Anda di halaman 1dari 30

1.

1 Pajak Internasional
Definisi Pajak Internasional dalam Undang-undang Pajak Penghasilan sampai detik
ini belum ada. Penulis bersama dengan Bapak Sriadi Kepala Seksi Perjanjian Perpajakan
Eropa, Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak, memberanikan diri untuk mendefinisikan
tentang pengertian Pajak Internasional berdasarkan uraian sebelumnya.
Pajak Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang
mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaanya dilakukan
dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda).
Dengan demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia terhadap
badan atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat perjanjian bilateral (dua
negara) tentang Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara asal atau penduduk
asing tersebut.
Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua) dimensi
luas yaitu:
1. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari luar negri,
dan
2. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari dalam
negeri(domestik).
Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar negeri atau transaksi
(ke) luar batas negara (outward, outbound transaction) karena umumnya melibatkan
eksportasi modal ke manca negara sedangkan dimensi kedua menunjuk pada pemajakan
ataspenghasilan domestik atau transaksi (ke) dalam batas negara (inward, inbound
transaction) karena umumnya melibatkan importasi modal dari manca negara. Dalam
aplikasinya pemajakan penghasilan luar negeri dilakukan oleh negara domisili (residence
country), sedangkan pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara sumber (source
country)

Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional


Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu juga
dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu
memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara,
pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan
investasi tersebut. Salah upaya untuk meminimalkan beban tersebut adalah dengan
melakukan penghindaraan pajak berganda internasional.

Prinsip-prinsip yang harus dipahami dalam pemajakan internasional


Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netraliats yang harus dipenuhi dalam kebijakan
pemajakan internasional:
1. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita berinvestasi, beban
pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada bedanya bila kita berinvestasi di dalam
atau luar negeri. Maka jangan sampai bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih
besar karena menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24 yang
mengatur kredit pajak luar negeri.
2. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun investasi berasal,
dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari dalam negeri atau luar negeri akan
dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak
pemajakan yang sama denagn Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent
establishment (PE) atau Badan Uasah Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan
ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang berlaku.
3. National Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama.
Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan sebagai
biaya pengurang laba.

1.2 Pemajakan Transaksi Lintas Negara


Pemajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim pemajakan. Hal ini karena
adanya prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle) dimana
penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak oleh negara residen
(negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi
wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang
bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal ini membuat suatu
penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara residen lalu oleh negara sumber
Misalnya: PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan pajak oleh
fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan penghasilan dalam negeri
lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia.
Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat dua
negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya yang
menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya: Mr. A bekerja di Indonesia
lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia pulang ke rumahnya di Singapura. Mr.
A dianggap WPDN oleh Indonesia dan juga Singapura sehingga untuk wajib melapor dan
membayar pajak untuk penghasilan globalnya pada Indonesia maupun Singapura.
Dalam kaitan pembagian hak pemajakan ini, negara-negara yang melakukan
perjanjian perpajakan dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah negara sumber (source
country) yang merupakan negara di mana penghasilan yang merupakan objek pajak timbul.
Kedua adalah negara domisili (resident country) yaitu negara tempat subjek pajak bertempat
tinggal, berkedudukan atau berdomisili berdasarkan ketentuan perpajakan.
Baik negara sumber maupun negara domisili biasanya berhak untuk mengenakan
pajak berdasarkan undang-undang domestiknya. Pengenaan pajak oleh dua yurisdiksi
perpajakan terhadap satu jenis penghasilan inilah yang biasanya menimbulkan pengenaan
pajak berganda sehingga perlu diatur dalam suatu persetujuan antara negara sumber dan
negara domisili.

1.3 Konsep Juridical Versus Economic Double Taxation


Dalam komentar atau Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD membedakan antara
pajak berganda yuridis (juridical double taxation) dengan pajak ganda ekonomis (economic
double taxation). Pajak berganda yuridis terjadi apabila atas penghasilan yang sama yang
diterima oleh orang yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara, sedangkan pajak
berganda ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan pajak
atas suatu penghasilan yang sama (atau identik).
Atas perbedaan tersebut Arnold dan McIntyre (2002) menyebutkan sebagai definisi
legal atas Pajak Berganda Internasional (sebutan lain dari PBI yuridis) dan konsep ekonomis
yang luas atas PBI. Berdasar definisi legal,pemajakan badan usaha (atau perusahaan induk)
oleh suatu Negara dan pemajakan atas pemegang saham (atau perusahaan anak) oleh negara
lain bukanlah suatu pajak berganda karena mereka merupakan dua subjek hokum yang
berbeda. Namun demikian, secara ekonomis PBI terjadi dalam kasus badan dengan
pemegang sahamnya karena mereka merupakan satu kesatuan ekonomis. Pajak bergganda
ekonomis dapat terjadi apabila penghasilan dikenakan pajak pada persekutuan dan kepada
sekutu, atau kepada lembaga wali amanat (trust) dan pemilik manfaat manat (beneficiaries),
dan pemajakan penghasilan pada keluarga dan anggota keluarga.
Dalam komentar atas Pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD menjelaskan
tentang PBI yuridis dan ekonomis. Sementara PBI yuridis terjadi apabila suatu penghasilan
(atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan orang (subjek) yang sama oleh lebih dari
satu Negara, PBI ekonomis timbul apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dikenakan
pajak atas suatu penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh lebih dari satu
negara). Dalam PBI yuridis tampak bahwa pemajakan oleh lebih dari satu negara tersebut
dilakukan terhadap satu subjek legal yang sama (legal identityof subject). Di pihak lain, PBI
ekonomis meliputi pemajakan atas objek yang sama terhadap legal subjek yang berbeda,
namun secara ekonomis identik atau setidaknya merupakan para wajib pajak yang terdapat
hubungan (economic identity of subject).

1.4 Hukum Pajak internasional


Ottmar buhler membagi Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit dan hukum
pajak internasional dalam arti luas. Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit adalah
(Agus Setiawan, 2006):
Kaedah-kaedah norma hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum antar bangsa
(hukum internasional),
Sedangkan hukum pajak dalam arti luas ialah:
Kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang mempunyai
obyek hukum perselisihan, khususnya tentang perpajakan.
Teicher memberikan kesimpulan bahwa dalam hukum pajak internasional dalam arti
luas termasuk sebagai berikut:
a. Hukum Pajak Internasional dan Nasional
b. Hukum yang mengatur perjanjian pajak untuk mencegah pajak ganda dan lain-lain perjanjian
internasional;
c. Bagian dari hukum antar bangsa, yaitu :
i. Peraturan hukum yang mengandung soal-soal pajak dalam hukum
internasional/antar bangsa yang diakui secara umum;
ii. Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-soal
perpajakan;
iii. Apa yang telah berkembang sebagai hukum pajak pada masyarakat
internasional (tertentu) seperti supranationales steuerrecht.
Menurut Rosendorff, Hukum Pajak Internasional sebagai keseluruhan Hukum Pajak
Nasional dari semua negara yang ada di Dunia.
Menurut PJA Adriani, Hukum Pajak Internasional ialah keseluruhan peraturan yang
mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan daya beli itu di masing-
masing negara.
Pengertian Hukum Pajak Internasional itu merupakan suatu pengertian yang lebih luas
dari pada pengertian Pajak Ganda dan Hukum Pajak Nasional itu termasuk di dalam Hukum
Pajak Internasional. Hukum Pajak Internasional merupakan suatu kesatuan hukum yang
mengupas suatu persoalan yang diatur dalam Undang-undang nasional mengenai :
a. Pengenaan pajak terhadap orang-orang luar negeri;
b. Peraturan-peraturan nasional untuk menghindari pajak ganda;
c. Traktat-traktat.
Menurut Negara-negara Anglo Saxon, hukum Pajak Internasional dibagi sebagai berikut :
1. Hukum Pajak Nasional mengatur Hukum Pajak Luar Negeri (National External Tax Law);
2. Hukum Pajak Luar Negeri (Foreign Tax law);
3. Hukum Pajak Internsional (Internasioanal Tax Law).

National External Tax Law


National External Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang
memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai daya kerja sampai
di luar batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai obyeknya
(sumber ada di luar negeri) maupun mengenai subyeknya (subyek ada di Luar Negeri).

Foreign Tax Law


Foreign Tax Law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-peraturan dari
negara-negara yang ada di seluruh dunia.

Internasional Tax Law


Internasional Tax Law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum Pajak
Internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang berdasarkan
prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik oleh Negara-negara di Dunia,
mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan antara negara yang saling mempunyai
kepentingan.
Sedangkan Hukum Pajak Internasional dalam arti luas adalah keseluruhan kaedah
baik yang berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip hukum pajak yang
diterima baik oleh negara-negara di Dunia,maupun kaedah-kaedah nasional yang mempunyai
sebagai obyeknya pangenaan pajak dalam mana dapat ditunjukan adanya unsur-unsur asing,
hal mana mungkin dapat menimbulkan bentrokan antara dua negara atau lebih.
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut :
i. Hukum Pajak Internasional adalah merupakan hukum yang lebih luas baik ruang
lingkup, kewenangan, dan kedudukannya;
ii. Hukum ini mengatur perjanjian seluruh negara yang terkait satu sama lain dengan
negara domisili;
iii. Hukum Pajak Nasional adalah merupakan bagian dari Hukum Pajak Internasional
yang digunakan;
iv. Hukum Pajak Internasional merupakan keseluruhan hukum pajak nasional di berbagai
negara, dimana hukum tersebut juga diberlakukan pada Hukum Pajak Nasional;
v. Hukum Pajak Internasional dalalam arti sempit adalah Hukum Pajak Internasional
yang mengatur kedua negara yang saling berkepentingan, sedangkan Hukum Pajak
Internasional dalam arti luas adalah Hukum Pajak Internasional yang berlaku bagi seluruh
negara.

1.5 Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional


Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional terlalu luas jika ingin kita kaji, sehingga
dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumber-sumber hukum terebut antara
lain :
A. Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilaateral yang mengandung unsur asing, antara lain:
a. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh) tentang Pemerintah
berwenang untuk melakukan perjanjian dengan negara lain dalam rangka penghindaran pajak
berganda dan pencegahan pengelakan pajak.;
b. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak Luar Negeri dan
Bentunk Usaha Tetap (BUT);
c. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak;
d. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang: Peraturan Perpajakan
Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak Bentuk Peraturan
Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap;
e. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa, Billamana
Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan;
f. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar Negeri;
g. Peraturan Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan Pajak atas Subjek
Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia.
B. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat:
a. Perjanjian bilateral;
b. Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
(P3B).
c. Perjanjian multirateral
Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.
C. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak Internasional.
Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang menyangkut tentang
perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan internasional Den Haag yang memuat
soal-soal perpajakan.
Berdasarkan Pasal 32 A Undang-undng Pajak Penghasilan, pemerintah berwenang
untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran Pajak
Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam penjelasannya, perjanjian ini
dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara
lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur
hak-hak pengenaan pajak dari masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan
menghindarkan pengenaan pajak berganda serta pengelakan pajak. Adapun bentuk dan
meterinya mengacu pada Konvensi Internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan
perpajakan nasional masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara Indonesia
mengakui Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax treaty berbagai negara.
Menurut Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup juga
perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah Traktat antar negara utuk
mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan adanya unsur-unsur asing,
baik mengenai subyeknya maupun mengenai obyeknya.
Kekuasaan Negara itu tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD 1945,
namun kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan kedaulatan negara
dimana tidak ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa yang dapat membatasi wewneng
ini.
Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional, maka
negara kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang mengikuti konvensi
tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan dalam dunia internasional dan
berdampak terhadapperekonomian negara Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau tidak
mau Indonesia harus turut serta menjalankan konvensi tersebut.

1.6 Prinsip Non-Diskriminasi


Ketentuan non diskriminasi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan di bidang
perpajakan bagi warganegara dari suatu negara treaty partner yang melakukan kegiatan di
negara treaty partner lainnya. perlindungan yang dimaksud adalah warga negara dari negara
treaty partner lainnya dibandingkan warga negara di negara itu dalam keadaan atau kondisi
yang sama (the same circumstances).
Ketentuan non diskriminasi itu berlaku atas suatu bentuk usaha tetap dari perusahaan
yang adalah penduduk dari suatu negara treaty partner lainnya atau perusahaan penanaman
modal di negara itu yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki atau dikuasai baik
langsung maupun tidak langsung oleh penduduk dari negara yang disebutkan pertama.
Namun, ketentuan ini tidak mewajibkan negara treaty partner lainnya memberikan
keringanan (allowances), potongan (reliefs) ataupun pengurangan (deductions) pengenaan
pajak kepada warga negara atau penduduk dari negara yang disebutkan pertama di atas.
1.7 Pengertian Tax Avoidance, Tax Planning, dan Tax Evasion
Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan domestik
maupun perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak dengan cara
memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara. Di banyak negara, skema
penghindaran pajak dapat dibedakan menjadi:
1. Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance).
2. Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance).
Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda pandangannya
tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagaiacceptable tax
avoidance atau unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, bisa saja suatu skema
penghindaran pajak tertentu di suatu negara dikatakan sebagai penghindaran pajak yang tidak
diperkenankan, tetapi di negara lain dikatakan sebagai penghindaran pajak yang
diperkenankan. Istilah lain yang sering dipergunakan untuk menyatakan penghindaran pajak
yang tidak diperkenankan adalahaggressive tax planning dan istilah untuk penghindaran
pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning.
Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan sebagai suatu
skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan
kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara. Dengan demikian,
banyak ahli pajak menyatakan skema tersebut sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar
ketentuan perpajakan. Lebih lanjut, The Asprey Comittee of Australia, seperti yang dikutip
oleh Indrayagus Slamet menyatakan bahwa tax avoidance umumnya menyangkut perbuatan
yang masih dalam koridor hukum tapi tidak berdasarkan bonafide dan adequate
consideration, atau berlawanan dengan maksud dari pembuat undang-undang (the intention
of parliament).
Tax planning adalah upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang terutang
melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara Wajib Pajak dan otoritas pajak.
Sedangkan tax evasion diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak yang
terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal) seperti dengan cara tidak
melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan cara fiktif.
Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah apakah
suatu skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran pajak (tidak ada
tujuan bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan ketentuan perpajakan yang ada
dapat dibenarkan?
Dalam konteks perpajakan internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan
oleh PMA untuk melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (i) transfer
pricing, (ii) thin capitalization,(iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign
corporation (CFC). Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib
Pajak dapat menjalankan dalam bentuk:
1. Substantive tax planning, yang terdiri atas:
a. Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang dikategorikan
sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak)
atas suatu jenis penghasilan.
b. Memindahkan objek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang dikategorikan
sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak)
atas suatu jenis penghasilan.
c. Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject and of tax object) ke
negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan
pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
2. Formal tax planning
Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan substansi ekonomi dari
suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk formal jenis transaksi yang memberikan
beban pajak yang paling rendah.

