Anda di halaman 1dari 34

CASE REPORT

BRONKOPNEUMONIA

Disusun oleh :

Dayu Fitria Indriati


1102012049

Pembimbing:
dr. Hj. Nurvita Susanto, Sp.A
dr. H. Budi Risjadi, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SOREANG
BAB I
PAPARAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : An. MD
Umur : 10 bulan 6 hari
Jenis Kelamin : laki-laki
Pendidikan Terakhir :-
Suku Bangsa : Sunda
Agama : Islam
Alamat : Babakan Bolang
No. RM : 563653
Tanggal masuk RS : 21 Juni 2017
Tanggal Pemeriksaan : 24 Juni 2017

II. Anamnesis
Alloanamnesis dengan kedua orang tua pasien
Keluhan Utama : Sesak Nafas

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSUD soreang di bawa oleh orang tuanya dengan keluhan pasien
mengalami sesak nafas sejak 1 hari SMRS yang semakin lama semakin memberat.
Sesak tanpa kebiruan, menganggu keseharian pasien dan sulit tidur, serta pasien
kesulitan untuk makan dan minum disertai gelisah. Suara nafas terdengar seperti
terdapat dahak namun tidak keluar. Sesak tidak di alami setelah pemberian ASI.
Menurut ibu pasien sebelumnya pasien dirasakan demam sejak 1 hari yang lalu secara
terus menerus, sebelumnya demam tidak terlalu tinggi dan semakin lama semakin
tinggi. Batuk juga di alami pasien sejak 2 hari SMRS, batuk dirasakan berdahak
namun sulit untuk keluar. Muntah sebanyak 4x 4 jam SMRS berisi susu, dan lendir.
Buang air besar dan buang air kecil tidak mengalami kelainan.
Pasien belum pernah minum obat untuk mengatasi keluhan pada pasien tersebut, pada
keluarga pasien tidak ada yang sedang pengobatan penyakit paru yang selama 6 bulan
dan merokok.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit TB disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat alergi pada keluarga disangkal

Riwayat Imunisasi

2
Riwayat imunisasi ibu mengaku selama ini hanya melakukan 2x imunisasi pada saat
setelah lahir Hepatiti B 1x dan saat pasien berumur 1 bulan Polio 0 1x.

Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi.

Riwayat Kehamilan
Pasien merupakan anak kedua dari ibu berusia 26 tahun dan tidak ada riwayat
keguguran sebelumnya. Ketika mengandung, ibu berusia 25 tahun. Ibu pasien rutin
memeriksakan kehamilannya sebulan sekali ke bidan sejak usia kehamilan 1 bulan,
selama kehamilan ibu pasien
tidak pernah mengalami tekanan darah tinggi, tidak pernah mengalami pendarahan
melalui jalan lahir, tidak minum jamu, tidak mengonsumsi obat-obatan, tidak
merokok.

Riwayat Persalinan
Pasien lahir dari ibu P2A0 lahir spontan dibantu oleh bidan setempat pada usia
kehamilan 37-38 minggu, lahir langsung menangis. Berjenis kelamin laki-laki, berat
badan lahir 3000 gram, panjang badan 50 cm. Bayi tidak kuning, tidak sesak, tidak
ada infeksi.

Riwayat makan dan minum


0 - 6 bulan : ASI. Pasien minum ASI dengan baik 8-10x/hari.
6 bulan sekarang : ASI + susu formula + bubur saring. Pasien masih terus minum
ASI. Susu formula terkadang diberikan 1-2 kali sehari dalam botol kecil, dan bubur
saring dengan susu, pisang dan sayur yang dihaluskan diberikan 2 kali sehari dalam
mangkuk kecil.

III. Pemeriksaan Fisik


Dilakukan tanggal 21 Juni 2017 (IGD)
1) Keadaan Umum : Tampak Sakit Berat
2) Kesadaran : Compos mentis
3) Tanda vital :
i. Nadi : 135x/m equal isi cukup
ii. Respirasi : 56x/menit
iii. Suhu : 37.9 0C
iv. Tekanan darah :
4) Berat Badan : 8 kg
5) Tinggi Badan : 72 cm
6) Status gizi
BB/U : > 0 SD
TB/U : > 1 SD
BB/TB : -1 SD
3
BMI/U : < 0 SD

Status Generalis
Kepala
Normocephali

Mata
Konjungtiva : Tidak anemis
Sklera : Tidak ikterik
Pupil bulat isokor
Refleks Cahaya Langsung : +/+

Hidung
Sekret (-/-), PCH (+) Epistaksis (-/-).

Mulut
POC (-)

Leher
KGB tidak teraba membesar

Thorax
Bentuk dan gerak statis dan dinamis, retraksi interkostal (+)
COR : Bunyi Jantung Murni Regular, Murmur (-) Gallop (-)
Pulmonal : Vesicular Breath Sound kanan = kiri, Rhonki +/+ Wheezing -/- Slem
+/+

Abdomen
Inspeski : Datar, tidak ada kelainan kulit, retraksi epigastrik (+)
Palpasi : Soepel, hepar/lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani diseluruh lapang abdomen
Auskultasi : Bising Usus (+) Normal

Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral hangat, CRT <2, turgor baik
Ekstremitas bawah : akral hangat, CRT <2, turgor baik

IV. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (RSUD SOREANG)

Tgl : 21/06/2017 Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Pukul: 23.53

4
Darah Rutin
Hemoglobin 10,2 10-14
Hematokrit
31%
Lekosit
Trombosit 8.900/mm 6.000 15.000
260.000/mm 150.000 400.000
GDS 95mg/dl 70-160

Tgl : 22/03/2017 Rontgen Thorax

cor, sinuses dan diafragma normal


hili kabur
infiltrate di kedua pelihiler dan
parakardial
kesan :
Menyokong bronkopneumonia

