Defenisi
B. Etiologi
1. Faktor Internal
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis
(sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik
(parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah
pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria
(bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas
berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan
hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan
menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot
semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus,
kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi
sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan
sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat
tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan
urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru
(inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.
2. Demam
4. Limfadenopati
6. neuritis optic
7. glomerulonefritis
Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut
seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering
menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial,
ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.
D. Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang
yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi.
Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan
yang sama barulah tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang
tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali
alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T
tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E).
Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang
dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk
kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
1. Hipersensitifitas tipe I
2. Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa
imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan
antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan
terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung
berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang
langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat
patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun
karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi.
Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness)
yang dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks
imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus,
diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam
waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan
antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora
Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-
paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-
paru pembuat keju.
4. Hipersensitifitas tipe IV
G. Pemeriksaan Penunjang
H. Diagnostik
1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya :
stenosis pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan
dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan
pewarna dan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit,
tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera),
bakteri (Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus,
enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein,
glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat),
triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
3. Reaksi psikologi
I. Terapi
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor
di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis
kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja
histamine.
c. Kromolin Sodium
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi.
Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral
atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid
topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan
radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E
mukosa.
3. Imunoterapi
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat,
sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.