PENDAHULUAN
1
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, disusun rumusan permasalahan
penelitian ini, meliputi: Apakah penatalaksanaan terapi hipertensi pada pasien
dengan penyakit ginjal kronis di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi tahun
2014 sudah tepat obat, tepat dosis dan tepat pasien?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi apakah pemberian terapi
hipertensi pada pasien penyakit ginjal kronis di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr.
Moewardi tahun 2014 memenuhi kriteria tepat obat, tepat dosis dan tepat pasien.
D. Tinjauan Pustaka
1. Definisi Hipertensi dan Penyakit Ginjal Kronis
Hipertensi merupakan suatu kondisi di mana tekanan pembuluh darah terus-
menerus mengalami peningkatan. Darah dibawa dari jantung ke seluruh bagian
tubuh dalam pembuluh darah. Tekanan darah yang dihasilkan oleh kekuatan darah
memompa dinding pembuluh darah (arteri) seperti yang dipompa oleh jantung.
Semakin tinggi tekanan, jantung harus memompa lebih keras lagi, sehingga
terjadilah peningkatan tekanan darah (WHO, 2013).
Terdapat tujuh kategori tekanan darah dalam pedoman JNC 7 yang
didefinisikan dari JNC 6, disederhanakan dan dikurangi menjadi empat kategori:
a. Tekanan darah normal: SBP <120 mmHg dan tekanan darah diastolik
(DBP) <80 mmHg.
b. Prehipertensi: Ini adalah pasien di puncak terkena hipertensi. Hal ini
didefinisikan sebagai SBP 120-139 mmHg atau DBP dari 80-89 mmHg.
c. Tahap I hipertensi: SBP 140-159 mm Hg atau DBP 90-99 mmHg.
d. Tahap II hipertensi: SBP 160 mmHg atau DBP 100 mmHg.
(Martin, 2008)
4
3. Epidemiologi
Angka kejadian hipertensi terus meningkat, sekitar 74,5 juta orang di
Amerika Serikat berusia 20 tahun dan lebih tua menderita hipertensi. Faktor
penuaan dan obesitas merupakan dua alasan yang paling penting dibalik
peningkatan angka kejadian tersebut. Hipertensi (HTN) sering menyertai dan
menjadi penyebab dari keparahan CKD (Chronic Kidney Disease). Bahkan lebih
banyak pasien mengembangkan hipertensi dari CKD dibandingkan
mengembangkan CKD dari HTN yang disebut nephrosclerosis hipertensi. Dalam
satu studi observasional, CKD dan HTN meningkatkan risiko stroke hingga 22%
dibandingkan dengan orang yang hipertensi tanpa CKD. Sebaliknya, lebih dari 2
kali lipat peningkatan risiko stroke ketika nilai SBP dibawah 120 mmHg. Risiko
gagal jantung dan kematian kardiovaskular pada pasien CKD juga meningkat saat
6
nilai SBP mendekati 120 mmHg dan di bawah ambang batas tersebut (Cohen &
Townsend, 2011).
Penyebab baru gagal ginjal pasien hemodialisis dari data tahun 2010
menyebutkan bahwa penyakit ginjal hipertensi menempati posisi dengan angka
kejadian tertinggi sebesar 35% jika dibandingkan dengan penyakit ginjal kronis
dengan komplikasi lain (PERNEFRI, 2012). Jumlah pasien berdasarkan etiologi
tahun 2012, E4 (Penyakit Ginjal Hipertensi) masih menduduki angka tertinggi
(5654 kasus) (PERNEFRI, 2012). Dari data epidemiologi tersebut dapat dilihat
bahwa kejadian hipertensi dengan penyakit ginjal di Indonesia memang masih
menjadi masalah serius yang diderita sebagian besar populasi di Indonesia.
Dikelompokkan Berdasarkan usia, semua tahap CKD lebih banyak terjadi
pada usia diatas 60 tahun (39,4%) dibandingkan pada usia 40-59 tahun (12,6%)
atau 20-39 tahun (8,5%). Berdasarkan tingkat pendidikan, orang dengan tingkat
pendidikan tinggi cenderung memiliki risiko CKD lebih rendah (15,7%)
dibandingkan orang yang memiliki tingkat pendidikan rendah (22,1%) (Cohen &
Townsend, 2011).
