Anda di halaman 1dari 42

Laporan Kasus

Hifema OD
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata FK Unsyiah/
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Oleh:
Muhammad Arief Fazillah

Pembimbing
Dr. Ismilaila, Sp. M

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN THT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSU Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
Carsinoma Sinonasal. Shalawat beserta salam penulis sampaikan kepada
Rasulullah saw. yang telah membawa umat manusia ke masa yang menjunjung
tinggi ilmu pengetahuan.
Referat ini merupakan salah satu tugas dalam menjalankan kepanitraan Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala/RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr Lily Setiani, Sp. THT-KL
yang telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas ini.Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak terhadap referat
ini. Semoga referat ini bermanfaat bagi penulis dan orang lain.

Banda Aceh, Juni 2015

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3


2.1. Definisi........................................................................................ 3
2.2. Etiologi........................................................................................ 3
2.3. Patofisiologi ................................................................................ 4
2.4. Klasifikasi ................................................................................... 5
2.5. Diagnosis .................................................................................... 6
2.6. Tatalaksana ................................................................................. 8
2.7. Komplikasi .................................................................................. 9
2.8. Prognosis ..................................................................................... 10

BAB III LAPORAN KASUS........................................................................... 11


3.1. Identitas pasien ........................................................................... 11
3.2. Anamnesis ................................................................................... 11
3.3. Pemeriksaan Fisik ....................................................................... 12
3.4. Pemeriksaan Penunjang .............................................................. 14
3.5. Diagnosis .................................................................................... 14
3.6. Penatalaksanaan .......................................................................... 12
3.7. Prognosis ..................................................................................... 14

BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................ 15

BAB V PENUTUP ........................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 19

iii
4
BAB I
PENDAHULUAN

Tumor jinak pada hidung dan sinus paranasal sering ditemukan, tetapi tumor
yang ganas termasuk jarang, hanya 3% dari tumor kepala dan leher atau kurang dari
1% dari seluruh tumor ganas. Gejala-gejala dan tanda klinis semua tumor hidung dan
sinus paranasal hampir mirip sehingga seringkali hanya pemeriksaan histopatologi
saja yang dapat menentukan jenisnya.Lokasi hidung dan sinus paranasal (sinonasal)
merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajahyang merupakan daerah
yang terlindung sehingga karsinoma yang timbul di daerah ini sulit diketahuisecara
dini. Hidung dan sinus paranasal merupakan rongga yang saling berhubungan dan
seringkali tumor ditemukan pertama kali pada stadium yang sudah lanjutdan sudah
memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus paranasal. (1,2)
Karsinoma sinonasal banyak terjadi di negara berkembang. Di bagian Asia,
keganasan sinonasal adalah peringkat kedua yang paling umum setelah karsinoma
nasofaring. Pria yang terkena 1,5 kali lebih sering dibandingkan wanita,dan 80% dari
tumor ini terjadi pada orang berusia 45-85 tahun. Sekitar 60-70% dari keganasan
sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga hidung
sendiri.Diperkirakan 10-15% terjadi pada sel-sel udara ethmoid (sinus), dan 1%
ditemukan di sinus frontal dan sphenoid. Karsinoma sel skuamosa adalah jenis yang
paling banyak terjadi (70%), disusul oleh karsinoma tanpa differensiasi dan tumor
asal kelenjar. (1,3)
Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat tumor sangat dekat
dengan struktur vital. Masalah ini diperburuk oleh fakta bahwa manifestasi awal
yang terjadi (misalnya epistaksis unilateral, obstruksi nasi) mirip dengan kondisi
awal yang umum dikeluhkan tanpa adanya keluhan spesifik lainnya. Oleh karena itu,
pasien dan dokter sering mengabaikan atau meminimalkan presentasi awal dari
tumor dan mengobati tahap awal tumor ganassebagai gangguan sinonasal jinak.
Tumor ganas hidung dan sinus paranasal termasuk tumor yang sukar diobati secara
tuntas dan angka kesembuhan masih sangat rendah. Pasien dengan tumor ganas
sinonasal ditangani oleh tim spesialis menggunakan pendekatan holistik
multidisiplin ilmu. Pengobatan dapat berupa pembedahan, kemoterapi dan
radioterapi. (1,2,3)

5
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


A. Hidung
Hidung terdiri atas nasus externus dan cavum nasi. Nasus externus mempunyai
ujung yang bebas yang dilekatkan ke dahi melalui radix nasi. Lubang luar hidung
disebut nares. Kedua nares dibatasi oleh ala nasi dibagian lateral dan oleh septum
nasi dibagian medial. Rangka nasus externus dibagian atas dibatasi oleh os nasale,
processus frontalis ossis maxillaris pars nasalis ossis frontalis. Dibagian bawah
dibentuk oleh lempeng tulang rawan yaitu cartilago nasi superior dan inferior, dan
cartilago septi nasi. (4,5)

Gambar 1.Anatomi Nasal Externus (6)

Cavum nasi terletak dari nares sampai choana. Dasar dari cavum nasi dibentuk
oleh processus palatinus maxillae dan lamina horizontalis ossis palatini yaitu
permukaan atas palatum durum. Bagian atap dibentuk oleh corpus os sphenoidalis,
lamina cribrosa, os ethmoidalis, os frontale, os nasale dan cartilago nasi. Dinding
lateral dari cavum nasi terdapat tiga tonjolan yaitu concha nasalis superior, media
dan inferior. Area dibawah stiap concha disebut meatus. Recessus sphenoethmoidalis
adalah daerah kecil yang terletak diatas concha nasalis superior dan di depan corpus
os sphenoidalis. Daerah ini terdapat muara dari sinus sphenoidalis. (4)

7
Meatus nasi superior terletak dibawah dan lateral dari concha nasalis superior
dan terdapat muara dari sinus ethmoidalis posterior. Metaus nasi media terletak di
bawah dan lateral concha media. Pada dinding lateralnya terdapat bulla ethmoidalis.
Sebuah celah yang melengkung disebut hiatus semilunaris yang terletak tepat di
bawah bulla. Ujung anterior hiatus masuk ke dalam saluran yang berbentuk corong
disebut infundibulum. Sinus maxillaris bermuara pada meatus nasi media melalui
hiatus semilunaris. Sinus frontalis dan sinus ethmoidales anterior bermuara pada
infundibulum. (4)
Meatus nasi inferior terletak di bawah dan lateral concha inferior dan terdapat
muara dari ductus nasolacrimalis. Dinding medial atau septum nasi merupakan
osteocartilago yang ditutupi membrana mukosa. Membrana mukosa melapisi cavum
nasi kecuali vestibulum. Terdapat dua jenis membrana mukosa yaitu mukosa
olfactorius dan respiratorius. Membrana mukosa olfactorius melapisi permukaan atas
concha nasalis superior dan recessus sphenoethmoidalis; juga melapisi daerah
septum nasi septum nasi yang berdekatan dengan atap. Fungsinya adalah menerima
rangsangan penghidu dan untuk fungsi ini mukosa memiliki sel-sel penghidu
khusus.permukaan membrana mukosa tetap basah oleh sekret kelenjar serosa yang
berjumlah banyak. (4)

