PENYEMBUHAN LUKA
DISUSUN OLEH:
Dio Arief Pratama 1102012068
PEMBIMBING:
dr. Yeppy A.N , Sp. B, FINaCS, MM
II. Pengertian
Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang, atau
tubuh lain. Ketika luka timbul, beberapa hal akan muncul, yaitu:
Hilangnya sebagian atau seluruh fungsi organ.
Respon stres simpatis.
Perdarahan dan pembekuan darah.
Kontaminasi bakteri.
Kematian sel.
Jaringan yang luka memiliki beberapa karakteritik, yaitu:
Kekuatannya kecil pada 2-3 minggu pertama (fase inflamasi dan proliferasi).
Pada minggu ke-3, kekuatan luka meningkat karena adanya remodelling.
Kekuatannya mencapai 50% pada minggu ke-6.
Kekuatan bertambah terus sampai 6-12 bulan.
2
Kekuatan maksimal yang dapat dicapai remodelling luka sempurna adalah
75% dari jaringan normalnya. (Sudjatmiko, 2007)
3
o Luka gigitan (bite wounds/vulnus morsum), yaitu luka akibat gigitan,
baik karena hewan ataupun manusia.
o Luka putus (amputation wounds/vulnus amputatum), yaitu luka akibat
terputusnya salah satu bagian tubuh, atau biasa dikenal dengan
amputasi.
o Luka bakar (combutio/vulnus combution), yaitu luka akibat panas yang
biasanya disebabkan oleh api, listrik ataupun zat kimia.
Berdasarkan derajat kontaminasi:
o Luka bersih (clean wounds), yaitu luka tak terinfeksi, dimana tidak
terlihat adanya inflamasi dan infeksi. Kulit disekitar luka terlihat
bersih. Kemungkinan terjadinya infeksi sekitar 1-5%.
o Luka bersih terkontaminasi (clean-contaminated wounds), merupakan
luka yang dalam terkontrol, tidak ada material kontamin dalam luka.
Kemungkinan terjadinya infeksi sekitar 3%-11%.
o Luka terkontaminasi (contiminated wounds), yaitu luka terbuka kurang
dari empat jam. Terlihat tanda inflamasi non purulen. Kemungkinan
terjadinya infeksi sekitar 10-17%.
o Luka kotor (dirty wound), yaitu luka terbuka lebih dari empat jam.
Terlihat tanda infeksi disertai dengan pus dan jaringan nekrotik.
Kemungkinan terjadinya infeksi sekitar 40%.
4
secara aseptik dengan kerusakan jaringan minimum, dan dilakukan penutupan
serta penjaitan dengan baik. Ketika luka sembuh melalui instensi pertama,
jaringan granulasi tidak tampak dan pembentukan jaringan parut minimal.
Parutan yang terjadi biasanya lebih halus dan kecil. (David, 2004)
Selain itu, jika luka baik yang belum dijahit, atau jahitan terlepas dan
kemudian dijahit kembali, dua permukaan granulasi yang berlawanan akan
tersambungkan. Hal ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas
dibandingkan dengan penyembuhan primer. (Diegelmann and Evans, 2004)
5
Gambar 1. Macam-macam penutupan luka
6
V. Fase Penyembuhan Luka
Setiap proses penyembuhan luka akan melalui 3 tahapan yang dinamis, saling
terkait dan berkesinambungan, serta tergantung pada tipe/jenis dan derajat luka.
Sehubungan dengan adanya perubahan morfologik, tahapan penyembuhan luka
terdiri dari:
1. Fase Hemostasis dan Inflamasi
Fase hemostasis dan inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan seluler
yang terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak. Tujuannya
adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing,
sel-sel mati, dan bakteri, untuk mempersiapkan dimulainya proses
penyembuhan. Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan
menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan
menutupi vaskuler yang terbuka (clotting) dan juga mengeluarkan substansi
vasokonstriktor yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi,
selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah.
Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, lalu akibat substansi vasodilator,
terjadi vasodilatasi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi udem
dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinis reaksi radang menjelas, berupa
wanra kemerahan karena kapiler melebar (rubor), rasa hangat (kalor), nyeri
(dolor) dan pembengkakan (tumor). Eksudasi juga mengakibatkan migrasi sel
lekosit (terutama netrofil) ke ekstra vaskuler. Fungsi netrofil adalah melakukan
fagositosis benda asing dan bakteri di daerah luka selama 3 hari dan kemudian
akan digantikan oleh sel makrofag yang berperan lebih besar jika dibanding
dengan netrofil pada proses penyembuhan luka. (Schwartz and Neumeister,
2006)
Fungsi makrofag disamping fagositosis adalah: (MacKay and Miller, 2003)
o Sintesa kolagen
o Membentuk jaringan granulasi bersama fibroblast
o Memproduksi growth factor yang berfungsi pada re-epitelisasi
o Membentuk pembuluh darah baru (angiogenesis)
7
Dengan berhasil dicapainya luka yang bersih, tidak terdapat infeksi serta
terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini dapat dipakai sebagai
pedoman/parameter bahwa fase inflamasi ditandai dengan adanya eritema
(rubor), hangat pada kulit (kalor), edema (tumor), dan rasa sakit (dolor) yang
berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.
8
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblast
sangat jarang. Sesudah terjadi luka, fibroblast akan aktif bergerak dari jaringan
sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta
mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, asam hyaluronat, fibronectin
dan proteoglikans) yang berperan dalam membangun jaringan baru. (Mallefet
and Dweck, 2008)
Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan
baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh
fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga
fibroblast sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel
dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru tersebut disebut
sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblast dengan
aktifitas sintetiknya disebut fibroplasia.
Angiogenesis, suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam
luka, mempunyai arti penting pada tahap proleferasi proses penyembuhan luka.
Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons
untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka, karena
biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan
oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses
terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan
makrofag (growth factors).
Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblast mengeluarkan
keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel
epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk
barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblast,
pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan
mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu
jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblast akan merubah strukturnya
menjadi myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada
jaringan. (David, 2004; Monaco and Lawrence, 2003)
9
Gambar 3. Fase Proliferasi (Mallefet and Dweck, 2008)
3. Fase Remodelling
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai
kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase remodelling adalah menyempurnakan
terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan
berkualitas. Fibroblast sudah mulai meninggalkan jaringan grunalasi, warna
kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi, dan
serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut.
Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10
setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan
dilanjutkan pada fase remodelling. Selain pembentukan kolagen, juga akan terjadi
pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda (gelatinous collagen)
yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih
matang, yaitu lebih kuat, dengan struktur yang lebih baik.
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan
jaringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang
normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun
outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik masing-
10
masing individu, lokasi, serta luasnya luka. (David, 2004; Mallefet and Dweck,
2008; Schwartz and Neumeister, 2006)
11
VII. Perawatan Luka
Hasil penelitian tentang perawatan luka menunjukkan bahwa lingkungan luka
yang lembab lebih baik daripada lingkungan kering. Laju epitelisasi luka yang
ditutup polyethylene dua kali lebih cepat daripada luka yang dibiarkan kering. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa migrasi epidermal pada luka superficial lebih
cepat pada suasana lembab daripada kering. Perawatan luka lembab tidak
meningkatkan infeksi. Pada kenyataannya tingkat infeksi pada semua jenis balutan
lembab (2,5%) adalah lebih baik dibanding pada balutan kering (9%). Lingkungan
lembab meningkatkan migrasi sel epitel ke pusat luka dan melapisinya sehingga
luka lebih cepat sembuh. Konsep penyembuhan luka dengan teknik lembab ini
merubah penatalaksanaan luka dan memberikan rangsangan bagi perkembangan
balutan lembab.
Penggantian balutan dilakukan sesuai kebutuhan, tidak berdasarkan kebiasaan
melainkan disesuaikan terlebih dahulu dengan tipe dan jenis luka. Penggunaan
antiseptik hanya untuk yang memerlukan saja, karena efek toksinnya terhadap sel
sehat. Untuk membersihkan luka hanya diperlukan normal saline. Citotoxic agent
seperti povidine iodine, seharusnya tidak secara sering digunakan untuk
membersihkan luka, karena dapat menghambat penyembuhan dan mencegah
reepitelisasi. Luka dengan sedikit debris dipermukaannya dapat dibersihkan dengan
kassa yang dibasahi dengan sodium klorida dengan tidak terlalu banyak manipulasi
gerakan.
