Anda di halaman 1dari 41

Referat

OTITIS MEDIA KRONIK DENGAN KOLESTEATOMA

Oleh:
Lianita, S.Ked
Nini Irmadoly, S.Ked

Pembimbing:
dr. Hj. Abla Ghanie, Sp T.H.T.K.L(K), FICS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2016
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul: Otitis Media Kronik dengan Kolesteatoma

Disusun oleh: Lianita, S.Ked (04054821517079)


Nini Irmadoly, S.Ked (04084821517044)

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP
dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 15 Februari 2015 19 Maret 2016.

Palembang, Februari 2016


Pembimbing

dr. Hj. Abla Ghanie, Sp T.H.T.K.L(K), FICS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Otitis
Media Kronik dengan Kolesteatoma untuk memenuhi tugas referat yang merupakan
bagian dari sistem pembelajaran dan penilaian kepaniteraan klinik, khususnya
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj.
Abla Ghanie, Sp T.H.T.K.L (K), FICS, selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa
yang akan datang. Semoga referat ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita
semua.

Palembang, Februari 2016

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ..i


HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. v
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vi

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi telinga dan fisiologi pendengaran ....................................................... 2
2.2 Definisi OMK ....................................................................................................3
2.3 Klasifikasi OMK ................................................................................................3
2.4 Epidemiologi ......................................................................................................7
2.5 Etiologi...............................................................................................................7
2.6 Patogenesis.........................................................................................................9
2.7 Patologi ..............................................................................................................10
2.8 Tanda Klinis .......................................................................................................10
2.9 Pemeriksaan Penunjang .....................................................................................12
2.10 Penatalaksanaan ...............................................................................................14
2.11 Komplikasi .......................................................................................................21

BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 35

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi telinga ..................................................................................2


Gambar 2. Kolesteatoma kongenital ....................................................................5
Gambar 3. Kolesteatoma ......................................................................................7
Gambar 4. Timpanoplasti ..................................................................................20

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jenis-jenis timpanoplasti ......................................................................20

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga bagian
tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media terbagi
atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif. Masing-masing mempunyai
bentuk akut dan kronis. Pada beberapa penelitian, diperkirakan terjadinya otitis
media yaitu 25% pada anak-anak. Infeksi umumnya terjadi dua tahun pertama
kehidupan dan puncaknya pada tahun pertama masa sekolah. Otitis media kronis
(OMK) adalah infeksi kronis pada telinga tengah dengan perforasi membran timpani
dan sekret keluar dari telinga terus-menerus atau hilang timbul, sekret dapat encer
atau kental, bening atau berupa nanah. Jenis otitis media kronis dapat terbagi 2 jenis,
yaitu OMK tipe benigna dan OMK tipe maligna.2
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan otitis media akut menjadi otitis
media kronis yaitu terapi yang terlambat diberikan, terapi tidak adekuat, virulensi
kuman yang tinggi, daya tahan tubuh yang rendah (gizi buruk) atau hygiene buruk2.
Gejala otitis media kronis antara lain otorrhoe yang bersifat purulen atau mukoid,
terjadi gangguan pendengaran, otalgia, tinitus, rasa penuh di telinga dan vertigo.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TELINGA DAN FISIOLOGI PENDENGARAN


Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-
kira 2,5-3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar
serumen (kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit
liang telinga. Pada dua pertiga kulit bagian dalam hanya sedikit djumpai kelenjar
serumen.

Gambar 1. Anatomi telinga

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun


telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melali udara atau tulang ke koklea.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah
melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui
daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani
dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke

2
stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule
bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa,
sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membran basilaris dan membran
tektokria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis
yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke
nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis
(Soepardi, 2012).

2.2 DEFINISI OMK


OMK adalah stadium dari penyakit telinga tengah dimana terjadi
peradangan kronis dari telinga tengah dan mastoid dan membran timpani tidak intak
(perforasi) dan ditemukan sekret (otorea), purulen yang hilang timbul. Sekret
mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah dan berlangsung lebih dari 2
bulan.
Perforasi sentral adalah pada pars tensa dan sekitar dari sisa membran timpani
atau sekurang-kurangnya pada annulus. Defek dapat ditemukan seperti pada anterior,
posterior, inferior atau subtotal. Menurut Ramalingam bahwa OMK adalah
peradangan kronis lapisan mukoperiosteum dari middle ear cleft sehingga
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan patologis yang ireversibel2,4.

2.3 KLASIFIKASI OMK


OMK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu:
1. Tipe tubotimpani
Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa
dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit.
Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi
tuba Eustachius, infeksi saluran napas atas, pertahanan mukosa terhadap
infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah,

3
disamping itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat
perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel skuamous. Sekret
mukoid kronis berhubungan dengan hiperplasia goblet sel, metaplasia dari
mukosa telinga tengah pada tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek.

Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas: 5


Fase aktif
Pada jenis ini terdapat sekret pada telinga dan tuli. Biasanya
didahului oleh perluasan infeksi saluran napas atas melalui tuba
Eustachius, atau setelah berenang dimana kuman masuk melalui
liang telinga luar. Sekret bervariasi dari mukoid sampai
mukopurulen. Ukuran perforasi bervariasi dari sebesar jarum
sampai perforasi subtotal pada pars tensa. Jarang ditemukan polip
yang besar pada liang telinga luar. Perluasan infeksi ke sel-sel
mastoid mengakibatkan penyebaran yang luas dan penyakit
mukosa yang menetap harus dicurigai bila tindakan konservatif
gagal untuk mengontrol infeksi, atau jika granulasi pada
mesotimpanum dengan atau tanpa migrasi sekunder dari kulit,
dimana kadang-kadang adanya sekret yang berpulsasi diatas
kuadran posterosuperior.
Fase tidak aktif/fase tenang
Pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering
dengan mukosa telinga tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai
berupa tuli konduktif ringan. Gejala lain yang dijumpai seperti
vertigo, tinitus, atau suatu rasa penuh dalam telinga.

Faktor predisposisi pada penyakit tubotimpani:


1. Infeksi saluran napas yang berulang, alergi hidung, rhinosinusitis
kronis
2. Pembesaran adenoid pada anak, tonsilitis kronis

4
3. Mandi dan berenang dikolam renang, mengkorek telinga dengan alat
yang terkontaminasi
4. Malnutrisi dan hipogammaglobulinemia
5. Otitis media supuratif akut yang berulang

2. Tipe atikoantral = tipe ganas = tipe tidak aman = tipe tulang


Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatoma dan berbahaya. Penyakit
atikoantral lebihsering mengenai pars flasida dan khasnya dengan
terbentuknya kantong retraksi yang mana bertumpuknya keratin sampai
menghasilkan kolesteatoma. Kolesteatoma adalah suatu massa amorf,
konsistensi seperti mentega, berwarna putih, terdiri dari lapisan epitel
bertatah yang telah nekrotis.
Kolesteatoma dapat dibagi atas 2 tipe yaitu : 6
1. Kongenital
Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatoma kongenital, menurut Derlaki
dan Clemis (1965) adalah:
Berkembang dibelakang dari membran timpani yang masih utuh.
Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya.Pada mulanya dari
jaringan embrional dari epitel skuamous atau dari epitel
undiferential yang berubah menjadi epitel skuamous selama
perkembangan. Kongenital kolesteatoma lebih sering ditemukan
pada telinga tengah atau tulang temporal, umumnya pada apeks
petrosa. Dapat menyebabkan fasialis parese, tuli saraf berat
unilateral, dan gangguan keseimbangan.