V. Diagnosis Kerja
Bronkopneumonia

VI. Penatalaksanaan
IGD :
Puasa
IVFD N4 30 gtt/menit
Oksigen 1-2 L/menit
Cefotaxime 3 x 250 mg (iv)
Amikasin 3 x 40 mg (iv)
Paracetamole 3 x 3/4cth (po)
Nebu Combivent per 8 jam

Melati :
IVFD 800 cc/24 jam -> 4 ggt/menit (mikro)
Cefotaxime 3x 250 mg (iv)

5
Amikasin 1x120 mg (iv)
Paracetamol 3 x cth (po)
Nebu combivent per 8 jam
Diet ML 3x/sehari
ASI Adlib

VII. Prognosis
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad Functionam : ad bonam
Quo ad Sanationam : ad bonam

VIII Follow up

Tanggal S/ O/ A/ P/
22/06/2017 Sesak(+) berkurang N : 135x/menit Bronkopneumonia IVFD N4 30
demam(+) tingga R : 60x/menit gtt/menit (mikro)
pada sore-malam S : 37.6C Oksigen 1-2 L/menit
hari dan menurun TD: Cefotaxime
pada pagi hari, Kepala: 3x250mg(iv)
muntah(+) berisi normochepal, CA Amikasin 3x40 mg
ASI, BAB belum (-), SI (-), PCH (-), (iv)
sejak malam & BAK POC (-) Paracetamole
tidak ada kelainan Leher: KGB ttm 3x3/4cth (po)
Thorax: B/G Nebu Combivent per
simetris, VBS ka= ki, 8 jam
ronkhi +/+, wheezing
-/-, slem -/- BJ I dan
II murni reguler, m
(-), g(-).
Retraksi interkostal
(-)
Abd : datar, soepel,
BU (+), nyeri tekan
(+)
Hepar/ Lien
ttm,turgor baik,
retraksi epigastrium
(+)
Eks: akral hangat,
CRT <2,

6
Tanggal S/ O/ A/ P/
23/06/2017 Sesak(-) demam(-), N : 148x/menit Bronkopneumonia IVFD 800 cc/24 jam
muntah(-), BAB (+) R : 38x/menit -> 4 ggt/menit
tadi malam, tidak S : 36.6C (mikro)
mencret & BAK TD: Cefotaxime
tidak ada kelainan, Kepala: 3x250mg(iv)
pasien mau makan normochepal, CA Amikasin
dan minum (-), SI (-), PCH (-), 1x120mg(iv)
POC (-) Paracetamol
Leher: KGB ttm 3xcth(po)
Thorax: B/G Nebu combivent per
simetris, VBS ka= ki, 8 jam
ronkhi +/+, wheezing Diet ML 3x/sehari
-/-, BJ I dan II murni ASI Adlib
reguler, Murmur(-),
Gallop(-). Retraksi
interkostal(-)
Abd : datar, soepel,
BU (+), nyeri tekan
(-) tugor baik, retraksi
epigastrium (+)
Hepar/ Lien ttm.
Eks: akral hangat,
CRT <2,

Tanggal S/ O/ A/ P/
24/06/2017 Sesak(-) demam(-), N : 128x/menit Bronkopneumonia BLPL
muntah(-), BAB & R : 40x/menit
BAK tidak ada S : 36,2C
kelainan, pasien mau TD:
makan dan minum Kepala:
normochepal, CA
(-), SI (-), PCH (-),
POC (-)
Leher: KGB ttm

7
Thorax: B/G
simetris, VBS ka= ki,
ronkhi +/+, wheezing
-/-, BJ I dan II murni
reguler, Murmur(-),
Gallop(-). Retraksi
interkostal(-)
Abd : datar, soepel,
BU (+), nyeri tekan
(-) tugor baik, retraksi
epigastrium (-)
Hepar/ Lien ttm.
Eks: akral hangat,
CRT <2,

IX. Analisa Kasus


1. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?
1. Anamnesis : Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari SMRS
Sesak nafas bertambah berat tanpa kebiruan
Suara nafas seperti ada dahak namun tidak keluar
Tidak ada riwayat sesak setelah minum atau makan
Demam dirasakan tinggi terus menerus sejak 1 hari SMRS
Batuk berdahak sejak 2 hari SMRS
Muntah sebanyak 4x 4 jam SMRS berisi susu
BAB dan BAK tidak ada keluhan
Pemeriksaan Fisik :
1) Keadaan Umum : Tampak Sakit Berat
2) Kesadaran : Composmentis
3) Tanda vital :
i. Nadi : 135x/menit
ii. Respirasi : 56x/menit
iii. Suhu : 37,9 0C
Status Generalis
Hidung
PCH (+)
Thoraks
Inspeksi : Retraksi interkostal (+)
Auskultasi : Rhonki +/+ Slem +/+
Abdomen
Inspeksi : Retraksi epigastrium (+)

Pemeriksaan Penunjang

8
Rontgen thoraks : Menyokong bronkopneumonia
Diagnosis : Bronkopneumonia
Manifestasi klinis pada pasien ini sesuai dengan Bronkopneumonia , yaitu sesak nafas
sejak 1 hari SMRS, sesak dirasakan bertambah berat. Demam juga dikeluhkan sejak 1 hari
SMRS yang tinggi terus menerus, keluhan didahului dengan batuk berdahak sejak 2 hari
SMRS serta suara nafas terdengar seperti ada dahak yang tidak dapat keluar.
Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan pernafasan cepat yaitu 56x/menit, disertai
pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal dan retraksi epigastrik dan gelisah yang
menandakan peningkatan pemakaian otot-otot bantu nafas sebagai usaha bernafas akibat
proses inflammasi.
Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan rontgen thoraks menyokong
bronkopneumonia.

