Anda di halaman 1dari 36

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

FAKULTAS KEDOKTERAN

Rhinosinusitis Kronik

Pembimbing :

dr. Tantri Kurniawati, M.Kes., Sp. THT-KL.

dr. Zulrafli, Sp. THT-KL

Disusun Oleh :

Felix Rico Suwandi

11 2015 344

Flxrco@gmail.com

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN

KEPALA DAN LEHER

RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG

Periode 18 Juli 2016 s/d 20 Agustus 2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat mengenai Rhinosinusitis Kronik"
guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok & Kepala Leher Fakultas Kedokteran Umum Universitas
UKRIDA di RS Bayukarta Karawang periode 18 Juli 20 Agustus 2016. Referat ini bertujuan
untuk mengetahui tentang definisi, patofisiologi, etiologi, faktor risiko, gejala klinis hingga
penatalaksanaanya.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, yakni seluruh
pembimbing di Departemen THT-KL Rumah Sakit Bayukarta Karawang, atas ilmu dan
bimbingannya selama ini, khususnya kepada dr. Tantri Kurniawati, M.Kes., Sp. THT-KL dan dr.
Zulrafli, Sp. THT-KL selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan penulis agar referat ini dapat menjadi lebih baik. Penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak terdapat kesalahan maupun kekurangan dalam
makalah ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis
sendiri maupun pembaca umumnya

Jakarta, 10 Agustus 2016

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rinosinusitis telah dikenal luas oleh masyarakat awam dan merupakan salah satu
penyakit yang sering dikeluhkan dengan berbagai tingkatan gejala klinik. Hidung dan sinus
paranasal merupakan bagian dari sistem pernafasan sehingga infeksi yang menyerang bronkus,
paru dapat juga menyerang hidung dan sinus paranasal.1
Insiden rinosinusitis di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 14,1 % dari populasi orang
dewasa. Menurut American Academy of Otolaringology kondisi ini menghabiskan langsung dana
kesehatan sebesar 3,4 milyar dolar per tahun. Kasus rinosinusitis kronis itu sendiri yang sudah
masuk data rumah sakit berjumlah 18 sampai 22 juta pasien setiap tahunnya dan kira-kira
sejumlah 200.000 orang dewasa Amerika menjalankan operasi rinosinusitis per tiap tahunnya
juga.
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada
pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat
jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan
oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data
penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-
Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien
dan 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF
(Bedah sinus endoskopik fungsional). Karena berbagai kendala dari jumlah ini hanya 60%nya
(53 kasus) yang dilakukan operasi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL

Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan
sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,
sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung.1

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal.
Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang
dari dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus
sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung.
Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun. Pada orang sehat, sinus terutama
berisi udara. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi,
dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. 1

Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. 1

Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah dasar
orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di
sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum
etmoid. 1

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:

1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi
molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga
infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita. 1
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang
baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum
adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi
pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan
sinusitus. 1

Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus,
berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus
frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum
usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada
lainnya dan dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa
hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.
Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus
frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya gambaran septumn-
septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus.
Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase
melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal adalah bagian dari sinus
etmoid anterior.1
Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada
orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian
anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.1

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang
terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan
dinding medial orbita, karenanya seringkali disebut sel-sel etmoid. Sel-sel ini jumlahnya
bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi
sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara
di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di
bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar
dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.1

Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal,
yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah
etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa.
Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari
rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatsan dengan sinus sfenoid. 1

Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid
dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalag 2 cmn tingginya,
dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid.1,2

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa,
sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan
a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan
fosa serebri posterior di daerah pons.1

Kompleks Ostio-Meatal

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit
dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di
belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila.1

Gambar 1 : Sinus Paranasal

(Sumber Mednet.2010)
1. Sinus frontal

2. Sinus etmoid anterior

3. Aliran dari sinus frontal

4. Aliran dari ethmoid

5. Sinus etmoid posterior

6. Konka media

7. Sinus sphenoid

8. Konka Inferior

9. Hard palate

Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada
yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena
terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Namun ada beberapa pendapat yang
dicetuskan mengenai fungsi sinus paranasal yakni :

1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)


Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban
udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati
pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus
tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. 1
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. 1
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan
tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna.
1

4. Membantu resonansi suara


Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada
korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah. 1
5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak misalnya pada
waktu bersin atau membuang ingus. 1

6. Membantu produksi mukus


Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan
partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus
medius, tempat yang paling strategis. 1

2. DEFINISI RHINOSINUSITIS

Rhinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus,
bakteri maupun jamur. Secara klinis rinosinusitis dapat dikategorikan sebagai rinosinusitis akut
bila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut bila
berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis bila berlangsung lebih dari 3
bulan. Rinosinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada yaitu maksilaris,
etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis
sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.2
Dari 5 guidelines yakni European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007
(EP3OS), British Society for Allergy and Clinical Immunology (BSACI) Rhinosinusitis Initiative
(RI), Joint Task Force on Practice Parameters (JTFPP), dan Clinical Practice Guidelines : Adult
Sinusitis (CPG:AS), 4 diantaranya sepakat untuk mengadopsi istilah rinosinusitis sebagai
pengganti sinusitis, sementara 1 pedoman yakni JTFFP, memilih untuk tidak menggunakan
istilah tersebut. Istilah rinosinusitis dipertimbangkan lebih tepat untuk digunakan mengingat
konka nasalis media terletak meluas secara langsung hingga ke dalam sinus ethmoid, dan efek
dari konka nasalis media dapat terlihat pula pada sinus ethmmoid anterior. Secara klinis,
inflamasi sinus (yakni, sinusitis) jarang terjadi tanpa diiringi inflamasi dari mukosa nasal di
dekatnya. Namun, para ahli yang mengadopsi istilah rinosinusitis tetap mengakui bahwa istilah
rinosinusitis maupun sinusitis sebaiknya digunakan secara bergantian, mengingat istilah
rinosinusitis baru saja digunakan secara umum dalam beberapa dekade terakhir. 2
Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusitis kronis cukup beragam. Pada era pra-antibiotik
rinosinusitis hiperplastik kronis timbul akibat rinosinusitis yang berulang dengan penyembuhan
yang tidak lengkap. Berbagai faktor fisik, kimia, saraf, hormonal dan emosional mempengaruhi
mukosa hidung. Secara umum rinosinusitis kronis lebih lazim pada iklim yang dingin dan basah.
Defisiensi gizi, kelemahan tubuh yang tidak bugar dan penyakit umum sistemik perlu
dipertimbangkan dalam etiologi rinosinusitis kronis. Perubahan dalam faktor-faktor lingkungan
misalnya dingin, panas, kelembapan dan kekeringan. Demikian pula polutan atmosfer termasuk
asap tembakau dapat merupakan faktor predisposisi. 2
Dalam daftar predisposisi umum ini harus ditambahkan paparan terhadap infeksi
sebelumnya misalnya common cold, asma ataupun penyakit alergi seperti rinitis alergika.
Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi penyakit rinosinusitis kronis
berupa deformitas rangka, alergi, gangguan geligi, benda asing dan neoplasma. 2
Etiologi rinosinusitis kronis dapat berupa virus, bakteri dan jamur dimana virus adalah
penyebab utama infeksi saluran napas atas seperti rinosinusitis. 2