Gambar 2. Kolesteatoma kongenital

5
2. Didapat
Kolesteatoma yang didapat seringnya berkembang dari suatu kantong
retraksi. Jika telah terbentuk adhesi antara permukaan bawah kantong
retraksi dengan komponen telinga tengah, kantong tersebut sulit untuk
mengalami perbaikan bahkan jika ventilasi telinga tengah kembali
normal. Area kolaps pada segmen atik atau segmen posterior pars
tensa membran timpani. Epitel skuamosa pada membran timpani
normalnya membuang lapisan sel-sel mati dan tidak terjadi akumulasi
debris, tapi jika terbentuk kantong retraksi dan proses pembersihan ini
gagal, debris keratin akan terkumpul dan pada akhirnya membentuk
kolesteatoma. Pengeluaran epitel melalui leher kantong yang sempit
menjadi sangat sulit dan lesi tersebut membesar. Membran timpani
tidak mengalami perforasi dalam arti kata yang sebenarnya: lubang
yang terlihat sangat kecil, merupakan suatu lubang sempit yang
tampak seperti suatu kantong retraksi yang berbentuk seperti botol,
botol itu sendiri penuh dengan debris epitel yang menyerupai lilin.
Teori lain pembentukan kolesteatoma menyatakan bahwa metaplasia
skuamosa pada mukosa telinga tengah terjadi sebagai respon terhadap
infeksi kronik atau adanya suatu pertumbuhan ke dalam dari epitel
skuamosa di sekitar pinggir perforasi, terutama pada perforasi
marginal.7
Destruksi tulang merupakan suatu gambaran dari kolesteatoma
didapat, yang dapat terjadi akibat aktivitas enzimatik pada lapisan
subepitel. Granuloma kolesterol tidak memiliki hubungan dengan
kolesteatoma, meskipun namanya hampir mirip dan kedua kondisi ini
dapat terjadi secara bersamaan pada telinga tengah atau mastoid.
Granuloma kolesterol, disebabkan oleh adanya kristal kolesterol dari
eksudat serosanguin yang ada sebelumnya. Kristal ini menyebabkan
reaksi benda asing, dengan ciri khas sel raksasa dan jaringan
granulomatosa.

6
Gambar 3. Kolesteatoma

2.4 EPIDEMIOLOGI
Insiden OMK ini bervariasi pada setiap negara. Secara umum, insiden OMK
dipengaruhi oleh ras dan faktor sosioekonomi. Misalnya, OMK lebih sering dijumpai
pada orang Eskimo dan Indian Amerika, anak-anak aborigin Australia dan orang
kulit hitam di Afrika Selatan. Walaupun demikian, lebih dari 90% beban dunia akibat
OMK ini ditanggung oleh negara-negara di Asia Tenggara, daerah Pasifik Barat,
Afrika, dan beberapa daerah minoritas di Pasifik. Kehidupan sosial ekonomi yang
rendah, lingkungan kumuh dan status kesehatan serta gizi yang jelek merupakan
faktor yang menjadi dasar untuk meningkatnya prevalensi OMK pada negara yang
sedang berkembang.1 Survei prevalensi di seluruh dunia, yang walaupun masih
bervariasi dalam hal definisi penyakit, metode sampling serta mutu metodologi,
menunjukkan beban dunia akibat OMK melibatkan 65330 juta orang dengan telinga
berair, 60% di antaranya (39200 juta) menderita kurang pendengaran yang
signifikan. Secara umum, prevalensi OMK di Indonesia adalah 3,8% dan pasien
OMK merupakan 25% dari pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT rumah
sakit di Indonesia.1
2.4
2.5 ETIOLOGI
Terjadi OMK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak,
jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring
(adenoiditis, tonsilitis, rhinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba

7
Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi
yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan Down syndrome. Adanya tuba
patulous, menyebabkan refluks isi nasofaring yang merupaka faktor insiden OMK
yang tinggi di Amerika Serikat.
Kelainan humoral (seperti hipogammaglobulinemia) dan cell-mediated
(seperti infeksi HIV, sindrom kemalasan leukosit) dapat manifest sebagai sekresi
telinga kronis1,2.

Penyebab OMK antara lain:1,2,5


1. Lingkungan
2. Genetik
3. Otitis media sebelumnya
4. Infeksi
5. Infeksi saluran napas atas
6. Autoimun
7. Alergi
8. Gangguan fungsi tuba Eustachius.

Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani menetap pada


OMK:1,2
1. Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan produksi
sekret telinga purulen berlanjut.
2. Berlanjutnya obstruksi tuba Eustachius yang mengurangi penutupan spontan
pada perforasi.
3. Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui
mekanisme migrasi epitel.
4. Pada pinggir perforasi dari epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang
cepat diatas sisi medial dari membran timpani. Proses ini juga mencegah
penutupan spontan dari perforasi.

8
2.6 PATOGENESIS
Banyak penelitian pada hewan percobaan dan preparat tulang temporal
menemukan bahwa adanya disfungsi tuba Eustachius, yaitu suatu saluran yang
menghubungkan rongga di belakang hidung (nasofaring) dengan telinga tengah
(kavum timpani), merupakan penyebab utama terjadinya radang telinga tengah ini
(otitis media).1
Pada keadaan normal, muara tuba Eustachius berada dalam keadaan tertutup
dan akan membuka bila kita menelan. Tuba Eustachius ini berfungsi untuk
menyeimbangkan tekanan udara telinga tengah dengan tekanan udara luar (tekanan
udara atmosfer). Fungsi tuba yang belum sempurna, tuba yang pendek, penampang
relatif besar pada anak dan posisi tuba yang datar menjelaskan mengapa suatu infeksi
saluran napas atas pada anak akan lebih mudah menjalar ke telinga tengah sehingga
lebih sering menimbulkan OM daripada dewasa.1
Pada anak dengan infeksi saluran napas atas, bakteri menyebar dari
nasofaring melalui tuba Eustachius ke telinga tengah yang menyebabkan terjadinya
infeksi dari telinga tengah. Pada saat ini terjadi respons imun di telinga tengah.
Mediator peradangan pada telinga tengah yang dihasilkan oleh sel-sel imun infiltrat,
seperti netrofil, monosit, dan leukosit serta sel lokal seperti keratinosit dan sel
mastosit akibat proses infeksi tersebut akan menambah permiabilitas pembuluh darah
dan menambah pengeluaran sekret di telinga tengah. Selain itu, adanya peningkatan
beberapa kadar sitokin kemotaktik yang dihasilkan mukosa telinga tengah karena
stimulasi bakteri menyebabkan terjadinya akumulasi sel-sel peradangan pada telinga
tengah.1
Mukosa telinga tengah mengalami hiperplasia, mukosa berubah bentuk dari
satu lapisan, epitel skuamosa sederhana, menjadi pseudostratified respiratory
epithelium dengan banyak lapisan sel di antara sel tambahan tersebut. Epitel respirasi
ini mempunyai sel goblet dan sel yang bersilia, mempunyai stroma yang banyak serta
pembuluh darah. Penyembuhan OM ditandai dengan hilangnya sel-sel tambahan
tersebut dan kembali ke bentuk lapisan epitel sederhana.1

9
2.7 PATOLOGI
OMK lebih sering merupakan penyakit kambuhan dari pada menetap.
Keadaan kronis ini lebih berdasarkan keseragaman waktu dan stadium dari
pada keseragaman gambaran patologi. Secara umum gambaran yang ditemukan
adalah:
1. Terdapat perforasi membrana timpani di bagian sentral.
2. Mukosa bervariasi sesuai stadium penyakit
3. Tulang-tulang pendengaran dapat rusak atau tidak, tergantung pada beratnya
infeksi sebelumnya.
4. Pneumatisasi mastoid
OMK paling sering pada masa anak-anak. Pneumatisasi mastoid
paling akhir terjadi antara 5-10 tahun. Proses pneumatisasi ini sering terhenti
atau mundur oleh otitis media yang terjadi pada usia tersebut atau lebih muda.
Bila infeksi kronik terus berlanjut, mastoid mengalami proses sklerotik, sehingga
ukuran prosesus mastoid berkurang.1