Gambar 2.Anatomi Cavum Nasi (6)

8
Membrana mukosa respiratorius melapisi bagian bawah cavum nasi.
Fungsinya adalah menghangatkan, melembabkan, dan membersihkan udara inspirasi.
Proses menghangatkan terjadi oleh adanya plexus venosus di dalam jaringan
submukosa. Proses melembabkan berasal dari banyaknya mukus yang diproduksi
oleh kelenjar-kelenjar dan sel goblet.Partikel debu yang terinspirasi akan menempel
pada permukaan mukosa yang basah dan lengket. Persarafan cavum nasi berasal dari
N. Olfactorius yang mempersarafi membrana mukosa olfactorius. Saraf ini naik ke
atas melalui lamina cribrosa dan mencapai bulbus olfactorius. (4,6)
Saraf-saraf sensasi umum berasal dari nervus trigeminus cabang ophtalmica
dan maxillaris. Persarafan bagian anterior cavum nasi berasal dari n. Ethmoidalis
anterior. Persarafan bagian posterior cavum nasi berasal dari ramus nasalis, ramus
nasopalatinus, dan ramus palatina ganglion pterygopalatinum. Suplai arteri untuk
cavum nasi berasal dari cabang-cabang a. maxillaris. Cabang yang terpenting yaitu a.
sphenopalatina yang beranastomosis dengan cabang septalis a.labialis superior yang
merupakan cabang dari arteri facialis di daerah vestibulum. Vena-vena membentuk
plexus yang luas di dalam mukosa. Plexus ini dialirkan oleh vena-vena yang
menyertai arteri. Pembuluh limfe mengalirkan limfe dari vestibulum ke nodi
submandibulares. Bagian lain dari cavum nasi mengalirkan limfenya ke nodi
cervicales profundi superior. (4,5)

B. Sinus Paranasalis
Sinus paranasalis adalah rongga-rongga yang terdapat di dalam os maxilla, os
frontal, os ethmoidalis, dan os sphenoidalis. Sinus dilapisi oleh mucoperiosterum dan
berisi udara, berhubungan dengan cavum nasi melalui apertura yang relatif kecil.
Sinus maxillaris dan sphenoidalis pada waktu lahir terdapat dalam bentuk yang
rudimenter, setelah usianya delapan tahun menjadi cukup besar dan pada masa
remaja sudah terbentuk sempurna. Sinus berfungsi sebagai resonator suara dan
mengurangi berat tengkorak. Bila muara sinus tersumbat atau sinus terisi cairan
kualitas suara jelas berubah. (4,6)
Sinus maxillaris terletak di dalam corpus maxillaris. Sinus ini berbentuk
piramid dengan basis membentuk dinding lateral hidung dan apex di dalam
processus zygomaticus maxillae. Atap dibentuk oleh dasar orbita sedangkan dasar
dibentuk oleh processus alveolaris. Akar premolar pertama dan kedua serta molar
ketiga dan kadang-kadang akar dari caninus menonjol ke dalam sinus sehingga jika
9
dilakukan ekstraksi gigi tersebut dapat menyebabkan terbentuk fistula bahkan terjadi
sinusitis. Sinus maxillaris bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus
semilunaris. Karena sinus ethmoidalis anterior dan sinus frontalis bermuara ke dalam
infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris, kemungkinan penyebaran infeksi
dari sinus-sinus tersebut ke sinus maxillaris sangat besar. Membrana mukosa sinus
maxillaris dipersarafi oleh n.alveolaris dan n.infraorbitalis. (4,6)
Sinus frontalis ada dua buah dan terdapat dalam os frontale dan dipisahkan
oleh septum tulang yang sering menyimpang dari bidang median. Setiap sinus
berbentuk segitiga, meluas ke atas, di atas ujung medial alis mata dan ke belakang ke
bagian medial atap orbita. Membrana mukosa dipersarafi oleh n.supraorbitalis.
Sinus sphenoidalis ada dua buah dan terletak di dalam corpus os sphenoidalis. Setiap
sinus akan bermuara ke dalam recessus sphenoethmoidalis di atas concha nasalis
superior. Membrana mukosa dipersarafi oleh n.ethmoidalis superior. (4,6)
Sinus ethmoidalis terdapat dalam os ethmoidale di antara hidung dan orbita.
Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehinggga infeksi dengan
mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita. Sinus ini terbagi menjadi tiga yaitu
anterior, media dan posterior. Kelompok anterior bermuara ke dalam infundibulum,
kelompok media bermuara ke dalam meatus nasi medius, dan kelompok posterior
bermuara ke dalam meatus nasi superior. Membrana mukosa dipersarafi oleh
n.ethmoidalis anterior dan posterior.Sinus paranasal hampir tidak mempunyai aliran
limfe, sehingga metastasis ke kelenjar limfe sangat jarang terjadi dan bila ada, hal itu
mungkin terjadi pada waktu tumornya sudah meluas keluar dari sinus paranasal
seperti nasofaring, mukosa pipi
atau kulit. (4)

10
Gambar 3.Sinus Paranasal (6)

Ohngren pada tahun 1933 membuat teori tentang adanya suatu bidang
imaginer yang melalui kantus medius dan angulus mandibula. Bidang itu membagi
rahang atas menjadi struktur superoposterior (suprastruktur) dan struktur
inferoanterior (infrastruktur). Yang dimaksud suprastruktur adalah dinding tulang
sinus maxilla bagian posterior dan separuh bagian posterior dinding atas. Sisanya
termasuk infrastruktur. Tumor di daerah infrastruktur mempunyai prognosis yang
jauh lebih baik daripada tumor di daerah suprastruktur. (4,6,7)

Gambar 4. Garis Ohngren (7)

2.2 Etiologi dan Faktor Resiko


Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh banyak faktor
(multifaktor) dan bersifat individual atau tidak sama pada setiap orang. Faktor-faktor
yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor sinonasal antara lain : (4,5,6,7)
1. Penggunaan tembakau
Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya adalah rokok, cerutu, rokok
pipa, mengunyah tembakau, menghirup tembakau) adalah faktor resiko terbesar
penyebab kanker pada kepala dan leher.
2. Alkohol
Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin
3. Inhalan spesifik

11
Menghirup substansi tertentu, terutama pada lingkungan kerja, dapat
meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum nasi dan sinus paranasal, termasuk
diantaranya adalah :
a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulit sintetis,
dan tepung.
b. Debu logam berat : kromium, asbes
c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium
d. Uap pelarut (gas mustard dan isopropanolol) yang digunakan dalam
memproduksi furniture dan sepatu.
4. Sinar ionisasi : Sinar radiasi; Sinar UV
5. Virus : Virus HPV, Virus Epstein-barr
6. Usia
Penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara 45 tahun
hingga 85 tahun.
7. Jenis Kelamin
Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis ditemukan dua kali lebih
sering pada pria dibandingkan pada wanita.
8. Paparan terhadap thorotrast yang merupakan zat kontras untuk pemeriksaan
radiologi sinus maxilla karena mengandung thorium radioaktif.