2.1 Virus
Virus rinosinusitis biasanya menyerang hidung, nasofaring dan juga meluas ke sinus
termasuk didalamnya adalah rinovirus, influenza virus dan parainfluenza virus. Infeksi virus
berulang merupakan faktor resiko yang menyebabkan terjadinya rinosinusitis kronik. 2

2.2 Bakteri
Rinosinusitis kronis dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang menyebabkan
rinosinusitis akut. Namun karena rinosinusitis kronik biasanya berkaitan dengan drainase yang
tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang terganggu maka agen infeksi yang terlibat
cenderung oportunistik. Bakteri penyebab rinosinusitis kronis banyak macamnya baik anaerob
maupun yang aerob, proporsi terbesar penyebabnya adalah bakteri anaerob dan bakteri gram
negarif. Bakteri aerob yang sering ditemukan antara lain staphylococcus aureus, streptococcus
viridians, haemophilus influenzae, neisseria flavus, staphylococcus epidermidis, streptococcus
pneumonia dan escherichia coli. Sedangkan bakteri anaerob antara lain peptostreptococcus,
corynebacterium, bacteroide, dan veillonella. Infeksi campuran antara organisme aerob dan
anaerob sering kali juga terjadi. Pada kasus Rinosinusitis kronik akut eksaserbasi bakteri
penyebab yang terbanyak adalah bakteri anaerob. Bakteri gram negatif dan bakteri aerob
termasuk Pseudomonas Aeruginosa sering diisolasi pada pasien yang sudah pernah melakukan
operasi sinus. 2

2.3 Fungi
Infeksi jamur juga dapat menyebabkan rinosinusitis kronik walaupun jarang terjadi. Jamur
penyebab rinosinusitis kronik adalah Aspergillus, Cryptococcus neoformans, Candida,
Sporothrix Schhenckii, Alternaria, Misetoma. Sinusitis jamur invasif kronik biasanya terjadi
pada pasien dengan gangguan imunologik atau metabolik seperti diabetes. 2

2.4 Deviasi septum


Variasi anatomi dan proses patologi dalam hidung dan sinus paranasal telah banyak
diteliti oleh para ahli. Banyak variasi anatomi menyebabkan penyakit sinus kronis dengan
menimbulkan obstruksi pada kompleks osteomeatal (KOM) dan mempengaruhi pola transport
mukosilier. Messerklinger telah mengidentifikasi perubahan pada dinding lateral hidung dan
konka media yang merangsang perubahan pada mukosa dan penurunan aerasi sinus paranasal
dan secara signifikan meningkatkan potensi penyakit sinus. Deviasi septum merupakan variasi
anatomi yang sering ditemukan sedangkan doubel concha merupakan variasi anatomi yang
jarang ditemukan.3
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina
perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian
tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Bentuk septum
normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa biasanya septum nasi
tidak lurus sempurna di garis tengah sehingga dapat mengganggu fungsi hidung dan
menyebabkan komplikasi. Bila kejadian ini tidak menimbulkan gangguan respirasi maka tidak
dikategorikan sebagai keadaan yang patologis. Deviasi septum dapat merupakan predisposisi
obstruksi KOM yang dapat menimbulkan komplikasi rinosinusitis kronis. 3
Prosesus Unsinatus (PU) bukan hanya sebuah tonjolan pada dinding lateral kavum nasi
tetapi juga mempunyai peran penting dalam ventilasi kavum nasi dan sinus paranasal anterior
dari partikel bakteri dan alergen serta mengalirkan udara inspirasi menjauh dari sinus paranasal.
Prosesus unsinatus di anterior melekat pada aparatus lakrimalis, di inferior melekat pada konka
inferior, di posterior mempunyai batas bebas dan di superior bervariasi ke lamina papirasea,
dasar tengkorak dan konka media. Perlengketan di superior yang bervariasi ini memberikan
implikasi klinis yang berbeda. 3
Double concha adalah variasi anatomi dari prosesus unsinatus dimana PU melekuk ke
medial dan terus ke anterior sehingga dalam temuan endoskopi atau tomografi komputer
menyerupai konka media atau disebut double konka media. Beberapa literatur menggunakan
istilah yang berbeda untuk variasi anatomi PU yang melekuk ke ke medial dan terus ke anterior
ini namun istilah yang kita pakai di RS. M. Djamil ini adalah double concha seperti yang
diungkapkan oleh Stammberger. Kaufman seperti yang dikutip oleh Stammberger mengatakan
bahwa PU dapat sangat melekuk dan membentuk lipatan ke anterior sangat jauh menyerupai
pinggiran topi sehingga memberikan kesan dua konka media atau menurut istilah Kaufman
doubled middle turbinate atau double concha. Stammberger & Wolf seperti yang dikutip oleh
Pinas mengatakan bahwa pinggir bagian atas PU yang deviasi ke anterior sehingga berhubungan
dengan meatus media tampak sebagai konka media kedua (second middle concha). Deviasi PU
ke medial yang menyerupai konka media ini kadang disebut dengan istilah PU paradoks, yang
lain mengatakan sebagai konka media asesoris. Prosessus unsinatus yang membesar juga dapat
memberikan gambaran seperti konka media. 3
Deviasi PU dapat mengganggu fungsi mukosilier sehingga mengganggu ventilasi dan
drainase sinus maksila, sinus etmoid dan sinus sfenoid. Chao menemukan 1 kasus (1%) pada
100 pasien rinosinusitis kronis dengan double concha. Dua K dkk menemukan 6 % kasus (3
pasien) dari 50 pasien rinosinusitis kronis. Insiden ini sedikit lebih tinggi dari kasus yang pernah
dilaporkan Bolger (2.5%) dan Asruddin (2%) sedangkan Maru melaporkan kasus yang lebih
tinggi (9.8%). 3
Diagnosis dari variasi anatomi ini ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik
rinoskopi anterior, nasoendoskopi maupun tomografi komputer. Variasi anatomi ini hendaklah
diidentifikasi secara jelas sebelum melakukan tindakan pembedahan untuk mencegah komplikasi
operasi dan tatalaksana yang adekuat sehingga mencegah timbulnya gejala sisa ataupun
rekurensi penyakit. 3
2.5 Faktor Resiko Lain