5. Faktor Risiko
Kategori faktor risiko dari penyakit ginjal kronis dilampirkan dalam tabel
berikut:
Tabel 4. Kategori Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronis
Klasifikasi Definisi Faktor Risiko
Kategori 1 Intervensi faktor spesifik Diabetes, hipertensi, obesitas,
mengurangi risiko gangguan metabolik, hiperlipidemia
Kategori 2 Intervensi faktor spesifik mungkin Merokok, kokain, paparan
dapat mengurangi risiko nefrotoksik (obat-obatan tertentu),
batu ginjal, hipertrofi prostat
(obstruksi), media radiocontrast
Kategori 3 Modifikasi faktor spesifik dapat Asupan tinggi protein, obesitas,
menurunkan risiko sindrom metabolik, berpenghasilan
rendah dan/atau tingkat pendidikan,
bahaya lingkungan kimia
Kategori 4 Faktor spesifik yang tidak dapat Usia lanjut, jenis kelamin laki-laki,
dimodifikasi etnis (Afrika Amerika, penduduk
asli Amerika, Hispanik, dan Asia),
riwayat keluarga CKD (penyakit
ginjal kistik), berat badan lahir
rendah, bawaan atau diperoleh
ginjal soliter , dan kerusakan ginjal
sebelumnya (trauma, infeksi)
(Krol, 2011)
8
6. Komplikasi
Komplikasi CKD mempengaruhi sebagian besar sistem organ. Kondisi
umum lainnya yang mempengaruhi CKD adalah usia lanjut (elderly), seperti
infeksi dan gangguan fisiologis. Selain itu, CKD dikaitkan dengan peningkatan
risiko dari efek samping obat, pemberian radiocontrast intravaskular, operasi dan
prosedur invasif lainnya. Secara keseluruhan komplikasi CKD berhubungan
dengan morbiditas, kematian dan biaya yang lebih tinggi (KDIGO, 2013).
Pemeriksaan rutin atau deteksi dini diperlukan pada kelompok yang berisiko
tinggi, misalnya orang dengan diabetes, hipertensi, penyakit kardiovaskular,
penyakit saluran struktural ginjal. Orang yang memiliki riwayat keluarga gagal
ginjal, riwayat keturunan penyakit ginjal, usia lanjut, pasien yang menerima obat
nefrotoksik potensial atau yang memiliki hematuria atau proteinuria dapat segera
dilakukan karena merupakan indikasi awal kerusakan ginjal (KDIGO, 2013).
Faktor yang terkait dengan perkembangan CKD dan dengan peningkatan
risiko kardiovaskular sebagian besar saling berhubungan satu dengan yang lain,
sehingga target terapi dari faktor-faktor risiko tersebut diharapkan dapat
mengurangi risiko CVD (Cardiovascular Disease) pada pasien CKD. Terapi yang
dilakukan diharapkan juga dapat mengurangi perkembangan CKD menjadi
stadium akhir penyakit ginjal atau End-Stage Renal Disease (ESRD). Terdapat
bukti kuat bahwa penghambatan dari Renin-Angiotensin-Aldosterone System
(RAAS) merupakan strategi efektif untuk menurunkan tekanan darah atau Blood
Pressure (BP) dan dapat mengurangi risiko penyakit ginjal, serta risiko
kardiovaskular terhadap albuminuria (KDIGO, 2013).
7. Penatalaksanaan Terapi
Laporan ketujuh dari Joint National Committee (JNC 7) mengeluarkan
serangkaian indikasi yang menarik (lihat tabel 5) untuk pengobatan hipertensi,
yang juga harus diikuti dalam terapi pasien CKD. Modifikasi gaya hidup dan diet
harus selalu ditegakkan di pasien CKD dengan hipertensi. Pembatasan natrium
dapat menghasilkan penurunan BP substansial dan terutama melibatkan
mengurangi asupan garam (asin) dalam makanan olahan. Saat ini tidak ada cukup
9
bukti untuk mendukung tujuan SBP <130 mmHg di CKD dengan rasio protein
kreatinin urin <0,22. Pada pasien dengan CKD dan proteinuria >1 g/hari,
direkomendasikan target SBP adalah 120-130 mmHg.
