Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera medura spinalis (CMS) sekunder akibat trauma tulang belakang merupakan salah
satu cedera hebat yang memberikan siknifikansi besar dalam kehidupan manusia, yakni dalam
hal tingkat morbiditas dan mortalitas, perubahan aktivitas sehari-hari, dan biaya yang harus
ditanggung oleh pasien, keluarga, dan masyarakat.1 Tingkat insidensi di Amerika Serikat per
tahun mencapai 40 kasus baru per 1 juta penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar
12.000 kasus baru per tahun.2 Tingkat mortalitas yang tinggi (50%) pada cedera medula spinalis
umumnya terjadi pada saat kondisi kecelakaan awal, sedangkan tingkat mortalitas bagi pasien
yang masih bertahan hidup dan dilarikan ke rumah sakit adalah 16%. Pasien dengan cedera
medulla spinalis memerlukan penyesuaian terhadap berbagai aspek, antara lain masalah
mobilitas yang terbatas, psikologis, urologis, pernafasan, kulit, disfungsi seksual, dan
ketidakmampuan untuk bekerja. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk pasien dengan cedera
tersebut diestimasikan mencapai 4 milliar dolar Amerika Serikat per tahunnya untuk pelayanan
kesehatan (akut dan kronis) dan harga yang harus dibayar oleh pasien dan keluarganya tidak
terhitung karena masalah yang ditimbulkan sifatnya seumur hidup.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Medulla spinalis merupakan bagian dari sistem saraf pusat yang menjadi jalur informasi antara
otak dan bagian tubuh lainnya. Pengetahuan akan struktur neuroanatomi medulla spinalis adalah
kebutuhan mendasar yang diperlukan untuk mengerti setiap manifestasi klinis yang dapat
ditimbulkan oleh cedera medulla spinalis. Selain itu, pada bagian ini akan dibahas pula mengenai
anatomi tulang belakang dan sekitarnya dan perfusi dari medulla spinalis karena cedera pada
medulla spinalis umumnya terasosiasi dengan struktur-struktur yang ada di sekitarnya.
A. Anatomi Columna Vertebralis
Kolumna vertebra merupakan struktur tulang penyokong utama tubuh.3,4 Vertebra tidak
hanya menyokong tulang tengkorak, tetapi juga toraks, ekstremitas atas, pelvis, dan menyalurkan
berat tubuh ke ekstremitas bawah. Selain itu, struktur ini memberikan perlindungan yang
bermakna bagi struktur-struktur yang ada didalamnya, antara lain medulla spinalis, nervus
spinalis, dan meninges.4 Kolumna vertebralis terdiri dari 33 vertebrae, antara lain 7 servikal, 12
torakal, 5 lumbar, 5 sakral (bergabung menjadi sakrum), dan 4 koksigeal, dengan bantalan
fibrocartilage diantara tiap segmen yang disebut diskus intervertebralis.3 Walaupun terdapat
perbedaan secara regional pada segmen-segmen tersebut, namun secara umum terdapat pola
anatomi yang mirip (Gambar 1). Vertebra umumnya terdiri dari korpus di bagian anterior dan
arkus vertebra di posterior, dan diantaranya terdapat lubang yang disebut sebagai foramen
vertebralis yang berisikan medulla spinalis dan lapisan meninges. Arkus vertebra terdiri dari
sepasang pedikel dan laminae. Arkus vertebralis membentuk 7 prosesus, antara lain satu prosesus
spinosus, dua prosesus tranversus, dan 4 prosesus artikularis. Prosesus spinosus merupakan
sambungan dari kedua laminae, sedangkan prosesus transversus terletak diantara laminae dan
pedikel. Kedua prosesus tersebut berfungsi sebagai tuas pengungkit dan menjadi tempat
perlekatan otot dan ligamen. Prosesus artikularis terbagi menjadi dua prosesus superior dan dua
prosesus inferior, kedua prosesus tersebut membentuk sendi sinovial. Pedikel terdiri dari inferior
notch dan superior notch yang membentuk foramen intervertebralis (dari dua vertebra). Sendi
dari kolumna vertebralis terbagi menjadi 2, antara lain sendi antara dua korpus vertebra yaitu
fibrocartilaginous joint dari diskus intervertebralis dan sendi antara dua arkus vertebralis yaitu
sendi sinovial antara prosesus artikularis.4 Terdapat 6 ligamen di sekitar kolumna vertebralis
(Gambar 2), antara lain ligamen anterior longitudinal dan posterior longitudinal (ligament di
sekitar korpus) dan ligamen supraspinatus, interspinatus, intertraversum, dan flavum (ligamen
diantara arkus vertebralis). Pada daerah servikal, ligamen supraspinatus dan interspinatus
bergabung membentuk ligamentum nuchae.

Gambar 1. A. Gambaran kolumna vertebralis dari lateral.


B. Fitur umum
dari tiap vertebra
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascending and Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambar 2. Ligamen pada kolumna vertebralis
Gambar dikutip dari: Baron BJ, McSherry KJ, Larson, Jr. JL, Scalea TM.
Chapter 255. Spine and Spinal Cord Trauma. In: Tintinalli JE, Stapczynski
JS, Cline DM, Ma OJ, Cydulka RK, Meckler GD, eds. Tintinallis Emergency
Medicine: A Comprehensive Study Guide. 7th ed. New York: McGraw-Hill;
2011. http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=6389092.

B. Anatomi Medula Spinalis


Medulla spinalis merupakan organ berbentuk silindris yang dimulai dari foramen
magnum di tulang tengkorak sampai dengan dua pertiga seluruh panjang kanal vertebralis
(dibentuk dari seluruh foramen vertebralis), berkesinambungan dengan medulla oblongata di
otak, dan bagian terujung dari medulla spinalis terletak di batas bawah vertebra lumbar pertama
pada orang dewasa dan batas bawah vertebra lumbar ketiga pada anak-anak.4 Medulla spinalis
dikelilingi oleh 3 lapisan meninges, antara lain dura mater, araknoid mater, dan pia mater. Selain
itu, likuor cerebrospinalis (LCS) yang berada dalam rongga subaraknoid juga memberikan
perlindungan tambahan bagi medulla spinalis. Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen, antara
lain 8 segmen servikal, 12 segmen torakal, 5 segmen lumbar, 5 segmen sakral, dan 1 segmen
koksigeal (Gambar 3). Nervus spinalis keluar dari setiap segmen medulla spinalis tersebut
(berjumlah 31 pasang nervus spinalis) dan terdiri dari motor atau anterior roots (radiks) dan
sensory atau posterior root.4,5 Penamaan nervus spinalis dilakukan berdasarkan daerah
munculnya nervus tersebut melalui kanal vertebralis. Nervus spinalis C1 sampai C7 muncul dari
atas kolumna vertebralis C1-C7, sedangkan C8 diantara kolumna vertebralis C7-T1.5 Nervus
spinalis lainnya muncul dari bawah kolumna vertebralis yang bersangkutan. Fungsi motor dari
nervus-nervus spinalis antara lain, C1-C2 menginervasi otot-otot leher, C3-C5 membentuk
nervus phrenikus yang mempersarafi diafragma, C5-T1 mempersarafi otot-otot ekstremitas atas,
segmen torakal mempersarafi otot-otot torakoabdominal, dan L2-S2 mempersarafi otot-otot
ekstremitas bawah.5 Beberapa dermatom penting yang memberikan gambaran untuk fungsi
sensorik dari nervus spinalis, antara lain C2-C3 untuk bagian posterior kepala-leher, T4-5 untuk
daerah areola mamae, T10 untuk umbilikus, bagian ekstremitas atas: C5 (bahu anterior), C6 (ibu
jari), C7 (jari telunjuk dan tengah), C8 (jari kelingking), T1 (bagian medial antebrakii), T2
(bagian medial dari brakialis), T2/T3 (aksila), bagian ekstremitas bawah: L1 (bagian anterior dan
medial dari femoralis), L2 (bagian anterior dari femoralis), L3 (lutut), L4 (medial malleolus), L5
(dorsum pedis dan jari 1-3), S1 (jari 4-5 dan lateral malleolus), S3/Co1 (anus).5
Medulla spinalis terdiri dari dua substansia, antara lain substansia kelabu (gray matter)
yang terletak internal dan substansia alba (white matter) yang terletak secara eksternal.4,5 Secara
umum, substansia alba terdiri dari traktus ascending (sensorik) dan descending (motorik),
sedangkan substansia kelabu dapat dibagi menjadi 10 lamina atau 3 bagian (kornu anterior,
posterior, dan lateral) yang tersusun dari nukleus-nukleus yang berperan dalam potensi aksi
neuron-neuron (Gambar 3 dan 4).
Gambar 3. Anatomi Medulla Spinalis
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascending and Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84