1.8 Ketentuan tentang Anti Avoidance


Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidanceatau aggressive tax
planning seperti tersebut di atas, umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan pencegahan
penghindaran pajak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai
berikut ini:
1. Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak atas
transaksi seperti (i) transfer pricing,(ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan
(iv) controlled foreign corporation (CFC).
2. General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak untuk
mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan oleh Wajib Pajak yang semata-mata untuk
tujuan penghindaran pajak atau transaksi yang tidak mempunyai substansi bisnis.
Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu ketentuan untuk
menangkal praktik unacceptable tax avoidanceatau aggressive tax planning yang dilakukan
oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak
tidak lagi bersifat defensive tax planning lagi tetapi sudah semakin offensiveyaitu dengan
membuat suatu transaksi semu yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat
suatu entitas usaha di negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven country. Di
Australia, skema-skema yang dapat dikategorikan sebagai aggressive tax
planningoleh Australian Taxation Office (ATO) adalah sebagai berikut:
1. Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak. Dengan kata lain
transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis, kalaupun ada tujuan bisnisnya tetapi sangat
tidak signifikan.
2. Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya fasilitas pajak tersebut tidak
ditujukan kepadanya.
3. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi tersebut akan kembali lagi
kepadanya (round-robin flow of funds).
4. Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan yang besar di masa
yang akan datang.
5. Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang diterima oleh entitas usaha
tersebut dikecualikan sebagai objek pajak.
6. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven
countries.

Bagaimana dengan Indonesia?


Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku saat ini, belum
ada definisi yang jelas mengenai tax plannning, agresive tax planning, acceptable tax
avoidance dan unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, dalam praktiknya sering
menimbulkan penafsiran yang berbeda antara Wajib Pajak dan aparat pajak. Wajib Pajak dan
aparat pajak tentu akan memberikan penafsiran sendiri-sendiri yang menguntungkan mereka,
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dari sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa sepanjang skema
penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal ini dimaksudkan untuk memberi
kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah tentu juga
berkepentingan bahwa jangan sampai suatu ketentuan perpajakan disalahgunakan oleh Wajib
Pajak untuk semata-mata tujuan penghindaran pajak yang akan merugikan penerimaan
negara. Oleh karena itu, untuk kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun bagi
pemerintah, ketentuan tentang tax planning, tax avoidance, dan anti tax avoidance yang
berupa Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule
(GAAR) harus diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi, maupun dalam
ketentuan materialnya.

1.9 Pengertian Pajak Ganda Internasional


Knechtle (1979) membedakan pengertian pajak berganda dalam dua pengertian, yaitu
pajak ganda dalam arti luas (wider sense) dan pajak ganda dalam arti sempit. (narrower
sense). Dalam pengertian luas, pajak berganda meliputi setiap bentuk pembebanan pajak dan
pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda (double taxation) atau lebih
(multiple taxation) atas suatu fakta fiskal (subjek dan/atau objek pajak). Dalam arti sempit,
pajak berganda dianggap dapat terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap
suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu admisitrasi pajak yang sama.
Pengertian tersebut mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah dan
bagian administrasinya yang diperoleh berdasarkan pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat. Pajak berganda tersebut dapat disebabkan oleh pemajakan oleh penguasa tunggal
(singular power) atau oleh berbagai (lapisan) administrasi (plural power). Pemajakan ganda
oleh admisitrator tunggal, misalnya dapat terjadi pada pemajakan terhadap bangungan atas
nilai jualnya (Pajak Bumi dan Bangunan) dan penghasilannya (Pajak Penghasilan atas sewa
atau keuntungan transfernya). Pajak berganda tersebut sering disebut pajak berganda
ekonomis (economic double taxation). Pemajakan ganda oleh berbagai administrator dapat
terjadi secara vertical (pemerintah pusat dan daerah), horizontal (antarpemerintah daerah),
atau diagonal (pemerintah kota atau kabupaten dengna provinsi A, atau provinsi B)
Sementara itu, hubungan ekonomi internasional yang semula hanya diwarnai dengan
pertukaran barang, migrasi sumber daya manusia, transaksi jasa lintas perbatasan, kini telah
semakin luas ruang geraknya dengan ditandai semakin meningkatnya arus modal dan
pembiayaan antar negara serta semakin berperannya sektor informasi, dan semua itu berjalan
tidak sendiri-sendiri, melainkan saling kait mengait. Lalu lintas barang dan pertukaran
sumber daya internasional, jasa dan modal serta informasi mempunyai sifat ketergantungan
satu dengan yang lain.

1.10 Penyebab Pajak Berganda Internasional


Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara yang menerapkan
domisili dan negara yang menerapkan azas sumber menimbulkan pajak ganda internasional
(international double taxation). Oleh para investor dan pengusaha, pajak ganda tersebut
dianggap kurang memperlancar mobilitas arus investasi, bisnis, dan perdagangan
internasional. oleh karena itu, perlu dihilangkan atau diberikan keringanan. Selain diatur
dalam ketentuan pajak domestik, keringanan pajak ganda dimaksud pada umumnya juga
diatur dalam P3B. Pajak Berganda Internasional (selanjutnya dalam modul ini disebut PBI)
muncul apabila terdapat benturan yurisdiksi pemajakan, baik yang melekat pada pemerintah
pusat (negara) maupun pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten), dan yang melekat
pada masing-masing negara (overlapping of tax jurisdiction in the international sphere).
Sementara orang akan mempertanyakan kenapa benturan tersebut sampai terjadi?
Dalam hak pemajakan, kita menyadari bahwa setiap negara berdaulat akan melaksanakan
pemajakan terhadap subjek dan/atau objek yang mempunyai pertalian fiskal (fiscal
allegiance) dengan negara pemungut pajak dan berada dalam wilayah kedaulatannya
berdasarkan ketentuan domestik. Seandainya dalam ketentuan domestik dari negara-negara
pemungut pajak tersebut terdapat pengecualian atau pembebasan dari pajak terhadap subjek
atau objek yang bertempat kedudukan atau berada di luar wilayah kedaulatannya maka tidak
akan terjadi PBI karena mungkin tidak terjadi benturan hak pemajakan dengan negara lain.
atau apabila tarif pajak di negara tempat sumber penghasilan dikenakan pajak dan domisili
cukup rendah, beban pajak berganda yang dikenakan di negara sumber sebagai pemegang
hak pemajakan utama (primary taxing rights) dan yang dikenakan di negara domisili sebagai
pemegang hak pemajakan skunder (secondary taxing rights) secara wajar masih dalam
jumlah yang terjangkau oleh pembayar pajak.
Dalam Pajak Penjualan, misalnya, PBI dapat terjadi apabila negara pengekspor
menganut prinsip negara asal (origin principle; pemajakan oleh negara asal barang dan jasa),
dipihak lain, negara pengimpor menganut prinsip negara tujuan (destination
principle;Pemajakan oleh negara tujuan atau negara konsumen).
PBI berkenaan dengan Pajak Penghasilan, sebagaimana telah dikemukakan di awal
bagian ini, apabila terjadi benturan hak pemajakan antara negara-negara mempunyai pertalian
ekonomis, menerapkan azas pembagian hak pemajakan secara tidak bersamaan.

1.11 Azas-azas Perpajakan dan Timbulnya Pajak Berganda Internasional


Indonesia, sebagai negara berdaulat, mempunyai yurisdiksi (kewenangan untuk
mengatur), termasuk yurisdiksi pemajakan berkenaan dengan orang, barang atau objek yang
berada di dalam wilayah kekuasaannya. Yurisdiksi pemajakan (tax jurisdiction) sebagai
kedaulatan dalam bidang perpajakan merupakan konsekuensi dari kedaulatan wilayah suatu
negara (Knechtle, 1979). Sehubungan dengan yurisdiksi pemajakan, Martha (1989) menyebut
empat teori jusitifikasi legal hak pemajakan suatu negara:
a. realistis atau empiris,
b. etis atau retributive,
c. kontraktual, dan
d. soveranitas.
Teori soveranitas menegaskan bahwa pemajakan adalah merupakan suatu bentuk
pelaksanaan dari yurisdiksi dan yurisdiksi merupakan atribut (kelengkapan) dari soveranitas.
Sumber dari hak pemajakan (right to tax) suatu negara berasal dari soveranitas(kedaulatan)
negara tersebut. Sebagai kebutuhan histories (akan adanya suatu negara), hak dan kewajiban
utama suatu negara adalah untuk mengamankan dan melestarikan keberadaannya. Untuk
keperluan itu, negara mempunyai hak untuk meminta sesuatu (kontribusi pajak) dari siapa
saja yang berada di bawah kewenanagan hukumnya. Berbeda dengan teori retributive yang
menekankan kepada manfaat ekonomis (economic allegiance) yang telah dinikmati seseorang
sebagai justifikasi pemajakan, dengan mendasarkan pada asumsi bahwa keberadaan negara
adalah masalah esensial politis, teori soveranitas cenderung memberikan justifikasi
pemajakan berdasarkan keterkaitan politis (political allegiance) seseorang terhadap suatu
negara.
Dari neksus perpajakan (keterkaitannya dengan pemajakan asas penghasilan),
kebanyakan orang mengkristalkan dasar pengenaan pajak pada tiga prinsip:
1. kewarganegaraan,
2. domisili (dan residensi), serta
3. sumber penghasilan (termasuk kekayaan).
Sebagaimana sering terjadi dalam kebiasaan internasional, berdasarkan ketentuan
Pasal 2 UU PPh, Indonesia membangun yurisdiksi pemajakannya berdasarkan dua kaitan
(pertalian) fiskal (fiscal allegiance) yaitu: subjektif (personal), dan (b) objektif. Pertalian
subjektif memperhatikan status wajib pajak (tempat tinggal/domisili, keberadaan atau niat
dalam kasus wajib pajak orang pribadi; tempat pendirian atau kedudukan dalam kasus
badan). Pertalian objektif mendasarkan kepada letak geografis sumber penghasilan. Surrey
(1987) dan Tilinghast (1984) serta the American Law Institute (1987) menyatakan bahwa
yurisdiksi yang mendasarkan pada pertalian subjektif disebut yurisdiksi domisili atau azas
domisili (domicilary jurisdiction); sedangkan yurisdiksi yang merujuk pada sumber
penghasilan disebut yurisdiksi/azas sumber (source jurisdiction).
a. Azas Domisili
Pasal 2(3) UU PPh menegaskan ketentuan tentang yurisdiksi domisili terhadap orang pribadi
dan badan. Dalam rumusan Pasal 2(1), nampak jelas bahwa yang tersurat sebagai subjek
pajak adalah termasuk warisan yang belum terbagi dan bentuk usaha tetap (dalam model
perjanjian perpajkan disebut .permanent establishment.). Namun karena warisan yang belum
terbagi pada hakikatnya adalah menggantikan (beberapa) subjek pajak orang pribadi ahli
waris (atau subjek yang meninggalkan warisan( dan bentuk usaha tetap (BUT) sebagai
kriteria ambang batas pemajakan penghasilan usaha (dan kegiatan) dari perusahaan luar
negeri yang dapat merujuk kepada orang pribadi dan badan, maka pada dasarnya subjek pajak
yang sebenarnya adalah tetap orang pribadi dan badan.
1. Orang Pribadi
Indonesia mempunyai yurisdiksi domisili atas orang pribadi dengan status wajib pajak dalam
negeri (istilah .dalam negeri. adalah setara dengan .residen/penduduk yang dipakai oleh
kebanyakan negara lain). Pasal 2 (3) (a) UU PPh menyebut tiga criteria penentu apakah
seseorang merupakan wajib pajak dalam negeri (WPDN) yaitu:
a. tempat tinggal (domisili,
b. keberadaan/kehadiran (presensi), dan
c. niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Kriteria domisili untuk menentukan status WPDN merupakan tambahan oleh UU No. 10
tahun 194 terhadap tes keberadaan dan niat (dalam UU No 7 tahun 1983) dan sekaligus
memperluas yuridiksi domisili pemajakan Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 2(6), apakah
seseorang bertempat tinggal di Indonesia ditentuka menurut keadaan yang sebenarnya.
Keadaan yang sebenarnya tersebut, misalnya, dapat berupa petunjuk formal (kependudukan)
atau substansial (keberadaan keluarga, tempat tinggal, alamat tetap, atau kepentingan
ekonomis dan sosial). Dengan demikian orang yang tidak berada di Indonesia (selama lebih
dari 183 hari) madih sapat dianggap bertempat tinggal di Indonesia apabila keadaan yang
sebenarnya dapat menunjukkan ha tersebut dan oleh karenanya termasuk WPDN.
Apabila criteria domisili dapat bersifat subjektif formal, criteria keberadaan kehadiran
merupakan criteria yang bersifat obejktif kuantitatif. Namun kedua criteria tersebut dibangun
berdasar kterkaitan ekonomis (economic allegiance) seseorang terhadap negara pemungut
pajak, sedangkan pemajakan berdasar kewarganegaraan sering diangggap di bangun
berdasar keterkaitan politis (political allegiance).
2. Badan
Pasal 2(3)(b) UU PPh menyebut dua kirteria penentu yurisdiksi domisili Indonesia atas badan
yaitu: (a) tempat pendirian, dan (b) tempat kedudukan. Setiap badan, termasuk perseroan
terbatas, yang didirikan di Indonesia merupakan WPDN. Menurut Frommel (1987) dan Van
Raad (1986) suatu badan, pada umumnya dapat dianggap memperoleh status hukum
(kewarganegaraan atau nasionalitas) di negara berdasarkan hokum siapa badan tersebut
didirikan (.incorporated.). Setiap badan yang didirikan di Indonesia dianggap bernasonalitas
Indonesia.
Dengan demikian, terhadap badan, Indonesia menganut pertalian (fiskal) nasionalitas.
Akibatnya, semua badan yang didirikan di (berdasarkan hokum) Indonesia, tanpa
memperhatikan tempat manajemen, usaha atau kedudukannya (di mana pun berada),
merupakan WPDN Indonesia.
Namun dari segi praktik penerapan ketentuan perpajkan, seperti penaftaran, asesmen,
penagihan dan sebagainya, apabila badan tersebut sama sekali tidak mempunyai perwakilan
atau orang di Indonesia perlu dicari upaya yang efektif untuk pelaksanaan administrative dari
ketentuan tersebut.
b. Azas Sumber
Pasal 2(4) UU PPh menegaskan jurisdiksi sumber (.source jurisdiction.) yang berlaku di
Indonesia. Selaras dengan norma yang diterima secara global (misalnya, Surrey (1987) dan
Van Raad (1986)) yurisdiksi sumber Indonesia mendasarkan pada dua unsure: (a)
menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan, dan (b) menerima atau memperoleh
penghasilan yang bersimber di negara tersebut.
UU PPh menegaskan bahwa apakah seseorang telah menjalankan suatu aktivitas ekonomi
secara signifikan ditentukan dengan keberadaan BUT. Apabila aktivitas ekonomi tersebut
sudah mencapai tingkat BUT sebagaimana diatur dalam pasal 2(5), Indonesia dapat
mengenakan pajak atas penghasilan dari kegiatan tersebut seperti pemajakan dari penghasilan
atas usaha yang dijalankan oleh orang Indonseia. Dalam bahasa UU PPh, akitivitas ekonomi
ini dapat berupa; (a) menjalankan usaha (bisnis), atau (b) melakukan kegiatan (profesi atau
pekerjaan bebas). Apabila dalam P3B Model OECD sebelum tahun 2000 terdapat dua
konsep, yaitupermanent establishment (untuk usaha) dan pangkalan tetap (untuk profesi),
maka dalam rumusan UU PPh kedua konsep tersebut diintegrasikan dalam satu konsep BUT
(yang berlaku baik untuk usaha
maupun pekerjaan bebas profesi).
Menurut Ongwamuhana (1991), yurisdiksi sumber mendasarkan pada suatu asumsi bahwa
negara sumber memberikan kontribusi kepada perusahaan milik bukan WPDN untuk
memperoleh penghasilan dari negara tersebut. Implikasi dari yurisdiksi sumber ialah bahwa
Indonesia secara sah dapat memungut pajak dari orang pribadi atau badan bukan WPDN
yang menerima atau memperoleh penghasilan dari kegiatan atau sumber yang terletak di
Indonesia.

