Anda di halaman 1dari 1

Wacana CL 1

Fenomena Alam: Tanpa Batas

Berikut sekelumit catatan penyintas tragedi megaletusan Gunung Krakatau, 130 tahun lalu.
Tanggal 26-27 Agustus 1883, peristiwa letusan Gunung Krakatau terjadi. Letusan pertama terjadi pukul
12.53 Minggu 26 Agustus 1883. Letusan berlanjut dengan energi semakin besar pada Senin 27 Agustus
1883 mulai pukul 05.30 hingga malam hari. Letusan tersebut mengakibatkan tsunami di sepanjang garis
pantai Jawa dan Sumatera, dan mengakibatkan 36.000 penduduk tewas. Sejarah vulkanologi Gunung
Krakatau mengajarkan kepada kita proses alam yang terjadi, sejak pembentukan kompleks Gunung
Krakatau Besar, sampai kondisi sekarang yaitu Gunung Anak Krakatau dengan tiga pulau di sekelilingnya
yaitu Pulau Sertung, Pulau Rakata, dan Pulau Panjang. Gunung Anak Krakatau tergolong sangat aktif dan
jika dihitung dari letusan tahun 1927, setelah tenang 44 tahun, gunung itu tumbuh 3,6 meter per tahun.

Letusan gunung yang terdapat di Selat Sunda itu, berpengaruh besar terhadap dunia. Suara
letusan terdengar di sepertiga belas permukaan bumi. Selama dua hari, debu letusan jatuh di pantai
Afrika Utara. Gelombang pasang menerjang sepanjang 8.700 km, mencapai Port Elizabeth, Afrika
Selatan. Fluktuasi pasang tercatat di dalam Terusan Inggris sejauh 17.800 km. Kenaikan tekanan
atmosfer tercatat pada barometer sebesar tujuh kali di seluruh dunia dan sejumlah besar batu terapung-
apung di atas permukaan laut sepanjang tahun 1883. Letusan Krakatau pada tahun 1883, walaupun
lebih kecil dari letusan sebelumnya, menunjukkan kejadian yang paling mencekam sepanjang sejarah.

Menurut Susilohadi, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Badan
Litbang ESDM, menegaskan bahwa di Selat Sunda, terjadi peregangan. Di sana, terdapat slaver (pecahan
lempeng Eurasia). Akibat dorongan dari dari Indo-Australia ke arah utara, slaver bergerak terpisah dari
dari kerak benua Eurasia ke arah barat laut. Pergerakan slaver tersebut menjelaskan membukanya Selat
Sunda yang menjadi jalur keluar magma.

Letusan itu, memengaruhi ekosistem di Selat Sunda maupun di belahan dunia yang terkena
dampak langsung maupun tidak langsung. Tetumbuhan, hewan, dan mikroorganisme yang semula ada
di wilayah terkena letusan atau dampak letusan mati, kecuali makhluk hidup yang mampu berpindah
tempat, atau memiliki kemampuan mempertahankan diri. Keaneka ragaman, rantai makanan, jejaring
makanan, kesehatan makhluk hidup pun terpengaruh.

Fenomena alam, yang bukan akibat ulah manusia, seperti kebakaran hutan alami, gempa bumi,
gunung meletus, dan bencana-bencana lainnya perlu dikenali oleh setiap makhluk hidup di bumi ini
termasuk manusia, karena dampak bencana sangat luas dan tidak dapat dibatasi oleh manusia.
Meskipun demikian, bukan berarti fenomena alam akibat ulah manusia dan mengakibatkan
bencanaBagaimana kita menyikapi fenomena alam ini, agar seluruh makhluk hidup, termasuk manusia,
tetap dalam kondisi aman, sehat, dan sejahtera?

Diolah dari: Brigitta Isworo Laksmi, Kompas, Kamis, 29 Agustus 2013, halaman 13.

Anda mungkin juga menyukai