1 Pajak Internasional
Definisi Pajak Internasional dalam Undang-undang Pajak Penghasilan sampai detik
ini belum ada. Penulis bersama dengan Bapak Sriadi Kepala Seksi Perjanjian Perpajakan
Eropa, Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak, memberanikan diri untuk mendefinisikan
tentang pengertian Pajak Internasional berdasarkan uraian sebelumnya.
Pajak Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang
mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaanya dilakukan
dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda).
Dengan demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia terhadap
badan atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat perjanjian bilateral (dua
negara) tentang Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara asal atau penduduk
asing tersebut.
Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua) dimensi
luas yaitu:
1. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari luar negri,
dan
2. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari dalam
negeri(domestik).
Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar negeri atau transaksi
(ke) luar batas negara (outward, outbound transaction) karena umumnya melibatkan
eksportasi modal ke manca negara sedangkan dimensi kedua menunjuk pada pemajakan
ataspenghasilan domestik atau transaksi (ke) dalam batas negara (inward, inbound
transaction) karena umumnya melibatkan importasi modal dari manca negara. Dalam
aplikasinya pemajakan penghasilan luar negeri dilakukan oleh negara domisili (residence
country), sedangkan pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara sumber (source
country)
CONTOH KASUS
Simulasi Kasus Pajak Internasional
Wajib pajak A yang berkedudukan di Negara P yang mengenakan pajak penghasilan
dengan tarif 25% mendapat penghasilan dari Negara Q sebesar 100.000.000 yang telah
dikenakan pajak sebesar 30%, sedangkan penghasilan domestic adalah 200.000.000,
berapakah pajak terutangnya ?
Penghasilan domestic (Negara P) 200.000.000
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) 100.000.000
Penghasilan global 300.000.000
Pajak terutang (300.000.000 x 25%) 75.000.000
Eksemsi pajak
100.000.000 75.000.000 (25.000.000)
Pajak Penghasilan kurang bayar 50.000.000
Jika, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian sebesar 50, maka
penghitungan pajaknya adalah sbb. :
Penghasilan domestic (Negara P) 200.000.000
Rugi Penghasilan Luar Negeri (Negara
(50.000.000)
Q)
Penghasilan global 150.000.000
Pajak Penghasilan kurang bayar:
37.500.000
25% x 150.000,000
Tax Treaty
PEMAJAKAN ATAS PASSIVE INCOME
Passive income merupakan penghasilan yang berasal dari investasi dalam bentuk tangible maupunintangible
properties (termasuk dalam bentuk financial investment). Aspek perpajakan internasional dari penghasilan
investasi berupa passive income mencakup:
1. Deviden
Prinsip umum perpajakan internasional atas deviden adalah bahwa prioritas hak pemajakan berada pada
negara yang menerima penghasilan berdomisili. Selain negara domisili, negara sumber juga dapat mengenakan
pajak atas deviden tersebut. Alasan utama melatarbelakangi pemberian hak pemajakan kepada negara domisili
dikarenakan modal yang menjadi awal timbulnya penghasilan deviden tersebut berasal dari negara domisili.
Namun dengan pertimbangan negara sumber juga ikut berkontribusi atas timbulnya penghasilan deviden maka
negara sumber juga memiliki hak terbatas atas penghasilan deviden tersebut. Hak pemajakan terbatas itu
tidak berlaku jika pihak penerima penghasilan mempunyai permanent establishment (PE) atau tempat usaha
tetap (fixed base) di negara sumber dan penghasilan yang diterima oleh pihak penerima penghasilan tersebut
memiliki hubungan efektif dengan PE atau fixed base tersebut (effectively connected principle).
Untuk tujuan menentukan tarif pemajakan negara sumber atas penghasilan deviden, Pasal 10 ayat (2) baik
OECD Model dan UN Model membedakan deviden berdasarkan bentuk investasi sahamnya sebagai berikut:
a. Investasi saham partisipasi, diatur dalam pasal 10 ayat (2)(a), dan;
b. Investasi saham portofolio, diatur dalam pasal 10 ayat (2)(b).