2.3 Patofisiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor
seperti yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual. Faktor resiko terjadinya
tumor sinonasal semisal bahan karsinogen seperti bahan kimia inhalan, debu
industri, sinar ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan kerusakan ataupun mutasi
pada gen yang mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan diferensiasi.
Dalam proses diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang peranan penting,
yaitu gen yang memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang menghambat
diferensiasi (anti-onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu sel normal
menjadi sel kanker oleh karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu fase inisiasi
dan fase promosi serta progresi. (8,9)
Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang memancing
sel menjadi ganas akibat suatu onkogen, sedangkan pada fase promosi sel yang telah
mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan gen. Sel

12
yang tidak melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga tidak
berubah menjadi sel kanker. Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh karsinogen
yang sama atau diperlukan karsinogen yang berbeda.Sejak terjadinya kontak dengan
karsinogen hingga timbulnya sel kanker memerlukan waktu induksi yang cukup
lama yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase induksi ini belum timbul kanker namun
telah terdapat perubahan pada sel seperti displasia. Fase selanjutnya adalah fase in
situ dimana pada fase ini kanker mulai timbul namun pertumbuhannya masih
terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh dan belum menembus membran basalis.
Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10 tahun. (8,9)
Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis
dan masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga
dengan fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi
(penyebaran) sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe regional
dan atau ke organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun.Sel-sel kanker ini akan
tumbuh terus tanpa batas sehingga menimbulkan kelainan dan gangguan. Sel kanker
ini akan mendesak (ekspansi) ke sel-sel normal sekitarnya, mengadakan infiltrasi,
invasi, serta metastasis bila tidak didiagnosis sejak dini dan di berikan terapi. (8,9)

2.4 Klasifikasi

Berikut ini merupakan klasifikasi dari karsinoma traktus sinonasal : (3)


Epitel Non epitel

Karsinoma sel squamous Chondrosarcoma


Differensiasi Osteogenic sarkoma
Squamous basaloid Soft tissue sarcoma
Adenosquamous Fibrosarcoma
Karsinoma sel nonsquamous Malignant fibrous
Adenoid cystic carcinoma histiocytoma
Mucoepidermoid carsinoma Hemangiopericytoma
Adenocarcinoma Angiosarcoma
Neuroendocrine carcinoma Kaposis sarcoma
Hyalinizing clear cell carcinoma Rhabdomyosarcoma
Melanoma maligna Lymphoploroferative
Olfactory neuroblastoma Lymphoma
Sinonasal undifferentiated carcinoma Polymorphic reticulosis
Plasmacytoma
Metastatic

a. Karsinoma Sel Skuamosa


Karsinoma selskuamosaadalahkeganasan epitel yang berasal dari epitel
mukosa dari cavum nasi atau sinus paranasal yang meliputi keratinisasi dan non

13
keratinisasi. Jenis yang paling umum dan sering ditemukan pada
karsinomasinonasalsekitar70% dari semuakasus, jarang terjadi pada anak-anak dan
lebih sering pada pria dibandingkan wanita, terjadi pada rentang umur 55-65
tahun.Penyebab definif dari SCC sinonasa tidak bisa ditentukan secara pasti. Faktor
resiko meliputi terexpose nikel, chloropenol, debu textil dan memiliki riwayat
menderita papiloma sinonasal(Schneiderian). Human papiloma virus menjadi
penyebab dari beberapa kasus yang ditemukan.(1,3,8)
Kebanyakan karsinoma sel skuamosa sinonasal yang timbul dalam sinus
maxilla(60-70%),diikuti oleh cavum nasi (12-25%), sinus ethmoidalis (10-15%) dan
sinus frontalis dan sphenoidalis (1%). tapi ketika pertama kali dilihat tumor biasanya
sudah melibatkan hidung, sel ethmoidal dan antrum/maksila. Gejala berupa rasa
penuh atau hidung tersumbat, epistaksis, rinorea, nyeri, parastesia, pembengkakan
pada hidung, pipi atau palatum, luka yang tidak kunjung sembuh atau ulkus, adanya
massa pada kavum nasi, pada kasus lanjut dapat terjadi proptosis, diplopia atau
lakrimasi. (1,3,7,8)
Varian dari karsinoma sel squamosa yaitu karsinoma verukosa, papillary cell
squamous carcinoma, basaloid squamous cell carcinoma, spindle cell carcinoma,
adenosqamous carcinoma. Pemeriksaan radiologis, CT scan atau MRI didapatkan
perluasan lesi, invasi tulang dan perluasan pada struktur-struktur yang bersebelahan
seperti pada mata, pterygopalatine atau ruang infratemporal. Secara makroskopik,
karsinoma sel skuamosa kemungkinan berupa exophytic, fungating atau papiler.
Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa nekrotik, atau indurated, demarcatedatau
infiltratif. (8,9,10)
i. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari lokasi
mukosa lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi skuamosa, di
dalam bentuk keratin ekstraseluler atau keratin intraseluler (sitoplasma merah
muda, sel-sel diskeratotik) dan/atau intercellular bridges. Tumor tersusun di
dalam sarang-sarang, massa atau sebagai kelompok kecil sel-sel atau sel-sel
individual. Invasi ditemukan tidak beraturan. Sering terlihat reaksi stromal
desmoplastik. Karsinoma ini dinilai dengan diferensiansi baik, sedang atau buruk.
(9,10,11)

14
Gambar 5. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
(11)

ii. Mikroskopik Non-Keratinizing Karsinoma (Cylindrical Cell, transitional)


Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang
dikarakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like growth pattern. Dapat
menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas yang jelas. Tumor ini
dinilai dengan diferensiasi sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit dikenal
sebagai skuamosa, dan harus dibedakan dari olfactory neuroblastoma atau
karsinoma neuroendokrin. (8,11)

Gambar 6. Mikroskopik Non-Keratinizing Karsinoma (11)

