Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I

PENDAHULUAN

Peradangan pada konjungtiva merupakan penyakit mata yang paling sering


dijumpai di seluruh dunia. Hal tersebut disebabkan antara lain oleh karena lokasi
anatomisnya yang menyebabkan konjungtiva sering terekspos oleh berbagai macam
mikroorganisme dan faktor stress lingkungan lainnya. Beberapa mekanisme berfungsi
sebagai pelindung permukaan mata dari faktor-faktor eksternal, seperti pada lapisan film
permukaan, komponen akueus, pompa kelopak mata, dan air mata. Pertahanan
konjungtiva terutama oleh adanya tear film pada konjungtiva yang berfungsi melarutkan
kotoran dan bahan yang toksik kemudian mengalirkannya melalui saluran lakrimalis ke
meatus nasi inferior. Disamping itu tear film juga mengandung beta lysine, lisosim, IgA,
IgG yang berfungsi menghambat pertumbuhan kuman. Apabila kuman mampu
menembus pertahanan tersebut maka terjadilah proses infeksi pada konjungtiva. (Ilyas,
2008)

Boleh dikatakan masyarakat sudah sangat mengenal jenis penyakit ini. Penyakit
ini dapat menyerang semua umur. Konjungtivitis yang disebabkan oleh mikro- organisme
(terutama virus dan kuman atau campuran keduanya) ditularkan melalui kontak dan
udara. Dalam waktu 12 sampai 48 jam setelah infeksi mulai, mata menjadi merah dan
nyeri. Jika tidak diobati bisa terbentuk ulkus kornea, abses, perforasi mata bahkan
kebutaan. Untuk mengatasi konjungtivitis bisa diberikan tablet, suntikan maupun tetes
mata yang mengandung antibiotik. (Vaughan, 2010)
2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konjungtiva
2.1.1 Anatomi
Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis
yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)
dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva palpebralis
melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi
superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks
superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva
bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan
melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata
bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (Vaughan, 2010).

Gambar 2.1. Anatomi konjungtiva


2.1.2 Histologi
Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel
epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal (Junqueira, 2007). Sel-sel epitel
superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus
yang diperlukan untuk dispersi air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih
3

pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat mengandung pigmen Vaughan,


2010).
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisialis) dan satu
lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan
tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa
tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus dan
tersusun longgar pada mata (Vaughan, 2010).
2.1.3 Perdarahan dan Persarafan
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan
banyak vena konjungtiva membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang
sangat banyak (Vaughan, 2010). Konjungtiva juga menerima persarafan dari
percabangan pertama nervus V dengan serabut nyeri yang relatif sedikit
(Tortora, 2009).
2.2 Konjungtivitis
2.2.1 Definisi
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini adalah
penyakit mata yang paling umum di dunia. Karena lokasinya, konjungtiva
terpajan oleh banyak mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang
mengganggu (Vaughan, 2010). Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia
ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret
purulen kental (Hurwitz, 2009).
Jumlah agen-agen yang pathogen dan dapat menyebabkan infeksi pada mata
semakin banyak, disebabkan oleh meningkatnya penggunaan oat-obatan topical
dan agen imunosupresif sistemik, serta meningkatnya jumlah pasien dengan
infeksi HIV dan pasien yang menjalani transplantasi organ dan menjalani terapi
imunosupresif (Therese, 2002).
2.2.2 Etiologi
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti :
a. Infeksi oleh virus atau bakteri.
b. Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang.
c. Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi udara lainnya; sinar ultraviolet.
4

d. Pemakaian lensa kontak, terutama dalam jangka panjang.


2.2.3 Gejala-gejala dari konjungtivitis secara umum antara lain:
a. Hiperemia.
Mata yang memerah adalah tanda tipikal dari konjungtivitis. Injeksi
konjungtival diakibatkan karena meningkatnya pengisian pembuluh darah
konjungtival, yang muncul sebagian besar di fornik dan menghilang dalam
perjalanannya menuju ke limbus. Hiperemia tampak pada semua bentuk
konjungtivitis. Tetapi, penampakan/visibilitas dari pembuluh darah yang
hiperemia, lokasi mereka, dan ukurannya merupakan kriteria penting untuk
diferensial diagnosa. Seseorang juga dapat membedakan konjungtivitis dari
kelainan lain seperti skleritis atau keratitis berdasar pada injeksinya. Tipe-
tipe injeksi dibedakan menjadi: (Vaughan, 2010)
- Injeksi konjungtiva (merah terang, pembuluh darah yang distended
bergerak bersama dengan konjungtiva, semakin menurun jumlahnya
saat menuju ke arah limbus).
- Injeksi perikornea (pembuluh darah superfisial, sirkuler atau
cirkumcribed pada tepi limbus).
- Injeksi siliar (tidak terlihat dengan jelas, pembuluh darah berwarna
terang dan tidak bergerak pada episklera di dekat limbus).
- Injeksi komposit (sering).

Dilatasi perilimbal atau siliar menandakan inflamasi dari kornea atau


struktus yang lebih dalam. Warna yang benar-benar merah menandakan
konjungtivitis bakterial, dan penampakan merah susu menandakan
konjungtivitis alergik. Hiperemia tanpa infiltrasi selular menandakan iritasi
dari sebab fisik, seperti angin, matahari, asap, dan sebagainya, tetapi
mungkin juda didapatkan pada penyakit terkait dengan instabilitas vaskuler
(contoh, acne rosacea).
5

Gambar 2.2 Bentuk injeksi konjungtiva

b. Discharge (sekret).
Berasal dari eksudasi sel-sel radang. Kualitas dan sifat alamiah eksudat
(mukoid, purulen, berair, ropy, atau berdarah) tergantung dari etiologinya.
c. Chemosis (edema conjunctiva).
Adanya Chemosis mengarahkan kita secara kuat pada konjungtivitis alergik
akut tetapi dapat juga muncul pada konjungtivitis gonokokkal akut atau
konjungtivitis meningokokkal, dan terutama pada konjungtivitis adenoviral.
Chemosis dari konjungtiva bulbar dapat dilihat pada pasien dengan
trikinosis. Meskipun jarang, chemosis mungkin timbul sebelum adanya
infiltrasi atau eksudasi seluler gross.

Gambar 2.3 Kemosis

d. Epifora (pengeluaran berlebih air mata).


Lakrimasi yang tidak normal (illacrimation) harus dapat dibedakan dari
eksudasi. Lakrimasi biasanya mencerminkan lakrimasi sebagai reaksi dari
6

badan asing pada konjungtiva atau kornea atau merupakan iritasi toksik.
Juga dapat berasal dari sensasi terbakar atau garukan atau juga dari gatal.
Transudasi ringan juga ditemui dari pembuluh darah yang hiperemia dan
menambah aktifitas pengeluaran air mata. Jumlah pengeluaran air mata yang
tidak normal dan disertai dengan sekresi mukus menandakan
keratokonjungtivitis sika.
e. Pseudoptosis.
Kelopak mata atas seperti akan menutup, disebabkan karena adanya
infiltrasi sel-sel radang pada palpebra superior maupun karena edema pada
palpebra superior.
f. Hipertrofi folikel.
Terdiri dari hiperplasia limfoid lokal dengan lapisan limfoid dari
konjungtiva dan biasanya mengandung germinal center. Secara klinis,
folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, avaskuler putih atau abu-abu.
Pada pemeriksaan menggunakan slit lamp, pembuluh darah kecil dapat naik
pada tepi folikel dan mengitarinya. Terlihat paling banyak pada kasus
konjungtivitis viral dan pada semua kasus konjungtivitis klamidial kecuali
konjungtivitis inklusi neonatal, pada beberapa kasus konjungtivitis parasit,
dan pada beberapa kasus konjungtivitis toksik diinduksi oleh medikasi
topikal seperti idoxuridine, dipiverin, dan miotik. Folikel pada forniks
inferior dan pada batas tarsal mempunyai nilai diagnostik yang terbatas,
tetapi ketika diketemukan terletak pada tarsus(terutama tarsus superior),
harus dicurigai adanya konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik
(mengikuti medikasi topikal).