Sebagai perbandingan, berikut ini tarif pemajakan yang diterapkan atas penghasilan deviden berdasarkan
bentuk investasi sahamnya yang diatur dalam OECD Model, UN Model, dan US Model:
Berdasarkan pada tabel diatas, penghasilan deviden dari investasi saham partisipasi mendapat perlakuan
perpajakan yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan saham portofolio.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam Pasal 10 ayat (2) OECD Model adalah bahwa penurunan tarif pemajakan
atas deviden dari investasi saham partisipasi hanya berlaku dalam hal pemegang sahamnya adalah perusahaan
dan tidak berlaku kepemilikan saham yang dipegang oleh individu atau partnership.
2. Bunga
Pengertian bunga berdasarkan pasal 11 ayat (3) OECD adalah:
Penghasilan dari semua jenis tagihan piutang, yang dijamin dengan hipotik maupun tidak, dan yang
mempunyai hak atas pembagian laba maupun tidak;
Penghasilan dari sekuritas yang diterbitkan pemerintah dan penghasilan dari surat-surat obligasi atau
surat-surat utang;
Premi dan hadiah yang melekat pada sekuritas, obligasi atau surat utang;
Denda atas keterlambatan pembayaran tidak diperlakukan sebagai bunga.
Aspek perpajakan internasional atas bunga diatur dalam Pasal 11 OECD Model yang memiliki 6 (enam) ayat.
Adapun pengaturan dari masing-masing ayat adalah sebagai berikut:
a. Ayat 1: Menjelaskan bahwa negara domisili dapat mengenakan pajak atas bunga dan hak pemajakan negara
domisili tidak dibatasi.
b. Ayat 2: Merupakan pembatasan atas hak negara sumber untuk mengenakan pajak atas bunga dengan
persentase tertentu dari jumlah pembayaran bunga.
c. Ayat 3: Mengatur tentang definisi bunga.
d. Ayat 4: Mengatur bahwa Pasal 11 tidak dapat diterapkan dalam hal hal pihak yang menerima pembayaran
bunga memiliki PE di negara sumber dan pembayaran bunga kepada pihak yang menerima pembayaran bunga
tersebut memiliki hubungan efektif dengan PE yang dimilikinya di negara sumber.
e. Ayat 5: Menjelaskan tentang arti arising in.
f. Ayat 6: Mengatur bahwa dalam hal terjadi pembebanan pembayaran bungan yang tidak wajar yang terjadi
antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa, maka Pasal 11 tidak dapat diterapkan dan mengacu
kepada ketentuan perpajakan domestik negara sumber dan ketentuan lainnya yang terdapat dalam perjanjian
penghindaran pajak berganda.
Terkait dengan hak pemajakan, masing-masing negara yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak
berganda diberi hak pemajakan atas penghasilan bunga.
Pasal 11 ayat (5) OECD Model diatas mengatur bahwa penghasilan bunga akan dianggap bersumber (arise in) di
suatu negara jika:
a. Pihak yang membayar (payer) adalah subjek pajak dalam negeri dari negara sumber tersebut;
b. Apabila bunga tersebut dibebankan kepada PE yang berada di salah satu negara yang mengadakan
perjanjian penghindaran penghindaran pajak berganda maka bunga tersebut dianggap timbul di negara dimana
PE tersebut berada tanpa memperhatikan bunga tersebut dibayarkan dari negara mana, sepanjang terdapat
hubungan ekonomis antara pinjaman dan bunga yang dibebankan kepada PE.
3. Royalti
Dalam istilah umum, royalti di didefinisikan sebagai pembayaran untuk penggunaan aset tidak berwujud
(intangible property). Pada saat ini, definisi royalti juga mencakup pembayaran atas penggunaan hak
kekayaan intelektual. Dalam pasal 12 ayat (2) OECD Model, royalti dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Setiap pembayaran yang diterima sebagai imbalan untuk memakai atau hak memakai:
1) Hak cipta atas karya tulis, karya seni atau karya ilmiah, termasuk film bioskop
2) Hak paten, merk dagang, pola atau model, rencana, rumus rahasia atau proses rahasia; atau
b. Setiap pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas informasi yang berkenaan dengan pengalaman di
bidang industri, perdagangan, atau ilmu pengetahuan, disebut sebagai know-how.
OECD Model memberikan hak pemajakan sepenuhnya kepada negara domisili untuk mengenakan pajak atas
royalti dan tidak memperbolehkan negara sumber untuk mengenakan pemotongan pajak atas royalti seperti
yang dinyatakan dalam Pasal 12 ayat (1) OECD Model.