Secara umum, lesi dini (T1-T2) dapat dilakukan terapi bedah maupun
radioterapi, sedangkan pada tahap lanjut (T3-T4) dilakukan multimodal terapi
seperti terapi bedah diikuti dengan radioterapi atau kemoterapi post operatif. Pasien
dengan karsinoma sel squamosa nasal umumnya terlihat lebih awal dibandingkan
pasien dengan kanker maxilla. Karsinoma sel squamosa nasal jarang bermetastasis
ke nodus limfe dan rekuren. Ketika jenis ini terjadi, perkembangannya berlangsung
sangat cepat. Adanya gangguan lokal yang terjadi selain kanker, akan

15
memperburuk prognosis. Angka survival 5 tahun sebesar 60% sedangkan untuk
karsinoma sel squamosa maxilla 42%. (8,9)

b. Undifferentiated Carcinoma
Merupakan karsinoma yang jarang ditemukan, sangatagresif dan
histogenesisnya tidak pasti. Undifferentiated carcinoma berupa massa yang cepat
memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran sinonasal) dan
melampaui batas-batas anatomi dari saluran sinonasal. Lokasi yang sering terjadi
yaitu cavum nasi, antrum maxilla, dan sinus ethmoidalis.Karsinoma jenis ini
banyak terjadi pada dekade 3-9 dan pertengahan pada dekade 6 dan juga laki-laki
lebih banyak dibanding wanita. Beberapa kasus terjadi setelah terapi radiasi
karsinoma nasofaring. (8,9)
Gambaran klinis untuk tipe ini yaitu gejala berlangsung singkat, obstruksi
nasal, epistaksis, proptosis, bengkak periorbital, diplopia, nyeri wajah, dan
termasuk gejala kelainan nervus kranial. Gambaran mikroskopik berupa proliferasi
hiperselular dengan pola pertumbuhan yang bervariasi, termasuk trabekular, pola
seperti lembaran, pita, lobular, dan organoid. Sel-sel tumor berukuran sedang
hingga besar dan bentuk bulat hingga oval dan memiliki inti sel pleomorfik dan
hiperkromatik,anak inti menonjol, sitoplasma eosinofilik, rasio inti dan sitoplasma
tinggi, aktivitas mitosis meningkat dengan gambaran mitosis atipikal. (8,9)

Gambar 7. Mikroskopis Undifferentiated carcinoma(11)

Prognosis dariUndifferentiated Carcinomaburuk dengan median angka


bertahan hidup 18 bulan dan survival 5 tahun kurang dari 20%. Pengobatan dapat
dilakukan kombinasi kemoradiasi dan radikal reseksi. (8,9,10)

c. Adenokarsinoma Sinonasal

16
Adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak
menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga 14% dari
keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis merupakan
neoplasma agresif lokal, sering ditemukan pada laki-laki dengan usia antara 40
hingga 70 tahun. Tumor ini timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus
aerodigestivus bagian atas. Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid.
Gejala utama berupa hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan deformasi
dan atau proptosis dan epistaksis, bergantung pada lokasinya. (8,9,10)
Gambaran histologi yang dapat ditemukan adalah tipe cribriform, tubular, dan
solid. Tipe cribriform paling sering ditemukan dengan gambaran khas penampakan
swiss cheese. Adenokarsinoma menyebar dengan menginvasi dan merusak
jaringan lunak dan tulang di sekitarnya dan jarang bermetastasis. Terapi
pembedahan dan adjuvant radioterapi adalah pengobatan pilihan yang umum
digunakan untuk terapi pada adenokarsinoma. Prognosisnya jelek dan biasanya
penderita meninggal dunia disebabkan penyebaran lokal tanpa adanya metastasis.
(8,9)

Gambar 8. Mikroskopis Adenocasinoma Sinonasal (11)

2.5 Diagnosis
A. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam
penegakkan diagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasal. Kurang lebih 9-12
% keganasan di hidung dan sinus paranasalstadium awal bersifat asimptomatis.
Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen yang dihubungkan dengan

17
pekerjaan atau lingkungan perlu diketahui untuk mencari kemungkinan faktor
resiko.(1,2,3)
Gejala yang dikeluhkan oleh pasien tergantung dari asal primer tumor serta
arah dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maxilla biasanya tanpa gejala. Gejala
yang timbul setelah tumor besar mendorong atau menembus dinding tulang meluas
ke rongga hidung, rongga mulut, pipi atau orbita. Gejala yang dikeluhkan dapat
dikategorikan sebagai berikut: (1,3)
1. Gejala nasal.
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Jika ada Sekret,
sering sekret yang timbul bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang
besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas
pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
2. Gejala orbital.
Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis atau
penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
3. Gejala oral.
Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di
palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas
lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri
di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
4. Gejala fasial
Perluasan tumor akan menyebabkan penonjolan pipi, disertai nyeri,
anesthesia atau parestesia muka jika sudah mengenai nervus trigeminus.
5. Gejala intrakranial
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat,
oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak
yang keluar melalui hidung ini terjadi apabila tumor sudah menginvasi atau
menembus basis cranii. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf
otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat
terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang
dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.

B. Pemeriksaan Fisis

18
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat
asimetri atau distorsi. Jika ada proptosis, perhatikan arah pendorongan bola mata.
Jika mata terdorong ke atas, berarti tumor berasal dari sinus maxilla, jika ke bawah
dan lateral berarti tumor berasal dari sinus frontal atau etmoid. Selanjutnya periksa
dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior.
Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak sedangkan permukaan yang
berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda tumor ganas. (1,3,8)
Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di
sinus maksila. Untuk memeriksa rongga oral, disamping inspeksi lakukan juga
palpasi gusi rahang atas dan palatum, apakah ada nyeri tekan, penonjolan atau gigi
goyang. Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan
tumor padastadium dini. Kita juga harus memeriksa telinga adakah tuli konduktif
unilateral tanpa kelainan telinga dan kelainan saraf cranial. Adanya pembesaran
kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar
leher. (1,3,9)

C. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Biopsi
Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk pemeriksaan
dibawah mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk mengevaluasi sel,
jaringan, dan organ untuk mendiagnosa penyakit. Ini merupakan salah satu
cara untuk mengkonfirmasi diagnosis apakah tumor tersebut jinak atau ganas.
Untuk yang ukuran kecil, tumor dapat diangkat seluruhnya, sedangkan untuk
ukuran besar maka tumor hanya diambil sebagian untuk contoh pemeriksaan
tumor yang sudah diangkat. (1,3,9)
Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara seperti inilah yang
dijadikan gold standart atau diagnosis pasti suatu tumor. Bila hasilnya jinak,
maka selesailah pengobatan tumor tersebut, namun bila ganas atau kanker,
maka ada tindakan pengobatan selanjutnya apakah berupa operasi kembali
atau diberikan kemoterapi atau radioterapi. (1,3,9,12)

b. Pemeriksaan X-ray
Pada pemeriksaan X-ray sinus paranasal ada 4 macam posisi yang perlu
untuk mendapat hasil yang baik. Pertama, posisi waters paling baik untuk