Gambar 2.4 Gambaran klinis folikel

g. Hipertrofi papiler.
7

Adalah reaksi konjungtiva non spesifik yang muncul karena konjungtiva


terikat pada tarsus atau limbus di dasarnya oleh fibril. Ketika pembuluh
darah yang membentuk substansi dari papilla (bersama dengan elemen
selular dan eksudat) mencapai membran basement epitel, pembuluh darah
tersebut akan bercabang menutupi papila seperti kerangka dari sebuah
payung. Eksudat inflamasi akan terakumulasi diantara fibril, membentuk
konjungtiva seperti sebuah gundukan. Pada kelainan yang menyebabkan
nekrosis (contoh,trakoma), eksudat dapat digantikan oleh jaringan granulasi
atau jaringan ikat. Ketika papila berukuran kecil, konjungtiva biasanya
mempunyai penampilan yang halus dan merah normal. Konjungtiva dengan
papila berwarna merah sekali menandakan kelainan disebabkan bakteri atau
klamidia (contoh, konjungtiva tarsal yang berwarna merah sekali merupakan
karakteristik dari trakoma akut). Injeksi yang ditandai pada tarsus superior,
menandakan keratokunjungtivitis vernal dan konjungtivitis giant papillary
dengan sensitivitas terhadap lensa kontak; pada tarsal inferior, gejala
tersebut menandakan keratokonjungtivitis atopik. Papila yang berukuran
besar juga dapat muncul pada limbus, terutama pada area yang secara
normal dapat terekspos ketika mata sedang terbuka (antara jam 2 dan 4 serta
antara jam 8 dan 10. Di situ gejala nampak sebagai gundukan gelatin yang
dapat mencapai kornea. Papila limbal adalah tanda khas dari
keratokonjungtivitis vernal tapi langka pada keratokonjungtivitis atopik.

Gambar 2.5 Hipertrofi papiler

h. Membran dan pseudomembran.


8

Merupakan reaksi konjungtiva terhadap infeksi berat atau konjungtivitis


toksis. Terjadi oleh karena proses koagulasi kuman/bahan toksik. Bentukan
ini terbentuk dari jaringan epitelial yang nekrotik dan kedua-duanya dapat
diangkat dengan mudah baik yang tanpa perdarahan(pseudomembran)
karena hanya merupakan koagulum pada permukaan epital atau yang
meninggalkan permukaan dengan perdarahan saat diangkat (membran)
karena merupakan koagulum yang melibatkan seluruh epitel.

Gambar 2.6 Pseudomembran yang diangkat

i. Phylctenules.
Menggambarkan manifestasi lokal pada limbus karena alergi terhadap toxin
yang dihasilkan mikroorganisme. Phlyctenules dari konjungtiva pada
mulanya terdiri dari perivaskulitis dengan pengikatan limfositik pada
pembuluh darah. Ketika berkembang menjadi ulserasi dari konjungtiva,
dasar ulkus mempunyai banyak leukosit polimorfonuklear. (Vaughan, 2010)
j. Formasi pannus.
Pertumbuhan konjungtiva atau pembuluh darah diantara lapisan Bowman
dan epitel kornea atau pada stroma yang lebih dalam. Edema stroma, yang
mana menyebabkan pembengkakan dan memisahkan lamela kolagen,
memfasilitasi terjadinya invasi pembuluh darah.
9

Gambar 2.7 Pannus pada pasien konjungtivitis

k. Granuloma.
Adalah nodus stroma konjungtiva yang meradang dengan area bulat merah
dan terdapat injeksi vaskular. Tanda ini dapat muncul pada kelainan sistemik
seperti tuberkulosis atau sarkoidosis atau mungkin faktor eksogen seperti
granuloma jahitan postoperasi atau granuloma benda asing lainnya.
Granuloma muncul bersamaan dengan bengkaknya nodus limfatikus
preaurikular dan submandibular pada kelainan seperti sindroma
okuloglandular Parinaud. (Vaughan, 2010)

Gambar 2.8 Granuloma konjungtiva dengan folikel pada sindroma okuloglandular


Parinaud.

l. Nodus limfatikus yang membengkak.


Sistem limfatik dari regio mata berjalan menuju nodus limfatikus di
preaurikular dan submandibular. Nodus limfatikus yang membengkak
mempunyai arti penting dan seringkali dihadapi sebagai tanda diagnostik
dari konjungtivitis viral.

2.3 Pembagian Konjungtivitis


10

2.3.1 Konjungtivitis Bakteri


a. Definisi
Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh
bakteri. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata
merah, sekret pada mata dan iritasi mata (James, 2005).
b. Etiologi dan Faktor resiko
Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut,
akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya
disebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N meningitidis.
Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan
Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering pada bentuk
konjungtivitis bakteri subakut adalah H influenza dan Escherichia coli,
sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi pada konjungtivitis sekunder
atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis (Jatla, 2009).
Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian mengenai
mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang lain.
Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering kontak dengan
penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi (Marlin, 2009).
c. Patofisiologi
Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti
streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada
mekanisme pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal
tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora normal
dapat terjadi karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ
sekitar ataupun melalui aliran darah (Rapuano, 2008).
Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan salah satu
penyebab perubahan flora normal pada jaringan mata, serta resistensi
terhadap antibiotik (Visscher, 2009). Mekanisme pertahanan primer
terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang meliputi konjungtiva sedangkan
mekanisme pertahanan sekundernya adalah sistem imun yang berasal dari
perdarahan konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada
lapisan air mata, mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip.
11

Adanya gangguan atau kerusakan pada mekanisme pertahanan ini dapat


menyebabkan infeksi pada konjungtiva (Amadi, 2009).
d. Gejala Klinis
Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya dijumpai
injeksi konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh. Selain itu sekret
pada kongjungtivitis bakteri biasanya lebih purulen daripada konjungtivitis
jenis lain, dan pada kasus yang ringan sering dijumpai edema pada kelopak
mata (AOA, 2010).
Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada
konjungtivitis bakteri namun mungkin sedikit kabur karena adanya sekret
dan debris pada lapisan air mata, sedangkan reaksi pupil masih normal.
Gejala yang paling khas adalah kelopak mata yang saling melekat pada pagi
hari sewaktu bangun tidur. (James, 2005).
e. Diagnosis
Pada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena mungkin
saja penyakit berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh pada
pasien yang lebih tua. Pada pasien yang aktif secara seksual, perlu
dipertimbangkan penyakit menular seksual dan riwayat penyakit pada
pasangan seksual. Perlu juga ditanyakan durasi lamanya penyakit, riwayat
penyakit yang sama sebelumnya, riwayat penyakit sistemik, obat-obatan,
penggunaan obat-obat kemoterapi, riwayat pekerjaan yang mungkin ada
hubungannya dengan penyakit, riwayat alergi dan alergi terhadap obat-
obatan, dan riwayat penggunaan lensa-kontak (Marlin, 2009).
f. Komplikasi
Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri, kecuali
pada pasien yang sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di
konjungtiva paling sering terjadi dan dapat merusak kelenjar lakrimal
aksesorius dan menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal. Hal ini dapat
mengurangi komponen akueosa dalam film air mata prakornea secara drastis
dan juga komponen mukosa karena kehilangan sebagian sel goblet. Luka
parut juga dapat mengubah bentuk palpebra superior dan menyebabkan
12