Gambar 4. Gambar penampang melintang dari medulla spinalis


setinggi midservikal
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascending and Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambaran perjalanan sensorik dari nervus sensorik perifer sampai menuju ke pusat sensorik di
korteks serebral dapat dilihat pada Gambar 5. Traktus sensorik (ascending tracts) dari medulla
spinalis mencakup, antara lain traktus spinotalamik lateral yang membawa sensorik untuk nyeri
dan temperatur (Gambar 6), anterior spinotalamik untuk perabaan (kasar/ crude touch) dan
tekanan (Gambar 7), traktus kolumna dorsalis (posterior white column) untuk raba halus (two-
point discrimination), fungsi proprioseptif dan getaran (Gambar 8), dan traktus-traktus lainnya
seperti, spinocerebellar (posterior dan anterior), cuneocerebellar, spinotectal, spinoreticular,
spinotectal, dan spino-olivary.4

Gambar 5. Gambaran umum perjalanan rangsang sensorik dari sistem


saraf perifer sampai pusat sensorik di korteks serebral (First-order
neuron sampai third-order neuron).
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascending and Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambar 6. Traktus spinotalamik lateral
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascending and Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambar 7. Traktus spinotalamik anterior
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascending and Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambar 8. Traktus kolumna dorsalis (posterior white column)
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascending and Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84

Gambaran perjalanan rangsang motorik melalui traktus motorik (descending tract) dari
pusat motor di girus presentral ke efektor (otot) dapat dilihat pada gambar 9. Traktus motorik
dari medulla spinalis mencakup, antara lain traktus kortikospinal (anterior dan lateral) untuk
gerakan otot volunter dan yang membutuhkan ketepatan (Gambar 10), rubrospinal untuk
fasilitasi aktivitas otot-otot fleksor dan menghambat otot ekstensor (atau otot antigravitasi),
vestibulospinal untuk fasilitasi otot-otot ekstensor dan menghambat otot fleksor terutama untuk
tujuan menjaga postur dan keseimbangan, dan olivospinal (fungsi belum diketahui).4
Gambar 9. Traktus kortikospinal anterior dan lateral
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascending and Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambar 10. Traktus kortikospinal anterior dan lateral
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the
Ascending and Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84

Pengetahuan akan perjalanan traktus-traktus (terutama mengenai pada level mana terjadi
decusatio) yang ada dalam substansia alba medulla spinalis akan memberikan pengertian yang
komprehensif mengenai manifestasi klinis pasien-pasien dengan trauma medulla spinalis.
Persepsi raba halus, proprioseptif, dan getaran (dari traktus kolumna dorsalis) tidak mengalami
penyilangan (decusatio) sebelum rangsang tersebut mencapai medulla oblongata, sedangkan
traktus spinotalamik lateral dan anterior menyilang dalam 3 level segmen tempat rangsang
tersebut masuk.6 Di sisi lain, traktus motorik utama (kortikospinal) mengalami decusatio pada
level medulla oblongata. Hal ini menyebabkan adanya lesi pada traktus kortikospinal atau
kolumna dorsalis menyebabkan paralisis motor ipsilateral (untuk kortikospinal) dan hilangnya
persepsi raba halus, proprioseptif, dan getaran pada ipsilateral dari lesi tersebut. Sebaliknya, lesi
pada traktus yang membawa persepsi nyeri, suhu, tekanan, dan raba kasar menyebabkan
hilangnya persepsi tersebut pada daerah kontralateral dari lesi.6
Selain traktus untuk fungsi sensorik dan motorik, medulla spinalis juga berperan dalam
fungsi otonom. Fungsi saraf simpatis dipengaruhi oleh saraf kranialis T1-L3 (torakolumbal),
sedangkan fungsi saraf parasimpatis pada S2-S4.6 Lesi medulla spinalis pada daerah yang
bersangkutan dapat menyebabkan gangguan saraf otonom sesuai dengan tingkat lesinya. Salah
satu korelasi klinis dari fungsi saraf simpatis yang terganggu akibat dari lesi lebih tinggi dari T6
adalah neurogenic shock akibat hilangnya tonus simpatis pada pembuluh darah arteri,7
sedangkan gangguan miksi dan disfungsi ereksi akibat gangguan tonus parasimpatis.5
Perfusi dari medulla spinalis terdiri dari 1 arteri spinalis anterior dan 2 arteri spinalis
posterior.6 Arteri spinalis anterior memberikan suplai darah 2/3 bagian anterior dari medulla
spinalis. Adanya lesi pada pembuluh darah tersebut menyebabkan disfungsi dari traktus
kortikospinal, spinotalamik lateral, dan jalur otonom (paraplegia, hilangnya persepsi nyeri dan
temperatur, dan disfungsi otonom). Arteri spinalis posterior secara utama memberikan suplai
darah untuk kolumna dorsalis dan substansia kelabu bagian posterior.8 Kedua arteri tersebut
muncul dari arteri vertebralis.6,8 Beberapa cabang radikuler dari aorta torakalis dan abdominalis
memberikan perdarahan kolateral bagi medulla spinalis.6
Gambar 11 dan 12. Gambar penampang melintang medulla spinalis
dengan arteri spinalis anterior dan gambar perfusi medulla spinalis.
Gambar dikutip dari: Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization,
and Overview of Spinal Cord Syndromes. Continuum: Lifelong Learning
Neurol 2008;14(3):11 dan Waxman SG. Chapter 6. The Vertebral Column
and Other Structures Surrounding the Spinal Cord. In: Waxman SG,
ed. Clinical Neuroanatomy. 26th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.

2.2 Definisi
Cedera medulla spinalis atau Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan sebagai cedera atau
kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan perubahan fungsional, baik secara
sementara maupun permanen, pada fungsi motorik, sensorik, atau otonom.6,9 Beberapa literatur
membedakan SCI sebagai traumatic spinal cord injury (TSCI) dan nontraumatic, sedangkan
pada literatur lainnya menggunakan istilah SCI sebagai TSCI.
2.2. Epidemiologi
Tingkat insidensi di Amerika Serikat per tahun mencapai 40 kasus baru per 1 juta
penduduk setiap tahunnya atau diperkirakan sekitar 12.000 kasus baru per tahun.2 Sekarang ini,
diperkirakan terdapat sekitar 183.000-230.000 pasien dengan cedera medulla spinalis yang masih
bertahan hidup di Amerika Serikat.10 Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan
rentang usia rata-rata 28 tahun (terutama antara 16-30 tahun).2,10 Hampir seluruh pasien cedera
medulla spinalis (80,6%) adalah pria (perbandingan rasio pria:wanita yaitu 4:1) karena resiko
yang lebih tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh, dan cedera yang berhubungan
dengan rekreasi (seperti diving).2,10 Tingkat mortalitas yang tinggi (50%) pada cedera medula
spinalis umumnya terjadi pada saat kondisi kecelakaan awal, sedangkan tingkat mortalitas bagi
pasien yang masih bertahan hidup dan dilarikan ke rumah sakit adalah 16%.1 Tingkat harapan
hidup pada pasien dengan cedera medulla spinalis menurun secara drastis apabila dibandingkan
pada populasi normal dan tingkat mortalitas jauh lebih tinggi tahun pertama, apabila
dibandingkan di tahun-tahun berikutnya.2