2.8 TANDA KLINIS


Tanda-tanda klinis pada otitis media kronik adalah:
1. Telinga berair (otorrhoe)
Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer)
tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh
aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMK tipe
jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering
kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran
timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul.
Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran napas atas
atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang.
Pada OMK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret
yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan
kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping
kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada OMK tipe ganas unsur mukoid

10
dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan
mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan
adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya
kolesteatoma yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa
nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.
2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran.
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran.
Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat
hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatoma, dapat
menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai
kolesteatoma, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai
tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang
pendengaranmenghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db.
Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran
timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga
tengah. Pada OMK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat
karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga
kolesteatoma bertindak sebagai penghantar suara sehingga ambang
pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati.9
Penurunan fungsi koklea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan
berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui foramen rotundum
atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya
labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat, hantaran tulang dapat
menggambarkan sisa fungsi koklea.
3. Nyeri telinga (otalgia)
Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMK, dan bila ada merupakan
suatu tanda yang serius. Pada OMK keluhan nyeri dapat karena
terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman
komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret,terpaparnya durameter
atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri

11
telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna sekunder.
Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMK seperti Petrositis,
subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.
4. Vertigo
Vertigo pada penderita OMK merupakan gejala yang serius lainnya.
Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin
akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatoma. Vertigo yang timbul
biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada
panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena
perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih
mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam
labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi
akibat komplikasi serebelum. Fistula merupakan temuan yang serius,
karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari telinga tengah dan mastoid
ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan dari sana mungkin
berlanj ut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada kasus
OMK dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan
positif dan negatif pada membran timpani, dengan demikian dapat
diteruskan melalui rongga telinga tengah.

Tanda-tanda klinis OMK tipe maligna :


1. Adanya Abses atau fistel retroaurikular
2. Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum
timpani.
3. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatoma)
4. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatoma.

2.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Untuk melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut1,3:
1. Pemeriksaan Audiometri

12
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMK biasanya didapati tuli
konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural,
beratnya ketulian tergantung besar dan letak perforasi membran
timpani serta keutuhan dan mobilitas3
Derajat ketulian nilai ambang pendengaran
1. Normal: -10 dB sampai 26 dB
2. Tuli ringan: 27 dB sampai 40 dB
3. Tuli sedang: 41 dB sampai 55 dB
4. Tuli sedang berat: 56 dB sampai 70 dB
5. Tuli berat: 71 dB sampai 90 dB
6. Tuli total: lebih dari 90 dB.

2. Pemeriksaan Radiologi
Proyeksi Schuller
Memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah lateral
dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena
memperlihatkan posisi sinus lateral dan tegmen3.
Proyeksi Mayer atau Owen
Diambil dari arah dan anterior telinga tengah akan tampak
gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat
diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur-
struktur3.
Proyeksi Stenver
Memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus dan yang
lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum
dan kanalis semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum
dalam potongan melintang sehingga dapat menunjukan adanya
pembesaran akibat2,3
Proyeksi Chause III
Memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat
memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi

13
dan atau CT scan dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh
karena kolesteatoma3.

3. Bakteriologi
Bakteri yang sering dijumpai pada OMK adalah
Pseudomonas aeruginosa, Stafilokokus aureus dan Proteus sp.
Sedangkan bakteri pada OMA adalah Streptokokus pneumoniae,
Haemofillus influenza, dan Morexella kataralis. Bakteri lain yang
dijumpai pada OMK antara lain E. coli, Difteroid sp, Klebsiella sp,
dan bakteri anaerob adalah Bacteriodes sp1,2.

2.10 PENATALAKSANAAN
Terapi OMK memerlukan waktu lama dan harus berulang. Pengobatan
penyakit telinga kronis yang efektif harus didasarkan pada faktor-faktor penyebabnya
dan pada stadium penyakitnya. Bila didiagnosis kolesteatoma, maka mutlak harus
dilakukan operasi, tetapi obat-obatan dapat digunakan untuk mengontrol infeksi
sebelum operasi.
Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luas infeksi, dimana
pengobatanannya dibagi atas:
1. Konservatif
2. Pembedahan

OMK Benigna Tenang


Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan dan dianjurkan untuk tidak mengorek
telinga, mencegah air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan
segera berobat bila menderita infeksi saluran napas atas. Bila fasilitas memungkinkan
sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti, timpanoplasti) untuk
mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran.

14
OMK Benigna Aktif
Prinsip pengobatan OMK benigna aktif adalah :
1. Membersihkan liang telinga dan kavum timpani
2. Pemberian antibiotika:
1. antibiotika/antimikroba topikal
2. antibiotika sistemik

Pembersihan liang telinga dan kavum timpan (aural toilet)


Tujuan aural toilet adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk
perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang baik
bagi perkembangan mikroorganisme. Pembersihan kavum timpani dengan
menggunakan cairan pencuci telinga berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari.
Garam faal agar lingkungan bersifat asam sehingga merupakan media yang buruk
untuk pertumbuhan kuman.

Pemberian antibiotik topikal


Setelah sekret berkurang, terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes
telinga yang mengandung antibiotika dan kortikosteroid, hal ini dikarenakan
biasanya ada gangguan vaskularisasi ditelinga tengah sehingga antibiotika oral sulit
mencapai sasaran optimal. Cara pemilihan antibiotika yang paling baik adalah
berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistensi.
Preparat antibiotika topikal untuk infeksi telinga tersedia dalam bentuk tetes
telinga dan mengandung antibiotika tunggal atau kombinasi, jika perlu ditambahkan
kortikosteroid untuk mengatasi manifestasi alergi lokal. Obat tetes yang dijual di
pasaran saat ini banyak mengandung antibiotika yang bersifat ototoksik. Oleh sebab
itu, jangan diberikan secara terus menerus lebih dari 1-2 minggu atau pada OMK
yang sudah tenang.

15
Antibiotika yang sering digunakan untuk OMK adalah:
1. Kloramfenikol
Losin et. al (1983) melakukan penelitian pada 30 penderita OMK jinak aktif
mendapatkan bahwa sensistifitas kloramfenikol terhadap masing-masing
kuman adalah sebagai berikut: Bacteroides sp. (90%), Proteus sp. (73,33%),
Bacillus sp. (62,23%), Staphylococcus sp. (60%), dan Pseudomonas sp.
(14,23%).
2. Polimiksin B atau Polimiksin E
Obat ini bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif, Pseudomonas,
E.coli, Klebsiella, dan Enterobacter tetapi tidak efektif (resisten) terhadap
kuman Gram positif seperti Proteus dan B. Fragilis, dan toksik terhadap
ginjal dan susunan saraf.
3. Gentamisin
Gentamisisn adalah antibiotika derivat aminoglikosida dengan spektrum yang
luas dan aktif untuk melawan organisme Gram positif dan negatif. Saah satu
bahaya dari pemberian gentamisin tetes telinga adalah kemungkinan
terjadinya kerusakan telinga dalam. Telah diketahui bahwa pemberian
gentamisin secara sistemik akan menyebabkan efek ototoksik.
4. Ofloksasin
Ofloksasin mempunyai aktifitas yang kuat untuk bakteri Gram negatif dan
positif dan bekerja dengan cara menghambat enzim DNA gyrase. Pada OMK
dengan perforasi membrana timpani, konsentrasi tinggi ofloksasin telah
ditemukan 30 menit setelah pemberian solutio ofloksasin 0,3%. Berdasarkan
penelitian, pemakain tetes siprofloksasin lebih berhasil dan lebih murah
dibandingkan tetes kloramfenikol, dan tidak dijumpai efek ototoksik.
Keuntungan lainnya ofloksasin dapat diberikan secara tunggal tanpa
antibiotik oral.