Pasal 6 OECD Model dan UN Model mengatur tentang pemajakan atas penghasilan dari harta tak bergerak yang
terletak di negara sumber yang dimiliki oleh subjek pajak dalam negeri dari negara lainnya (negara domisili).
Pasal 6 ayat (1) memberikan hak kepada negara sumber untuk mengenakan pajak yang timbul dari harta tak
bergerak yang terletak di negara sumber tersebut. Negara sumber dapat mengenakan pajak sepanjang
memenuhi persyaratan situs test, yaitu harta tak bergerak yang memberikan penghasilan tersebut terletak di
negara sumber. Implikasi dari situs test terhadap Pasal 6 ayat (1) adalah jika harta tak bergerak tidak terletak
di negara sumber, negara sumber tidak dapat mengenakan pajak yang timbul dari harta tak bergerak tersebut,
terlepas pemilik property atau harta tak bergerak itu adalah subjek pajak dalam negeri di negara sumber.
Pasal 6 ayat (1) memberikan keuntungan lebih dari sisi negara sumber. Tidak seperti penghasilan pasif lainnya
(bunga dan deviden), OECD Model dan UN Model tidak membatasi hak pemajakan negara sumber. Dengan
demikian, dapat terjadi negara sumber mengenakan pajak dengan tarif lebih tinggi.
5. Capital Gain
Perpajakan internasional atas capital gain diatur dalam Pasal 13 OECD Model. Pasal 13 ini mengatur pemajakan
atas laba dari pengalihan atas:
a. Harta tak bergerak (immovable property);
b. Harta bergerak yang merupakan bagian dari harta tak bergerak;
c. Kapal dan pesawat terbang;
d. Pengalihan saham perusahaan real estate (perusahaan yang hartanya sebagian besar terdiri dari harta tak
bergerak); dan
e. Pengalihan saham yang mencerminkan kepemilikan substansial dari subjek pajak dalam negeri dari negara
lainnya (negara domisili).
Dalam model perjanjian penghindaran pajak berganda yang dikembangkan oleh OECD, pemajakan atas laba
usaha ini diatur dalam Pasal 7. Pasal 7 OECD Model menyatakan bahwa laba usaha hanya dikenakan pajak di
negara domisili, kecuali perusahaan tersebut mempunyai PE di negara sumber. Dengan demikian, berdasarkan
Pasal 7 OECD Model ini, negara sumber mempunyai hak pemajakan atas laba usaha jika di negara sumber
tersebut terdapat PE. Oleh karena itu, konsep PE menjadi sangat penting dalam pemajakan atas laba usaha.
Konsep dasar (PE) diatur dalam pasal 5 OECD Model. Bentuk-bentuk PE seperti yang diatur dalam OECD Model
adalah sebagai berikut:
1. Bentuk dasar atau Basic Rule PE (Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3));
2. Konstruksi atau Construction PE (Pasal 5 ayat (3));
3. Keagenan atau Agency PE (Pasal 5 ayat (5)).
Dari bentuk-bentuk PE di atas, dapat kita lihat bahwa pengertian PE berdasarkan UN Model lebih luas daripada
OECD Model. Hal ini disebabkan karena UN Model dikembangkan untuk kepentingan negara-negara pengimpor
modal (capital importing countries). Dengan memperluas bentuk-bentuk PE maka kesempatan bagi negara-
negara berkembang untuk mengenakan pajak atas penghasilan dari kegiatan usaha yang dijalankan oleh subjek
pajak luar negeri yang berasal dari negara-negara maju (capital exporting countries) akan lebih besar lagi.
Transfer Pricing
Dalam dunia bisnis yang diwarnai oleh tarif pajak penghasilan yang berbeda-beda antara satu negara dengan
negara lainnya, bagi perusahaan multinasional yang operasionalnya meliputi beberapa negara seringkali
menggunakan pajak penghasilan sebagai salah satu unsur yang dapat mengoptimalkan laba yang diperolehnya,
dengan cara memaksimalkan penghasilannya di negara yang bertarif pajak rendah dan meminimalkan
penghasilannya di negara yang bertarif pajak tinggi. Tindakan tersebut umumnya dilakukan dengan mengatur
harga transaksi antar sesama group perusahaan atau yang mempunyai hubungan istimewa yang dikenal dengan
istilah harga transfer (transfer pricing).