1.12 Pengertian Dan Tujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)


Sehubungan dengan pengertian pajak berganda (double taxation), Knechtle dalam
bukunya yang berjudul Basic Problems in Internasional Fiscal Law (1979) memberikan
pembahasan secara rinci. . Knechtle membedakan pengertian pajak berganda, yaitu :
a. Secara Luas, Pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih
dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta fiskal.
b. Secara Sempit, Pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali
terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama, yang
mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah.
Selanjutnya, pajak berganda sesuai dengan Negara ( yurisdiksi ) pemungut pajaknya,
dapat dikelompokkan menjadi pajak berganda :
1. Internal (domestic)
2. Internasional
Dalam kedua kelompok tersebut terdapat pajak berganda vertical, horizontal dan
diagonal (terutama dalam Negara yang berbentuk federal). Definisi lain Perjanjian
penghindaran pajak berganda adalah perjanjian antara dua negara bilateral yang mengatur
pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk oleh
salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (Both Constacting State). Atau
perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka meminimalisir pemajakan
berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini digunakan oleh penduduk
dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara
mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang
terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi.
Setiap tax treaty mempunyai prinsip-prinsip dasar yang kurang lebih sama, sebagai
bagian dari konvensi internasional di mana setiap negara yang terlibat dalam suatu tax treaty
menyusun treaty-nya masing-masing berdasarkan model-model perjanjian yang diakui secara
internasional. Di dunia ini, ada dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam
menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan model PBB.
Memahami treaty yang berlaku antara suatu negara dengan negara lainnya, bisa
dimulai dengan memahami prinsip-prinsip dasar tersebut. Dalam kenyataannya, memahami
suatu tax treaty tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bahasa yang digunakan,
jumlah klausul yang cukup banyak, pemahaman seseorang tentang dasar-dasar perpajakan
dan berbagai sebab lainnya merupakan hal yang dapat mempengaruhi kesulitan tersebut.
Dengan memahami prinsip-prinsip dasar dan prinsip umum yang berlaku dalam suatu treaty,
seseorang akan menjadi lebih mudah memahami suatu treaty yang secara spesifik berlaku
untuk negara tertentu.
Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty adalah kontrak yang mengikat suatu negara
dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan. Oleh sebab itu, di dalamnya selalu berisi
klausul-klausul, pasal-pasal dan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu aspek transaksi dan
pihak tertentu tertentu. Pasal-pasal atau ayat-ayat (article atau artikel) yang terdapat dalam
sebuah tax treaty pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar yaitu
bagian yang mengungkapkan cakupan tax treaty, bagian yang mengatur minimalisasi
pengenaan pajak berganda, bagian tentang pencegahan penghindaran pajak dan bagian yang
mencakup hal-hal lainnya.
Semua bagian itu cenderung lebih mudah dipahami dari pada berbagai definisi, istilah
dan pengertian yang sering disebutkan dalam suatu tax treaty. Berbagai definisi, istilah dan
pengertian inilah yang menjadi lebih penting untuk dipahami setiap pihak khususnya
berkaitan dengan kepentingan dalam praktek bisnis sehari-hari. Disamping tujuan utama
seperti disebutkan diatas P3B juga mempunyai tujuan khusus lainnya yaitu :
a. Menghindari pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha;
Dengan P3B maka penganaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua tempat
(negara sumber dan negara domisili). Laba usaha dikenakan pajak di tempat di mana mereka
berkedudukan. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan dunia usaha mendapatkan kepastian
hukum, karena membayar pajak hanya dikenakan satu kali yaitu di negara domisili.
b. Meningkatkan investasi modal dari luar negeri;
Pemajakan atas investasi berupa bunga dari pinjaman, dividen dari penanaman saham, royalti
dari pemilik hak cipta, jika dikenakan pemajakan yang tinggi, maka dapat dipastikan
pendudukan atau warga negara asing akan mempertimbangkan untuk menanamkan
modalnya, karena hasil dari investasinya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
c. Peningkatan sumber daya manusia;
Dengan adanya pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara di mana
mereka menempuh pendidikan dan pelatihan, maka dapat meningkatkan jumlah peserta
pendidikan dan pelatihan ke luar negeri, dampaknya akan meningkatkan kemampuan SDM
negara pengirim peserta pelatihan dan pendidikan. Sebaliknya jika penghasilan mahasiswa
dan karyawan yang mengikuti pelatihan dikenakan pajak maka akan membebani mereka
sehingga mereka tidak berangkat keluar negeri ini akan berdampak kurang baik terhadap
pengembangan SDM.
d. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak;
Dengan membangun jaringan komunikasi yang baik diantara kedua negara, maka informasi
tentang penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya di kedua negara tersebut
akan dapat terdeteksi (untuk mengintensifkan penerimaan pajak). Negara yang terkait dengan
Tax Treaty dapat melaporkan penghasilan penduduk asing di negara sumber, misalnya saja
dengan mengirimkan bukti penerimaan penghasilan dari negara sumber, informasi
penghasilan tersebut seharusnya dilaporkan oleh penerima penghasilan di negara domisili,
dan diperhitungkan kembali pada akhir tahun pajak.
e. Keadilan dalam hal pemajakan penduduk antar kedua negara.
P3B juga mengaatur adanya pemajakan yang sama dan setara antara kedua negara, dengan
prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan penduduk asing antar kedua negara
dalam menjalankan usaha. Negara yang mengadaka tax treaty terikat dengan ketentuan dalam
perjanjiannya sehingga tidak boleh sewenang-wenang dalam hal pemajakannya.