Antibiotik oral
Secara oral, dapat diberikan antibiotika golongan ampisilin atau eritromisin
sebelum hasil tes resistensi diterima. Pada infeksi yang dicurigai penyebabnya telah

16
resisten terhadap ampisilin, dapat diberikan ampisilin-asam klavulanat. Pemberian
antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai pembersihan sekret.
Terapi antibiotika sistemik yang dianjurkan pada OMK adalah:
1. Pseudomonas: aminogliosida + karbenisilin
2. P. Mirabilis: ampisilin atau sefalosporin
3. P.morganii, P.vulgaris: aminoglikosida +karbenisilin
4. Klebsiella: sefalosporin atau aminoglikosida
5. E.coli: ampisilin atau sefalosporin
6. S.aureus: penisiln, sefalosforin, eritromisin, aminoglikosida
7. Streptokokus: penisilin, sefalosforin, ertiromisin, sminoglikosida
8. B. Fragilis: klindamisin.

Metronidazol mempunyai efek bakterisid untuk kuman anaerob.


Metronidazol dapat diberikan pada OMK aktif dosis 400 mg 3 kali sehari, selama 2
minggu atau 200 mg per 8 jam selama 2-4 minggu. Antibiotika golongan kuinolon
tidak dianjurkan untuk anak berusia dibawah 16 tahun.
Bila sekret telah kering tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama
2 bulan maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti yang bertujuan
untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang
perforasi, mencegah terjadinya komplikasi serta memperbaiki pendengaran.
Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dengan sekret yang banyak
tanpa dibersihkan dulu, adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang/tidak progresif
lagi diberikan obat tetes yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Dianjurkan
irigasi dengan garam faal agar lingkungan bersifat asam dan merupakan media yang
buruk untuk tumbuhnya kuman. Selain itu dikatakan bahwa tempat infeksi pada
OMK sulit dicapai oleh antibiotika topikal. Djaafar dan Gitowirjono menggunakan
antibiotik topikal sesudah irigasi sekret profus dengan hasil cukup memuaskan,
kecuali kasus dengan jaringan patologis yang menetap pada telinga tengah dan
kavum mastoid. Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan agar masuk sampai
telinga tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya neomisin

17
dan lamanya tidak lebih dari 1minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik
adalah dengan berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistensi.

Jenis pembedahan OMK


Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik yang dapat dilakukan pada OMK
dengan mastoiditis kronis baik tipe aman atau bahaya, antara lain:1
1. Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy)
Operasi ini dilakukan pada OMK tipe aman yang dengan pengobatan
konservatif tidak sembuh. Dengan tindakan operasi ini dilakukan pembersihan
ruangan mastoid dari jaringan patologik. Tujuannya ialah supaya infeksi tenang dan
telinga tidak berair lagi. Pada operasi ini fungsi pendengaran tidak diperbaiki.1

2. Mastoidektomi Radikal
Operasi ini dilakukan pada OMK tipe bahaya dengan infeksi atau
kolesteatoma yang sudah meluas.
Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum timpani dibersihkan dari semua jaringan
patologik dan mencegah komplikasi ke intrakranial. Fungsi pendengaran tidak
diperbaiki.
Kerugian operasi ini adalah pasien tidak diperbolehkan berenang seumur
hidupnya. Pasien harus datang teratur untuk kontrol supaya tidak terjadi infeksi
kembali. Pendengaran berkurang sekali, sehingga dapat menghambat pendidikan
atau karier pasien.
Modifikasi operasi ini ialah dengan memasang tandur (graft) pada rongga
operasi serta membuat meatoplast yang lebar, sehingga rongga operasi kering
permanen, tetapi terdapat cacat anatomi, yaitu meatus telinga luar menjadi lebar.

3. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi


4. Miringoplasti
5. Timpanoplasti
Timpanoplasti adalah prosedur menghilangkan proses patologik didalam
telinga tengah dan diikuti rekontruksi sistem konduksi suara pada telinga tengah.

18
Timpanoplasti diajukan pertama kali oleh Wullstein tahun 1953 yang kemudian
membagi timpanoplasti menjadi V tipe pada tahun 1956. Tujuan dari timpanoplasti
itu sendiri ialah mengembalikan fungsi telinga tengah, mencegah infeksi berulang
dan memperbaiki pendengaran. Tujuan lainnya membersihkan semua jaringan
patolgis dimana anatomi dari meatus eksternus termasuk sulkus timpani utuh. Kavum
mastoid dibuka untuk menghindari sistem aerasi yang tertutup. Aerasi dapat
diperoleh dengan membersihkan penyumbatan antara kavum timpani, antrum, dan
sistem sel mastoid.
Indikasi timpanoplasti dilakukan pada OMK tipe aman dengan kerusakan
yang lebih berat atau OMK tipe aman yang tidak bisa ditenangkan dengan
pengobatan medikamentosa.
Pada operasi ini selain rekontruksi membran timpani sering kali harus
dilakukan juga rekontruksi tulang pendengaran. Sebelum rekontruksi dikerjakan
lebih dahulu dilakukan eksplorasi kavum timpani dengan atau tanpa mastoidektomi,
untuk membersihkan jaringan patologis.1

Tipe-tipe Timpanoplasti
Tipe I
Disebut juga miringoplasti. Operasi ini merupakan timpanoplasti yang paling ringan,
dengan melakukan rekontruksi hanya pada membran timpani dan cangkokan
bersandar pada maleus.
Indikasi operasi ini dilakukan pada OMK tipe aman yang sudah tenang dengan
gangguan pendengaran ringan yang hanya disebabkan oleh perforasi yang menetap.
Pada tipe I ini seharusnya dapat memulihkan gangguan pendengaran konduktif
sampai normal atau hampir normal.
Tipe II sampai tipe V dilakukan rekontruksi membran timpani dan rekontruksi tulang
pendengaran.

19
Tabel 1. Jenis-jenis timpanoplasti

Gambar 4. Timpanoplasti

Pendekatan ganda timpanoplasti (combined approach tympanoplasty)


Operasi ini merupakan teknik operasi timpanoplasti yang dikerjakan pada
kasus OMK tipe bahaya atau OMK tipe aman dengan jaringan granulasi yang luas.
Tujuan operasi untuk menyembuhkanmenyembuhkan penyakit serta
memperbaiki pendengaran tanpa melakukan teknik mastoidektomi radikal (tanpa
meruntuhkan dinding posterior liang telinga).