Dari sisi pemerintah, transfer pricing dapat mengakibatkan berkurangnya ataupun hilangnya potensi
penerimaan negara khususnya pajak dari perusahaan miltinasional. Perusahaan multinasional cenderung untuk
berusaha merelokasi penghasilan globalnya pada low tax country (negara yang memiliki tarif pajak rendah) dan
menggeser biaya-biaya dalam jumlah yang lebih besar pada high tax country (negara yang memiliki tarif pajak
tinggi). Hal ini dapat dikatakan bahwa perusahaan multinasional berusaha menggeser kewajiban pajaknya dari
negara yang memiliki tarif pajak tinggi ke negara yang memiliki tarif pajak rendah.
Di India, dalam perjanjian penghindaran pajak berganda India-Mauritius, Central Board of Direct
Taxation menyatakan bahwa SKD yang diterbutkan oleh pihak yang berwenang di Mauritius dapat dianggap
sebagai bukti yang cukup meyakinkan bahwa penghasilan telah diterima oleh subjek pajak dalam negeri
sekaligus sebagai penerima terakhir yang sebenarnya (beneficial owner of the income). Akan tetapi, oleh
Pengadilan Tinggi, Surat Edaran tersebut dianggap ultra vires terhadap undang-undang pajak penghasilan
India. Lebih lanjut, mengenai Surat Edaran yang diterbitkan tersebut, Srinivasa Rao berpendapat bahwa hal
tersebut merupakan passive abuse by a state karena negara memberikan legitimasi kepada subjek pajak yang
mempunyai peluang untuk melakukan abuse of tax treaty.
Contoh kasus lain yang berhubungan dengan kedudukan SKD dapat dilihat dalam kasus sengketa pajak
antara Forth Investment Ltd dengan Commissioners of Inland Revenue yang terjadi di tahun 1976. Dalam kasus
tersebut, surat pernyataan dari Company Secretary dan SKD yang diterbitkan oleh Deputy
Commissioner dianggap tidak mempunyai nilai sama sekali (the evidential value was nil).
Terkait dengan kasus di atas, pengadilan dengan tegas menyatakan bahwa SKD hanya merupakan opini dari
pihak yang menerbitkan SKD tersebut dan pihak otoritas pajak berhak untuk mendapatkan bukti-bukti lainnya
untuk melihat transaksi sesungguhnya secara lebih mendalam (lebih diutamakan) dan melihat fakta-fakta yang
sebenarnya.
1. Atas penghasilan bunga dari utang jangka panjang sebesar Rp 10 Milyar tidak dikenakan
pajak di Indonesia;
2. Belanda hanya akan mengenakan pajak atas sebagian kecil dari penghasilan bunga tersebut
(dalam hal ini diberi istilah 'imbalan')
3. Kemudian, penghasilan bungan sebesar Rp 10 Milyar yang diterima oleh Subsidiary, di
negara Tax Haven, tidak dikenakan pajak atau dikenakan pajak dengan tarif yang rendah.
LIMITATION ON BENEFITS SEBAGAI ANTI TREATY SHOPPING
OECD telah memberikan jalan keluar untuk mencegah penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak
berganda dengan beberapa alternatif, seperti: (i) looh-through approach; (ii) the channel approach; (iii) the
limitation on benefits approach; dan (iv) bonafide test.
Sejalan dengan hal tersebut, Mahkamah Agung di India dalam putusannya menyatakan bahwa jika otoritas
pajak India ingin menyatakan bahwa negara pihak ketiga (non-resident country) tidak berhak untuk
mendapatkan fasilitas yang disediakan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda, maka negara harus
mengadopsi ketentuan limitation of benefits seperti yang terdapat dalam perjanjian penghindaran pajak
berganda India-US. Maksud diadakan ketentuan limitation of benefits tersebut adalah dalam rangka untuk
mencegah penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak bergandaoleh subjek pajak yang tidak berwenang
dan dalam rangka untuk kepastian hukum bagi subjek pajak.