Teori
Bronkopneumonia
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan hingga sedang.
Faktor yang mempengaruhi gambaran klinis : Imaturitas anatomik dan imunologik,
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak :
- Gambaran infeksi umum :
Demam: suhu bisa mencapai 39 40 oC
Sakit kepala
Gelisah
Malaise
Penurunan nafsu makan
Keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare
Kadang kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
- Gambaran gangguan respiratori:
Batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif
Sesak nafas
Retraksi dada
Takipnea
Napas cuping hidung
Penggunaan otat pernafasan tambahan
Air hunger
Merintih
Sianosis
Bronkopneumoiasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama
beberapa hari. Batuk mungkin tidak dijumpai pada anak anak. Bila terdapat batuk, batuk
berawal kering lalu berdahak. Pada pemeriksaan fisik ditemukan vokal fremitus yang
meningkat pada daerah terkena, pekak perkusi atau perkusi yang redup pada daerah yang

9
terkena, suara napas melemah, suara napas bronkial, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus
dan bayi kecil, gejala dan tanda pnuemonia lebih beragam dan tidak selalu terlihat jelas. Pada
perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.

Klasifikasi berdasarkan WHO :


Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi dan Anak Usia 2 Bulan 5 Tahun.
Bayi dan anak berusia 2 bulan 5 tahun
Pneumonia berat
bila ada sesak napas
harus dirawat dan diberikan antibiotik
Pneumonia
bila tidak ada sesak napas
ada napas cepat dengan laju napas
o > 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan 1 tahun
o > 40 x/menit untuk anak > 1 5 tahun
tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
Bukan pneumonia
bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas
Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi Di Bawah 2 Bulan.
Bayi di bawah 2 bulan
Pneumonia
bila ada napas cepat ( > 60 x/menit ) atau sesak napas
harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bukan pneumonia
bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas
Namun, menurut Pelayanan Kesehatan Medik Rumah Sakit ( WHO ), pneumonia dapat
dibagi menjadi pneumonia ringan dan berat:
1. Pneumonia ringan: Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya terdapat napas cepat
saja, dimana napas cepat adalah:
a. pada usia 2 bulan 11 bulan : 50 kali / menit
b. pada usia 1 tahun 5 tahun : 40 kali / menit

10
2. Pneumonia berat: Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal
berikut ini:
a. kepala terangguk angguk
b. pernapasan cuping hidung
c. tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
d. foto dada menunjukkan gambaran pneumonia ( infiltrat luas, konsolidasi, dll. )
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
Napas cepat
o anak umur < 2 bulan : 60 kali / menit
o anak umur 2 11 bulan : 50 kali / menit
o anak umur 1 5 tahun : 40 kali / menit
o anak umur 5 tahun : 30 kali / menit
Suara merintih ( grunting ) pada bayi muda
Pada auskultasi terdengar
o crackles ( ronki )
o suara pernapasan menurun
o suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
kejang, letargi, atau tidak sadar
sianosis
distress pernapasan berat
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Perifer Lengkap
Pada pneumonia virus dan mikoplasma, umumnya ditemukan leukosit dalam batas
normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri didapatkan
leukositosis yang berkisar antara 15.000 40.000 / mm 3 dengan predominan PMN.
Leukopenia ( < 5.000 / mm 3 ) menunjukkan prognosis yang buruk. Pada infeksi Clamydia
pneumoniae kadang kadang ditemukan eosinofilia. Efusi pleura merupakan cairan
eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300 100.000 / mm3, protein > 2,5 g/dL, dan
glukosa relatif lebih rendah dibandingkan glukosa darah. Kadang kadang terdapat anemia
ringan dan laju endap darah ( LED ) yang meningkat. Trombositopeni dapat ditemukan

11
pada 90% penderita pneumonia dengan empiema. Secara umum hasil pemeriksaan darah
perifer tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.
C Reaktive Protein ( CRP ) dan LED
Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri
superfisialis dibandingkan infesksi bakteri profunda.
Uji Serologis
Uji serologis untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas yang rendah dan secara umum tidak terlalu bermanfaat dalam
mendiagnosis infeksi bakteri atipik.
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan
kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan mikrobiologik,
spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah,
pungsi pleura, atau aspirasi paru. Pemeriksaan sputum kurang berguna. Diagnosis
dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dalam darah, cairan pleura, atau aspirasi paru,
kecuali pada masa neonatus, dimana kejadian bakteremia sangat rendah sehingga kultur darah
jarang positif.
Analisa Gas Darah
Analisa gas darah (AGDA) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia. Pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis metabolik.
Pemeriksaan Rontgen Thorax
Foto toraks dengan proyeksi antero posterior merupakan dasar diagnosis untuk
pneumonia. Foto lateral dilakukan bila diperlukan informasi tambahan, misalnya efusi pleura.
Kelainan foto toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Pada
pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, ulangan foto rontgen tidak diperlukan. Ulangan
foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit memburuk, atau untuk
tidak lanjut. Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
Pneumonia / infiltrat interstisial: ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi. Biasanya disebabkan oleh
virus atau Mycoplasma. Bila berat dapat terjadi patchy consolidation karena atelektasis
Infiltrat alveolal : merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau terlihat
sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak
terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.
Biasanya disebabkan oleh bakteri pnuemokokus atau bakteri lain.
Bronkopneumonia : ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa
bercak bercak infiltrat halus yang dapat meluas hingga daerah perifer paru,
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial

12
Gambaran foto rontgen toraks pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu
paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian ditemukan
pneumonia pada anak terbanyak di paru kanan, terutama lobus atas. Bila ditemukan di
lobus kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal tersebut merupakan prediktor
perjalanan penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya pleuritis lebih meningkat.
Gambaran foto toraks pada pneumona dapat membantu mengarahkan kecenderungan
etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat interstisial merata, dan
hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa
konsolidasi segmen atau lobar, bronkopnumonia, dan air bronchogram sangat
mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia Stafilokokus sering ditemukan
abses abses kecil dan pneumoatokel dengan berbagai ukuran.
Meskipun tidak terdapat gambaran foto toraks yang khas, tetapi bila ditemukan
gambaran retikulonodular fokal pada satu lobus, hal ini cenderung disebabkan
oleh infeksi Mikoplasma. Demikian pula bila ditemukan gambaran perkabutan atau
ground glass consolidation, serta transient pseudoconsolidation.