20
Membersihkan kolesteatoma dan jaringan granulasi kavum timpani,
dikerjakan melalui dua jalan (combined approach) yaitu melalui liang telinga dan
rongga mastoid dengan melakukan timpanotomi posterior. Teknik operasi ini pada
OMK tipe bahaya belum disepakati oleh para ahli, oleh karena sering terjadi
kambuhnya kolesteatoma kembali.1

2.11 KOMPLIKASI OMK


Otitis media kronis mempunyai potensi untuk menjadi serius dan
menyebabkan kematian. Tendensi otitis media mendapat komplikasi tergantung
pada kelainan patologik yang menyebabkan otore. Walaupun demikian organisme
yang resisten dan kurang efektifnya pengobatan akan menimbulkan komplikasi1,2.
Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar pertahanan telinga tengah yang
normal dilewati, sehingga infeksi dapat menjalar ke struktur disekitarnya. Pertahanan
pertama adalah mukosa kavum timpani, yang mampu melokalisasi infeksi. Sawar
kedua adalah dinding tulang kavum timpani dan sel mastoid. Dinding pertahanan
ketiga adalah jaringan granulasi.
Penyebaran secara hematogen dapat diketahui dengan adanya :
1. Komplikasi terjadi pada awal infeksi atau eksaserbasi akut
2. Gejala prodromal tidak jelas
3. Pada operasi, didapatkan dinding tulang teling tengah utuh, dan tulang serta
lapisan muko periosteal meradang dan mudah berdarah

Penyebaran melalui erosi tulang dapat diketahui bila:


1. Komplikasi terjadi beberapa minggu atau lebih setelah awal penyakit
2. Gejala prodromal mendahului gejala infeksi
3. Pada operasi ditemukan lapisan tulang yang rusak di antara fokus supurasi
dengan struktur sekitarnya

Penyebaran melalui jalan yang sudah ada dapat diketahui bila:


1. Komplikasi terjadi pada awal penyakit

21
2. Serangan labirinitis atau meningitis berulang, mungkin juga dapat
ditemukan fraktur tengkorak, riwayat operasi tulang, atau riwayat otitis
media yang sudah sembuh
3. Pada operasi ditemukan jalan penjalaran sawar tulang yang bukan karena
erosi. Bila dengan pengobatan medikamentosa tidak berhasil mengurangi
gejala, seperti otorea terus terjadi, dan pada pemeriksaan otoskopik tidak
menunjukkan berkurangnya reaksi inflamasi dan pengumpulan cairan, maka
harus diwaspadai kemungkinan terjadinya komplikasi. Pada stadium akut,
yang dapat merupakan tanda bahaya antara lain: naiknya suhu tubuh, nyeri
kepala, atau adanya malaise, drowsiness, somnolen, atau gelisah. Dapat juga
timbulnya nyeri kepala di bagian parietal atau oksipital, dan adanya mual,
muntah proyektil, serita kenaikan suhu badan yang menetap selama
terapi, merupakan tanda komplikasi intrakranial. Pada OMK, tanda
penyebaran penyakit dapat terjadi setelah sekret berhenti, karena
menandakan adanya sekret purulen yang terbendung.

Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intrakranial harus melewati 3 macam


lintasan:1,2
1. Dari rongga telinga tengah ke selaput otak
2. Menembus selaput otak.
3. Masuk ke jaringan otak.

Insidensi terjadinya komplikasi dari otitis media kronik dan kolesteatoma


sudah menurun sejak semakin banyaknya antibiotik pada awal abad ke-20.
Bagaimanapun, komplikasi ini dapat terus terjadi, dan bisa berakibat fatal apabila
tidak diidentifikasi dan diterapi secara tepat. Terapi dari komplikasi otitis media
kronik tidak sama dengan penanganan terhadap otitis media akut, karena biasanya
memerlukan tindakan intervensi bedah.
Otitis media kronik (OMK) dikenal sebagai infeksi atau inflamasi persisten
dari telinga tengah dan mastoid. Kondisi ini melibatkan perforasi dari membran
timpani, dengan adanya cairan yang keluar dari telinga (otorrhea) secara intermiten

22
atau terus-menerus. Dengan terjadinya otomastoiditis kronis dan disfungsi dari tuba
eustachius yang persisten, membran timpani melemah, yang meningkatkan
kemungkinan atelektasis telinga atau pembentukan kolesteatoma.
Kedekatan dari telinga tengah dan mastoid ke intratemporal dan
intrakranial meningkatkan risiko infeksi terjadinya komplikasi dari struktur
kompartemen yang berlokasi di sekitar daerah itu. Komplikasi dari OMK dikenal
dengan menggunakan sistem klasifikasi yang dibagi menjadi komplikasi
intrakranial dan ekstrakranial. Komplikasi ekstrakranial dibagi lagi menjadi
komplikasi ekstratemporal dan intratemporal. Pengembangan dan penggunaan
antibiotik yang tepat dapat menurunkan komplikasi yang merugikan. Namun,
komplikasi dapat terus terjadi, dan kewaspadaan klinis diperlukan untuk deteksi dini
dan pengobatan. Selanjutnya, dengan terus berkembangnya patogen yang multi drug
resistant, komplikasi ini mungkin menjadi lebih sering terjadi karena antibiotik yang
ada saat ini menjadi kurang efektif.

Komplikasi Ekstrakranial
1. Abses Subperiosteal
Abses subperiosteal adalah komplikasi ekstrakranial dari OMK yang paling
sering terjadi. Abses ini terjadi di korteks mastoid ketika proses infeksi dalam sel-sel
udara mastoid meluas ke ruang subperiosteal. Perluasan ini paling sering terjadi
sebagai akibat dari erosi korteks sekunder menjadi mastoiditis akut atau coalescent,
tetapi juga dapat terjadi sebagai akibat dari perluasan vaskular sekunder
menjadi phlebitis dari vena mastoid. Abses subperiosteal terlihat lebih
sering pada anak-anak muda dengan OMA, tetapi juga ditemukan pada
otitis kronis dengan dan tanpa kolesteatoma. Kolesteatoma dapat
menghalangi aditus ad antrum, mencegah terhubungnya dari isi dari
mastoid yang terinfeksi dengan ruang telinga tengah dan tuba Eustachius. Obstruksi
ini meningkatkan kemungkinan dekompresi yang infeksius sampai korteks mastoid,
menyajikan klinis sebagai abses subperiosteal atau abses Bezold.
Seringkali, diagnosis abses subperiosteal dibuat atas dasar klinis. Umumnya,
pasien akan datang dengan gejala sistemik, termasuk demam dan malaise, bersama

23
dengan tanda-tanda lokal, termasuk daun telinga yang menonjol ke arah lateral dan
inferior, dan juga terdapat daerah yang fluktuatif, eritematosa, dan nyeri di belakang
telinga. Bila diagnosis tidak pasti pada evaluasi klinis, CT scan kontras dapat
menunjukkan abses dan mungkin defek kortikal pada mastoid. Sebuah kasus dapat
dibuat untuk CT scan kontras dari tulang temporal pada semua pasien dengan gejala-
gejala ini, untuk membantu dalam perencanaan terapi dan untuk menyingkirkan
kemungkinan komplikasi lainnya. Mastoiditis tanpa abses, limfadenopati, abses
superfisial, dan kista sebasea terinfeksi adalah kemungkinan lain yang harus
disingkirkan.