Faktor resiko lain yang menyebabkan rinosinusitis adalah


1. Kelainan anatomik ( concha bullosa, deviasi dari proses uncinate, haller cels)
2. Rinitis alergika
3. Hipersensitifitas aspirin
4. Asthma
5. Polip nasi
6. Non alergi rinitis ( rinitis vasomotor, rinitis medica mentosa)
7. Gangguan clearens mocosiliar
8. Gangguan hormonal
9. Obstruksi yang disebabkan tumor
10. Gangguan imunologic
11. Cystic fibrosis
12. Primary ciliary dyskinesia, kartagner syndrome
13. Wegner granulomatosis infeksi saluran pernafasan atas oleh virus yang berulang
14. Merokok
15. Environtment irritans dan pollutan
16. GERD
17. Periodontitis3
3. FISIOLOGI SINUS PARANASAL

Fungsi dari sinus paranasal masih belum diketahui dengan pasti dan masih belum ada
persesuaian pendapat. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai fungsi
apa-apa karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. 4

Namun karena berhubungan langsung dengan hidung, maka sinus dapat membantu
resonansi suara, penciuman, membersihkan, menghangatkan, melembabkan udara inspirasi dan
merubah udara pernafasan. Kebanyakan penulis masih ragu-ragu dan menyatakan bahwa sinus
paranasal hanya berpengaruh sedikit terutama hanya bila menderita sakit. 4

Hidung secara fisiologis berfungsi sebagai penyaring dan pertahanan lini pertama sistem
respirasi. Fungsi tersebut berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu, bakteri dan
virus yang dilakukan oleh silia dan palut lendir. Silia epitel saluran respiratori, kelenjar penghasil
mukus dan palut lendir membentuk sistem mekanisme pertahanan penting dalam sistem
respiratori yang dikenal sebagai sistem mukosiliar. Sistem mukosiliar merupakan barier pertama
sistem pertahanan tubuh antara epitel dengan virus, bakteri atau benda asing lainnya. 4
Sistem mukosiliar akan menjaga agar saluran napas atas selalu bersih dan sehat dengan
mengalirkan keluar partikel debu, bakteri, virus, alergen, toksin dan lain-lain yang terperangkap
pada lapisan mukus ke arah nasofaring. Silia memiliki gerakan-gerakan teratur yang bersama
palut lendir akan mendorong partikel-partikel asing dan bakteri yang terhirup ke rongga hidung
menuju nasofaring dan orofaring. Partikel partikel asing tersebut selanjutnya akan ditelan dan
dihancurkan di lambung dengan demikian mukosa saluran napas mempunyai kemampuan untuk
membersihkan dirinya sendiri. 4
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke satu arah (active stroke) dengan
ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakkan lapisan tersebut. Kemudian silia
bergerak kembali lebih lambat dengan ujung yang tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke).
Perbandingan durasi gerak silia kira-kira 3:1 sehingga gerakannya seolah-olah menyerupai
ayunan tangan seorang perenang. Silia tidak bergerak secara serentak tetapi berurutan seperti
efek domino (metachronical waves) dengan arah yang sama pada satu area. Gerak silia
mempunyai frekuensi denyut (ciliary beat frequency) sebesar 1000 getaran per menit.
Keberhasilan sistem mukosiliar sebagai suatu mekanisme pertahanan lokal pada hidung dan
sinus paranasal bergantung kepada transportasi mukosiliar yang dikenal sebagai bersihan
mukosilier. Bersihan mukosilier yang baik akan mencegah terjadinya infeksi di dalam hidung
dan sinus paranasal. Bersihan mukosilier ditentukan oleh keadaan silia, palut lendir dan interaksi
antara keduanya. Daya pembersih mukosiliar dapat berkurang akibat perubahan komposisi palut
lendir, aktivitas silia, peningkatan sel-sel infeksi, perubahan histopatologi sel hidung, hambatan
sel sekresi atau obstruksi anatomi. 4
Inflamasi akibat sinusitis dapat menyebabkan penurunan aktivitas bersihan mukosilier
pada hidung. Keadaan ini akan menyebabkan proses pembersihan permukaan mukosa menjadi
terganggu sehingga akan memicu infeksi pada rongga hidung. 4

4. PATOFISIOLOGI RHINOSINUSITIS KRONIS

Sinus-sinus terbentuk oleh evaginasi membran mukosa hidung dan pelapis sinus
merupakan epitelium pernapasan. Patofisiologi dasar penyakit rinosinusitis kronis ini
suatu gangguan mukosa di dan sekitar ostium di regio meatus medius akibat reaksi
radang pada hidung yang berkelanjutan. Setiap infeksi traktus respiratorius atas biasanya
mengenai mukosa sinus karena epitel sinus merupakan epitelium kuboid bertingkat
bersilia yang mirip dengan epitelium kolumner bertingkat bersilia pada hidung sehingga
hal-hal yang terjadi di hidung biasanya terjadi pula di sinus-sinus. Hidung akan
mengeluarkan ingus yang dapat menghasilkan superinfeksi bakterial yang kemudian
bakteri tersebut dapat masuk melalui ostium menuju ke dalam rongga-rongga sinus dan
berkembang biak didalamnya.5

Apabila terjadi udema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga
silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan maka akan terjadi gangguan
drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena gangguan ventilasi maka akan
terjadi penurunan pH dalam sinus sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang
diproduksi menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang baik untuk tumbuh
kuman patogen .5

Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi dan
infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive amine, proteases,
arachidonic acid metabolit, imune complek, lipolisaccharide dan lain-lain. 5
Pada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik yang merupakan
perluasan infeksi dari hidung. Walaupun gejala klinis yang dominan merupakan
manifestasi gejala infeksi dari sinus frontal dan maksila tetapi kelainan dasarnya tidak
pada sinus-sinus itu sendiri melainkan pada dinding lateral rongga. 5

Kompleks ostiomeatal (KOM) atau celah sempit di etmoid anterior yang


merupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang peranan penting
dalam terjadinya sinusitis. Bila terdapat gangguan didaerah KOM seperti peradangan,
udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi
sinusitis. Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau
hipertrofi konka media maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga
memperberat gangguan yang ditimbulkannya. 5

Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan akhirnya


menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi mukos dan
menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi inflamasi akan
kembali terjadi . 5

Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen bila lingkungannya sesuai.


Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga bakteri
anaerob akan berkembang baik. 5

Bakteri juga akan memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya
dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau terbentuk polip dan
kista.Kuman didalam sinus dapat berasal dari rongga hidung sebelum ostium tertutup
ataupun merupakan kuman komensal didalam rongga sinus. Virus dan bakteri yang
masuk kedalam mukosa akan menembus kedalam submukosa, yang diikuti adanya
infiltrasi sel polimorfonuklear, sel mast dan limfosit kemudian akan diikuti lepasnya zat-
zat kimia seperti histamin dan prostaglandin. Zat-zat kimia ini akan menyebabkan
vasodilatasi kapiler. sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah
udema di submukosa . 5

Selain virus dan bakteri sebagai penyebab infeksi pada peradangan rongga sinus
juga dipengaruhi oleh faktor predisposisi lokal dan sistemik.Faktor predisposisi lokal antara
lain: septum deviasi, udema/hipertrofi konka, rinitis alergi/rinitis vasomotor, barotrauma, korpus
alienum, rinolit dan sebagainya. Sedang faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi adalah:
infeksi saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah, malnutrisi, DM yang
tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar. 5
Infeksi saluran nafas atas menyebabkan terjadinya reaksi peradangan pada
mukosa hidung, mukosa sinus termasuk juga mukosa ostium sinus. Keadaan ini akan
mempersempit ostium sinus yang secara keseluruhan sudah sempit dan letaknya
tersembunyi atau bahkan menyebabkan obstruksi ostium . 5

Oksigen yang ada dalam rongga sinus akan diresorbsi oleh kapiler submukosa
sehingga terjadi hipoksia dan tekanan oksigen yang rendah didalam rongga sinus.
Keadaan hipooksigen juga akan menyebabkan vasodilatasi kapiler di submukosa,
permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah proses transudasi. 5

Transudat yang terbentuk sebagian diresorbsi oleh submukosa sehingga akan


menambah udema submukosa dan sebagian lagi akan terperangkap didalam rongga sinus.
Tekanan oksigen yang rendah juga akan mengganggu fungsi sinus dimana kelumpuhan
gerak silia ini akan menambah timbunan transudat didalam rongga sinus.Transudat yang
tertimbun, kadar oksigen yang terendah, gerak silia yang berkurang dan sempitnya ostium
merupakan kondisi yang baik untuk pertumbuhan kuman. 5
Rinosinusitis kronis berbeda dari rinosinusitis akut dalam berbagai aspek.
Rinosinusitis kronis umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa
saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.Polusi bahan kimia
menyebabkan silia rusak sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan mukosa
hidung juga dapat disebabkan alergi dan defisiensi imunologik. Perubahan mukosa
hidung akan mempermudah terjadinya infeksi dan infeksi menjadi kronis apabila
pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna . 5

Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka sehingga drainase sekret akan
terganggu. Drainase sekret yang terganggu dapat menyebabkan silia rusak dan
seterusnya.Rinosinusitis terjadi bila edema di mukosa kompleks ostiomeatal yang
letaknya berhadapan akan saling bertemu sehingga sekretnya ini menebal dan bila
ditunggangi kontaminasi bakteri maka mukosanya akan mengandung purulen. Virus juga
memproduksi enzim neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat
difusi virus pada lapisan mukosilia hal ini menyebabkan silianya menjadi kurang aktif
dan sekret yang dihasilkan mukosa sinus menjadi kental sehingga tidak dapat dialirkan.
Maka akan terjadi gangguan drenase dan ventilasi di dalam sinus. Bila sumbatan ini
berlangsung berulang atau terus-menerus yang akan menyebabkan rinosinusitis kronis
sehingga akan terjadi hipoksia dan retensi lender yang kemudian timbul infeksi oleh
bakteri aerob maupun anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi,
polipoid atau pembentukan polip dan kista. Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang
termasuk bagian dari KOM berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan
mukosa ditempat ini berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang
sempit ini dapat lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih 5
Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid
berasal dari edema mukosa dinding lateral cavum nasi dimana stroma akan terisi oleh
cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus
berlanjut mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga
hidung sambil membentuk tangkai sehingga terjadilah polip.5
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari tempat yang sempit di bagian atas hidung, di
bagian lateral konka media dan sekitar muara sinus maksila dan sinus etmoid. Di tempat-
tempat ini mukosa hidung saling berdekatan. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan
endoskopi mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Dari penelitian Stammberger
didapati 80% polip nasi berasal dari celah antara prosesus unsinatus, konka media dan
infundibulum. Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring
disebut polip koanal. Polip koanal kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan
disebut juga polip antrokoanal. Menurut Stammberger polip antrokoanal biasanya berasal
dari kista yang terdapat pada dinding sinus maksila. Ada juga sebagian kecil polip koanal
yang berasal dari sinus etmoid posterior atau resesus sfenoetmoid. 5
Polusi,
Zat kimia

Hilangnya
silia

Sumbatan Alergi,
Mekanis Drainase yg Perubahan defisiensi
tidak memadai mukosa imun

Infeksi

Sepsis residual

Pengobatan yang tidak memadai

Gambar 4.1 Siklus dari peristiwa yang berulang pada rinosinusitis kronis

Gambar 4.2 Sinusitis maksilaris dan polip hidung sinus maksilaris


(Sumber medner.2010)
Gambar 4.3 Polip bertangkai dan Nasal Polip
(Sumber : netsuicide.2009)

5. PATOLOGI RHINOSINUSITIS KRONIS

Perubahan patologi yang terjadi pada mukosa dan dinding tulang sinus saat
berlangsungnya peradangan supuratif adalah seperti yang biasa terjadi dalam rongga yang
dilapisi mucus.6
Vaskularisasi dan permeabilitas kapiler akan meningkat. Hal ini akan menyebabkan
udema dan hipertrofi membran mukosa yang kemudian menjadi polipoid dan pada kasus
yang sangat akut keseluruhan rongga sinus dapat terisi oleh membran mukosa yang edema
sehingga rongga sinus menjadi menghilang. 6