trikiasis dan entropion sehingga bulu mata dapat menggesek kornea dan
menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada kornea (Vaughan, 2010).
g. Penatalaksanaan
Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen
mikrobiologiknya. Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal
spektrum luas. Pada setiap konjungtivitis purulen yang dicurigai disebabkan
oleh diplokokus gram-negatif harus segera dimulai terapi topical dan
sistemik. Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen, sakus
konjungtivalis harus dibilas dengan larutan saline untuk menghilangkan
sekret konjungtiva (Ilyas, 2008).
2.3.2 Konjungtivitis Klamidia Trakoma
a. Definisi
Keradangan konjungtiva yang akut, subakut atau kronik yang disebabkan
oleh Chlamydia trachomatis (PDT dr soetomo)
b. Etiologi
Chlamydia trachomatis serotipe A,B,Ba, atau C. 2Infeksi ini menyebar
melalui kontak langsung dengan sekret kotoran mata penderita trakoma atau
melalui alat-alat kebutuhan sehari-hari seperti handuk, alat-alat kecantikan
dan lain-lain. Penyakit ini sangat menular dan biasanya menyerang kedua
mata.
c. Gejala dan tanda
Awalnya merupakan konjungtivitis folikular kronik pada masa kanak-kanak
yang berprogresi menjadi konjungtival scarring. Pada kasus berat, bulu
mata yang bengkok ke arah dalam timbul pada awal masa dewasa sebagai
hasil dari konungtival scarring. Abrasi yang ditimbulkan oleh bulu mata
tersebut dan defek pada tear film akan mengakibatkan scarring pada kornea,
biasanya setelah umur tiga puluh tahun. (Ilyas, 2008)
Periode inkubasinya rata-rata tujuh hari tetapi bervariasi dari lima sampai
empat belas hari. Pada anak kecil, onsetnya tidak jelan dan penyakit dapat
sembuh dengan komplikasi minimal atau tidak ada komplikasi sama sekali.
Pada dewasa, onsetnya sering subakut atau akut, dan komplikasi dapat
timbul kemudian. Pada onset, trakoma sering mirip dengan konjungtivitis
13

bakterial lainnya, tanda dan gejala biasanya terdiri dari produksi air mata
berlebih, fotofobia, nyeri, eksudasi, edema pada kelopak mata, chemosis
pada konjungtiva bulbar, hiperemia, hipertrofi papiler, folikel tarsal dan
limbal, keratitis superios, formasi pannus, dan tonjolan kecil dan nyeri dari
nodus preaurikular. (Ilyas, 2008)
Pada trakoma yang sudah benar-benar matang, juga mungkin terdapat
keratitis epitelial superior, keratitis subepitelial, pannus, atau folikel limbal
superior, dan akhirnya terbentuk peninggalan sikatrikal yang patognomonik
dari folikel tersebut, yang dikenal dengan nama Herberts pits dengan
bentuk depresi kecil dari jaringan ikat pada partemuan limbokorneal ditutupi
oleh epitel. Pannus yang terkait adalah membran fibrovaskular naik dari
limbus, dengan lengkung vaskular memanjang ke kornea. Semua tanda dari
trakoma lebih parah pada konjungtiva dan kornea superior dibandingkan
dengan bagian inferior. (Ilyas, 2008)

Gambar 2.9 Herberts pits pada trachoma


Untuk menegakkan keadaan endemik trakoma pada keluarga atau sebuah
komunitas, sejumlah anak harus mempunyai minimal dua dari tanda berikut:
2

1. Lima atau lebih folikel pada garis konjungtiva tarsal datar kelopak mata
atas.
2. Konjungtival scarring yang khas pada konjungtiva tarsal atas.
3. Folikel limbal atau sekuelnya(Herberts pits).
4. Ekstensi atau perpanjangan pembuluh darah ke arah kornea, paling
sering tampak pada limbus superior.
14

Ketika beberapa individu akan memenuhi kriteria ini, secara luas distribusi
tanda ini pada keluarga individu dan komunitas tersebut diidentifikasi
dengan trakoma. (Ilyas, 2008)
d. Klasifikasi trakoma
Untuk tujuan kontrol, WHO pada tahun 1987 telah mengembangkan metode
ringkas untuk menggambarkan penyakit Trakoma. Klasifikasi FISTO
tersebut adalah: (Ilyas, 2008)
- TF: Five or more follicles on the upper tarsal conjunctiva(Lima atau
lebih folikel pada konjungtiva tarsal atas dengan ukuran tiap-tiap
diameter folikel >0,5mm atau lebih).
- TI: Diffuse infiltration and papillary hypertrophy of the upper tarsal
conjunctiva obscuring at least 50% of the normal deep vessels(Infiltrasi
dan hipertrofi papiler yang difus pada konjungtiva tarsal atas memenuhi
setidaknya 50% pembuluh darah normal dalam).
- TS: Trachomatous conjunctival scarring(Scarring tarsal konjungtiva
mudah terlihat sebagai garis putih atau lembaran putih).
- TT: Trichiasis or entropion (Trikiasis atau enteropion ditegakkan
apabila setidaknya satu bulu mata menggosok bola mata).
- CO: Corneal opacity (Opasitas kornea ditegakkan apabila terjadi
opasitas yang terlihat pada pupil, biasanya menurunkan tajam
pengelihatan sampai kurang dari 6/18).
15

Gambar 2.10 Stadium trakoma


e. Diagnosa
Inklusi klamidia dapat diketemukan pada kerokan konjungtiva yang
diwarnai dengan pengecatan giemsa, tetapi tidak selalu ditemuka. Inklusi
muncul pada preparasi Giemsa sebagai massa sitoplasma berwarna ungu
gelap atau biru yang tampak seperti topi yang menutupi nukleus dari sel
epitel. Pengecatan antibodi fluoresensi dan tes immunoassay enzim tersedia
secara komersil dan sering dipakai secara luas pada laboratorium klinis. Tes-
16

tes tersebut dan tes baru lainnya termasuk PCR, telah menggantikan
pengecatan giemsa pada smear konjungtiva dan isolasi agen klamidia pada
kultur sel.
f. Komplikasi
Jaringan parut pada konjungtiva merupakan komplikasi yang sering timbul
dan dapat menghancurkan glandula lakrimalis dan meng-obliterasi duktula
glandula lakrimalis. Keadaan tersebut dapat mengurangi secara drastis
komponen akueus pada tear film prekorneal, dan komponen mukus film
mungkin tereduksi oleh karena hilangnya sel goblet. Jaringan parut juga
dapat menyebabkan distorsi kelopak mata atas dengan deviasi dari bulu mata
ke arah dalam (trikiasis) atau keseluruhan pinggiran kelopak
mata(enteropion), jadi bulu mata secara kontan mengabrasi kornea. Hal ini
sering menyebabkan ulserasi kornea, infeksi bakteri korneal, dan jaringan
parut kornea. (Ilyas, 2008)
g. Terapi
Perkembangan klinis yang baik dapat diperoleh dengan memberikan
tetrasiklin, 1-1,5g per hari secara oral terbagi dalam empat dosis untuk tiga
sampai empat minggu; doksisiklin, 100mg secara oral dua kali sehari selama
tiga minggu; atau eritromisin, 1g per hari dalam empat dosis terbagi untuk
tiga sampai empat minggu. Sistemik tetrasiklin tidak boleh diberikan pada
anak berumur di bawah tujuh tahun atau pada wanita hamil. Studi terakhir
pada negara berkembang telah menunjukkan azitromisin merupakan terapi
yang efektif untuk trakoma, diberikan oral 1g pada anak-anak. Karena efek
samping yang minimal dan kemudahan pemberian, antibiotik makrolid ini
telah menjadi obat pilihan untuk kampanye terapi masal.
Ointment topikal atau tetes mata, termasuk preparat sulfonamid, tetrasiklin,
eritromisin, dan rifampisin, digunakan empat kali sehari selama enam
minggu ternyata mempunyai efektivitas yang sama kuat.
Dari pertama kali terapi diberikan, efek maksimum biasanya tidak dapat
diapai untuk sepuluh samapai 12 minggu. Persistensi folikel pada tarsal atas
untuk beberapa minggu setelah pemberian terapi tidak seharusnya menjadi
pertanda kegagalan proses terapi. Koreksi pembedahan pada bulu mata yang
17

masuk ke dalam esensial untuk mencegah pembentukan jaringan parut dari


trakoma lanjut pada negara berkembang. (Ilyas, 2008)
h. Perjalanan penyakit
Jika dibiarkan, kelainan ini berjalan melewati empat tipe (McCallan, 1908):
Stadium Nama Gejala
Stadium I Trakoma insipien Folikel imatur,
hipertrofi papilar
minimal
Stadium II Trakoma Folikel matur pada
dataran tarsal atas
Stadium IIA Dengan Hipertrofi Keratitis, Folikel limbal
folikular yang menonjol
Stadium IIB Dengan Hipertrofi Aktivitas kuat dengan
papilar yang menonjol folikel matur tertimbun
dibawah hipertrofi
papilar yang hebat
Stadium III Trakoma memarut Parut pada konjungtiva
(sikatrik) tarsal atas, permulaan
trikiasis, entropion
Stadium IV Trakoma sembuh Tak aktif, tak ada
hipertrofi papilar atau
folikular, parut dalam
bermacam derajat
variasi
Gambar 2.11 stadium perjalanan penyakit pada trakoma
2.3.3 Konjungtivitis Gonore
a. Definisi
Konjungtivis gonore adalah suatu radang konjungtiva akut dan hebat dengan
sekret purulen yang disebabkan oleh kuman neisseria gonorrhoeae. (Ilyas,
2008)
b. Etiologi
18