2.3 Etiologi
Sejak tahun 2005 etiologi utama CMS, antara lain kecelakaan lalu lintas (39,2%), jatuh
(28,3%), kekerasan (luka tembak, 14,6%), olah raga (terutama diving, 8,2%), akibat lainnya dari
mencakup 9,7%.2 Beberapa literatur mendokumentasikan etiologi yang serupa, namun dengan
sedikit variasi pada proporsinya.6,10,11 Etiologi nontraumatik, antara lain gangguan vaskular,
autoimun, degeneratif, infeksi, iatrogenik, dan lesi onkogenik.6,7,11

Gambar 13. Etiologi Cedera Medula Spinalis


2.4 Patofisiologi
2.4.1 Mekanisme Cedera
Lokasi SCI berturut-turut dari yang paling umum, antara lain daerah servikal (level C5-
C6), thoracolumbar junction, thorakalis, dan lumbalis (Tabel 1).11Mekanisme cedera umumnya
merupakan aspek utama yang menentukan lokasi cedera medulla spinalis, contohnya motor
vehicle accident (MVA) atau kecelakaan lalu lintas umumnya melibatkan cedera daerah servikal
(akibat hiperekstensi dan hiperfleksi), jatuh melibatkan beberapa daerah lokasi tergantung bagian
yang terjatuh menumpu ke tanah terlebih dahulu (jatuh dengan kaki menumpu melibatkan daerah
thoracolumbar akibat fraktur kompresi atau burst fracture, jatuh di tangga dimana leher
menumpu tangga melibatkan hiperekstensi leher dan cedera servikal), jatuh dengan bokong
menumpu tanah melibatkan daerah lumbar).7
Level of Injury Frequency (%)
Cervical spine; most common C5-6Th 50-55
Thoracic Spine 10-15
Thoracolumbal 15-20
Lumbosacral 10
Sacral <10
Multiple Level 20
Associated head injury
Mild 40-50
Severe 2-3

Tabel 1. Frekuensi Traumatic Spinal Cord Injury (TSCI) berdasarkan


tingkat cedera
Tabel dikutip dari: Derwenskus J, Zaidat OO. Chapter 23.
Spinal Cord Injury and Related Diseases. In: Suarez JI. Critical Care
Neurology and Neurosurgery. New Jersey. Humana Press. 2004. p.417-32

Cedera pada medulla spinalis dapat terjadi secara mandiri, namun seringkali tulang
belakang juga ikut mengalami cedera secara bersamaan karena trauma yang dialami.12 Hal
penting yang perlu diketahui adalah walaupun derajat kerusakan kolumna vertebralis yang parah
umumnya menyebabkan cedera medulla spinalis yang serius, namun hubungan tersebut tidak
selalu terjadi. Kerusakan minor dari kolumna vertebralis umumnya tidak menyebabkan defisit
neurologis, namun tetap mungkin menyebabkan defisit neurologis yang serius.13 Seperti telah
disinggung pada paragraph sebelumnya, mekanisme cedera selain dapat menentukan tingkat
cedera medulla spinalis, juga menentukan jenis cedera pada kolumna vertebralis. Trauma dapat
menyebabkan cedera pada medulla spinalis melalui kompresi langsung dari tulang, ligamen atau
diskus, hematoma, gangguan perfusi dan atau traksi.13
Cedera pada medulla spinalis dan kolumna vertebralis dapat diklasifikasikan menjadi
fraktur-dislokasi, fraktur murni, dan dislokasi murni (dengan frekuensi relatif 3:1:1). Ketiga tipe
dari cedera tersebut terjadi melalui mekanisme yang serupa, antara lain kompresi vertikal dengan
anterofleksi (cedera fleksi) atau dengan retrofleksi (cedera hiperekstensi). Pada cedera fleksi,
kepala tertunduk secara tajam ketika gaya diberikan. Kedua vertebra servikal yang bersangkutan
akan mengalami stres maksimum dan batas anteroinferior dari korpus vertebra yang berada
diatas akan terdorong kebawah (kadang terbelah menjadi dua). Fragmen posterior dari korpus
vertebra yang mengalami fraktur akan terdorong kebelakang dan memberikan kompresi pada
medulla spinalis (tear drop fracture). Mekanisme cedera ini merupakan jenis yang paling sering
pada daerah servikal dan umumnya melibatkan daerah C5/C6 (terjadi subluksasi/dislokasi).13
Seringkali, terdapat robekan dari interspinous dan posterior longitudinal ligaments sehingga
menyebabkan cedera ini tidak stabil.12,13 Cedera yang lebih ringan dari mekanisme fleksi hanya
menyebabkan dislokasi.12 Cedera medulla spinalis terjadi akibat kompresi atau traksi dan
menyebabkan adanya kerusakan langsung atau vaskular.13
Gambar 14. Mekanisme cedera fleksi dan dislokasi dari C5-C6 dengan
robekan pada interspinous dan posterior longitudinal ligaments,
kapsul facet, dan diskus intervertebralis posterior.
Gambar dikutip dari: Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the
Spine and Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA.
Netters Neurology. 2nd edition. Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71
Gambar 15. Mekanisme cedera anterofleksi
Gambar dikutip dari: Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and
Pathophysiology. Emerg Nurse 2005; 12(9):29-38

Pada cedera hiperekstensi terjadi kompresi vertikal dengan posisi kepala ekstensi (retrofleksi).12
Stres utama terjadi pada daerah posterior (lamina dan pedikel) dari vertebra servikalis bagian
tengah (C4-C6), dimana dapat terjadi fraktur unilateral, bilateral, dan robekan dari ligamen
anterior.12 Cedera hiperekstensi dari medulla spinalis umumnya terjadi tanpa terlihat adanya
kerusakan vertebra atau misalignment dari vertebra, walaupun begitu, cedera medulla spinalis
yang terjadi dapat menjadi serius dan permanen. Cedera tersebut dapat terjadi akibat penonjolan
ligamentum flavum atau dislokasi vertebra yang sementara karena robekan ligament ketika di-
xray atau CT-scan alignment sudah kembali normal). Walaupun, penggunaan CT-scan dan x-ray
tulang belakang lateral dapat digunakan untuk melihat cedera tulang belakang (perlu dilakukan
fleksi dan ekstensi dari leher), adanya robekan dan penonjolan ligamen dari dislokasi vertebra
dapat dilihat dengan menggunakan MRI.12 Selain itu, cedera medulla spinalis yang terjadi dapat
diakibatkan oleh central cervical cord syndrome. Cedera dengan mekanisme ini umumnya
melibatkan orang tua dan pasien dengan spinal canal stenosis.
Gambar 16. Mekanisme cedera hiperekstensi.
Gambar dikutip dari: Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the
Spine and Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA.
Netters Neurology. 2nd edition. Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71 dan
Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emerg Nurse
2005; 12(9):29-38.

Mekanisme cedera lainnya yaitu cedera kompresi.13 Pada cedera dengan mekanisme ini,
korpus vertebra mengalami pemendekkan dan mungkin terjadi wedge compression fracture atau
burst fracture dengan aspek posterior dari korpus masuk ke dalam kanal spinalis.1,7,13 Wedge
fracture umumnya stabil karena ligamentum intak, namun apabila terdapat fragmen yang masuk
kedalam kanal spinalis dan biasanya terdapat kerusakan ligamen sehingga tergolong tidak stabil.
Apabila terjadi kombinasi gaya rotasi, dapat terjadi tear drop fracture (digolongkan tidak stabil).
Gambar 17. Cedera kompresi.
Gambar dikutip dari: Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the
Spine and Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA.
Netters Neurology. 2nd edition. Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71 dan
Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emerg Nurse
2005; 12(9):29-38.