Sel goblet hiperplasi dan akan terjadi infiltrasi seluler kronis. Ulserasi epitel akan
menyebabkan terbentuknya jaringan granulasi. Abses-abses kecil yang multipel terjadi
dalam mukosa yang menebal dan fibrosis dari strauma submukosa yang melapisinya.
Perubahan dalam mukosa pada saat ini bisa irreversibel dan bila penyebab infeksi telah
diobati tetapi mukosa tidak dapat kembali normal. 6

Ada 4 tipe yang berbeda dari infeksi hidung dan sinus; kongesti akut, purulen
akut, purulen kronis dan hiperplastik kronis.
Penyakit sinus supuratif kronis dapat diklasifikasikan secara mikroskopik sebagai:

1. Adematous

2. Granular dan infiltrasi

3. Fibrous

4. Campuran dari beberapa atau semua bentuk ini.

Sering terjadi perubahan jaringan penunjang dengan penebalan dilapisan sub


epitel. Penebalan ini didalam struktur seluler terdiri dari timbunan sel-sel spiral, bulat,
bentuk bintang, plasmosit, eosinofil dan pigmen.6

Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini, yang
menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan6:

a. Jaringan sub mukosa diinfiltrasi oleh serum sedangkan permukaannya kering.


Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.
b. Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat udema dan
pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada kelainan epitel.
c. Setelah beberapa jam atau beberapa hari, serum dan lekosit keluar melalui epitel yang
melapisi mukosa kemudian bercampur dengan bakteri, debris epitel dan mukus. Pada
beberapa kasus, terjadi perdarahan kapiler dan darah bercampur dengan sekret. Sekret
yang mula-mula encer dan sedikit kemudian menjadi kental dan banyak karena terjadi
koagulasi fibrin dan serum. 6
d. Pada banyak kasus resolusi terjadi dengan absorbsi eksudat dan berhentinya
pengeluaran lekosit memakan waktu 10 sampai 14 hari. Akan tetapi pada kasus lain
peradangan berlangsung dari tipe kongesti ke tipe purulen. Leukosit dikeluarkan dalam
jumlah yang besar sekali. Resolusi masih mungkin meskipun tidak selalu terjadi karena
perubahan jaringan belum menetap kecuali proses segera berhenti. Apabila perubahan
jaringan akan terjadi permanen maka akan terjadi keadaan kronis. Tulang dibawahnya
dapat terlihat tanda osteitis dan akan diganti dengan nekrosis tulang.6

Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi:


1. Melalui tromboflebitis dari vena yang perforasi
2. Perluasan langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik
3. Dengan terjadinya defek
4. Melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakteriemia. 6

Hidung sebagai salah satu organ yang menonjol pada penyakit alergi, rinitis
kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan alergi, komplikasi pada obstruksi
anatomis karena edema dan akhirnya efek lanjut gangguan alergenik kronik seperti
hipertropi mukosa, dan polyposis. 6

6. GEJALA KLINIS
Diagnosis rinosinusitis kronis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor. Yang merupakan kriteria mayor dari
rinosinusitis kronis antara lain berupa:
a. Nyeri atau rasa tekan pada bagian wajah di daerah yang terkena merupakan ciri khas atau
refered pain. Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara atau dibelakang
kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri dahi atau seluruh kepala menandakan
sinusitis frontal. Sedangkan pada sinusitis sfenoid nyeri dirasakan di verteks, oksipital,
belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang ada nyeri alih ke
gigi dan telinga.7
b. Gejala hidung dan nasofaring berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal (post nasal
drip). 7
c. Gejala faring yaitu rasa sakit tidak nyaman dan gatal di tenggorok.
d. Terdapat sekret purulen pada pemeriksaan. Pada rinoskopi anterior ditemukan sekret
kental purulen dari meatus medius atau meatus superior sedangkan pada rinoskopi
posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok. 7
e. Hyposmia atau anosmia.
f. Gejala mata oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
g. Gejala di saluran cerna oleh karena mukopus yang tertelan dapat menyebabkan
gastroenteritis (sering terjadi pada anak). 7
Sedangkan kriteria minornya dapat berupa:
a. Nyeri atau sakit kepala.
b. Demam.
c. Halitosis.
d. Kelelahan (fatigue).
e. Sakit gigi (dental pain).
f. Gejala saluran nafas berupa batuk yang kadang-kadang dapat menyebabkan komplikasi di
paru berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkial sehingga terjadi penyakit
sinobronkial. 7
g. Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba eustachius.7

Nyeri kepala pada rinosinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari dan akan
berkurang atau atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti
tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan
sinus serta adanya statis vena.7
Pada sinusitis yang disebabkan oleh jamur para ahli membagi sebagai bentuk invasif
dan non infasif. Sinusitis jamur invasif terbagi menjadi invasif akut fulminan dan invasif
kronik indolen. Sinusitis jamur invasif kronik sering terjadi pada pasien dengan gangguan
imunologik maupun metabolik seperti diabetes melitus. Sifatnya kronik progresif yang juga
bisa menginvasi sampai ke orbita atau intra kranial tetapi gambarannya tidak sehebat yang
fulminan karena perjalanan penyakitnya lambat. Gejalanya seperti sinusitis bakterial tetapi
sekretnya kental dengan bercak-bercak kehitaman yang bila dilihat dengan mikroskop berupa
koloni jamur. 7
Sinusitis jamur non invasif atau misetoma merupakan kumpulan jamur dalam rongga
sinus tanpa invasi kedalam mukosa dan tidak mendestruksi tulang. Tidak mengenai sinus
maksila. Gejala krinis berupa sinusitis kronis dengan rinore purulen, post nasal drip dan nafas
bau. Kadang ada masa jamur di kavum nasi. Pada operasi dapat ditemukan materi jamur
berwarna coklat kehitaman dan kotor dengan atau tanpa pus di dalam sinus. 7
7. DIAGNOSIS
Kriteria rinosinusitis akut dan kronis pada penderita dewasa dan anak berdasarkan gambaran
klinik, yaitu:
No Kriteria Rinosinusitis akut Rinosinusitis Kronis
Dewasa Anak Dewasa Anak
1 Lama gejala dan tanda < 12 < 12 > 12 > 12 minggu
minggu minggu minggu
2 Jumlah episode serangan
akut, masing-masing < 4 kali / < 6 kali / > 4 kali / > 6 kali /
berlangsung minimal 10 tahun tahun tahun tahun
hari
3 Jumlah episode serangan Dapat sembuh Tidak dapat sembuh
akut, masing-masing sempurna dengan sempurna dengan
berlangsung minimal 10 pengobatan pengobatan
hari medikamentosa medikamentosa