Konjungtivis gonore disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae. (Ilyas,


2008)
c. Klasifikasi
Penyakit ini dapat mengenai bayi berumur 1 3 hari, disebut oftalmia
neonatorum, akibat infeksi jalan lahir. Dapat pula mengenai bayi berumur
lebih dari 10 hari atau pada anak-anak yang disebut konjungtivitis gonore
infantum. Bila mengenai orang dewasa biasanya disebut konjungtivitis
gonoroika adultorum. (Ilyas, 2008)
d. Patofisiologi
Konjungtiva adalah lapisan mukosa yang membentuk lapisan terluar mata.
Iritasi apapun pada mata dapat menyebabkan pembuluh darah dikonjungtiva
berdilatasi. Iritasi yang terjadi ketika mata terinfeksi menyebabkan mata
memproduksi lebih banyak air mata. Sel darah putih dan mukus yang
tampak di konjungtiva ini terlihat sebagai discharge yang tebal kuning
kehijauan. Perjalanan penyakit pada orang dewasa secara umum, terdiri atas
3 stadium :
1. Infiltratif
Berlangsung 3 4 hari, dimana palpebra bengkak, hiperemi, tegang,
blefarospasme, disertai rasa sakit. Pada konjungtiva bulbi terdapat
injeksi konjungtiva yang lembab, kemosis dan menebal, sekret serous,
kadang-kadang berdarah. Kelenjar preauikuler membesar, mungkin
disertai demam. Pada orang dewasa selaput konjungtiva lebih bengkak
dan lebih menonjol dengan gambaran hipertrofi papilar yang besar.
Gambaran ini adalah gambaran spesifik gonore dewasa. Pada umumnya
kelainan ini menyerang satu mata terlebih dahulu dan biasanya kelainan
ini pada laki-laki didahului pada mata kanannya. (Ilyas, 2008)
2. Supuratif atau purulenta
Berlangsung 2 3 minggu, berjalan tak begitu hebat lagi, palpebra masih
bengkak, hiperemis, tetapi tidak begitu tegang dan masih terdapat
blefarospasme. Sekret yang kental campur darah keluar terus-menerus.
Pada bayi biasanya mengenai kedua mata dengan sekret kuning kental,
terdapat pseudomembran yang merupakan kondensasi fibrin pada
19

permukaan konjungtiva. Kalau palpebra dibuka, yang khas adalah sekret


akan keluar dengan mendadak (memancar muncrat), oleh karenanya
harus hati-hati bila membuka palpebra, jangan sampai sekret mengenai
mata pemeriksa. (Ilyas, 2008)
3. Konvalesen (penyembuhan), hipertrofi papil.
Berlangsung 2 3 minggu, berjalan tak begitu hebat lagi, palpebra
sedikit bengkak, konjungtiva palpebra hiperemi, tidak infiltratif. Pada
konjungtiva bulbi injeksi konjungtiva masih nyata, tidak kemotik, sekret
jauh berkurang.

Pada neonatus infeksi konjungtiva terjadi pada saat berada pada jalan
kelahiran, sehingga pada bayi penyakit ini ditularkan oleh ibu yang sedang
menderita penyakit tersebut. Pada orang dewasa penyakit ini didapatkan dari
penularan penyakit kelamin sendiri. Pada neonatus, penyakit ini
menimbulkan sekret purulen padat dengan masa inkubasi antara 12 jam
hingga 5 hari, disertai perdarahan sub konjungtiva dan konjungtiva kemotik.
(Vaughan, 2010)

e. Gambaran Klinis
1. Pada bayi dan anak
Gejala subjektif : (-)
Gejala objektif : Ditemukan kelainan bilateral dengan sekret kuning
kental, sekret dapat bersifat serous tetapi kemudian menjadi kuning
kental dan purulen. Kelopak mata membengkak, sukar dibuka (gambar
1) dan terdapat pseudomembran pada konjungtiva tarsal. Konjungtiva
bulbi merah, kemotik dan tebal. (Vaughan, 2010)
20

Gambar 2.11 Konjungtivitis gonore pada bayi pada orang dewasa

Gejala subjektif :
- Rasa nyeri pada mata.
- Dapat disertai tanda-tanda infeksi umum.
- Biasanya terdapat pada satu mata. Lebih sering terdapat pada laki-
laki dan biasanya mengenai mata kanan.
- Gambaran klinik meskipun mirip dengan oftalmia nenatorum tetapi
mempunyai beberapa perbedaan, yaitu sekret purulen yang tidak
begitu kental. Selaput konjungtiva terkena lebih berat dan menjadi
lebih menonjol, tampak berupa hipertrofi papiler yang besar (gambar
2). Pada orang dewasa infeksi ini dapat berlangsung berminggu-
minggu. (Ilyas, 2008)

Gambar 2.12 Konjungtivitis gonore pada bayi Sumber: Ilyas, Sidarta. Atlas Ilmu
Penyakit Mata. Sagung Seto, Jakarta: 2001.

f. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan sediaan langsung
sekret dengan pewarnaan gram atau Giemsa untuk mengetahui kuman
penyebab dan uji sensitivitas untuk perencanaan pengobatan.
Untuk diagnosis pasti konjungtivitis gonore dilakukan pemeriksaan sekret
dengan pewarnaan metilen biru, diambil dari sekret atau kerokan
konjungtiva. Pada pemeriksaan dapat dilihat diplokok yang intraseluler sel
epitel dan lekosit, disamping diplokok ekstraseluler yang menandakan
21

bahwa proses sudah berjalan menahun. Morfologi dari gonokok sama


dengan meningokok, untuk membedakannya dilakukan tes maltose, dimana
gonokok memberikan test maltose (-). Sedang meningokok test maltose (+).
Bila pada anak didapatkan gonokok (+), maka kedua orang tua harus
diperiksa. Jika pada orang tuanya ditemukan gonokok, maka harus segera
diobati. (Ilyas, 2008)
g. Pencegahan
1. Skrining dan terapi pada perempuan hamil dengan penyakit menular
seksual.
2. Secara klasik diberikan obat tetes mata AgNO3 1% Segera sesudah lahir
(harus diperhatikan bahwa konsentrasi AgNO3 tidak melebihi 1%).
3. Cara lain yang lebih aman adalah pembersihan mata dengan solusio
borisi dan pemberian kloramfenikol salep mata.
4. Operasi caesar direkomendasikan bila ibu mempunyai lesi herpes aktif
saat melahirkan.
5. Antibiotik, diberikan intravena, bisa diberikan pada neonatus yang lahir
dari ibu dengan gonore yang tidak diterapi. (Vaughan, 2010)
h. Penatalaksanaan
1. Pengobatan dimulai bila terlihat pada pewarnaan Gram positif diplokok
batang intraseluler dan sangat dicurigai konjungtivitis gonore.
2. Pasien dirawat dan diberi pengobatan dengan penicillin, salep dan
suntikan, pada bayi diberikan 50.000 U/kgBB selama 7 hari.
3. Sekret dibersihkan dengan kapas yang dibasahi air bersih (direbus) atau
dengan garam fisiologik setiap jam, kemudian diberi salep penisillin
setiap jam. Penisillin tetes mata dapat diberikan dalam bentuk larutan
penisillin (caranya : 10.000 20.000 unit/ml) setiap 1 menit sampai 30
menit. Kemudian salep diberikan setiap 5 menit selama 30 menit.,
disusul pemberian salep penisillin setiap 1 jam selama 3 hari.
4. Antibiotika sistemik diberikan sesuai dengan pengobatan gonokok.
5. Pengobatan diberhentikan bila pada pemeriksan mikroskopik yang
dibuat setiap hari menghasilkan 3 kali berturut-turut negatif.
22