1.13 Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional


1. Dampak Pajak Berganda
Secara ekonomis pajak merupakan pengorbanan suberdaya (kemampuan ekonomis) yang
harus ditanggung oleh pengusaha (dan masyarakat). Pajak berganda sebagai akibat dari
pemajakan oleh dua ketentuan pemajakan (dari dua negara) memberikan tambahan beban
ekonomi terhadap pengusaha. Sementara, perluasan usaha ke mancanegara sudah
mengundang tambahan risiko dibanding dengan usaha dalam negeri, pemajakan berganda
telah ikut memperbesar risiko tersebut. Kalau tidak ada upaya untuk mencegah atau
meringankan beban pajak berganda tersebut, PBI dapat ikut memicu ekonomi global dengan
biaya tinggi dan menghambat mobilitas global sumberdaya ekonomis. Oleh karena itu,
tampak bahwa sudah merupakan kebutuhan internasional antarnegara untuk mengupayakan
agar kebijakan perpajakannya bersifat netral terhadap kompetisi internasional. Netralitas
tersebut dicapai dengan penyediaan keringanan atau eliminasi atas PBI.
2. Beberapa Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional
Secara tradisional terdapat beberapa metode penghindaran PBI, seperti (1)
pembebasan/pengecualian, (2) kredit (tax credit), dan (3) metode lainnya. Kedua metode
pertama merupakan bentuk eliminasi atau keringanan PBI yang diikuti oleh kebanyakan
negara. Ketiga metode tersebut akan dibahas dibawah ini.
Pembebasan/pengecualian
Metode pembebasan (exemption)/pengecualian (exclusion) berupaya untuk
sepenuhnya mengeliminasi PBI. Metode tersebut menghendaki suatu negara pemegang
yurisdiksi pemajakan sekunder (domisili) untuk dengan rela melepaskan hak pemajakannya
dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di negara lain (negara sumber). Metode
eksemsi meliputi pembebasan (1) subjek, (2) objek, dan (3) pajak.
Pembebasan subjek (subject exemption) umumnya diberlakukan terhadap anggota
korps diplomatic, konsuler, dan organisasi internasional. para duta besar, anggota korps
diplomatic dan konsuler, sesuai dengan hukum internasional mendapat privelege pemajakan.
Mereka hanya dikenakan pajak oleh negara pengirimnya saja (sending state). Ketentuan
pemberian privelege (hak istimewa) tersebut diiktui oleh (hampir) semua negara secara
universal dan dikenal dengan istilah .asas reprositas. (tet) Pembebasan objek (object, income
exemption), yang lebih dikenal dengan full exemption atauexemption without progression,
diberikan dengan mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan WPDN negara
tersebut. Exemption without progression(eksemsi tanpa progresi) maksudnya adalah bahwa
penghasilan luar negeri dari WPDN betul-betul dibebaskan dari pengenaan pajak dengan
mengeluarkannya (mengecualikannya) dari dasar pengenaan pajak (basis pajak) sehingga
tidak akan masuk dalam unsur penghitungan progresi (progresivitas) tarif pengenaan pajak
negara domisili.
Pilihan ketiga dari metode pembebasan ini adalah pembebasan pajak (tax exemption)
atau dikenal denganexemption with progression. Dalam metode ini, pada prinsipnya
penghasilan luar negeri tetap dibebaskan dari pengenaan pajak domestik, namun untuk
keperluan penghitungan pajak dan penerapan tarif pajak pengaruh progresi penghasilan luar
negeri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan. Apabila negara
residen memperlakukan tarif sepadan (prporsional atau flat), maka pengaruh progresi tersebut
adalah nihil. Progresi akan berpengaruh positif atau menguntungkan wajib pajak apabila
penghasilan luar negeri negatif (rugi), karena kerugian tersebut dapat merupakan pengurang
basis penghitungan pajak atas penghasilan global. Hal ini merupakan salah satu perbedaan
utama antara metode pembebasan penghasilan (object exemption) dengan pembebasan pajak
(tax exemption).
Pengaruh progresi akan efektif di negara penganut tarif pajak progresif seperti
Indonesia.
Kredit Pajak
Metode kredit pajak terdiri dari beberapa metode, yaitu (1) Metode Kredit Penuh (full
tax credit mothode), (2) Metode Kredit Terbatas (ordinary atau normal credit mothode) dan
(3) Kredit Fiktif (mathcing atau sparing credt methode). Dalam tataran lain, sehubungan
dengan investasi pada anak perusahaan di luar negeri, dapat dibedakan antara kredit langsung
dan kredit tidak langsung.
Metode kredit penuh (full tax credit methode) mengurangkan pajak yang terutang
atau dibayar di luar negeri sepenuhnya terhadap pajak domestik yang dialokasikan atas
penghasilan tersebut.
Metode kredit pajak biasa (ordinary atau normal credit) memberikan keringanan pajak
berganda internasional yang berupa pengurangan pajak luar negeri atas pajak nasional yang
dialokasikan pada penghasilan luar negeri dengan batasan jumlah yang terendah antara (1)
pajak domestik yang dialokasikan kepada penghasilan luar negeri (batasan teoritis), dan (2)
pajak yang sebenarnya terutang atau dibayar di luar negeri (batasan faktual) atas penghasilan
dimaksud yang termasuk dalam penghasilan global.
Dalam metode kredit biasa, apabila penghasilan luar negeri diperoleh dari beberapa
negara, maka kredit pajak dapat dihitung secara bergabung (oveall) atau tiap negara (per
country limitation). Pemberian kredit bergabung lebih menguntungkan wajib pajak dengan
diperbolehkannya kompensasi antara (1) penghasilan positif dengan negatif dan (2) tarif
tinggi dengan tarif rendah (sebelum dihitung jumlah maksimum pajak yang dapat
dikreditkan). Disamping itu, atas penghasilan dari anak perusahaan luar negeri yang berupa
dividen, selain kredit atas pajak dari dividen (kredit langsung;direct tax credit) dapat pula
diberikan kredit atas pajak dari laba anak perusahaan yang terkait dengan dividen
tersebut(indirect tax credit).
Metode Lainnya
Sehubungan dengan metode pemberian keringanan pajak berganda internasional,
selain metode eksemsi dan kredit, dalam buku International Juridicial Double Taxation on
income, Manual Pires menyebut beberapa metode sebagai berikut:
1. Pembagian pajak (tax sharing)antara negara domisili dan sumber,
2. Pembagian hak pemajakan (division of taxing power) dengan penentuan tarif pajak
maksimum atas penghasilan yang diperoleh WPLN yang dapat dipungut oleh negara sumber,
3. Keringanan tarif (reduction of the rate) terhadap penghasilanluar negeri yang harus
diberikan oleh negara dimisili,
4. Pengurangan pajak (rudction of the tax) dengan suatu jumlah tertentu (persentase) dari
penghasilan luar negeri, dan
5. Pemajakan dengan jumlah tetap (lumpsum atau forfait taxation). Sementara itu, beberapa
metode keringanan PBI yang dihubungkan dengan penghasilan termasuk;
Klarifikasi (atribusi, divisi, atau distribusi) penghasilan sesuai dengan kategori tertentu
untuk menentukan pemajakan antara negara sumber dan domisili,
Pengurangan pajak luar negeri dari penghasilan kena pajak (deduction method) dan
Pengurangan penghasilan luar negeri dengan suatu jumlah tertentu (atau seluruhnya).
1.14 Praktik Penghindaran Pajak Berganda Internasional.
Untuk menghndari atau mengurangi dampak PBI, di dunia internasional dikenal tiga
cara yang sering dilaksanakan, yaitu (1) mengikuti konvensi/traktat internasional), (2)
mengadopsi kesepakatan internasional dalam undang-undang pajak domestik, dan (3) antar
negara mengadakan perjanjian perpajakan (tax treaty).
Konvensi
Hasil-hasil konvensi yang pernah ada dan dilaksanakan oleh Indoensia antara lain :
a. Bidang pajak Penghasilan, meliputi :
1. Azas reprositas (tet) atau azas timbal balik, yakni apabila negara lain tidak mengenakan
pajak penghasilan untuk pejabat perwakilan negara Indonesia (Duta Besar atau konsulat),
maka pejabat pewakilan negara tersebut di Indonesia pun tidak dikenakan pajak penghasilan.
2. Kegiatan usaha suatu BUT apabila melakukan pembelian barang dagangan yang dikirimkan
ke induk perusahannya di luar negeri, dikecualikan sebagai objek pajak.
3. Penghasilan perusahaan dan penerbangan jalur internasional yang berasal dari luar negeri
ke dalam negeri dikecualikan sebagai objek pajak.
b. Bidang Pajak Pertambah pabean Nilai
1. Penyerahan barang kena pajak tidak berwujud yang berasal dari luar daerah pabean
dikenakan PPN apabila dipakai dalam daerah Pabean.
2. Penyerahan jasa kena Pajak yang berasal dari luar daerah pabean dikenakan PPN apabila
dimanfaatklan di dalam daerah pabean.
Mengadopsi Kesepakatan-kesepakatan Internasional Ke Dalam Undang-Undang Pajak
Domestik.
Indonesia sebagai negara yang berdaulat (sovereign country) ikut serta
menghindari/mengurangi terjadinya PBI dengan mengadopsi kesepakatan-kesepakatan
internasional dalam undang-undang pajak nasional. Pengadopsian kesepakatan-kesepakatan
internasional tersebut dimaksudkan pula untuk memberikan kepastian hukum. Rincian pasal-
pasal yang mencerminkan adanya adopsi kesepakan internasional dalam undang-undang
pajak domestik sebagai berikut:
a. Bidang Pajak Penghasilan (Undang-undang Pajak Penghasilan)
1) Pasal 2 ayat (4) : Subjek Pajak luar Negeri
2) Pasal 2 ayat (5) : Bentuk Usaha Tetap (BUT)
3) Pasal 3 : Pengecualian Subjek Pajak
4) Pasal 5 : Objek Pajak BUT
5) Pasal 21 ayat (2) : Pengecualian Sebagai Pemotong Pajak
6) Pasal 24 : Pengkreditan Terbatas (Ordinary Tax Credit)
7) Pasal 26 ayat (1), (2) : Pemotongan Pajak Atas Penghasilan yang Diterima WPLN
8) Pasal 32A : Pemerintah berwenang mengadakan perjanjian dengan negara lain.
b. Bidang Pajak Pertambahan Nilai (Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai_
1) Pasal 4 huruf e : Pemanfaatan barang kena pakak tidak berwujud dari luar daerah pabean di
dalam daerah pabean.
2) Pasal 4 huruf g : Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.
Mengadakan Perjanjian Perpajakan (Tax Treaty).
Antar negara mengadakan perpanjian perpajakan (tax treeaty) yang disebut Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan maksud melindungi penduduk suatu negara
supaya tidak menanggung beban pajak dari dua atau lebih otoritas pajak (dalam negeri dan
luar negeri). Dalam hal telah ada perjanjian peerpajakan, maka pemungutan pajak
berdasarkan perjanjian perpajakan (kedudukan perpjanjian perpajakan lebih tinggi dari
undang-undang pajak nasional suatu negara). Indonesia sampai saat ini telah mengadakan
perjanjian perpajakan dengan lebih dari 70 negara, sedangkan yang masih berlaku sebanyak
57 negara sahabat.
1.15 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Penerapan prinsip domisili dan sumber atas suatu penghasilan yang melibatkan dua
atau lebih negara dapat menimbulkan pajak berganda internasional, baik yuridis maupun
ekonomis.
Secara ekonomis pajak berganda internasional (PBI) tersebut memperberat beban
usaha, investasi dan, kegiatan internasional lainnya sehingga dapat menghambat mobilitas
sumberdaya dimaksud. Sebagaimana terjadi dalam bidang investasi, perdagangan, produksi
dan distribusi, sains dan teknnologi dimana terdapat jaringan kerja sama antarnegara baik
regional maupun global, dalam sektor perpajakan untuk mengindari beban ekonomis dari PBI
tersebut juga terdapat jaringan kerja sama antarnegara yang dilakukan dengan menutup
perjanjian penghindaran pajak berganda (.tax treaty; P3B).. Menurut Surrey, (1980), P3B
merupakan perjanjian bilateral (namun dalam kasus tertentu dapat multilateral) yang ditutup
oleh dua negara dengan tujuan utama untuk menentukan solusi terhadap (PBI) yang
disebabkan oleh implementasi hak pemajakan (berdasarkan ketentuan domestik) kedua
negara atas suatu objek (subjek) yang sama.
Sampai saat ini Indonesia telah menutup P3B dengan lebih dari 70 negara mitra
runding. Karena Indonesia tidak lagi mengenakan pajak kekayaan (wealth tax), semua P3B
dimaksud berkaitan dengan pajak penghasilan saja. Sebagai salah satu instrumen yang tunduk
pada hukum internasional, P3B yang telah efektif berlaku dapat memodifikasi suatu
ketentuan domesti (UU PPh) yang berlaku atas suatu subjek atau objek.
a. Dasar Hukum P3B
P3B merupakan perjanjian antara negara berdaulat dan mempunyai status legal sebagai