19
melihat sinus maxilla. Kedua, posisi Caldwell untuk melihat sinus etmoid dan
orbita. Ketiga, posisi lateral untuk melihat sinus sphenoid dan dinding
anterior dan posterior sinus frontal dan maxilla. Keempat, posisi
submentovertex untuk melihat sinus sphenoid dan etmoid posterior.Normal
sinus x-ray dapat menunjukkan sinus dipenuhi dengan gambaran seperti
udara.. Tanda-tanda kanker pada pemeriksaan x-ray sebaiknya dikonfirmasi
dengan pemeriksaan CT scan. (1,12)

Gambar 9.Foto polos kepala tampak kista didalam sinus maksilaris


(12)

c. CT - Scan
CT-Scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai struktur tulang
sinus paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen,
nyeri persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis,
penyakit sinonasal dan dengan gejala persisten setelah pengobatan medis
yang adekuat seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan
coronal dengan kontras. CT scan merupakan pemeriksaan superior untuk
menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak.
Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi dan
hubungannya dengan arteri karotis. (1,12)

20
Gambar 10. CT Scan Sinus Paranasal menunjukkan sebuah tumor yang
berbentuk lobus tajam sehingga terjadi peningkatan di
kedua rongga hidung yang dapat meluas ke sinus etmoid,
sinus sphenoid dan nasofaring. Lesi menonjol ke dalam
orbita kiri dan kedua sinus maksilaris(12)

d. Pemeriksaan MRI
MRI menggunakan medan magnet. Dipergunakan untuk membedakan
daerah sekitar tumor dengan jaringan lunak, membedakan sekret di dalam
nasal yang tersumbat yang menempati rongga nasal, menunjukkan
penyebaran perineural, membuktikan temuan imaging pada sagital plane, dan
tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image
terdepan untuk mengevaluasi foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale
dan kanalis optik. Sagital image berguna untuk menunjukkan replacement
signal berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas
tinggi dari lemak di dalam fossa pterygopalatine oleh signal tumor yang mirip
dengan otak. (1,12)

21
Gambar 12. a.CT-Scan terlihat karsinoma sinonasal ekstensif
dengan destruksi tulang anterior dan sekitar tulang
orbita;b Coronal MRI;c Sagittal MRI;d Axial MRI (12)

e. Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET)


PET scan adalah cara untuk membuat gambar organ dan jaringan dalam
tubuh. Sejumlah kecil zat radioaktif disuntikkan ke tubuh pasien. Zat ini
diserap terutama oleh organ dan jaringan yang menggunakan lebih banyak
energi. Karena kanker cenderung menggunakan energi secara aktif, sehingga
menyerap lebih banyak zat radioaktif. Scanner kemudian mendeteksi zat ini
untuk menghasilkan gambar bagian dalam tubuh.Sering digunakan untuk
keganasan kepala dan leher untuk staging dan surveillance. (12)

D. Staging
Sistem TNM adalah suatu cara untuk melukiskan stadium kanker. Sistem
TNM didasarkan atas 3 kategori. Masingmasing kategori dibagi lagi menjadi
subkategori untuk melukiskan keadaan masing masing pada T(tumor, sampai
dimana perluasannya), N (nodul, kelenjar limfe regional yang terkena), dan M
(metastasis). Pembuatan sistem klasifikasi berguna untuk mrencanakan terapi,
meramalkan prognosis, mengevaluasi hasil pengobatan, keseragaman informasi antar
sentra di dunia dan membantu penelitian mengenai tumor ganas. (9,11,12)

22
2.6 Penatalaksanaan
Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis
menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien menerima
rencana pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhannya. Pilihan
pengobatan utama untuk tumor sinus paranasal meliputi: (1,3,8,12)
1. Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi
bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari masing-
masing tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini
(T1-T2). Terkadang, pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat
dilakukan karena dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting pada
daerah kepala, serta batas tumor yang tidakjelas. Radiasi post operatif sangat
dianjurkan untuk mengurangi insiden kekambuhan lokal. Pada beberapa kasus
eksisi paliatif ataupun debulking perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri yang

23
hebat, ataupun untuk membebaskan dekompresi saraf optik dan rongga orbita,
serta untuk drainase sinus paranasalis yang mengalami obstruksi. (1,7,12)
Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai pendekatan
bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial, sinus paranasalis,
lateral rhinotomy atau kombinasi dari bedah endoskopi dan bedah terbuka (open
surgery). Dalam memilih terapi bedah yang optimal, seorang ahli harus
mempertimbangkan dengan seksama dalam memilih pendekatan endonasal
daripada prosedur klasik yaitu melalui pendekatan rhinostomi lateral, rhinostomi
medial, transfasial, transoral, dan midfacial degloving. Jenis reseksi pada tumor
rongga hidung dan sinus paranasal ditentukan oleh lokasi lesi dan perluasannya.
Tumor yang berasal dari dalam sinus maxilaris diangkat dengan cara
maxilektomi. (7,9)
Menurut MSKCC, maksilektomi dibagi menjadi IV yaitu defek tipe 1 (
maksilektomi terbatas) terdiri dari reseksi pada satu atau dua dinding maksila
kecuali palatal. Pada kebanyakan pasien, dinding anterior sebagian dibuang
beserta dengan salah satu dinding tengah atau dasar orbita. Defek tipe II
(maksilektomi subtotal) meliputi reseksi pada lengkung maksila, palatal, dinding
anterior dan lateral (lima dinding dasar), dengan tetap menjaga dasar orbita.
Defek tipe III (maksilektomi total) meliputi reseksi keenam dinding maksila.
Defek tipe ini dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe IIIa, dimana isi orbita tetap dijaga
dan tipe IIIb, dimana isi orbita diikutsertakan. Defek tipe IV (orbitomaksilektomi)
meliputi reseksi pada isi orbita dan kelima dinding atas maksila dengan tetap
menjaga bagian palatal. (1,7,12)

24
Gambar 13. Jenis Maksilektomi

Kontraindikasi absolut untuk terapi pembedahan adalah pasien dengan


gangguan nutrsi, adanya metastasis jauh, invasi tumor ganas ke fascia
prevertebral, ke sinus kavernosus, dan keterlibatan arteri karotis pada pasien-
pasien dengan resiko tinggi, serta adanya invasi bilateral tumor ke nervus optik
dan chiasma optikum. Keuntungan dari pendekatan bedah endoskopik adalah
mencegah insisi pada daerah wajah, angka morbiditas rendah, dan lamanya
perawatan di rumah sakit lebih singkat. (1,7,12)
Reseksi luas dari tumor kavum nasi dan sinus paranasalis dapat
menyebabkan kecacatan/kerusakan bentuk wajah, gangguan berbicara dan
kesulitan menelan. Tujuan utama dari rehabilitasi post pembedahan adalah
penyembuhan luka, penyelamatan/preservasi dan rekonstruksi dari bentuk wajah,
restorasi pemisahan oronasal, hingga memfasilitasi kemampuan berbicara,
menelan, dan pemisahan kavum nasi dan kavum cranii. (1,7,12)