2.4.2 Patofisiologi Molekuler


Adanya trauma pada medulla spinalis menyebabkan munculnya gejala dan tanda klinis
akibat dari cedera primer dan sekunder.6,7,9,10 Terdapat 4 jenis mekanisme cedera primer pada
medulla spinalis, antara lain benturan dengan kompresi persisten, benturan dengan kompresi
sementara, distraksi, dan laserasi/transection.9 Mekanisme cedera primer yang paling umum
adalah benturan disertai kompresi persisten, yang terutama terjadi pada burst fracture dengan
retropulsi dari fragmen tulang yang memberikan kompresi pada medulla spinalis (tear drop
fracture), fraktur-dislokasi, dan ruptur diskus akut. Mekanisme kedua yaitu benturan dengan
kompresi sementara yang contohnya terjadi pada cedera hiperekstensi di individu dengan
penyakit degenerasi servikal. Distraksi yaitu regangan kuat yang terjadi pada medulla spinalis
akibat gaya fleksi, ekstensi, rotasi atau dislokasi yang menyebabkan (dapat menyebabkan
gangguan perfusi) merupakan mekanisme ketiga. Cedera distraksi ini merupakan salah satu
penyebab terjadinya cedera medulla spinalis tanpa ditemukan adanya kelainan pada pencitraan
radiologi. Mekanisme cedera terakhir yaitu laserasi dapat disebabkan oleh cedera karena roket,
luka karena senapan api, dislokasi dari fragmen tulang yang tajam, dan distraksi hebat. Laserasi
dapat menyebabkan transection total sampai cedera minor. Seluruh mekanisme cedera primer
menyebabkan kerusakan pada substansia kelabu bagian sentral, tanpa kerusakan substansia alba
(bagian perifer). Adanya kecenderungan cedera pada bagian substansia kelabu dispekulasikan
merupakan akibat konsistensi yang lebih lunak dan adanya pembuluh darah yang lebih banyak.9
Cedera tersebut menyebabkan kerusakan pembuluh darah (microhemorrhage) dalam hitungan
menit awal pascatrauma sampai beberapa jam kedepan yang berlanjut mengakibatkan iskemia
dan hipoksia medulla spinalis.9,10 Kerusakan terjadi akibat dari kebutuhan metabolism yang tinggi
dari medulla spinalis.9 Selain pembuluh darah, neuron juga mengalami kerusakan (ruptur akson
dan membran sel neuron) dan transmisinya terganggu akibat adanya edema pada daerah
cedera.9,10 Edema hebat medulla spinalis terjadi dalam hitungan menit awal dan nantinya
berlanjut menyebabkan iskemia cedera sekunder.10 Substansia kelabu mengalami kerusakan
ireversibel dalam 1 jam pertama setelah cedera, sedangkan substansia alba dalam 72 jam setelah
cedera.9
Cedera primer merupakan penyebab dari kerusakan sekunder dari cedera medulla
spinalis. Mekanisme cedera sekunder, meliputi shock neurogenik, gangguan vaskular berupa
perdarahan dan iskemia-reperfusi, eksitotoksisitas, kerusakan sekunder akibat kalsium, gangguan
cairan elektrolit, cedera imunologis, apoptosis, gangguan fungsi mitokondria, dan proses
lainnya.9
Gambar 18. Cedera primer dan sekunder dari Spinal Cord Injury
Gambar dikutip dari: Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I:
Pathophysiologic Mechanisms. Clin Neuropharmacol 2001;24(5):254-64

Cedera medulla spinalis menyebabkan terjadinya shok neurogenik (Gambar 19). Terdapat
beberapa interpretasi dari definisi shok ini, namun dalam literatur umumnya didefinisikan
sebagai perfusi jaringan yang inadekuat akibat parese serius pada vasomotor (yang berakibat
gangguan keseimbangan dari vasodilasi dan vasokontriksi pada arteriole dan venules).
Neurogenik shok merupakan akibat dari shok spinal yang merupakan manifestasi dari cedera
medulla spinalis. Cedera primer menyebabkan peningkatan ion potassium pada rongga
ekstraselular sehingga mengakibatkan hilangnya aktivitas somatik, refleks, dan autonomik
dibawah level kerusakan tersebut. Shok neurogenik disebabkan karena hilangnya tonus simpatis
yang berakibat munculnya bradikardia, hipotensi dengan penurunan resistensi perifer dan
cardiac output.7 Shok ini umumnya bermanifestasi antara 4-6 jam setelah cedera diatas level T6
terjadi. Shok spinal dan neurogenik merupakan kondisi sementara yang dapat bertahan antara 48
jam sampai 6 minggu pascacedera (sangat bervariasi).

Gambar 19. Patofisiologi dari shok neurogenik.


Gambar dikutip dari: Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and
Pathophysiology. Emerg Nurse 2005; 12(9):29-38.

2.4.3 Defisit Neurologis Pada Cedera Medulla Spinalis


Seperti yang telah disinggung pada sub-bab sebelumnya, shok spinal atau fase tidak adanya
aktivitas medulla spinalis (penurunan fungsi motorik, sensorik, refleks dan otonom) terjadi
pasca-cedera hebat pada medulla spinalis.12,13 Durasi shok spinal bervariasi dari periode 48 jam
sampai 6-8 minggu.13 Pada fase shok spinal, tidak mungkin seorang tenaga kesehatan dapat
menilai status neurologis sesungguhnya (akibat cedera) dari pasien tersebut. Status neurologis
hanya dapat dinilai setelah fase tersebut selesai dimana diagnosis dari cedera komplit atau
inkomplit dari medulla spinalis dapat ditegakkan.7 Menurut American Spinal Injury Association
(ASIA), cedera medulla spinalis komplit didefinisikan sebagai cedera yang melibatkan seluruh
segmen sakral dari medulla spinalis yaitu S4 dan S5 (fungsi sensorik dan motoric tidak ada sama
sekali), sedangkan cedera inkomplit tidak melibatkan dua segmen sakral tersebut (fungsi S4-S5
masih ada antara fungsi motorik dan atau sensorik) dan dapat masuk dalam salah satu dari 4
sindrom klasik medulla spinalis (Anterior cord syndrome, posterior cord syndrome, central cord
syndrome, dan Brown-Sequard syndrome) ataupun gabungan dari sindrom-sindrom tersebut.7,11

Gambar 20. Sindrom klasik medulla spinalis. (a) central cord


syndrome, (b) anterior cord syndrome, (c) brown sequard syndrome,
dan (d) posterior cord syndrome
Gambar dikutip dari: Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH.
Essential Neurosurgery. 3rd Edition. Victoria, Blackwell Publishing. 2005. 225-33
Pada lesi komplit atau complete cord transection terjadi disrupsi dari traktus sensorik
(termasuk traktus spinotalamik anterior dan lateral), motorik (kortikospinal anterior dan lateral),
dan fungsi otonom dari level lesi kebawah.
Pada complete cord transection, terdapat dua fase, meliputi fase arefleksia (fase shok
spinal) dan fase hyperrefleksia.12 Presentasi klinis pada fase arefleksia untuk pasien dengan lesi
komplit adalah tetraplegia (gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau sensorik pada
segmen servikal dari medulla spinalis karena adanya kerusakan elemen saraf dalam kanal
spinalis yang melibatkan kelemahan pada keempat ekstremitas, dan organ-organ pelvis),
paraplegia (gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau sensorik pada segmen torakal,
lumbal, atau sakral (tetapi tidak servikal) akibat dari kerusakan elemen saraf dalam kanal spinalis
(sebagaimana didefinisikan oleh International Standards for Neurological Classification of
Spinal Cord Injury revisi 2011 yang dipublikasikan oleh ASIA), arefleksia, anestesia pada level
dibawah lesi, shok neurogenic (hipotensi dan hipotermia tanpa takikardia kompensasi), gangguan
nafas (pada lesi servikal atas), hilangnya tonus rektum dan buli-buli, retensio urin dan usus
menyebabkan ileus, dan priapism.12,14 Pada fase hiperrefleksia, seluruh aktifitas refleks kembali
dan meningkat tonusnya. Babinski sign (dorsifleksi dari ibu jari), refleks achilles, patellar,
bulbocavernous, dan refleks lainnya akan kembali dan meningkat. Refleks miksi dan defekasi
akan meningkat dan tidak dapat dikendalikan.
Central Cord syndrome (CCS) atau Schneider syndrome merupakan salah satu sindrom
lesi inkomplit dari medulla spinalis yang paling umum dan terjadi akibat cedera hiperekstensi
pada daerah servikal dengan kompresi medulla spinalis oleh osteophyte secara anterior dan
ligamentum flavum secara posterior.12,13,15,16 Sindrom ini merupakan akibat dari proses patologi
yang terjadi di dalam dan sekitar kanal sentralis sehingga pada lesi awal (lesi kecil) hanya traktus
spinotalamik yang mengalami penyilangan pada daerah tersebut saja yang terlibat (Gambar 20).
Seiring dengan meluasnya lesi ke lateral, traktus kortikospinal akan terlibat dan menyebabkan
kelemahan motorik yang lebih bermakna di ekstremitas atas dibandingkan ekstremitas bawah
(tekanan sentral menyebabkan lesi lebih berat pada traktus yang lebih medial yaitu traktus
kortikospinal untuk ekstremitas atas).7 Penurunan fungsi sensorik umumnya minimal, berbentuk
shawl-like (seperti syal) atau nonspesifik dan terjadi dibawah lesi.13,15,16 Disfungsi buli-buli yang
menyebabkan retensio urin terjadi pada beberapa kasus.
Gambar 21. Central Cord Syndrome
Gambar dikutip dari: Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization,
and Overview of Spinal Cord Syndromes. Continuum: Lifelong Learning
Neurol 2008;14(3):11