perjanjian internasional dan berfungsi sebagai perjanjian pembuat undang-undang
(lawmaking treaties) berdasar hukum publik internasional karena disepakati (pemerintah)
negaranegara (contracting states) dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum publik
internasional (knechtle; 1979). Negara (Pemerintah) Indonesia dapat menutup P3B yang
menyatakan berdasar amanat Pasal 11 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan
bahwa presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain.
Selanjutnya Pasal 4 (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
antara lain menyatakan bahwa Pemerintah RI membuat perjanjian internasional dengan satu
negara atau lebih, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para
pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Khusus
untuk pajak penghasilan, Pasal 32 A UU PPh menyatakan bahwa pemerintah berwenang
untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak
berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
Dalam kerangka hukum internasional Vogel (1991) menyatakan bahwa P3B merupakan
perjanjian internasional dan berkekuatan law-makin treaties karena kreasi dan
konsekuensinya tunduk pada The Viena Convention on The Law of Treaties tanggal 23 Mei
1969 (.Konvensi Wina.). Walaupun terdapat communis opini doctorum (pendapat yang
berterima umum), bahwa di atas kekuasaan suatu negara diakui adanya kekuasaan yang lebih
tinggi, yaitu hukum antar negara (public internatonal law; Brotodiharjo; 1971), namun
ketentuan di berbagai negara berbeda. Ada negara yang menyatakan perlu diratifikasi agar
menjadi bagian dari hukum nasional yang mengikat warga, namun ada negara yang
menyatakan tidak perlu. Pasal 3 UU No 24 Tahun 2000 menjelaskan bahwa pemerintah
mengikatkan diri pada perjanjian internasional antara lain melalu pengesahan. Selanjutnya
Pasal 9 (2) menyatakan bahwa pengesahan dilakukan dengan undang-undang atau keputusan
presiden. Khusus untuk P3B karena materinya tidak termasuk dalam kewenangan Pasal 10
UU No 24 Tahun 2000. Pasal 11 menyatakan bahwa pengesahan dilakukan dengan keputusan
presiden yang salinannya disampaikan kepada DPR (sebagai lembaga legislative). Karena
lebih bersifat teknis administrative (Darussalam dan Septriadi; 2006), maka ratifikasi P3B
cukup dilakukan dengan keputusan presiden. Dengan pertukaran nota diplomatic antara
Indonesia dengan negara mitra runding., P3B mulai berlaku di kedua negara mitra runding
tersebut.
b. Model, Sifat, dan Tujuan Umum.
1. Model Perjanjian
Dampak kurang kondusif dari PBI terhadap arus pertukaran barang dan jasa dan mobilitas
sumber daya dan dana, sains dan teknologi, telah diketahui secara meluas sehingga upaya
untuk mengeliminasi pajak berganda merupakan salah satu instrumen dari pengembangan
hubungan ekonomi antarnegara. Sebetulnya dalam ketentuan domestik negara domisili yang
menganut sistem pemajakan global terhadap WPDN telah terdapat ketentuan pemberian
keringanan PBI seperti Pasal 24 UU PPh, namun dua negara secara bersama-sama dapat
mengupayakan eliminasi PBI. Upaya eliminasi tersebut biasanya dirumuskan dalam suatu
bentuk perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Walaupun dalam ketentuan domestik
(misalnya Pasal 24 UU PPh) sudah tersedia keringanan PBI namun P3B paling kurang
memberikan tiga kelebihan (Van Raad; 1986). Kelebihan yang dimaksud adalah (1) P3B
dapat memberikan keringanan lebih baik dari ketentuan domestik (misalnya pengecualian),
(2) memungkinkan harmonisasi saat pemajakan antara negara domisili dan sumber, dan (3)
tujuan lainnya.
Perumusan P3B didasarkan kepada salah satu model yang tersedia (1) OECD, (2) UN, atau
(3) US. Dengan berbagai variasi dan modifikasi antarnegara anggota OECD (antarnegara
maju) mendasarkan P3B-nya pada model EOCD, antara negara berkembang dan negara maju
mendasarkan pada UN dan/atau OECD model, sedangkan P3B antara Amerika Serikat
dengan negara mitra runding mendasarkan pada US Model.
Model OECD dirumuskan selaras dengan kebutuhan harmonisasi hubungan perpajakan
antara negara anggota OECD, sebagai organisasi dari negara-negara industri maju dengan
kekuatan ekonomi yang cukup untuk melakukan investasi ke mancanegara. Situasi demikian
merupakan dasar pijakan alokasi penerimaan pajak dari kegiatan lintas batas antara para
anggota domisili berdasarkan keseimbangan ekonomi dan resiprositas pengorbanan
penerimaan.
Sebagai akibat dari kemampuan untuk saling berdagang dan berinvestasi pada setiap wilayah,
pengorbanan penerimaan pada negara sumber sebagai aplikasi prinsip residensi akan dialami
timbal balik (resiprositas) antarnegara anggota. Model OECD dikonsepkan dengan
berlandaskan dua premis, yaitu pertama hak pemajakan utama kebanyakan diberikan kepada
negara domisili wajib pajak. Negara sumber harus rela untuk melepaskan klaim pemotongan
pajak sumber (withholding tax at source) mereka harus mengurangi tarif pajaknya untuk
memberikan kepastian bahwa beban pajak negara sumber selalu dapat diserap oleh batasan
kredit pajak negara residen (kalau keduanya) diperbolehkan menerapkan ketentuan pajak
domestiknya, keringanan pajak berganda diberikan dengan meminta negara residens untuk
menyediakan kredit atau bebas pajak atas penghasilan yang telah dikenakan pajak oleh
negara sumber.
Di pihak lain, UN Model, yang secara khusus didesain untuk P3B antara negara maju dan
berkembang, dirumuskan berdasarkan premis bahwa OECD Model, yang kebanyakan
meminta negara sumber untuk merelakan penerimaan pajaknya, kurang tepat untuk dipakai
sebagai panduan P3B antara negara maju dan berkembang. Hal itu disebabkan oleh
karakteristik hubungan ekonomi negara maju dengan negara berkembang yang diwarnai oleh
ketimpangan arus penghasilan antarkedua kelompok negara tersebut (penghasilan dari negara
berkembang lebih besar mengalir ke negara maju). Arus penghasilan satu arah tersebut
menyebabkan pengorbanan yang kurang proposional dan kurang adil dalam pembagian
penerimaan pajak dari objek pajak lintas batas dan sepertinya mengesampingkan kepentingan
pemajakan negara sumber (berkembang). Kurangnya penerimaan negara berkembang
tersebut menyebabkan terbatasnya dana penyediaan fasilitas umum dan jasa publik lainnya.
Selain menyebabkan kurang kondusifnya iklim investasi di negara berkembang, keterbatasan
dana juga menyebabkan tidak mampunya negara berkembang yang umumnya sebgai negara
pengutang untuk membayar utang luar negeri dan dalam negerinya.
2. Sifat P3B
Istilah treaty dan convention sering dipakai secara bersamaan dan saling dipertukarkan.
Sehubungan dengan kedua istilah tersebut, Pires (1989) berpendapat bahwa konvensi dapat
dikaitkan dengan perjanjian secara umum, yang salah satu bentuknya adalah .treaty..
Perjanjian (.agreement.) merupakan konvensi dengan tujuan kultural dan ekonomi serta
dalam bentuk sederhana. Konvensi untuk mengeliminasi pajak berganda umumnya
dirumuskan dalam bentuk .treaty.. Sebagai perjanjian bilateral, sesuai dengan hukum publik
internasional, P3B bersifat mengikat kedua negara (contracting states). Selanjutanya, menurut
Knechtle (1979), P3B yang ditutup suatu negara (Indonesia) juga mempunyai validitas
internal domestik dan menjadi self executing. Sehubungan dengan penghindaran pajak
berganda, P3B mempunyai kemungkinan yang dapat bersifat restriktif atau ekspansif.
Sebagai elemen dari hukum internasioanl, sesuai dengan prinsip negatif efek, P3B membatasi
aplikasi dari ketentuan domestik (kewenangan mengenakan pajak). Sementara itu, perluasan
hak pemajakan tidak bisa diperoleh hanya dengan menciptakan kewajiban pajak yang tidak
tersurat (ada) dalam ketentuan domestik atau dengan mengeliminasi keringanan dalam
ketentuan domestik (dengan ketentuan pada P3B). Sehubungan dengan kewajiban pajak, Van
Raad (1986) menyatakan bahwa kewajiban tersebut hanya dapat dikenakan berdasarkan
ketentuan domestik (misalnya undang-undang perpajakan) dan bukan dengan P3B. begitu
juga keringanan (pembebasan) pajak pada ketentuan domestik tetap ada dan tidak terhapus
oleh rumusan pada P3B. Hanya untuk tujuan aplikasi P3B dengan suatu negara tertentu
ketentuan domestik tersebut dikesampingkan.
3. Tujuan P3B
Selain untuk mengeliminasi PBI dalam rangka memperlancar mobilitas global sumberdaya,
Pires (1989) menyebutkan beberapa tujuan lain dari P3B, antara lain:
1) melindungi wajib pajak,
2) mendorong atau menarik investasi (dengan berbagai keringanan pajak),
3) memudahkan ekspansi perusahaan negara maju,
4) membantu mengurangi dan menanggulangi penghindaran dan penyelundupan pajak,
meningkatkan kerja sama aplikasi ketentuan domestik, perbaikan perutakaran informasi dan
pengalaman perpajakan, peningkatan pengetahuan tentang kemampuan bayar wajib pajak,
perbaikan interpretasi ketentuan pajak (misalnya sehubungan dengan praktik transfer
pricing),
5) harmonisasi kriteria pemajakan,
6) mencegah diskriminasi,
7) menumbuhsuburkan hubungan ekonomis dan sebagainya, dan meningkatkan pencegahan
penyalahgunaan perjanjian dan kerja sama dalam penetapan dan penagihan serta aktivitas
administrasi pajak lainnya.
4. Struktur P3B
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perumusan P3B didasarkan kepada salah satu model
yang tersedia, yaitu (1) OECD, (2) UN, atau (3) US. Dengan berbagai variasi dan modifikasi
antarnegara anggota OECD (antarnegara maju) mendasarkan P3B-nya pada model EOCD,
antara negara berkembang dan negara maju mendasarkan pada UN dan/atau OECD model,
sedangkan P3B antara Amerika Serikat dengan negara mitra runding mendasarkan pada US
Model
Berikut adalah perbandingan struktur antara model OECD dan Model UN :
MODEL UN MODEL OECD
B AB I RUANG LINGKUP
PERJANJIAN
Pasal 1 : orang dan badan yang Pasal 1 : orang atau badan yang
Tercakup dalam perjanjian tercakupdalam perjanjian
Pasal 2: pajak-pajak yang tercakup Pasal 2 : pajak-pajak yang
dalam Persetujuan tercakup
BAB II PENGERTIAN-
PENGERTIAN
Pasal 3 : definisi-definisi umum Pasal 3 : pengertian umum
Pasal 4 : penduduk Pasal 4 : penduduk
Pasal 5 : bentuk usaha tetap Pasal 5 : but
BAB III PAJAK ATAS
PENGHASILAN
Pasal 6 : penghasilan dari harta Pasal 6 : penghasilan dari harta tak
tak gerak gerak
Pasal 7 : laba usaha Pasal 7 : laba usaha
Pasal 8 : perkapalan dan pengangkutan Pasal 8 : pelayaran, pengangkutan
udara danaudan sungai, danpenerbangan
jalurinternasional
Pasal 9 : perusahaan-perusahaan yang Pasal 9 : perusahan yang
mempunyai hubungan istimewa mempunyaihubungan istimewa
Pasal 10: dividen Pasal 10: dividen
Pasal 11: bunga Pasal 11: bunga
Pasal 12: royalti Pasal 12: royalti
Pasal 13 : keuntungan dari Pasal 13 : keuntungan karena
pemindahtanganan harta pemindahtanganan harta
Pasal 14 : pekerjan bebas Pasal 14 : pekerjaan bebas
Pasal 15 : pekerjaan dalam hubungan Pasal 15 : hubungan pekerjaan
kerja
Pasal 16 : imbalan direktur Pasal 16 : pembayaran untuk
direktur
Pasal 17 : para artis dan atlit Pasal 17 : para artis dan
olahragawan
Pasal 18 : pensiun Pasal 18 : pensiun
Pasal 19 : pejabat pemerintah Pasal 19 : jabatan pemerintahan
Pasal 20 : guru dan peneliti Pasal 20 : mahasiswa dan pelajar
Pasal 21 : siswa dan pemagang Pasal 21 : penghasilan lain-lain
BAB IV PAJAK ATAS KEKAYAAN
Pasal 22: penghasilan lainnya Pasal 22 : kekayaan
BAB V METODA PENGHINDARAN
Pasal 23: metode penghindaran pajak Pasal 23: metoda pengkreditan
berganda
BAB VI KETENTUAN KHUSUS
Pasal 24: non diskriminasi Pasal 24 non diskriminasi
Pasal 25 tata cara persetujuan bersama Pasal 25 prosedur kesepakatan
bersama
Pasal 26 : pertukaran informasi Pasal 26 : pertukaran informasi
Pasal 27 : pejabat diplomatik dan Pasal 27 : para diplomat dan
konsuler pejabatkonsular
Pasal 28 : berlakunya persetujuan Pasal 28 : perluasan wilayah
berlakunyaperjanjian
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29: berakhirnya persetujuan Pasal 29 : berlakunya perjanjian
Pasal 30 : penghentian perjanjian