Sehubungan dengan ketentuan limitation of benefits, perjanjian penghindaran pajak berganda Indonesia saat
ini mempunyai pasal limitation of benefits hanya dengan USA. Akan tetapi, untuk dapat memasukkan
(renegosiasi) pasal tersebut dalam perjanjian penghindaran pajak berganda yang masih berlaku saat ini adalah
sesuatu yang sangat sulit karena dalam praktik, masa berlakunya perjanjian penghindaran pajak berganda
dengan satu negara sampai renegosiasi rata-rata sekitar 14 tahun. Hal ini bisa terjadi karena suatu renegosiasi
memerlukan adanya kepentingan bersama dari dua negara yang mengadakan renegosiasi perjanjian
penghindaran pajak berganda tersebut. Oleh karena itu, keinginan sepihak untuk memasukkan anti
penghindaran pajak dalam perjanjian penghindaran pajak berganda banyak menemui kendala dalam
praktiknya.
Ketentuan GAAR dapat dikembangkan melalui Undang-Undang pajak penghasilan atau dikembangkan oleh
pengadilan pajak melalui putusan-putusannya. Salah satu doktrin yang dikembangkan oleh pengadilan di
banyak negara dalam menyangkal praktik treaty shopping, melalui pendirian conduit company/paperbox
company, yaitu dengan cara membuat aturan tentang step transaction doctrine. Ketentuan tentang step
transaction doctrine tersebut telah dikembangkan di Pengadilan Pajak AS (US Tax Court).
Terkait dengan ketentuan step transaction doctrine, Pengadilan Pajak AS menyatakan bahwa suatu rangkaian
transaksi yang secara formal dibuat terpisah akan dibatalkan dan dijadikan sebagai satu transaksi yang tidak
terpisahkan. Selain itu, dalam rangka untuk menangkal complex series of transactions yang tidak mempunyai
tujuan bisnis, semata-mata untuk menghindari pajak, Pengadilan Pajak AS memberikan 3 (tiga) macam alat uji
untuk menerapkan ketentuan step transaction doctrine sebagai berikut ini:
1. Binding Commitment Test
Apabila terdapat serangkaian transaksi, maka apabila setelah tahap pertama dijalankan, ternyata ada suatu
kesepakatan yang mengikat untuk menjalankan tahap yang kedua, maka transaksi yang terpisah tersebut akan
dianggap tidak ada.
2. The End Result Test
Apabila terdapat transaksi yang sudah direncanakan dari awal bahwa transaksi tersebut merupakan suatu
kesatuan yang tidak terpisahkan jika sampai ke tahap yang terakhir, maka transaksi yang terpisah tersebut
akan dianggap tidak ada.
3. The Mutual Interdependence Test
Apabila tahap-tahap yang terpisah tersebut adalah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sehingga
jika suatu bentuk formal yang dibuat pada tahap yang pertama dijalankan, maka tahap pertama tersebut tidak
akan mempunyai arti apapun jika tidak dijalankan sampai rangkaian dari tahap-tahap tersebut lengkap.
Dalam pasal-pasal perjanjian penghindaran pajak berganda terdapat ketentuan untuk menangkal agar
suatu perjanjian penghindaran pajak berganda tidak disalahgunakan oleh subjek pajak yang tidak berhak
(treay shopping) seperti pasal limitation of benefits. Akan tetapi, untuk memasukkan pasal-pasal tersebut ke
dalam perjanjian penghindaran pajak berganda, yang masih berlaku, tidak mudah untuk dilakukan.
Ketentuan anti penghindaran pajak domestik diperkenankan sepanjang terdapat bukti yang jelas
bahwa perjanjian penghindaran pajak berganda telah disalahgunakan. Walaupun suatu negara telah
mempunyai SAAR untuk menangkal praktik treaty shopping, tetapi ketentuan tersebut masih belum cukup.
Oleh karena itu, dibutuhkan GAAR, yang dapat dikembangkan melalui undang-undang pajak penghasilan atau
melalui putusan pengadilan pajak, sebagai pelengkap. Menurut Brian J. Arnold, dalam beberapa kasus GAAR
harus dapat meng-override SAAR, jika tidak, maka para pelaku penghindaran pajak akan memanfaatkan
kelemahan teknis dari undang-undang pajak penghasilan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa GAAR
kedudukannya lebih tinggi dari SAAR.