Anterior Cord Syndrome atau Anterior Spinal Artery Syndrome merupakan sindroma klinis pada
cedera medulla spinalis akibat retropulsi dari tulang atau diskus yang mengakibatkan kompresi
dan mengganggu perfusi dari medulla spinalis anterior (anterior spinal artery).11,13 Hal ini
menyebabkan kerusakan pada traktus kortikospinal dan spinotalamik, tetapi tidak pada traktus
kolumna dorsalis (perfusi utama berasal dari posterior spinal artery).13 Sindrom ini umumnya
terjadi setelah cedera fleksi atau kompresi (axial loading). Adanya kelemahan motorik, dan
sensorik pada beberapa level dibawah level motorik tanpa adanya gangguan bermakna pada
fungsi proprioseptif, raba halus, dan getaran sugestif mengarahkan diagnosis pada anterior cord
syndrome.
Posterior cord syndrome merupakan cedera pada daerah posterior medulla spinalis yang
menyebabkan hilangnya fungsi proprioseptif, getaran, dan two-point discrimination.15,16 Sindrom
ini jarang terjadi pada TSCI, dan seringnya terasosiasi dengan multiple sclerosis. Adanya tanda
Romberg yang positif, gaya jalan ataksik (atau stomping), dan tanda Lhermitte yang positif
merupakan tanda utama dari sindrom ini.15 Brown-Squards syndrome (BSS) terjadi karena
hemisection dari medulla spinalis akibat trauma tembus (baik karena pisau maupun luka tembak)
atau fraktur tulang belakang.7,13,15 Kondisi ini jarang terjadi, dan umumnya datang dengan
presentasi berupa parase motorik ipsilateral dibawah lesi, hilangnya fungsi sensorik untuk nyeri,
temperatur, dan raba pada kontralateral dari lesi, dan hilangnya fungsi proprioseptif ipsilateral
11,13
dari lesi. Conus medullaris syndrome melibatkan level T11-L1. Sindrom ini terjadi akibat
cedera pada thorakolumbal yang menyebabkan fragmen tulang atau diskus mengkompresi daerah
medulla spinalis. Adanya disfungsi miksi dini dan saddle-type anesthesia, kelemahan flaccid
ekstremitas bawah yang simetris, nyeri minimal (bila dibandingkan dengan nyeri hebat pada
cauda equina syndrome) membedakan sindrom ini dengan cauda equine syndrome. Spinal cord
concussion mengakibatkan adanya hilangnya atau penurunan fungsi medulla spinalis secara
sementara.13 Patofisiologi terjadinya masih belum jelas, namun dianggap menyerupai cerebral
concussion. Penyembuhan terjadi dalam 6 jam sampai 48 jam.13

2.5 Diagnosis
2.5.1 Evaluasi klinis
Evaluasi klinis pada pasien dengan CMS membutuhkan penilaian status neurologis lengkap,
namun serupa dengan pasien trauma lainnya evaluasi klinis awal dilakukan observasi primer.
Pada observasi primer, ABC (Airway, Breathing, Circulation) dinilai terlebih dahulu. Setelah
ketiga aspek tersebut dinilai stabil, maka penilaian status neurologis baru dilaksanakan
(Disability). Dugaan terhadap adanya CMS didapatkan melalui anamnesis yang menyeluruh baik
mengenai mekanisme trauma dan gejala yang berhubungan dengan trauma pada daerah spinal
(umumnya nyeri) dan adanya defisit motorik atau sensorik.6 Selain itu, CMS akut harus diduga
apabila ditemukan adanya gejala otonom (retensio urin, konstipasi, ileus, hipotermia, hipotensi,
bradikardia), defisit motorik (hemiplegia, tetraplegia, paraplegia), dan sensorik (hemianestesia,
hemihipestesia).5,6 Penggunaan Kriteria NEXUS (the National Emergency X-Radiography
Utilization Study) Low-Risk Criteria atau CCR (The Canadian C-Spine Rule) digunakan untuk
mengidentifikasikan resiko rendah kemungkinan terjadinya cedera servikal pada pasien trauma.17
NEXUS Low-Risk Criteria meliputi, tidak adanya nyeri tekan pada daerah garis tengah posterior
(posterior midline cervicalspine tenderness), tidak adanya tanda-tanda intoksikasi (alkohol),
kesadaran normal (GCS 14 kebawah dianggap tidak normal), tidak ada defisit neurologis fokal
(setelah pemeriksaan neurologis lengkap), dan tidak ada cedera yang nyeri dan mendistraksi
(fraktur, nyeri visceral, crush injury, luka bakar, dan nyeri lainnya), sedangkan kriteria CCR
dapat dilihat pada Gambar 22.17

Gambar 22. The Canadian C-Spine Rule


Gambar dikutip dari: Stiell et al. The Canadian C-Spine Rule versus the
NEXUS Low-Risk Criteria in Patients with Trauma. N Eng J Med
2003;349:2510-8