1.16 Aplikasi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)


Dalam mendorong efisiensi ekonomi, pemajakan merupakan salah satu pertimbangan
yang tidak begitu saja dengan mudah dapat diabaikan. Dalam sistem pajak, netralitas
dimasksudkan sebagai suatu pola kebijakan pemajakan (tax policy) yang tidak mencampuri
atau mempengaruhi maupun mengarahkan pemilihan wajib pajak untuk melakukan kegiatan
ekonomi atau investasi di dalam atau di luar negeri. Netralitas pajak menghendaki agar
ketentuan perpajakan tidak memberikan perlakuan yang berbeda atas satu kegiatan atau satu
keputusan ekonomi dari kegiatan atau keputusan ekonomi lainnya. P3B merupakan salah satu
kebijakan dalam mewujudkan netralitas pajak tersebut. Beberapa hal yang sering dialami
dalam aplikasinya meliputi:
a. Kedudukan P3B
Untuk mengalokasikan hak pemajakan atas kategori penghasilan tertentu kepada salah satu
negara penandatangan, P3B mempunyai ketentuan tersendiri tentang sumber penghasilan.
Dalam bahasa P3B istilah asal (originating, atau arising) lebih sering dipakai ketimbang
istilah sumber (source); Dapat terjadi bahwa kriteria penentu asal penghasilan P3B tidak
sama dengan kriteria penentu Ketentuan Tentang Sumber Penghasilan berdasarkan peraturan
domestik. Dalam hal demikian, maka prioritas pemberlakuan diberikan kepada ketentuan
dalam P3B.
b. Penentuan penduduk (residensi)
Sebagaimana telah dikemukanpada bagian awal modul ini, bahwa penentuan domisili suatu
badan usaha menurut Pasal 2 ayat (3) UU PPh berdasarkan kriteria (1) tempat pendirian
residence dengan memberikan ketentuan (Pasal 4 ayat (3) model OECD) .Tiebreaker Rule. ,
yaitu dengan merujuk apakah kepada (1) tempat pendirian, (2) manajemen efektif, atau (3)
kesepakatan bersama (mutual agreement procedures). Dengan merujuk kepada ketentuan
solusi tersebut, maka untuk tujuan penerapan P3B tidak terdapat residensi ganda.
Sementara itu, untuk menentukan status penduduk wajib pajak orang pribadi apabila
terjadi dual residences, ditetapkan berdasarkan:
a) Tempat tinggal tetap yang tersedia baginya;
b) Hubungan-hubungan pribadi dan ekonomi yang lebih erat (pusat kepentingan-kepentingan
pokok)
c) Tempat kebiasaan berdiam
d) Kewarganegaraan;
e) Persetujuan bersama pejabat-pejabat yang berwenang.
c. Time Test untuk Penentuan BUT
Keberadaan BUT menentukan hak pemajakan bagi negara sumber. Negara sumber
mempunyai hak pemajakan penuh terhadap suatu atau kegiatan yang memenuhi kriteria BUT.
Pasal 2 ayat (5) UU PPh menentukan kriteria BUT meliputi keberadaan sarana fisik dan
terpenuhinya batas waktu tertentu (time test) untuk suatu aktivitas atau kegiatan. Dalam hal
ini, aktivitas di bidang konstruksi (membangun jalan, jembatan, bangunan dan sebagainya)
kriterianya tidak menggunakan time test. Time test digunakan untuk menentukan keberadaan
BUT pemberian jasa saja, yaitu pemberian jasa yang dilakukan lebih dari 60 hari dalam 12
bulan. Namun, apabila antara Indonesia dengan negara domisili WPLN sudah ada P3B, maka
penentuan BUT dari aktivitas pemberian jasa tersebut berdasarkan time-test yang disepakati
dalam P3B.
d. Surat Keterangan Domisili (SKD)
Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dalam pelaksanaan pemotongan
PPh Pasal 26 sehubungan dengan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) yang berlaku, maka untuk memberikan kemudahan bagi semua pihak, penerapan PPh
26 sesuai dengan P3B dilaksanakan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-03/PJ.101/1996 sebagai berikut :
1) Wajib Pajak luar negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) kepada
pihak yang berkedudukan di Indonesia yang membayar penghasilan dan menyampaikan
fotokopi SKD tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang
membayar penghasilan terdaftar;
2) Asli SKD menjadi dasar bagi pihak yang membayar untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai
dengan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat
kedudukan (residence) dari Wajib Pajak luar negeri tersebut.
3) Dalam hal Surat Keterangan Domisili akan digunakan untuk lebih dari satu pembayar
penghasilan, maka Wajib Pajak luar negeri dapat menyampaikan fotokopi yang telah
dilegalisasi Kepala KPP tempat salah satu pihak pembayar penghasilan terdaftar kepada
pihak yang membayar penghasilan. Kepala KPP yang melegalisasi fotokopi tersebut wajib
memegang aslinya.
Surat Keterangan Domisili diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya yang sah di
negara treaty partner. Namun demikian, Surat Keterangan Domisili yang dibuat oleh pejabat
pada kantor pajak tempat wajib pajak luar negeri yang bersangkutan terdaftar dapat diterima
dan dipersamakan dengan surat keterangan domisili yang dibuat competent authority.
e. Tata Cara Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedures)
Apabila seseorang atau suatu badan menganggap bahwa tindakan-tindakan salah satu atau
kedua Negara Pihak pada Persetujuan mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan
pajak yang tidak sesuai dengan P3B, maka terlepas dari cara-cara penyelesaian yang diatur
oleh perundang-undangan nasional dari masing-masing Negara, ia dapat mengajukan
masalahnya kepada pejabat yang berwenang di Negara Pihak pada Persetujuan di mana ia
berkedudukan, atau apabila masalah yang timbul menyangkut perlakuan diskriminatif, maka
permasalahan tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang di Negara Pihak pada
Persetujuan di mana ia menjadi warganegara. Masalah tersebut harus diajukan dalam waktu
dua tahun sejak pemberitahuan pertama dari tindakan yang mengakibatkan pengenaan pajak
yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan P3B.
Apabila keberatan yang diajukan itu cukup beralasan untuk diselesaikan dan apabila atas
masalah itu tidak dapat ditemukan suatu penyelesaian yang memuaskan, pejabat yang
berwenang harus berusaha menyelesaikan masalah itu melalui prsetujuan bersama dengan
pejabat yang berwenang dari Negara Pihak lainnya pada Persetujuan, dengan tujuan untuk
menghindarkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B.
Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara Pihak pada Persetujuan melalui suatu
persetujuan bersama harus berusaha untuk menyelesaikan setiap kesulitan atau keraguraguan
yang timbul dalam penafsiran atau penerapan P3B. Mereka dapat juga berkonsultasi bersama
untuk mencegah pengenaan pajak berganda dalam hal tidak diatur dalam Persetujuan.
Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara Pihak pada Persetujuan dapat
berhubungan langsung satu sama lain untuk mencapai persetujuan tersebut. Pejabat-pejabat
yang berwenang dari Negara Pihak pada Persetujuan, melalui konsultasi, mengembangkan
tatacara, kondisi, dan tehnik yang bersifat bilateral guna pencapaian prosedur persetujuan
bersama.
f. Pertukaran Informasi
Adakalanya untuk kelancaran pemajakan terhadap wajib pajak luar negeri, khususnya untuk
mencegah terjadinya penggelapan dan penyelundupan pajak, diperlukan informasi dari
negara pihak lainnya. Untuk kelancaran pertukaran informasi (exchange of information)
diatur dalam P3B sebagai berikut:
1. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara Pihak pada Persetujuan akan
melakukan tukar menukar informasi yang diperlukan untuk melaksanakan ketentuan-
ketentuan memberikan informasi itu hanya untuk maksud tertentu tetapi juga boleh
mengungkapkan informasi itu dalam pengadilan umum atau dalam pembuatan keputusan-
keputusan pengadilan.
2. Negara pihak tidak dapat mewajibkan negara pihak lainnya untuk :
a) Melaksanakan tindakan-tindakan administratif yang bertentangan dengan
perundangundangan dan praktek administrasi yang berlaku di Negara itu atau di Negara
Pihak lainnya pada Persetujuan;
b) Memberikan informasi yang tidak mungkin diberikan di bawah perundang-undangan atau
dalam praktek administrasi yang lazim di Negara tersebut atau di Negara Pihak lainnya pada
Persetujuan;
c) Memberikan informasi yang mengungkapkan rahasia apapun di bidang perdagangan,
usaha, industri, perniagaan atau keahlian, atau tata cara perdagangan atau informasi lainnya
yang pengungkapannya bertentangan dengan kebijaksanaan umum (ordre public).
Dalam P3B atau untuk melaksanakan undang-undang nasional Negara masing-masing
mengenai pajak-pajak yang dicakup dalam Persetujuan, sepanjang pengenaan pajak menurut
undang-undang Negara yang bersangkutan tidak bertentangan dengan P3B.
Setiap informasi yang diterima oleh suatu negara Pihak pada Persetujuan harus dijaga
kerahasiaannya dengan cara yang sama seperti apabila informasi itu diperoleh berdasarkan
perundang-undangan nasional negara tersebut. Bagaimanapun, informasi yang dianggap
rahasia itu hanya dapat diungkapkan kepada orang atau badan atau pejabat-pejabat (termasuk
pengadilan dan badan-badan administratif) yang berkepentingan dalam penetapan atau
penagihan pajak, pelaksanaan undang-undang atau penuntutan, atau dalam memutuskan
keberatan berkenaan dengan pajak-pajak yang dicakup dalam P3B.

CONTOH KASUS
Simulasi Kasus Pajak Internasional
Wajib pajak A yang berkedudukan di Negara P yang mengenakan pajak penghasilan
dengan tarif 25% mendapat penghasilan dari Negara Q sebesar 100.000.000 yang telah
dikenakan pajak sebesar 30%, sedangkan penghasilan domestic adalah 200.000.000,
berapakah pajak terutangnya ?
Penghasilan domestic (Negara P) 200.000.000
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) 100.000.000
Penghasilan global 300.000.000
Pajak terutang (300.000.000 x 25%) 75.000.000
Eksemsi pajak
100.000.000 75.000.000 (25.000.000)
Pajak Penghasilan kurang bayar 50.000.000
Jika, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian sebesar 50, maka
penghitungan pajaknya adalah sbb. :
Penghasilan domestic (Negara P) 200.000.000
Rugi Penghasilan Luar Negeri (Negara
(50.000.000)
Q)
Penghasilan global 150.000.000
Pajak Penghasilan kurang bayar:
37.500.000
25% x 150.000,000

Dengan demikian, apabila kegiatan diluar negeri mendapat kerugian sebagai


konsekuansi dari system pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya dapat mengurangi
penghasilan kena pajak domestic. Namun secara berkesinambungan pengurangan tersebt
harus dipulihkan/diganti kembali (recaptured) pada periode berikutnya apabila memperoleh
laba. Kalau misalnya, dalam contoh tersebut, pada tahun berikutnya dari operasi di Negara Q
didapat laba 150.000,000, di samping laba domestic 250.000.000, maka penghitungan pajak
terutangnya, sbb :
Penghasilan domestic (Negara P) 250.000.000
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (150.000.000)
Penghasilan global 400.000.000
Pajak terutang (400.000.000 x 25%) 100.000.000
Eksemsi pajak
Penghasilan luar negeri 150.000.000
Perhitungan rugi laba tahun lalu (50.000.000)
Basis penghitungan eksemsi 100.000.000
Eksemsi pajak 100.000.000 x 25% (25.000.000)
Pajak Penghasilan kurang bayar 75.000.000

Tax Treaty
PEMAJAKAN ATAS PASSIVE INCOME
Passive income merupakan penghasilan yang berasal dari investasi dalam bentuk tangible maupunintangible
properties (termasuk dalam bentuk financial investment). Aspek perpajakan internasional dari penghasilan
investasi berupa passive income mencakup:
1. Deviden
Prinsip umum perpajakan internasional atas deviden adalah bahwa prioritas hak pemajakan berada pada
negara yang menerima penghasilan berdomisili. Selain negara domisili, negara sumber juga dapat mengenakan
pajak atas deviden tersebut. Alasan utama melatarbelakangi pemberian hak pemajakan kepada negara domisili
dikarenakan modal yang menjadi awal timbulnya penghasilan deviden tersebut berasal dari negara domisili.
Namun dengan pertimbangan negara sumber juga ikut berkontribusi atas timbulnya penghasilan deviden maka
negara sumber juga memiliki hak terbatas atas penghasilan deviden tersebut. Hak pemajakan terbatas itu
tidak berlaku jika pihak penerima penghasilan mempunyai permanent establishment (PE) atau tempat usaha
tetap (fixed base) di negara sumber dan penghasilan yang diterima oleh pihak penerima penghasilan tersebut
memiliki hubungan efektif dengan PE atau fixed base tersebut (effectively connected principle).
Untuk tujuan menentukan tarif pemajakan negara sumber atas penghasilan deviden, Pasal 10 ayat (2) baik
OECD Model dan UN Model membedakan deviden berdasarkan bentuk investasi sahamnya sebagai berikut:
a. Investasi saham partisipasi, diatur dalam pasal 10 ayat (2)(a), dan;
b. Investasi saham portofolio, diatur dalam pasal 10 ayat (2)(b).
Sebagai perbandingan, berikut ini tarif pemajakan yang diterapkan atas penghasilan deviden berdasarkan
bentuk investasi sahamnya yang diatur dalam OECD Model, UN Model, dan US Model:

Tarif Pemajakan atas Deviden berdasarkan Bentuk Investasi

Bentuk Investasi OECD


UN Model US Model
Saham Model
Tergantung
Deviden Portofolio 15% 15%
Kesepakatan
Deviden Partisipasi 5% Tergantung 5%
Kesepakatan

Berdasarkan pada tabel diatas, penghasilan deviden dari investasi saham partisipasi mendapat perlakuan
perpajakan yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan saham portofolio.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam Pasal 10 ayat (2) OECD Model adalah bahwa penurunan tarif pemajakan
atas deviden dari investasi saham partisipasi hanya berlaku dalam hal pemegang sahamnya adalah perusahaan
dan tidak berlaku kepemilikan saham yang dipegang oleh individu atau partnership.

2. Bunga
Pengertian bunga berdasarkan pasal 11 ayat (3) OECD adalah:
Penghasilan dari semua jenis tagihan piutang, yang dijamin dengan hipotik maupun tidak, dan yang
mempunyai hak atas pembagian laba maupun tidak;
Penghasilan dari sekuritas yang diterbitkan pemerintah dan penghasilan dari surat-surat obligasi atau
surat-surat utang;
Premi dan hadiah yang melekat pada sekuritas, obligasi atau surat utang;
Denda atas keterlambatan pembayaran tidak diperlakukan sebagai bunga.
Aspek perpajakan internasional atas bunga diatur dalam Pasal 11 OECD Model yang memiliki 6 (enam) ayat.
Adapun pengaturan dari masing-masing ayat adalah sebagai berikut:
a. Ayat 1: Menjelaskan bahwa negara domisili dapat mengenakan pajak atas bunga dan hak pemajakan negara
domisili tidak dibatasi.
b. Ayat 2: Merupakan pembatasan atas hak negara sumber untuk mengenakan pajak atas bunga dengan
persentase tertentu dari jumlah pembayaran bunga.
c. Ayat 3: Mengatur tentang definisi bunga.
d. Ayat 4: Mengatur bahwa Pasal 11 tidak dapat diterapkan dalam hal hal pihak yang menerima pembayaran
bunga memiliki PE di negara sumber dan pembayaran bunga kepada pihak yang menerima pembayaran bunga
tersebut memiliki hubungan efektif dengan PE yang dimilikinya di negara sumber.
e. Ayat 5: Menjelaskan tentang arti arising in.
f. Ayat 6: Mengatur bahwa dalam hal terjadi pembebanan pembayaran bungan yang tidak wajar yang terjadi
antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa, maka Pasal 11 tidak dapat diterapkan dan mengacu
kepada ketentuan perpajakan domestik negara sumber dan ketentuan lainnya yang terdapat dalam perjanjian
penghindaran pajak berganda.

Terkait dengan hak pemajakan, masing-masing negara yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak
berganda diberi hak pemajakan atas penghasilan bunga.
Pasal 11 ayat (5) OECD Model diatas mengatur bahwa penghasilan bunga akan dianggap bersumber (arise in) di
suatu negara jika:
a. Pihak yang membayar (payer) adalah subjek pajak dalam negeri dari negara sumber tersebut;
b. Apabila bunga tersebut dibebankan kepada PE yang berada di salah satu negara yang mengadakan
perjanjian penghindaran penghindaran pajak berganda maka bunga tersebut dianggap timbul di negara dimana
PE tersebut berada tanpa memperhatikan bunga tersebut dibayarkan dari negara mana, sepanjang terdapat
hubungan ekonomis antara pinjaman dan bunga yang dibebankan kepada PE.