Tabel 5. Indikasi Pengobatan Hipertensi Berdasarkan JNC 7
Indikasi Pengobatan
Penyakit ginjal kronis ACEI, ARB
Diabetes melitus ACEI, ARB, BB, CCB*
Gagal jantung ACEI, ARB, BB, ARA, tiazid
Risiko tinggi CAD (Coronary Artery Disease) ACEI, tiazid, BB, CCB*
Post-MI (Myocardial infarction) ACEI, BB, ARA
Pencegahan primer stroke ARB (losartan, LIFE Trial)
Pencegahan sekunder stroke ACEI
Singkatan: ACEI, angiotensin converting enzyme inhibitor; ARB, angiotensin receptor blocker; BB, beta blocker; CCB,
calcium channel blocker; ARA, antagonist receptor aldosterone (epleronone, spironolactone).
*Pemilihan CCB nondihidropiridin lebih disukai pada pasien CKD dengan proteinuria.
E. Landasan Teori
Penyakit ginjal kronis (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) merupakan
masalah kesehatan paling umum di masyarakat dan membutuhkan program
terpadu untuk mendeteksi, memantau serta mengendalikannya. Salah satu
penelitian program CKD tersebut dirancang dan dilaksanakan di Shahreza (Iran)
terhadap pasien diabetes dan hipertensi (Barahimi, et al., 2014). Penelitian
dilakukan dengan uji kreatinin serum dan urin albumin-kreatinin rasio, kemudian
dilakukan program manajemen CKD termasuk pelatihan, skrining, pemantauan,
dan pengendalian berat badan, hipertensi, diabetes mellitus, lipid, dan serum
vitamin D. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa integrasi program
CKD dalam perawatan kesehatan dasar mungkin akan menghasilkan perbaikan
dalam pengelolaan pasien CKD (Barahimi, et al., 2014).
Penelitian di atas dilakukan terhadap pasien diabetes melitus dan hipertensi,
sedangkan pada penelitian skripsi ini secara spesifik hanya mengevaluasi
ketepatan dan pengaruh dari penatalaksanaan hipertensi yang dilakukan terhadap
pasien penyakit ginjal kronis, tanpa mengevaluasi terapi diabetes melitus.
Penelitian sebelumnya juga dilakukan oleh Shrestha & Dhungel (2012) di
Nepal Hospital Medical College Teaching selama tiga tahun, dari 16 April 2008
sampai 15 April 2011. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat dilihat bahwa
kontrol hipertensi pada pasien CKD masih cukup sulit, karena terdapat lebih dari
dua pertiga pasien (68,6%) masih memiliki BP >140/90 mmHg setelah pemberian
terapi (Shrestha & Dhungel, 2012). Kelompok tersebut kemudian diberikan agen
antihipertensi tambahan, yaitu amlodipin dan furosemid (antihipertensi yang
populer digunakan di Nepal) diikuti oleh prazosin dan metoprolol. Efek terapi dari
agen hipertensi tersebut memang baik, tetapi kontrol terhadap tekanan darah pada
pasien CKD di Nepal umumnya masih sangat memprihatinkan (Shrestha &
Dhungel, 2012).
Penelitian di atas dilakukan terhadap pasien CKD dengan hipertensi secara
prospektif, sedangkan pada penelitian dalam proposal skripsi ini hanya akan
dilakukan analisis data dengan metode retrospektif (deskriptif) tanpa adanya
perlakuan. Namun pada dua penelitian tersebut dapat dilihat bahwa kontrol
12
tekanan darah pada awal deteksi CKD dan penanganan yang tepat mungkin akan
dapat menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas terhadap pasien CKD.
Penelitian terhadap gambaran penggunaan obat pada penderita gagal ginjal
kronis juga pernah dilakukan di Instalasi Rawat Inap RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto (Lestari, 2006). Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan
bahwa agen antihipertensi yang digunakan pada pasien gagal ginjal kronis adalah
kalium losartan sebanyak 3 kasus (1,97%), kaptopril sebanyak 1 kasus (0,66%)
dan yang menggunakan diuretik loop (furosemid) sebanyak 80,26% (Lestari,
2006). Namun tidak dijelaskan secara rinci tentang evaluasi terapi hipertensi yang
diberikan pada penyakit ginjal kronis.
F. Keterangan Empiris
Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh data penatalaksanaan terapi
yang tepat dalam penatalaksanaan hipertensi pada pasien penyakit ginjal kronis di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta Tahun
2014, mengingat angka kejadian yang masih sangat tinggi di daerah Jawa Tengah
dan daerah lain di Indonesia.