Tabel 7.1 Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut

International Conference on Sinus Disease 2004

Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of Otolaryngic Allergy


(AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) adalah rinosinusitis yang berlangsung
lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor atau lebih atau 1 gejala mayor disertai 2
gejala minor atau lebih.8

Berdasarkan kriteria Task Force on Rinosinusitis gejala mayor skor diberi skor 2 dan
gejala minor skor 1 sehingga didapatkan skor gejala klinik sebagai berikut;

Gejala Mayor:

Nyeri sinus = skor 2 Hidung buntu = skor 2 Ingus purulen = skor 2

Post nasal drip = skor 2 Gangguan penghidu = skor 2


Sedangkan Gejala Minor:

Nyeri kepala = skor 1 Nyeri geraham = skor 1 Nyeri telinga = skor 1

Batuk = skor 1 Demam = skor 1 Halitosis = skor 1

Pengukuran skor total gejala klinik dikelompokkan menjadi dua, yaitu; sedang-berat (skor
8) dan ringan (skor <8) dengan Skor total gejala klinik: skala nominal. 8

Dari gambaran klinik ini barulah kita dapat menentukan langkah diagnosis dari
rinosinusitis kronis yang dibuat berdasarkan anamnesis yang cermat dan pemeriksaan fisik
untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasalis yang dilakukan dengan inspeksi
dari luar, palpasi, perkusi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior dan transiluminasi.
Transiluminasi hanya dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan sinus frontalis,
bila fasilitas radiologis tidak tersedia. 8
Pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan radiologi, posisi rutin yang
dipakai adalah posisi Waters. Pungsi sinus maksila, sinoskopi sinus maksila dengan
menggunakan endoskop, pemeriksaan histopatologik dari jaringan yang diambil pada
waktu dilakukan sinoskopi, pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan
menggunakan nasoendoskopi dan pemeriksaan CT-Scan. Pemeriksaan CTScan
merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada sinusitis
dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak penebalan mukosa, air fluid
level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal,
penebalan dinding sinus dengan sklerotik pada kasus-kasus kronik yang tidak membaik
dengan terapi, rinosinusitis dengan komplikasi, evaluasi preoperatif dan jika ada dugaan
keganasan. Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih baik daripada tomografi komputer
dalam resolusi jaringan lunak dan sangat baik untuk membedakan rinosinusitis karena
jamur, neoplasma dan perluasan intrakanialnya, namun resolusi tulang tidak tergambar
baik dan harganya mahal. 8
Selain score tersebut diatas juga dapat menggunakan VAS (visual analog score)
dimana setelah menggunakan VAS score dapat dilanjutkan dengan menggunakan alur
diagnostik dan terapi sesuai European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyposis. 8
Keluhan rhinosinusitis berdasarkan VAS score dideskripsikan menjadi ringan, sedang
hingga berat. 8
Ringan : VAS 0-3
Sedang : VAS > 3-7
Berat : VAS >7-10

Tidak terlalu mengganggu 10cm sangat mengganggu

8. ALUR DIAGNOSTIK
8.1 Rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi
Gejala lebih dari 12 minggu
Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/
kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
penurunan/ hilangnya penghidu.9
Pemeriksaan
Nasoendoskopi tidak terlihat adanya polip di meatus medius jika diperlukan setelah
pemberian dekongestan. Definisi ini menerima bahwa terdapat spektrum dari rinosinusitis
kronik termasuk perubahan polipoid pada sinus dan atau meatus medius tetapi
menyingkirkan penyakit polipoid yang terdapat pada rongga hidung untuk menghindari
tumpang tindih. 9
melakukan evaluasi diagnosis dan penatalaksanaan dari pelayanan kesehatan primer
mengisi kuesioner untuk alergi, jika positif dilakukan tes alergi bila belum dilakukan
penatalaksanaan harus berdasarkan keparahan gejala
tentukan tingkat keparahan gejala menggunakan VAS 9
Gambar 8.1

8.2 Rhinosinusitis kronik dengan polip nasi


Gejala selama lebih dari 12 minggu
Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/
kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior): 9
nyeri wajah / rasa tertekan di wajah
penurunan/ hilangnya penghidu9

Pemeriksaan
Nasoendoskopi polip bilateral yang terlihat dari meatus medius dengan menggunakan
endoskopi9
Melakukan evaluasi diagnosis dan penatalaksanaan dari pelayanan kesehatan primer
Mengisi kuesioner untuk alergi, jika positif dilakukan tes alergi bila belum dilakukan9

Tingkat Keparahan Gejala


(dinilai berdasar skor VAS) ringan/ sedang/ berat

8.3 Skema penatalaksanaan Rinosinusitis kronik pada anak


Diagnosis:
Gejala selama lebih dari 12 minggu
Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/
kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
penurunan/ hilangnya penghidu
Informasi diagnostik tambahan
pertanyaan tentang alergi harus ditambahkan, tes alergi harus dilakukan
faktor predisposisi lain harus dipertimbangkan seperti defisiensi imun {dapatan,
innate, GERD (gastro-esophageal reflux disease)}. 9
Pemeriksaan
pemeriksaan rongga hidung: edema, hiperemis, pus
pemeriksaan mulut: post nasal drip
singkirkan infeksi gigi geligi
Pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi
Pencitraan (foto polos sinus paranasal tidak disarankan) 9
Tomografi komputer juga tidak disarankan kecuali pada keadaan di bawah ini:
penyakit parah
pasien imunokompromais
tanda komplikasi berat (orbita & intrakranial)
Pengobatan haruslah berdasarkan tingkat keparahan sakitnya9

Gambar Skema Penatalaksanaan Rhinosinusitis Kronis pada anak


(Sumber medscape2010)

9. TERAPI
Penanganan rinosinusitis kronis dapat dilakukan dengan cara konservatif dan operatif
dengan tujuan untuk membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas sekret dan mengeradikasi
kuman. Jika telah ditemukan faktor predisposisinya maka dapat dilakukan tata laksana yang
sesuai yaitu dengan penanganan konservatif, dengan pemberian antibiotika yang sesuai untuk
mengatasi infeksinya serta obat-obatan simptomatis lainnya seperti analgetik berupa aspirin atau
preparat kodein dan kompres hangat pada wajah juga dapat membantu untuk menghilangkan rasa
sakit tersebut. Dekongestan misalnya pseudoefedrin, dan tetes hidung poten seperti fenilefrin dan
oksimetazolin cukup bermanfaat untuk mengurangi udem sehingga dapat terjadi drainase sinus.
Terapi pendukung lainnya seperti mukolitik, antipiretik dan antihistamin.10

