Anda di halaman 1dari 9

Copy Link

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diimbau memberikan teguran dan memperketat


pengawasan terhadap timbulnya isu aksi korporasi seperti merger dan akuisisi perusahaan
tercatat di bursa terutama menjelang Pemilihan Umum (Pemilu).
Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Said Didu menyayangkan
isu soal langkah strategis perusahaan BUMN seperti akuisisi dan merger baru-baru ini
khususnya perusahaan BUMN yang sudah mencatatkan saham di bursa.
Apalagi isu tersebut muncul dari lingkungan kementerian BUMN. Isu aksi korporasi yang
dimunculkan tersebut dapat mempengaruhi fluktuasi harga saham perusahaan BUMN di pasar
modal Indonesia.
"Muncul isu dari Kementerian BUMN, pemegang saham mayoritas memunculkan isu terhadap
rencana yang strategis ini tidak boleh. Ini dapat berdampak terhadap harga saham BUMN, bisa
dimanfaatkan, " ujar Said, saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (9/2/2014).
Selain itu, ia mengimbau untuk mewaspadai tiap langkah yang dilakukan sejumlah pihak untuk
mencari dana mendekati Pemilu. Salah satunya dapat dilakukan dengan isu untuk menggoreng
saham sehingga mendapatkan dana di pasar modal.

"Bisa saja dengan bikin isu goreng saham untuk mendapatkan dana. Isu BUMN ini sangat
sensitif. Isu merger, akuisisi tersebut juga harus ada persetujuan dari Kementerian Keuangan,"
kata Said.

Said pun mengharapkan, OJK harus menegur pemegang saham mayoritas yang melemparkan
isu aksi korporasi. Selain itu, OJK harus memperketat pengawasan terhadap munculnya isu
aksi korporasi perusahaan.
"OJK harus bicara dan menegur pemegang saham mayoritas karena di dalam undang-undang
pasar modal ada kesetaraan informasi," tutur Said.
Said menuturkan, bila memang isu aksi korporasi tersebut memang murni untuk langkah
strategis bisnis, aksi korporasi BUMN tersebut membutuhkan proses panjang. Aksi korporasi
seperti merger dan akuisisi juga membutuhkan persetujuan dari Kementerian Keuangan dan
pihak lainnya.
Selain itu, ia mengharapkan Kementerian BUMN dapat mendorong perusahaan BUMN untuk
fokus terhadap bisnis usaha intinya. "Jangan melakukan strategi tertentu yang tidak matang.
Arahkan BUMN untuk fokus ke core businessnya," kata Said.
Sebelumnya dikabarkan PT Pertamina (Persero) ingin mengakuisisi PT Perusahaan Gas
Negara Tbk (PGAS). Langkah itu dilakukan untuk mensinergikan bisnis PGN dengan anak
usaha Pertamina.
Selanjutnya, perusahaan plat merah tersebut dikabarkan berencana mengakuisisi PT Tambang
Bukit Asam Tbk (PTBA). Langkah itu dilakukan untuk menjadi Pertamina sebagai perusahaan
energi.
Selain itu, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) juga dikabarkan berniat untuk mengambialih
PT Bank Tabungan Negara Tbk. Namun manajemen PT Bank Rakyat Indonesia Tbk belum
mengetahui mengenai kabar tersebut.
"Saya malah baru dengar dari media mengenai hal itu," ujar Sekretaris Perusahaan PT Bank
Rakyat Indonesia Tbk, Muhammad Ali, saat dikonfirmasi mengenai kabar BRI ingin memiliki
BTN. (Ahm)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain. OJK mengemban fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan terhadap lembaga jasa keuangan.
Dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan disebutkan bahwa lembaga-
lembaga yang berada di bawah pengawasan OJK adalah perbankan, pasar modal,
perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan atau multifinance, dan lembaga jasa
keuangan lainnya. Lembaga jasa keuangan ini mencakup pegadaian (PT Pegadaian), lembaga
penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor, lembaga pembiayaan sekunder perumahan dan
lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib
(penyelenggaraan program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan).
Secara khusus, UU No 21 Tahun 2011 juga mengatur mengenai pengorganisasian dan tata
laksana kegiatan pengaturan serta pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Diharapkan
dengan dibentuknya OJK, akan tercapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif dalam
menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat menjamin
tercapainya stabilitas sistem keuangan dan memastikan adanya pengaturan juga pengawasan
yang lebih terintegrasi.
Integrasi Otoritas Jasa Keuangan dengan lembaga- lembaga lain merupakan keniscayaan yang
tak terhindarkan. Meski Otoritas Jasa Keuangan bukanlah bagian dari pemerintah, tapi lembaga
ini berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan
Perwakilan Rakyat. Selain itu, OJK memiliki keterkaitan lain yaitu dengan otoritas bidang fiskal
dan moneter, yakni Banki Indonesia. Bentuk koordinasi yang dibangun oleh Otoritas Jasa
Keuangan dengan instansi terkait bertujuan agar terwujud harmonisasi dari kebijakan yang
diambil dengan mengedepankan kepentingan nasional demi stabilitas sistem keuangan.
Secara konkret, Otoritas Jasa Keuangan selalu berkoordinasi dengan Bank Indonesia,
khususnya dalam membuat peraturan pengawasan perbankan, antara lain :