6. Pada pasien yang resisten terhadap penicillin dapat diberikan


cefriaksone (Rocephin) atau Azithromycin (Zithromax) dosis tinggi.
(Ilyas, 2008)
2.3.4 Konjungtivitis Virus
a. Definisi
Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan oleh
berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat
menimbulkan cacat hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan
dapat berlangsung lebih lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan,
2010).
b. Etiologi dan Faktor
Resiko Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi
adenovirus adalah virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan
herpes simplex virus yang paling membahayakan. Selain itu penyakit ini
juga dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster, picornavirus (enterovirus
70, Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency virus (Scott,
2010).
Penyakit ini sering terjadi pada orang yang sering kontak dengan penderita
dan dapat menular melalu di droplet pernafasan, kontak dengan benda-
benda yang menyebarkan virus (fomites) dan berada di kolam renang yang
terkontaminasi (Ilyas, 2008).
c. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada setiap
jenis konjungtivitis ataupun mikroorganisme penyebabnya (Hurwitz, 2009).
Mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit ini dijelaskan pada
etiologi.
d. Gejala Klinis
Pada keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh adenovirus
biasanya dijumpai demam dan mata seperti kelilipan, mata berair berat dan
kadang dijumpai pseudomembran. Selain itu dijumpai infiltrat subepitel
kornea atau keratitis setelah terjadi konjungtivitis dan bertahan selama lebih
dari 2 bulan (Vaughan & Asbury, 2010). Pada konjungtivitis ini biasanya
23

pasien juga mengeluhkan gejala pada saluran pernafasan atas dan gejala
infeksi umum lainnya seperti sakit kepala dan demam (Senaratne & Gilbert,
2005).
Pada konjungtivitis herpetic yang disebabkan oleh virus herpes simpleks
(HSV) yang biasanya mengenai anak kecil dijumpai injeksi unilateral,
iritasi, sekret mukoid, nyeri, fotofobia ringan dan sering disertai keratitis
herpes.
Konjungtivitis hemoragika akut yang biasanya disebabkan oleh enterovirus
dan coxsackie virus memiliki gejala klinis nyeri, fotofobia, sensasi benda
asing, hipersekresi airmata, kemerahan, edema palpebra dan perdarahan
subkonjungtiva dan kadang-kadang dapat terjadi kimosis (Scott, 2010).
e. Diagnosis
Diagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung etiologinya,
karena itu diagnosisnya difokuskan pada gejala-gejala yang membedakan
tipe-tipe menurut penyebabnya. Dibutuhkan informasi mengenai, durasi dan
gejala-gejala sistemik maupun ocular, keparahan dan frekuensi gejala,
faktor-faktor resiko dan keadaan lingkungan sekitar untuk menetapkan
diagnosis konjungtivitis virus (AOA, 2010). Pada anamnesis penting juga
untuk ditanyakan onset, dan juga apakah hanya sebelah mata atau kedua
mata yang terinfeksi (Gleadle, 2007).
Konjungtivitis virus sulit untuk dibedakan dengan konjungtivitis bakteri
berdasarkan gejala klinisnya dan untuk itu harus dilakukan pemeriksaan
lanjutan, tetapi pemeriksaan lanjutan jarang dilakukan karena menghabiskan
waktu dan biaya (Hurwitz, 2009).
f. Komplikasi
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti
blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya
pseudomembran, dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan
keterlibatan kornea serta timbul vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).
g. Penatalaksanaan
Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada orang
dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi,
24

namun antivirus topikal atau sistemik harus diberikan untuk mencegah


terkenanya kornea (Scott, 2010). Pasien konjungtivitis juga diberikan
instruksi hygiene untuk meminimalkan penyebaran infeksi (James, 2005).

Konjungtivitis Folikuler Virus Akut

a. Demam Faringokonjungtival
1. Tanda dan gejala
Demam Faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,5-40C, sakit
tenggorokan, dan konjungtivitis folikuler pada satu atau dua mata.
Folikuler sering sangat mencolok pada kedua konjungtiva dan pada
mukosa faring. Mata merah dan berair mata sering terjadi, dan kadang-
kadang sedikit kekeruhan daerah subepitel. Yang khas adalah
limfadenopati preaurikuler (tidak nyeri tekan). (Ilyas, 2008)
2. Laboratorium
Demam faringokonjungtival umumnya disebabkan oleh adenovirus tipe
3 dan kadang kadang oleh tipe 4 dan 7. Virus itu dapat dibiakkan dalam
sel HeLa dan ditetapkan oleh tes netralisasi. Dengan berkembangnya
penyakit, virus ini dapat juga didiagnosis secara serologic dengan
meningkatnya titer antibody penetral virus. Diagnosis klinis adalah hal
mudah dan jelas lebih praktis. Kerokan konjungtiva terutama
mengandung sel mononuclear, dan tak ada bakteri yang tumbuh pada
biakan. Keadaan ini lebih sering pada anak-anak daripada orang dewasa
dan sukar menular di kolam renang berchlor.
3. Terapi
Tidak ada pengobatan spesifik. Konjungtivitisnya sembuh sendiri,
umumnya dalam sekitar 10 hari. (Ilyas, 2008)
b. Keratokonjungtivitis Epidemika
1. Tanda dan gejala
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya sering
pada satu mata saja, dan biasanya mata pertama lebih parah. Pada
awalnya pasien merasa ada infeksi dengan nyeri sedang dan berair mata,
kemudian diikuti dalam 5-14 hari oleh fotofobia, keratitis epitel, dan
25

kekeruhan subepitel bulat. Sensai kornea normal. Nodus preaurikuler


yang nyeri tekan adalah khas. Edema palpebra, kemosis, dan hyperemia
konjungtiva menandai fase akut. Folikel dan perdarahan konjungtiva
sering muncul dalam 48 jam. Dapat membentuk pseudomembran dan
mungkin diikuti parut datar atau pembentukan symblepharon. (Ilyas,
2008)
Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan
subepitel terutama terdapat di pusat kornea, bukan di tepian, dan
menetap berbulan-bulan namun menyembuh tanpa meninggalkan parut.
Keratokonjungtiva epidemika pada orang dewasa terbatas pada bagian
luar mata. Namun, pada anak-anak mungkin terdapat gejala sistemik
infeksi virus seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media, dan diare.
2. Laboratorium
Keratokonjungtiva epidemika disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, 29,
dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia). Virus-virus ini dapat
diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan tes netralisasi.
Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuclear primer;
bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat banyak neutrofil.
3. Penyebaran
Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering terjadi
melalui jari-jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata yang kurang
steril, atau pemakaian larutan yang terkontaminasi. Larutan mata,
terutama anestetika topical, mungkin terkontaminasi saat ujung penetes
obat menyedot materi terinfeksi dari konjungtiva atau silia. Virus itu
dapat bertahan dalam larutan itu, yang menjadi sumber penyebaran.
4. Terapi
Sekarang ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin akan
mengurangi beberapa gejala. kortikosteroid selama konjungtivitis akut
dapat memperpanjang keterlibatan kornea sehingga harus dihindari.
Agen antibakteri harus diberikan jika terjadi superinfeksi bacterial.
(Ilyas, 2008)
c. Konjungtivitis Virus Herpes Simpleks
26