Adapun antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis, diantaranya dapat dilihat
pada tabel dibawah ini:

Agen Antibiotika Dosis


RHINOSINUSITIS AKUT
Lini pertama
Amoksisilin Anak: 20-40mg/kg/hari terbagi dalam 3
dosis
Dewasa: 3 x 500 mg
Kotrimoxazol Anak: 6 - 12 mg TMP/ 30 60 mg SMX/
kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 2 tab dewasa
Eritromisin Anak: 30-50mg/kg/hari terbagi setiap 6 jam
Dewasa: 4 x 250-500mg
Doksisiklin Dewasa: 2 x 100 mg
Lini kedua
Amoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 875 mg
Cefuroksim 2 x 500 mg
Klaritromisin Anak: 15 mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 250 mg
Azitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1x250 mg selama 4
hari berikutnya.
Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500 mg
RHINOSINUSITIS KRONIK
Amoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 875 mg
Azitromisin Anak: 10 mg/kg pada hari 1 diikuti 5mg/kg
selama 4 hari berikutnya
Dewasa: 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250mg
selama 4 hari
Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500mg

Tabel 10.1 Antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis


(Piccirillo, 2004)

Selain itu, dapat juga dibantu dengan diatermi gelombang pendek (Ultra Short Wave
Diathermy) selama 10 hari di daerah sinus yang sakit. Tindakan ini membantu memperbaiki
drainase dan pembersihan sekret dari sinus yang sakit. Untuk sinusitis maksila dilakukan pungsi
dan irigasi sinus sedangkan untuk sinusitis etmoid, frontal atau sfenoid dilakukan pencucian
Proetz. Irigasi dan pencucian sinus dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 6 kali tidak
ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret purulen berarti mukosa sinus sudah tidak
dapat kembali normal (perubahan irreversibel), maka dapat dilakukan operasi radikal untuk
menghindari komplikasi lanjutan. Untuk mengetahui perubahan mukosa masih reversibel atau
tidak dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan sinoskopi untuk melihat antrum sinus maksila
secara langsung dengan menggunakan endoskopi. 10

Bila penanganan konservatif gagal maka dilakukan terapi operatif yaitu dengan cara
mengangkat mukosa sinus yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang terkena. Untuk
sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc sedangkan untuk sinus etmoid dilakukan
etmoidektomi yang biasa dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal).11
Namun, akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan
menggunakan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang sehingga saat operasi kita dapat
melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi pada rongga-rongga sinus. Jaringan
patologik dapat diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus yang tersumbat
diperlebar yang disebut dengan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).Prinsipnya adalah
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostio-meatal yang menjadi sumber penyumbatan
dan infeksi sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui osteum alami.
Dengan demikian sinus akan kembali normal. 10

10. PENCEGAHAN

1. Menghindari penularan infeksi saluran pernapasan atas dengan menjaga kebiasaan cuci
tangan yang ketat dan menghindari orang-orang yang menderita pilek atau flu .
Disarankan mendapatkan vaksinasi influenza tahunan untuk membantu mencegah flu
dan infeksi berikutnya dari saluran pernapasan bagian atas . 11
2. Pengurangan stres dan diet yang kaya antioksidan terutama buah-buahan segar dan
sayuran berwarna gelap, dapat membantu memperkuat sistem kekebalan tubuh .
3. Rencana serangan alergi musiman .
Jika infeksi sinus disebabkan oleh alergi musiman atau lingkungan, menghindari alergen
sangat penting. Jika tidak dapat menghindari alergen, obat bebas atau obat resep dapat
membantu. OTC antihistamin atau semprot dekongestan hidung dapat digunakan untuk
serangan akut. 11
a. Orang-orang yang memiliki alergi musiman dapat mengambil obat antihistamin yang
tidak sedasi(non sedative) selama bulan musim-alergi. 11
b. Hindari menghabiskan waktu yang lama di luar ruangan selama musim alergi.
Menutup jendela rumah dan bila mungkin, pendingin udara dapat digunakan untuk
menyaring alergen serta penggunaan humidifier juga dapat membantu.
Suntikan alergi, juga disebut "imunoterapi", mungkin efektif dalam mengurangi atau
menghilangkan sinusitis karena alergi. Suntikan dikelola oleh ahli alergi secara
teratur selama 3 sampai 5 tahun, tetapi sering terjadi pengurangan remisi penuh gejala
alergi selama bertahun-tahun. 11
4. Menjaga supaya tetap terhidrasi dengan:
a. Menjaga kebersihan sinus yang baik dengan minum banyak cairan supaya sekresi
hidung tipis. 11
b. Semprotan hidung saline (tersedia di toko obat) dapat membantu menjaga saluran
hidung agar lembab, membantu menghilangkan agen infeksius. Menghirup uap dari
semangkuk air mendidih atau mandian panas beruap juga dapat membantu.
c. Hindari perjalanan udara. Jika perjalanan udara diperlukan, gunakan semprotan
dekongestan nasal sebelum keberangkatan untuk menjaga bagian sinus agar terbuka
dan sering menggunakan saline nasal spray selama penerbangan. 11
5. Hindari alergen di lingkungan: Orang yang menderita sinusitis kronis harus menghindari
daerah dan kegiatan yang dapat memperburuk kondisi seperti asap rokok dan menyelam
di kolam diklorinasi. 11

11. KOMPLIKASI

Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan
eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Komplikasi infeksi rinosinusitis
sangat jarang dan paling sering terjadi pada anak dan imunocompromised. Perluasan yang tidak
terkendali dari penyakit bakteri atau jamur mengarah kepada invasi struktur sekitarnya terutama
orbital dan otak.12