KRITERIA DIAGNOSIS
Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk adalah ditemukannya paling sedikit 3
dari 5 gejala berikut ini :
a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
b. panas badan
c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan,
dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

2. Apakah penatalakasanaanya sudah tepat?

IGD : Melati :

13
Puasa IVFD 800 cc/24 jam -> 4 ggt/menit (mikro)
IVFD N4 30 gtt/menit Cefotaxime 3x 250 mg (iv)
Oksigen 1-2 L/menit Amikasin 1x120 mg (iv)
Cefotaxime 3 x 250 mg (iv) Paracetamol 3 x cth (po)
Amikasin 3 x 40 mg (iv) Nebu combivent per 8 jam
Paracetamole 3 x 3/4cth (po) Diet ML 3x/sehari
Nebu Combivent per 8 jam ASI Adlib

Kebutuhan cairan pada anak ini adalah :


BB = 8kg
Kebutuhan cairan 100ml/kgBB/hari
Cairan kristaloid 100 x 8 = 800cc/hari
Cefotaxime
Dosis: anak dan bayi 25mg/kgBB/hari
Jadi, 25mgx8kg = 200mg
Amikasin
Pilihan Antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotic golongan betalaktam
atau kloramfenikol. Jika tidak responsive dapat diberikan antibiotic lain seperti,
gentamisin, amikasin atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang
ditemukan. Terapi antibiotic diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan
pneumonia tanpa komplikasi, meskipun tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi
antibiotic yang optimal.

Paracetamol syr sebagai antipiretik, dosis 10-15mg/kgBB/kali


Nebulisasi dengan combivent, sebagai bronkodilator yang memberikan efek
bronkodilatasi yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping.

Teori
Penatalaksaan umum
- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau PaO 2 pada
analisis gas darah 60 torr

14
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
Penatalaksanaan khusus
- Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72
jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal.
Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi,
atau penderita kelainan jantung
- Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis.
Pneumonia ringan amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka
resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
a. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis
b. Berat ringan penyakit
c. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
d. Ada tidaknya penyakit yang mendasari

Antibiotik :
Berdasarkan WHO :
Rekomendasi 1 : pasien dengan pneumnia tanpa retraksi atau gejala berat lainnya
diberikan Amoksisilin oral 40mg/dosis 2x/hari untuk 5 hari pada wilayah yang
prevalensi HIV rendah, berikan Amoksisilin untuk 3 hari (80-90 mg/kgBB/hari)
Rekomendasi 2 : Anak usia 2-59 bulan dengan retraksi diberikan Amoksisilin oral
40mg/dosis 2x/hari untuk 5 hari (80-90 mg/kgBB/hari)
Rekomendasi 3 : Anak usia 2-59 bulan dengan pneumonia berat diberikan
Amphisilin intravena (atau penisilin) dan gentamisin sebagai lini pertama
Amphisilin 50 mg/kgBB, atau benzyl penisilin 50.000 unit/kgBB IM/IV setiap
6 jam untuk 5 hari
Gentamisin 7,5 mg/kgBB IM/IV 1x/hari untuk 5 hari
Ceftriakson dapat diberikan sebagain lini kedua pada anak dengan pneumonia
berat yang gagal menggunakan obat lini pertama
Rekomendasi 4 : Ampisilin (atau penisilin jika tidak tersedia ampisilin) + gentamisin
atau ceftriakson direkomendasikan sebagai regimen antibiotik lini pertama untuk
pasien HIV dan bayi yang terpapar HIV dan untuk anak dibawah 5 tahun dengan
retraksi dan pneumonia berat
Pasien HIV dan bayi yang terpapar HIV dan untuk anak dibawah 5 tahun
dengan retraksi dan pneumonia berat, yang tidak merespon baik terapi dengan
ampisilin atau penisilin + gentamisin, ceftriakson saja direkomendasikan digunakan
sebagai lini kedua
Rekomendasi 5 : Terapi empiris kotrimoksazol untuk pasien PCP direkomendasikan
diberi terapi tambahan untuk yang terinfeksi HIV dan bayi yang terpapar HIV mulai
dari usia 2bulan hingga 1tahun dengan pneumonia berat atau sangat berat.

15
3. Bagaimana komplikasi yang dapat timbul pada kasus ini?
Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri.
Kecurigaan ke arah empiema apabila terdapat demam persisten, ditemukan tanda klinis dan
gambaran foto dada yang mendukung ( bila masif terdapat tanda pendorongan organ
intratorakal, pekak pada perkusi, gambaran foto dada menunjukkan adanya cairan pada satu
atau kedua sisi dada ). Efusi pleura, abses paru dapat juga terjadi

Perikarditis purulenta, pnemothoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis


purulenta, miokarditis

4. Bagaimana prognosis dari pasien ini?


Prognosis pada pasien ini ad bonam, karena hal yang faktor membuat/ memperberat angka
mortalitas pada pasien ini tidak ada, contohnya malnutrisi, Infeksi yang sangat berat.