1. Kewajiban pemenuhan modal minimum bank;


2. Sistem informasi perbankan yang terpadu;
3. Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan
pinjaman komersial luar negeri;
4. Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;
5. Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan
6. Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.
Koordinasi lain adalah terkait penjagaan stabilitas sistem keuangan di Indonesia.
OJK bersama dengan Menteri Keuangan,Gubernur Bank Indonesia dan Dewan
Komisioner dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) membentuk suatu forum
yang dinamakan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Forum
tersebut digunakan untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang
diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada sistem
keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Pimpinan tertinggi dalam Otoritas Jasa Keuangan adalah Dewan Komisioner
yang terdiri dari 9 (sembilan) orang yang bersifat kolektif kolegial. Sementara itu,
Kepala Dewan Eksekutif adalah anggota Dewan Komisioner yang bertugas
memimpin pelaksanaaan pengawasan jasa keuangan dan melaporkan
temuannya kepada Dewan Komisioner. Kepala Dewan Eksekutif adalah anggota
Dewan Komisioner. Anggota Dewan Komisioner diangkat dan ditetapkan oleh
Presiden setelah mendengar usulan dari Gubernur Bank Indonesia. Penetapan
Dewan Komisioner ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Presiden.
Susunan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan adalah sebagai berikut :
1. Seorang Ketua merangkap anggota;
2. Seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
3. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
4. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
5. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;
6. Seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
7. Seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan konsumen;
8. Seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota
Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
9. Seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan
pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.

Sementara itu pelaksana kegiatan operasional Otoritas Jasa Keuangan terdiri dari :
1. Ketua Dewan Komisioner memimpin Bidang Manajemen Strategis I;
2. Wakil Ketua Dewan Komisioner memimpin Bidang Manajemen Strategis II;
3. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan memimpin Bidang Pengawasan Sektor
Perbankan;
4. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal memimpin Bidang Pengawasan Sektor
Pasar Modal;
5. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya memimpin Bidang
Pengawasan Sektor IKNB
6. Ketua Dewan Audit memimpin bidang Audit Internal dan Manajemen Risiko; da
7. Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen memimpin
bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen
Salah satu unsur penting dari kewenangan dan tugas OJK adalah perlindungan terhadap
konsumen pengguna jasa keuangan dari kejahatan dan pelanggaran di sektor keuangan.
Berkaitan dengan fungsi perlindungan terhadap konsumen ini, OJK tidak saja menitik beratkan
pada aspek penindakan ketika kejahatan keuangan terjadi, tetapi juga melaksanakan
perlindungan dalam aspek yang lebih bersifat preventif edukatif kepada masyarakat. OJK
berperan memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa
keuangan, layanan, dan produknya. OJK dapat pula meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk
menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat. OJK
juga melakukan pelayanan pengaduan konsumen.