Pemeriksaan klinis neurologis lengkap dan detil (fungsi motorik, sensorik, dan fungsi sfingter)
diperlukan untuk melihat perjalanan klinis dari CMS. Praktik klinik yang umum dilakukan
adalah mendefinisikan CMS sesuai dengan International standards for neurological
classification of spinal cord injury yang dikeluarkan oleh ASIA (Gambar 23).12,14 Langkah-
langkah dalam penilaian status neurologis berturut-turut, antara lain menentukan level sensorik
untuk sisi kanan dan kiri dengan key sensory points, menentukan level motorik dengan key motor
muscles, menentukan single neurological level, menentukan apakah cedera komplit atau
inkomplit berdasarkan ada-tidaknya sacral sparing, dan terakhir menentukan ASIA impairment
scale.14 Level sensorik didefinisikan sebagai dermatom intak yang paling kaudal untuk fungsi
nyeri dan raba kasar (memiliki nilai 2/normal/intak), fungsi sensorik pada level dibawahnya
tidak normal. Nilai level sensorik pada kanan dan kiri mungkin memiliki perbedaan, sehingga
nilai keduanya harus ditentukan. Level motorik ditentukan dengan mengevaluasi key muscle
paling rendah dengan kekuatan minimal 3 (dalam posisi telentang), dengan fungsi motorik pada
segmen diatas level tersebut memiliki kekuatan 5. Single Neurological Level ditentukan dengan
level neurologik paling rostral (paling atas) diantara 4 level yang ditemukan (level sensorik dan
motorik kanan, level sensorik dan motorik kiri).
Pemeriksaan bulbocavernous reflex (BCR) atau Osinski reflex merupakan pemeriksaan
refleks yang penting untuk menentukan muncul dan selesainya periode dari shok spinal. Reflex
ini melibatkan level S2-S4 medulla spinalis. Tidak adanya BCR tanpa adanya CMS pada bagian
sakral mengindikasikan adanya shok spinal, dan umumnya refleks ini akan kembali pertama kali
setelah periode shok spinal berakhir. Tidak adanya sacral sparing setelah BCR kembali
mengindikasikan bahwa cedera komplit dari CMS. Di sisi lain tidak adanya BCR pada keadaan
dimana diduga tidak terjadi shok spinal, mengindikasikan adanya lesi pada cedera pada conus
medullaris atau cauda equina.
Gambar 23. Metode ASIA dalam mengklasifikasikan CMS
Gambar dikutip dari: Kirshblum et al. International standards for neurological
classification of spinal cord injury (Revised 2011). J Spinal Cord Med
2011;34(6):535-46
2.5.2 Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi dengan standar yang tinggi merupakan aspek krusial dalam
mendiagnosis cedera spinal.18 Plain x-ray posisi lateral dan anteroposterior merupakan
pemeriksaan yang fundamental untuk mendiagnosis cedera spinal, sedangkan pemeriksaan CT
dan MRI dapat digunakan untuk evaluasi lebih lanjut. Pemeriksaan CT-Scan jauh lebih superior
dibandingkan plain x-ray karena dapat melihat dari potongan sagittal, koronal, atau potongan
lainnya sesuai dengan keinginan. Namun, apabila CT-Scan tidak tersedia, plain x-ray tetap
memberikan gambaran penting untuk screening dari fraktur dan dislokasi.
Pemeriksaan MRI yang normal memperbolehkan dilepasnya collar support dan
mobilisasi dini, hal ini dikarenakan MRI servikal dapat memperlihatkan setiap cedera pada
daerah servikal dari medulla spinalis, kompresi dari radiks, herniasi diskus, dan cedera pada
ligamen dan jaringan lunak.1,18 Pemeriksaan foto x-ray pada daerah servikal harus melibatkan
seluruh tulang dari servikal (C1-C7) dan bagian atas dari T1 untuk menghindari tidak
teridentifikasinya cedera pada segmen bawah servikal, apabila masih tidak dapat melibat bagian
cervico-thoracic junction (CTJ) dapat digunakan swimmers view atau traksi lengan. 18

Interpretasi dari gambaran radiologi xray servikal dapat dilakukan dengan ABCs, alignment,
bones, cartilages, dan soft tissues.18 Alignment ditelusuri menggunakan 4 garis utama seperti
pada Gambar 24 (perbedaan >3,5 mm antara vertebra satu dengan yang lainnya dianggap
abnormal, dibawah <5mm unilateral facet dislocation dan diatasnya bilateral), bone dilihat
apakah adanya fraktur atau tidak (tipe fraktur), cartilage dinilai adanya displacement dari facet
joints dan pelebaran diskus intervertebralis, dan soft tissues dinilai adanya pelebaran anterior dari
tulang belakang (nilai normal untuk lebar jaringan prevertebral C4 keatas adalah 1/3 lebar korpus
vertebra tersebut, dan C4 kebawah.
Gambar 24. Garis Alignment dari gambaran lateral
Gambar dikutip dari: Grundy D, Swain A, Morris A. Chapter
3. Radiological
Investigations. In: Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord
Injury. 4th edition.
BMJ Publishing Group, London. 2002. p. 11-6