16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Bronkopneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru yang terbatas pada alveoli
kemudian menyebar secara berdekatan ke bronkus distal terminalis. Pada pemeriksaan
histologis terdapat reaksi inflamasi dan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai
penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi. Berbagai spesies bakteri,
klamidia, riketsia, virus, fungi dan parasit dapat menjadi penyebab bronkopneumonia.
Bronkopneumonia adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah dari parenkim
paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak
yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda
asing. Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus
paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat. Bronkopneumina adalah
frekuensi komplikasi pulmonari, batuk produktif yang lama, tanda dan gejalanya biasanya
suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan meningkat . Bronkopneumonia disebut juga
pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan
benda-benda asing. Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang
mengenai parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi:
1) Pneumonia lobaris
2) Pneumonia interstisial
3) Bronkopneumonia.

17
Gambar 1, jenis-jenis pneumonia
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada
parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai
alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-
paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak
di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak
diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia,
sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN)
2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit
sistem repiratori, terutama pneumonia.
Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas
pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah: pneumonia
yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi,
tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens
kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi
industri atau asap rokok).
2.3 ETIOLOGI
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi mikroorganisme (virus, bakteri,
jamur, parasit) dan sebagain kecil disebabkan oleh: aspirasi makanan dan asam lambung,

18
benda asing, senyawa hidrokarbon, reaksi hipersensitivitas, dan drug or radiation induced
pneumonitis. Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan
dan kekhasan penumonia anak terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan
strategi pengobatan.
Pada neonatus sering terjadi pneumonia akibat transmisi vertikal ibu anak yang
berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan sumber
infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekoneum, cairan amnion, atau dari serviks ibu.
Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus
group B, Chlamydia trachomatis, dan bakteri Gram negatif seperti E. coli, Pseudomonas sp,
atau Klebsiella sp. disamping bakteri utama penyebab pneumonia yaitu Streptococcus
pneumoniae. Infeksi oleh Chlamydia trachomatis akibat transmisi dari ibu selama proses
persalinan sering terjadi pada bayi di bawah 2 bulan. Penularan transplasenta juga dapat
terjadi dengan mikroorganisme Toksoplasma, Rubela, virus Sitomegalo, dan virus Herpes
simpleks ( TORCH ), Varisela Zoster, dan Listeria monocytogenes.
Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia lebih sering disebabkan oleh
infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus
aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga
ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.
Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, di samping
bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk. melakukan penelitian pada pneumonia
anak dan menemukan etiologi virus saja sebanyak 32%, campuran bakteri dan virus 30%, dan
bakteri saja 22%. Virus yang terbanyak menyebabkan pneumonia antara lain adalah
Respiratory Synctial Virus ( RSV ), Rhinovirus, dan virus Parainfluenzae. Bakteri yang
terbanyak adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan
Mycoplasma pneumoniae. Kelompok anak berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi
infeksi bakteri yang lebih banyak dibandingkan dengan anak berusia di bawah 2 tahun.
Namun, secara klinis umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus.
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia yang bersumber dari data
di negara maju dapat terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju.

c Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang


Lahir-20 hari Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria moonocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum

19
Virus
Virus Sitomegalo
Virus Herpes Simpleks

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang


3 minggu-3 bulan Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae tipe B
Virus Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainflueza 1,2,3 Virus
Respiratory Syncytial virus Virus Sitomegalo

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang


4 bulan-5 tahun Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
Virus Staphylococcus aureus
Virus Adeno Virus
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial virus

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang


5 tahun-remaja Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial virus
Virus Varisela-Zoster
Sumber: Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit IDAI. Jakarta:Cetakan Kedua;350-
365.
2.4 PATOGENESIS
Proses patogenesis terkait dengan 3 faktor, yaitu imunitas host, mikroorganisme yang
menyerang, dan lingkungan yang berinteraksi. Cara terjadinya penularan berkaitan dengan
jenis kuman, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococcus pneumonia,
melalui selang infus oleh Staphylococcus aureus, sedangkan infeksi pada pemakaian
ventilator oleh Enterobacter dan P. aeruginosa. Pada masa sekarang, terlihat perubahan pola
mikrorganisme adanya perubahan keadaan pasien seperti gangguan kekebalan, penyakit
kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan antibiotic yang tidak tepat menimbulkan

20
perubahan karakteristik kuman. Dijumpai peningkatan patogenesis kuman akibat adanya
berbagai mekanisme terutama oleh S. aureus, H. influenza dan Enterobacteriaceae serta
berbagai bakteri gram negatif.
Patogen mikrobial dapat berasal dari flora orofaringeal termasuk S. pneumonia, S.
pyogens, M. pneumonia, H. influenza, Moraxalla catarrhalis. Kolonisasi bakteri ini meningi
merusak fibronektin, glikoprotein yang melapisi permukaan mukosa. Fibronektin merupakan
reseptor bagi flora normal gram positif orofaring. Hilangnya fibronektin menyebabkan
reseptor pada permukaan sel terpajan oleh bakteri gram negatif. Sumber basil gram negatif
dapat berasal dari lambung pasien sendiri atau alat respirasi yang tercemar.
Penyebaran hematogen ke seluruh paru biasanya dengan infeksi S. aureus dapat
terjadi pada pasien seperti pada keadaan penyalahgunaan obat melalui intravena, atau pada
pasien dengan infeksi akibat kateter intravena. Dua jalur penyebaran bakteri ke paru lainya
adalah melalui jalan inokulasi langsung sebagai akibat intubasi trakeaatau luka tusuk dada
yang berdekatan denga tempat infeksi yang berbatasan.
Usia merupakan prediktor lain yang penting untuk meramalkan mikroorganisme
penyebab infeksi. Chlamidia trachomatis dan virus sisitial pernafasan sering terdapat pada
bayi berusia dibawah 6 bulan. H. influenza pada anak berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun,
M. pneumonia dan C. pneumonia pada orang dewasa muda dan H. influenza serta M.
catarrhalis pada pasie lanjut usia dengan penyakit paru kronis. H. influenza juga lebih sering
didapatkan pada pasien perokok. Bakteri gram negative lebih sering pada pasien lansia.
Pseudomonas aeruginosa pada pasien bronkiektasis, terapi steroid, malnutrisi dan
imunisupresi disertai lekopeni.
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasofaring dan bersifat
asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan memudahkan
Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel pernafasan. Jika
Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe II.
Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan menyebabkan
invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus pneumoniae akan menyebar dari alveolus
ke alveolus melalui pori dari Kohn. Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan
reaksi radang berupa edema dari seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.
Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :
1. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
21
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan.
Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan
cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini
udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang
cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali ke strukturnya semula.
Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau
penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat
sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam
keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam keadaan sehat,
tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh adanya
mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
22
mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan
menimbulkan penyakit.
Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :
Filtrasi partikel di hidung
Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar
Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
Drainase melalui sistem limfatik.