Komplikasi mungkin timbul dengan cepat. Komplikasi yang sering adalah selulitis atau
abses pada daerah preseptal atau orbita. Infeksi preseptal diobati dengan antibiotik dan tidak
diperlukan pembedahan. Komplikasi yang lain mungkin memerlukan pengobatan pembedahan
segera. Perluasan pada postseptal mungkin terjadi dari penyebaran infeksi melalui lamina
papyracea(lapisan kertas), tulang tipis lateral pada sinus ethmoid. Sinus yang paling sering
terkena adalah sinus ethmoid, kemudian sinus frontal dan maksila. Penyebaran infeksi melalui
tromboflebitis dan perkontinuitatum. Perluasan ini dapat melibatkan pembuluh darah ethmoid
yang mengakibatkan terjadinya trombosis . Gejalanya meliputi edema kelopak mata yang
progresif, eritema, chemosis dan proptosis, yang jika tidak diobati, dapat berkembang menjadi
oftalmoplegia dan kebutaan. Perluasan pada intrakranial termasuk terjadinya meningitis, abses
epidural atau subdural, abses otak atau sagital, atau trombosis sinus cavernosus. Setiap pasien
dengan sejarah rinosinusitis dan demam tinggi, peningkatan sakit kepala atau terjadi perubahan
status mental harus dicurigai memiliki komplikasi intrakranial. 12

Osteomielitis dapat menyebabkan komplikasi lokal. Pada tumor Pott bengkak(Potts


puffy tumor), osteomyelitis dari plate anterior dari tulang frontal menyebabkan dahi edema. Hal
ini merupakan komplikasi akut yang membutuhkan bedah drainase. Osteomelitis dan abses
subperiostal paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak.
Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi. 12

Komplikasi lokal juga dapat terjadi dari mucoceles atau mucopyoceles. Mereka
merupakan lesi kronis, dimana terjadinya cystic pada sinus. Sinus frontal adalah yang paling
sering terlibat. Mereka lambat tumbuh dan mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun sebelum
gejala terjadi. Keterlibatan sinus frontal dapat menyebabkan perubahan pada mata,
mengakibatkan diplopia. Dekompresi sering menyebabkan hilangnya gejala. Erosi posterior oleh
mucopyocele dapat menyebabkan infeksi . Mucoceles terlihat pada anak-anak dengan cystic
fibrosis. 12

Komplikasi lain adalah kelainan paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya
kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru disebut sinobronkitis. Selain itu juga
dapat menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya
disembuhkan. 12

12. PROGNOSIS

Rhinosinusitis tidak menyebabkan kematian yang signifikan dengan sendirinya. Namun,


sinusitis yang berkomplikasi dapat menyebabkan morbiditas dan dalam kasus yang jarang dapat
menyebabkan kematian. Sekitar 40 % kasus sinusitis akut membaik secara spontan tanpa
antibiotik. Perbaikan spontan pada sinusitis virus adalah 98 %. Pasien dengan sinusitis akut, jika
diobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya menunjukkan perbaikan yang cepat. Tingkat
kekambuhan setelah pengobatan yang sukses adalah kurang dari 5 %. Jika tidak adanya respon
dalam waktu 48 jam atau memburuknya gejala, pasien dievaluasi kembali. Rinosinusitis yang
tidak diobati atau diobati dengan tidak adekuat dapat menyebabkan komplikasi seperti
meningitis, tromboflebitis sinus cavernous, selulitis orbita atau abses, dan abses otak. 12

Pada pasien dengan rhinitis alergi , pengobatan agresif gejala hidung dan tanda-tanda edema
mukosa yang dapat menyebabkan obstruksi saluran keluar sinus, dapat mengurangkan sinusitis
sekunder. Jika kelenjar gondok secara kronis terinfeksi, pengangkatan mereka dapat
menghilangkan infeksi dan dapat mengurangi infeksi sinus. 12
BAB III

KESIMPULAN

Rhinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi
virus, bakteri maupun jamur. Rinosinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa
hari sampai 4 minggu Rinosinusitis kronis bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan
selanjutnya . Penanganan rinosinusitis kronis dapat dilakukan dengan cara konservatif
dan operatif dengan tujuan untuk membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas sekret
dan mengeradikasi kuman . CT-Scan pada sinusitis akan tampak penebalan mukosa, air
fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus
paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik pada kasus-kasus kronik yang tidak
membaik dengan terapi, rinosinusitis dengan komplikasi, evaluasi preoperatif dan jika
ada dugaan keganasan. Penanganan rinosinusitis kronis dapat dilakukan dengan cara
konservatif dan operatif dengan tujuan untuk membebaskan obstruksi, mengurangi
viskositas sekret dan mengeradikasi kuman
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung,


tenggorok, kepala dan leher. Edisi keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2010.h.150-4.
2. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan sinus paranasalis. Buku ajar penyakit tht.
Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1994.h.173-240
3. Mark A. Zacharek, Preeti N. Malani, Michael S. Benninger. An approach to the diagnosis
and management of acute bacterial rhinosinusitis. 2005. Diunduh dari
informahealthcare.com/doi/pdf/10.1586/14787210.3.2.271 . 9 Agustus 2016.
4. Cummings CW. Radiology of nasal cavities and paranasal. Cumming otolaryngology
head and neck surgery. 4th edition. USA: Mosby; 2006.p.201.
5. Hallet R, Naguwa SM. Severe rhinosinusitis. Clinical reviews in allergy and
immunology. California : Human Press Inc. 2003; 5(3):177-90.
6. Brook I, Benson BE, Riauba L, Cunha BA. Acute sinusitis. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview. 9 Agustus 2016.
7. Georgy MS, Peters AT. Chapter 8: rhinosinusitis. Allergy Asthma Proc. 2012 ;33 Suppl
1:24-7
8. Venekamp RP, Bonten MJM, Rovers MM, Verheij TJM, Sachs APE. Systemic
corticosteroid monotherapy for clinically diagnosed acute rhinosinusitis: a randomized
controlled trial. CMAJ. 2012; 184: 751-7
9. Cunha J P, Stoppler M C, Doerr S. Sinus infection. Diunduh dari
http://www.emedicinehealth.com/sinus_infection/page12_em.htm#sinus_infection_preve
ntion, 9 Agustus 2016.
10. Meltzer EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis diagnosis and management for the clinician: a
synopsis of recent consensus guidelines. Mayo Clin Proc. 2011; 86 (5): 427-43
11. Desrosiers M, Evans GA, Keith PK. Canadian clinical practice guidelines for acute and
chronic rhinosinusitis. Allergy Asthma Clin Immunol. 2011;7(1):2
12. Rhinosinusitis, diunduh dari : https://www.aaaai.org/conditions-and-
treatments/conditions-a-to-z-search/sinuses,-sinusitis,-rhinosinusitis.aspx , 9 Agustus
2016.

Anda mungkin juga menyukai