3. Royalti
Dalam istilah umum, royalti di didefinisikan sebagai pembayaran untuk penggunaan aset tidak berwujud
(intangible property). Pada saat ini, definisi royalti juga mencakup pembayaran atas penggunaan hak
kekayaan intelektual. Dalam pasal 12 ayat (2) OECD Model, royalti dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Setiap pembayaran yang diterima sebagai imbalan untuk memakai atau hak memakai:
1) Hak cipta atas karya tulis, karya seni atau karya ilmiah, termasuk film bioskop
2) Hak paten, merk dagang, pola atau model, rencana, rumus rahasia atau proses rahasia; atau
b. Setiap pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas informasi yang berkenaan dengan pengalaman di
bidang industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan, disebut sebagai know-how.

OECD Model memberikan hak pemajakan sepenuhnya kepada negara domisili untuk mengenakan pajak atas
royalti dan tidak memperbolehkan negara sumber untuk mengenakan pemotongan pajak atas royalti seperti
yang dinyatakan dalam Pasal 12 ayat (1) OECD Model.

4. Harta Tak Bergerak


Definisi harta tak bergerak diserahkan kepada ketentuan domestik negara sumber. Terlepas dari definisi yang
diberikan oleh ketentuan domestik, pengertian harta tak bergerak untuk tujuan penerapan perjanjian
penghindaran pajak berganda meliputi:
a. Benda-benda yang menyertai harta tidak bergerak;
b. Ternak dan peralatan yang dipergunakan dalam pertanian dan kehutanan;
c. Hak-hak dimana ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan umum yang berkenaan dengan
pertanahan berlaku;
d. Hak memungut hasil atas harta tidak bergerak, dan hak atas pembayaran-pembayaran tidak tetap atau
tetap sebagai imbalan atas pengerjaan atau hak untuk mengerjakan, kandungan mineral dan sumber-sumber
daya alam lainnya.
Rumusan diatas mengecualikan penghasilan dari kapal, perahu, dan pesawat terbang yang diatur khusus di
Pasal 8 OECD dan UN Model.

Pasal 6 OECD Model dan UN Model mengatur tentang pemajakan atas penghasilan dari harta tak bergerak yang
terletak di negara sumber yang dimiliki oleh subjek pajak dalam negeri dari negara lainnya (negara domisili).
Pasal 6 ayat (1) memberikan hak kepada negara sumber untuk mengenakan pajak yang timbul dari harta tak
bergerak yang terletak di negara sumber tersebut. Negara sumber dapat mengenakan pajak sepanjang
memenuhi persyaratan situs test, yaitu harta tak bergerak yang memberikan penghasilan tersebut terletak di
negara sumber. Implikasi dari situs test terhadap Pasal 6 ayat (1) adalah jika harta tak bergerak tidak terletak
di negara sumber, negara sumber tidak dapat mengenakan pajak yang timbul dari harta tak bergerak tersebut,
terlepas pemilik property atau harta tak bergerak itu adalah subjek pajak dalam negeri di negara sumber.
Pasal 6 ayat (1) memberikan keuntungan lebih dari sisi negara sumber. Tidak seperti penghasilan pasif lainnya
(bunga dan deviden), OECD Model dan UN Model tidak membatasi hak pemajakan negara sumber. Dengan
demikian, dapat terjadi negara sumber mengenakan pajak dengan tarif lebih tinggi.

5. Capital Gain
Perpajakan internasional atas capital gain diatur dalam Pasal 13 OECD Model. Pasal 13 ini mengatur pemajakan
atas laba dari pengalihan atas:
a. Harta tak bergerak (immovable property);
b. Harta bergerak yang merupakan bagian dari harta tak bergerak;
c. Kapal dan pesawat terbang;
d. Pengalihan saham perusahaan real estate (perusahaan yang hartanya sebagian besar terdiri dari harta tak
bergerak); dan
e. Pengalihan saham yang mencerminkan kepemilikan substansial dari subjek pajak dalam negeri dari negara
lainnya (negara domisili).

PEMAJAKAN ATAS DEPENDENT DAN INDEPENDENT PERSONAL SERVICES


1. Income from Employment (Dependent Personal Services)
Perpajakan internasional atas penghasilan dari pekerjaan (penghasilan sebagai karyawan) diatur dalam pasal
15 OECD Model dengan istilah income from employment. Sebelum tahun 2000, istilah yang dipergunakan
oleh OECD Model untuk pemajakan atas penghasilan dari pekerjaan adalah dependent personal services.
Ketentuan perpajakan internasional atas penghasilan dari perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 15
adalah bahwa penghasilan dari pekerjaan yang diperoleh oleh orang pribadi hanya dikenakan pajak di negara
domisilinya, kecuali orang pribadi tersebut melakukan pekerjaan di negara lain. Akan tetapi, Pasal 15 juga
merumuskan kriteria yang memungkinkan negara sumber, yaitu negara dimana seorang pekerja hadir secara
fisik untuk melakukan pekerjaan di negara tersebut, untuk dapat mengenakan pajak.
Mengacu pada rumusan Pasal 15 ayat (1) OECD Model, hanya negara domisili yang boleh untuk mengenakan
pajak, kecuali jika pekerja dimaksud melakukan pekerjaan di negara sumber. Dengan kata lain, negara sumber
memiliki hak pemajakan jika pekerjaan itu dilakukan di negara sumber, dengan tidak memperhatikan status
subjek pajak pemberi kerja sebagai subjek pajak dalam negeri negara mana, atau bahkan kita tidak perlu tahu
siapa pihak pemberi kerjanya.
Penghasilan dari pekerjaan (income from employment) terdiri atas:
a. Penghasilanyang diperoleh oleh para artis termasuk olahragawan.
b. Penghasilan direktur
c. Penghasilan yang dperoleh oleh pegawai pemerintah
d. Penghasilan yang diperoleh oleh para akademisi
e. Penghasilan pelajar dan peserta magang
f. Penghasilan yang diperoleh oleh para diplomat.

2. Independent Personal Services


Dalam suatu penghindaran pajak berganda, aspek perpajakan internasional atas laba usaha yang dijalankan
oleh subjek pajak orang pribadi dinamakan sebagai penghasilan dari independent personal services.
Penghasilan yang diperoleh oleh orang pribadi dari pemberian jasa profesional (professional services) atau
pekerjaan bebas lainnya hanya dapat dikenakan pajak (shall be taxable only) di negara di mana orang pribadi
tersebut menjadi subjek pajak dalam negeri atau di negara domisili. Pengecualian atas ketentuan di atas
apabila salah satu ketentuan yang akan dijelaskan dibawah ini dipenuhi maka negara sumber dapat
mengenakan pajak atas penghasilan dari pemberian jasa profesional yang dilakukan oleh orang pribadi.
Adapun ketentuan yang harus dipenuhi agar negara sumber dapat mengenakan pajak adalah sebagai berikut:
a. Apabila orang pribadi tersebut mempunyai suatu tempat tetap yang tersedia secara teratur baginya untuk
menjalankan kegiatan-kegiatan di negara sumber; atau
b. Apabila orang pribadi tersebut tinggal di negara sumber dalam suatu periode atau periode-periode yang
jumlahnya melebihi 183 hari dalam masa 12 bulan yang mulai atau berakhir pada satu tahun pajak yang
bersangkutan.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan penghasilan dari pemberian jasa profesional adalah:
a. Kegiatan-kegiatan di bidang ilmu pengetahuan;
b. Kesusastraan;
c. Pekerjaan-pekerjaan bebas yang dilakukan oleh para dokter, ahli teknik, ahli hukum, dokter gigi, arsitek
dan akuntan.

Konsep Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment)


Konsep dasar pemajakan atas laba usaha (business profits) dari perusahaan yang menjalankan kegiatan
usahanya dengan cara lintas batas negara adalah bahwa laba perusahaan tidak akan dikenakan pajak di negara
di mana perusahaan tersebut tidak menjadi subjek pajak dalam negeri, kecuali perusahaan tersebut
mempunyai hubungan yang erat dengan negara di mana laba usaha tersebut diperoleh. Suatu perusahaan
dikatakan mempunyai hubungan erat dengan negara di mana laba usaha tersebut diperoleh jika perusahaan
tersebut menjalankan kegiatan usahanya di negara tersebut melalui permanent establishment (PE). Dengan
demikian, tanpa adanya PE di negara sumber, maka negara sumber tidak dapat mengenakan pajak atas laba
usaha yang bersumber di negaranya tersebut.

Dalam model perjanjian penghindaran pajak berganda yang dikembangkan oleh OECD, pemajakan atas laba
usaha ini diatur dalam Pasal 7. Pasal 7 OECD Model menyatakan bahwa laba usaha hanya dikenakan pajak di
negara domisili, kecuali perusahaan tersebut mempunyai PE di negara sumber. Dengan demikian, berdasarkan
Pasal 7 OECD Model ini, negara sumber mempunyai hak pemajakan atas laba usaha jika di negara sumber
tersebut terdapat PE. Oleh karena itu, konsep PE menjadi sangat penting dalam pemajakan atas laba usaha.

Konsep dasar (PE) diatur dalam pasal 5 OECD Model. Bentuk-bentuk PE seperti yang diatur dalam OECD Model
adalah sebagai berikut:
1. Bentuk dasar atau Basic Rule PE (Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3));
2. Konstruksi atau Construction PE (Pasal 5 ayat (3));
3. Keagenan atau Agency PE (Pasal 5 ayat (5)).

Sedangkan berdasarkan UN Model, bentuk-bentuk PE adalah sebagai berikut:


1. Bentuk Dasar atau Basic Rule PE (Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3));
2. Konstruksi atau Construction PE (Pasal 5 ayat (3) huruf a);
3. Pemberian Jasa atau Service PE (Pasal 5 ayat (3) huruf b);
4. Keagenan atau Agency PE (Pasal 5 ayat (5));
5. Asuransi atau Insurance PE (Pasal 5 ayat (6)).

Dari bentuk-bentuk PE di atas, dapat kita lihat bahwa pengertian PE berdasarkan UN Model lebih luas daripada
OECD Model. Hal ini disebabkan karena UN Model dikembangkan untuk kepentingan negara-negara pengimpor
modal (capital importing countries). Dengan memperluas bentuk-bentuk PE maka kesempatan bagi negara-
negara berkembang untuk mengenakan pajak atas penghasilan dari kegiatan usaha yang dijalankan oleh subjek
pajak luar negeri yang berasal dari negara-negara maju (capital exporting countries) akan lebih besar lagi.

Transfer Pricing
Dalam dunia bisnis yang diwarnai oleh tarif pajak penghasilan yang berbeda-beda antara satu negara dengan
negara lainnya, bagi perusahaan multinasional yang operasionalnya meliputi beberapa negara seringkali
menggunakan pajak penghasilan sebagai salah satu unsur yang dapat mengoptimalkan laba yang diperolehnya,
dengan cara memaksimalkan penghasilannya di negara yang bertarif pajak rendah dan meminimalkan
penghasilannya di negara yang bertarif pajak tinggi. Tindakan tersebut umumnya dilakukan dengan mengatur
harga transaksi antar sesama group perusahaan atau yang mempunyai hubungan istimewa yang dikenal dengan
istilah harga transfer (transfer pricing).
Dari sisi pemerintah, transfer pricing dapat mengakibatkan berkurangnya ataupun hilangnya potensi
penerimaan negara khususnya pajak dari perusahaan miltinasional. Perusahaan multinasional cenderung untuk
berusaha merelokasi penghasilan globalnya pada low tax country (negara yang memiliki tarif pajak rendah) dan
menggeser biaya-biaya dalam jumlah yang lebih besar pada high tax country (negara yang memiliki tarif pajak
tinggi). Hal ini dapat dikatakan bahwa perusahaan multinasional berusaha menggeser kewajiban pajaknya dari
negara yang memiliki tarif pajak tinggi ke negara yang memiliki tarif pajak rendah.

1. Advance Pricing Agreement (APA)


Negara-negara yang melihat bahwa perbuatan tersebut dapat mengganggu penerimaan pajaknya, membuat
ketentuan yang mengatur agar transaksi yang terjadi antarperusahaan yang mempunyai hubungan istimewa
menggunakan harga wajar, yaitu harga yang terjadi akibat transaksi yang dilakukan oleh dua perusahaan yang
masing-masing independen. Dalam rangka terdapat penyesuaian harga transfer antara otoritas pajak dengan
para wajib pajak, telah diperkenalkan model Kesepakatan Harga Transfer-Advance Pricing Agreement
sebagaimana disebutkan dalam bagian penjelasan atas pasal 18 ayat 3a UU No. 36 Th 2008 tentang Pajak
Penghasilan yang menyatakan bahwa kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah
kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang
dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan
diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan
multinasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa
hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada
kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak,
Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada
perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara
Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan
otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.

Prosedur penerapan APA umumnya dilakukan sebagai berikut:


a. WP mengajukan permohonan kepada Instansi Pajak untuk dapat diberlakukannya APA untuk suatu periode
tertentu.
b. Selanjutnya WP mempresentasikan usulan besaran harga yang akan diterapkan lengkap dengan semua data
yang diperlukan untuk menghitung besaran harga tersebut.
c. Oleh Instansi Pajak, atas usulan besaran harga tersebut dilakukan semacam pengujian untuk meyakinkan
sampai sejauh mana usulan tersebut dapat diterima.