2. Abses Bezold
Abses Bezold adalah abses cervical yang berkembang mirip dengan abses
subperiosteal secara patologi. Dengan adanya mastoiditis coalescent, jika korteks
mastoid terkena pada ujungnya, sebagai lawan dari korteks lateral, abses
akan berkembang di leher, dalam sampai sternokleidomastoid. Abses ini
dideskripsikan sebagai massa yang dalam dan lembut pada leher. Karena abses
berkembang dari sel-sel udara di ujung mastoid, ini ditemukan pada anak-anak
yang lebih tua dan orang dewasa, di mana pneumatisasi dari mastoid telah
diperpanjang sampai ke ujung. Sebagian besar dari abses ini adalah hasil dari
ekstensi langsung melalui korteks, selain itu adalah dari transmisi melalui korteks
utuh dengan cara phlebitis vena mastoid. Meskipun abses Bezold adalah komplikasi
dari OMA dengan mastoiditis yang lebih sering terjadi pada anak-anak, abses ini
juga dikenal sebagai komplikasi dari OMK dengan kolesteatoma.
CT scan kontras dari leher dan mastoid dianjurkan untuk membuat diagnosis
dari abses Bezold. Presentasi dari pembesaran massa yang dalam dan lembut di
leher harus dibedakan dari inflamasi limfadenopati leher, yang sulit atas dasar klinis
saja. CT scan abses Bezold yang menunjukkan abses melingkar yang meningkat
dengan peradangan di sekitarnya, dapat menunjukkan dehiscence tulang di ujung
mastoid, dan dapat membantu dalam perencanaan operasi.

24
Komplikasi Intratemporal
1. Fistula Labirin
Fistula labirin terus menjadi salah satu komplikasi yang paling umum dari
otitis kronis dengan kolesteatoma, dan telah dilaporkan terjadi pada sekitar 7% dari
kasus. Beberapa keadaan ini lebih mengganggu ahli bedah otologik daripada
terdapatnya sebuah labirin terbuka yang ditemukan pada saat operasi kolesteatoma.
Risiko kehilangan pendengaran sensorineural yang signifikan sebagai akibat
manipulasi bedah membuat labirin terbuka dan pengelolaannya menjadi topik yang
sangat kontroversial.
Karena lokasinya di dekat antrum, kanalis semisirkularis horizontal adalah
bagian yang paling sering terlibat dari labirin, dan menyumbang sekitar 90% dari
fistula ini. Meskipun kanal horisontal biasanya terlibat, fistula dapat terjadi di kanal
posterior dan superior, dan di koklea itu sendiri. Fistula koklea dikaitkan
dengan insidensi terjadinya gangguan pendengaran yang jauh lebih tinggi ditemui
dibandingkan dengan labirin fistula.
Erosi tulang dari kapsul otic dapat terjadi melalui dua proses yang berbeda.
Dengan terdapatnya kolesteatoma, mediator diaktifkan dari matriks, atau tekanan
dari kolesteatoma itu sendiri, dapat menyebabkan osteolisis dan membuka labirin.
Namun, fistula labirin dapat terjadi dari resorbsi kapsul otic karena mediator
inflamasi bila tidak ada kolesteatoma, yang biasanya terjadi pada OMK dengan
granulasi.
Salah satu alasan kontroversi dalam membahas fistula ini adalah kurangnya
sistem pembagian stadium yang dapat diterima. Beberapa sistem telah diusulkan.
Sistem diperkenalkan oleh Dornhoffer dan Milewski, sistem ini berkaitan dengan
keterlibatan labirin yang mendasarinya. Fistula dengan erosi tulang dan endosteum
utuh diklasifikasikan sebagai stadium I fistula. Jika endosteum ini terkena, namun
ruang perilymphatic tidak, fistula ini diklasifikasikan sebagai stadium IIa. Ketika
perilymph ini terkena oleh penyakit atau sengaja disedot, fistula dikategorikan
sebagai stadium IIb. Stadium III menunjukkan bahwa labirin membran dan
endolymph telah terganggu oleh penyakit atau intervensi bedah.

25
Pasien yang memiliki erosi yang signifikan dari labirin klasik ini datang
dengan vertigo subjektif dan tes fistula yang positif pada pemeriksaan. Sayangnya,
gambaran klasik tidak sensitif dalam identifikasi preoperatif fistula. Vertigo periodik
atau disekuilibrium yang signifikan ditemukan pada 62% sampai 64% dari pasien
yang memiliki fistula sebelum operasi. Tes fistula positif dalam 32% sampai 50%
dari pasien yang ditemukan memiliki fistula selama eksplorasi bedah. Meskipun
kehilangan pendengaran sensorineural ditemukan di sebagian besar pasien (68%),
itu bukan indikator yang sensitif untuk fistula.
Meskipun adanya gangguan pendengaran sensorineural, vertigo, atau tes
fistula positif pada pasien yang memiliki kolesteatoma harus meningkatkan
kecurigaan untuk fistula, tidak adanya tanda-tanda tadi tidak menjamin labirin tulang
utuh. Hal ini sebagai alasan bahwa pendekatan bedah yang bijaksana adalah dengan
mengasumsikan adanya fistula di setiap kasus kolesteatoma, untuk mencegah
komplikasi yang tak terduga.
Walaupun pencitraan universal untuk semua pasien yang memiliki
kolesteatoma belum standar,tinjauan literatur menunjukkan bahwa penggunaan
pencitraan CT praoperasi meningkat. Karena ketidakmampuan untuk secara akurat
mendiagnosis fistula preoperatif atas dasar klinis, peningkatan dalam pencitraan
merupakan upaya untuk meningkatkan deteksi suatu labirin, nervus facialis, atau
dura yang terkena, untuk membantu dalam perencanaan operasi. Sayangnya,
kemampuan untuk mendeteksi fistula secara akurat pada CT pra operasi telah
dilaporkan sebagai 57% sampai 60%. Dalam laporan saat ini CT scan tidak lebih
sensitif daripada anamnesis dan pemeriksaan fisik dalam mendeteksi fistula labirin.
Diagnosis definitif untuk fistula hanya dibuat intraoperatif, yang
menegaskan kembali kebutuhan untuk menangani semua kasus kolesteatoma dengan
hati-hati.

2. Mastoiditis Coalescent
Mastoiditis adalah spektrum penyakit yang harus didefinisikan dengan tepat
untuk diterapi secara memadai. Mastoiditis, didefinisikan sebagai penebalan mukosa

26
atau efusi mastoid, adalah umum dalam suatu otitis akut atau kronis, dan dilihat
secara rutin pada CT scan.
Mastoiditis secara klinis menyajikan postauricular eritema, nyeri, dan edema,
dengan daun telinga ke arah posterior dan inferior. Pemeriksaan lebih
lanjut diindikasikan untuk menentukan pengobatan yang paling tepat.
Dengan adanya mastoiditis klinis, CT scan harus dilakukan untuk
mengevaluasi abses subperiosteal atau mastoiditis coalescent. Mastoiditis
Coalescent adalah proses akut, infeksi tulang mastoid, dengan kehilangan
karakteristik tulang trabekuler. Ini adalah komplikasi yang jarang terjadi, dan
terlihat biasanya pada anak-anak muda dengan OMA.
Klasik, mastoiditis coalescent digambarkan sebagai terjadi di mastoid yang
terpneumatisasi pada OMA yang tidak sempurna diobati, sedangkan otitis kronis
dan kolesteatoma terjadi pada tulang temporal sklerotik. Namun, sebanyak 25% dari
kasus mastoiditis coalescent telah dilaporkan terjadi pada tulang temporal sklerotik
dengan OMK dan kolesteatoma.