1. Tanda dan gejala


Konjungtivitis virus herpes simplex biasanya merupakan penyakit anak
kecil, adalah keadaan yang luar biasa yang ditandai pelebaran pembuluh
darah unilateral, iritasi, bertahi mata mukoid, sakit, dan fotofobia ringan.
Pada kornea tampak lesi-lesi epithelial tersendiri yang umumnya
menyatu membentuk satu ulkus atau ulkus-ulkus epithelial yang
bercabang banyak (dendritik). Konjungtivitisnya folikuler. Vesikel
herpes kadang-kadang muncul di palpebra dan tepian palpebra, disertai
edema hebat pada palpebra. Khas terdapat sebuah nodus preaurikuler
yang terasa nyeri jika ditekan. (Ilyas, 2008)
2. Laboratorium
Tidak ditemukan bakteri di dalam kerokan atau dalam biakan. Jika
konjungtivitisnya folikuler, reaksi radangnya terutama mononuclear,
namun jika pseudomembran, reaksinya terutama polimorfonuklear
akibat kemotaksis dari tempat nekrosis. Inklusi intranuklear tampak
dalam sel konjungtiva dan kornea, jika dipakai fiksasi Bouin dan pulasan
Papanicolaou, tetapi tidak terlihat dengan pulasan Giemsa.
Ditemukannya sel sel epithelial raksasa multinuclear mempunyai nilai
diagnostic. (Vaughan, 2010)
3. Terapi
Jika konjungtivitis terdapat pada anak di atas 1 tahun atau pada orang
dewasa, umunya sembuh sendiri dan mungkin tidak perlu terapi.
Namun, antivirus local maupun sistemik harus diberikan untuk
mencegah terkenanya kornea. Antivirus topical sendiri harus diberikan
7 10 hari: trifluridine setiap 2 jam sewaktu bangun atau salep vida
rabine lima kali sehari, atau idoxuridine 0,1 %, 1 tetes setiap jam
sewaktu bangun dan 1 tetes setiap 2 jam di waktu malam. Keratitis
herpes dapat pula diobati dengan salep acyclovir 3% lima kali sehari
selama 10 hari atau dengan acyclovir oral, 400 mg lima kali sehari
selama 7 hari. (Vaughan, 2010)
Penggunaan kortikosteroid dikontraindikasikan, karena makin
memperburuk infeksi herpes simplex dan mengkonversi penyakit dari
27

proses sembuh sendiri yang singkat menjadi infeksi yang sangat panjang
dan berat.
d. Konjungtivitis Hemoragika Akut
1. Epidemiologi
Semua benua dan kebanyakan pulau di dunia pernah mengalami
epidemic besar konjungtivitis konjungtivitis hemoregika akut ini.
Pertama kali diketahui di Ghana dalam tahun 1969. Konjungtivitis ini
disebabkan oleh coxackie virus A24. Masa inkubasi virus ini pendek (8-
48 jam) dan berlangsung singkat (5-7 hari). (Ilyas, 2008)
2. Tanda dan Gejala
Mata terasa sakit, fotofobia, sensasi benda asing, banyak mengeluarkan
air mata, merah, edema palpebra, dan hemoragi subkonjungtival.
Kadang-kadang terjadi kemosis. Hemoragi subkonjungtiva umumnya
difus, namun dapat berupa bintik-bintik pada awalnya, dimulai di
konjungtiva bulbi superior dan menyebar ke bawah. Kebanyaka pasien
mengalami limfadenopati preaurikuler, folikel konjungtiva, dan keratitis
epithelial. Uveitis anterior pernah dilaporkan, demam, malaise, mialgia,
umum pada 25% kasus. (Ilyas, 2008)
3. Penyebaran
Virus ini ditularkan melalui kontak erat dari orang ke orang dan oleh
fomite seperti sprei, alat-alat optic yang terkontaminasi, dan air.
Penyembuhan terjadi dalam 5-7 hari
4. Terapi
Tidak ada pengobatan yang pasti.
Konjungtivitis Virus Menahun
a. Blefarokonjungtivitis Molluscum Contagiosum
Sebuah nodul molluscum pada tepian atau kulit palpebra dan alis mata dapat
menimbulkan konjungtivitis folikuler menahun unilateral, keratitis superior,
dan pannus superior, dan mungkin menyerupai trachoma. Reaksi radang
yang mononuclear (berbeda dengan reaksi pada trachoma), dengan lesi
bulat, berombak, putih mutiara, non-radang dengan bagian pusat, adalah
khas molluscum kontagiosum. Biopsy menampakkan inklusi sitoplasma
28

eosinofilik, yang memenuhi seluruh sitoplasma sel yang membesar,


mendesak inti ke satu sisi. Eksisi, insisi sederhana nodul yang
memungkinkan darah tepi memasukinya, atau krioterapi akan
menyembuhkan konjungtivitisnya.
b. Blefarokonjungtivitis Varicella-Zoster
1. Tanda dan gejala
Hyperemia dan konjungtivitis infiltrate disertai dengan erupsi vesikuler
khas sepanjang penyebaran dermatom nervus trigeminus cabang
oftalmika adalah khas herpes zoster. Konjungtivitisnya biasanya papiler,
namun pernah ditemukan folikel, pseudomembran, dan vesikel
temporer, yang kemudian berulserasi. Limfonodus preaurikuler yang
nyeri tekan terdapat pada awal penyakit. parut pada palpebra, entropion,
dan bulu mata salah arah adalah sekuele. (Ilyas, 2008)
2. Laboratorium
Pada zoster maupun varicella, kerokan dari vesikel palpebra
mengandung sel raksasa dan banyak leukosit polimorfonuklear; kerokan
konjungtiva pada varicella dan zoster mengandung sel raksasa dan
monosit. Virus dapat diperoleh dari biakan jaringan sel sel embrio
manusia.
3. Terapi
Acyclovir oral dosis tinggi (800 mg oral lima kali sehari selama 10 hari),
jika diberi pada awal perjalanan penyakit, agaknya akan mengurangi dan
menghambat penyakit. (Ilyas, 2008)
c. Keratokonjungtivitis Morbilli
1. Tanda dan gejala
Pada awal penyakit, konjungtiva tampak mirip kaca yang aneh, yang
dalam beberapa hari diikuti pembengkakan lipatan semiluner. Beberapa
hari sebelum erupsi kulit, timbul konjungtivitis eksudatif dengan secret
mukopurulen, dan saat muncul erupsi kulit, timbul bercak-bercak Koplik
pada konjungtiva dan kadang-kadang pada carunculus. (Voughan, 2010)
Pada pasien imunokompeten, keratokonjungtivitis campak hanya
meninggalkan sedikit atau sama sekali tanpa sekuel, namun pada pasien
29

kurang gizi atau imunokompeten, penyakit mata ini seringkali disertai


infeksi HSV atau infeksi bacterial sekunder oleh S pneumonia, H
influenza, dan organism lain. Agen ini dapat menimbulkan
konjungtivitis purulen yang disertai ulserasi kornea dan penurunan
penglihatan yang berat. Infeksi herpes dapat menimbulkan ulserasi
kornea berat dengan perforasi dan kehilangan penglihatan pada anak-
anak kurang gizi di Negara berkembang. (Vaughan, 2010)
Kerokan konjungtivitis menunjukkan reaksi sel mononuclear, kecuali
jika ada pseudomembran atau infeksi sekunder. Sedian terpulas giemsa
mengandung sel-sel raksasa. Karena tidak ada terapi spesifik, hanya
tindakan penunjang saja yang dilakukan, kecuali jika ada infeksi
sekunder. (Ilyas, 2008)
2.3.5 Konjungtivitis Alergi
a. Definisi
Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering dan
disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh
sistem imun (Cuvillo et al, 2009). Reaksi hipersensitivitas yang paling
sering terlibat pada alergi di konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe
1 (Majmudar, 2010).
b. Etiologi dan Faktor Resiko
Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis
alergi musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang biasanya
dikelompokkan dalam satu grup, keratokonjungtivitis vernal,
keratokonjungtivitis atopik dan konjungtivitis papilar raksasa (Vaughan,
2010).
Etiologi dan faktor resiko pada konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai
dengan subkategorinya. Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan
tumbuh-tumbuhan biasanya disebabkan oleh alergi tepung sari, rumput,
bulu hewan, dan disertai dengan rinitis alergi serta timbul pada waktu-waktu
tertentu. Vernal konjungtivitis sering disertai dengan riwayat asma, eksema
dan rinitis alergi musiman. Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien dengan
30

riwayat dermatitis atopic, sedangkan konjungtivitis papilar rak pada


pengguna lensa-kontak atau mata buatan dari plastik (Asokan, 2007).
c. Gejala Klinis
Gejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan sub-
kategorinya. Pada konjungtivitis alergi musiman dan alergi tumbuh-
tumbuhan keluhan utama adalah gatal, kemerahan, air mata, injeksi ringan
konjungtiva, dan sering ditemukan kemosis berat. Pasien dengan
keratokonjungtivitis vernal sering mengeluhkan mata sangat gatal dengan
kotoran mata yang berserat, konjungtiva tampak putih susu dan banyak
papila halus di konjungtiva tarsalis inferior.
Sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia
merupakan keluhan yang paling sering pada keratokonjungtivitis atopik.
Ditemukan jupa tepian palpebra yang eritematosa dan konjungtiva tampak
putih susu. Pada kasus yang berat ketajaman penglihatan menurun,
sedangkan pada konjungtiviitis papilar raksasa dijumpai tanda dan gejala
yang mirip konjungtivitis vernal (Vaughan, 2010).
d. Diagnosis
Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta
observasi pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis
alergi. Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah
rasa gatal pada mata, yang mungkin saja disertai mata berair, kemerahan dan
fotofobia (Weissman, 2010).
e. Komplikasi
Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea
dan infeksi sekunder (Jatla, 2009).
f. Penatalaksanaan
Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin
topikal dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal
jangka pendek untuk meredakan gejala lainnya (Vaughan, 2010).
- Reaksi Hipersensitivitas Humoral Langsung
a. Konjungtivitis Demam Jerami (Hay Fever)
1. Tanda dan gejala
31