2. Radioterapi
Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri
pada stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap tahap
penyakit sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yang diberikan setelah

25
dilakukannya terapi utama seperti pembedahan).Pada tahap awal kanker sinus
paranasal, radioterapi dianggap sebagai terapilokal alternatif untuk operasi.
Radioterapi melibatkan penggunaan energi tinggi, penetrasi sinar untuk
menghancurkan sel-sel kanker di zona yang akan diobati. Terapi radiasi
jugadigunakan untuk terapi paliatif pada pasien dengan kanker tingkatlanjut. Jenis
terapi radiasi yang diberikan dapat berupa teleterapi (radiasi eksternal) maupun
brachyterapi (radiasi internal).Pemberian radioterapi didasarkan pada jenis
histopatologi karena ada yang bersifat radiosensitif dan sebaliknya. (7,9,12)

3. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium lanjut.
Selain terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker beredar
dalam tubuh adalah dengan menggunakan terapi sistemik (terapi yang
mempengaruhi seluruh tubuh) dalam bentuk suntikan atau obat oral. Bentuk
pengobatan ini disebut kemoterapi dan diberikan dalam siklus (setiap obat atau
kombinasi obat-obatan biasanya diberikan setiap tiga sampai empat minggu).
Tujuan kemoterapi untuk terapi tumor sinonasal adalah sebagai terapi tambahan
(baik sebagai adjuvant maupun neoadjuvant), kombinasi dengan radioterapi
(concomitant), ataupun sebagai terapi paliatif. (7,9,12)
Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat tumor, mengurangi
obstruksi, ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif eksternal. Pemberian
kemoterapi dengan radiasi diberikan pada pasien-pasien dengan resiko tinggi
untuk rekurensi seperti pasien dengan hasil PA margin tumor positif setelah
dilakukan reseksi, penyebaran perineural, ataupun penyebaran ekstrakapsular
pada metastasis regional. (7,12)

2.7 Komplikasi
Komplikasi keganasan sinus terkait dengan pembedahan dan rekonstruksi.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi yaitu : (1,2,7,12)
1. Perdarahan : untuk menghindari perdarahan arteri etmoid anterior dan posterior
dan arteri sfenopalatina dapat dikauter atau diligasi.
2. Kebocoran cairan otak : cairan otak dapat bocor dekat dengan basis
cranii.Tanda dan gejala yang terjadi termasuk rinorhea yang jernih, rasa asin
dimulut, dan tanda halo. Perawatan konservatif dengan tirah baring

26
dandrainase lumbal dapat dilakukan selama 5 hari bersama antibiotik. Jika
gagal, harus dilakukan intervensi pembedahan.
3. Epifora : hal ini sering terjadi saat pembedahan disebabkan oleh obstruksi pada
aliran traktus lakrimalis. Endoskopik lanjutan dan tindakan dakriosisto
rhinostomi mungkin perlu dilakukan.
4. Diplopia : perbaikan dasar orbita yang tepat adalah kunci untuk menghindari
komplikasi ini. Jika terjadi diplopia, penggunaan kacamata prisma merupakan
terapi yang paling sederhana.

2.8 Prognosis
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan padasinonasal. Faktor-faktor tersebut seperti
perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan
yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan,
status imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat
berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya
berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Pengobatan multimodalitas akan
memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan
meningkatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium
tumor. (1,9,12)

27
ALGORITMA PENANGANAN KARSINOMA SINONASAL
Anamnesis
- Gejala nasal - Gejala oral
- Gejala orbita - Gejala fasial
- Gejala intrakranial

Pemeriksaan Fisik
Mencari lokasi asal
tumor, perluasan serta
penyebarannya

Pemeriksaan
Radiologi
- X-Ray
- CT-Scan
- MRI

Pemeriksaan
Histopatologi
Biopsi

Jinak Ganas

Terapi Bone survey


Rontgen Thorax
USG abdomen lower dan upper

Menentukan
staging

Terapimultidisipli
n ilmu

28
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas pasien


Nama : Tn. Marzuki
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sukaraja, Kota Sabang
Pekerjaan : Swasta
No. CM : 1-07-13-31
3.2 Anamnesis (Alloanamnesis)
Keluhan utama:
Nyeri digigi.

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien mengeluhkan nyeri digigi sejak 1 tahun yang lalu. Untuk mengurangi
rasa nyeri pasien mengkonsumsi analgetik yaitu asam mefenamat. Karena keluhan
nyeri tidak membaik, pasien berobat ke Rumah Sakit Kota Sabang, dari hasil
pemeriksaan didapatkan benjolan digeraham seperti tumor, nyeri, kemerahan dan
telinga kiri sering berdengung. Pasien juga sempat berobat diklinik alternative
selama 1 minggu. Namun sejak 6 bulan yang lalu pasien mulai kesulitan membuka
mulut sehingga membuat pasien sulit untuk berbicara, benjolannya pun semakin
membesar. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada pipi bagian dalam dan tampak
pembengkakan kelenjar limfe serta pasien juga mengkonsumsi makanan instant
seperti indomie.

Riwayat penyakit dahulu:


Pasien riwayat secret pada hidung bercampur darah dan hidung tersumbat 6
bulan yang lalu.

Riwayat penyakit keluarga:


Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama. Ayah pasien menderita
hipertensi.

29
Riwayat pengobatan:
Pasien menggunakan analgetik yaitu asam mefenamat untuk keluhan nyeri
pada gigi pasien.

Riwayat kebiasaan:
Pasien sering mengkonsumsi makanan instant seperti indomie dan riwayat
merokok 25 tahun yang lalu.