3. Facial Paralysis
Otogenik yang menyebabkan kelumpuhan saraf wajah termasuk
OMA, OMK tanpa kolesteatoma, dan kolesteatoma. Yang pertama biasanya
terjadi dengan saluran tuba pecah dalam segmen timpani, yang memungkinkan
kontak langsung mediator inflamasi dengan saraf wajah itu sendiri. OMK
dengan atau tanpa kolesteatoma dapat mengakibatkan kelumpuhan wajah melalui
keterlibatan saraf pecah, atau melalui erosi tulang. Kelumpuhan wajah sekunder
untuk OMA sering terjadi pada anak dengan paresis tidak lengkap yang datang tiba-
tiba dan biasanya singkat dengan pengobatan yang tepat.
Di sisi lain, kelumpuhan sekunder pada OMK atau kolesteatoma sering
menyebabkan kelumpuhan wajah progresif lambat dan memiliki prognosis yang
lebih buruk.
Diagnosis kelumpuhan wajah otogenic dibuat atas dasar klinis. Paresis atau
kelumpuhan wajah pada OMA, OMK, atau kolesteatoma bukanlah diagnosis yang

27
sulit untuk dibuat hanya dengan pemeriksaan sendiri. Peran diagnostik
pencitraan CT dipertanyakan.
Meskipun CT scan tidak diperlukan, dapat berguna dalam perencanaan terapi
dan konseling pasien. Ketika kolesteatoma melibatkan saluran tuba, juga dapat
mengikis struktur seperti labirin atau tegmen. Selanjutnya, tingkat erosi tulang dari
kanal tuba dan derajat keterlibatannya lebih dapat dinilai pada CT.

Komplikasi Intrakranial
1. Meningitis
Meningitis adalah komplikasi intrakranial yang paling umum dari OMK, dan
OMA adalah penyebab sekunder yang paling umum dari meningitis. Dalam seri
terbaru komplikasi OMK, meningitis terjadi pada sekitar 0,1% dari subyek.
Meskipun ini tetap merupakan komplikasi yang signifikan, tingkat kematian akibat
meningitis otitic telah menurun secara signifikan, dari 35% di era preantibiotic
sampai 5% di era post antibiotik. Meningitis dapat muncul dari tiga rute otogenic
yang berbeda: penyebaran hematogen dari meninges dan ruang subarachnoid,
menyebar dari telinga tengah atau mastoid melalui saluran yang telah terjadi (fisura
Hyrtl), atau melalui erosi tulang dan penyuluhan langsung. Dari ketiga
kemungkinan, meningitis otogenic paling umum adalah hasil dari penyebaran
hematogen.
Diagnosis cepat meningitis bergantung pada pengenalan dari tanda-tanda
peringatan oleh dokter. Tanda-tanda bahwa harus meningkatkan kecurigaan
komplikasi intrakranial termasuk demam persisten atau intermiten, mual dan muntah;
iritabilitas, letargi, atau sakit kepala persisten. Tanda-tanda yang juga membantu
diagnosis proses intrakranial meliputi perubahan visual; kejang onset baru, kaku
kuduk, ataksia, atau status mental menurun. Jika ada tanda-tanda mencurigakan itu
terjadi, pengobatan segera dan pemeriksaan lebih lanjut sangat penting. Antibiotik
spektrum luas, seperti sefalosporin generasi ketiga, harus diberikan selama
tes diagnostik sedang dilakukan. CT scan atau MRI kontras akan
menunjukkan peningkatan karateristik meningeal dan menyingkirkan
komplikasi intrakranial tambahan yang dikenal terjadi pada hingga 50% dari kasus

28
ini. Dengan tidak adanya efek massa yang signifikan pada pencitraan, pungsi lumbal
harus dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan memungkinkan untuk kultur
dan tes sensitivitas.

2. Abses Otak
Abses otak adalah komplikasi intrakranial kedua yang paling umum
dari otitis media setelah meningitis, tetapi mungkin yang paling mematikan.
Berbeda dengan meningitis, yang lebih sering disebabkan oleh OMA, otak abses
hampir selalu merupakan hasil dari OMK. Lobus temporal dan otak kecil yang paling
sering terkena dampaknya. Abses ini berkembang sebagai hasil dari perpanjangan
hematogen sekunder menjadi tromboflebitis di hampir semua kasus, tetapi erosi
tegmen dengan abses epidural dapat menyebabkan abses lobus temporal. Hasil kultur
dari abses ini biasanya steril, dan, bila positif, biasanya mengungkapkan flora
campur, namun Proteus yang lebih sering dikultur daripada patogen lain.
Perkembangan klinis yang terlihat pada pasien ini terjadi dalam tiga tahap. Tahap
pertama digambarkan sebagai tahap ensefalitis, dan termasuk gejala seperti flu yaitu
gejala demam, kekakuan, mual, perubahan status mental, sakit kepala, atau kejang.
Tahap ini diikuti oleh laten, diam atau di mana gejala akut mereda, namun kelelahan
umum dan kelesuan bertahan. Tahap ketiga dan terakhir menandai kembalinya gejala
akut, termasuk sakit kepala parah, muntah, demam, perubahan status mental,
perubahan hemodinamik dan peningkatan tekanan intrakranial. Tahap ketiga
adalah disebabkan rongga abses yang pecah atau meluas.
Seperti dengan meningitis, setiap gejala yang mungkin mengindikasikan
keterlibatan intrakranial membutuhkan tindakan cepat. Dengan adanya gejala ini, CT
scan atau MRI kontras harus dipesan sementara IV antimikroba terapi dimulai.
Untuk abses otak, MRI lebih unggul. Meskipun MRI memberikan detil yang lebih
baik mengenai abses sendiri, CT scan memberikan informasi berharga tentang
erosi tulang mastoid, dan dapat membantu dalam menentukan penyebab abses
dan pilihan pengobatan yang paling tepat. Pencitraan itu sendiri adalah
diagnostik abses parenkim yang signifikan, dan evaluasi menyeluruh dari

29
pencitraan diperlukan untuk menyingkirkan komplikasi intrakranial secara
bersamaan, atau bukti tekanan intrakranial meningkat.

3. Trombosis Sinus Lateral


Sinus sigmoid atau trombosis sinus lateralis merupakan komplikasi yang
terkenal dari otitis media dimana tercatat 17% sampai 19% kasus dari
komplikasi intrakranial. Kedekatan dari telinga tengah dan sel udara mastoid ke
sinus vena dural memudahkan mereka untuk menjadi trombosis dan
tromboflebitis sekunder terhadap infeksi dan peradangan di telinga tengah dan
mastoid. Keterlibatan sinus sigmoid atau lateral dapat hasil dari erosi tulang
sekunder untuk OMK dan kolesteatoma, dengan perpanjangan langsung dari
proses menular ke ruang perisinus, atau dari penyebaran ruang dari
tromboflebitis vena mastoid. Setelah sinus telah terlibat, dan trombus
intramural berkembang, dapat menghasilkan sejumlah komplikasi yang serius.
Hidrosefalus Otitic dikenal untuk mempersulit sejumlah besar kasus ini.
Bekuan yang terinfeksi dapat menyebar ke arah proximal melibatkan
pertemuan sinus (torcular herophili) dan sinus sagital, menyebabkan hidrosefalus
yang mengancam jiwa, atau menyebar ke arah distal untuk melibatkan vena jugularis
interna. Keterlibatan vena jugularis interna meningkatkan risiko emboli paru septik.
Presentasi klasik dari trombosis sinus sigmoid atau lateral adalah adanya
demam tinggi yang tajam dalam pola picket fence, sering terlihat dengan sakit kepala
dan malaise umum. Seperti banyak komplikasi ini, tingkat kecurigaan yang tinggi
diperlukan karena demam spiking mungkin tumpul oleh penggunaan antibiotik
bersamaan. Dengan adanya demam tinggi spiking, atau kepedulian untuk tekanan
intrakranial meningkat, CT scan harus dikontraskan dilakukan untuk melihat
tromboflebitis. Dinding sinus akan lebih cerah dengan kontras dan menghasilkan
tanda delta karakteristik yang berkaitan dengan trombosis sinus. Dengan
adanya trombosis sinus signifikan, sebuah Venogram resonansi magnetik MRI
dijamin, karena mereka dapat digunakan serial untuk mengevaluasi
propagasi gumpalan atau resolusi.