Secara historis, cikal bakal Otoritas Jasa Keuangan tercetus setelah diundangkannya UU No. 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dinyatakan secara tegas, bahwa tugas pengawasan lembaga
jasa keuangan nantinya akan diserahkan kepada lembaga independen yang dibentuk melalui
Undang-Undang. Alasan inilah yang kemudian menjadi landasan pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan.
Selain terkait penegasan normatif, pendirian Otoritas Jasa Keuangan juga disebabkan semakin
kompleks dan bervariasinya produk jasa keuangan, munculnya gejala konglomerasi perusahaan
jasa keuangan, dan globalisasi industri jasa keuangan. Selain itu, pemerintah merasa bahwa Bank
Indonesia, sebagai bank sentral telah beberapa kali gagal mengawasi sektor perbankan.
Salah satu contoh konkret kegagalan Bank Indonesia tampak pada krisis pertengahan tahun 1997
yang berujung likuidasi (pembubaran) terhadap 16 bank nasional. Pasca krisis yang
menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan di Indonesia ini,
pemerintah melalui UU No.23 Tahun 1999 mengamanatkan pembentukan lembaga pengatur dan
pengawas jasa keuangan yang lebih independen dan profesional.
Tahun 2004, melalui UU No 3 Tahun 2004, pemerintah merevisi UU No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia. Dalam UU No 3 Tahun 2004 termuat ketentuan mengenai Otoritas Jasa
Keuangan. Disebutkan pula bahwa pembentukan lembaga dimaksud akan dilaksanakan
selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2010. Namun, hingga batas waktu yang telah
ditetapkan, pembentukan Otoritas Jasa Keuangan belum juga dapat dilaksanakan. Barulah pada
tahun 2011, DPR akhirnya mengesahkan UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan mampu
melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Diharapkan, ini semua akan mengarah pada
menguatnya pondasi perekonomian Indonesia serta terciptanya iklim investasi yang memberi
peluang bagi bertumbuhnya beragam sektor usaha baru.

Secara konkret, pasar finansial berkembang pesat seiring tersedianya teknologi penunjang yang
meningkatkan keterlibatan masyarakat untuk berinvestasi pada lembaga penyedia jasa keuangan,
baik sektor perbankan atau non-bank. Oleh karenanya, pemerintah perlu mengatur dan menata
kembali struktur organisasi dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan
pengawasan di sektor jasa keuangan (mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian,
dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya).
Dengan terselenggaranya jasa keuangan yang baik, adil, transparan, dan dapat
dipertanggungjawabkan, maka diyakini akan berdampak terhadap perbaikan kinerja jasa
keuangan di Indonesia. Masyarakat, sebagai konsumen pun diharapkan akan memiliki tingkat
kepercayaan yang kian tinggi terhadap jasa keuangan, sehingga dapat menopang stabilitas sektor
keuangan dan memberi konstribusi kepada perekonomian secara keseluruhan, melalui kelancaran
fungsi intermediasi (penyaluran dana) dari sektor perbankan ke sektor riil.
Otoritas Jasa Keuangan, pada dasarnya, merupakan lembaga pengganti dari Bapepam-LK
(Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan) sebagai lembaga pengatur dan
pengawas pasar modal di Indonesia, sekaligus menggantikan Bank Indonesia dalam melakukan
pengaturan terhadap lembaga perbankan, serta melindungi konsumen dalam kaitannya dengan
keberadaan lembaga jasa keuangan, baik bank maupun non bank.
Namun, tidak seluruh tugas Bank Indonesia dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan. Bank
Indonesia, sebagai bank sentral, tetap memiliki kewenangan dan fokus pada bidang pengawasan
makro (macro prudential supervision), misalnya, kebijakan moneter dan kebijakan dalam
menangani krisis. Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan menangani bidang tugas yang lebih
bersifat mikro dan khusus (micro prudential supervision), di antaranya, persoalan teknis yang
berkaitan dengan jasa keuangan.
Lebih lanjut, macro prudential supervision memiliki tujuan melakukan pemantauan dan penilaian
terhadap sistem keuangan secara keseluruhan. Sedangkan micro prudential supervision bertujuan
melaksanakan pemantauan dan penilaian terhadap sistem dari masing-masing lembaga keuangan.
Selain itu, macro prudential supervision dimaksudkan guna menghindari guncangan ekonomi
atau kemerosotan Produk Domestik Bruto, sementara micro prudential supervision berfokus
pada perlindungan konsumen (nasabah/investor).
Dapat dikatakan, bahwa dengan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan, maka akan terbentuk
mekanisme koordinasi yang lebih efektif dalam menangani permasalahan yang timbul dalam
sistem keuangan, sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan.

toritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki fungsi untuk menyelenggarakan sistem


pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi dengan keseluruhan kegiatan dalam
sektor jasa keuangan.
OJK bertugas mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan,
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa
keuangan lainnya.
Kegiatan OJK yang bersifat mengatur (regulative) dan mengawasi (controlling)
jasa keuangan pada lembaga perbankan terutama berkaitan dengan :
1. Perizinan untuk mendirikan bank; pembukaan kantor bank; penyusunan anggaran
dasar dan rencana kerja bank; kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya
manusia di bank; merger, konsolidasi dan akuisisi bank; serta pencabutan izin
usaha bank.
2. Kegiatan usaha bank, antara lain, sumber dana, penyediaan dana, dan produk atau
jasa yang ditawarkan.
3. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi likuiditas
(kemampuan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek), rentabilitas (kemampuan
menghasilkan laba), solvabilitas (kemampuan untuk melunasi seluruh utang dengan
menggunakan seluruh aset yang dimiliki), kualitas aset, rasio kecukupan modal,
batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan
pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing) dan standar akuntansi
publik.
4. Pengaturan dan pengawasan terhadap penerapan prinsip kehati-hatian, meliputi
manejemen resiko, tata kelola bank, prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian
uang, pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan, serta
pemeriksaan bank.
Dalam hal pengaturan, OJK memiliki wewenang :
menetapkan peraturan pelaksanaan dari UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan;
menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap
Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola pada Lembaga
Jasa Keuangan;
menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan
menatausahakan kekayaan dan kewajiban; serta
menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Sedangkan dalam hal pengawasan, OJK mempunyai wewenang :
a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan;
b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala
Eksekutif (anggota Dewan Komisioner yang bertugas memimpin pelaksanaan
pengawasan kegiatan jasa keuangan dan melaporkan pelaksanaan tugasnya
kepada Dewan Komisioner);
c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen,
dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau
penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak
tertentu;
e. melakukan penunjukan pengelola;
f. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
g. memberikan dan/atau mencabut izin usaha; izin orang perseorangan; efektifnya
pernyataan pendaftaran; surat tanda terdaftar; persetujuan melakukan kegiatan
usaha; pengesahan; persetujuan atau penetapan pembubaran; dan penetapan
lainnya.
Untuk melaksanakan kegiatannya, OJK mempunyai asas-asas tertentu yang
dijadikan pedoman yaitu :
a. Asas Independensi, mengatur tentang sifat kemandirian OJK dalam
melaksanakan kegiatannya
b. Asas Kepastian Hukum, bahwa OJK senantiasa berlandaskan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan kegiatannya.
c. Asas Kepentingan Umum, yakni semua kegiatan OJK dimaksudkan untuk
melindungi dan memajukan kepentingan umum.
d. Asas Profesionalitas, ialah pelaksanaan tugas dan wewenang secara
profesional, tanpa keberpihakan.
e. Asas Integritas, dimana OJK selalu berpegang teguh pada nilai moral dalam
setiap tindakan dan keputusan yang diambilnya.
f. Asas Keterbukaan, yang menegaskan perlunya diberikan kemudahan bagi
masyarakat untuk mengetahui kinerja OJK.
g. Asas Akuntabilitas, bahwa semua kegiatan dari OJK dapat
dipertanggungjawabkan kepada lembaga berwenang dan masyarakat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Krisis yang melanda di tahun 1998 telah membuat sistem keuangan Indonesia porak-poranda.
Sejak itu maka lahirlah kesepakatan untuk membentuk Otoritas Jasa Keuangan yang menurut
undang-undang tersebut harus terbentuk pada tahun 2002. Lalu apa yang dimaksud dengan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)? Untuk lebih memahaminya, mari kita simak pembahasan
berikut ini.

A. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU
Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan
yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK adalah
lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. OJK didirikan
untuk menggantikan peran Bapepam-LK dalam pengaturan dan pengawasan pasar modal dan
lembaga keuangan, dan menggantikan peran Bank Indonesia dalam pengaturan dan
pengawasan bank, serta untuk melindungi konsumen industri jasa keuangan.
Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai suatu lembaga pengawasan sektor
keuangan di Indonesia yang perlu diperhatikan, karena ini harus dipersiapkan dengan baik
segala hal untuk mendukung keberadaan Otoritas Jasa Keuangan tersebut.

B. Fungsi Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan memiliki fungsi sebagai berikut:


1. Mengawasi aturan main yang sudah dijalankan dari forum stabilitas keuangan.
2. Menjaga stabilitas sistem keuangan.
3. Melakukan pengawasan non-bank dalam struktur yang sama seperti sekarang.
4. Pengawasan bank keluar dari otoritas Bank Indonesia sebagai bank sentral dan dipegang
oleh lembaga baru.

C. Tujuan Otoritas Jasa Keuangan

Dalam pembentukannya Otoritas Jasa Keuangan memiliki tujuan sebagai berikut:


1. Untuk mencapainya, Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneter secara
berkelanjutan, konsisten, dan transparan dengan mempertimbangkan kebijakan umum
pemerintah di bidang perekonomian.
2. Mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis.
3. Menciptakan satu otoritas yang lebih kuat dengan memiliki sumber daya manusia dan ahli
yang mencukupi.

D. Tentang Otoritas Jasa Keuangan

Sebagaimana diketahui bahwa krisis yang melanda di tahun 1998 telah membuat sistem
keuangan Indonesia porak-poranda. Sejak itu maka lahirlah kesepakatan untuk membentuk
Otoritas Jasa Keuangan yang menurut undang-undang tersebut harus terbentuk pada tahun
2002. Meskipun Otoritas Jasa Keuangan dibidani berdasarkan kesepakatan dan diamanatkan
oleh UU, nyatanya sampai dengan 2002 pembentukan Otoritas Jasa Keuangan belum ada,
sampai akhirnya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) tersebut direvisi menjadi
UU No. 24 Tahun 2004 yang menyatakan tugas Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah.
Kemudian pada tanggal 27 Oktober Tahun 2011, RUU Otoritas Jasa Keuangan disahkan
oleh DPR, dan selanjutnya pemerintah mensahkan dan mengundangkan UU No. 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia pada
tanggal 22 November 2011.
Berikut merupakan ringkasan dari isi UU No. 21 Tahun 2011. Otoritas Jasa Keuangan,
yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. OJK
berkedudukan di ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan
kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.

RANGKUMAN
Otoritas Jasa Keuangan atau lebih dikenal dengan istilah OJK, adalah sebuah lembaga
pengawasan jasa keuangan yang independen dan mengawasi industri perbankan, pasar modal,
reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Tujuan dibentuknya OJK
yaitu untuk mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis, menghilangkan
penyalahgunaan kekuasaan, dan mencari efisiensi di sektor perbankan dan keuangan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai