat menyebabkan
terhentinya proses alveolarisasi. Glukokortikoid menyebabkan abnormalitas permanen pada
alveoli dan pembuluh darah pada tikus percobaan. Glukokortikoid yang diberikan pada monyet
percobaan pada fase sakuler mengurangi mesenkim dan membuat paru tampak lebih matur,
namun pada saat mencapai aterm paru memiliki volume gas yang lebih rendah dan jumlah
alveoli yang lebih sedikit. Sedangkan pada domba pemberian glukokortikoid dosis tunggal atau
berulang menyebabkan penurunan jumlah alveoli dan peningkatan ukuran alveoli setelah terjadi
persalinan preterm. Namun pada saat aterm jumlah alveoli ditemukan normal, menunjukkan
bahwa pemulihan dari inhibisi perkembangan alveoli adalah dimungkinkan.1

Surfaktan
Setelah napas pertama, sakus terminalis harus tetap mengembang meskipun terdapat
tekanan yang diberikan oleh batas jaringan-udara, dan surfaktan mencegah kolapsnya sakus
terminalis. Surfaktan terdiri dari 90% lipid dan 10% protein menurut Gluck dkk dan Hallman
dkk. Terdapat lebih dari 200 tipe sel paru, tetapi surfaktan dibentuk khusus dalam pneumosit tipe
II yang melapisi alveolus. Sel-sel ini ditandai dengan badan multivesikular yang menghasilkan
badan lamelar, tempat dibentuknya surfaktan. Surfaktan terurai dari badan lamelar, kemudian
membentang melapisi alveolus selama ekspirasi. Dengan demikian yang menentukan maturitas
paru janin adalah kemampuannya untuk menghasilkan surfaktan dalam bentuk nyata dalam janin
in utero.3

Terapi Kortikosteroid pada Pematangan Paru


Karena glukokortikosteroid dapat mempercepat pematangan paru pada janin domba
kurang bulan, maka Liggins dan Howie (1972) mengevaluasi glukokortikosteroid untuk terapi
pada wanita. Terapi kortikosteroid yang diberikan pada ibu dengan risiko persalinan preterm
secara signifikan menurunkan insiden distress pernapasan dan tingkat kematian bayi jika
kelahiran ditunda selama minimal 24 jam setelah dimulainya betametason. Pada tahun 1995,
National Institus of Health Consensus Development Panel merekomendasikan kortikosteroid
untuk pematangan paru janin pada kasus ancaman kelahiran kurang bulan.3
Isu keamanan pada janin dan bayi yang diberikan kortikosteroid tunggal versus berulang
untuk pematangan paru telah menjadi topik pada dua penelitian besar. Pada penelitian Crowther
dkk (2007), 982 wanita yang diberikan dosis tunggal mingguan betametason 11,4 mg tidak
ditemukan kejadian tambahan pada bayi yang diikuti sampai usia 2 tahun. Wapner dkk (2007)
meneliti bayi pada 495 wanita yang diberikan kortikosterois tunggal atau berulang mingguan.
Masing-masing 12 mg betametason yang diberikan selang 24 jam, kemudian ditemukan angka
insiden serebral palsy yang mengalami peningkatan non signifikan. Bruschettini dkk (2006)
mempelajari kesetaraan pemberian betamethasone 12 mg versus 6 mg pada kucing hamil.
Mereka melaporkan bahwa dosis yang lebih rendah memiliki efek yang lebih ringan terhadap
pertumbuhan somatik tanpa mempengaruhi proliferasi sel otak janin. 3
Elimian dkk (2007) pada penelitiannya menemukan bahwa deksametason dan
betametason sebanding dalam mengurangi tingkat morbiditas neonatus yang utama pada bayi
kurang bulan. The American College of Obstetricians and Gynecologists (2012) menyarankan
terapi tunggal antenatal kortikosteroid harus diberikan pada wanita dengan usia kehamilan <34
minggu dan diberikan minimal 7 hari sebelumnya. 3 Pemberian steroid ini tidak diulang karena
4
risiko terjadinya pertumbuhan janin terhambat. Regimen pemberian kortikosteroid yang
direkomendasikan oleh Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) tahun 2010
adalah 2 dosis betametason 12 mg berjarak 24 jam dari dosis pertama, diberikan intramuskuler
atau 4 dosis deksametason 6 mg selang 12 jam, diberikan intramuskuler. Masih menurut
rekomendasi dari RCOG setiap klinisi sepatutnya menawarkan pemberian terapi kortikosteroid
antenatal ini pada setiap wanita dengan risiko persalinan preterm dengan usia kehamilan 24
minggu + 0 hari hingga 34 minggu + 6 hari.3
Pemberian kortikosteroid sebelum paru matang akan memberikan efek berupa
peningkatan sintesis fosfolipid surfaktan pada sel pneumosit tipe II dan memperbaiki tingkat
maturitas paru. Kortikosteroid bekerja dengan menginduksi enzim lipogenik yang dibutuhkan
dalam proses sintesis fosfolipid surfaktan dan konversi fosfatidilkolin tidak tersaturasi menjadi
fosfatidilkolin tersaturasi, serta menstimulasi produksi antioksidan dan protein surfaktan (SP-A
hingga SP-D). Efek fisiologis glukokortikoid pada paru meliputi peningkatan komplians dan
volume maksimal paru, menurunkan permeabilitas vaskuler, meningkatkan pembersihan cairan
paru, maturasi struktur parenkim, memperbaiki fungsi respirasi, serta memperbaiki respon paru
terhadap pemberian terapi surfaktan post natal. Betamethasone dan dexamethasone adalah
kortikosteroid sintetis kerja panjang dengan potensi glukokortikoid yang serupa dan efek
mineralokortikoid yang tidak bermakna. Adanya perbedaan dalam hal ikatan dengan albumin,
transfer plasenta dan afinitas pada reseptor kortikosteroid, maka dibutuhkan dosis kortisol,
kortison, hidrokortison, prednisone dan prednisolon yang lebih tinggi untuk mencapai
ekuivalensi dosis yang sama dengan dexamethasone dan betamethasone pada janin.1