Radang konjungtivitis non-spesifik ringan umumnya menyertai demam


jerami (rhinitis alergika). Bianya ada riwayat alergi terhadap tepung sari,
rumput, bulu hewan, dan lainnya. Pasien mengeluh tentang gatal-gatal,
berair mata, mata merah, dan sering mengatakan bahwa matanya seakan-
akan tenggelam dalam jaringan sekitarnya. Terdapat sedikit
penambahan pembuluh pada palpebra dan konjungtiva bulbi, dan selama
serangan akut sering terdapat kemosis berat (yang menjadi sebab
tenggelamnya tadi). Mungkin terdapat sedikit tahi mata, khususnya
jika pasien telah mengucek matanya.
2. Laboratorium
Sulit ditemukan eosinofil dalam kerokan konjungtiva
3. Terapi
Meneteskan vasokonstriktor local pada tahap akut (epineprin, larutan
1:1000 yang diberikan secara topical, akan menghilangkan kemosis dan
gejalanya dalam 30 menit). Kompres dingin membantu mengatasi gatal-
gatal dan antihistamin hanya sedikit manfaatnya. Respon langsung
terhadap pengobatan cukup baik, namun sering kambuh kecuali anti-
gennya dapat dihilangkan.
b. Konjungtivitis Vernalis
1. Definisi
Penyakit ini, juga dikenal sebagai catarrh musim semi dan
konjungtivitis musiman atau konjungtivitis musim kemarau, adalah
penyakit alergi bilateral yang jarang.1,3 Penyakit ini lebih jarang di
daerah beriklim sedang daripada di daerah dingin. Penyakit ini hamper
selalu lebih parah selama musim semi, musim panas dan musim gugur
daripada musim gugur.
2. Insiden
Biasanya mulai dalam tahun-tahun prapubertas dan berlangsung 5 10
tahun. Penyakit ini lebih banyak pada anak laki-laki daripada
perempuan.
3. Tanda dan gejala
32

Pasien mengeluh gatal-gatal yang sangat dan bertahi mata berserat-serat.


Biasanya terdapat riwayat keluarga alergi (demam jerami, eczema, dan
lainnya). Konjungtiva tampak putih seperti susu, dan terdapat banyak
papilla halus di konjungtiva tarsalis inferior. Konjungtiva palpebra
superior sering memiliki papilla raksasa mirip batu kali. Setiap papilla
raksasa berbentuk polygonal, dengan atap rata, dan mengandung berkas
kapiler. (Ilyas, 2008)
4. Laboratorium
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak
eosinofil dan granula eosinofilik bebas. (Ilyas, 2008)
5. Terapi
Penyakit ini sembuh sendiri tetapi medikasi yang dipakai terhadap gejala
hanya member hasil jangka pendek, berbahaya jika dipakai untuk jangka
panjang. steroid sisremik, yang mengurangi rasa gatal, hanya sedikit
mempengharuhi penyakit kornea ini, dan efek sampingnya (glaucoma,
katarak, dan komplikasi lain) dapat sangat merugikan.
Crmolyn topical adalah agen profilaktik yang baik untuk kasus sedang
sampai berat. Vasokonstriktor, kompres dingin dan kompres es ada
manfaatnya, dan tidur di tempat ber AC sangat menyamankan pasien.
Agaknya yang paling baik adalah pindah ke tempat beriklim sejuk dan
lembab. Pasien yang melakukan ini sangat tertolong bahkan dapat
sembuh total. (Ilyas, 2008)
c. Konjungtivitis Atopik
1. Tanda dan gejala
Sensasi terbakar, bertahi mata berlendir, merah, dan fotofobia. Tepian
palpebra eritemosa, dan konjungtiva tampak putih seperti susu. Terdapat
papilla halus, namun papilla raksasa tidak berkembang seperti pada
keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering terdapat di tarsus inferior.
Berbeda dengan papilla raksasa pada keratokonjungtivitis vernal, yang
terdapat di tarsus superior. Tanda-tanda kornea yang berat muncul pada
perjalanan lanjut penyakit setelah eksaserbasi konjungtivitis terjadi
berulangkali. Timbul keratitis perifer superficial yang diikuti dengan
33

vaskularisasi. Pada kasus berat, seluruh kornea tampak kabur dan


bervaskularisasi, dan ketajaman penglihatan. (Ilyas, 2008)
Biasanya ada riwayat alergi (demam jerami, asma, atau eczema) pada
pasien atau keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita
dermatitis atopic sejak bayi. Parut pada lipatan-lipatan fleksura lipat siku
dan pergelangan tangan dan lutut sering ditemukan. Seperti
dermatitisnya, keratokonjungtivitis atopic berlangsung berlarut-larut
dan sering mengalami eksaserbasi dan remisi. Seperti
keratokonjungtivitis vernal, penyakit ini cenderung kurang aktif bila
pasien telah berusia 50 tahun.
2. Laboratorium
Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski tidak sebanyak
yang terlihat sebanyak pada keratokonjungtivitis vernal.
3. Terapi
Antihistamin oral termasuk terfenadine (60-120 mg 2x sehari),
astemizole (10 mg empat kali sehari), atau hydroxyzine (50 mg waktu
tidur, dinaikkan sampai 200 mg) ternyata bermanfaat. Obat-obat
antiradang non-steroid yang lebih baru, seperti ketorolac dan iodoxamid,
ternyata dapat mengatasi gejala pada pasien-pasien ini. Pada kasus berat,
plasmaferesis merupakan terapi tambahan. Pada kasus lanjut dengan
komplikasi kornea berat, mungkin diperlukan transplantasi kornea untuk
mengembalikan ketajaman penglihatannya. (Ilyas, 2008)
- Reaksi Hipersensitivitas Tipe Lambat
a. Phlyctenulosis
1. Definisi
Keratokonjungtivitis phlcytenularis adalah respon hipersensitivitas
lambat terhadap protein mikroba, termasuk protein dari basil tuberkel,
Staphylococcus spp, Candida albicans, Coccidioides immitis,
Haemophilus aegyptus, dan Chlamydia trachomatis serotype L1, L2,
dan L3. (Ilyas, 2008)
2. Tanda dan Gejala
34