2.6 Penatalaksanaan
Kerusakan medulla spinalis akibat dari cedera primer umumnya tidak dapat diperbaiki sehingga
seluruh usaha dikerahkan untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut yang belum terjadi
(sekunder) dan komplikasi dari cedera tersebut.13 Prinsip utama dari tatalaksana CMS, antara lain
mencegah kerusakan sekunder dari CMS, reduksi dan stabilisasi dari cedera (tulang dan
ligamen), mencegah dan menangani komplikasi dari CMS, dan rehabilitasi.13 Berdasarkan waktu
penanganannya tatalaksana CMS dibagi menjadi dua fase, antara lain fase pra-rumah sakit dan
fase di rumah sakit.
2.6.1 Penanganan pra-rumah sakit
Prinsip penanganan awal pada umumnya serupa pada pra-rumah sakit maupun di rumah sakit
yaitu prinsip Advance Trauma Life Support yang mengutamakan survei primer ABCD (Airway,
Breathing, Circulation, dan Disability) untuk merestorasi tanda-tanda vital dan survei
sekunder.13,19,20 Survei sekunder pada fase ini umumnya hanya fokus terhadap gejala dan tanda
klinis CMS (nyeri di leher atau punggung, nyeri tekan pada tulang belakang,
paraplegia/tetraplegia, paraesthesia, inkontinensia, priapism, peningkatan temperatur dari kulit
atau eritema).19 Titik utama yang membedakan penanganan pra-rumah sakit dengan di rumah
sakit adalah tindakan imobilisasi dari tulang belakang serta memindahkan pasien ke unit gawat
darurat (UGD) rumah sakit.19,20 Diperkirakan sampai 25% dari CMS mengalami perburukan
setelah trauma terjadi, baik ketika dalam perjalanan ke rumah sakit atau dalam penanganan awal
(4% diakibatkan karena tidak adanya tindakan imobilisasi yang adekuat).19,20 Mobilisasi dengan
perhatian khusus dan penggunaan teknik tertentu sangat krusial pada pasien CMS karena dapat
memperburuk cedera yang dialami pasien. Posisi netral (anatomis), stabilisasi dengan rigid
collar ditambah dengan karung pasir (sandbags) atau bolster di kedua sisi leher dan wajah,
spinal board, penggunaan metode log-roll dan spinal lift untuk memindahkan pasien dengan
minimum 4 penolong merupakan teknik teknik untuk imobilisasi tulang belakang agar tidak
mengalami cedera lebih lanjut.20 Tindakan imobilisasi terus dipertahankan sampai pasien
terbukti tidak mengalami CMS. Dalam literatur, umumnya apabila MRI sudah menyatakan tidak
ada kelainan pada daerah tulang belakang maka penggunaan collar sudah dapat dilepas.1,18
Survei primer (ABCD) secara cepat untuk merestorasi setiap tanda-tanda vital yang ada
merupakan tindakan yang harus dilakukan sejak pertama kali menemukan pasien trauma,
kemudian disusul dengan survei sekunder secara cepat untuk melihat gejala dan tanda klinis
untuk CMS. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pasien dengan CMS dapat mengalami
respiratory insufficiency akibat dari lesi CMS yang tinggi (parese nervus phrenikus) dan syok
neurogenik yang menyebabkan hipotensi sehingga tatalaksana awal untuk mencegah kerusakan
sekunder akibat hipoksia dan hipotensi tersebut harus dideteksi dan ditangani secara cepat dan
adekuat.Intubasi harus dilakukan bila memang dibutuhkan, tidak hanya untuk memberikan
oksigenasi yang adekuat, tetapi juga untuk mempertahankan patensi jalan napas. Pada pasien
CMS yang tidak stabil membutuhkan dokter atau paramedis yang berpengalaman dalam teknik
intubasi orotrakeal tanpa melakukan tindakan hiperekstensi dari leher karena tindakan tersebut
dapat memperparah CMS dan menyebabkan kematian.19 Adanya penemuan dari tekanan sistolik
dibawah 90 mmHg dan bradikardia (nadi dibawah 60 kali/menit) menandakan terjadinya syok
neurogenic (hipovolemik bila takikardia). Syok neurogenik diatasi dengan pemasangan dua IV
line large bore (16-18 G), pemberian cairan isotonis, penggunaan vasopressor (norepinefrin) dan
atropine untuk meningkatkan nadi.19
3.6.2 Penanganan di rumah sakit
Penanganan di rumah sakit mencakup seluruh sistem yang mungkin mengalami komplikasi dari
CMS, yaitu mulai dari sistem respiratorik, kardiovaskular, urologi, gastrointestinal, kulit, sampai
tindakan reduksi baik non-operatif maupun operatif.
3.6.2.1 Penanganan awal
Prinsip awal saat menerima pasien di UGD rumah sakit umumnya sama, yaitu
ditindaklanjuti sesuai penanganan trauma (ATLS) yaitu survei primer dan sekunder. Apabila
pada saat diterima di rumah sakit belum dilakukan tindakan imobilisasi tulang belakang, maka
tindakan awal yang harus dilakukan adalah tindakan imobilisasi. Hal yang berbeda dengan
penanganan pra-rumah sakit adalah pada pemeriksaan neurologis harus dilakukan secara lengkap
(apabila tanda-tanda vital ABC sudah stabil). Pemeriksaan neurologis yang lengkap dilakukan
sesuai International Standards for Neurological Classification of Spinal Cord Injury revisi 2011
yang dipublikasikan oleh ASIA. Pada saat pemeriksaan neurologis awal dapat ditentukan level
ketinggian lesi, lesi komplit atau inkomplit, dan ada tidaknya fase shok spinal.11,13,14
Pemeriksaan radiologi kemudian dilakukan untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan
terjadinya CMS.
3.6.2.2 Penanganan spesifik untuk komplikasi-komplikasi CMS
3.6.2.2.1 Sistem respiratorik
Komplikasi pada traktus respirasi merupakan penyebab morbiditas dan mortailitas utama
pada pasien CMS.21 Lesi yang berkatian langsung dengan fungsi pernapasan adalah lesi setingkat
C5 keatas, sedangkan lesi pada tingkat torakal hanya mengganggu fungsi batuk dan lesi di
lumbal tidak mempengaruhi sama sekali. Pasien dengan lesi diatas C5 sebaiknya diintubasi dan
menggunakan ventilasi mekanik karena penurunan fungsi respirasi secara gradual dapat terjadi.
Fungsi respirasi harus dimonitor secara ketat dengan memeriksa saturasi oksigen, kapasitas vital
(vital capacity/VC) paru, dan analisa gas darah berkala.20 Retensi sputum umumnya terjadi dalam
beberapa hari setelah cedera diakibatkan gangguan pada fungsi batuk yang efektif, hal ini akan
menyebabkan atelectasis dan pneumonia.20,21 Chest physiotherapy, assisted cough dan latihan
nafas secara reguler dapat mencegah atelektasis dan infeksi paru.20
3.6.2.2.2 Sistem kardiovaskuler
Komplikasi utama yang krusial pada sistem kardiovaskuler akibat CMS adalah syok
neurogenik akibat dari syok spinal. Pada umumnya syok neurogenik terjadi pada lesi diatas T6
akibat hilangnya dari tonus simpatis. Hilangnya tonus tersebut menyebabkan vasodilasi dan
bradikardia yang menyebabkan hipotensi dan syok. Syok pada CMS harus dibedakan antara
hipovolemik dan neurogenik karena apabila pada syok neurogenik diberikan terlalu banyak
cairan maka akan terjadi edema paru.20,22 Tatalaksana syok neurogenik, antara lain pemberian
cairan IV, vasopressor dengan karakteristik alpha dan beta adrenergik (seperti norepinefrin,
epinefrin, dan dopamine), atropine untuk meningkatkan nadi, dan hindari hipotermia akibat
vasodilasi.22 Mean Arterial Pressure (MAP) harus ditargetkan diatas 70 mmHg, walaupun
beberapa studi menunjukan MAP > 85 mmHg memberikan prognosis yang lebih baik.
Tromboemboli merupakan salah satu komplikasi yang juga mungkin terjadi pada pasien
paraplegia/tetraplegia akibat CMS.20 Insiden emboli paru paling tinggi terjadi pada minggu ke-3
setelah cedera dan merupakan penyebab kematian paling umum pada pasien CMS yang berhasil
selamat setelah tejadinya trauma. Apabila tidak ada kontraindikasi seperti trauma kapitis atau
toraks, stocking antiembolism digunakan selama 2 minggu pertama setelah trauma dan
penggunaan antikoagulan dimulai dalam 72 jam setelah trauma selama 8-12 minggu (Low
molecular weight heparin lebih baik daripada warfarin).20,21,22
3.6.2.2.3 Sistem urologi
Setelah terjadinya CMS berat, buli-buli tidak dapat mengeluarkan urin secara spontan,
dan pasien yang tidak ditangani lebih lanjut akan menyebabkan retensio urin yang berlanjut pada
refluks urin dan gagal ginjal.20,21 Segera setibanya pasien di RS harus dilakukan pemasangan
kateter Foley. Waktu pulihnya refleks berkemih bervariasi, umumnya 6-8 minggu, tetapi bisa
sampai 1 tahun.11 Program kateterisasi intermiten dimulai saat fase subakut, ketika intake dan
output cairan mulai stabil. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi saluran kemih.
Namun bila kateter Foley dilepas terlalu dini, dapat terjadi kerusakan otot detrusor dan refluks
karena tekanan pengisian buli-buli yang tinggi. Komplikasi CMS pada saluran kemih adalah
terjadinya infeksi saluran kemih (ISK).21 ISK simptomatik yang disertai demam, leukositosis,
dan pyuria harus diterai dengan antibiotik yang adekuat selama 7-14 hari, sedangkan infeksi
asimtomatik tidak perlu diterapi secara rutin. Penerapan metode steril penting dilakukan untuk
pencegahan ISK.
3.6.2.2.4 Sistem gastrointestinal
Pasien dengan CMS setidaknya harus menerima cairan secara intravena selama 48 jam
karena umumnya terjadi ileus paralitik pada CMS berat.20 Pada kondisi tersebut, nasogastric
tube dipasang (NGT) dan nil per oral (NPO) dilakukan sampai bising usus kembali normal.
Total parenteral nutrition sebaiknya diberikan.11 Apabila ileus paralitik terjadi lama, distensi
abdomen terjadi dan dapat menyebabkan gangguan pergerakan diafragma. Ulkus peptikum akut
dapat terjadi dengan perdarahan atau perforasi, walaupun tidak umum terjadi, namun komplikasi
ini berbahaya. Oleh karena itu, pemberian antagonis reseptor H2 atau proton pump inhibitor
(PPI) harus dimulai secepatnya dan diberikan minimal 3 minggu setelah trauma.20,21 Evaluasi
fungsi defekasi harus dilakukan sejak dini dan penatalaksanaan dimulai secara agresif segera
setelah timbul bising usus dan motilitas usus normal. Ketinggian lesi menentukan fungsi
defekasi, antara lain lesi diatas T12 menyebabkan hiperrefleksia dan spastic dari sfingter ani,
sedangkan lesi dibawahnya menyebabkan arrefleksia dan flaccid dari sfingter tersebut.11 Metode
pengosongan usus dengan kombinasi supositoria dan stimulasi anorektal, merangsang pola
evakuasi pada kolon distal.21

3.6.2.2.5 Kulit
Ulkus dikubitus akan selalu menjadi komplikasi CMS, oleh karena itu pencegahan perlu
dilakukan sejak dini.21 Pada fase akut, pasien diposisikan miring kiri-miring kanan setiap 2 jam
untuk mencegah ulkus. Penggunaan matras busa atau air bisa membantu mengurangi tekanan
pada tonjolan tulang, namun posisi pasien harus tetap diubah tiap 2 jam.