Update Jurnal tentang Pemakaian Antenatal Kortikosteroid untuk Pematangan Paru


Tabel 1. Jurnal SMFM: Implementation of the Use of Antenatal Corticosteroids in the Late
Preterm Birth Period in Women At Risk for Preterm Delivery 5
No Resume
1 Kriteria inklusi:
Kehamilan tunggal dengan resiko tinggi persalinan prematur antara usia 34
minggu 0 hari 36 minggu 5 hari dengan adanya minimal pembukaan serviks 3
cm atau effacement 75%, jika ketuban pecah dini atau jika sudah direncanakan
kelahiran prematur oleh dokter spesialis.
Wanira dengan komplikasi kehamilan dan akan diperkirakan melahirkan prematur
dalam 24 jam 7 hari
2 Kriteria eksklusi:
Ibu yang memiliki kemungkinan melahirkan kurang dari 12 jam (misal, keadaan
ibu tidak stabil, terdapat perdarahan aktif dsb)
Ibu yang pernah mendapat terapi betametason sebelumnya
Ibu dengan penyakit DM sebelum kehamilan
Korioamnionitis
Kontraindikasi terhadap pemberian betametason
3 Evaluasi:
Kebutuhan suport pernafasan kurang dari 72 jam setelah lahir
Dan 1 atau lebih dari:
a. Pemakaian CPAP (continuous positive airway pressure) atau high-flow nasal
kanul berkepanjangan selama minimal 2 jam berturut-turut
b. Kebutuhan suplementasi oksigen minimal 4 jam berturut-turut
c. Extracorporeal membrane oxygenation
d. Mechanical ventilation
4 Studi dan Hasil:
Pada pemberian 2 dosis betametason 12 mg i.m selang 24 jam vs plasebo didapatkan
hasil:
Kebutuhan suport pernafasan kurang dari 72 jam setelah lahir meningkat 14.4%
pada grup placebo vs 11.6% pada grup betametason
Terdapat juga penurunan resiko bronkopulmoner displasia, transient takipneu
pada neonatus, kebutuhan resusitasi dan surfaktan postnatal pada grup
betametason
5 Rekomendasi SMFM:
Pada wanita dengan kehamilan tunggal usia 34 minggu 0 hari 36 minggu 6 hari
yang mempunyai resiko tinggi persalinan preterm kurang dari 7 hari,
direkomendasikan pemberian betametason (2 dosis, 12 mg intramuscular selang 24
jam)
Pada wanita dengan gejala persalinan preterm pada periode late preterm,
direkomendasikan untuk menunggu adanya bukti persalinan seperti dilatasi serviks
minimal 3 cm atau effacement 75% sebelum diberikan terapi betametason
Pada wanita diatas yang diterapi betametason, tidak direkomendasikan pemberian
tokolisis untuk menghambat persalinan untuk membantu mengoptimalkan kerja
steroid karena tidak ada kejelasan mengenai keuntungan pemberian betametason
menjadi lebih baik dengan penghambat persalinan
Pada wanita dengan kehamilan late preterm yang memiliki indikasi medis untuk
melahirkan, disarankan betametason tidak diberikan kecuali ada rencana
persalinan definitif