30
4. Abses Epidural
Adanya abses epidural sering dapat membahayakan dalam
perkembangan. Abses ini berkembang sebagai hasil dari penghancuran
tulang dari kolesteatoma atau dari mastoiditis coalescent. Tanda-tanda dan
gejala tidak berbeda secara signifikan dari yang ditemukan dalam OMK. Kadang-
kadang, iritasi dural dapat mengakibatkan peningkatan otalgia atau sakit kepala yang
berfungsi sebagai tanda menyangkut di latar belakang OMK.
Karena komplikasi ini tidak begitu jelas dalam presentasi klinis,
sehingga sering ditemukan secara kebetulan pada saat operasi kolesteatoma atau CT
scan untuk keperluan lain.
Tidak seperti komplikasi intrakranial lainnya, tidak ada gejala yang sensitif
atau spesifik sugestif dari proses penyakit ini. Kecurigaan klinis yang
tinggi diperlukan untuk mendiagnosis abses epidural sebelum operasi.
Kehadiran otalgia meningkat atau sakit kepala sebaiknya meningkatkan
kecurigaan untuk komplikasi intrakranial. CT scan atau MRI kontras cukup untuk
mendiagnosis abses ini. Bahkan dengan evaluasi yang cermat, diagnosis ini sering
dibuat pada saat operasi.

5. Otitic Hydrocephalus
Otitic hidrosefalus digambarkan sebagai tanda-tanda dan gejala menunjukkan
peningkatan tekanan intrakranial dengan LCS yang normal pada pungsi
lumbal, yang dapat hadir sebagai komplikasi dari OMA, OMK, atau operasi
otologic. "Hidrosefalus Otitic" sampai sekarang belum dipahami seluruhnya, begitu
juga dari sisi patofisiologi Ini adalah sebuah ironi karena kondisi ini dapat ditemukan
tanpa otitis, dan pasien tidak memiliki ventrikel yang melebar menunjukkan tanda
hidrosefalus. Symonds, yang menciptakan istilah otitic hidrosefalus, merasa bahwa
kondisi ini dikembangkan dari infeksi sinus (transversal) lateral, dengan
perluasan thrombophlebitis ke pertemuan sinus untuk melibatkan sinus sagital
superior. Peradangan atau infeksi dari sinus sagital superior mencegah penyerapan
LCS melalui vili arachnoid, sehingga tekanan intrakranial meningkat. Hal ini
biasanya terjadi tromboflebitis menular sebagai akibat dari infeksi otologic, tetapi

31
beberapa kasus juga terdapat pada kasus tanpa operasi otologic atau otitis.
Selanjutnya, meskipun trombosis sinus lateral biasanya ditemukan pada hidrosefalus
otitic, kasus telah dilaporkan tanpa trombosis sinus dural.
Diagnosis hidrosefalus otitic membutuhkan tingkat kecurigaan yang
tinggi untuk mengenali gejala sugestif. Gejala-gejala yang ditemukan pada pasien
ini adalah akibat dari tekanan intrakranial yang meningkat dan menyebar termasuk
sakit kepala, mual, muntah, perubahan visual, dan kelesuan. Kehadiran gejala
ini memerlukan pemeriksaan menyeluruh dan pencitraan. Pemeriksaan fundoscopic
harus dilakukan untuk mengevaluasi papilledema sebagai bukti tekanan intrakranial
meningkat. MRI dan MRV harus dilakukan untuk mengevaluasi untuk pembesaran
ventrikel, atau komplikasi intrakranial yang lain, seperti trombosis sinus yang
signifikan dengan obstruksi. Peningkatan tekanan intrakranial dengan gejala klinis
dan papilledema tanpa adanya dilatasi ventrikel atau meningitis sudah cukup untuk
membuat diagnosis ini. MRV akan mengkonfirmasi keberadaan dan tingkat
trombosis sinus dural, tetapi tidak diperlukan untuk membuat diagnosis hidrosefalus
otitic.

32
BAB III
KESIMPULAN

Otitis media kronik (OMK) merupakan peradangan atau infeksi kronis yang
mengenai mukosa dan struktur tulang di dalam kavum timpani, ditandai dengan
perforasi membran timpani, sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien dapat didiagnosis menderita
OMK. Berdasarkan anamnesa, pasien dapat mengeluhkan keluarnya cairan dari
telinga kanan yang hilang timbul, dimana sekret awalnya berwarna putih, encer dan
tidak berbau, kemudian menjadi agak kental, kekuningan, dan berbau. Pasien juga
mengeluhkan nyeri kepala dan nyeri pada telinga. Pasien juga mengeluhkan
pendengaran pada telinga menurun.
Penurunan pendengaran pada pasien OMK tergantung dari derajat kerusakan
tulang-tulang pendengaran yang terjadi. Biasanya dijumpai tuli konduktif, namun
dapat pula terjadi tuli persepsi yaitu bila telah terjadi invasi kelabirin, atau tuli
campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat
hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatoma, dapat menghambat bunyi
sampai dengan efektif ke fenestra ovalis. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan
letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistim pengantaran
suara ke telinga tengah. Pada pasien ini dari hasil pemeriksaan didapatkan perforasi
sentral pada membran timpani. Dalam proses penyembuhannya dapat terjadi
penumbuhan epitel skuamosa kedalam telinga tengah. Kadang-kadang perluasan
lapisan tengah ini ke daerah atik mengakibatkan pembentukan kantong dan
kolesteatoma. Pembentukan kolesteatoma ini akan menekan tulang-tulang di
sekitarnya sehingga mengakibatkan terjadinya destruksi tulang, yang ditandai dengan
sekret yang kental dan berbau.
Prinsip pengobatan pasien OMK benigna tenang adalah tidak memerlukan
pengobatan, dan dianjurkan untuk tidak mengorek telinga, mencegah air jangan
masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan segera berobat bila
menderita infeksi saluran napas atas. Bila fasilitas memungkinkan sebaiknya

33
dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti, timpanoplasti) untuk mencegah
infeksi berulang serta gangguan pendengaran.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed.
Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi
kelima. Jakarta: FKUI, 2001. h. 49-62
2. Adams FL, Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta;
Balai Penerbit FKUI; 1997
3. Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001. h. 63-73
4. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan
mastoid. Dalam: Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT.
Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997: 88-118
5. Berman S. Otitis media in developing countries. Pediatrics. July 2006.
Available from URL: http://www.pediatrics.org/
6. Thapa N, Shirastav RP. Intrakranial complication of chronic suppuratif otitis
media, attico-antral type: experience at TUTH. J Neuroscience. 2004; 1: 36-
39 Available from URL: http://www.jneuro.org/
7. Couzos S, Lea T, Mueller R, Murray R, Culbong M. Effectiveness of
ototopical antibiotics for chronic suppurative otitis media in
Aboriginal children: a community-based, multicentre, double-blind
randomised controlled trial. Medical Journal of Australia. 2003. Available
from URL: http://www.mja.com.au/
8. Dugdale AE. Management of chronic suppurative otitis media. Medical
Journal of Australia. 2004. Available from URL: http://www.mja.com.au/
9. Miura MS, Krumennauer RC, Neto JFL. Intrakranial complication
of chronic suppuratif otitis media in children. Brazillian Journal of
Otorhinolaringology. 2005. Available from URL: http://www.rborl.org.br/
10. Vesterager V. Fortnightly review: tinnitusinvestigation and management.
BMJ. 1997. available from URL: http://www.bmj.org/

35

Anda mungkin juga menyukai