2. Metode Penentuan Harga Wajar


Sesuai ketentuan UU PPh pasal 18 ayat 3, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali
besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya
sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan
menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali,
metode biaya-plus, atau metode lainnya.

a. Metode Harga Pasar Sebanding (Comparable Uncontrolled Price Method)


Metode ini diterapkan dengan pembandingan harga transaksi dari pihak yang ada hubungan isitmewa tersebut
dengan harga transaksi barang sejenis dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa (pembanding
independen).
Contoh:
PT A memiliki 25% saham PT B. Atas penyerahan barang PT A ke PT B, PT A membebankan harga jual Rp160
per unit, berbeda dengan harga yang diperhitungkan atas penyerahan barang yang sama kepada PT X yang
tidak mempunyai hubungan istimewa, yaitu Rp200 per unit. Dalam hal ini, harga wajar atas barang tersebut
adalah Rp200 per unit.

b. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method)


Metode ini diterapkan dalam hal wajib pajak yang diperiksa bergerak dalam bidang usaha perdagangan yaitu
produk yang telah dibeli dijual kembali (resale) kepada pihak lainnya.
Contoh:
Berhubungan dengan contoh 1, PT B menjual kembali barang yang dibeli dari PT A kepada pihak ketiga yang
tidak ada hubungan istimewa dengan harga Rp250 per unit. Perusahaan lain, PT C, yang independen, juga
menyerahkan produk yang sama kepada PT B yang juga independen, dengan kenaikan harga jual 20%. Dengan
demikian harga jual yang wajar dari PT A kepada PT B adalah Rp250 (20% x Rp250) = Rp200.

c. Metode Harga Pokok Plus


Metode ini umumnya digunakan pada usaha pabrikasi yang menjual produk kepada afiliasinya untuk diproses
lebih lanjut.
Contoh:
Berhubungan dengan contoh 1, misalnya PT A memperoleh bahan baku dan bahan pembantu dari pemasok
yang tidak ada hubungan istimewa. Harga pokok barang yang diproduksi adalah Rp150 dan diketahui laba kotor
yang pada umumnya diperoleh dari penjualan barang yang sama antarpihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa adalah 40% dari harga pokok. Maka harga jual yang wajar atas barang tersebut dari PT A ke PT B
adalah Rp150 + (40% x Rp150) = Rp210.
Treaty Shopping
Treaty Shopping adalah suatu skema yang dilakukan untuk mendapatkan fasilitas, misalnya penurunan tarif
pemotongan pajak (withholding taxes) yang disediakan oleh suatu perjanjian penghindaran pajak berganda,
oleh subjek pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Upaya penyalahgunaan
perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut, disebut sebagai abusive. Hal ini disebabkan karena
menggunakan pasal-pasal dalam perjanjian penghindaran pajak berganda yang tidak sesuai dengan maksud dan
tujuan dibuatnya perjanjian penghindaran pajak berganda, yaitu untuk menghindari pajak berganda dan
mencegah terjadinya penghindaran pajak.
Dalam rangka mencegah praktik penyalahgunaan ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian penghindaran
pajak berganda agar tidak disalahgunakan oleh subjek pajak yang tidak seharusnya menerima manfaat dari
perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut, maka dalam pasal perjanjian pajak berganda terdapat
ketentuan tentang anti tax avoidance. Disamping itu, banyak negara juga membuat suatu ketentuan
tentang anti tax avoidance terhadap treaty shopping dalam ketentuan domestiknya.

KEDUDUKAN SURAT KETERANGAN DOMISILI (SKD) DALAM PENCEGAHAN TREATY SHOPPING


Sehubungan dengan masalah subjek pajak yang berhak mendapatkan fasilitas yang ada dalam suatu perjanjian
penghindaran pajak berganda biasanya negara sumber penghasilan meminta Certificate of Residence (Surat
Keterangan Domisili/SKD) sebagai bukti bahwa subjek pajak tersebut memang benar subjek pajak dalam negeri
dari negara lainnya yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak berganda.

Di India, dalam perjanjian penghindaran pajak berganda India-Mauritius, Central Board of Direct
Taxation menyatakan bahwa SKD yang diterbutkan oleh pihak yang berwenang di Mauritius dapat dianggap
sebagai bukti yang cukup meyakinkan bahwa penghasilan telah diterima oleh subjek pajak dalam negeri
sekaligus sebagai penerima terakhir yang sebenarnya (beneficial owner of the income). Akan tetapi, oleh
Pengadilan Tinggi, Surat Edaran tersebut dianggap ultra vires terhadap undang-undang pajak penghasilan
India. Lebih lanjut, mengenai Surat Edaran yang diterbitkan tersebut, Srinivasa Rao berpendapat bahwa hal
tersebut merupakan passive abuse by a state karena negara memberikan legitimasi kepada subjek pajak yang
mempunyai peluang untuk melakukan abuse of tax treaty.

Contoh kasus lain yang berhubungan dengan kedudukan SKD dapat dilihat dalam kasus sengketa pajak
antara Forth Investment Ltd dengan Commissioners of Inland Revenue yang terjadi di tahun 1976. Dalam kasus
tersebut, surat pernyataan dari Company Secretary dan SKD yang diterbitkan oleh Deputy
Commissioner dianggap tidak mempunyai nilai sama sekali (the evidential value was nil).

Terkait dengan kasus di atas, pengadilan dengan tegas menyatakan bahwa SKD hanya merupakan opini dari
pihak yang menerbitkan SKD tersebut dan pihak otoritas pajak berhak untuk mendapatkan bukti-bukti lainnya
untuk melihat transaksi sesungguhnya secara lebih mendalam (lebih diutamakan) dan melihat fakta-fakta yang
sebenarnya.

BENEFICIAL OWNER DAN TREATY SHOPPING


Khusus untuk penghasilan atas dividen, bungan, dan royalti, perjanjian penghindaran pajak berganda
menambahkan satu persyaratan lagi selain sebagai resident untuk mendapatkan fasilitas penurunan tarif yang
disediakan, yaitu beneficial owner. Terkait dengan beneficial owner, Belanda menginterpretasikan beneficial
owner sebagai berikut:
No "real benefit accrues" if the recipient of certain income is under the contractual obligation to pass the
income entirely or almost entirely on to the third party.
dan
a person cannot be considered beneficial owner if he is, for example, contractually obligated to pay the
largest part of the income to the third parties.
Dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Atas penghasilan bunga dari utang jangka panjang sebesar Rp 10 Milyar tidak dikenakan
pajak di Indonesia;
2. Belanda hanya akan mengenakan pajak atas sebagian kecil dari penghasilan bunga tersebut
(dalam hal ini diberi istilah 'imbalan')
3. Kemudian, penghasilan bungan sebesar Rp 10 Milyar yang diterima oleh Subsidiary, di
negara Tax Haven, tidak dikenakan pajak atau dikenakan pajak dengan tarif yang rendah.
LIMITATION ON BENEFITS SEBAGAI ANTI TREATY SHOPPING
OECD telah memberikan jalan keluar untuk mencegah penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak
berganda dengan beberapa alternatif, seperti: (i) looh-through approach; (ii) the channel approach; (iii) the
limitation on benefits approach; dan (iv) bonafide test.
Sejalan dengan hal tersebut, Mahkamah Agung di India dalam putusannya menyatakan bahwa jika otoritas
pajak India ingin menyatakan bahwa negara pihak ketiga (non-resident country) tidak berhak untuk
mendapatkan fasilitas yang disediakan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda, maka negara harus
mengadopsi ketentuan limitation of benefits seperti yang terdapat dalam perjanjian penghindaran pajak
berganda India-US. Maksud diadakan ketentuan limitation of benefits tersebut adalah dalam rangka untuk
mencegah penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak bergandaoleh subjek pajak yang tidak berwenang
dan dalam rangka untuk kepastian hukum bagi subjek pajak.
Sehubungan dengan ketentuan limitation of benefits, perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia saat
ini mempunyai pasal limitation of benefits hanya dengan USA. Akan tetapi, untuk dapat memasukkan
(renegosiasi) pasal tersebut dalam perjanjian penghindaran pajak berganda yang masih berlaku saat ini adalah
sesuatu yang sangat sulit karena dalam praktik, masa berlakunya perjanjian penghindaran pajak berganda
dengan satu negara sampai renegosiasi rata-rata sekitar 14 tahun. Hal ini bisa terjadi karena suatu renegosiasi
memerlukan adanya kepentingan bersama dari dua negara yang mengadakan renegosiasi perjanjian
penghindaran pajak berganda tersebut. Oleh karena itu, keinginan sepihak untuk memasukkan anti
penghindaran pajak dalam perjanjian penghindaran pajak berganda banyak menemui kendala dalam
praktiknya.

SAAR SEBAGAI ANTI TREATY SHOPPING


Banyak negara, pada umumnya, telah memiliki ketentuan khusus anti penghindaran pajak (Specific Anti
Avoidance Rule/SAAR) untuk mencegah praktik treaty shopping dalam undang-undang pajak domestik mereka.
Di lain pihak, meskipun ketentuan khusus anti penghindaran pajak (SAAR) sudah diatur dalam ketentuan pajak
domestik di suatu negara tetapi tidak cukup efektif untuk menangkal praktik treaty shopping seperti yang
dinyatakan oleh Arnold (Tidak cukup kuat dapat diartikan bahwa dalam pembuatan UU Pajak sangat sulit untuk
memprediksi skema-skema khusus penghindaran pajak yang akan dilakukan oleh subjek pajak di kemudian
hari). Untuk dapat menangkal praktik penghindaran pajak perlu adanya kombinasi antara ketentuan umum anti
penghindaran pajak (General Anti Avoidance Rule/ GAAR) dan ketentuan khusus anti penghindaran pajak.

GAAR SEBAGAI ANTI TREATY SHOPPING


Paragraf 22 dan 22.1 OECD Commentary atas Pasal 1 menyatakan bahwa ketentuan anti penghindaran pajak
domestik seperti "substance over form principle", "economic substance", dan ketentuan umum anti
penghindaran pajak (General Anti Avoidance Rule/ GAAR) tidak bertentangan dengan perjanjian penghindaran
pajak berganda. Akan tetapi, sudah ada kesepakatan antara negara anggota OECD bahwa penerapan GAAR ini
harus dilaksanakan dengan hati-hati agar jangan sampai terjadi pemajakan berganda. Penerapan ketentuan
GAAR hanya bisa dilaksanakan jika sudah terdapat bukti yang sangat jelas bahwa perjanjian penghindaran
pajak berganda telah disalahgunakan.

Ketentuan GAAR dapat dikembangkan melalui Undang-Undang pajak penghasilan atau dikembangkan oleh
pengadilan pajak melalui putusan-putusannya. Salah satu doktrin yang dikembangkan oleh pengadilan di
banyak negara dalam menyangkal praktik treaty shopping, melalui pendirian conduit company/paperbox
company, yaitu dengan cara membuat aturan tentang step transaction doctrine. Ketentuan tentang step
transaction doctrine tersebut telah dikembangkan di Pengadilan Pajak AS (US Tax Court).

Terkait dengan ketentuan step transaction doctrine, Pengadilan Pajak AS menyatakan bahwa suatu rangkaian
transaksi yang secara formal dibuat terpisah akan dibatalkan dan dijadikan sebagai satu transaksi yang tidak
terpisahkan. Selain itu, dalam rangka untuk menangkal complex series of transactions yang tidak mempunyai
tujuan bisnis, semata-mata untuk menghindari pajak, Pengadilan Pajak AS memberikan 3 (tiga) macam alat uji
untuk menerapkan ketentuan step transaction doctrine sebagai berikut ini:
1. Binding Commitment Test
Apabila terdapat serangkaian transaksi, maka apabila setelah tahap pertama dijalankan, ternyata ada suatu
kesepakatan yang mengikat untuk menjalankan tahap yang kedua, maka transaksi yang terpisah tersebut akan
dianggap tidak ada.
2. The End Result Test
Apabila terdapat transaksi yang sudah direncanakan dari awal bahwa transaksi tersebut merupakan suatu
kesatuan yang tidak terpisahkan jika sampai ke tahap yang terakhir, maka transaksi yang terpisah tersebut
akan dianggap tidak ada.
3. The Mutual Interdependence Test
Apabila tahap-tahap yang terpisah tersebut adalah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sehingga
jika suatu bentuk formal yang dibuat pada tahap yang pertama dijalankan, maka tahap pertama tersebut tidak
akan mempunyai arti apapun jika tidak dijalankan sampai rangkaian dari tahap-tahap tersebut lengkap.

Dalam pasal-pasal perjanjian penghindaran pajak berganda terdapat ketentuan untuk menangkal agar
suatu perjanjian penghindaran pajak berganda tidak disalahgunakan oleh subjek pajak yang tidak berhak
(treay shopping) seperti pasal limitation of benefits. Akan tetapi, untuk memasukkan pasal-pasal tersebut ke
dalam perjanjian penghindaran pajak berganda, yang masih berlaku, tidak mudah untuk dilakukan.

Ketentuan anti penghindaran pajak domestik diperkenankan sepanjang terdapat bukti yang jelas
bahwa perjanjian penghindaran pajak berganda telah disalahgunakan. Walaupun suatu negara telah
mempunyai SAAR untuk menangkal praktik treaty shopping, tetapi ketentuan tersebut masih belum cukup.
Oleh karena itu, dibutuhkan GAAR, yang dapat dikembangkan melalui undang-undang pajak penghasilan atau
melalui putusan pengadilan pajak, sebagai pelengkap. Menurut Brian J. Arnold, dalam beberapa kasus GAAR
harus dapat meng-override SAAR, jika tidak, maka para pelaku penghindaran pajak akan memanfaatkan
kelemahan teknis dari undang-undang pajak penghasilan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa GAAR
kedudukannya lebih tinggi dari SAAR.

Anda mungkin juga menyukai