2.5 MANIFESTASI KLINIS


Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan hingga
sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terjadi
komplikasi sehingga perlu dirawat. Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis
pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang
luas, gejala klinis yang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur
diagnostik invasif, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat ringannya infeksi,
tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
- Gambaran infeksi umum :
Demam: suhu bisa mencapai 39 40 oC
Sakit kepala
Gelisah
Malaise
Penurunan nafsu makan
Keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare
Kadang kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
- Gambaran gangguan respiratori:
Batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif
Sesak nafas
Retraksi dada
Takipnea
Napas cuping hidung
Penggunaan otat pernafasan tambahan
Air hunger
Merintih
Sianosis
Bronkopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama
beberapa hari. Batuk mungkin tidak dijumpai pada anak anak. Bila terdapat batuk, batuk

23
berawal kering lalu berdahak. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti
vokal fremitus yang meningkat pada daerah terkena, pekak perkusi atau perkusi yang redup
pada daerah yang terkena, suara napas melemah, suara napas bronkial, dan ronki. Akan tetapi
pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pnuemonia lebih beragam dan tidak selalu
terlihat jelas. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.

2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriskaan mikrobiologis dan /atau serologis
merupakan dasar yang optimal. Akan tetapi, penemunan bakteri penyebab tidak selalu mudah
karena memerlukan laboratorium menunjang yang memadai. Oleh karena itu pneumonia
pada anak didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan keterlibatan sistem
respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah
demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut: takipnea, batuk, napas
cuping hidung, retraksi, ronki, dan suara napas melemah.
WHO mengembangkan pedoman diagnosis sederhana yang ditujukan untuk
Pelayanan Kesehatan Primer dan sebagai pendidikan kesehatan untuk masyarakat di negara
berkembang. Gejala klinis sederhana tersebut meliputi: napas cepat, sesak napas, dan
berbagai tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke rumah sakit. Napas cepat dinilai dengan
menghitung napas anak dalam 1 menit penuh dalam keadaan tenang. Sesak napas dinilai
dengan melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika menarik napas
(retraksi epigastrium). Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan 5 tahun adalah tidak dapat
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada
anak berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun, stridor,
mengi, dan demam/badan terasa dingin. Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan
pedoman tersebut:
Tabel 2. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi dan Anak Usia 2 Bulan 5 Tahun.
Bayi dan anak berusia 2 bulan 5 tahun
Pneumonia berat
bila ada sesak napas
harus dirawat dan diberikan antibiotik
Pneumonia
bila tidak ada sesak napas
ada napas cepat dengan laju napas
o > 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan 1 tahun

24
o > 40 x/menit untuk anak > 1 5 tahun
tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
Bukan pneumonia
bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas

Pada bayi berusia di bawah 2 bulan, perjalanan penyakitnya lebih bervariasi, mudah
terjadi komplikasi, dan sering menyebabkan kematian. Klasifikasi pneumonia pada kelompok
usia ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi Di Bawah 2 Bulan.
Bayi di bawah 2 bulan
Pneumonia
bila ada napas cepat ( > 60 x/menit ) atau sesak napas
harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bukan pneumonia
bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas

Namun, menurut Pelayanan Kesehatan Medik Rumah Sakit ( WHO ), pneumonia dapat
dibagi menjadi pneumonia ringan dan berat:
3. Pneumonia ringan: Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya terdapat napas cepat
saja, dimana napas cepat adalah:
a. pada usia 2 bulan 11 bulan : 50 kali / menit
b. pada usia 1 tahun 5 tahun : 40 kali / menit
4. Pneumonia berat: Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal
berikut ini:
a. kepala terangguk angguk
b. pernapasan cuping hidung
c. tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
d. foto dada menunjukkan gambaran pneumonia ( infiltrat luas, konsolidasi, dll. )
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
Napas cepat

25
o anak umur < 2 bulan : 60 kali / menit
o anak umur 2 11 bulan : 50 kali / menit
o anak umur 1 5 tahun : 40 kali / menit
o anak umur 5 tahun : 30 kali / menit
Suara merintih ( grunting ) pada bayi muda
Pada auskultasi terdengar
o crackles ( ronki )
o suara pernapasan menurun
o suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
kejang, letargi, atau tidak sadar
sianosis
distress pernapasan berat

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Perifer Lengkap
Pada pneumonia virus dan mikoplasma, umumnya ditemukan leukosit dalam
batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri didapatkan
leukositosis yang berkisar antara 15.000 40.000 / mm3 dengan predominan PMN.
Leukopenia ( < 5.000 / mm3 ) menunjukkan prognosis yang buruk. Leukositosis hebat
hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri sering ditemukan pada keadaan
bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Clamydia
pneumoniae kadang kadang ditemukan eosinofilia. Efusi pleura merupakan cairan
eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300 100.000 / mm3, protein > 2,5 g/dL,
dan glukosa relatif lebih rendah dibandingkan glukosa darah. Kadang kadang
terdapat anemia ringan dan laju endap darah ( LED ) yang meningkat. Trombositopeni
dapat ditemukan pada 90% penderita pneumonia dengan empiema. Secara umum
hasil pemeriksaan darah perifer tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan
infeksi bakteri secara pasti.
C Reaktive Protein ( CRP ) dan LED
CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon
infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin,
terutama IL 6, IL 1, dan TNF. Meskipun fungsinya belum diketahui, CRP sangat

26
mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel yang rusak. Secara
klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi
dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan
profunda, dimana kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi
bakteri superfisialis dibandingkan infesksi bakteri profunda.
Uji Serologis
Uji serologis untukj mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas yang rendah dan secara umum tidak terlalu bermanfaat dalam
mendiagnosis infeksi bakteri atipik.1
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan
bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. Pemeriksaan sputum kurang
berguna. Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dalam darah, cairan
pleura, atau aspirasi paru, kecuali pada masa neonatus, dimana kejadian bakteremia
sangat rendah sehingga kultur darah jarang positif.
Analisa Gas Darah
Analisa gas darah (AGDA) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia.Pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.
Pemeriksaan Rontgen Thorax
Foto toraks dengan proyeksi antero posterior merupakan dasar diagnosis
untuk pneumonia. Foto lateral dilakukan bila diperlukan informasi tambahan,
misalnya efusi pleura. Kelainan foto toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan
dengan gambaran klinis. Kadang kadang bercak bercak sudah ditemukan pada
gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi, resolusi infiltrat sering
memerlukan waktu yang lebih lama setelah gejala klinis menghilang. Pada pasien
dengan pneumonia tanpa komplikasi, ulangan foto rontgen tidak diperlukan. Ulangan
foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit memburuk, atau
untuk tidak lanjut. Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
Pneumonia / infiltrat interstisial: ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi. Biasanya disebabkan oleh
virus atau Mycoplasma. Bila berat dapat terjadi patchy consolidation karena
atelektasis
Infiltrat alveolal : merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas

27
yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round
pneumonia. Biasanya disebabkan oleh bakteri pnuemokokus atau bakteri lain.
Bronkopneumonia : ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru,
berupa bercak bercak infiltrat halus yang dapat meluas hingga daerah perifer
paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial

Gambar 6. Perbedaan Bronkopneumonia dan Pneumonia Klasik


Gambaran foto rontgen toraks pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu paru hingga
konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian ditemukan pneumonia pada anak
terbanyak di paru kanan, terutama lobus atas. Bila ditemukan di lobus kiri, dan terbanyak di
lobus bawah, maka hal tersebut merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat
dengan risiko terjadinya pleuritis lebih meningkat.
Gambaran foto toraks pada pneumona dapat membantu mengarahkan kecenderungan
etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat interstisial merata, dan hiperinflasi
cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau
lobar, bronkopnumonia, dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada
pneumonia Stafilokokus sering ditemukan abses abses kecil dan pneumoatokel dengan
berbagai ukuran.
Gambaran foto toraks pada pneumonia Mikoplasma sangat bervariasi. Pada beberapa
kasus terlihat sangat mirip dengan gambaran foto rontgen toraks pneumonia virus. Selain itu,
dapat juga ditemukan gambaran bronkopneumonia terutama di lobus bawah, inflitrat
interstisial retikulonodular bilateral, dan yang jarang adalah konsolidasi segmen atau
subsegmen. Biasanya gambaran foto toraks yang jauh lebih berat dibandingkan gejala klinis.
Meskipun tidak terdapat gambaran foto toraks yang khas, tetapi bila ditemukan gambaran
retikulonodular fokal pada satu lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh infeksi Mikoplasma.
Demikian pula bila ditemukan gambaran perkabutan atau ground glass consolidation, serta
transient pseudoconsolidation.

2.8 KRITERIA DIAGNOSIS

28
Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah
ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini :
f. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
g. panas badan
h. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
i. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
j. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan,
dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

2.9 DIAGNOSIS BANDING

DIAGNOSIS GEJALA YANG DITEMUKAN

Demam
Batuk dengan napas cepat
Crackles (ronki) pada auskultasi
Kepala terangguk-angguk
Pneumonia
Pernapasan cuping hidung
Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
Merintih (grunting)
Sianosis
Episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun
Hiperinflasi dinding dada
Bronkiolotis Ekspirasi memanjang
Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai
Kurang/tidak ada respons dengan bronkodilator
Asma Riwayat wheezing berulang

Peningkatan tekanan vena jugularis


Denyut apeks bergeser ke kiri

Gagal jantung Irama derap


Bising jantung
Crackles /ronki di daerah basal paru
Pembesaran hati
Sulit makan atau menyusu
Penyakit jantung Sianosis
bawaan Bising jantung
Pembesaran hati
Efusi/empiema Bila masif terdapat tanda pendorongan organ intra

29
toraks
Pekak pada perkusi
Riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa
Uji tuberkulin positif ( 10 mm, pada keadaan
imunosupresi 5 mm)

Tuberkulosis Pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun

(TB) Demam ( 2 minggu) tanpa sebab yang jelas


Batuk kronis ( 3 minggu)
Pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal
yang spesifik. Pembengkakan tulang/sendi punggung,
panggul, lutut, falang
Batuk paroksismal yang diikuti dengan whoop, muntah,
sianosis atau apnu
Pertusis Bisa tanpa demam
Imunisasi DPT tidak ada atau tidak lengkap
Klinis baik di antara episode batuk
Riwayat tiba-tiba tersedak

Benda asing Stridor atau distres pernapasan tiba-tiba


Wheeze atau suara pernapasan menurun yang bersifat
fokal
Awitan tiba-tiba
Pneumotoraks Hipersonor pada perkusi di satu sisi dada
Pergeseran mediastinum

2.10 PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan umum
- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau PaO 2 pada
analisis gas darah 60 torr
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

Penatalaksanaan khusus
- Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72
jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal.
Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi,
atau penderita kelainan jantung
- Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis.
Pneumonia ringan amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka
resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).