3.3 Pemeriksaan Fisik Umum


3.3.1 Status Generalisata
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 130/70 mmhg
Nadi : 88 x/ menit
Suhu : 36,7 C
RR : 20x/ menit
Thoraks :
I: Simetris, retraksi (-)
P: fremitus taktil kanan=kiri, nyeri tekan (-)
P: sonor (+/+)
A: ves (+/+), rh (+/+) pada kedua lapangan paru bawah, wh (-/-).
Cor: BJ I > BJ II, reguler (+), bising (-)
Abdomen :
I: simetris, distensi (-)
P: soepel, nyeri tekan (-)
P: timpani (+)
A: peristaltik (+) kesan normal
Ekstremitas :
Superior : Edema (-/-), pucat (-/-), sianosis (-/-), akral hangat
Inferior : Edema (-/-), pucat (-/-), sianosis (-/-), akral hangat

30
3.3.2 Status Lokalis

1. Telinga
Dekstra Sinistra
Preauricular Tragus sign (-) Tragus sign (-)
CAE Lapang Lapang
Serumen Ada Ada
Secret Ada, jernih Tidak ada
Membran timpani Intak Intak
Reflex cahaya Arah jam 5 Arah jam 7
Retroauricular Fistel (-), abses (-) Fistel (-), abses (-)

2. Hidung (Rhinoskopi anterior)


Dekstra Sinistra
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (+)
Secret Tidak ada Ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Konka inferior Eutrofi Hipertropi
Pasase udara Lancar Terhambat
Septum nasi (Deviasi +)

3. Orofaring
Dekstra Sinistra
Tonsil T1 T1
Kripta Tidak ada Tidak ada
Detritus Tidak ada Tidak ada
Perlengketan Tidak ada Tidak ada
Sikatrik Tidak ada Tidak ada

Faring Dekstra Sinistra


Mukosa Merah muda Merah muda
Granul Tidak ada Tidak ada
Bulging Tidak ada Tidak ada

31
Reflex muntah Normal Normal
Arkus faring Simetris Simetris
Uvula Simetris Simetris

4. Maksilofasial
Dekstra Sinistra
Letak Simetris Simetris
Parese N. kranialis VII Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidakada
Hematom Tidakada Tidakada

3.4 FotoKlinis

32
3.5 Pemeriksaan Penunjang

I. PEMERIKSAAN LABORATURIUM
Tanggal 18 November 2015
Darah Rutin

Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan


Hemoglobin 13,6 gr/dl 12 - 15 gr/dl
Eritrosit 5,0.106/mm3 4,2-5,4. 106/mm3
Leukosit 10,8.103/mm3 4,5-10,5.103/ mm3
Trombosit 439.103 / mm3 150-450.103/ mm3
Hematokrit 41 % 37-47%

Hitung Jenis
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Eosinofil 3 0-6
Basofil 1 0-2
Netrofil Segmen 64 50-70
Limfosit 25 20-40
Monosit 7 2-8

Kimia Klinik
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
AST/SGOT 14 < 31 U/L
ALT/SGPT 12 < 34 U/L

Faal Hemostasis
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Waktu Perdarahan 2 1-7
Waktu Pembekuan 7 5-15

Ginjal-Hipertensi
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Ureum 12 13-43 mg/dL
Kreatinin 0,92 0,51-0,95 mg/dL

33
Tanggal 02 Desember 2015
Darah Rutin

Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan


Hemoglobin 9,5 gr/dl 12 - 15 gr/dl
Eritrosit 3,4.106/mm3 4,2-5,4. 106/mm3
Leukosit 18.103/mm3 4,5-10,5.103/ mm3
Trombosit 373.103 / mm3 150-450.103/ mm3
Hematokrit 28 % 37-47%

Hitung Jenis
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Eosinofil 0 0-6%
Basofil 0 0-2%
Netrofil Segmen 95 50-70%
Limfosit 3 20-40%
Monosit 132 2-8%

II. Radiologi

Thorax PA / Lat Kiri


19 Mei 2015

Kesimpulan: Kardiomegali Ringan

CT Scan Sinus (SPN)


20 November 2014

34
Kesimpulan :
Massa di sinus maksilaris kiri yang meluas ke kavum nasi kiri, sinus
ethmoidalis dan sphenoidalis dan mendestruksi os maksila kiri dan dinding
sinus maksila kiri.
Tak tampak perluasan ke intrakranial.

CT Scan Sinus (SPN)


18 Mei 2015

Kesimpulan :

35
Massa solid di sinus maksilaris kiri meluas ke cavum nasi kiri. Sinus ethmoidalis
kiri, sinus sphenoidalis dan frontalis kiri disertai destruksi os maksilaris kiri dan
dinding sinus maksilaris kiri.
Tak tampak perluasan massa ke intrakranial.

III. Biopsi pada Kavum Nasi Sinistra (12-12-2014)

Kesimpulan : Suatu inverted papiloma

3.6 Diagnosis

Carsinoma Sinonasal + Anemia


3.7 Diagnosis Banding

Inverted Papiloma Sinonasal


3.8 Penatalaksanaan

3.7.1 Terapi Supportif


3.7.2 Terapi Awal (Medikamentosa)
- IVFD Rl 20 gtt/i
- Transfusi PRC 4 Kolf sampai Hb >10
- Ceftriaxon 2 x 1gr

36
Terapi Post Op MaksilektomiParsiale.c Tumor Sinonasal
- IVFD RL 20 gtt/i
- Cefriaxone 2x1 gr
- Transamin 3x500mg
- Keterolac 3x30mg
- Vit K 2x1 Amp
- Diovan 1x1
- Amlodipin 1x1

3.7.3 Terapi Operatif


Laporan Operasi
1. Pasien posisi supine dengan anestesi umum
2. Dilakukan disenfeksi dengan betadine pada daerah hidung dan mulut lalu
dibatasi dengan doek steril.
3. Insisi weber Fergusion pada pinggir lateral garis hidung sinistra kurang
lebih 6 cm.
4. Insisi diperdalam hingga mencapai os maksila sambil dilakukan suction
5. Kulit,otot dan jaringan di bawah dibebaskan dari periosteum. Tampak
dinding anterior os maksila sudah terdestruksi oleh massa dan tampak
rapuh serta bau.
6. Dilakukan pemotongan dinding medial maksila, sebagian palatum durum
sinistra.
7. Tampak massa berwarna merah kehitaman.
8. Dilakukan pelepasan massa hingga habis dan terlepas dari jaringan
sekitar.
9. Massa dilepaskan secara perlahan-lahan hingga habis, sebagian massa di
antar ke Patologi Anatomi
10. Luka insisi dibersihkan setelah post operasi
11. Perdarahan diatasi dengan ligasi dan cauter
12. Cuci luka insisi dengan NaCl
13. Jait luka selapis demi selapis
14. Lakukan pemasangan NGT
15. Tutup luka dengan kassa steril
16. Operasi selesai
37
3.9 Prognosis
Quo ad vitam Ad bonam
Quo ad functionam Ad bonam
Quo ad sanationam Ad bonam