Tabel 2. Jurnal BMJ: Antenatal Corticosteroids for Maturity of Term or Near Term Fetuses:
Systematic Review and Meta-analysis of Randomized Controlled Trials 6
No Resume
1 Kriteria inklusi:
Perbandingan RCT (randomized controlled trial) dari pemberian antenatal
kortikosteroid (grup intervensi) dengan plasebo atau yang tidak diterapi (grup
kontrol) pada wanita dengan kehamilan tunggal usia 34 minggu
Pemberian antenatal steroid pada masing-masing wanita yang diperkirakan
melahirkan di periode late preterm (340-366 minggu) dan wanita yang sebelumnya
direncanakan persalinan sesar pada 37 minggu
2 Kriteria eksklusi:
Percobaan pada pemberian profilaksis antenatal kortikosteroid pada usia <34
minggu dan multigravida
3 Evaluasi
Mengevaluasi efektifitas pemberian antenatal kortikosteroid pada usia kehamilan 34
minggu dengan menilai:
Hasil primer insidensi RDS berat
Hasil sekunder:
a. Insidensi RDS ringan dan sedang
b. Insidensi transient takipneu pada neonatus
c. Penggunaan surfaktan, mask ventilation, dan ventilasi mekanik
d. Waktu penerimaan oksigen (jam) meliputi konsentrasi oksigen pada inspirasi
maksimum (%)
e. Insidensi neonatus yang masuk NICU (termasuk lamanya, APGAR skor 1 dan
5 menit)
f. Kejadian hipoglikemia pada neonatus
g. Kematian neonatus (kematian pada bayi baru lahir kurang dari 28 hari pertama
kehidupan)
4 Studi:
Dari 6 percobaan yang melibatkan 5698 kehamilan tunggal dianalisis, tiga dari 6
percobaan tersebut diantaranya melibatkan 3200 wanita dengan usia kehamilan 340-366
minggu dan beresiko persalinan prematur. Lainnya adalah percobaan yang melibatkan
2498 wanita yang direncanakan persalinan sesar pada usia kehamilan 37 minggu.
Hasil:
Bayi dari ibu yang mendapat terapi kortikosteroid antenatal pada usia kehamilan
34 minggu secara signifikan mempunyai resiko rendah mengalami RDS ringan,
sedang maupun berat, transient takipneu pada neonatus serta penggunaan
surfaktan, mask ventilation, dan ventilasi mekanik Waktu penerimaan oksigen
(mean 2.06 jam), konsentrasi oksigen yang rendah pada inspirasi maksimum
(0.66%, 0.69% sampai 0.63%). Lamanya masuk NICU (7.64 hari, 7.65
sampai 7.64) dan APGAR skor yang tinggi dibanding grup kontrol
Bayi dari ibu yang mendapat terapi kortikosteroid antenatal pada usia kehamilan
340-366 minggu dan beresiko persalinan prematur 34 minggu secara signifikan
mempunyai resiko rendah mengalami RDS berat, transient takipneu pada neonatus
serta penggunaan surfaktan
Bayi dari ibu yang direncanakan persalinan sesar pada 37 minggu yang mendapat
terapi profilaksis kortikosteroid antenatal 48 jam sebelum operasi secara signifikan
mempunyai resiko rendah mengalami RDS ringan, sedang maupun berat, transient
takipneu pada neonatus serta penggunaan ventilasi mekanik Waktu penerimaan
oksigen (mean 2.06 jam), konsentrasi oksigen yang rendah pada inspirasi
maksimum (0.66%, 0.69% to 0.63%). Lamanya masuk NICU (7.44 hari,
7.44 sampai 7.43) dan APGAR skor yang tinggi.