3.6.2.2.6 Penggunaan kortikosteroid


Penggunaan kortikosteroid (terutama metilprednisolon dosis tinggi) sekarang ini
mengalami kontroversi.11 Studi yang dilaksanakan oleh NASCIS 2 (National Acute Spinal Cord
Injury Study) menunjukan pemberian metilprednisolon dosis tinggi (bolus 30 mg/kgBB dalam 15
menit kemudian dilanjutkan 5,4 mg/kgBB dalam 23 jam) yang dimulai dalam 8 jam setelah CMS
tertutup meningkatkan prognosis neurologis pasien.11,20 Studi NASCIS 3 kemudian
menambahkan bahwa terapi metilprednisolon yang dimulai dalam 3 jam setelah trauma harus
dilanjutkan selama 24 jam, sedangkan yang dimulai antara 3-8 jam pasca trauma harus
dilanjutkan selama 48 jam.11,20 Consortium for Spinal Cord Medicine tidak merekomendasikan
penggunaan neuroprotektan jenis apapun (steroid, ganglioside GM-1, gacyclidine, tirilazad dan
naloxone) karena bukti klinis peningkatan prognosis akhir belum didapatkan secara definit.22
3.6.2.3 Terapi reduksi non-operatif dan operatif
Setelah parameter sistemik sudah stabil, maka perhatian diarahkan pada stabilisasi dan
alignment dari tulang belakang dan medulla spinalis.13 Setiap CMS yang tidak stabil harus
distabilkan untuk mencegah adanya kerusakan lebih lanjut akibat pergerakan dan juga
melepaskan kompresi medulla spinalis.23 Pasien dengan CMS daerah servikal dapat ditangani
dengan menggunakan skeletal traction untuk mereduksi dislokasi, melepaskan kompresi pada
medulla spinalis pada burst fracture, dan splint tulang belakang.23 Skeletal traction untuk
mengembalikan atau mempertahankan alignment yang normal merupakan metode yang cepat
dan efektif.13 Beberapa alat yang dapat digunakan, antara lain spring-loaded tongs (Gardner-
Wells), cone, dan university of Virginia (Gambar 25 dan Gambar 26). Beban yang digunakan
tergantung adanya dislokasi atau tidak. Pada fraktur tanpa dislokasi, beban yang digunakan
umumnya 3-5 kg, sedangkan pada dislokasi digunakan peningkatan berat 4 kg setiap 30 menit
(sampai total 25 kg) dalam posisi leher dalam keadaan fleksi.23 Pasien harus diperiksa status
neurologis nya setiap peningkatan beban, dan beban traksi harus dikurangi secepatnya bila
terjadi perburukan status neurologis. Selain itu, halo traction dapat digunakan sebagai alat
alternatif dari skeletal traction

Gambar 25. Macam-macam Skeletal traction Cone (kiri), Gardner-Wells


(kanan atas), dan University of Virginia (kanan bawah).
Gambar dikutip dari: Grundy D, Swain A. Chapter 5. Early Management and
Complications II. In: Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th
edition. BMJ Publishing Group, London. 2002. p. 21-4
Gambar 26. Gardner-Wells tongs
Gambar dikutip dari: Gambar dikutip dari: Freidberg SR, Magge SN. Chapter
60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam
GJ, Baker RA. Netters Neurology. 2nd edition. Elsevier, Saunders. 2012.
p.562-71

Cedera Medulla spinalis pada daerah torakolumbal terjadi umumnya karena gaya fleksi-rotasi.23
Penanganan konservatif dapat dilakukan pada daerah tersebut yaitu dengan postural reduction di
ranjang (Gambar 27).13,23 Pada kondisi tertentu dibutuhkan fiksasi internal pada fraktur-dislokasi
yang tidak stabil untuk mencegah kerusakan medulla spinalis dan radiksnya.

Gambar 27. Penanganan konservatif pada CMS daerah torakolumbal


Gambar dikutip dari: Grundy D, Swain A. Chapter 5. Early Management and
Complications II. In: Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th
edition. BMJ Publishing Group, London. 2002. p. 21-4
Banyak kontroversi mengenai penanganan secara operatif pada pasien CMS.13 Kerusakan
pada medulla spinalis umumnya terjadi sewaktu terjadinya trauma sehingga tidak mengherankan
bahwa tidak banyak bukti perubahan fungsi neurologis yang bermakna terjadi setelah
penanganan operatif dekompresi akut dari tulang belakang. Indikasi umum dilakukan intervensi
operatif, antara lain perburukan dari defisit neurologis (indikasi absolut) yang ditunjukan dari
adanya lesi kompresi dengan menggunakan CT-Scan atau MRI, pasien dengan CMS inkomplit
yang tidak mengalami perbaikan dan hasil pencitraan menunjukan adanya lesi kompresi
(dipertimbangkan), luka terbuka akibat luka tembak atau tusuk untuk mengeluarkan benda asing,
dan untuk kepentingan stabilisasi (terutama karena instabilitas hebat dengan lesi inkomplit, tidak
bisa dilakukannya closed reduction, dan agar tirah baring tidak terlalu lama).13
DAFTAR PUSTAKA
1.Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In: Jones HR,
Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netters Neurology. 2nd edition. Elsevier, Saunders.
2012. p.562-71
2. National Spinal Cord Injury Statistical Center. Spinal Cord Injury Facts and Figures at a lance.
Birmingham, Alabama. 2012.
3. Baron BJ, McSherry KJ, Larson, Jr. JL, Scalea TM. Chapter 255. Spine and Spinal Cord
Trauma. In: Tintinalli JE, Stapczynski JS, Cline DM, Ma OJ, Cydulka RK, Meckler GD,
eds.Tintinallis Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide. 7th ed. New York:
McGraw-Hill; 2 011. http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=6389092.
4. Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and Descending Tracts. In: Snell RS.
Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p.
133-84
5. Gondim FAA, Gest TR. Topographic and Functional Anatomy of the Spinal Cord. Emedicine
Medscape 2013. http://emedicine.medscape/article/1148570-overview#showall
6. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape 2013.
http://emedicine.medscape.com/article/793582-overview#showall
7. Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emerg Nurse 2005; 12(9):29-
38
8. Waxman SG. Chapter 6. The Vertebral Column and Other Structures Surrounding the Spinal
Cord. In: Waxman SG, ed.Clinical Neuroanatomy. 26th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5272
9. Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic Mechanisms. Clinical
Neuropharmacol 2001;24(5):254-64
10.Gondim FAA. Spinal Cord Trauma and Related Diseases. Emedicine Medscape 2013.
http://emedicine.medscape.com/article/1149070-overview#a0199
11. Derwenskus J, Zaidat OO. Chapter 23. Spinal Cord Injury and Related Diseases. In: Suarez
JI. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey. Humana Press. 2004. p.417-32
12. Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Diseases of the Spinal Cord. In: Ropper AH, Samuels
MA, eds.Adams and Victors Principles of Neurology. 9th ed. New York: McGraw-Hill;
2009. http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=3640625.
13. Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH. Essential Neurosurgery. 3rd Edition.
Victoria, Blackwell Publishing. 2005. p. 225-33
14. Kirshblum et al. International standards for neurological classification of spinal cord injury
(Revised 2011). J Spinal Cord Med 2011;34(6):535-46
15. Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization, and Overview of Spinal Cord
Syndromes. Continuum: Lifelong Learning Neurol 2008;14(3):11
16. Bill II CH, Harkins VL. Chapter 29. Spinal Cord Injuries. In:Shah SM, Kelly KM. Principles
And Practice of Emergency Neurology. Cambridge University Press, New York. 2003 p.286-
303
17. Stiell et al. The Canadian C-Spine Rule versus the NEXUS Low-Risk Criteria in Patients
with Trauma. N Eng J Med 2003;349:2510-8
18. Grundy D, Swain A, Morris A. Chapter 3. Radiological Investigations. In: Grundy D, Swain
A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ Publishing Group, London. 2002. p. 11-6
19. Castellano JM. Prehospital Management of Spinal Cord Injuries. Emergencias 2007; 19:25-
31
20. Swain A, Grundy D. Chapter 4. Early Management and Complications I In: Grundy D,
Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ Publishing Group, London. 2002. p.
17-20
21. Wahjoepramono EJ. Medula Spinalis dan Tulang Belakang. Fakultas Kedokteran Universitas
Pelita Harapan, Lippo Karawaci. 2007. p. 131-56
22. Consortium for Spinal Cord Medicine. Early Acute Management in Adults with Spinal Cord
Injury: A Clinical Practice Guideline for Health-Care Providers. J Spinal Cord Med
2008;31(4):408-79
23. Grundy D, Swain A. Chapter 5. Early Management and Complications II. In: Grundy D,
Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ Publishing Group, London. 2002. p.
21-4

Anda mungkin juga menyukai