BAB IV

38
PEMBAHASAN

Dari anamnesis yang dilakukan, didapatkan bahwa pasien mengeluhkan


hidung tersumbat saat datang pertama kali. Pasien juga mengeluh sulit bernafas,
tidur terganggu, hidung mengeluarkan cairan seperti darah bercampur nanah dan
berbau tidak enak, pipi kiri semakin membengkak dan disertai nyeri. Dari riwayat
kebiasaan, didapatkan bahwa pasien sering mengkonsumsi ikan asin.
Gejala-gejala yang dikeluhkan pasien tersebut merupakan gejala yang dapat
timbul pada penderita tumor ganas sinonasal. Gejala-gejala tersebut dapat timbul
sesuai dengan perluasan tumor itu sendiri. Gejala hidung tersumbat, sulit bernafas
dan hidung mengeluarkan darah bercampur nanah merupakan gejala nasal, berupa
obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya sering bercampur darah atau
terjadi epistaksis.. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung
jaringan nekrotik. Gejala-gejala ini dapat mengganggu aktifitas dan membuat tidur
pasien terganggu. Tumor sinonasal yang semakin membesar dapat terlihat dengan
gejala pipi kiri pasien yang semakin membengkak.
Seringnya pasien mengkonsumsi ikan asin diduga merupakan etiologi yang
menyebabkan tumor pada pasien ini. Ikan asin dan makanan lain yang di asinkan
diduga merupakan bahan karsinogen yang menjadi pemicu timbulnya pertumbuhan
sel yang abnormal yang menjadi cikal bakal tumor dalam hal ini tumor sinonasal.
Dari pemeriksaan hidung (rhinoskopi anterior) didapatkan mukosa hiperemis,
dijumpai sekret kekuningan, konka hipertropi, deviasi septum dan pasase udara
terhambat pada hidung sebelah kiri. Deviasiseptum bisa terjadi pada tumor ganas
sinonasal karena desakan tumor terhadap tulang hidung sehingga terjadi deformitas
hidung yang menyebabkan hidung tersumbat dan menghambat aliran udara pada
hidung tersebut.
Sebelumnya pasien sudah pernah dirawat dan dilakukan pemeriksaan
penunjang (biopsi dan CT-Scan), kemudian pasien dipulangkan dan diminta kembali
lagi 2 minggu kemudian untuk mengambil hasil pemeriksaan penunjang, namun
pasien tidak kembali karena terhambat masalah biaya.
Dari hasil pemeriksaan penunjang tersebut, CT-Scan sinus paranasalis
potongan axial dan coronal dengan dan tanpa kontras didapatkan massa sinus
maksilaris kiri yang meluas ke cavum nasi kiri, sinus ethmoidalis dan sinus
spenoidalis dan mendestruksi os maksila kiri dan dinding sinus maksilaris kiri, tidak
39
ada perluasan ke intrakranial. Dan dari hasil pemeriksaan histopatologi di ambil
kesimpulan suatu inverted papilloma.
CT-Scan merupakan pemeriksaan penunjang yang di anjurkan untuk
pemeriksaan tumor sinonasal. CT-Scan pada pasien ini dilakukan untuk menilai
struktur tulang sinus paranasal dan menilai tumor sinonasal. Namun, diagnosis pasti
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di rongga
hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Biopsi
tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau melalui
operasi Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal.
Pasien datang kembali berobat dengan keluhan yang semakin memberat dan
pasien dirawat kembali. Dilakukan kembali CT-Scan sinus paranasal potongan axial,
coronal dan sagittal dengan dan tanpa kontras dengan kesimpulan massa solid di
sinus maksilaris kiri meluas ke cavum nasi kiri, sinus ethmoidalis kiri, sinus
sphenoidalis dan frontalis kiri disertai destruksi os maksila kiri dan dinding sinus
maksilaris kiri, tak tampak perluasan massa ke intrakranial.
Berdasarkan teori yang ada, disebutkan bahwa diagnosa inverted papilloma
sebelumnya pada pasien merupakan tumor jinak tersering pada sinonasal. Papiloma
inverted ini bersifat sangat invasive, dapat merusak jaringan sekitarnya. Tumor ini
sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah menjadi ganas sehingga pasien
datang kembali dengan keluhan yang lebih berat.
Pada pasien ini dilakukan pembedahan rhinotomi lateral dengan jenis insisi
nya weber fergussion.Dibuat insisi di samping hidung setinggi kantus medial sampai ke
ala nasi, diteruskan sampai ke dasar kolumela, insisi dilanjutkan ke bawah melalui
sulkus infranasal dan mendorong bibir atas, insisi diperluas sampai dibawah kelopak
mata disebut insisi Weber-Ferguson.
Prinsip pengobatan pada tumor sinonasal adalah pengangkatan tumor secara
keseluruhan, tanpa meninggalkan sisa, mengingat tumor ini cenderung
kambuh.Sebagai pilihan pengobatan utama adalah pengangkatan tumor dan eksisi
dengan pendekatan rinotomi lateral atau degloving bila massa tumor ada di traktus
sinonasal dan dengan mastoidektomi untuk massa tumor di telinga tengah dan
kavum mastoid.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A A. Tumor Hidung dan Sinonasal. In Soepardi E, Iskandar N,


Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala & Leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007. p. 178-181.

2. Hilger P, Adam G. Penyakit Hidung dan Tumor-Tumor Ganas Kepala Leher. In


Effendi H, Santoso R. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2012. p. 235-137, 429-444.

3. Rosen S, Adam G. Head and Neck Cancer USA: Kluwer Academic Publishers;
2004.

4. Snell R. Kepala dan Leher. In Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran.


6th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. p. 252-256.

5. Faller A, Schuenke M. The Respiratory System. In The Human Body. New


York: Georgerlag; 2004. p. 335-338.

6. Dhingra P. Anatomy of Nose. In Disease of Ear, Nose, and Throat. 4th ed. India:
Elsevier; 2010. p. 130-135, 141, 165.

7. Budiman B, Yurni. Maksilektomi Total Dengan Eksenterasi Orbita Pada


Karsinoma Mukoepidermoid Sinonasal Padang: Departemen Telinga Hidung
Tenggorok - Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas;
2012.

8. Carrau RL, Ong YK, Solares A. Malignant Tumors of The Nasal Cavity.
[Online].; 2013 [cited 2015 Mei 28. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/846995-overview#showall.

9. Surakardja I. Tumor Hidung dan Sinus Paranasal. In Onkologi Klinik. Surabaya:


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 2000. p. 85-103.

10. Salam K, Choudury A, Hossain M. Clinicopathological Study of Sinonasal


Malignancy. Bangladesh J Ortholaryngology. 2009; 15(2): p. 55-59.

11. American Society Of Clinical Oncology. Nasal Cavity and Paranasal Sinus
Cancers. [Online].; 2011 [cited 2015 Mei 28. Available from:
http://www.cancer.net/cancer-types/nasal-cavity-and-paranasal-sinus-cancer.

12. Probst R, Grever G, Iro H. Disease of The Nose, Paranasal Sinuses, and Face. In

41
Basic ortholaringology. New York: Thieme; 2006. p. 64-67.

42

Anda mungkin juga menyukai