Adapun tujuan dari perawatan luka antara lain: (Dudley, 2000; Julia, 2000)
o Memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka
o Menekan dan imobilisasi luka
o Mencegah luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanis
o Mencegah luka dari kontaminasi bakteri
o Memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien
12
VIII. Komplikasi Penyembuhan Luka
Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat kolagen yang
berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Keloid yang tumbuh berlebihan
melampaui batas luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila
dilakukan intervensi bedah.
Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan
kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang kadang nyeri. Parut
hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka setelah sekitar satu
tahun, sedangkan keloid tidak.
Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya dilakukan
penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, radiasi ringan dan salep
madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah terjadinya keloid,
sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus, diberikan bebat tekan dan dihindari
kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses penyembuhan luka. (Sjamsuhidajat
and Jong, 1997)
13
o Kekurangan reseptor faktor pertumbuhan (growth factor)
o Tidak terdapat perdarahan awal yang dapat memicu kaskade
penyembuhan luka
o Peningkatan kadar protease (enzim yang memakan protein).
Penatalaksanaan
o Perawatan Dasar
Debridemen kalus secara teratur, perawatan kuku, dan sepatu khusus
untuk mengurangi tekanan penting untuk perawatan kaki diabetik
akibat neuropati diabetik. (Harding and Morris, 2002)
o Penanganan Infeksi
Pada luka kronik harus dicurigai adanya infeksi. Penanganan secara
topikal ataupun oral sebaiknya dipikirkan. (Sudjatmiko, 2010)
o Penutupan Luka yang Baik
Fokus utama dari perawatan luka kronis dalam beberapa tahun
terakhir adalah mengembangkan metode penutupan luka yang baik
sehingga dapat menciptakan lingkungan yang lembab untuk
membantu penyembuhan luka. Penutupan luka belum menunjukkan
efek bermakna dalam studi klinis terhadap pasien dengan luka kronis,
namun penerapannya masih memiliki manfaat bagi pasien dengan
mengurangi rasa sakit dan dengan meningkatkan kenyamanan serta
efektivitas biaya. (Harding and Morris, 2002)
o Penanganan Faktor Lokal dan Sistemik Yang Dapat Menghambat
Penyembuhan Luka
Misalnya gangguan vaskular, edema, diabetes dan malnutrisi.
14
DAFTAR PUSTAKA
Broderick, Nancy. 2009. Understanding Chrinic Wound Healing. The Nurse Practitioner.
Vol 34, No.10
Dudley HAF, Eckersley JRT, et al. 2000. Pedoman Tindakan Medik dan Bedah. Jakarta :
EGC
David LD. 2004. Ethicon: Wound Closure Manual. Minnesota: Ethicon inc. pp: 6-8.
Diegelmann RF and Evans MC. 2004. Wound healing : an overview of acute, fibrotic
and delayed healing. Front in Biosci. 9:283-9.
Harding, KG; Morris, G K patel. 2002. Science, medicine, and the future Healing chronic
wounds. BMJ Vol 324
Julia S. Garner. 2000. Guideline For Prevention of Surgical Wound Infections Hospital
Infections Program Centers for Infectious Diseases Center for Disease Control.
http://wonder.cdc.gov/wonder/prevguid/p0000420/p0000420.asp#head004000000
000000 ( diakses 17 Mei 2011)
MacKay D and Miller AL. 2003. Nutritional support for wound healing. Alt med rev.
8(4): 360-1.
Mallefet P and Dweck A.C. 2008. Mechanisms involved in wound healing. Biomed
Scient. 609-15.
Monaco JL and Lawrence WT. 2003. Acute wound healing: an overview. Clin Plastic
Surg. 30: 1-12.
Sjamsuhidajat, R and Jong, W D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi. Jakarta :
EGC. 3: 72-81.
Sudjatmiko, Gentur. 2010. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. Jakarta :
Yayasan Khasanah Kebajikan.
15