5. Kesimpulan:
Pemberian steroid antenatal pada usia kehamilan 34 minggu mengurangi
morbiditas neonatus akibat gangguan pernapasan.
Terapi tunggal kortikosteroid dapat diberikan pada wanita dengan resiko
persalinan segera pada periode late preterm yaitu antara usia kehamilan 340-366
minggu, serta pada wanita yang direncanakan akan melakukan persalinan sesar
pada 37 minggu
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Terapi kortikosteroid yang diberikan pada ibu dengan risiko persalinan preterm secara
signifikan menurunkan insiden distress pernapasan dan tingkat kematian bayi sebagai komplikasi
dari persalinan preterm. Regimen pemberian kortikosteroid yang direkomendasikan oleh Royal
College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) tahun 2010 adalah 2 dosis betametason 12
mg i.m selang 24 jam atau 4 dosis deksametason 6 mg i.m selang 12 jam pada setiap wanita
dengan risiko persalinan preterm dengan usia kehamilan 24 minggu 0 hari hingga 34 minggu 6
hari. Pemberian kortikosteroid sebelum paru matang akan memberikan efek berupa peningkatan
sintesis fosfolipid surfaktan pada sel pneumosit tipe II dan memperbaiki tingkat maturitas paru.
Pada jurnal SMFM (Society of Maternal-Fetal Medicine) dan BMJ Journal dikatakan
bahwa pada wanita dengan kehamilan tunggal usia 34 minggu 0 hari 36 minggu 6 hari yang
mempunyai resiko tinggi persalinan preterm kurang dari 7 hari, direkomendasikan pemberian
betametason (2 dosis, 12 mg intramuskular selang 24 jam). Terapi tunggal kortikosteroid dapat
diberikan pada wanita dengan resiko persalinan segera pada periode late preterm yaitu antara
usia kehamilan 340-366 minggu, serta pada wanita yang direncanakan akan melakukan persalinan
sesar pada 37 minggu Pemberian steroid antenatal pada usia kehamilan 34 minggu
mengurangi morbiditas neonatus akibat gangguan pernapasan.
Daftar Pustaka
1. Suardana K. Kerja surfaktan dalam pematangan paru bayi preterm. Diunduh dari:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=326182&val=7676&title=KERJA
SURFAKTAN DALAM PEMATANGAN PARU BAYI PRETERM [cited 25 Juni 2017]
makalah online
2. Hansen JT. Netters clinical anatomy. 2nd edition. Canada: Elsevier inc; 2010.p.84-90.
3. Cunningham FG et al. Williams Obstetric. Edisi ke-23. Vol 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2009.H.99-100, 864-5.
4. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2014.h.674.
5. Society for Maternal-Fetal Medicine. August 2016. Implementation of the use of
antenatal corticosteroids in the late preterm birth period in women at risk for preterm
delivery. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2016.03.013 . June 25th 2017.
6. Sacchone G, Berghella V. September 12th 2016. Antenatal corticosteroids for maturity of
term or near term fetuses: systematic review and meta-analysis of randomized controlled
trials. Available from: http://dx.doi.org/10.1136/bmj.i5044 . June 25th 2017.

Anda mungkin juga menyukai