30
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
e. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis
f. Berat ringan penyakit
g. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
h. Ada tidaknya penyakit yang mendasari

Antibiotik :
Berdasarkan WHO :
Rekomendasi 1 : pasien dengan pneumnia tanpa retraksi atau gejala berat lainnya
diberikan Amoksisilin oral 40mg/dosis 2x/hari untuk 5 hari pada wilayah yang prevalensi
HIV rendah, berikan Amoksisilin untuk 3 hari (80-90 mg/kgBB/hari)
Rekomendasi 2 : Anak usia 2-59 bulan dengan retraksi diberikan Amoksisilin oral
40mg/dosis 2x/hari untuk 5 hari (80-90 mg/kgBB/hari)
Rekomendasi 3 : Anak usia 2-59 bulan dengan pneumonia berat diberikan Amphisilin
intravena (atau penisilin) dan gentamisin sebagai lini pertama
Amphisilin 50 mg/kgBB, atau benzyl penisilin 50.000 unit/kgBB IM/IV setiap 6
jam untuk 5 hari
Gentamisin 7,5 mg/kgBB IM/IV 1x/hari untuk 5 hari
Ceftriakson dapat diberikan sebagain lini kedua pada anak dengan pneumonia berat
yang gagal menggunakan obat lini pertama
Rekomendasi 4 : Ampisilin (atau penisilin jika tidak tersedia ampisilin) + gentamisin
atau ceftriakson direkomendasikan sebagai regimen antibiotik lini pertama untuk pasien
HIV dan bayi yang terpapar HIV dan untuk anak dibawah 5 tahun dengan retraksi dan
pneumonia berat
Pasien HIV dan bayi yang terpapar HIV dan untuk anak dibawah 5 tahun dengan retraksi
dan pneumonia berat, yang tidak merespon baik terapi dengan ampisilin atau penisilin +
gentamisin, ceftriakson saja direkomendasikan digunakan sebagai lini kedua
Rekomendasi 5 : Terapi empiris kotrimoksazol untuk pasien PCP direkomendasikan
diberi terapi tambahan untuk yang terinfeksi HIV dan bayi yang terpapar HIV mulai dari
usia 2bulan hingga 1tahun dengan pneumonia berat atau sangat berat.

2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta,
pnemothoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Empiema torasis
merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri. Kecurigaan ke arah
empiema apabila terdapat demam persisten, ditemukan tanda klinis dan gambaran foto dada
yang mendukung ( bila masif terdapat tanda pendorongan organ intratorakal, pekak pada

31
perkusi, gambaran foto dada menunjukkan adanya cairan pada satu atau kedua sisi dada ).
Efusi pleura, abses paru dapat juga terjadi.
Ilten F dkk. melaporkan mengenai komplikasi miokarditis (tekanan sistolik ventrikel
kanan meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup tinggi pada seri
pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan yang fatal,
maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik noninvasif seperti EKG,
ekokardiografi, dan pemeriksaan enzim.
2.12 PROGNOSIS
Pneumonia biasanya sembuh total dengan mortalitas kurang dari 1 %. Mortalitas dapa
lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi protein dan
datang terlambat untuk pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah
lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan
peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan
pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua duanya bekerja sinergis,
maka malnutrisi bersama sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar
dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.
Pneumonia biasanya tidak mempengaruhi tumbuh kembang anak.

2.14 PENCEGAHAN
Primer
Memberikan imunisasi
Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada bayi neonatal
sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita.
Mengurangi kepadatan hunian rumah
Sekunder
Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri antibiotik
benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif, nilai setiap hari.
Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi.
Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati demam

Tersier
Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit.
Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung
Berikan anak cairan tambahan untuk minum.
Tingkatkan pemberian ASI

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Alsagaff Hood, Mukty H.Abdul.Pneumonia. Dasar Dasar Ilmu Penyakit Paru.


Surabaya : Airlangga University Press.th ; 2008. Hal ; 193-7
2. Danusantosos H. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit Hipokrates. 2000.
Hal. 74 92
3. Garna H dan Heda M.2005. Pneumonia Dalam Pedoman Diagnosis Dan Terapi 3rd
Ed : Bagian IKA FK UNPAD Bandung.th ; 2010.Hal; 403 8
4. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.
18th ed. [ e book ]. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007
5. Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. 1st ed.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010. hal. 350 -365.
6. Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, Subroto H, Sembiring H, Rai IBN, et al. Pneumonia
Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002.
7. Price S, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses proses Penyakit. Vol 2. 6th
ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. Hal. 804 810

33
8. Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, Pudjadi AH, Kosim MS,
et. al. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI. 2004. hal. 351 - 354.
9. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit:
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota. Jakarta:
World Health Organization. 2009. hal. 83 113
10. WHO. 2014. Revised WHO classification and treatment of childhood pneumonia at
health facilities. Switzerland: WHO library catalogue in publication data.

34

Anda mungkin juga menyukai