Phlyctenule konjungtiva mulai berupa lesi kecil yang keras, merah,


menimbul, dan dikelilingi zona hyperemia. Di limbus sering berbentuk
segitiga, dengan apeks mengarah ke kornea. Di sini terbentuk pusat putih
kelabu, yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12 hari.
Phlyctenule pertama pada pasien dan pada kebanyakan kasus kambuh
terjadi di limbus, namun ada juga yang di kornea, bulbus, dan sangat
jarang di tarsus. Phlyctenule konjungtiva biasanya hanya menimbulkan
iritasi dan air mata, namun phlyctenule kornea dan limbus umumnya
disertai fotofobia hebat. Phlyctenulosis sering dipicu oleh blefaritis aktif,
konjungtivitis bacterial akut, dan defisiensi diet.
3. Terapi
Phlyctenulosis yang diinduksi oleh tuberkuloprotein dan protein dari
infeksi sistemik lain berespon secara dramatis terhadap kortikosteroid
topical. Terjadi reduksi sebagian besar gejala dalam 24 jam dan lesi
hilang dalam 24 jam berikutnya. Antibiotika topical hendaknya
ditambahkan untuk blefarikonjungtivitis stafilokokus aktif. Pengobatan
hendaknya ditujukan terhadap penyakit penyebab, dan steroid bila
efektif, hendaknya hanya dipakai untuk mengatasi gejala akut dan parut
kornea yang menetap. Parut kornea berat mungkin memerlukan
tranplantasi. (Ilyas, 2008)
2.3.6 Konjungtivitis Akibat Penyakit Autoimun:
a. Keratokonjungtivitis Sicca
Berkaitan dgn. Sindrom Sjorgen (trias: keratokonj. sika, xerostomia,
artritis).
1. Gejala:
- khas: hiperemia konjungtivitis bulbi dan gejala iritasi yang tidak
sebanding dengan tanda-tanda radang.
- Dimulai dengan konjungtivitis kataralis
- Pada pagi hari tidak ada atau hampir tidak ada rasa sakit, tetapi
menjelang siang atau malam hari rasa sakit semakin hebat.
- Lapisan air mata berkurang (uji Schirmer: abnormal)
- Pewarnaan Rose bengal uji diagnostik.
35

2. Pengobatan:
- air mata buatan
- vitamin A topikal
- obliterasi pungta lakrimal.
2.3.7 Konjungtivitis Jamur
Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan
merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya
bercak putih dan dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan
sistem imun yang terganggu. Selain Candida sp, penyakit ini juga dapat
disebabkan oleh Sporothrix schenckii, Rhinosporidium serberi, dan
Coccidioides immitis walaupun jarang (Vaughan, 2010).
2.3.8 Konjungtivitis Parasit
Konjungtivitis parasit dapat disebabkan oleh infeksi Thelazia californiensis,
Loa loa, Ascaris lumbricoides, Trichinella spiralis, Schistosoma
haematobium, Taenia solium dan Pthirus pubis walaupun jarang (Vaughan,
2010).
2.3.9 Konjungtivitis kimia atau iritatif
Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh pemajanan
substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis. Substansi-substansi iritan
yang masuk ke sakus konjungtivalis dan dapat menyebabkan konjungtivitis,
seperti asam, alkali, asap dan angin, dapat menimbulkan gejala-gejala berupa
nyeri, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan blefarospasme.
Selain itu penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian obat topikal
jangka panjang seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat lain
dengan bahan pengawet yang toksik atau menimbulkan iritasi.
Konjungtivitis ini dapat diatasi dengan penghentian substansi penyebab dan
pemakaian tetesan ringan (Vaughan, 2010).
2.3.10 Konjungtivitis lain
Selain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, jamur dan parasit, konjungtivitis
juga dapat disebabkan oleh penyakit sistemik dan penyakit autoimun seperti
penyakit tiroid, gout dan karsinoid. Terapi pada konjungtivitis yang
disebabkan oleh penyakit sistemik tersebut diarahkan pada pengendalian
36

penyakit utama atau penyebabnya (Vaughan, 2010). Konjungtivitis juga bisa


terjadi sebagai komplikasi dari acne rosacea dan dermatitis herpetiformis
ataupun masalah kulit lainnya pada daerah wajah. (AOA, 2010).
37

BAB III

KESIMPULAN

Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtivitis adalah peradangan pada
konjungtiva dan penyakit ini adalah penyakit mata yang paling umum di dunia. Karena
lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak mikroorganisme dan faktor-faktor
lingkungan lain yang mengganggu (Vaughan, 2010). Gejala yang umum timbul pada
konjungtivitis adalah hiperemia, mata berair, eksudasi, pseudoptosis, hipertropi papiler
folikuler, kemosis, pseudomembran, pannus, fliktenula, granuloma. Konjungtivitis dapat
disebabkan oleh berbagai hal ,bakterial misalnya Neisseria gonorrhea, virus misalnya
adenovirus, alergi oleh karena reaksi inflamasi yang diperantarai sistem imun, jamur yang
sering disebabkan oleh candida albicans, parasit, kimia iritatif dan bisa disebabkan juga
oleh penyakit sistemik dan autoimun.

Klinik dan Sitologi Virus Bakteri Klamidia Alergi

Gatal Minim Minim Minim Hebat

Hiperemia Umum Umum Umum Umum

Eksudat Minim Mengucur Mengucur Minim

Adenopati Lazim Jarang Lazim hanya Tak ada


Preurikular Konjungtivitis
inklusi

Pewarnaan kerokan Monosit Bakteri,PMN PMN Eosinofil

Sakit tenggorakan, Kadang2 Kadang2 Tak pernah Tak pernah


panas yang
menyertai
38

DAFTAR PUSTAKA

American Optometric Association (AOA), 2010 Optometric Clinical Practice Guidelline


Asokan, N., 2007. Asthma and Immunology Care. Diplomate of American Board of
Allergy & Immunology and American Board of Pediatrics. Available from:
http://www.trinityallergy.com/md-natarajan-asokan-trinity-allergy-asthma
immunology-kingman-az.htm.
Cuvillo, A del., et al., 2009. Allergic Conjunctivitis and H1 Antihistamines. J investing
Allergol Clin Immunol 2009; Vol. 19. Suppl. 1: 11-18.
Hurwitz, S.A., Antibiotics Versus Placebo for Acute Bacterial Conjunctivitis. The
Cochrane Collaboration. Available at : http://www.thecochranelibrary.
com/userfiles/ccoch/file//CD001211.pdf
Ilyas, S., 2008. Kelainan Adneksa dan Kelopak Mata. Dalam: Ilyas, S. (ed).
Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 44.
Ilyas, Sidarta. DSM. Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 2008.
James, B., Chew, C., Bron, A., 2005. Konjungtiva, Kornea, dan Sklera. Dalam: Bruce,
J., et al. (eds). Lecture Notes Oftalmologi. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Erlangga, 6-
66.
Jatla, K.K., 2009. Neonatal Conjunctivitis. University of Colorado Denver Health Science
Center. Available at: http://emedicine.medscape.com/ article/1192190-overview.
Junqueira, L.C., Carneiro, J., 2007. Sistem Fotoreseptor dan Audioreseptor. Dalam:
Junqueira, L.C., Carneiro, J (ed). Histologi Dasar: Text & Atlas. Edisi 10.
Jakarta: EGC, 463.
Majmudar, P.A., 2010. Allergic Conjunctivitis. Rush-Presbyterian-St Lukes Medical
Center. Available from: http://emedicine.medscape.com/ article/1191467-
overview.
Marlin, D.S., 2009. Bacterial Conjunctivitis. Penn State College of Medicine. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview.
Rapuano, C.J., et al., 2008. Conjunctivitis. American Academy of Ophthalmology.
Available from: http://one.aao.org/asset.axd.
RSUD dr.Soetomo Surabaya. 2006. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Pedoman Diagnosis
dan Terapi Edisi III. Surabaya : RSUD dr. Soetomo Surabaya
Scott, I.U., 2010. Viral Conjunctivitis. Departement of Opthalmology and Public Health
Sciences: Available from: http://emedicine.medscape.com/article/ 1191370-
overview.
Senaratne, T., Gilbert, C., 2005. Conjunctivitis Primary Eye Care. Community Eye
Health Journal. Available from: http://www.cehjournal.org/download/
ceh_18_53_073.pdf.
39

Therese, L.K., 2002. Microbiological Procedures for Diagnosis of Ocular Infection.


Available from:http://www.ijmm.org/documents/ocular.pdf.
Tortora, G.J., Derrickson, B.H., 2009. The Special Senses. In: Tortora, Gerard J.,
Derrickson, Bryan H. (eds). Principles of Anatomy and Physiology. 12th edition.
New York: John Wiley & Sons, Inc, 605-611.
Visscher, K.L., et al., 2009. Evidence-based Treatment of Acute Infective
Conjunctivitis. Canadian Family Physician. Available from:
http://171.66.125.180/content/55/11/1071.short.
Weissman, B.A., 2008. Giant Papillary Conjunctivitis. University of California at Los
Angeles. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/ 1191641-
overview.

Anda mungkin juga menyukai